Menyusuri Tanah Berbatu: Perjalanan Gojek Menuju Bursa Saham

Gojek lahir dari rasa frustrasi co-founder dan mantan CEO Nadiem Makarim. Pada tahun 2008 dan 2009, Nadiem adalah seorang konsultan manajemen muda bercita-cita tinggi yang bekerja untuk McKinsey. Untuk beranjak dari rumahnya ke kantor setiap hari, dia membutuhkan transportasi cepat untuk bisa melalui kepadatan lalu lintas Jakarta. Mobil pribadi bukanlah pilihan yang tepat, karena jalanan ibu kota sering macet. Nadiem, 25 tahun, menjadi pelanggan setia ojek. Dia bahkan menyimpan nomor beberapa pengemudi ojek di ponselnya sehingga dia bisa menjadwalkan tumpangan.

Namun, dia frustasi karena kualitas layanan yang tidak konsisten. “Terkadang ojek langganan saya [ojek reguler] ada di tempat lain dan tidak bersedia,” sebutnya dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri Gita Wirjawan. “Hanya teknologi yang bisa meningkatkan skala itu.”

Itulah benih-benih Gojek, sebuah perusahaan yang berawal dari call center ojek yang sederhana. Tapi Nadiem membuat beberapa manuver sebelum perusahaan itu akhirnya menjadi decacorn pertama di Indonesia.

Nadiem meninggalkan McKinsey untuk mengampu ilmu di Harvard Business School selama dua tahun. Setelah lulus, ia bergabung dengan Zalora pada tahun 2011. Gojek telah berdiri dan berjalan, dengan 450 pengemudi pada saat itu. Setelah Nadiem merasa telah mendapat cukup pengetahuan dan pengalaman untuk menjalankan startupnya sendiri, dia mengundurkan diri dari Zalora pada tahun 2012, dan menuangkan seluruh kemampuannya untuk Gojek. Penduduk urban Indonesia sudah memahami aplikasi pemesanan kendaraan, berkat Uber dan Grab (yang saat itu disebut GrabTaxi). Variasi Gojek yang berfokus pada sepeda motor diterima dengan baik karena lebih praktis bagi kebanyakan orang untuk melintasi Jakarta dengan roda dua daripada empat.

Nadiem menggaet rekannya di Zalora, Kevin Aluwi, untuk mengelola perusahaan bersamanya. Andre Soelistyo, yang sebelumnya menjadi bagian dari investor Gojek, Northstar Group, juga bergabung dengan perusahaan secara penuh sebagai presiden. Dengan dana awal sebesar USD2 juta dari Openspace Ventures dan Capikris Foundation, aplikasi Gojek online pada Januari 2015. Itu merupakan kejayaan dalam semalam.

Sekarang, Gojek memiliki pengaruh yang tak tergoyahkan di Asia Tenggara. Perusahaan ini kian membentuk laju bepergian penduduk, dan bagaimana orang menggunakan ponsel mereka untuk serangkaian fungsi — pembayaran, pesanan makanan, pembelian bahan makanan, dan banyak lagi — hanya dengan membuat lebih dari 20 jenis layanan dalam satu aplikasi. Merger dengan perusahaan e-commerce Tokopedia sedang dikerjakan untuk M&A terbesar dalam sejarah sektor teknologi Indonesia, dan kemungkinan akan go public akhir tahun ini.

Para pendiri awal Gojek, Andre Soelistyo (kiri), Nadiem Makarim (tengah), dan Kevin Aluwi (Kanan). Dokumentasi oleh Go Figure di channel Youtube Gojek

Bukan sekedar ride-hailing

Lintasan Uber menawarkan gambaran sekilas kepada anggota pendiri Gojek tentang masa depan. Mereka tahu bahwa layanan tumpangan mereka akan populer, tetapi ada sisi negatifnya: model bisnis tersebut melibatkan pembakaran modal awal yang gila-gilaan untuk diskon dan subsidi demi membangun basis pengguna yang cukup besar. Pada 2019, Uber dan Lyft melakukan IPO yang sulit, dengan valuasi di bawah kisaran yang diharapkan. Jika Gojek ingin memutus siklus, perusahaan akan membutuhkan banyak kaki untuk berdiri.

Nadiem memahami hal tersebut dan meletakkan dasar bagi diversifikasi Gojek sejak dini. Saat pertama kali diluncurkan, Gojek menawarkan empat layanan — fitur ride-hailing GoRide, yang menjadi tulang punggung perusahaan; layanan pengiriman GoSend; layanan grosir GoMart; dan layanan pengiriman makanan GoFood. Inisiatif ini membuat Gojek menjadi sosok yang sangat berbeda, karena GrabTaxi dan Uber berfokus penuh pada transportasi pada saat itu. Kemudian, pada 2016, Gojek meluncurkan cabang pembayaran elektroniknya, GoPay. Saat itu, Nadiem mengatakan hal itu karena banyak pengguna yang mengeluhkan pengemudi sering tidak memiliki cukup uang kembalian. Temannya dari Harvard, Aldi Haryopratomo, menjadi nahkoda GoPay hingga Januari 2021.

Tahun itu, Gojek menjadi unicorn pertama di Indonesia, perusahaan bernilai lebih dari USD1 miliar.

Bagi beberapa orang, memiliki andil dalam banyak lini mungkin merupakan proposisi yang berisiko, tetapi langkah pertama terbayar untuk Gojek. Perusahaan menjadi pemain terkemuka di sektor tersebut, bahkan mengalahkan saingan pengiriman makanan FoodPanda. Ride-hailing tidak lagi menjadi penghasil pendapatan utama perusahaan. Sebaliknya, biaya dari pengiriman makanan dan pembayaran adalah penghasil uang. Pada 2018, Gojek meraup USD9 miliar dalam nilai transaksi bruto (GTV) dari semua pasar, menurut siaran pers yang diterbitkan pada Februari 2019. GoPay berkontribusi USD6,3 miliar dalam total tersebut, sementara GoFood menyalurkan USD2 miliar. Pada 2020, GTV Gojek mencapai USD12 miliar, diperkuat dengan volume transaksi tiga kali lipat untuk GoPay dan layanan paylater perusahaan.

Perkembangan ini menarik perhatian investor asing. Google, Tencent, dan JD.com masuk untuk putaran Seri E Gojek pada tahun 2018, mendorong ekspansinya ke Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Gojek memiliki satu keunggulan signifikan di Indonesia — timnya selaras dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat di tanah air. Populasi kelas menengah yang sedang tumbuh ingin melipatgandakan kekayaannya sebanyak mereka menghabiskan uangnya dengan cara baru, untuk hal-hal baru. Banyak yang berinvestasi di saham, reksa dana, bahkan emas. Perusahaan teknologi yang bergerak cepat dapat menyediakan sarana bagi banyak orang untuk menjelajahi jalur investasi ini, dan Gojek tidak mau ketinggalan.

Pada 2019, GoPay menambahkan opsi investasi reksa dana melalui kerja sama dengan Bibit. Dan pada Mei tahun itu, Gojek meluncurkan layanan investasi emas syariah GoInvestasi dengan aplikasi investasi Pluang.

Ketika Gojek membuat kemajuan ke banyak milieux, perusahaan kehilangan Nadiem, yang ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di kabinet Presiden Joko Widodo. Kevin dan Andre pun menjadi co-CEO.

Kevin Aluwi (kiri) dan Andre Soelistyo, Gojek co-CEO. Dokumentasi oleh Gojek

Prioritas baru

Lebih jauh lagi, Gojek berinvestasi di perusahaan asuransi PasarPolis, yang kemudian mengikat keduanya, memungkinkan pengguna GoPay untuk membeli asuransi perjalanan, kesehatan, kendaraan, dan properti yang ditawarkan oleh PasarPolis. Pada April 2020, Gojek mengakuisisi layanan POS Moka untuk memperluas jaringan B2B-nya. Moka digunakan oleh lebih dari 35.000 restoran, gerai ritel, dan kedai kopi di lebih dari 100 kota di Indonesia.

Pengembangan Gojek sejalan dengan perubahan pasar. Banyak orang Indonesia sekarang merasa sangat nyaman menggunakan ponsel mereka untuk pembayaran, makanan dan pemesanan bahan makanan, melakukan investasi dan mengambil polis asuransi, menurut laporan e-Conomy SEA 2020 yang diterbitkan oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Mereka dapat melakukan semua ini di satu tempat — aplikasi Gojek.

Untuk pedagang, GoPay dan akuisisi Moka membuat kurva pembelajaran penerapan pembayaran digital lebih halus. Mengintegrasikan sistem POS dan e-wallet membuat kegiatan bertransaksi menjadi lebih mudah.

Ketika skala Gojek meluas, pandemi menghantamnya dari berbagai sisi. Industri transportasi pada dasarnya menguap selama semi-lockdowns. Gaya hidup vertikal di mana pengguna dapat memesan layanan seperti pembersihan rumah dan pijat, GoLife, dipotong seluruhnya, dan perusahaan memangkas 9% dari total tenaga kerjanya. Kevin mengatakan transportasi, pengiriman makanan, dan pembayaran akan menjadi fokus utama perusahaan sejak saat itu. Fokus baru tersebut memicu perombakan manajemen.

Facebook dan PayPal berinvestasi di Gojek pada Juni 2020, memanfaatkan jejak Gojek yang luas di Indonesia untuk menghidupkan bisnis baru dengan UMKM negara. Hal ini menghasilkan peluncuran GoToko pada September 2020, yang menghubungkan warung yang kurang terlayani, atau toko lingkungan, dengan perusahaan barang konsumen. Sektor ini dipadati oleh pemain lain seperti Kudo, Mitra Bukalapak, dan mitra merger Gojek yang dikabarkan Tokopedia dengan program Mitra Tokopedia.

Untuk benar-benar memantapkan kehadiran Gojek sebagai broker keuangan mapan, perusahaan melakukan investasi di bank digital Bank Jago pada Desember 2020. Idenya adalah untuk memperluas layanan perbankan ke basis pelanggannya, yang beberapa anggotanya bukan klien lembaga keuangan konvensional.

Expedisi pinggiran

Klien inti Gojek pernah menjadi komuter di kota-kota besar di Indonesia. Tapi sekarang, bisnisnya didukung oleh pedagang kecil, biasanya pemilik toko yang menjual bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari melalui GoToko dan GoMart, atau operator F&B yang menggunakan GoFood. Indonesia adalah rumah bagi hampir 60 juta bisnis kecil, dan kegiatan Gojek sehari-hari menjadi langkah yang menguntungkan.

Sementara bagi sekian banyak pengemudi yang membangun reputasi Gojek? Dalam beberapa kasus, pandemi merusak mata pencaharian mereka, dan upaya bantuan perusahaan tampaknya tidak konsisten. Yang lain bekerja untuk berbagai platform agar tetap bertahan. Namun banyak yang masih menggunakan sepeda dan memakai helm hijau berlogo Gojek, bekerja sebagai pembeli dan kurir.

Diversifikasi awal perusahaan memberinya sarana untuk menangkis serangan dari saingan dengan amunisi yang jauh lebih besar. Gojek memiliki langkah awal dalam membangun basis pengguna dan memperoleh mitra pedagang di Indonesia. GoFood telah ada sejak 2015, sementara GrabFood mulai beroperasi tiga tahun kemudian. (GrabFood akhirnya maju pada 2019.) Selain itu, Gojek memiliki layanan yang tidak ditawarkan Grab, seperti vertikal streaming, GoPlay.

Gojek GoPay juga menjadi saluran pembayaran elektronik kedua yang paling banyak digunakan pada Q1 2021, dengan sedikit unggul dari Ovo yang didukung Grab, menurut survei yang dilakukan oleh firma riset pasar Snapcart. Namun, di beberapa bidang, layanan cepat Gojek masih kalah dengan operasional Grab, seperti pengiriman makanan dan tumpangan pada tahun 2020.

Langkah selanjutnya dalam peta Gojek adalah meningkatkan bisnis kecil yang menggunakan platformnya. Gojek mengadakan kegiatan edukasi untuk komunitas mitra GoFood, yang menerima lebih dari 67.000 pendatang baru dalam satu tahun terakhir. Serangkaian modul pembelajaran dan diskusi virtual memberikan petunjuk tentang cara mengembangkan bisnis kecil. Tapi Gojek juga harus menghadapi Grab di sini. Saingannya dari Singapura telah berkomitmen untuk membangun basis pengguna ini juga.

Gojek mengincar wilayah di luar kota metropolitan Indonesia. Pada Maret 2021, perusahaan berinvestasi di e-wallet LinkAja, yang memiliki kekuatan di kota-kota kecil di Indonesia. Hal ini dapat membantu memperkuat kehadiran Gojek di area tersebut, di gawai individu maupun terminal transaksi bisnis lokal.

Fokus pada UMKM ini menjadikan merger Gojek dengan Tokopedia sebuah perspektif bagus, karena Tokopedia juga berupaya untuk meningkatkan jangkauannya di luar kota-kota besar di Indonesia. Perpaduan antara keduanya dapat memberi Gojek pintu masuk yang alami ke e-commerce, sementara Tokopedia dapat memperkuat kemampuan logistiknya. Kesatuan ini akan menjadi lebih besar dari total bagiannya, dan mungkin menarik lebih banyak perhatian dari investor asing saat perusahaan mengejar simbol ticker mereka pada tahun 2021.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan tiket penerbangan menjadi banyak hal diluar itu.

Adalah momen yang pasang surut bagi petinggi Traveloka.

Pada tahun 2018, Derianto Kusuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chief Technology Officer dan meninggalkan perusahaan dengan alasan “benturan aspirasi.”

Kemudian, pembatasan perjalanan pada tahun 2020 menyebabkan pemesanan dihentikan selama pandemi, yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Traveloka harus merumahkan sekitar 100 orang, atau sekitar 10% dari tenaga kerjanya, pada bulan April. Pada bulan Agustus, total pengembalian dana mencapai hampir 100 juta dolar AS. Namun, perputaran cepat ke layanan baru menawarkan jalan hidup, dan Traveloka mampu melakukannya sebagai sebuah perusahaan.

Saat ini, Ferry Unardi masih memimpin sebagai CEO, dengan Albert tetap menjadi bagian dari dewan dan mengawasi operasional sehari-hari sebagai salah satu pendiri perusahaan. Petinggi senior lainnya termasuk mantan konsultan BCG, Caesar Indra, presiden; pengusaha kawakan Alfan Hendro, COO; dan CTO, Ray Frederich, dengan pengalaman sekitar 20 tahun di perusahaan teknologi dan perusahaan konsultan global.

Pandemi belum berakhir, tetapi Traveloka telah membuktikan bahwa mereka dapat melewati situasi yang mengombang-ambingkan bisnis di berbagai skala. Para petinggi mengatakan perusahaan kini bangkit menjadi “lebih kuat” daripada sebelum virus korona menjangkit seluruh penjuru, dan bersiap untuk “simbol ticker” dalam beberapa bulan mendatang.

Bertahan lalu bangkit

Pada tahun 2020, ketika pemesanan perjalanan meredup dalam semalam dan pengembalian dana menggunung, Traveloka membutuhkan uang tunai — secepat mungkin. Memanfaatkan salah satu layanan tekfinnya, perusahaan memulai kampanye “Beli Sekarang, Menginap Nanti”, di mana pengguna dapat membayar voucher hotel dan menggunakannya di kemudian hari. Traveloka Xperience menyelenggarakan aktivitas online seperti kelas memasak dengan chef profesional. Live streaming flash sale dan tur secara langsung menyuguhkan distraksi menyenangkan bagi orang-orang yang terkurung di rumah, bisa jadi menanam ide untuk tujuan liburan ketika perjalanan internasional kembali diizinkan.

Semua inisiatif itu membuat Traveloka bertahan di saat-saat genting. Sekarang, dengan pelonggaran lockdown di Asia Tenggara, lalu lintas platform meningkat ke situasi sebelum pandemi.

Lebih luas lagi, bisnis inti perusahaan, perjalanan, berangsur-angsur pulih. Volume transaksi Traveloka sekarang berada di angka 50%, menurut kepala komunikasi korporat Traveloka, Reza Juniarshah.

Traveloka tetap gesit di tahun 2020 ketika transaksi terkikis. Mereka menawarkan berbagai produk baru untuk mempertahankan arus kas masuk. Dokumentasi oleh Traveloka.

“Sejak Juli tahun lalu, pemulihan terjadi secara konsisten di semua pasar kami, terutama di Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dengan keberhasilan penerapan langkah-langkah pengelolaan COVID-19 di Thailand dan Vietnam, kepercayaan konsumen terhadap perjalanan semakin meningkat. Di Indonesia, perjalanan domestik sedang meningkat, terutama dengan lonjakan tren staycation yang secara bertahap berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Indonesia,” sebut Reza.

Berhasil melewati pandemi dan bangkit kembali dalam beberapa bulan terakhir telah membawa angin segar bagi Traveloka. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit pembangkit tenaga teknologi Asia Tenggara yang bersaing untuk IPO di New York pada tahun 2021. Awal tahun ini, Ferry mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan sedang meninjau jalur untuk go public. Investor awal mereka, Willson Cuaca, co-founder dan managing partner East Ventures, menyambut baik rencana ini. Rekam jejak perusahaan melalui pandemi membuktikan bahwa Traveloka cukup dewasa untuk melihat sahamnya diperdagangkan secara publik, menurut Willson.

Bersiap melantai di bursa

“Traveloka sudah siap untuk go public tahun ini dan 2021 adalah waktu yang tepat. Respons mereka terhadap krisis berhasil dengan baik sejak tahun lalu. Pada akhir tahun 2020, mereka telah mencapai profitabilitas dan seiring dengan pemulihan dunia setelah vaksinasi, saya yakin Traveloka juga berada dalam posisi yang baik untuk pulih dengan kuat,” ujar Willson. Traveloka saat ini memiliki valuasi pasar sekitar USD 3 miliar, tetapi Willson percaya bahwa angkanya “harus bernilai jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan”.

Herston Powers dari 1982 Ventures juga percaya bahwa tahun 2021 merupakan waktu yang tepat bagi Traveloka untuk mencatatkan sahamnya di pasar publik. Dengan profit yang berhasil dicetak perusahaan serta kinerja saham Sea Group sebagai pedoman, mungkin tidak ada waktu yang lebih baik dari tahun ini bagi Traveloka dan perusahaan teknologi Asia Tenggara lainnya untuk hijrah ke Wall Street.

“Jendela terbuka lebar dan perusahaan punya beberapa jalur menuju bursa, seperti IPO tradisional, SPAC, atau mendaftar langsung. Kami khawatir bursa IPO akan ditutup sebelum kami melihat gelombang keluar yang berarti dari wilayah tersebut,” ujar Herston.

Herston menambahkan bahwa investor AS bertaruh pada perjalanan global dan hospitality untuk bisa meningkat pesat. “IPO dan kinerja saham Airbnb menunjukkan minat investor di sektor ini, dan kami berharap antusiasme ini menyebar ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Konsumen di pasar negara berkembang yang berkembang pesat, seperti Indonesia, telah terbiasa dengan perjalanan dan rekreasi, dan tren ini tidak akan berhenti meskipun sempat terhenti sejenak di awal pandemi.”

Traveloka telah mengumpulkan total USD 1,2 miliar dalam enam putaran, menurut Crunchbase. Jumlah ini termasuk JD.com, Sequoia Capital, dan Hillhouse Capital Group sebagai investor. Pada 2018, perusahaan unicorn ini diam-diam mengakuisisi tiga saingannya — PegiPegi di Indonesia, Mytour di Vietnam, dan TravelBook di Filipina — dari perusahaan Jepang Recruit Holdings seharga USD66,8 juta. Langkah ini memberi Traveloka pijakan yang kuat di Asia Tenggara dan sekarang memimpin industri OTA di wilayah tersebut.

Perusahaan juga telah melakukan investasi di beberapa startup regional, seperti platform insurtech PasarPolis serta platform loyalitas dan pemasaran Member.id di Indonesia, perusahaan teknologi acara PouchNation Singapura, dan pengembang perangkat lunak POS Vietnam KiotViet. Traveloka adalah salah satu dari dua unicorn Indonesia yang memiliki kehadiran kuat di kawasan ini (yang lainnya adalah Gojek), menyematkan prestise ketika menuju ke bursa.

“Momentum sangat penting bagi Traveloka, karena pasar modal adalah tentang waktu. Anda membutuhkan investor institusional untuk berada dalam mode berisiko. Jika pasar ambruk, tidak ada yang akan keluar untuk IPO,” sebut Herston. “Di luar koreksi pasar besar atau pandemi lainnya, kami sangat optimis terhadap prospek Traveloka sebagai perusahaan terbuka.”

Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk entitas yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings dan Provident Acquisition. Namun, perusahaan belum mengungkapkan detail persiapan IPO-nya. Para petinggi Traveloka mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Berhasil melewati pandemi yang relatif tanpa cedera adalah pencapaian penting. Sekarang, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa mereka cukup dewasa untuk mengikuti jalur yang pertama kali dibuka oleh Sea Group Singapura dan hijrah ke New York.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Kompetisi “Go Public” Raksasa Teknologi Asia Tenggara

Analis dan laporan media memproyeksikan bahwa 2021 akan menjadi tahun yang bersemangat bagi ekosistem teknologi Asia Tenggara karena raksasa teknologi di kawasan itu sedang giat mengincar penawaran umum perdana (IPO). Gebrakan itu muncul pada tahun 2020, ketika e-commerce unicorn Tokopedia dilaporkan sedang menjajaki opsi untuk listing melalui perusahaan akuisisi bertujuan khusus (SPAC) pada bulan Desember dan menunjuk Morgan Stanley dan Citigroup sebagai penasihatnya.

Tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Traveloka, unicorn lain yang berbasis di Indonesia, sedang mempertimbangkan IPO melalui skema yang sama. Perusahaan harus melewati turbulensi pada tahun lalu, ketika industri perjalanan dan perhotelan terhenti di seluruh dunia. Namun, di bulan Januari, CEO Traveloka, Fery Unardi, mengatakan kepada Bloomberg bahwa bisnis telah pulih dan perusahaan sedang mempertimbangkan jalur yang harus ditempuh, seperti merger SPAC untuk IPO tahun ini. Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk perusahaan yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li.

Ada perkembangan yang bahkan lebih mencekam. Setelah berbulan-bulan berspekulasi, diskusi merger Grab dan Gojek — percobaan pertandingan yang dilakukan oleh Masayoshi Son dari SoftBank — gagal pada bulan Januari, dan kedua perusahaan tersebut menempuh jalur yang berbeda. Gojek dilaporkan sedang dalam pembicaraan lanjutan dengan Tokopedia untuk megamerger lain sebelum go public, sementara Grab mungkin meluncurkan IPO-nya sendiri di AS tahun ini.

Investor sering mengharapkan perusahaan portofolio untuk go public dalam jangka waktu tertentu, sehingga mereka dapat menguangkan sahamnya. Jika perusahaan portofolio tidak melakukan ini, mungkin akan dikenakan pembayaran kontraktual yang cukup besar. Misalnya, Grab akan berutang kepada Uber $2 miliar jika perusahaan yang berbasis di Singapura tersebut tidak memiliki saham yang diperdagangkan secara publik pada Maret 2023. Sementara itu, IPO yang berhasil dapat memberikan imbal hasil yang menarik bagi investor awal — dan memberikan preseden yang berarti ketika mereka mengumpulkan uang untuk fund baru. dana. Ini adalah siklus yang melahirkan dana investasi yang lebih besar dan lebih beragam yang dapat memotong cek yang lebih besar untuk para startup.

Keempat perusahaan ini — Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka — mungkin akan memperdagangkan sahamnya di New York, di mana Sea Group dari Forrest Li memimpin jalan bagi perusahaan teknologi yang berkembang pesat di Asia Tenggara. Mereka mendapat pengakuan nama di wilayah asalnya, tetapi apakah mereka dapat meyakinkan investor di AS untuk mempertahankan saham mereka?

Berlomba-lomba IPO

Para pendiri Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka semuanya telah menyatakan niatnya untuk mencapai profitabilitas sejak 2019. Tekanan meningkat tahun lalu karena pandemi — para investor mereka mengharapkan hasil. Go public memberi investor jalan keluar yang alami; Jika semua berjalan sesuai rencana, empat perusahaan teknologi Asia Tenggara akan membuka jalur uang tunai dari AS untuk mengalir ke pundi-pundi para modal ventura.

“Pasar publik telah mencerminkan keinginan yang luar biasa untuk berinvestasi di kancah teknologi Asia Tenggara, dan orang tidak perlu melihat lebih jauh dari Sea Group untuk melihat sejauh mana minat pasar dalam opsi untuk berinvestasi ke perusahaan teknologi di kawasan itu,” ujar Gabriel Li, seorang rekan dari firma hukum Singapura Withers KhattarWong.

Sebagai perusahaan teknologi yang mencakup e-commerce, video game, dan pembayaran, Sea Group adalah anak emas Asia Tenggara untuk pasar publik. Meskipun harga sahamnya datar selama lebih dari dua tahun, pemegang saham meraup 400% keuntungan di kertas di tahun 2020 saja.

Itu menambah kapitalisasi pasar sebesar $6 miliar ke Sea. Ini beberapa kali lebih banyak dari pertumbuhan Indeks Komposit NYSE pada periode yang sama, sebut Gabriel, dan dapat mendorong perusahaan teknologi lain untuk membuka garda depan persaingan baru, kali ini di pasar modal. “Perlombaan untuk tercatat kemungkinan merupakan bagian dari persaingan abadi untuk mendapatkan pangsa pasar. Ini hanyalah salah satu manifestasi terbaru mengingat, sekarang, sebagian besar akan merasa bahwa daftar akan jadi sangat bermanfaat. Dan sebagian besar akan mencoba meniru pengalaman Sea Group,” ujar Gabriel.

Saat ini, hanya ada sedikit pilihan bagi investor yang ingin memasukkan uangnya ke sektor teknologi kawasan. Menjadi salah satu firma pertama yang memperoleh simbol ticker di New York sama saja dengan memanfaatkan kesempatan yang ada. “Kelangkaan opsi kemungkinan akan mengarah pada penilaian yang lebih baik,” kata Gabriel, terutama karena perusahaan Asia Tenggara berada di radar investor Tiongkok dan Amerika sebagai opsi yang layak untuk mendiversifikasi portofolio. “Investor ini tidak hanya mencari peluang pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di Asia Tenggara, tetapi juga mencari teknologi dan solusi yang lebih baru sebagai area pertumbuhan yang dapat meningkatkan portofolio yang ada.”

Sementara itu, Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura, Jidobox, percaya bahwa minat investor pada perusahaan bergantung pada fundamental ekonomi tempat mereka beroperasi.

“Ada dua jenis investor utama — ritel dan institusional. Investor ritel boleh membeli ‘pasar Indonesia’ daripada Gojek atau Tokopedia,” kata Masana. “Mereka tahu Indonesia memiliki populasi yang besar dan ekonomi yang berkembang, yang membuat mereka tertarik untuk membeli saham teknologi Indonesia. Investor institusional membangun portofolio untuk melindungi nilai risiko, sehingga mereka akan memilih perusahaan yang memainkan peran penting dalam perekonomian negara mereka. ”

Takahashi berpendapat bahwa investasi di Indonesia atau perusahaan Asia Tenggara akan menjadi pelengkap bagi sebagian besar investor. “Investor tidak membutuhkan banyak unicorn di Asia Tenggara. Mereka hanya perlu merasakan sebagian dari pertumbuhan ekonomi kawasan. Misalnya, menurut saya orang Amerika tidak akan berinvestasi di Grab sebanyak yang mereka investasikan di Apple, karena mereka tidak familiar dengan perusahaannya.”

Seperti Gabriel Li, Masana setuju bahwa perusahaan yang melakukan IPO pertama di antara keempatnya akan dinilai dengan valuasi yang lebih tinggi.

Mampukah perusahaan teknologi Asia Tenggara mencapai bursa Tiongkok?

Banyak investor institusional menikmati keuntungan luar biasa melalui kesuksesan perusahaan Tiongkok di pasar saham AS. Namun, kebuntuan geopolitik antara AS dan Tiongkok telah meninggalkan tanda tanya atas masa depan perusahaan Tiongkok yang terdaftar di New York. Ketegangan ini bahkan mungkin menghalangi perusahaan baru untuk mendaftar di bursa saham Amerika, menurut GlobalData, sebuah perusahaan analitik. Faktanya, sejumlah perusahaan Tiongkok sedang mempertimbangkan secondary listings yang lebih lokal di Hong Kong.

Itulah mengapa perusahaan-perusahaan dari Asia Tenggara mungkin menarik bagi investor di AS. Wilayah ini diakui sebagai ekonomi terbesar keempat di dunia. Ini adalah rumah bagi populasi muda yang merasa nyaman dengan alat teknologi baru yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Secara keseluruhan, Asia Tenggara memiliki 400 juta orang yang bergerak online, dan jumlah itu akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Ini berarti potensi pertumbuhan yang luar biasa mungkin diambil oleh investor asing, menurut Gabriel. “Masuknya dana ke Asia Tenggara mungkin terus meningkat karena semakin mendapat pengakuan sebagai pasar berkembang.”

Bagaimanapun, fragmentasi pasar di Asia Tenggara dapat menimbulkan tantangan, dan fundamental ekonomi regional tidak sekokoh Tiongkok, sehingga tidak mungkin perusahaan teknologi Asia Tenggara melihat keriuhan yang sama di pasar saham layaknya beberapa perusahaan Tiongkok, ujar Masana. “Tiongkok sudah memiliki sekitar 300 juta masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga memiliki daya beli negara maju. Ini perbedaan yang signifikan dari Asia Tenggara,” ujarnya.

Meskipun raksasa teknologi Asia Tenggara mungkin memiliki rencana bisnis jangka panjang yang menjanjikan, harga saham mereka mungkin akan tetap stagnan atau bahkan turun setelah debut mereka, seperti halnya Sea Group.

“Jika keuangan mereka tidak menarik, mereka tidak akan bisa menarik investor. Mayoritas investor di pasar saham AS tidak mengenal Asia Tenggara dan Anda mungkin tidak ingin berinvestasi di aset yang tidak Anda ketahui,” sebut Masana. “Kecuali raksasa teknologi ini dapat membuktikan bahwa mereka akan tumbuh pesat seperti Sea Group, tidak ada yang akan memperhatikan perusahaan yang merugi di negara yang asing dan jauh.”

The US Stock Exchange- Photo by Aditya Vyas on Unsplash
Bursa Efek AS mungkin akan segera menjadi rumah bagi simbol ticker dari lebih banyak raksasa teknologi di Asia Tenggara. Foto oleh Aditya Vyas dari Unsplash

Kapten yang gigih

Salah satu investor besar telah menjadi pendorong konstan dalam perjalanan membawa perusahaan teknologi Asia Tenggara dari swasta ke publik. Masayoshi Son dari SoftBank berusaha mengatur monopoli dengan menggabungkan Grab dan Gojek, dan dia dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger Gojek dan Tokopedia.

Mungkin tahun 2020 — dengan pandemi, perjalanan liar di pasar saham, dan pergeseran signifikan dalam cara kita berinteraksi satu sama lain — telah memberi SoftBank dosis chutzpah. Hal itu berubah dari menderita kerugian besar pada awal tahun 2020 menjadi meraup keuntungan kertas yang sangat besar menjelang akhir tahun. Banyak valuasi perusahaan portofolionya yang telah melonjak.

“Banyak kesuksesan SoftBank di kuartal terakhir bermuara pada Visinya — pun intended. Kemampuan Masayoshi Son untuk berinvestasi secara agresif dalam teknologi yang akan mengubah pasar telah terbayar dengan baik, dan saya pikir kenaikan mereka akan terus berlanjut karena lebih banyak perusahaan portofolio SoftBank memutuskan untuk tercatat,” kata Gabriel.

Secara ambisius, SoftBank dilaporkan sedang mempersiapkan setidaknya enam lagi dari perusahaan portofolionya untuk go public tahun ini. Salah satunya adalah Tokopedia. Analis memproyeksikan IPO ini akan memberikan SoftBank lebih banyak putaran kemenangan setelah penawaran DoorDash dan KE Holdings (Beike) tahun lalu. Selain itu, gerakan Son sulit dibaca oleh orang luar.

“SoftBank secara tradisional dan teratur mengejutkan seluruh pasar dan analis dengan gerakan yang sangat kontroversial dan terbukti sukses. Karena itu, kami tau faktanya bahwa menimbun uang tidak ada dalam DNA Softbank dan ini akan menjadi berita yang menarik untuk diikuti,” tambah Gabriel.

Salah satu perusahaan cek kosong Softbank, SVF Investment Corp, mengumpulkan USD525 juta di bulan Januari. Bulan lalu, konglomerat Jepang mengajukan dua SPAC lagi, yang diberi nama SVF Investment Corp 2 dan SVF Investment Corp 3, yang bertujuan untuk mengumpulkan lebih dari USD 632 juta setelah penjatahan berlebih. Target merger mereka berada di sektor yang mendukung teknologi seperti teknologi komunikasi seluler, kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi cloud, menurut laporannya. Itu cukup untuk menjelaskan perusahaan teknologi mana pun di planet ini, tetapi akan adil untuk menunjuk ke perusahaan yang telah menerima cek dari Dana Visi SoftBank.

Untuk saat ini, belum jelas kapan Grab, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka akan meraih simbol ticker — atau bahkan yang lebih dulu. Tetapi satu kepastian adalah bahwa go public berarti perusahaan-perusahaan ini akan menghadapi pengawasan dari regulator serta publik, jadi mereka harus menunjukkan nilai mereka dan mempertahankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan. IPO mereka akan menjadi terobosan besar bagi kancah teknologi Asia Tenggara. Pertanyaannya adalah: Setelah Sea Group, siapa yang akan menjadi peruntungan baru unicorn ini?


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Mampukah Raksasa Bank Syariah Indonesia Memberdayakan Ekosistem Fintek Syariah Negara?

Netti Husna adalah guru biologi sekolah menengah negeri di Tangerang Selatan, di perbatasan barat daya Jakarta. Di malam hari, Husna mengajar bahasa Arab di teras depan rumahnya, tempat anak-anak keluarga Muslim berkumpul untuk membaca bahasa resmi Alquran. Sebagai Muslim yang taat, Husna melakukan yang terbaik untuk menjalani hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Dia mengikuti aturan yang telah dipetakan oleh generasi taat agama, termasuk bagaimana dia menangani masalah keuangannya. Wanita berusia 50 tahun ini sangat cermat dalam memilih layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhannya.

“Saya tidak menggunakan kartu kredit dan saya tidak pernah meminjam uang dari lembaga keuangan konvensional karena mereka mengenakan bunga, yang merupakan bagian dari riba, praktik yang dilarang dalam agama saya,” kata Husna kepada KrASIA. Kehati-hatian yang dia lakukan sekarang meluas ke produk tekfin. “Saya boleh saja dengan platform pembayaran mobile karena diperbolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia [MUI], tapi saya tidak menggunakan fitur paylater karena mengusung prinsip seperti kartu kredit,” ujarnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, platform fintek berbasis syariah bermunculan di Indonesia, menawarkan berbagai layanan seperti pinjaman untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pembiayaan haji dan umrah (haji ke Mekkah). Bekerja sama dengan bank syariah, perusahaan fintech syariah membawa komunitas Muslim ke dalam layanan keuangan. Namun, fintech syariah tidak sekomprehensif platform konvensional.

Husna bersama jutaan Muslim lainnya di Indonesia mengandalkan ekonomi syariah dan opsi perbankan yang mematuhi hukum Islam. Salah satu prinsip fundamental adalah pelarangan bunga yang dibebankan oleh pemberi pinjaman dan investor. Sebaliknya, perbankan syariah menjalankan sistem di mana keuntungan dan kerugian dibagi. Penghasilan apapun dari spekulasi (qimar) atau kebetulan (maysir) juga dilarang, begitu juga dengan partisipasi dalam kontrak-kontrak yang mengandung resiko berlebihan (gharar), seperti short selling di pasar saham dan komoditas. Selain itu, dana yang disimpan ke lembaga perbankan syariah tidak digunakan untuk mendukung industri yang haram — berdosa menurut hukum Islam — seperti produksi atau penjualan minuman beralkohol dan produk daging babi, perjudian, dan apa pun yang berkaitan dengan pornografi.

Ada 225 juta Muslim yang tinggal di Indonesia, populasi Muslim terbesar di satu negara. Guna memajukan ekonomi syariah, Presiden Joko Widodo meluncurkan Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 1 Februari dengan menggabungkan tiga bank BUMN — Bank BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan Bank BNI Syariah — menjadikannya bank syariah terbesar negara. BSI merupakan tonggak baru perekonomian Islam di Indonesia. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya mengharapkan BSI menjadi salah satu lembaga perbankan syariah terbesar di dunia.

Husna adalah nasabah lama Bank Syariah Mandiri. Dia tidak yakin bagaimana merger akan berdampak pada pelanggan seperti dia, tetapi dia berharap BSI dapat memberikan layanan syariah yang lebih baik dan lebih komprehensif bagi umat Islam.

Gambar oleh Shermin Shu/KrASIA.

Berbagi infrastruktur untuk fintek syariah

BSI memiliki modal inti sekitar Rp20,4 triliun (USD 1,4 miliar). Mereka bertujuan untuk meningkatkan jumlah tersebut hingga Rp 30 triliun (USD 2,1 miliar) pada tahun 2022. Hal ini akan memperkuat infrastruktur fintek syariah, menurut Lutfi Adhiansyah, CEO dari platform fintech Ammana.

“Tidak ada bank syariah yang menerbitkan e-money sendiri, karena beberapa layanan digital seperti rekening lender fund dan payment gateway hanya bisa diterbitkan oleh BUKU 4 bank [yang memiliki prasyarat untuk memiliki modal inti Rp30 triliun]. Layanan mobile banking saat ini juga sangat terbatas, pelanggan tidak dapat membuka rekening online atau menggunakan tanda tangan digital. Teknologi bank syariah tidak secanggih bank konvensional,” kata Lutfi kepada KrASIA. Ia juga menjabat sebagai kepala cluster syariah di AFPI, asosiasi fintech lending Indonesia.

Dengan beberapa perubahan mendasar yang bisa dijadikan momentum oleh BSI, platform fintek bisa menyatu dengan megabank halal dan menyadap segmen di luar lending, seperti credit scoring, e-KYC, tanda tangan digital, dan lain sebagainya, ujar Lutfi. Sederhananya, skala BSI memberikan peluang untuk menjangkau lebih jauh dari tiga institusi pembentuk yayasannya.

Bank-bank yang menjadi tulang punggung BSI akan mengintegrasikan data nasabahnya sehingga memudahkan perusahaan tekfin yang bekerja sama dengan BSI untuk menawarkan layanan kepada nasabahnya. Secara makro, kehadiran Bank Syariah Indonesia menunjukkan niat pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah di skala regional dan global, setara dengan Malaysia dan Maybank Islamic, bank syariah terbesar di Asia Tenggara, bahkan Arab Saudi dan Bank Al Rajhi, yang merupakan bank Islam terbesar di dunia.

Dima Djani, co-founder dan CEO platform P2P lending Alami Sharia, berharap BSI dapat merumuskan dukungan baru untuk ekosistem fintek syariah, terutama terkait dengan pilihan pendanaan yang sebelumnya terbatas, yang meliputi pemberi pinjaman kelembagaan untuk P2P lending dan pembiayaan ekuitas untuk perusahaan itu sendiri. “Kalau kita lihat bank konvensional seperti Bank BRI atau Bank Mandiri, mereka menyediakan infrastruktur end-to-end hingga platform P2P lending biasa. Mereka memiliki perpanjangan tangan dalam bidang VC yang memberikan ekuitas untuk fintech. Dari sisi operasional, mereka menyediakan rekening dana pemberi pinjaman yang memudahkan pemberi pinjaman melakukan transaksi pendanaan di platform fintech. Hal ini yang masih kurang dalam fintech syariah. “Dima menambahkan dengan bertambahnya aset, BSI bisa mengarahkan lebih banyak dana melalui platform fintech.

Namun, dia meredam prediksi itu dengan ekspektasi yang lambat. “Proses merger sangat rumit, apalagi melibatkan tiga bank besar. Mereka harus mengintegrasikan sistem, database, serta tim, termasuk yang terkait dengan kemitraan fintek. Butuh waktu bagi bank untuk menyelesaikan integrasi sebelum beralih ke rencana selanjutnya,” ujar Dima.

Dima menilai, banyak lembaga keuangan syariah yang kesulitan bersaing dengan entitas yang menawarkan layanan konvensional, baik dari segi harga, jangkauan, maupun teknologi. Itu sebabnya pemerintah sangat mendukung BSI. Tapi perlu adanya percepatan, dua kali lebih cepat dari bank konvensional yang sudah dilengkapi dengan teknologi canggih. Mungkin suatu saat BSI juga akan bertransformasi menjadi bank digital syariah, tapi itu tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat,” ujarnya.

Geliat fintek syariah dan ekonomi Islam

Indonesia adalah rumah bagi 12,7% Muslim dunia, porsi yang lebih besar dari negara lain. Tapi itu sendiri tampaknya tidak cukup untuk menggairahkan ekonomi syariah negara. Indonesia masih tertinggal dari Malaysia, yang memimpin industri secara global, menurut Laporan Negara Ekonomi Islam Global yang diterbitkan pada tahun 2020 oleh Salaam Gateway, sebuah platform berita yang mencakup perkembangan ekonomi yang berfokus pada Muslim. Indonesia tertinggal di urutan keempat.

Pada Juni 2020, aset perbankan syariah mencapai Rp545,39 triliun (USD 39,22 miliar), 9,22% lebih tinggi tahun-ke-tahun, dan total pendanaan yang disalurkan mencapai Rp377 triliun (USD27,1 miliar), menurut data yang dihimpun oleh otoritas keuangan negara, OJK. Pangsa pasar perbankan syariah sebesar 6,18%, dengan 196 lembaga yang terdiri dari 14 bank umum syariah, 20 unit usaha syariah, dan 162 bank pembiayaan rakyat syariah.

Di antara populasi, literasi keuangan syariah masih rendah, sekitar 8% pada 2019, sedangkan literasi keuangan nasional di angka 38%, menurut data OJK.

Startup fintech yang beroperasi di segmen niche ini harus mampu menghadapi berbagai tantangan seperti rendahnya literasi keuangan syariah dan infrastruktur yang belum lengkap. Dari 149 fintech lender yang memiliki lisensi dan terdaftar di OJK per Januari 2021, hanya sepuluh yang sepenuhnya syariah. Tahun lalu, OJK mencabut lisensi platform fintech syariah Syarfi Teknologi, dan membatalkan pendaftaran untuk yang bernama Danakoo karena tidak dapat memenuhi persyaratan OJK.

Meski demikian, Luthfi Adhiansyah optimis fintech syariah, khususnya lending, akan semakin luas penggunaannya dan stabil di tahun-tahun mendatang. “Selama pandemi, platform pinjaman syariah menyalurkan sekitar Rp 1,7 triliun, naik dari Rp 1 triliun tahun lalu. Ini menunjukkan peningkatan permintaan di sektor ini,” ujarnya.

