Tokopedia Partners with GoApotik, to Provide Health Products and Online Prescription Feature

Tokopedia today (11/21) announced a strategic partnership with a health tech product, GoApotik. Users are now capable to get drugs and health products from GoApotik through Tokopedia app and website.

“We’ve seen significant demand from users to drugs and the health products on Tokopedia. Based on the internal data, the total transaction of health products is increasing by over 200% from July to September 2019,” Tokopedia’s Business AVP, Jessica Stephanie Jap said.

The service integration comes with an online prescription feature. Users can simply download the prescription through the Chat Bersama Apoteker feature. Furthermore, the pharmacy partners will help with the drugs accordingly and deliver it using Tokopedia’s logistics partners to the buyers.

Head of GoApotik, Mohamad Salahuddin said GoApotik is to present a legal and verified pharmacy. It includes encouraging pharmacists to provide patients with further information related to the prescription.

In addition, Tokopedia also partnered up with Indonesia’s National Agency of Drug and Food Control (BPOM) to control the distribution, delivery, promotion, and marketing ads for food and drugs in its platform.

“The agency keeps monitoring the business players to increase product competition and provide access towards safe, nutritious and high-quality drugs to all Indonesians,” Head of BPOM, Penny K. Lukito said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Izak Jenie Belajar Mengambil Bagian Tanpa Melampaui Batas Kemampuan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.

Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.

Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.

Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute
Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute

Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?

Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.

Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.

Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?

Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.

Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.

Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?

Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.

Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.

Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus
Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus

Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?

Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.

Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.

Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?

Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam – ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.

Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.

Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?

Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.

Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.

Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.

Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?

Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.

Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing – hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.

Izak Jenie bersama tim Jatis
Izak Jenie bersama tim Jatis

Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?

Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama – Simon Halim – mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah – anda akan sampai pada waktunya.

Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.

Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?

Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang – Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.

Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.

Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.

MCAS IPO di 2017
MCAS IPO di 2017

Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?

Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini – menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba – dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.

Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial

Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.

Jadi, sebisa mungkin – buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Fokus Digitalisasi Sekolah, Pintro Siapkan “Marketplace Lembaga Pendidikan”

Pesatnya pertumbuhan dunia digital dan teknologi telah mendorong inovasi dari berbagai sektor, tidak terkecuali sektor pendidikan. Menurut perhitungan Kemendikbud, ada 300 ribu sekolah di Indonesia dengan 45 juta siswa/i. Sementara itu, terdapat lebih dari 4 ribu universitas di Indonesia dengan 7 juta mahasiswa.

Pintro, sebagai salah satu pemain di sektor ini, mencoba memberi terobosan dengan menghadirkan sebuah “marketplace lembaga pendidikan”, khususnya transformasi pengelolaan manajemen sekolah berbasis SaaS.

Founder dan CEO Pintro Syarif Hidayat kepada DailySocial menyampaikan, “Selama lebih dari sepuluh tahun kami telah mengembangkan solusi di sektor pendidikan. Kami merasa sudah cukup matang dari sisi teknologi dan sistem, sehingga ketika harus melakukan integrasi, prosesnya akan lebih seamless.

Bentuk layanan

Sebelumnya PT Indoglobal Nusa Persada adalah perusahaan IT yang fokus pada solusi back end di lembaga pendidikan. Kurang lebih tiga tahun terakhir, mereka mulai masuk ke ranah front end. Pintro sendiri merupakan brand yang baru diperkenalkan di awal tahun 2019.

Pintro merupakan platform digital aplikasi sistem tata kelola administrasi dan manajemen lembaga pendidikan modern berbasis SaaS yang mengintegrasikan semua layanan pendidikan dalam satu dashboard. Melihat industri teknologi finansial yang semakin berkembang, mereka mencoba mengintegrasikannya dengan fitur yang tersedia di dalam platform berbentuk solusi e-payment.

Ada dua jenis produk yang ditawarkan. Yang pertama adalah co-brand, sebuah solusi all-in-one untuk memfasilitasi transformasi digital di berbagai lembaga pendidikan. Beberapa fitur andalan mereka adalah smart dashboard serta pembayaran berbasis QR Code dan multi-channel.

Saat ini mereka sudah melayani 200 sekolah, dengan skema co-branding, di lingkup pulau Jawa dan Sumatra, termasuk Al-Azhar dan ESMOD Jakarta.

“Karena birokrasi sekolah negeri yang cenderung lebih kompleks, saat ini kami baru menargetkan sekolah swasta untuk sebanyak-banyaknya bisa segera menggunakan layanan kami,” tambah Syarif.

Yang kedua adalah marketplace lembaga pendidikan yang diperkenalkan awal bulan Oktober 2019. Fitur ini bersifat gratis di depan untuk setiap lembaga pendidikan yang menggunakannya. Pintro mengenakan fee untuk setiap transaksi yang terjadi, misalnya penggunaan fitur pembayaran uang sekolah. Dibanding versi co-branding, ada beberapa fitur yang dibatasi.

Diklaim sudah ada puluhan lembaga pendidikan di sekitar Jabodetabek yang bergabung dalam platform marketplace ini dengan 3000 murid pengguna. Beberapa fitur yang telah tersedia di platform marketplace ini yaitu, e-enrollment, e-payment, e-billing, e-bookstore, e-classroom, dan e-communication.

Rencana tahun 2020

Di sisi produk, tim Pintro akan melengkapi fitur yang ada di dalam platform marketplace mereka dengan menambahkan fitur edumart serta edu-donation. Edumart sendiri akan berisi penawaran-penawaran terkait kebutuhan dunia pendidikan, bekerja sama dengan lembaga yang ada di sekolah seperti koperasi. Sementara itu e-donation adalah fitur donasi pendidikan yang bertujuan untuk membantu anak-anak yang ingin mendapatkan pendidikan lebih baik serta membangun infrastruktur pendidikan di pelosok.

Perusahaan juga telah bekerja sama dengan lembaga keuangan non-bank, seperti BFI, dalam ranah pengembangan infrastruktur lembaga  pendidikan, dan Pintek yang menyasar orang tua murid dengan kampanye “School Now, Pay Later”.

“Sehingga pada akhirnya bisa terbentuk satu ekosistem pendidikan yang saling terintegrasi,” pungkas Syarif.

Application Information Will Show Up Here

Menuai Profit, Happy5 Targetkan Pasar Global Melalui Platform “Culture Transformation”

Industri Software-as-a-service (SaaS) yang awalnya hadir sebagai solusi teknologi kini telah menjadi kebutuhan bagi semua sektor bisnis. Perusahaan berlomba-lomba mengimplementasi teknologi ini, mulai dari pemasaran digital, optimalisasi proses bisnis, pengembangan produk, serta manajemen SDM.

Dalam lima tahun terakhir, Happy5, perusahaan SaaS asal Indonesia, mencoba mengatasi isu yang terjadi di sektor SDM dengan mengembangkan cara kerja agile. Mereka percaya bahwa solusi

Didirikan pada tahun 2014, Happy5 telah melakukan pivot sebanyak dua kali. Awalnya, mereka bertumpu pada Happiness, lalu bergeser ke ranah Kultur, dan saat ini fokus memantau performa. Setelah tahun ketiga, fakta yang mereka temukan adalah kebahagian pegawai bukanlah penawaran yang cocok di pasar Indonesia dan memutuskan untuk beralih pada platform transformasi kultur.

Co-Founder dan CEO Happy5 Doni Priliandi mengatakan, “Perusahaan sedang ramai sekali mencanangkan transformasi kultur. Namun, mereka menemukan isu dalam menyampaikan nilai dan agenda transformasi, mendapat insight terkini dari pegawai, serta mengukur demonstrasi sikapnya.”

Menemukan bisnis model yang tepat

Happy5 mengawali bisnis ini dengan fokus pada validasi pelanggan terhadap produk yang bisa mengukur kebahagiaan pegawai, komunikasi langsung, serta pengakuan. Sampai pada akhirnya mereka sadar model ini tidak menghasilkan uang lalu memutuskan pivot.

Produknya tidak berubah, hanya preposisi nilai yang bergeser dari mengukur kebahagiaan pegawai menjadi media social enterprise. Mereka mulai menaruh harga sebesar Rp10,000 / bulan / pengguna yang dibayarkan di awal. Pengguna kebanyakan datang dari bagian komunikasi internal, sayangnya itu saja tidak cukup.

Hal ini berlangsung sampai mereka mengubah preposisi nilai menjadi platform transformasi kultur, di mana mereka bisa menaikkan harga 4 kali lipat dengan basis pengguna yang lebih besar, mulai dari tim di bawah departemen SDM hingga langsung ke level CEO.

Aplikasi ini menawarkan platform serba ada mulai dari komunikasi hingga kultur. Platform ini terbagi menjadi 3 fitur utama, Enterprise Social Media; Employee Recognition, and Employee Survey. Saat ini, BCA, Kompas Gramedia, Telkomsel, Pegadaian, dan XL mengandalkan Happy5 Culture untuk mewujudkan transformasi kultur dalam perusahaan.

Pada tahun ke-4, perusahaan mulai menuai profit. Dengan Pendapatan Berulang Tahunan senilai US$708.000, yang meningkat sebesar US$456.000 atau hampir 3 kali lipat dari tahun sebelumnya. Tahun ini, mereka melipatgandakan pendapatan menjadi US$1,3 juta dan masih terus bertambah. Margin kotor mereka mencapai 91% serta margin bersih berada di angka 5% pada 2019.

Sementara itu, mereka telah mengembangkan solusi menyeluruh yang menggabungkan manajemen adaptif dengan tinjauan kerja serta manajemen proyek yang didesain sedemikian rupa. Setiap proyek dihargai Rp140,000/orang/bulan.

Sampai saat ini, BCA, Kompas Gramedia, Telkom (di tim Amoeba), Pegadaian (di beberapa kantor wilayah) telah mempercayakan tim mereka dengan Happy5 Performance untuk melaksanakan manajemen kinerja agile.

‘Kami merasa sangat istimewa karena berkesempatan untuk membantu organisasi terkemuka di Indonesia seperti BCA dan Telkomsel. Hal ini merupakan awal yang baik untuk mempelajari implementasi dan peningkatan produk. Setiap proyek juga memberi ide bagaimana untuk bisa scale-up,” sambung Doni.

Skema pasar AS

Menurut riset oleh Market Expertz, pasar perangkat SDM global kini telah mencapai $15,8 miliar dan Amerika Utara menjadi yang terbesar di dunia. Dengan pasar SaaS yang terbatas di Indonesia, Happy5 berambisi menyasar pasar AS.

Doni berencana untuk melebarkan sayap ke pasar AS pada Q3 tahun 2020, dengan harapan bisa menggalang dana di sana.

“Di tahun 2020, Happy 5 harus bisa menapakkan kaki di AS, dengan atau tanpa pendanaan.”

Prioritas lainnya adalah untuk membangun tim teknisi yang lebih baik serta meningkatkan kualitas tim manajemen. Doni juga mengungkapkan target mereka selanjutnya untuk tumbuh dua kali lipat, mencapai angka $2,8 juta.

“Dengan pendanaan lanjutan, kami bisa bertumbuh hingga tiga kali lipat penjualan,” tambahnya.

Profitable Happy5 Aims at Global Market Through Culture Transformation Platform

The SaaS (software-as-a-service) industry that started as technological innovation has become a necessity for businesses. Companies are trying to implement this technology in various sectors, from digital marketing, business process optimization, product development, and HR management.

For the last 5 years, Happy5, an Indonesian-based Software-as-a-Service (SaaS) company, has been trying to solve the problem in the HR sector by empowering agile ways of working. They believe the HR software company as the most fitting way to scale high performing culture in any organization.

Founded in 2014, Happy5 has pivoted its business twice. At first, they’re focused on Happiness, then switched a little bit to Culture and now to measure Performance. After the third year, they’ve finally found that employee happiness as the value proposition was not fit to Indonesia market and decided to change it into the Culture Transformation Platform.

Doni Priliandi, Founder & CEO of Happy5, said, “Companies are now doing a lot of culture transformation. But they have painful problems with communicating new values and transformation agenda, getting fast insights from employee and measure behavior demonstration.”

Fixing the value proposition

The early days of Happy5 are all about customer validation on a product that can measure employee’s happiness, direct communication, and recognition. Until they realize it’s not making money and here comes the first pivot.

The product doesn’t change, only the value proposition shifted from Measuring Employee Happiness into Enterprise Social Media. They started to charge Rp10,000 / user / month annually with advance payment. Some of the buyers come from internal communication, but that was not enough.

It’s not until they changed the value proposition into a culture transformation platform, that they can multiply the price by 4 times with a larger user base from the culture team under HR Department or directly to CEO.

The app offers an all-in-one communication and culture platform. It consists of 3 main groups of features, Enterprise Social Media; Employee Recognition, and Employee Survey. Currently, BCA, Kompas Gramedia, Telkomsel, Pegadaian, and XL are trusting Happy5 Culture as their platform of choice to do culture transformation.

In the 4th year, the company finally made some profit. With the Annual Recurring Revenue at $708,000, which is increased by $456,000 or nearly 3 times from the previous year. This year, they multiply the revenue to $1.3 million and still growing. They’ve hit 91% in gross margin and 5% of net margin in 2019.

Also, they have designed a holistic solution that seamlessly combines adaptive goal management (Objective Key Results) with high-configurable performance review and project management. The pilot costs Rp140,000 / user / month.

And as of now, BCA, Kompas Gramedia, Telkom (pilot at Amoeba Team), Pegadaian (pilot at a couple of regional offices) have chosen Happy5 Performance as their platform of choice to run agile performance management.

“We are super privileged to have a chance of helping reputable organizations in Indonesia like BCA and Telkomsel. And it’s a good start to learn both on implementation and product improvement. It gives ideas on how to scale too,” Priliandi said.

The US scenarios

According to the research by Market Expertz, the global human resource (HR) software market currently has a market value of $15.8 billion and North America holds the largest HR software market in the world. With the not-yet-sufficient market for the SaaS industry in Indonesia, Happy5 aims big for the US market.

Priliandi is planning to expand to the US market by Q3 2020, with possible fundraising from the US VCs.

“In 2020, Happy5 should have a presence in the US, regardless of how much money we have.”

The other priority is to build a better engineering team and improve the management team. Priliandi also shared his target to multiply sales by twice, projected to US$2.8 million.

“With extra funding, we can multiply at least three times our sales,” he added.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

The Future of Indonesia’s Education System Under Nadiem Makarim

Nadiem Makarim officially announced as education and culture minister for 2019-2024. President Joko Widodo stated one of the main focus of the Indonesia Maju cabinet is the development of human resources and it’s to be solved together. Nadiem is expected to come up with a significant breakthrough in order to achieve the goal.

“We’ll have significant breakthroughs in terms of human resource development, to deliver talents prepared for work, linked and matched the education with the current industry,” he said on Wed (10/23).

Nadiem also said on this, the President chooses him because he was previously worked for the company with vision. Therefore, there’s a belief that he can make it for what the country’s need for the future.

“The requirements for the future’s job vacancy will be very different. I’ll try to make it parallel between the educational institution with what’s needed in the industry,” he said.

The next reason is, on his behalf, to make the vision comes true not through monotonous ways. It requires breakthroughs and innovations.

“The authority given is very serious and further will be very challenging. I need support from all millennials as I represent them for future innovations.”

In the interview session, Nadiem also said he is soon to have farewell with Gojek and the little family he build within the ecosystem. “Honestly, it was the hardest part to leave Gojek.”

New breakthrough awaits

Unemployment and talents that link and match the industry are still our current homework from the previous minister.

BPS data per February 2019 showed the decreasing number of unemployed to 5.01% within the last one year. Meanwhile, the unemployment number (TPT) is at 6.82 million people.

Even the number falls down, there are other concerns at the education level. Vocational school graduates still dominate the unemployment rate at 8.92% of the total labor force. Followed by 7.92% of diploma graduates.

In fact, the total workforce has reached 136.18 million or increased by 2.24 million from the same period in the previous year. Based on educational level, most of the workforce are elementary graduates and below (40.51%). Followed by junior high school graduates (17.75%), high school graduates (17.86%), vocational school graduates (11.31%), and university and diploma graduates (9.75% and 2.82%).

The government finally takes this issue seriously by increasing the state budget allocation (APBN) for education from IDR 429.5 trillion this year, up to 20% at IDR 506 trillion in 2020. The number is incredible, therefore, it requires on-target strategies due to the non-optimal experiences.

Speaking of the digital economy, unemployment has affected startup leaders’ decision to import overseas talents because the supply does not match the demand. Nadiem’s previous company also had a special office in India to acquire digital talent.

If the concern left unclear, Indonesian HR will soon lose competitiveness. The correlation lies here, according to e-Conomy SEA, Indonesia’s digital economy this year is projected to touch $ 40 billion, increasing to $ 133 billion in 2025.

Nadiem’s expertise is expected to be a support of his obligations, most likely the breakthrough that is going to be tech-related. Nonetheless, Chairman of the Indonesian Teachers Association (IGI) Muhammad Ramli Rahim has doubts upon Nadiem’s appointment, because he isn’t an educational expert nor have professor title.

He also said the lack of productive teachers and its development, especially in accordance with their educational background is the main problem that is quite blurred to the minister’s eyes. “[..] It may be that after trusting many Professors, Jokowi decided to choose a freshman without much theory,” he said as quoted from Republika.

Public can have pros and cons with Nadiem’s appointment and its leadership system in the next five years. His experience in building Gojek from scratch to its fruition might be the provision to revolutionize our education industry.

Opportunity for edtech companies

Nadiem’s entrance to the new cabinet, representing millennials, has created opportunities for startup players, especially those in the edtech industry. Moreover, Nadiem has quite an expertise in the tech-company.

The number of edtech startup players is increasing. Some are locals and some overseas. They penetrated into various segments. We have some particularly focused on vocational, pre-school, academic and non-academic education, and so on.

They offer various educational content, such as video on demand, direct learning through video calls, tutors on-demand, online to offline, and Q&A portals. The business model is a subscription. This method is claimed to be the most profitable way of monetization because one content is available for many people.

Ruangguru, as the largest edtech startup in Indonesia, is reported to be profitable. “Education is a sustainable business sector, and this is our plan to build a sustainable company,” Ruangguru’s CEO, Belva Devara said.

Technology is said to democratize people in accessing educational content. The impact on consumers is the far price gap to conventional tutoring. As an example, Quipper’s regular package subscription for six months is set to Rp540 thousand. If you take a yearly subscription, the price will be much cheaper.

In terms of Ruangguru, a complete subscription package for a year costs Rp1.3 million. However, companies often give discounts to attract more users. Meanwhile, conventional tutoring can have multiple cost per year.

We’re kind of waiting for Nadiem’s breakthroughs. And wishing for improvement in Indonesia’s educational industry.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyiasati Titik Jenuh Beberapa Sektor Startup Indonesia

Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia kini telah mencapai $40 milliar dan diproyeksikan akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah pengguna internet. Bisnis e-commerce disebut-sebut sebagai penyumbang terbesar, namun di balik kesuksesan beberapa nama di sektor ini, tidak sedikit startup yang tumbang meskipun memiliki dukungan sumber daya dan dana yang cukup.

Isu ini menjadi salah satu yang dibahas dalam acara peresmian lokasi kedua co-working space DreamHub yang bertempat di Atrium Mulia, Jakarta Selatan. Indonesia disebut sedang mengalami titik jenuh, di beberapa sektor, terutama e-commerce.

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menyampaikan, “Satu hal terpenting, startup yang dapat survive adalah startup yang memberi solusi atas suatu permasalahan dan fokus pada profit.”

Dalam mewujudkan hal ini, pelaku industri harus didukung iklim yang kondusif untuk bisa mewadahi pemikiran-pemikiran kreatif mereka agar tidak terbengkalai di masyarakat.

Kolaborasi untuk mencapai solusi

Saat ini, kehadiran para pemain e-commerce telah memberikan solusi bagi masyarakat dalam efisiensi berbelanja, yaitu secara online. Namun, seiring dengan terciptanya animo masyarakat untuk berbelanja online, muncul permasalahan-permasalahan baru yang mungkin tidak bisa diselesaikan oleh sektor e-commerce sendiri, misalnya sisi pembayaran dan logistik. Hal ini menciptakan peluang bagi pelaku industri untuk melahirkan inovasi baru atau berkolaborasi demi menyelesaikan permasalahan tersebut.

Menurut Gondang Prabowo, Head of Growth The Fit Company Group, semakin banyaknya startup yg hadir sebenarnya bukan malah menimbulkan titik jenuh, melainkan mendorong kompetisi yang semakin ketat. Pihaknya sendiri mengaku sedang menggalakkan kolaborasi demi mencapai solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.

“Kita juga harus kritis dalam melihat produk kita sendiri. Banyak startup yang merasa produknya sudah bisa diterima pasar lalu semata-mata puas dan tidak mencoba kritis,” tambahnya.

Mencari celah di industri

Dari sisi investor, perusahaan modal ventura yang fokus pada pendanaan startup tahap awal, Venturra Discovery, melihat sudah terlalu banyak bisnis e-commerce yang menggarap pasar horizontal. Saat ini, pihaknya mengaku sedang fokus mendukung bisnis e-commerce vertikal tertentu, seperti Sociolla (kosmetik) dan Fabelio (furnitur).

Selain itu, masih ada potensi bisnis yang masih bisa digarap. Hari menyebutkan, beberapa sektor yang masih memiliki banyak ruang untuk diisi, contohnya agrikultur, perikanan, dan edukasi.

“Karena untuk membangun industri, kita butuh skill bukan cuma knowledge. Kita sedang dalam tahap darurat talenta. Sementara tingkat kepercayaan pengguna semakin tinggi, pendanaan mulai masuk, infrastruktur juga sudah terbangun, salah satu yang penting dan belum terpenuhi adalah talenta.” tuturnya.

Platform Social Commerce Woobiz Bercita-cita Tingkatkan Kualitas Hidup Perempuan Indonesia

Sebuah platform yang mengkategorikan dirinya sebagai social commerce, Woobiz, memiliki misi untuk memberdayakan perempuan Indonesia khususnya ibu rumah tangga agar bisa meningkatkan kualitas hidup serta mandiri secara finansial. Saat ini telah ada 750 mitra yang sudah bergabung dan sekitar 50-100 pengguna sudah mulai aktif berjualan.

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform yang masih dalam beta version ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand.

Dengan menjadi mitra, pengguna akan mendapatkan akses ke berbagai macam produk yang sudah dikurasi, mulai dari skincare, make-up, hijab, hingga makanan ringan. Kebanyakan produk yang ditawarkan adalah lokal, seperti Kedaung Home, Rabbani, Dear Me Beauty, Orang Tua, Kimbo, namun ada juga beberapa brand dari luar seperti Celebon, Foccalure, dan JM solution.

Dari sini, mereka bisa mulai mendistribusikan barangnya melalui social neighbourhood community. Woobiz juga memberikan komisi yang akan segera cair saat pesanan sudah diterima.

Chief Growth and Marketing Woobiz Putri Noor Shaqina menyatakan, “Dalam ekosistem kita, mitra atau user akan berjualan menggunakan channel social neighbourhood community dan kita dukung dengan fitur untuk social sharing secara online.”

Selain itu, Woobiz juga menawarkan akses dan ruang untuk komunitas bisa berkembang, menyediakan pelatihan dalam berjualan, komunikasi, serta mengatur pendapatan.

Beberapa aksi edukasi komunitas digalakkan, seperti program roadshow Wooniversity, bertujuan untuk mendukung para perempuan Indonesia bisa saling menginspirasi. Salah satu kampanye mereka adalah #SuperwoomenMovement yang melibatkan perempuan dari seluruh penjuru Indonesia untuk berbagi cerita kesuksesan. Fokusnya saat ini masih di wilayah Jabodetabek, namun akan terus memperluas jangkauan ke daerah sekitarnya.

“Mandiri secara finansial adalah tujuan besar kami, ujung tombak kami terletak pada individu dan juga komunitas yang ingin berjuang untuk kesejahteraan dan hidup yang lebih bernilai.”

Dari sisi pendanaan, Woobiz telah mendapatkan pendanaan sejak akhir tahun 2018. Untuk monetisasi bisnis, pihaknya mengaku juga mendapat bagian dari produk yang berhasil didistribusikan. Sejauh ini, mereka telah bekerja sama dengan pihak ketiga yang mempunyai infrastruktur logistik.

“Kedepannya, kita berencana untuk memperkuat sendiri, membangun hub atau pick-up point.” tambah Putri.

Teknologi Qasir Bantu UMKM Mengelola Data Transaksi Secara Online

Manajemen transaksi berperan penting dalam kelancaran sebuah perusahaan. Beragam solusi dihadirkan untuk mempermudah serta mengoptimalkan pengelolaan data, salah satunya adalah Qasir.id, sebuah aplikasi kasir POS (Point of Sales) untuk membantu UMKM atau pedagang yang masih menggunakan metode konvensional.

Berdiri sejak tahun 2015, Qasir menawarkan berbagai fitur untuk UMKM yang bisa digunakan untuk mencatat penjualan, mengelola produk, mengawasi stok, dan memantau laporan transaksi. Sistem POS Qasir berbentuk aplikasi yang kemudian bisa di-install pada tablet atau ponsel, dan hingga saat ini tidak dikenakan biaya apapun alias gratis. Aplikasi ini juga sudah bisa digunakan secara offline sehingga tidak akan mengganggu operasional bisnis perusahaan.

Sampai saat ini, Qasir telah diunduh sebanyak 100.000 kali. Pihaknya mengakui dalam satu tahun, pertumbuhan pengguna bisa mencapai 20x lipat dari hanya sekitar 5000 di tahun 2018.

Selain itu, platform ini juga menyediakan layanan pesan barang yang memungkinkan pengguna memesan berbagai produk dari distributor yang sudah bekerja sama. Saat ini telah bergabung 12 partner di area Jabodetabek. Pelanggan mereka kebanyakan datang dari kalangan pengusaha toko kelontong dan F&B. Meskipun aplikasinya tidak berbayar, bukan berarti bisnis ini menjadi tidak menguntungkan.

“Dari 100.000 pengguna, 30% datang dari F&B, 30% dari toko kelontong. Selama ini telah terjadi 6.000 transaksi belanja grosir di aplikasi, dari sini saja sudah ada margin,” ungkap CEO Qasir Michael Liem.

Model bisnis ini sekilas mirip dengan Mitra Bukalapak atau Tokopedia, namun pihaknya mengakui terdapat perbedaan signifikan dari sisi pemasok. Michael mengungkapkan, alih-alih mengganti rantai pasok yang sudah ada, Qasir memilih bekerja sama dengan toko grosir tradisional serta memberdayakan mereka dengan teknologi untuk meningkatkan sistem manajemen.

“Kembali lagi ke misi utama kita untuk memberdayakan bukan hanya bisnis UMKM, namun semua yang terlibat dalam ekosistem ini,” tambahnya.

Strategi bisnis dan target ke depan

Seiring dengan ekosistem yang masih berkembang, perusahaan menyadari pentingnya edukasi pasar untuk model bisnis ini. Michael mengungkapkan empat strategi yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan. Pertama, Ia percaya jika sistem ini bisa mencatat transaksi untuk berbagai macam bisnis, maka semua bisnis di atasnya akan berhasil.

Kedua, Qasir mencoba masuk ke dalam behavior pengguna sehari-hari untuk mencatat transaksi, sekaligus sebagai validasi bisnis. Belum lama ini juga telah bekerjasama dengan Kominfo untuk menjangkau para nelayan yang berada di bagian timur Indonesia agar bisa lebih baik dalam mengelola data transaksi mereka. Hal ini berkaitan dengan validasi sekaligus memudahkan mereka dalam mendapatkan pembiayaan.

This is why we’re focusing so much on transaction recording, karena hal ini adalah kunci dari akses mereka menuju inklusi finansial,” ujar Michael.

Ketiga, berkolaborasi dengan berbagai macam katalis, seperti pemerintah, bisnis franchise dll. Hal ini sekaligus membantu penetrasi pasar, agar lebih banyak ekonomi yang bisa dijangkau.

Terakhir, sebagai ekosistem terbuka, selalu ada kemungkinan untuk integrasi fitur. “Kami percaya kalau bisa menjalani empat hal ini, dalam waktu dua tahun kami akan sampai di tempat yang kami mau.”

Distribusi produk Qasir kini telah sampai ke Jabodetabek, Malang, Yogyakarta, dan Denpasar. Rencananya tahun depan mereka akan menambah daftar ekspansi.

Dari sisi pendanaan, Qasir sudah berada di tahap seri A dan sedang merencanakan untuk menggalang seri B.

“Memasuki tahap Seri B berarti semakin ambisius. Target selanjutnya adalah untuk mencapai paling tidak 5 juta pengguna. Saat ini kami berada di 80 ribu. Karena itu harus agresif,” tutup Michael.

Application Information Will Show Up Here

Sampingan Receives Pre Series A Funding Worth of 21 Billion Rupiah

Sampingan is an app that offers side jobs for its users. Today (10/8) they announced pre-series A funding worth of $1.5 million or equivalent to 21.2 billion Rupiah, led by Golden Gate Ventures – a venture capital that focuses on seed funding.

Participated also in this round, Antler and some angel investors. Sampingan happened to graduate from Antler‘s startup program. Investment is to be focused on business operational expansion.

Sampingan is designed to connect business with freelancers. There are few job offers, such as reviewer, surveyor, marketing agent, many more. Users that register as an agent or worker can participate in any job and gain credit (cash) to be disbursed.

Founded in late 2018, Sampingan is currently supported by 60 officers and build a headquarter in Jakarta. They just developed an app in the Android version, however, they claimed to have more than 150 thousand applicants.

Sampingan was founded by three people, Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, and Dimas Pramudya. Those are graduates from Universitas Padjadjaran. Wisnu and Dimas used to be in the product and developer team at Gojek. Margana owns and runs an outsourcing business.

Previously, the founder said in an interview with DailySocial that the service was inspired by the outsourcing business models with a daily or monthly target for users. In the process, Sampingan uses a similar approach, and provides income based on performance (pay per performance).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian