Blue Bird dan Traveloka Luncurkan Layanan Transportasi Bandara

Hari ini, (19/12), Traveloka dan Blue Bird Group mengumumkan kerja sama strategisnya dalam hal pemesanan langsung transportasi bandara di 10 kota di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, Lombok, Solo, Semarang, Yogyakarta, Medan, dan Manado). Kerja sama ini dijalin untuk memberikan kemudahan serta kenyamanan bagi pengguna Traveloka dan Blue Bird mendapatkan transportasi menuju ke bandara dan dari bandara menuju rumah atau tujuan lainnya.

Kepada media, Senior Vice President Business Development Traveloka Caesar Indra mengungkapkan, kerja sama ini dijalin berdasarkan adanya kesamaan visi dan misi Blue Bird dan Traveloka.

“Kita di Traveloka tidak sembarangan memilih mitra untuk memperluas bisnis dan menciptakan layanan baru. Karena alasan itulah kemitraan dengan Blue Bird Group ini diharapkan bisa menjadi pilihan baru bagi pengguna Traveloka.”

Sudah tersedia di aplikasi mobile untuk versi Android dan menyusul di iOS, pengguna bisa memilih fitur Transportasi bandara. Pengguna akan diarahkan kepada pilihan untuk penjemputan menyesuaikan dengan waktu tiba pesawat, jumlah penumpang dan nomor pesawat. Dengan perhitungan tarif All-In (tol, bahan bakar) pengguna diklaim bakal mendapatkan harga yang sesuai dan flat (tetap).

“Kami mengkategorikan layanan ini sebagai layanan premium dengan pilihan mobil yang beragam dan kemudahan pemesanan langsung dari aplikasi,” kata Ceesar.

Mengantongi ijin khusus dari bandara

Berbeda dengan transportasi online lainnya yang hingga kini masih harus “bersembunyi” dari pihak keamanan bandara saat menjemput penumpang di bandara, layanan transportasi bandara Traveloka dan Blue Bird ini telah mengantongi ijin resmi untuk beroperasi di bandara, memanfaatkan ijin yang sudah dimiliki oleh Blue Bird Group. Hal tersebut memberikan kepastian dan keamanan lebih saat melakukan pemesanan menuju bandara dan arah pulang dari bandara.

Disinggung tentang alasan mengapa memilih Traveloka sebagai mitra, bukan Go-Jek yang saat ini sudah menyediakan pemesanan taksi Blue Bird melalui aplikasinya, Direktur PT Blue Bird Sigit Priawan Djokosoetono menyebutkan, hal tersebut sengaja dilakukan untuk memberikan layanan yang beragam.

“Meskipun kami sudah bermitra dengan Go-Jek namun untuk layanan transportasi bandara ini sengaja kami lakukan dengan Traveloka demi memberikan pilihan layanan yang berbeda. Untuk pengguna yang ingin memesan taksi bisa memanfaatkan aplikasi Go-Jek sementara untuk transportasi bandara jenis mobil pribadi bisa memanfaatkan aplikasi Traveloka.”

Melalui kerja sama ini Blue Bird menyediakan dua opsi layanan transportasi, yaitu layanan airport transfer dengan Golden Bird dan berbagai tipe mobil seperti Avanza, Inova, Camry, Alphard.

“Untuk pengguna dalam group bisa memesan layanan yang akan mengantar dari satu poin ke poin selanjutnya,” kata Sigit.

Application Information Will Show Up Here

Observing E-Commerce Dynamic in Southeast Asia

In the report written by Bain & Company, e-commerce consumer growth in Southeast Asia has reached 50% of total 200 million consumers in last 2016. The huge market interest in buying and doing e-commerce transaction is mentioned in the report as “hyperactive” market for Southeast Asia.

In Indonesia, there are 5.1 people in average using e-commerce platform per year. Meanwhile, the most used payment method is Cash on Delivery (CoD).

The increasing number of low cost smartphone users in Southeast Asia (including Indonesia) becomes one of the supporting factors on why e-commerce, on-demand platform and others are the most favorites. In Indonesia, known as mobile first country where smartphone becomes daily gadget used for work, shopping and entertainment.

OTA services growth in Southeast Asia

Another fascinating facts are mentioned in the report, the biggest and most used
service in Southeast Asia’s consumers is, travel and tourism ($22 billion),
followed by e-commerce ($15 billion), media and entertainment ($3 billion),
advertising ($2 billion), transport ($2 billion), gaming ($2 billion) and lastly
there is social/messaging ($0.2 billion).

Regarding the fast-growing travel and tourism service, during 2017 in Indonesia is dominated by Traveloka which rumored to have valued more than $2 billion and make it the first startup unicorn in Indonesia’s online travel industry. Previously in July 2017, Expedia announced an investment in Southeast Asia, Indonesia in particular, by taking minor stake in Traveloka worth $350 million (over 4.6 trillion Rupiah). In Indonesia, the value lose to Go-Jek which rumored to have reached $3 billion after receiving funding from Tencent.

Not only selling hotel rooms, flight, train tickets and more, Traveloka is now
selling tour packages. The service known as Activity & Recreation giving
opportunity for travellers to buy tourism site tickets, on website or through app.

In Indonesia, Traveloka’s competitor is Tiket, which after acquired by Blibli is
increasingly aggressive in marketing, user acquisition, sales, and making other
interesting features and offers.

The rise of social commerce

On the other hand, purchases made by social media is getting consumer attention in Southeast Asia even though in relatively small amount. According to the current data, countries such as Thailand and Indonesia have used social media (Facebook, Instagram) frequently. Besides for communicating with friends and family, social media is now widely used to sell goods to service, making use of “Shop” feature applied in each platform.

The platform is claimed to have data which can be used by brand in observing
consumer behaviour from the transaction started till the payment made. Furthermore, the next marketing act can be targeted for more relevant promo and latest information. Chat and Messenger apps are currently used to do business.

“Agile” approach for successful business in Southeast Asia

The interesting fact revealed in the report, the Southeast Asia’s e-commerce
industry keeps shifting and must be able to adopt new innovation quickly. An
“agile” approach or ability to move faster is a startup’s must-have mindset.

In fact, investment on technology is also a key to succes for startup in running a
sustainable business in Southeast Asia. Another thing to be noticed is a strategy
to get ahead of competitor and evolve in the digital landscape.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menyimak Dinamika Layanan E-Commerce di Kawasan Asia Tenggara

Dalam laporan yang ditulis Bain & Company terungkap, pertumbuhan konsumen layanan e-commerce di Asia Tenggara pada tahun 2016 lalu mencapai hingga 50% dengan total konsumen mencapai 200 juta orang. Besarnya minat pasar membeli dan melakukan transaksi layanan e-commerce disebutkan dalam laporan tersebut sebagai pasar yang “hiperaktif” untuk kawasan Asia Tenggara.

Di Indonesia sendiri tercatat rata-rata sekitar 5,1 orang memanfaatkan platform layanan e-commerce per tahunnya. Sementara untuk pilihan pembayaran paling banyak dimanfaatkan adalah pilihan Cash on Delivery (COD).

Makin besarnya jumlah pengguna low cost smartphone di kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) menjadi salah satu faktor pendukung, mengapa layanan e-commerce, on-demand platform dan lainnya, menjadi favorit di gunakan setiap hari. Di Indonesia sendiri saat ini dikenal sebagai “mobile first country” di mana smartphone menjadi gadget rutin yang digunakan untuk bekerja, belanja hingga mencari hiburan.

Pertumbuhan layanan OTA di Asia Tenggara

Hal menarik lain yang juga disampaikan dalam laporan tersebut adalah, layanan terbesar yang paling banyak dimanfaatkan oleh konsumen di Asia Tenggara adalah, layanan pariwisata dan perjalanan wisata ($22 miliar), diikuti dengan layanan e-commerce ($15 miliar) dan media serta hiburan ($3 miliar), advertising ($2 miliar), transportasi ($2 miliar) dan yang terakhir adalah gaming ($2 miliar), disusul dengan social/messaging ($0,2 miliar).

Terkait dengan makin meningkatnya pertumbuhan layanan travel dan turisme, di Indonesia selama tahun 2017 masih didominasi oleh Traveloka yang kini dikabarkan bervaluasi lebih dari $2 miliar dan menjadikannya startup unicorn pertama di industri travel online Indonesia. Sebelumnya pada bulan Juli 2017, Expedia mengumumkan investasinya di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan mengambil saham minoritas di Traveloka senilai $350 juta (lebih dari 4,6 triliun Rupiah). Nilai valuasinya di Indonesia hanya kalah dari Go-Jek yang disebutkan mencapai $3 miliar pasca perolehan pendanaan dari Tencent.

Bukan hanya menjual kamar hotel, tiket pesawat, kereta api dan lainnya, kini Traveloka juga mulai menjual paket wisata. Layanan yang dinamai Aktivitas & Rekreasi ini memberikan kesempatan pengguna Traveloka membeli tiket tempat wisata di genggaman mereka, baik melalui web maupun melalui aplikasi.

Perusahaan lainnya yang mencoba untuk menjadi kompetisi Traveloka di Indonesia adalah Tiket, yang setelah diakuisisi Blibli makin gencar menjalankan kegiatan pemasaran, akuisisi pengguna, penjualan hingga menghadirkan fitur dan penawaran menarik lainnya.

Kebangkitan social commerce

Sementara itu, pembelian memanfaatkan media sosial juga mulai dilirik oleh konsumen di Asia Tenggara meskipun jumlahnya masih tergolong kecil. Dari data yang tercatat saat ini, negara seperti Thailand hingga Indonesia sudah mulai banyak yang memanfaatkan media sosial (Facebook, Instagram). Bukan hanya untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, media sosial saat ini sudah banyak digunakan untuk menjual barang hingga layanan, memanfaatkan fitur “Shop” yang sengaja dihadirkan oleh masing-masing platform.

Platform tersebut diklaim juga memiliki data yang bisa dimanfaatkan oleh brand untuk melihat consumer behaviour mulai dari awal transaksi hingga pembayaran. Sehingga untuk kegiatan pemasaran selanjutnya bisa ditargetkan promo dan informasi terbaru yang lebih relevan. Aplikasi Chat dan Messenger saat ini juga makin banyak dimanfaatkan untuk melancarkan bisnis.

Pendekatan “agile” agar bisnis sukses di Asia Tenggara

Hal menarik yang terungkap dalam laporan tersebut adalah industri e-commerce di kawasan Asia Tenggara kerap berubah dan harus bisa mengadopsi inovasi baru dengan cepat. Pendekatan yang “agile” atau kemampuan untuk bisa bergerak dengan cepat selancar mungkin, merupakan mindset yang harus dimiliki oleh startup.

Selain itu berinvestasi di teknologi juga merupakan salah satu kunci sukses bagi startup bisa menjalankan bisnis secara sustainable di kawasan Asia Tenggara. Hal lain yang perlu dicermati adalah startegi yang harus dimiliki agar bisa tampil lebih unggul dari kompetitor dan terus berevolusi dalam lanskap digital.

Yuna App Officially Released as Virtual Assistant For Fashion

Indonesian women’s high interest in consuming fashion and beauty products draws attention of many local to global startups. One of which is Yuna, a freshly launched local startup. It’s claimed to be providing mobile app supported by Artificial Intelligence technology.

In today’s (12/13) media gathering, Yuna & Co CEO Winzendy Tedja said, his idea in making fashion app functioning as matchmaker is started from personal experience among women’s habits and trends related to fashion.

“To be able to create a more personal style, I, later with other co-founders are decided to make an app where you can unite brand with consumer based on likes and preferences.”

An app which now available to be downloaded on Android and iOS, is displaying style selection matching consumer’s taste. Later, based on the personal style, Yuna will match the consumer’s data collected with products from existing 40 brands listed.

“Registered brands on Yuna are all premium one, or also in e-commerce business or having offline store. We intentionally present a premium collection targeting woman in need of personal assistance in choosing the right fashion.” said Tedja.

Yuna virtual assistant as chatbot

Based on a chat message, registration process, style selection and directing to the matching brand, Yuna appears actively in app, helping users like a real-person assistant.

Asked about the significant difference between Yuna’s personal assistant with e-commerce, Tedja confirmed Yuna’s chatbot feature can be used by brand in communicating directly with users or potential buyers.

“Thus, it allows brand to know directly what user wants and tastes from an app,” added Tedja.

By a unique feature, fashion app with matchmaking concept is claimed to be the first in Indonesia. Yuna app is free to use by users. Meanwhile for monetizing, Yuna will apply subscription fee for brand, offering data and other unique features in Yuna.

“On the amount we get from brand is not to be revealed, but we guarantee the brand to get accurate access related to consumer behavior and other unique features to help accelerate the sales,” said Tedja.

Yuna’s target in 2018

Since iOS version launched on May 2017, Yuna focused on attracting brand to join. It is targeted on the second quarter of 2018, Yuna can reach approximately 100 local and global brands. In total, there are currently 50 thousands SKU with a million Yuna’s product combination.

“In addition, we will present the latest features, collaborate with influencers, fashion bloggers, brands and related communities to expand our business,” ended Tedja.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Carousell Indonesia’s Achievements and Future Plans

Celebrating its third anniversary in Indonesia, Singapore-based mobile classified app Carousell explained its achievements and future plans in 2018. According to the data, there are 2.1 million stuffs approximately has been sold in Carousell Indonesia by third quarter of 2017. Most popular categories are gadget and electronics, men’s and women’s clothes, health and beauty goods, and also baby products.

Carousell in Indonesia has reached 8.8 million listings with approximately 100 preloved products per minute. Of all Carousell’s users , most of them are individual and only a few shopkeepers selling their preloved goods through Carousell.

“In its third year of their presence, Carousell wants to inspire Indonesians in selling and buying preloved products through Carousell,” said Marcus Tan, Carousell’s Co-Founder.

A new feature using Artificial Intelligence

To provide maximum service and faster sales, Carousell plans to launch new features in 2018 using AI technology. Begins with Smart Listings to provide relevant recommendations for users, a new Home Screen display with more personal design following user interests, and an In-App Chat updates attached in Carousell’s app.

“All these new features are expected to fasten the registration process from 30 seconds to 3 seconds and provide sellers and buyers a smooth communication,” said Tan.

Yet to be monetized

Focusing on user acquisition (seller and buyer), Carousell Indonesia is yet to be monetized. It’s in line with Carousell Indonesia’s plan to fasten improvement and increase active users. Carousell is currently available in Jabodetabek, Medan, Surabaya and Bandung.

“In contrast to Singapore with larger market, in the last 5 years we capable to monetize with advertising and other additional features, meanwhile in Indonesia, we have not done any monetizing act,” added Tan.

After securing a Serie B Funding in last 2016 lead by Rakuten Ventures with Sequia India, Golden Gate Ventures and 500 Startups for $35 million (about 458 billion Rupiah), Carousell currently claimed to not have any plans for fundraising activities. Furthermore, it is still in technology development and mobile app improvement to get advance function.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Yuna Resmi Meluncur sebagai Asisten Virtual Kebutuhan Fesyen

Besarnya minat kalangan perempuan di Indonesia mengonsumsi produk fesyen dan kecantikan membuat banyak layanan startup lokal hingga asing melirik peluang tersebut. Salah satu startup lokal yang baru meluncur memanfaatkan peluang tersebut adalah Yuna. Yakni dengan menghadirkan aplikasi mobile yang didukung teknologi Artificial Intelligence.

Dalam acara temu media hari ini (13/12), CEO Yuna & Co Winzendy Tedja mengungkapkan, bahwa ide dibuatnya aplikasi fesyen yang berfungsi seperti “matchmaker” ini berawal dari pengalaman pribadinya melihat kebiasaan dan tren di kalangan perempuan terkait dengan fesyen.

“Untuk bisa membuat style lebih personal saya pun kemudian bersama dengan co-founder lainnya memutuskan untuk membuat aplikasi yang bisa mempertemukan brand dengan pengguna berdasarkan kesukaan dan preferensi.”

Aplikasi yang saat ini sudah bisa diunduh di platform Android dan iOS ini menampilkan pilihan gaya sesuai dengan selera dari pengguna. Nantinya berdasarkan gaya personal tersebut, data yang dikumpulkan oleh Yuna akan mencocokkan pengguna dengan produk dari sekitar 40 brand yang saat ini sudah terdaftar di Yuna.

“Secara keseluruhan brand yang bergabung di Yuna adalah brand premium, atau mereka yang memiliki toko di layanan e-commerce hingga toko fisik. Kami sengaja menghadirkan koleksi yang premium menargetkan kalangan perempuan yang membutuhkan asisten pribadi dalam hal menentukan fesyen yang sesuai,” kata Winzendy.

Asisten virtual Yuna berbentuk chatbot

Berbasis chat message, mulai proses awal pendaftaran, pemilihan gaya yang sesuai, hingga memandu ke brand yang sesuai, chatbot Yuna cukup aktif tampil di aplikasi, membantu pengguna layaknya asisten pribadi yang sesungguhnya.

Disinggung tentang perbedaan yang signifikan antara personal assistant Yuna dengan layanan e-commerce, Winzendy menegaskan fitur chatbot Yuna bisa dimanfaatkan brand untuk berkomunikasi secara langsung dengan pengguna atau calon pembeli.

“Dengan demikian memungkinkan untuk brand mengetahui dengan langsung keinginan dan selera dari calon pembeli dari aplikasi,” kata Winzendy.

Dengan fitur yang tergolong unik, aplikasi fesyen dengan konsep matchmaking ini diklaim merupakan yang pertama di Indonesia. Aplikasi Yuna bisa digunakan secara gratis oleh pengguna. Sementara untuk melancarkan monetisasi, Yuna akan memberlakukan subscription fee untuk brand, yang membutuhkan data serta fitur menarik lainnya dari Yuna.

“Berapa komisi yang kami dapatkan dari brand tidak bisa saya ungkapkan, namun kami menjamin brand bisa mendapatkan akses yang akurat seputar consumer behaviour dan fitur menarik lainnya yang bisa membantu mendorong penjualan,” kata Winzendy.

Target Yuna tahun 2018

Sejak meluncurkan aplikasi versi iOS bulan Mei 2017, fokus Yuna saat ini masih kepada peningkatan jumlah brand yang bergabung di Yuna. Ditargetkan pada kuartal kedua 2018 mendatang, Yuna bisa mendapatkan sekitar 100 brand lokal dan asing yang terdaftar. Secara keseluruhan hingga kini terdapat 50 ribu SKU dengan 1 juta kombinasi produk di Yuna.

“Selain itu kami juga akan menghadirkan fitur-fitur terbaru, melakukan kolaborasi dengan influencer, fashion blogger, brand dan komunitas terkait lainnya untuk memperluas bisnis kami,” tutup Winzendy.

Application Information Will Show Up Here

Capaian dan Rencana Carousell Indonesia Pasca Tiga Tahun Beroperasi

Merayakan HUT-nya yang ketiga, layanan mobile classified app asal Singapura, Carousell, menjabarkan pencapaian dan rencana di tahun 2018. Dari data yang disampaikan terungkap, sebanyak 2,1 juta barang telah terjual di Carousell hingga kuartal ketiga tahun 2017. Kategori terpopuler adalah gadget dan barang elektronik, pakaian pria dan wanita, barang kesehatan dan kecantikan, serta produk perlengkapan bayi.

Di Indonesia sendiri Carousell yang dikenal sebagai platform jual beli barang bekas telah memiliki sekitar 8,8 juta listing, dengan rata-rata sekitar 100 barang preloved yang didaftarkan ke platform dalam waktu satu menit. Dari jumlah keseluruhan pengguna yang ada di Carousell kebanyakan adalah kalangan individu dan hanya sedikit pemilik toko yang menjual barang bekas pakai memanfaatkan Carousell.

“Di usia ke tiga kehadiran Carousell di Indonesia, kami ingin memberikan inspirasi lebih banyak kepada masyrakat Indonesia untuk melakukan jual beli barang bekas memanfaatkan platform Carousell,” kata Co-Founder Carousell Marcus Tan .

Meluncurkan fitur baru memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence

Untuk memberikan layanan lebih maksimal dan proses penjualan lebih cepat, pada tahun 2018 mendatang Carousell berencana untuk meluncurkan fitur-fitur terbaru memanfaatkan teknologi AI. Mulai dari Smart Listing yang bisa memberikan rekomendasi lebih relevan untuk masing-masing pengguna, tampilan Home Screen baru yang didesain lebih personal mengikuti minat dan kesukaan dari pengguna, hingga memperbarui In-App Chat yang saat ini sudah disematkan dalam aplikasi Carousell.

“Semua fitur baru tersebut kami harapkan bisa mempercepat proses pendaftaran barang, penjualan dari sekitar 30 detik hingga menjadi 3 detik sekaligus memperlancar komunikasi antara penjual dan pembeli,” kata Marcus.

Belum melakukan monetisasi

Masih fokus kepada akuisisi pengguna (penjual dan pembeli), Carousell Indonesia hingga kini belum melakukan monetisasi. Hal ini dilakukan menyesuaikan rencana dari Carousell Indonesia yaitu mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan pengguna aktif. Saat ini Carousell telah tersedia di Jabodetabek, Medan, Surabaya, dan Bandung.

“Berbeda dengan Singapura yang pasarnya lebih luas, kami selama 5 tahun terakhir sudah mulai melakukan monetisasi dengan fitur iklan dan tambahan lainnya, sementara di Indonesia kami belum melancarkan kegiatan monetisasi tersebut,” kata Marcus.

Setelah mendapatkan pendanaan Seri B tahun 2016 lalu yang dipimpin oleh Rakuten Ventures bersama dengan Sequia India, Golden Gate Ventures, dan 500 Stratups, sebesar $35 juta (sekitar Rp 458 miliar), saat ini Carousell mengklaim belum memiliki rencana untuk melakukan kegiatan penggalangan dana. Selanjutnya Carousell masih mengembangkan teknologi dan meningkatkan aplikasi mobile agar bisa berfungsi lebih advance.

Application Information Will Show Up Here

Hadirkan Fitur “Booking” Kamar Rawat Inap, Aplikasi Medicaboo Siap Ekspansi Menyeluruh ke Sumatra dan Jawa

Bertujuan membantu pengguna mendapatkan kamar rawat inap lebih cepat dan mudah dengan memanfaatkan pemesanan secara online, platform Medicaboo didirikan. Kepada DailySocial, Co-founder dan CTO Medicaboo Farly Nur Dewantara mengungkapkan, ide pendirian Medicaboo salah satunya berawal dari pengalaman pribadi Farly. Ketika adik ipar sedang sakit demam berdarah, ia kesulitan untuk menemukan rumah sakit dan harus antri untuk mendapatkan kamar rawat inap.

“Adik ipar saya yang kondisinya sangat lemah harus rela antri berkali-kali untuk berpindah rumah sakit, menunggu lama konsultasi, dan konfirmasi kamar rawat inap. Alhamdulillah, setelah perjalanan yang melelahkan adik ipar saya mendapatkan kamar di RS yang ketiga mereka datangi.”

Melihat masih minimnya ketersediaan dan buruknya pengalaman yang dialami, Farly dan Co-Founder lainnya, Drg. Suci Nuralitha, M.kes., Dr. Amru Sofian SpOG (K). Onk. MWALS, dan Atikah Chairunissa, memutuskan membuat sebuah platform yang bisa membantu pengguna dengan cepat menemukan kamar rawat inap, sebelum tiba di rumah sakit tersebut.

“Membuat startup adalah salah satu dream saya sejak kuliah dan kesempatan seperti ini jarang muncul dua kali. Setelah berdiskusi dengan istri, saya membulatkan tekad untuk keluar dari perusahaan asing (tempat kerja saya sebelumnya) dan maju membuat startup sendiri bersama keluarga. Saat ini belum ada platform yang dapat memenuhi kebutuhan itu dengan baik, karena itu Medicaboo hadir untuk membantu masyarakat,” kata Farly.

Melakukan ekspansi ke seluruh Sumatra dan Jawa

Meskipun masih terbilang baru, Medicaboo yang berbasis di Pekanbaru, Riau, menyebutkan telah memiliki sekitar 408 rumah sakit dan 2050 dokter yang terdaftar. Selain ingin menjadi platform penghubung antara pengguna, dokter dan rumah sakit, Medicaboo ingin menjadi media yang memudahkan pengguna mendapatkan dengan cepat informasi hingga ketentuan saat melakukan reservasi kamar rawat inap.

“Kami ingin masyarakat tidak perlu lagi merasakan kesulitan dalam mencari informasi dokter, layanan kesehatan dan dapat melakukan pemesanan kesehatan secara online,” kata Farly.

Meskipun memiliki kesamaan dengan startup lokal di bidang kesehatan yang sudah hadir saat ini, namun Farly mengklaim terdapat keunggulan yang ditawarkan platform-nya

“Medicaboo menyediakan fitur booking kamar rawat inap rumah sakit. Anda bisa melihat informasi kamar mulai dari deskripsi kamar rawat inap, fasilitasnya, gambar kamar, ketersediaan hingga pemesanan online kamar rawat inap mudah dari aplikasi mobile versi android Medicaboo,” kata Farly.

Masih menjalankan bisnisnya secara bootstrapping, Medicaboo memiliki sejumlah target, di antaranya adalah menjadi one-stop-health platform, memperluas wilayah layanan, meningkatkan kualitas, dan meluncurkan fitur-fitur terbaru tahun 2018 mendatang.

“Setelah Pekanbaru, Riau, Medicaboo juga berencana untuk melakukan ekspansi menyeluruh ke Sumatra dan Jawa,” tutup Farly.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Startup Perjalanan Wisata dan Aktivitas Lokal, Belajar dari Penutupan Tripvisto

Ditutupnya salah satu layanan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata Tripvisto sekitar bulan Oktober lalu menyisakan sebuah pertanyaan besar. Ada apa dengan bisnis ini yang memiliki potensi cerah dengan target pasar yang menggiurkan, terutama kalangan millennial.

Tripvisto merupakan startup yang fokus dengan bisnis ini sejak tahun 2014 dan telah menerima pendanaan dalam jumlah relatif besar ($1 juta di putaran pendanaan terakhirnya) dan didukung investor ternama (East Ventures, Gobi Partners).

Didirikan Bernardus Sumartok, yang sebelumnya juga sempat menutup bisnis serupa, Flamingo, Tripvisto sendiri sempat mengalami pertumbuhan bisnis yang positif dengan merekrut anggota tim yang cukup banyak, pindah ke kantor yang lebih besar, hingga menghadirkan ribuan perjalanan wisata lokal hingga mancanegara.

Kerasnya bisnis di sektor ini akhirnya mendorong Tripvisto untuk tidak meneruskan bisnisnya. DailySocial sendiri belum memperoleh konfirmasi langsung dengan Sumartok, namun pandangannya soal sektor marketplace perjalanan wisata bisa disimak di video liputan DScussion #59 kami.

Sektor yang terlalu fragmented

Di Indonesia sendiri saat ini cukup banyak startup serupa yang mencoba menghadirkan marketplace aktivitas dan perjalanan wisata lokal hingga asing.

Salah satu startup yang baru saja meluncurkan layanan serupa adalah Triprockets. Startup ini menerapkan cara yang sama dilakukan Airbnb, yaitu sharing economy atau ekonomi berbagi antar pengguna. Triprockets disebutkan didirikan demi memberikan alternatif pilihan kegiatan wisata yang unik baik di Indonesia maupun negara lainnya.

Terkait dengan kegagalan yang dialami layanan serupa, CMO Triprockets Raymond Iskandar mengungkapkan hal tersebut cukup mengejutkan namun menyadari bahwa sektor tours and activities mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya ladang hijau di dalam industri pariwisata.

“Tapi namanya sebuah ladang yang hijau, itu juga berarti banyak hal yang masih harus dilakukan. Jadi bukannya tidak mungkin dalam 5 tahun ke depan kita masih membangun blok pondasi dasar buat bisnis kita.”

Raymond melanjutkan sektor ini terbilang masih sangat fragmented. Ada ribuan perusahaan operator kecil menengah yang tersebar di seluruh dunia. Hal tersebut yang menyulitkan bisnis untuk dapat bertindak sebagai agregator dalam satu website. Berbeda halnya dengan industri lain di segmen ini, seperti hotel atau penerbangan (OTA). Saat ini menjual produk mereka relatif lebih mudah secara online dengan data yang telah tersedia.

“Sedangkan dalam kategori tour dan aktivitas tidak semudah itu, karena mencakup segala hal-hal kecil mulai dari multi-day tour, tour harian, tour jalan kaki, bersepeda, kelas memasak hingga harga tiket masuk taman hiburan. Jadi bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membuat mereka terhubung dan ‘berbicara dalam bahasa yang sama’, mengkategorikan mereka dalam satu kategori yang konsisten saja sudah merupakan tantangan tersendiri,” kata Raymond.

Model bisnis yang terlalu “luas”

Sementara bagi Traventure, marketplace yang mencoba menemukan para kreator wisata dengan para pencari kreasi wisata baru di Indonesia, melihat fenomena yang terjadi untuk Tripvisto adalah karena terlalu luasnya layanan yang dihadirkan. Tripvisto dianggap kesulitan untuk fokus menjual paket.

“Sedangkan Traventure berangkat sebagai antitesisnya, kami berangkat dengan visi mengumpulkan dan mengaktifkan setiap orang di indonesia untuk bisa membuat dan menampilkan paket trip kreasi mereka sendiri. Kami menyebutnya bottom-up approach. Kami ingin koleksi kami mirip dengan Tripvisto, kaya dan beragam. Tapi juga dimiliki oleh banyak pihak (marketplace) dan koleksinya alternatif,” kata Co-Founder Traventure Bondan Sentanu Mintardjo kepada DailySocial.

Kendala lain yang masih dihadapi bisnis ini adalah sulitnya mengkuantifikasi harapan market (online) akan produk yang abstrak seperti experience dan activity yang menjadi komoditas di sini.

“Pergeseran gaya hidup (yang berhubungan dengan gap generasi) juga harus dipelajari secara detil untuk memastikan dengan jelas demografi market yang mau disasar, karena sifat dan kebutuhannya beda satu dengan lainnya,” kata Bondan.

Ciptakan mindset survive, kreatif dan beradaptasi

Baik Triprockets dan Traventure hingga kini masih berusaha untuk menemukan momentum yang tepat agar bisnis bisa tumbuh dengan cepat. Untuk itu salah satu kunci kesuksesan yang mereka yakini adalah bertahan dan lebih kreatif. Keduanya melihat segmen bisnis ini menjadi sangat ideal dan sudah sangat tepat diluncurkan saat ini menargetkan kalangan millennial yang menggemari kegiatan wisata unik dan menarik.

“Sebetulnya menurut saya, saat ini adalah saat yang paling baik untuk sektor ini di mana dengan menurunnya generasi baby boomers yang sebelumnya mendominasi pasar travel dunia, akan semakin memudahkan kita untuk penetrasi pasar oleh generasi yang lebih muda,” kata Raymond.

Sementara menurut Bondan, agar bisnis bisa survive, idealnya startup yang berencana untuk menjalankan bisnis serupa bisa tampil lebih kreatif, Jangan mendikte market dengan koleksi trip “usang”.

“Bisnis wisata adalah bisnis kreatif dan sustainable, maka hargai nature bisnis ini dengan cara yang sama. Traventure sendiri masih dalam perjalanan menuju ke arah tersebut, jalan terjal dan berliku masih harus ditempuh, dan meminjam semangat traveling, di situ letak keseruannya,” kata Bondan.

Hal lain yang digarisbawahi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan menghindari untuk terlalu “mencintai” model bisnis yang dimiliki. Mereka juga harus fokus ke tujuan akhir startup, yaitu memberi pelanggan apa yang mereka inginkan terlepas dari model bisnis yang dimiliki.

“Bahkan sebuah perusahaan raksasa saja akan gagal kalau kita tidak mampu berubah dan beradaptasi. Triprockets dulu memulainya dengan menjual tiket atraksi, aktivitas dan tours dengan pola two-sided B2C marketplace yang saya rasa sama persis dengan konsep Tripvisto. Tapi di perjalanan it just turned out this peer-to-peer marketplace was the best way to serve great activity experiences untuk pelanggan kami. If this hadn’t worked out then keep adapt your business model,” kata Raymond.

Hal senada diutarakan Bondan dengan bisnis paket wisata unik yang dijalankannya. Meskipun masih berusia belia, namun Bondan dan tim percaya bisnis ini akan mengalami pertumbuhan yang positif nantinya.

“Hipotesis yang kita percaya, dan selama berjalannya Traventure ini masih konsisten, adalah bagaimana memberikan “rasa manusia” kepada platform aplikasi kita, bukan sekedar etalase kaku. Karena kembali lagi, yang kita jual adalah experience yang hubungannya dengan pemenuhan rasa/spritualitas pembeli,” kata Bondan.

T-CASH’s Achievement This Year And Its Transformation in 2018

T-CASH is practically known as inseparable part of Telkomsel. To guarantee all T-CASH services are available to public, T-CASH’s CEO Danu Wicaksana explained T-CASH’s achievement and future plans.

“Today we want to announce the latest information about T-CASH which in the past year has gained active users four times higher focus on two market segments, micro and lifestyle.”

Previously, Wicaksana has mentioned about T-CASH to be an agnostic service. The plan is in 2018’s first quarter, T-CASH will be available for public use.

“By this plan, we expect to be an independent mobile money service and ready to collaborate, not only with other telco operators but also corporate and government,” Wicaksana said.

By being agnostic product, T-CASH target is to gain massive new users outside of Telkomsel users.

Focus on the growth of mobile app users

Since its launching, T-CASH now has 10 million registered users, 60 million annual transactions and claims the 90% users have a good experience using T-CASH.

Of the four user interfaces T-CASH (USSD, NFC Sticker, Mobile App and Web-Check Out) owned, most users still go with USSD in using T-CASH. Mobile app users are considered insignificant.

It is now become T-CASH’s next focus to change usage perception in the form of sticker and USSD.

“We aware of all Indonesian users, not everyone has compatible smartphone to use T-CASH mobile app, it causes SMS-based USSD is still dominant. However, we eagerly need to encourage mobile app usage in the future,” said Wicaksana.

For T-CASH top up, usually called CICO (Cash-In-Cash-Out), mostly used by users are ATM, modern retail (Indomaret and merchants), Telkomsel Grapari and T-CASH Bang.

“In addition, we begins to receive lots of funding initiated by government, corporate to remittance using T-CASH,” added Wicaksana.

Provide lending to enterprises

With new concept developed over the past year, T-CASH has six framework strategies, among those are focus to airtime, offline merchant payment, online payment, online payment, remittance/P2P transfer, transport and financial services (insurance and lending). All those frameworks will be applied gradually by T-CASH as a solid framework.

“For the remittance, only T-CASH has a real-time process, money transferred to the registered banks and directly received by users,” said Wicaksana.

In terms of transportation, T-CASH plans to have partnership with Blue Bird and Transjakarta as payment service provider. As for the Financial Services segment, which currently under development, it can be used by related parties to see user’s credit scoring.

“We also have worked with BTPN, BNI and BTN in terms of funding allocation in various number to enterprises in Indonesia,” Wicaksana said.

T-CASH’s next target

Beside spinning off from Telkomsel and becoming independent, T-CASH’s next plan is to strengthen the 10 million customer base to 100-120 million in 5 years. In 2019-2020, T-CASH plans to get into scale-up stage, followed by becoming major player until 2021.

T-CASH will compete with other server-based payment service, including those initiated by telco, banking or startups. Example for latter parts are Go-Pay and DANA.

“As a server-based service, T-CASH is expected to be the number one mobile money provider in Indonesia, as well as encourage financial inclusion and cashless society in Indonesia,” Wicaksana ended.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here