Ada lembaga keuangan dan perusahaan fintek yang menawarkan layanan keuangan konvensional maupun syariah. Diversifikasi dimaksudkan untuk melayani berbagai jenis klien, tetapi terkadang menjadi bumerang — pelanggan konservatif meragukan keaslian produk keuangan yang sesuai dengan syariah jika mereka yakin uang mereka dapat dicampur dengan uang tunai yang ditangani dengan cara non-Islam.

Lutfi meyakini perlunya pemisahan yang tegas antara layanan keuangan konvensional dan syariah guna membangun dan menjaga kepercayaan nasabah. Ini adalah kunci untuk membuat keuangan Islam dapat digunakan secara luas.

Halangan lainnya adalah kurangnya dana. Sejauh ini, tidak ada perusahaan modal ventura yang didedikasikan untuk mendukung platform syariah, dan investor lebih menyukai penyedia layanan keuangan yang menjalankan opsi keuangan Islami bersama dengan layanan konvensional. Itu berarti platform khusus sering diabaikan ketika investor mencari target untuk menyuntik dana.

Satu-satunya startup fintech syariah yang baru-baru ini mendapatkan modal baru adalah Alami, yang mengantongi USD 20 juta dalam putaran pendanaan ekuitas dan hutang bulan lalu, setelah putaran awal yang dipimpin oleh Golden Gate Ventures pada tahun 2019. Startup tersebut mengaku sebagai yang pertama mengumpulkan “Skema pendanaan VC berbasis syariah,” mengacu pada struktur pengaturan modalnya yang sesuai dengan aturan Islam. Dalam wawancara sebelumnya dengan KrASIA, Dima menjelaskan skema bagi hasil syariah mirip dengan pembiayaan ekuitas.

“Ada beberapa VC yang tertarik menjajaki fintech syariah, namun akhirnya lebih memilih berinvestasi di perusahaan biasa yang memiliki unit usaha syariah, karena dianggap lebih mudah dan tidak terlalu berisiko. Menurut saya penting bagi regulator untuk memisahkan kedua jenis bisnis tersebut, dan saya berharap BSI dapat menginspirasi institusi lain, termasuk fintek, untuk melakukan spin off unit bisnis syariahnya menjadi perusahaan yang sepenuhnya syariah,” jelas Lutfi.

Terlepas dari banyak tantangan, orang dalam industri percaya bahwa bank syariah raksasa yang baru didirikan dapat menjadi fondasi bagi fintech syariah di Indonesia dan sekitarnya, membantu ceruk segmen ini tumbuh dan bersaing dengan pemain konvensional yang sudah mapan.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Pembaruan Fitur dan Tampilan: Dapatkah Augmented Reality Meningkatkan Penjualan Produk Kecantikan?

Anda mungkin sudah terbiasa berbelanja online. Namun, banyak yang percaya bahwa betapapun mulusnya pengalaman di e-commerce, beberapa hal — seperti kosmetik — perlu dilihat secara langsung, di toko, dengan cara tradisional.

Alas bedak kulit harus sesuai dengan warna kulit. Menemukan warna merah yang tepat pada lipstik juga bukanlah pekerjaan mudah. Namun, berbagai merek perawatan kulit dan riasan asli digital bertarung untuk menjual riasan secara online dengan memperkenalkan alat virtual baru.

Dian Permatasari, seorang staf administrasi sebuah perusahaan perjalanan yang berbasis di Jakarta, suka menyebut dirinya sebagai “beauty enthusiast”. Selama ini ia telah membeli produk kecantikan baru secara online atau melalui katalog, tentunya tidak selalu mulus.

“Terkadang, sulit bagi saya untuk membayangkan apakah warna lipstik yang saya lihat online cocok dengan saya atau tidak,” katanya. Shade yang dicetak di katalog juga seringkali berbeda dari warna sebenarnya, katanya.

Sejak tahun lalu, dia telah menggunakan fitur uji coba riasan virtual baru yang diperkenalkan oleh L’Oréal Group di platform e-commerce Shopee Sea, yang memungkinkannya untuk memeriksa apakah warna krim bibir baru, atau alas bedak kulit, akan cocok pada wajahnya, semua berkat augmented reality. “Saya berharap lebih banyak merek dapat menyediakan fitur ini karena meminimalisir risiko membeli warna yang salah,” katanya. Namun, aplikasinya jauh dari kata sempurna, karena warna terkadang juga terlihat “terlalu palsu” di layar, menurut Dian.

Meningkatnya adopsi aplikasi kecantikan virtual

Banyak platform e-commerce mulai menyediakan fitur uji coba riasan virtual sejak 2018 di Indonesia, meskipun adopsi pengguna meningkat sejak pembatasan berkala COVID-19, karena orang-orang terpaksa tinggal di rumah.

Fitur yang disebutkan oleh Dian, bernama Shopee Beauty Cam, diperkenalkan oleh L’Oréal Group di Shopee untuk merek perusahaan L’Oréal, Maybelline, dan Nyx. Perusahaan multinasional Prancis ini memasuki dunia kecantikan AR dengan mengakuisisi perusahaan teknologi kecantikan Kanada ModiFace pada tahun 2018, sebagai bagian dari strategi akselerasi digital L’Oréal untuk meningkatkan penjualan online.

Untuk mengembangkan fungsi uji coba riasan virtual, ModiFace melatih perangkat lunaknya secara manual menggunakan 22.000 gambar wajah untuk menutupi berbagai warna kulit, menurut situs web perusahaan. ModiFace juga mengelola aplikasi serupa untuk memvisualisasikan warna rambut yang berbeda, juga dipasarkan oleh L’Oréal, yang disebut Hair Color.

Aplikasi serupa lainnya, bernama AR Makeup Try-On, diluncurkan pada Oktober 2020 oleh JD.id, usaha patungan e-commerce dari Gojek dan raksasa Cina JD.com. Perusahaan makeup lokal seperti Wardah, Emina, dan Somehinc yang menjual produknya secara eksklusif di JD.id sudah menggunakan fungsi ini sejak debutnya.

Selain itu, merek kosmetik Indonesia Wardah bekerja sama dengan perusahaan teknologi kecantikan yang berbasis di Taipei, Perfect Corp untuk mengembangkan fitur percobaan di situs web perusahaan, karena penjualan produk melalui saluran e-commerce “berkontribusi secara signifikan” terhadap pendapatan perusahaan pada tahun 2020, menurut salah satu Juru bicara Wardah.

Google juga bermitra dengan ModiFace dan Perfect Corp untuk meluncurkan fitur riasan virtual di Google Shopping pada Desember 2020. Fungsinya untuk memungkinkan pengguna untuk memvisualisasikan warna lipstik dan eyeshadow dari merek seperti L’Oréal, MAC Cosmetics, Black Opal, dan Charlotte Tilbury, di antaranya orang lain.

Berikut cara kerja alat riasan virtual: Pengguna mengakses produk yang mereka inginkan dari platform e-commerce atau situs web merek, dan setelah mengklik tombol “coba sekarang”, mereka dapat melihat representasi realitas tertambah secara langsung tentang seperti apa produk itu nantinya pada kulit berkat kamera smartphone atau laptop. Pengguna dapat memilih corak warna yang berbeda, serta efek kecantikan lainnya, dan kemudian menyimpan foto mereka dengan riasan virtual.

“Ini seperti menggunakan filter Instagram, tapi bisa juga diaplikasikan di kehidupan nyata karena produknya bisa langsung dibeli,” kata Ayu Mutiara Ningsih, pengguna Shopee, kepada KrASIA.

Maybelline dari L’Oréal Group memungkinkan konsumen untuk mencoba produk riasan secara virtual. Screenshot dari situs Maybelline.

Melayani permintaan yang terus meningkat

Semakin banyak platform yang mengadopsi fitur AR sebagai cara tambahan untuk memikat konsumen agar membeli produk kecantikan secara online, kata Daniel Surya, salah satu pendiri dan ketua perusahaan teknologi informasi Indonesia Augmented Reality & Co, kepada KrASIA.

Aplikasi kosmetik AR juga merupakan hasil dari perubahan perilaku konsumen, dimana e-commerce perlahan menjadi saluran utama untuk membeli produk kecantikan, tambah Surya.

Karena semakin banyak orang yang mempertimbangkan untuk membeli kosmetik daring, kemampuan untuk memvisualisasikan diri mereka dengan tampilan baru mungkin akan membuat mereka terpesona. “Sebagian besar merek ingin menambahkan fitur AR di platform mereka karena ingin mendorong lebih banyak penjualan,” kata Surya.

Sektor e-commerce Indonesia diperkirakan akan mencapai USD 101 miliar pada tahun 2025, dengan bahan makanan, peralatan rumah tangga, dan produk perawatan pribadi sebagai tiga faktor pendorong utama, menurut laporan oleh firma riset RedSeer.

Namun, aplikasi riasan virtual perlu mengatasi beberapa keterbatasan teknis agar dapat diadopsi secara luas oleh pengguna. “Terkadang fitur macet, dan saya tidak bisa mengklik tombol coba,” kata Dian, mengacu pada BeautyCam Shopee.

“Saya berharap mereka dapat meningkatkan kualitas filter dan gambar, karena menurut saya kontras warnanya terlalu tinggi dan bayangan lipstik tidak terlihat alami,” tambahnya.

Faktor-faktor seperti kecerahan ruangan dan kamera gadget juga memengaruhi kualitas visualisasi AR. “Saat kamar saya terlalu gelap, filternya gagal menyatu dengan wajah saya dan terlihat terlalu kartun,” ujar seorang pembeli online Ningsih.

Surya menekankan bahwa kecepatan internet yang rendah di negara tersebut merupakan masalah untuk adopsi utama teknologi AR, serta kualitas gadget. “AR membutuhkan perangkat dengan kamera dan prosesor berkualitas tinggi, yang tidak menjadi masalah bagi pengguna smartphone kelas atas. Tapi orang Indonesia lebih suka smartphone kelas bawah yang terkadang tidak kompatibel [untuk AR]. ”

Fitur uji coba kosmetik virtual baru Google untuk Google Belanja dikembangkan dalam kemitraan dengan ModiFace dan Perfect Corp. Sumber milik Google.

Dampak aplikasi riasan AR dalam penjualan juga belum terlihat. Survei internal dari Perfect Corp menemukan bahwa pengguna 1,6 kali lebih cenderung membeli produk kecantikan setelah menggunakan fitur uji coba dibandingkan dengan mereka yang tidak. Namun, survei tersebut dilakukan langsung oleh Perfect Corp, sebuah perusahaan yang melihat teknologi percobaan virtual sebagai lini bisnis utamanya. Perusahaan ini paling dikenal konsumen karena aplikasi kecantikannya, YouCam Makeup, yang menyediakan sampel riasan virtual dari merek global seperti L’Oréal dan Estée Lauder kepada pengguna.

Pengguna yang diwawancarai oleh KrASIA mengatakan bahwa fitur uji coba AR tidak terlalu memengaruhi keputusan pembelian mereka, karena mereka menggunakannya lebih hanya untuk bermain dengan berbagai kemungkinan produk, corak, dan warna. Namun, kemungkinan fitur tersebut, secara tidak sengaja, dapat memacu keinginan untuk membeli produk tertentu.

“Menurut saya yang terpenting adalah bagaimana merek memanfaatkan AR untuk memberikan konten yang menarik dan menarik kepada konsumen. AR hanyalah sebuah alat, ”ujarnya. “Seperti musisi dan gitar. Meskipun gitar itu mahal, tetapi musisi tidak dapat memainkannya dengan baik, tidak ada yang akan mendengarkannya dan gitar itu tidak akan berguna.”

Perluas adopsi menggunakan teknologi teranyar

Adopsi AR di pasar kecantikan Indonesia masih dalam tahap awal, menurut Surya, namun pasar tersebut akan terus berkembang di masa mendatang. Karena negara ingin mengadopsi broadband 5G pada tahun 2024, penggunaan fitur AR akan menjadi lebih umum.

“Ini tidak akan terbatas pada percobaan. Kita bisa melihat fitur-fitur seperti skin analysis atau prediksi, apalagi dengan dukungan peralatan AR, seperti kacamata,” kata Surya. “Pengguna dapat mengaplikasikan riasan virtual tidak hanya di wajah mereka sendiri tetapi juga di wajah orang lain. Seperti melihat penampilan teman Anda dalam gaya riasan tertentu, melalui kacamata.”

Teknologi ini juga dapat digunakan secara luas di toko tradisional. Perusahaan seperti Meitu dan ModiFace telah memasang perangkat cermin pintar di toko offline di negara-negara seperti Amerika Serikat, Italia, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura. Mirip dengan aplikasi smartphone, perangkat memungkinkan pelanggan memakai produk yang diinginkan secara virtual, selain itu juga dapat merekomendasikan gaya tertentu sesuai dengan warna kulit atau bentuk wajah pengguna.

Namun, merek dan platform akan membutuhkan bergepok-gepok untuk mendukung pengembangan AR, analis menjelaskan. “Untuk membangun database sendiri dengan produk, warna kulit, fitur wajah, dan lainnya, Anda harus mengeluarkan biaya puluhan juta dolar. Alat AR berperforma tinggi memiliki biaya tinggi,” jelas Surya.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Terlalu Kolosal untuk Gagal: Akankah Terjadi Merger Tokopedia dan Gojek?

Dalam wawancara tahun 2019 dengan mantan menteri perdagangan Indonesia Gita Wirjawan, salah satu pendiri dan CEO Gojek Nadiem Makarim mendapat pertanyaan apakah dia pernah membayangkan masa depan di mana Gojek menjadi satu-satunya pemain di pasar. Nadiem mengatakan bahwa monopoli lebih cocok untuk perusahaan yang tidak mengenakan biaya kepada konsumen untuk menggunakan layanan mereka, seperti Google dan Facebook. Aplikasi super, yang menjadi cita-cita Gojek, harus menjadi bagian dari duopoli, katanya.

Selama bertahun-tahun, Gojek dan Grab telah menarik garis pertempuran mereka dalam layanan on-demand, dimulai dengan ride-hailing, kemudian pengiriman makanan, fintech, dan layanan gaya hidup. Kemudian, pada tahun 2020, mereka menjadi berita utama ketika Masayoshi Son dari SoftBank dikabarkan akan mengatur penggabungan kedua perusahaan. Diskusi gagal pada bulan Januari tahun ini, kemungkinan karena ketidaksepakatan mengenai kepemimpinan regional dalam usaha gabungan tersebut. Kedua perusahaan melanjutkan persaingan mereka, kembali ke pola yang dijelaskan Nadiem.

Namun, Gojek kini dikabarkan sedang berdiskusi dengan sesama raksasa teknologi Indonesia, Tokopedia, untuk merger yang berbeda: merger yang tidak akan menciptakan monopoli, melainkan berhadapan langsung dengan Sea Group — andalan di sektor teknologi Asia Tenggara yang mendominasi pengiriman makanan, e-commerce, serta pembayaran di wilayah ini — dan Grab, pesaing utama Gojek.

Gojek dan Tokopedia adalah dua startup teknologi terbesar dan tersukses di Indonesia, dengan valuasi masing-masing sekitar USD 10,5 miliar dan USD 7,5 miliar. Gojek memiliki sekitar 2 juta mitra pengemudi dan 900.000 pedagang UKM, sementara Tokopedia mengklaim memiliki 9,9 juta pedagang di pasarnya. Jika kedua perusahaan menggabungkan operasi mereka, hasilnya akan menjadi ekosistem teknologi yang kuat yang menghubungkan jutaan pelanggan, pedagang, serta mitra pengemudi — yang berakar di Indonesia tetapi memiliki jejak regional.

Baik Gojek dan Tokopedia menolak berkomentar mengenai spekulasi terkait potensi merger mereka, tetapi laporan media baru-baru ini menunjukkan kedua perusahaan sedang menjajaki opsi seperti struktur perusahaan induk, di mana Gojek dan Tokopedia masih dapat beroperasi secara independen namun saling mengakses ekosistem satu sama lain.

Merger antara Gojek dan Tokopedia dapat mendorong lebih banyak sinergi antara kedua perusahaan, daripada layanan yang tumpang tindih, sebut Aldi Adrian Hartanto, VP investasi di MDI Ventures, perpanjangan tangan investasi dari perusahaan BUMN Telkom Group, juga investor di Gojek. .

“Mereka akan memiliki kemampuan untuk berjalan mandiri tanpa mengganggu bisnis satu sama lain. Dan mereka akan memiliki narasi yang jauh lebih besar sebagai grup teknologi besar terkemuka di Indonesia yang mendominasi segmen internet konsumen seperti ride-hailing, pesan-antar makanan, e-commerce, dan pembayaran,” ujarnya kepada KrASIA.

Misalnya, Tokopedia akan memiliki akses ke sumber logistik Gojek untuk layanan pengiriman yang lebih efisien, sedangkan dompet digital Gojek, GoPay, dapat meningkatkan jumlah transaksinya dengan memanfaatkan pengguna Tokopedia. Usaha kecil dan menengah (UKM) di Tokopedia juga akan dapat mengakses layanan keuangan, termasuk kredit, yang ditawarkan oleh Bank Jago yang didukung oleh Gojek.

Merger tersebut juga akan disambut baik oleh komunitas pengemudi Gojek yang sebelumnya menentang gagasan persatuan antara Grab dan Gojek, karena pengemudi akan melihat saluran pendapatan baru, seperti layanan pengiriman instan atau same-day delivery yang ditawarkan oleh Tokopedia.

Gojek dan Tokopedia memiliki DNA investor yang sama. Kedua perusahaan tersebut didukung oleh Sequoia Capital India, Google, dan Temasek. SoftBank, sementara itu, adalah pemegang saham terbesar Tokopedia, dan CEO-nya, Masayoshi Son, dilaporkan telah memberikan restunya kepada potensi merger tersebut.

Entitas gabungan Gojek-Tokopedia akan bernilai lebih dari USD 18 miliar, melampaui valuasi Grab sebesar USD 14,3 miliar. Gojek dan Tokopedia akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk meluncurkan produk atau layanan baru, dan mereka akan berada dalam posisi yang kuat untuk go public.

Aldi mengatakan kedua perusahaan itu tengah berusaha untuk go public melalui akuisisi perusahaan bertujuan khusus, atau SPAC. Penggabungan akan membawa “nilai besar ke pasar IPO”, katanya.

Dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Perusahaan jenis ini tidak memiliki model bisnisnya sendiri di luar transaksi keuangan ini. Ketika proses IPO tradisional mahal dan memakan waktu, SPAC menjadi opsi penggalangan dana yang lebih murah dan efisien, yang menjadi sangat menarik bagi perusahaan rintisan teknologi di Asia.

Tokopedia menjadi e-commerce peringkat kedua setelah Shopee / Tokopedia

Pertarungan mencapai profitabilitas

Sejak 2019, perusahaan teknologi regional tersebut mengatakan bahwa mereka berniat untuk mencapai profitabilitas dan segera go public untuk menghasilkan keuntungan bagi investor. Baik Gojek dan Grab telah menegaskan tujuan ini, tetapi tekanan kian meningkat sejak tahun lalu, karena pandemi telah menyebabkan perubahan signifikan pada perusahaan teknologi terkemuka di Asia Tenggara dalam memperoleh pendapatan.

“Tidak masuk akal bagi investor modal swasta memotong cek untuk entitas dengan skala raksasa seperti itu,” kata Aldi, menjelaskan bahwa kedua perusahaan masih dalam tingkat EBITDA negatif, yang berarti mereka belum menghasilkan uang.

Masana Takahashi, pendiri firma penasihat akuntansi dan keuangan perusahaan yang berbasis di Singapura Jidobox, mengatakan bagi Gojek, mencari sekutu, seperti Tokopedia, mungkin merupakan cara teraman sebelum go public.

“Kalau Gojek cocok IPO sendiri, apakah ada motivasi untuk bicara dengan perusahaan lain [untuk merger]? Mungkin tidak. Gojek tampaknya belum siap untuk go public dengan apa pun alasannya. Mungkin secara finansial tidak begitu baik.” dia berkata.

Suntikan modal paling awal Gojek adalah pada tahun 2014, ketika mengumpulkan putaran Seri A sebesar USD 2 juta. “Gojek mengumpulkan miliaran dan investor mereka perlu keluar karena dana akan segera jatuh tempo,” jelas Takahashi. “Jatuh tempo dana VC biasanya tujuh sampai sepuluh tahun. Yang pasti, sebelum 2024, dana akan menuntut keluar dari Gojek. ”

Grab juga pertama kali mendapatkan investasi Seri A sebesar USD 10 juta pada tahun 2014, dan perusahaan tersebut dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan IPO di New York akhir tahun ini, di mana mereka dapat mengumpulkan lebih dari USD 2 miliar, penawaran saham luar negeri terbesar oleh sebuah perusahaan Asia Tenggara, menurut Reuters.

“Dengan aktivitas saat ini yang kami lihat seputar IPO secara global, serta peningkatan aktivitas SPAC di Asia, investor tampaknya memiliki minat yang besar untuk IPO yang berfokus pada Asia. Valuasi gabungan dapat membantu Gojek dan Tokopedia untuk menarik investor tertentu, tetapi yang lebih menarik adalah proposisi nilai gabungan yang dapat ditawarkan merger ini,” kata Zennon Kapron, direktur firma riset dan konsultasi fintech Kapronasia.

Gojek menggandeng 2 juta pengendara / Gojek

Menghadapi persaingan lokal

Baik Gojek maupun Tokopedia telah terjebak dalam persaingan yang ketat dengan Grab dan Group SEA di wilayah asalnya.

Shopee SEA telah melampaui Tokopedia sebagai situs e-commerce yang paling banyak dikunjungi pada kuartal ketiga tahun 2020 di Indonesia, berdasarkan data dari peringkat iPrice, sementara platform e-wallet ShopeePay telah mengungguli transaksi Gojek GoPay dan Ovo dari Juni hingga Agustus 2020 di negara ini, menurut penelitian Snapcart dan MarkPlus. Sea Group juga mulai menjajaki sektor perbankan digital di Indonesia.

Grab, di sisi lain, telah mengalahkan Gojek di sektor transportasi online Indonesia sejak 2018. Gojek mencapai pangsa pasar 64% pada tahun 2019, sementara itu memegang pangsa pasar 53% di sektor pengiriman makanan negara pada tahun 2020, menurut Momentum Works.

Perusahaan ride-hailing yang berkantor pusat di Singapura ini juga berinvestasi di LinkAja, sebuah platform pembayaran dengan jangkauan luas di kota-kota tier-2 dan tier-3 Indonesia, yang dapat memberikan akses ke basis pengguna yang lebih bervariasi dibandingkan dengan GoPay.

“Pembayaran adalah salah satu bisnis terpenting. Kehilangan hal itu bisa menuimbulkan masalah bagi Gojek,” ungkap Masana. “Indonesia merupakan pasar yang menarik karena ‘volume’, tetapi daya belinya masih rendah. Gojek dan Tokopedia perlu mengakuisisi saham besar-besaran di semua pasar tempat mereka beroperasi. Saya tidak punya alasan kuat untuk percaya Gojek akan memenangkan pasar internasional jikalau sebagai pemain lokal, mereka kalah di dalam negeri,” tambahnya.

Namun Zennon mengatakan, merger Gojek-Tokopedia akan memberi mereka amunisi baru untuk bersaing. “Saat Anda melihat keberhasilan aplikasi super lainnya di Asia, biasanya hal itu terjadi karena fungsi inti yang menciptakan ‘adiksi’ harian pada aplikasi.”

“Dalam kasus WeChat, hal itu adalah obrolan dan hiburan, sementara Alipay, e-commerce. Jika merger, Gojek dan Tokopedia akan memiliki proposisi nilai yang lebih komprehensif yang kemungkinan akan menarik lebih banyak pengguna, dan juga memungkinkan mereka untuk berbagi kumpulan data yang lebih komprehensif di backend,” tambah Zennon. Data tersebut akan memungkinkan entitas baru untuk menyediakan lebih banyak produk dan layanan, termasuk keuangan digital.

Secara internasional, Gojek juga lebih lemah dari Grab. Perusahaan berkembang pada 2018 di Vietnam dengan nama merek lokal, GoViet, dan pada 2019 di Thailand dengan Get. Namun, pada Juli tahun lalu, timnya mengumumkan penyatuan merek, yang menurut sumber KrASIA, merupakan “langkah yang sangat mahal” dan menambah kerugian finansial perusahaan.

Mengenai Tokopedia, perusahaan lebih memilih untuk tetap berpegang pada pasar dalam negeri dan belum berkembang secara internasional. Tidak jelas bagaimana persatuan antara Gojek dan Tokopedia akan meningkatkan daya saing mereka di pasar regional, karena kedua platform kehilangan taring di dalam dan luar negeri, menurut para ahli.

“Perusahaan yang lebih besar tidak selalu berarti perusahaan yang sukses secara global. GoJek – Tokopedia akan memiliki basis yang jauh lebih besar dari segi pasar, tetapi itu tidak menjamin kesuksesan internasional,” ujar Zennon.

“Ini seperti ‘dua pemain nomor dua’ bergabung untuk mencoba bersaing dengan pemain terkemuka,” sumber lain menambahkan.

Menyingkirkan Ovo?

Pihak ketiga yang mungkin mempersulit merger Gojek-Tokopedia adalah layanan pembayaran elektronik yang berbasis di Indonesia Ovo, yang merupakan penyedia pembayaran eksklusif untuk Tokopedia dan Grab di Indonesia saat ini.

Grab memegang 44,2% saham di Ovo, sementara Tokopedia memiliki 42%, menurut data perusahaan riset M2 Insights. Setelah merger dengan Gojek, kemungkinan besar Gojek mendorong platform fintechnya, GoPay, ke dalam ekosistem Tokopedia, sehingga mengikis eksklusivitas Ovo.

Selain itu, Tokopedia bisa jadi harus menjual sahamnya di Ovo, karena Bank Indonesia melarang satu perusahaan untuk memegang saham di lebih dari satu platform pembayaran. “Entitas yang akan merger akan mendorong agendanya agar Tokopedia memutus hubungan dengan Grab, yang akan bermanfaat bagi joint venture baru Gojek-Tokopedia,” kata Aldi.

Namun, seolah mengantisipasi potensi persatuan antara Tokopedia dan pesaing utama, Ovo telah mendiversifikasi hubungannya dengan platform e-commerce dengan menjalin kemitraan dengan Lazada, Zalora, dan Blibli sejak tahun lalu.

Untuk saat ini, Gojek dan Tokopedia masih bungkam tentang langkah selanjutnya dan bagaimana kerjasama dengan Ovo dapat berubah. Sementara itu, Ovo secara agresif menopang penawarannya di luar pembayaran. Perusahaan tersebut baru-baru ini bermitra dengan Zhong An untuk menciptakan pasar asuransi digital, dan meluncurkan produk investasi baru bulan lalu bekerja sama dengan platform reksa dana Bareksa, menunjukkan bahwa Ovo dapat melakukan lebih dari sekadar menangani transaksi e-commerce. Ruang layanan keuangan masih kurang dalam melayani populasi Indonesia, sehingga Ovo masih memiliki banyak ruang untuk berkembang — bahkan tanpa Tokopedia.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Cerita Startup: Nusantics dalam Usaha Memanjukan Penelitian Mikrobioma demi Menopang Struktur Kehidupan

Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama adalah tiga anak muda dari berbagai latar belakang yang memiliki rasa ingin tahu sangat besar: Putri merupakan ahli kimia, Kurniawan ahli di bidang teknik industri, dan Utama merupakan lulusan ilmu biomedis dengan pengalaman di bidang teknologi genomik. Ketiganya memiliki kepedulian yang sama: Masalah kesehatan yang disebabkan oleh degradasi lingkungan yang semakin hari semakin parah dan membahayakan masyarakat.

Para sahabat ini ingin mengetahui lebih lanjut tentang alasan di balik masalah tersebut, yang membuat mereka mempelajari dunia mikrobioma, ekosistem mikroorganisme yang kompleks termasuk bakteri, jamur, dan virus yang hidup di dalam dan di dalam setiap makhluk hidup di Bumi, termasuk tubuh manusia. Setiap orang memiliki profil mikrobioma yang unik. Hal ini memainkan peran penting dalam pengembangan sistem kekebalan.

Para ilmuwan percaya bahwa kombinasi mikrobioma yang sehat dari semua elemen di planet ini — lautan, tanah, manusia, hewan, dan tumbuhan — menopang struktur kehidupan. Oleh karena itu, memahami pentingnya keseimbangan mikrobioma dapat mengarah pada cara hidup yang lebih berkelanjutan bagi manusia dan lingkungan. Atas dasar pemikiran tersebut, grup ini mendirikan Nusantics pada tahun 2019, startup teknologi genom pertama dan satu-satunya di Indonesia.

(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.
(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.

“Genom adalah ‘cetak biru’ dari organisme. Kita tahu bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel yang membangun organ dan kemudian sistem organ, yang akhirnya menjadi satu manusia. Yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa 52% tubuh manusia terdiri dari mikrobioma, dan tanpa mikrobioma, kita tidak akan menjadi manusia yang berfungsi sepenuhnya,” kata CTO Nusantics Revata Utama kepada KrASIA.

“Kami menggunakan teknologi genom untuk mempelajari interaksi dan hubungan antara keanekaragaman mikrobioma dan manusia.”

Startup ini pertama kali memperkenalkan teknologinya ke industri kecantikan. Di labnya, Nusantics Hub, startup tersebut melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai dan menilai keragaman mikrobioma kulit. Mereka juga menyediakan layanan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit. Menurut Nusantics, mikrobioma yang beragam dan seimbang sangat penting untuk kulit yang sehat, jadi memahami keseimbangan mikrobioma dapat menghasilkan pilihan yang tepat tentang produk perawatan kulit yang sesuai dengan kondisi fisik alami seseorang.

“Kami memilih industri kecantikan karena itu merupakan sektor yang sangat menguntungkan dan tidak memiliki regulasi yang rumit. Penerapan teknologi skin microbiome juga relevan dengan kehidupan konsumen sehari-hari,” ungkap CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri.

Langkah selanjutnya startup ini adalah berkolaborasi dengan berbagai pemain di industri, seperti perusahaan perawatan kulit dan kosmetik, untuk mengembangkan produk ramah mikrobioma.

Bisnis inti Nusantics terletak pada kapabilitas R&D. Selain membudidayakan produk dan layanan kecantikan, Nusantics berencana bekerja sama dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan dan pendidikan untuk memproduksi test kit untuk menganalisis dan memantau profil mikrobioma.

Terlibat dalam produksi alat tes COVID-19

Saat virus Corona mulai menyebar di Indonesia, sangat sulit untuk melakukan tes karena minimnya alat. Karena CTO Nusantics memiliki pengalaman dalam metode polymerase chain reaction (PCR), startup tersebut memutuskan untuk mendekati Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) dan dengan sukarela membuat prototipe test kit COVID-19. Kemudian, mereka bergabung dengan satuan tugas virus korona nasional BPPT bidang penelitian dan inovasi teknologi (TFRIC-19).

“Sebelum Nusantics, saya bekerja di sebuah perusahaan yang berfokus pada diagnostik molekuler, di mana saya terlibat dalam penelitian dan pengembangan teknologi chip-in-a-tube, PCR digital, serta mikrobioma. Dasar dari teknologi genom adalah PCR,” ujar CTO Nusantics Revata Utama.

Pemetaan genom sangat penting karena virus terus bermutasi untuk beradaptasi dengan inang dan lingkungannya, dan sekuensing seluruh genom sangat penting untuk penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 di Indonesia.

Pandemi telah memberi startup ini tujuan baru. Nusantics telah mengembangkan dua generasi alat uji COVID-19. Jenis pertama didistribusikan ke 19 provinsi di seluruh Indonesia sebagai bagian dari gerakan Indonesia Pasti Bisa, program yang diprakarsai oleh perusahaan modal ventura tahap awal East Ventures bekerja sama dengan BPPT dan perusahaan farmasi milik negara Bio Farma untuk mendukung produksi 100.000 COVID -19 alat uji. Proyek ini mendistribusikan 100.020 alat uji RT-PCR Juni lalu.

“Karena generasi pertama diciptakan pada awal pandemi, tujuan utama kami adalah menyediakan alat tes dengan cepat. Kami membuatnya dengan desain singleplex, sedangkan generasi kedua dibuat dengan desain multipleks yang membuat proses diagnostiknya tiga kali lebih cepat dan relevan dengan mutasi terkini,” kata Utama.

Bio Farma telah memproduksi dan mengkomersialkan kedua generasi test kit tersebut, dengan kapasitas produksi 1,5 juta test kit per bulan. Jika diperlukan, hasilnya bisa digandakan.

Tanpa kepastian akan akhir dari pandemi, Nusantics terus mengembangkan alat tes generasi ketiga yang dapat mendeteksi virus SARS-CoV-2 dari sampel air liur.

“Kami masih dalam proses meneliti apakah sampel air liur bisa digunakan sebagai pengganti swab. Pengalaman menjalani tes usap bisa jadi tidak nyaman, bahkan menyakitkan bagi sebagian orang. Hidung pasien mungkin gatal setelahnya dan mereka akan bersin, yang membuat petugas kesehatan yang melakukan tes berisiko terkena virus. Karena itu mereka perlu memakai alat pelindung diri, ”kata Utama.

“Mengambil sampel dari air liur tentu lebih mudah, tidak melukai pasien dan lebih aman bagi praktisi medis. Secara teori, tes ini juga lebih murah karena membutuhkan lebih sedikit tenaga medis, ”kata Utama. Pengembangan test kit generasi ketiga ini direncanakan akan selesai pada akhir Maret.

Nusantics baru-baru ini mengumumkan pendanaan Seri A dengan jumlah yang tidak diungkapkan yang dipimpin oleh East Ventures. Dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan R&D dengan analisis mikrobioma dan diagnostik medis. Penasihat usaha East Ventures Triawan Munaf juga akan bergabung dengan dewan komisaris Nusantics.

“Riset terkait mikrobioma bermanfaat bagi konsumen, mitra industri, serta pemerintah. Visi jangka panjang kami adalah menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia dengan melakukan penelitian dan diagnosis terkait mikrobioma. Dengan begitu, kita bisa mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang,” kata Putri.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

SPAC Melejit: Unicorn Asia Tenggara Enggan Melirik IPO Tradisional

Ketika ekonomi digital China semakin matang, perusahaan teknologi telah memiliki sumber penawaran umum perdana (IPO) yang stabil di bursa AS dan bursa domestik di Hong Kong, Shanghai, dan Shenzhen.

Di Asia Tenggara, IPO Sea Group 2017 di Bursa Efek New York menjadi contoh bagi perusahaan teknologi di kawasan sekitarnya yang bercita-cita menjadi perusahaan publik, termasuk unicorn bernilai tinggi seperti aplikasi perjalanan Indonesia Traveloka, platform e-commerce Bukalapak, dan Tokopedia, bersama dengan raksasa layanan digital yang berbasis di Singapura, Grab.

Namun, sampai perusahaan-perusahaan ini beranjak dewasa dan mempertimbangkan untuk melakukan penawaran umum, IPO konvensional telah kehilangan pamornya. Sekarang, akuisisi perusahaan dengan tujuan khusus, atau SPAC, menjadi solusi. Juga dikenal sebagai perusahaan cek kosong, SPAC adalah perusahaan cangkang yang mengumpulkan dana melalui penawaran umum untuk mengakuisisi perusahaan yang tidak ditentukan. Jenis perusahaan ini tidak memiliki model bisnis independen selain transaksi keuangan ini.

Dengan karakter tersebut, ketua Komisi Sekuritas dan Bursa AS, Jay Clayton, menyarankan investor untuk mengukur motivasi sponsor SPAC. Sering kali merupakan perusahaan ekuitas swasta (PE) terkemuka yang menggunakan SPAC untuk melewati bank investasi dan biaya emisi mereka untuk membawa perusahaan swasta ke pasar publik.

Proses IPO konvensional itu rumit, mahal, dan memakan waktu. Untuk startup teknologi di Asia, SPAC adalah opsi penggalangan dana yang lebih murah dan lebih efisien.

SPAC telah mendapatkan momentum besar di AS pada tahun 2020. Lebih dari 200 SPAC mengumpulkan sekitar USD 70 miliar, memberikan referensi pada pasar Asia untuk tahun 2021.

Unicorn di Asia Tenggara

Tokopedia menjadi salah satu target Bridgetown Holdings, yang didukung oleh Peter Thiel dan Richard Li, untuk penggabungan cek kosong pada Desember 2020. Jika kesepakatan berlanjut, hal ini bisa menjadi trendsetter di regional.

Grab, yang menjadikan SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.
Grab, dimana SoftBank, Uber, dan Didi Chuxing berperan sebagai investornya bernilai sekitar USD 14 miliar.

“Sebagai gambaran, SPAC telah hadir selama beberapa dekade. Mereka sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun sembilan puluhan, tetapi menjadi ketinggalan zaman ketika investor kehilangan uang,” ungkap Joel Shen, pengacara perusahaan di firma hukum global Withers kepada KrASIA. Dia percaya bahwa kebangkitan popularitas SPAC dapat dikaitkan dengan suku bunga rendah, likuiditas yang melimpah di pasar karena stimulus dari sistem bank sentral AS, dan peningkatan jumlah target akuisisi, terutama di bidang teknologi.

SoftBank, salah satu investor Tokopedia, mengajukan IPO SPAC pada bulan Desember dengan tujuan untuk mengumpulkan USD 525 juta. SoftBank telah berinvestasi di lebih dari 100 perusahaan tahap pertumbuhan di seluruh dunia, dan beberapa di antaranya mungkin menjadi target yang menarik untuk SPAC-nya, SVF Investment Corp.

Dengan SoftBank — raksasa dalam investasi teknologi — memasuki ruang SPAC, perusahaan portofolionya seperti Grab dapat menemukan rute cepat ke simbol saham New York. “SPAC memungkinkan target mereka untuk mendaftar tanpa terlebih dahulu melalui proses IPO yang mahal dan memakan waktu, dan berpotensi menawarkan pemegang saham target, termasuk investor institusional seperti VC, jalan keluar yang lebih cepat daripada IPO tradisional,” kata Shen .

Jika unicorn Indonesia bisa melalui model ini, maka hal ini akan menjadi barometer yang baik untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan Asia Tenggara dengan fokus pasar lokal akan diterima di bursa asing.

Namun demikian, SPAC memiliki kelemahan. Karena mereka adalah perusahaan cek kosong, investor bertaruh pada sponsor SPAC daripada kualitas bisnis, kata Shen.

Selain itu, merger SPAC harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu — biasanya antara 18 dan 24 bulan. Jika tidak ada akuisisi yang dilakukan sebelum akhir jangka waktu, sponsor dapat mempertimbangkan kualitas aset dan daya tawar.

Sementara pasar modal China di Shanghai dan Shenzhen menawarkan rute alternatif ke perusahaan teknologi dalam negeri untuk penggalangan dana yang signifikan, perusahaan rintisan teknologi Asia Tenggara tidak memiliki opsi yang sama di dalam negeri, hal ini mendorong mereka ke arah merger SPAC di valuta asing.

Menurut seorang analis yang akrab dengan subjek tersebut, ledakan SPAC pada tahun 2020 menandai awal dari era baru di mana investor institusional teratas, biasanya perusahaan PE swasta terkemuka, menjadi kekuatan pasar yang lebih berperan dalam penetapan harga IPO. “Secara tradisional, harga IPO ditentukan oleh bankir investasi yang membangun pembukuan melalui serangkaian pembicaraan tertutup dan berturut-turut dengan perusahaan PE. Namun, dengan SPAC di tangan, manajer PE bisa menanggalkan peran bankir ini dan mencapai kesepakatan langsung dengan pemilik aset,” ujar analis.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Sea Group Rekrut Tim di Indonesia untuk Dorong Kehadiran Bank Digital

Di awal bulan Desember lalu, Sea Group, perusahaan induk Shopee, diberi lisensi perbankan digital penuh di Singapura, bersama dengan konsorsium Grab-Singtel, dalam sebuah langkah yang diharapkan dapat membuka lebar jalan industri keuangan di negara tersebut.

Selain Singapura, Indonesia — ekonomi terbesar di Asia Tenggara — juga menjadi pasar seksi bagi fintech dan bank digital. KrASIA menemukan bahwa Sea Group kemungkinan besar mengakuisisi pemberi pinjaman lokal di negara tersebut untuk membangun bisnis perbankannya sendiri. Menurut situs karier Shopee (sudah ditutup ketika diakses saat ini), perusahaan saat ini tengah merekrut tim lokal untuk ditempatkan di “SeaMoney Bank” di Jakarta dan Bandung, yang mencakup peran manajemen talenta, pajak, dan manajemen pendanaan.

Ketika disinggung mengenai hal ini, Sea Group menolak berkomentar. Perusahaan juga tidak berkomentar tentang peningkatan perekrutan di Jakarta dan Bandung. Laman karir tersebut menunjukkan bahwa tim baru akan ditempatkan di “SeaMoney – Bank BKE (bagian dari Sea Group), berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat”. Artinya, perusahaan yang dimaksud bisa jadi adalah Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) yang berkantor pusat di Menteng.

Menurut situsnya, Bank BKE didirikan pada tahun 1992 dan hampir 95% sahamnya dimiliki perusahaan bernama Danadipa Artha Indonesia. Informasi publik mengenai pemegang saham memang masih minim, namun salah satu direktur Danadipa Artha Indonesia bernama Intan Apriadi juga menjabat sebagai komisaris di Lentera Dana Nusantara, menurut profil LinkedIn-nya. Lentera Dana Nusantara adalah perusahaan fintech yang mengoperasikan ShopeePay Later. Maka dari itu, besar kemungkinan Sea memiliki hubungan langsung ke Bank BKE melalui Danadipa Artha Indonesia.

Menurut seorang analis yang mengetahui hal tersebut, perkembangan perbankan digital di Indonesia berbeda dengan di Singapura. “Di Singapura, pemain fintech baru akan mengajukan izin pembukaan bank, sementara di Indonesia, calon bank digital mengakuisisi bank lokal yang sudah memiliki izin,” ujarnya.

Bank digital menjadi sektor yang makin dilirik

Saat ini belum jelas produk apa yang akan ditawarkan oleh bank digital Sea di Indonesia. Situs karier Shopee hanya menyebutkan bahwa SeaMoney “memungkinkan dan mendorong inovasi dengan menyediakan berbagai macam produk dan layanan keuangan untuk individu dan UKM di seluruh wilayah”.

Analis yang berdiskusi dengan KrASIA mengatakan bahwa bank baru tersebut kemungkinan akan menawarkan pinjaman untuk penjual di ekosistem Shopee. “Untuk perusahaan teknologi seperti Shopee dan Gojek, saya berharap layanan perbankan dapat membantu masyarakat yang sudah berada di dalam ekosistem,” ucapnya. “Misalnya, pengemudi Gojek mencari kredit mobil atau motor, atau bahkan kredit perumahan. Begitu pula bank Sea kemungkinan besar akan menawarkan produk untuk penjual Shopee ke depannya.”

Ketika sektor fintech semakin matang, perbankan digital akan menjadi sektor yang sangat menarik perhatian di Indonesia. Perusahaan teknologi lain sudah memposisikan diri mereka di pasar. Gojek baru-baru ini berinvestasi di Bank Jago melalui unit pembayaran dan layanan keuangannya, yang memiliki sekitar 22% pemberi pinjaman. Pada 2019, perusahaan fintech Akulaku mengakuisisi Bank Yudha Bhakti, yang berganti nama menjadi Bank Neo Commerce tahun lalu.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial