Runchise Tawarkan Platform SaaS untuk Pengelolaan Bisnis Waralaba dan Kuliner

Nama Daniel Witono sudah tidak asing di komunitas penggiat startup Indonesia. Setelah sukses membangun Jurnal tahun 2015 lalu, sampai akhirnya diakuisisi oleh Mekari, kini ia tengah disibukkan dengan kegiatan barunya yaitu mengembangkan platform outlet management solution bernama Runchise.

Kepada DailySocial.id, Daniel mengungkapkan, alasan didirikannya Runchise berawal dari pengalamannya dulu saat mengembangkan Jurnal. Banyak klien mereka yang bertanya jika ada solusi atau teknologi yang bisa digunakan untuk melancarkan bisnis franchise (waralaba) mereka.

Persoalan tentang pengelolaan hingga pembinaan franchise ternyata masih menjadi tantangan yang kerap dirasakan oleh pemilik restoran hingga pemilik brand. Mulai dari kurangnya transparansi dari penerima waralaba, hingga penggunaan bahan baku yang tidak sesuai. Hal ini lalu memberikan inspirasi bagi Daniel untuk menghadirkan platform end-to-end kepada pemilik franchise.

“Saat bersama Mekari konsep ini tidak bisa saya kembangkan karena fokus perusahaan adalah hanya kepada akunting dan personalia saja. Karena itu setelah saya keluar, saya mulai mengembangkan Runchise untuk membantu sektor F&B di Indonesia yang sangat luas potensinya,” kata Daniel.

Masih dalam tahap pengembangan, saat ini Runchise menjalankan bisnis secara bootstrap. Rencananya dalam waktu 1 hingga 2 bulan mendatang, platform SaaS akan segera diluncurkan kepada target pasar.

Sebelumnya untuk SaaS khusus bisnis kuliner sudah ada Esensi Solusi Buana yang telah didukung sejumlah investor termasuk Alpha JWC Ventures. Solusi yang ditawarkan termasuk ERP, POS, dan manajemen layanan food delivery. Selain itu juga ada beberapa lainnyas seperti DigiResto yang dikembangkan MCAS.

Model bisnis dan strategi monetisasi

Secara umum saat ini ada dua model bisnis franchise, di antaranya adalah brand royalty dan penyediaan bahan baku. Untuk bisa menjaga kualitas dari produk yang dimiliki oleh pemilik franchise kepada penerima waralaba, dibutuhkan solusi terpadu yang bisa mengatur proses, integrasi sistem, hingga pengelolaan bahan baku dan pengiriman kepada pelanggan. Hingga saat ini Daniel melihat belum ada platform yang menawarkan solusi tersebut.

“Dengan ketatnya persaingan di kalangan franchise, mengharuskan mereka untuk bisa mengembangkan bisnis secara stabil dan profitable. Selain kurangnya integrasi sistem, persoalan seperti kecurangan seputar pemilihan bahan baku yang tidak sesuai hingga kurang transparannya laporan penjualan dari penerima waralaba, menjadikan bisnis franchise tidak bisa bertahan. Dengan teknologi yang ditawarkan oleh Runchise, diharapkan bisa mengatasi kendala tersebut,” kata Daniel.

Franchise hingga restoran yang disasar oleh Runchise adalah dari bisnis skala kecil hingga besar. Banyak di antara pemilik restoran dan franchise tersebut berpusat di pulau Jawa, namun karena besarnya skala layanan mereka, banyak juga di antara restoran tersebut yang saat ini sudah mulai melayani kota tier 2 dan tier 3. Melalui Runchise nantinya pemilik restoran bisa menjaga kualitas dan konsistensi dari brand di berbagai lokasi.

Selain pengelolaan supply chain, Runchise juga menawarkan solusi multi outlet management dan franchise solution. Untuk produk dan layanan yang mereka hadirkan di antaranya adalah, outlet management, point of sales, dan online ordering.

“Fokus kita saat ini adalah kepada sistem dan proses integrasi. Untuk online delivery kami juga menawarkan kepada pemilik restoran dan franchise untuk bisa memiliki channel tambahan di luar marketplace saat ini,” kata Daniel

Runchise juga menjalin kemitraan dengan logistik pihak ketiga untuk menghadirkan layanan pengantaran internal kepada restoran. Sementara itu untuk strategi monetisasi, selain mengenakan subscription plan, mereka juga mengenakan MDR (Merchant Discount Rate) untuk online order.

Selain memberikan layanan kepada franchise dan restoran, ke depannya Runchise juga ingin menghadirkan layanan terpadu ke restoran secara internal. Mulai dari mengembangkan bisnis mereka hingga mengembangkan kegiatan marketing mereka seperti loyalty program dan lainnya.

“Saya melihat hingga saat ini belum ada platform yang menghadirkan layanan seperti Runchise. Harapannya Runchise bisa menjadi end-to-end solution bagi sektor F&B di Indonesia,” kata Daniel.

TIX ID Survives Amid the Pandemic, Returning with Improved Productivity

TIX ID was launched in 2018 as a cinema ticket sales platform. It is the only third party with access to sell tickets from this country’s market leader, XXI cinema network. Other than that, the platform also partners with CGV and Cinepolis.

During the last two years, the business has experienced difficulties due to the pandemic and all the limitations applied by the government. This directly impacts TIX ID. The company was forced to restructure its employees for survival. Also, selling vouchers for various online streaming platforms in order to adapt to the current situation.

In 2022, they return along with the rise of the cinema industry.

DailySocial.id got the chance to speak directly with TIX ID’s CEO, Sean Kim on the company’s latest business. Amidst the work flexibility trend, Sean (and family) have been working from Bali for some time now.

He said, during the pandemic, TIX ID never had any intention to pivot.

“From the beginning, I was quite sure not to pivot. TIX ID used the gap for maintenance mode. There are many plans that remain in the pipeline that we haven’t launched. In the meantime, we are also starting to try to get additional income,” Sean added.

Since going to the cinema was not really a basic necessity for some people, Sean and his team wished that the applications installed will remain on their phones. In order to maintain engagement, through its application, TIX ID presents information related to film developments.

In addition, they also collaborate with OTT platforms to sell vouchers for on-demand video services and drive traffic to each platform. The initiative for a drive-in theater was also an option. However, with all the considerations, the plan should be canceled.

BEP milestone

“Entering 2021, the Hollywood film industry is seemed to start recovering. However, the delta variant arrived, and the government re-applied PSBB,” Sean said.

Although the pandemic has not been fully handled, several films such as Shang-Chi, Eternals, and Spider-Man have appeared to encourage the public’s enthusiasm for the cinema. With quite great numbers, apparently, the excitement is still insufficient.

It was not until the release of the horror movie “KKN di Desa Penari” not long after, which actually draw massive public attention — cinemas in various cities were filled with audiences.

This phenomenon turned out to have a positive influence on TIX ID. It was claimed due to the long queues, many people are using TIX ID app, and that becomes the moment for thousands of new users.

Sean also said that the KKN film plays a role in taking the TIX ID app to the first position on Google Play, as the most downloaded application by Indonesians.

In fact, this increasing trend has boosted the company’s revenue. Sean announces that the business has reached BEP (Break Even Point) and is on its way to positive cashflow.

The shifting in people’s behavior also has an impact. In the early days of TIX ID, its adoption was limited to the urban class. Meanwhile, with the current digital pace, it is getting evenly distributed, and users in tier-2 and 3 cities have started to adapt to app-based ticket purchasing instead of queuing up at the cinema.

“Before the pandemic, we projected to sell around 15-20% tickets. Today, we can sell around 40%. This is all due to the changes in consumer habits,” Sean said.

TIX ID is said to be the only platform that serves around 90% of cinemas in Indonesia. Even though other giant techs such as Traveloka, Gojek, and others have started to provide cinema ticket purchasing — it is said to cover only around 20%.

As a platform that dominates online cinema ticket sales, offline purchasing is considered to be TIX ID’s only competitor.

“When we first launched, we did a lot of promotional activities. However, we are starting to tune down these activities and the organic growth is getting better. It is not only from the number of users but also from business growth,” Sean said.

The platform remains to rely on DANA as the main payment option, Sean also said this strategic collaboration provides benefits for them. It is proven by DANA’s business growth among the younger generation.

Acquisition plan

TIX ID has many plans to carry out this year, one of which is the acquisition initiative to increase the ticket options for attractions and offline activities through the platform.

This plan is yet to be detailed. However, from our observation, TIX ID was involved in PouchNATION’s series B funding round in 2020, which is an event management system developer — complete with software and an RFID wristband.

The next plan to be intensified is for TIX ID to be more involved in the film production process. This agenda is yet to be further detailed.

In addition, to encourage sustainable growth, the company will optimize the use of big data to maximize ticket sales and help cinemas determine movie placement in their studios.

TIX ID also intends to strengthen strategic cooperation with OTT players, and other cinema operators in Indonesia to expand its network.

“Our advantages are user-base, data, and behavior. We still see an issue for movie theater owners to manage studios and find the right way to distribute films and fill the seats,” Sean said.

By utilizing this data, they will be able to predict and measure the movie’s potential before it is released, therefore maximizing profits.

TIX ID also aims to be a space for users who want to find new to old movies, which will be redirected to OTT partner platforms and various existing studios.

“In the future, we aim to not only be an online cinema ticket sales platform but also to transform the cinema industry to grow faster after the pandemic, as the situation gets better,” Sean said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bertahan di Tengah Pandemi, TIX ID Kembali dengan Produktivitas yang Semakin Baik

TIX ID meluncur di tahun 2018 sebagai platform penjualan tiket bioskop. Ia menjadi satu-satunya pihak ketiga yang memiliki akses menjual tiket di jaringan bioskop XXI, pemimpin pasar di negeri ini. Selain dengan XXI, mereka juga bermitra dengan CGV dan Cinepolis.

Selama pandemi dua tahun terakhir, bisnis bioskop mengalami kesulitan karena sektor ini sempat tidak boleh beroperasi bersamaan dengan berbagai pembatasan yang diterapkan pemerintah. Hal ini secara langsung berdampak bagi TIX ID. Mereka terpaksa melakukan restrukturisasi jumlah pegawai untuk bertahan. Perusahaan lalu beradaptasi menjual beragam voucher platform online streaming. 

Di tahun 2022, mereka kembali bangkit, seiring dengan bangkitnya industri bioskop.

DailySocial.id mendapat kesempatan berbincang langsung dengan CEO TIX ID Sean Kim, tentang perkembangan terbaru perusahaan yang dipimpinnya ini. Di tengah tren fleksibilitas bekerja, Sean (dan keluarga) telah bekerja dari Bali selama beberapa waktu terakhir.

Sean mengatakan, selama pandemi, TIX ID tidak terbersit ide untuk melakukan pivot.

“Sejak awal saya yakin tidak mau melakukan pivot. Momen tersebut  dimanfaatkan [TIX ID] untuk maintenance mode. Masih banyak rencana yang masuk dalam pipeline yang belum kami lancarkan. Di saat yang sama kami juga mulai mencoba mendapatkan pendapatan tambahan,” kata Sean.

Menyadari bahwa kegiatan masyarakat untuk mengunjungi bioskop bukanlah menjadi prioritas, Sean dan tim berharap aplikasi yang sudah banyak digunakan pengguna tetap bertahan di ponsel mereka. Demi bisa mempertahankan engagement, lewat aplikasinya TIX ID menghadirkan suguhan informasi terkait perkembangan film.

Selain itu mereka juga menjalin kolaborasi dengan platform OTT untuk bisa menjual voucher layanan video on-demand dan mendorong trafik ke masing-masing platform. Rencana untuk menghadirkan pilihan drive in theater juga sempat ingin diwujudkan. Namun melihat kondisi yang ada, rencana tersebut tidak jadi mereka kembangkan.

Telah mencapai BEP

“Memasuki tahun 2021, saya melihat industri film Hollywood sudah mulai pulih. Namun kemudian varian delta datang dan mengharuskan pemerintah untuk melakukan PSBB kembali,” kata Sean.

Terlepas dari Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali, beberapa film seperti Shang-Chi, Eternals, hingga Spider-Man muncul membangkitkan kembali semangat masyarakat untuk menikmati film di bioskop. Kendati menggeliat, namun minat menonton di bioskop belum maksimal.

Hingga akhirnya dirilis film horor “KKN di Desa Penari” tidak lama kemudian, yang justru mendapatkan atensi luar biasa dari masyarakat — bioskop di berbagai kota dipenuhi penonton.

Fenomena tersebut ternyata memberikan pengaruh positif kepada TIX ID. Tercatat karena tingginya antrean, aplikasi TIX ID kembali banyak digunakan, bahkan juga menjadi momentum hadirnya ribuan pengguna baru.

Sean mengklaim karena film KKN jugalah yang menempatkan aplikasi TIX ID sempat bertengger nomor satu di Google Play, sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh oleh masyarakat Indonesia.

Bahkan tren peningkatan ini turut mendongkrak revenue perusahaan, Sean mengklaim bahwa bisnisnya telah berhasil mencapai BEP (Break Even Point) dan tengah menuju cashflow positif.

Perubahan perilaku masyarakat juga memberikan pengaruh. Di awal berdirinya TIX ID, adopsinya masih terbatas di kalangan perkotaan. Sementara sekarang, dengan laju digital yang makin merata, pengguna di kota tier-2 dan 3 juga sudah mulai beradaptasi dengan kebiasaan baru untuk membeli tiket via aplikasi, alih-alih mengantre di bioskop.

“Sebelum pandemi kami memprediksi dapat menjual tiket sekitar 15-20%, saat ini kami dapat menjual sekitar 40%. Hal ini terjadi karena adanya perubahan kebiasaan dari konsumen,” kata Sean.

TIX ID mengklaim sebagai satu-satunya platform yang melayani sekitar 90% gedung bioskop di Indonesia. Meskipun platform seperti Traveloka, Gojek, dan lainnya sudah mulai memberikan pilihan membeli tiket bioskop — dinilai baru merangkul sekitar 20% saja.

Sebagai platform yang cukup mendominasi penjualan tiket bioskop secara online, pembelian tiket langsung ke bioskop dinilai menjadi satu-satunya kompetitor TIX ID.

“Saat awal meluncur kami banyak melakukan kegiatan promosi. Namun saat ini kami mulai meminimalisir kegiatan tersebut dan secara organik pertumbuhan semakin membaik. Bukan hanya dari jumlah pengguna namun pertumbuhan bisnis,” kata Sean.

Masih mengandalkan DANA sebagai pilihan pembayaran utama di TIX ID, menurut Sean kerja sama strategis ini memberikan keuntungan bagi mereka. Hal ini dilihat dari pertumbuhan bisnis DANA yang semakin baik di kalangan generasi muda.

Rencana akuisisi platform event

Tahun ini banyak rencana yang ingin dilancarkan oleh TIX ID, salah satunya adalah melakukan akuisisi yang bertujuan untuk menambah pilihan pembelian tiket atraksi dan kegiatan offline melalui platform.

Belum ada informasi mendetail terkait rencana ini. Namun satu hal yang bisa dikaitkan, pada tahun 2020 lalu TIX ID sempat terlibat dalam putaran pendanaan seri B PouchNATION, yakni sebuah startup pengembang sistem manajemen event — lengkap dengan perangkat lunak dan RFID wristband.

Rencana berikutnya yang ingin digencarkan, TIX ID ingin mulai terlibat lebih dalam pada proses produksi film. Agenda ini juga belum bisa dijabarkan detailnya.

Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan, akan ada optimasi penggunaan big data untuk bisa mengoptimalkan penjualan tiket dan membantu bioskop menentukan penempatan film di studio yang dimiliki.

TIX ID juga ingin mempererat kerja sama strategis dengan pemain OTT, dan pengelola bioskop lainnya di Indonesia untuk memperluas jangkauan.

“Keuntungan kami adalah user-base, data, dan behaviour. Kami melihat di bisnis ini masih sulit bagi pemilik gedung bioskop untuk mengelola studio dan menemukan cara yang tepat untuk mendistribusikan film serta mengisi jumlah bangku yang dijual,” kata Sean.

Dengan pemanfaatan data tadi, mereka akan mampu untuk memprediksi dan mengukur potensi film sebelum dirilis, sehingga dapat memaksimalkan profit.

TIX ID juga ingin menjadi platform rekomendasi bagi pengguna yang ingin mencari dan menikmati film baru hingga film lawas yang kemudian bisa di arahkan ke platform mitra OTT hingga berbagai studio yang ada.

“Ke depannya kita tidak hanya ingin menjadi platform penjualan tiket bioskop online, namun ingin mengubah industri sinema tumbuh lebih cepat pasca-pandemi, dengan semakin membaiknya kondisi saat ini,” kata Sean.

Application Information Will Show Up Here

Menilik Proposisi Nilai dan Strategi Bisnis USS Networks sebagai Brand Aggregator

Berawal dari sebuah pagelaran “Urban Sneaker Society”, USS Networks didirikan pada tahun 2019. Kini mereka berkembang menjadi sebuah group holding yang mengelola 15 IP (intellectual property) & brand menargetkan kalangan Gen Z. Beberapa merek yang dipegang di antaranya Urban Sneaker Society, USS Feed, Outbrake, Cretivox, Menjadi Manusia, dan Sonderlab.

Meskipun cara kerjanya serupa dengan brand aggregator lainnya, namun USS Networks mengklaim memiliki perbedaan cukup mencolok.

Co-founder & CEO USS Networks Sayed Muhammad mengungkapkan, pengalaman dan jaringan yang sudah mereka miliki sejak awal berdiri menjadi salah satu kunci sukses mereka untuk bisa mengembangkan brand yang telah mereka akuisisi.

“Kami memiliki tujuan untuk bisa memperluas jaringan. Dimulai dari sisi pemasaran memanfaatkan jaringan kami, karena secara ekosistem telah memiliki event yang besar, bukan hanya di Indonesia namun di Asia Tenggara yang bisa dimanfaatkan oleh brand sebagai distribution channel. Kami juga memiliki relasi dengan media sampai komunitas dari industri fesyen. Hal tersebut yang membedakan kami dengan platform lainnya,” kata Sayed.

Konsep brand aggregator berkembang cukup pesat dewasa ini. Sudah ada beberapa pemain serupa seperti Hypefast, Tjufoo, Open Labs, dan lainnya. Tidak sekadar fesyen, sektor lain pun juga memiliki brand aggregator-nya sendiri, misalnya Hangry yang masuk di area kuliner.

Tidak berhenti di brand fesyen

Dari sisi produk, USS Networks tidak akan berhenti di produk fesyen saja, ke depannya mereka juga ingin mengakuisisi IP media hingga NFT lebih banyak lagi

Di awal tahun 2022, mereka mengakuisisi pengembang proyek NFT Karafuru. Karafuru sendiri saat ini menduduki peringkat 40 all time transaction di Open Sea dengan total transaksi lebih dari 1,5 triliun Rupiah. Di luar ini, USS Networks masih punya target untuk bisa mengakuisisi 3 s/d 4 brand lain tahun ini.

Selain itu, sejak awal komunitas masih menjadi prioritas bagi USS Networks untuk bisa mengembangkan bisnis. Di sisi lain, proses kurasi memanfaatkan riset juga terus dilakukan  untuk mengakuisisi brand hingga IP yang tepat.

“Kami adalah perusahaan yang profitable dari hari pertama dan terus bertumbuh setiap tahunnya. Pada tahun 2021 kami tumbuh lebih dari 100% YoY dan pada tahun 2022 ini kami perkirakan bisa bertumbuh lebih dari 200% YoY, baik secara revenue maupun profit,” kata Sayed.

Rencana bisnis setelah pendanaan

Bertujuan untuk mengakselerasi bisnis, USS Networks telah mengantongi pendanaan pra-seri A dengan jumlah yang tidak disebutkan. Pendanaan tersebut dipimpin oleh SALT Ventures. Selain itu, Tokopedia dan OCBC NISP Ventura turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Bagi SALT Ventures, sektor digital media dan IP merupakan salah satu fokus investasi karena sektor ini sedang bertumbuh besar di Indonesia.

“Kedua founder sangat jeli dalam melihat upcoming trend dan bahkan bisa menciptakan sebuah tren. Itu adalah resep USS Networks dapat bertumbuh sangat cepat dalam 3 tahun terakhir,” kata Managing Partner SALT Ventures Danny Sutradewa.

Dana segar tersebut nantinya akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan IP & brand D2C yang cocok dengan ekosistem USS Networks. Bukan hanya brand asal Indonesia, cakupan mereka telah diperluas hingga pasar regional.

“Karena pengalaman dan jaringan yang kami miliki, proses akuisisi terhadap brand dan IP selama ini tidak menjadi kendala bagi pemilik brand. Mereka sudah memahami konsep yang kami tawarkan, yang pada akhirnya bisa membantu menambah pendapatan brand menjadi lebih besar lagi,” kata Sayed.

Targetkan Generasi Muda, Pluang Hadirkan Layanan Aset Kripto

Berdasarkan data yang dirilis oleh adan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), tercatat saat ini jumlah investor dan nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada awal tahun 2022 meningkat cukup signifikan. Nilai transaksi aset kripto di Indonesia bertumbuh dari Rp64,9 triliun pada 2020 menjadi Rp859,4 triliun di tahun 2021. Kenaikan pertumbuhan transaksi aset kripto mencapai 16,2% per bulannya.

Meningkatnya demand tersebut dimanfaatkan oleh Pluang, yang merupakan platform investasi multi-aset, untuk menghadirkan layanan aset kripto. Menggandeng PT Bumi Santosa Cemerlang (BSC) sebagai mitra, Pluang saat ini dapat melakukan kegiatan perdagangan aset kripto yang sudah terdaftar di BAPPEBTI.

Kepada DailySocial.id, Director of External Affairs Pluang Wilson Andrew mengungkapkan, Pluang berkomitmen memberikan kemudahan dan akses seluas-luasnya kepada para investor aset kripto dengan jaminan keamanan yang baik.

Berbeka lisensi sebagai calon pedagang fisik aset kripto, Pluang bersama BSC ingin memaksimalkan potensi keterbukaan akses digital ini untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Investasi aset kripto di Pluang bisa dilakukan mulai dari Rp5 ribu dan hanya dengan tiga kali klik saja di aplikasi.

BSC merupakan mitra dari Pluang yang baru saja mendapatkan lisensi sebagai Calon Pedagang Fisik Aset Kripto melalui Keputusan Kepala BAPPEBTI dengan nomor 012/BAPPEBTI/CP-AK/4/2022.

“Dengan kolaborasi ini, Pluang bersama BSC dapat memberikan akses perdagangan aset kripto yang aman, terpercaya, serta diawasi oleh otoritas berwenang dengan adanya tanda daftar dari Bappebti,” kata Wilson.

Sebelumnya, Pluang juga telah bermitra dengan PT Aset Digital Berkat (Tokocrypto) dan PT Zipmex Exchange Indonesia (Zipmex) dalam menyediakan akses investasi aset kripto.

Pluang juga telah mengantongi lisensi perdagangan emas digital dari BAPPEBTI dalam menawarkan aset emas digitalnya, Pluang bekerja sama dengan PT Pluang Emas Sejahtera (PES) yang terdaftar sebagai pedagang fisik emas digital.

Izin tersebut memungkinkan Pluang untuk menawarkan produk emas digital pada penggunanya secara aman dan terjamin di bawah regulasi dan pengawasan lembaga negara Indonesia.

Fokus menjadi layanan platform investasi multi-aset

Didirikan oleh Claudia Kolonas dan Richard Chua, Pluang saat ini mengklaim telah memiliki lebih dari 6,7 juta pengguna telah terdaftar di platformnya. Mereka juga telah memiliki beberapa produk investasi di antaranya Emas Digital, Micro E-Mini Index Futures, Saham AS CFD, Aset Digital, dan Reksa Dana. Adanya berbagai macam aset investasi merupakan komitmen dari Pluang untuk mempermudah masyarakat dalam melakukan diversifikasi portofolionya.

Setelah meluncurkan layanan aset kripto, ke depannya Pluang juga memiliki rencana untuk terus berinovasi baik dari sisi penambahan kelas aset maupun fitur-fitur pelengkap untuk mempermudah para investor di Indonesia dalam melakukan diversifikasi aset.

“Kami juga terus melakukan riset pasar untuk menjawab kebutuhan terkini dari para investor, khususnya investor ritel di kalangan milenial, dan tengah menggodok beberapa inovasi produk baru untuk menjawab tren berinvestasi yang semakin berkembang di masyarakat saat ini,” kata Wilson.

Tercatat saat ini Pluang telah mengalami peningkatan jumlah pengguna hingga 10 kali lipat. Pertumbuhan masif ini juga disumbang oleh pertumbuhan jumlah investor kripto di Pluang yang terus meningkat. Dengan tren positif dan legalitas dari otoritas berwenang ini, perusahaan optimis ke depannya jumlah investor kripto akan terus bertumbuh dan transaksi investasi kripto menjadi kian terjamin.

“Ekosistem yang semakin matang ini akan turut membantu pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia terutama dalam hal investasi aset digital,” kata Wilson.

Awal tahun 2021 lalu Pluang telah merampungkan penggalangan dana pra-seri B sebesar $20 juta atau 288,8 miliar Rupiah. Konsorsium pendanaan tersebut dipimpin oleh Openspace Ventures didukung investor yang telah terlibat di putaran sebelumnya, termasuk Go-Ventures. Sebelumnya Pluang telah mendapatkan pendanaan Seri A senilai $3 juta pada Maret 2019.

Application Information Will Show Up Here

PINTU Rampungkan Pendanaan Seri B Senilai 1,6 Triliun Rupiah

Platform jual-beli dan investasi aset kripto PINTU mengumumkan telah menyelesaikan putaran pendanaan seri B senilai $113 juta atau sebesar 1,6 triliun Rupiah. Pendanaan ini berasal dari Intudo Ventures, Lightspeed, Northstar Group, dan Pantera Capital.

Sebelumnya PINTU telah mengantongi pendanaan pendanaan seri A+ sebesar $35 juta atau setara 503 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Lightspeed Venture Partners, serta didukung oleh Alameda Ventures, Blockchain.com Ventures, Castle Island Ventures, Intudo Ventures, dan Pantera Capital.

Dana segar tersebut rencananya akan digunakan untuk meluncurkan fitur-fitur baru, menambah token yang diperdagangkan, mendukung teknologi blockchain, dan menghadirkan berbagai produk-produk baru.

Untuk meningkatkan literasi dan edukasi bagi investor, mereka akan berinvestasi secara besar-besaran dalam program edukasi Pintu Academy. Pintu Academy dirancang untuk memberikan edukasi bagi investor mengenai investasi aset kripto, dari mulai pemahaman secara dasar hingga informasi mengenai pengelolaan risiko yang baik dan berkelanjutan.

“Untuk memberikan kemudahan bagi pengguna kripto di Indonesia, kami membangun PINTU bagi investor aset kripto baru maupun investor berpengalaman. Kami percaya bahwa adopsi aset kripto di Indonesia baru memasuki tahap awal, dan mengedukasi masyarakat merupakan fundamental yang sangat penting untuk memastikan pertumbuhan ini berjalan dengan cara yang sehat,” ujar Founder & CEO PINTU Jeth Soetoyo.

Untuk mendukung pertumbuhan ini, PINTU secara agresif merekrut talenta terbaik untuk semua fungsi. Saat ini pertumbuhan staf di PINTU tumbuh hingga 2x lipat sejak tahun 2021 — per April 2022 terdapat lebih dari 200 pegawai.

Diluncurkan pada bulan April tahun 2020, PINTU merupakan platform  kripto lokal di Indonesia. PINTU menawarkan lebih dari 50 aset kripto yang diperdagangkan seperti Bitcoin dan Ethereum.

Tambah fitur unggulan

PINTU telah menghadirkan berbagai fitur baru yang sudah dapat digunakan di antaranya, Pintu Earn yang menawarkan pengguna mendapatkan imbalan dalam bentuk Annual Percentage Year (APY) yang dibayarkan per jam dan tanpa periode penguncian. Lalu, ada juga fitur Pintu Staking (PTU Staking) bagi pemegang Pintu Token (PTU) cukup dengan mengunci aset PTU Token yang dimiliki dan akan mendapatkan beragam benefit eksklusif.

“Kami akan terus membangun momentum ini dengan menawarkan lebih banyak fitur baru serta menginisiasi berbagai strategi yang tepat guna membawa aset kripto ke lebih banyak lagi masyarakat Indonesia,” kata Jeth.

Saat ini PINTU telah didukung banyak pilihan kanal pembayaran seperti rekening bank, hingga e-wallet yang terintegrasi langsung ke dalam aplikasi. Sejak diluncurkan, PINTU telah diunduh lebih dari 4 juta pengguna. Secara legalitas, PINTU merupakan platform investasi aset kripto yang terdaftar dan berlisensi resmi oleh lembaga Bappebti.

Di Bappebti, saat ini juga sudah ada beberapa aplikasi yang melayani transaksi/investasi serupa, di antaranya:

Entitas Perusahaan Platform Kunjungan Web* Peringkat App**
PT Indodax Nasional Indonesia Indodax 9 juta – 12,7 juta 82
PT Crypto Indonesia Berkat Tokocrypto 1,8 juta – 2,6 juta 100
PT Zipmex Exchange Indonesia Zipmex 2,9 juta – 5 juta 137
PT Indonesia Digital Exchange Idex n/a n/a (early access)
PT Pintu Kemana Saja Pintu 810 ribu – 1 juta 60
PT Luno Indonesia LTD Luno 1,2 juta – 1,7 juta 163
PT Cipta Koin Digital Koinku n/a n/a
PT Tiga Inti Utama Triv 241 ribu – 432 ribu n/a
PT Upbit Exchange Indonesia Upbit ID 52 ribu – 90 ribu n/a
PT Rekeningku Dotcom Indonesia Rekeningku 102 ribu – 362 ribu n/a
PT Triniti Investama Berkat Bitocto 17,9 ribu – 22,7 ribu n/a

*data statistik kunjungan di Similar Web Desember 2021 – Februari 2022; ** data statistik peringkat Playstore Indonesia di Appbrain per 6 April 2022

Application Information Will Show Up Here

Kantongi Pendanaan Pra-Awal, Marketplace NFT Lokal “Artpedia” Segera Meluncur

Bertujuan untuk memberikan opsi lebih kepada masyarakat Indonesia yang ingin menjual karya seni mereka dalam bentuk NFT (Non-Fungible Token), platform Artpedia akan segera meluncur dalam versi beta pada bulan Juli mendatang.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Artpedia Arjuna Sky Kok mengungkapkan, meskipun saat ini di Indonesia pasar NFT masih terbilang niche, namun melalui Artpedia harapannya kreator secara global juga bisa memanfaatkan platform mereka untuk bertransaksi.

Dipilihnya Ethereum L2s sebagai settlement mereka, diharapkan bisa mempermudah masyarakat untuk menjual karya seni mereka melalui Artpedia. Arjuna mengklaim, Etherium merupakan teknologi yang paling banyak yang digunakan oleh pengguna NFT secara global.

“Sekilas konsep Artpedia serupa dengan OpenSea, namun Artpedia memiliki value proposition yang berbeda dengan OpenSea. Selain Indonesia, Artpedia juga bisa digunakan oleh pasar global,” kata Arjuna.

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, Artpedia telah mengantongi pendanaan tahapan pra-awal dari sejumlah angel investor dengan nilai investasi senilai $100 ribu atu setara 1,5 mliar Rupiah. Beberapa investor yang terlibat di antaranya Windy Natriavi, (Co-founder AwanTunai), Jim Geovedi (CTO Koinworks), Dendi Suhubdy (CEO Bitwyre), dan Indira Widjonarko (Founder Sebangsa).

Dana segar tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengembangkan teknologi. Nantinya jika platform sudah diluncurkan, mereka memiliki rencana untuk menggalang dana tahapan seed — direncanakan tahun ini.

“Kami juga memiliki rencana untuk mengembangkan teknologi dan merekrut talenta baru hingga membangun on-ramp company yang nantinya bisa mengelola opsi pembayaran memanfaatkan e-wallet dan lainnya. Dengan dana segar dari putaran seed tersebut diharapkan rencana bisa kami lancarkan,” kata Arjuna.

Selain Artpedia, yang menawarkan layanan serupa dan menyasar NFT adalah TokoMall dari Tokocrypto. TokoMall menghadirkan konsep digital meets reality. Platform digital dan karya seni dalam bentuk NFT dapat menjadi jawaban atas permasalahan di dunia nyata. Dengan beralih ke NFT dan menjadikannya mainstream, kreator lokal tidak hanya bisa memasarkan karyanya ke pasar lebih luas.

Model bisnis dan strategi monetisasi

Bagi kreator yang ingin memanfaatkan layanan Artpedia, bisa menggunakan wallet yang telah dimiliki. Bagi yang belum memiliki wallet, platform menawarkan pilihan kustodian. Semua proses unggahan hingga pembayaran dikelola oleh Artpedia. Kreator cukup memberikan nomor telepon dan rekening bank, untuk mendapatkan royalty setiap bulan, bagi mereka yang ingin menjual karya seni melalui Artpedia.

“Untuk strategi monetisasi yang dikenakan adalah market fee, kepada kreator. Untuk opsi kustodian ini, Artpedia tidak mengenakan biaya tambahan kepada kreator. Pilihan kustodian ini merupakan solusi sementara yang kami tawarkan, untuk para kreator yang belum memiliki wallet,” kata Arjuna.

Meskipun untuk fase awal masih fokus kepada karya seni dalam bentuk gambar, ke depannya mereka juga ingin menjadikan Artpedia sebagai ‘token gate’ untuk berbagai komunitas. Apakah itu komunitas yoga, diving, dan lainnya. NFT berupa sertifikat nantinya bisa menjadi opsi bagi komunitas untuk memulai.

“Kami melihat nilainya lebih kepada kolektibel. Namun ke depannya kita ingin Artpedia lebih dari sekedar kolektibel. Untuk bisa menyasar dunia metaverse, kami juga berencana untuk memberikan kesempatan kepada designer merancang busana yang kemudian mereka bisa jual kepada pengguna di dunia metaverse,” kata Arjuna.

Dengan relasi yang cukup solid dengan beberapa komunitas, diharapkan saat platform meluncur bulan depan bisa didapatkan kreator NFT secara langsung.

“Secara khusus kami menargetkan kalangan milenial, karena kami melihat kalangan tersebut yang sangat terbuka dengan NFT. Berbeda halnya dengan Gen Z, yang kami lihat tidak terlalu tertarik untuk bermain NFT,” kata Arjuna.

IDN Media Umumkan Pendanaan Seri D

Perusahaan media yang fokus kepada generasi muda IDN Media merampungkan pendanaan seri D yang dipimpin oleh Mayapada Group dan KMIF, serta didukung oleh East Ventures, OCBC NISP Ventura, Dentsu Group, dan V Media Ventures.

“Ini baru awal dari perjalanan kami. IDN Media yang kita lihat saat ini hanyalah permulaan dari visi jangka panjang yang kami miliki. Pendanaan Seri D menjadi salah satu pencapaian penting dalam perjalanan kami, namun perjuangan dalam mendemokratisasi informasi bagi seluruh masyarakat Indonesia tidak akan berhenti sampai di sini. Kami akan terus bekerja keras untuk dapat menjadi perusahaan yang sehat dan bertahan lebih dari 100 tahun, serta membawa dampak positif bagi masyarakat,” ujar Co-Founder & CEO IDN Media Winston Utomo.

Dalam rilisnya disebutkan, dana segar ini tidak hanya akan membantu IDN Media untuk meningkatkan jumlah penggunanya melalui strategi super-app dan ekosistem, tetapi juga untuk untuk mengembangkan teknologi, memperkuat tim, serta menjalankan berbagai akuisisi.

“8 tahun yang akan datang akan sangat berbeda dengan 8 tahun terakhir yang telah kami jalani. Setelah mendapatkan pendanaan seri D, kami sudah menyiapkan beberapa rencana strategis yang akan dijalankan sesegera mungkin. Kami sangat bersemangat untuk menyambut era baru dari IDN Media,” kata Co-Founder & COO IDN Media William Utomo.

Tahun 2019 lalu IDN Media telah mendapatkan pendanaan seri C yang dipimpin oleh EV Growth – perusahaan modal ventura patungan East Ventures, Sinar Mas dan Yahoo! Jepang; dikhususkan untuk pendanaan tahap lanjut. Turut berpartisipasi dalam putaran ini True Digital & Media Platform (bagian dari grup Charoen Pokphand, Thailand) dan LINE Ventures. Tidak diinfokan mengenai nominal dana yang berhasil dibukukan.

Sementara itu saat mengumumkan IDN Creator Network (ICE) bulan Februari lalu, dikabarkan IDN Media juga telah menerima investasi tambahan (undisclosed) dari sebuah perusahaan teknologi ternama.

Perluas segmentasi bisnis

IDN Media ingin bertransformasi menjadi platform yang bukan hanya fokus kepada media, namun juga wadah bagi kreator hingga influencer untuk berkarya melalui berbagai layanan dan produk yang mereka miliki. Kepada DailySocial.id, Winston mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir dirinya melihat transisi desentralisasi yang masif, di mana ekonomi kreatif tidak lagi berada di tangan segelintir orang, namun lebih kepada konten kreator itu sendiri.

“Memahami perubahan tersebut, IDN Media yakin harus ada platform untuk membantu menavigasi dan memberikan kolaborasi tanpa hambatan di antara pembuat konten. Oleh karena itu, kami mendirikan ICE dengan visi untuk mendemokratisasikan Ekonomi Kreator Indonesia melalui teknologi,” ujarnya.

Sebelumnya di tahun 2021 lalu, IDN Media juga telah merilis “Fortune Indonesia“. Fortune Indonesia diharapkan bisa menjangkau segmentasi umum yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut perkembangan informasi dalam kategori bisnis seperti pasar, ekonomi, teknologi, syariah, dan beberapa lainnya.

Bulan Mei 2022 lalu IDN Media menggelar acara Fortune Indonesia Summit 2022. Acara tersebut dihadiri oleh pakar dan profesional dalam berbagai sektor, dengan pembahasan seputar media, bank digital dan lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Aigis Sajikan Platform Insurtech B2B, Dilengkapi Fitur Wellness

Asuransi menjadi sektor yang mulai banyak diincar oleh pelaku startup di Indonesia saat ini. Pandemi juga telah memberikan awareness lebih mendalam di kalangan masyarakat akan pentingnya kesehatan dan perlunya memiliki asuransi.

Melihat peluang tersebut, platform insurtech Aigis yang baru saja menerima pendanaan awal 14,5 miliar Rupiah, tertarik untuk menggarap platform insurtech untuk bisnis.  Yakni melalui layanan manajemen asuransi yang dipadukan dengan fitur wellness hingga telehealth.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Aigis Reinhart Hermanus mengungkapkan, meluncur pada pertengahan tahun 2021 lalu Aigis berawal sebagai marketplace agen asuransi untuk masyarakat umum. Namun melihat peluang dan potensi saat ini, mereka kemudian melakukan pivot dengan menyasar langsung segmen B2B.

“Kita memosisikan platform sebagai end-to-end employee wellness provider. Bukan hanya menawarkan produk asuransi namun juga pilihan konsultasi dedicated dokter untuk setiap perusahaan hingga program olah raga atau wellness untuk pegawai,” kata Reinhart.

Ditambahkan olehnya, Aigis juga ingin mengubah mindset negatif akan asuransi di kalangan masyarakat yang hanya berfungsi untuk klaim biaya kesehatan saja. Sehingga jika pilihan tersebut tidak digunakan, akan merugikan pengguna. Dengan pilihan seperti wellness dan healthcare, diharapkan bisa memberikan opsi lebih perusahaan untuk pegawai mereka.

“Kami melihat ini menjadi win-win solution. Bukan hanya untuk pegawai, namun juga perusahaan dan juga pihak asuransi. Saat ini kita sudah menjalin kemitraan dengan broker asuransi yang telah memiliki relasi di lebih dari 10 perusahaan asuransi,” kata Reinhart.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Aigis adalah mendapatkan komisi dari asuransi. Sementara untuk program healthcare seperti konsultasi langsung dengan dokter, saat ini masih diberikan secara cuma-cuma kepada perusahaan yang tertarik menggunakan layanannya. Perusahaan juga bisa menentukan sendiri paket asuransi apa yang ideal untuk setiap perusahaan, semua bisa dikustomisasi.

Menurut Reinhart, konsep tersebut diharapkan bisa menarik minat perusahaan yang saat ini sedang mencari atau memperpanjang asuransi untuk pegawai mereka, atau perusahaan baru yang belum memiliki paket asuransi untuk pegawai.

Potensi platform asuransi dan wellness

Aigis didirikan oleh Reinhart Hermanus, Philip Moniaga, dan Sebastian Yaphy. Mereka melihat akses ke layanan kesehatan adalah kebutuhan dasar setiap orang, dan mereka masih melihat bahwa pengalaman asuransi kesehatan di Indonesia masih jauh dari ideal.

Produk tambahan seperti program wellness dinilai cukup efektif saat ini, untuk memberikan opsi berbeda dan yang lebih segar kepada perusahaan. Dilihat dari tren dan potensi ke depannya, pilihan seperti akan semakin banyak dicari oleh perusahaan.

Setelah mendapatkan pendanaan initial round, Aigis masih memiliki target yang ingin dicapai. Di antaranya adalah meningkatkan penjualan mereka dan menambah tim engineer untuk mengembangkan teknologi mereka. Saat ini masih menjalankan bisnis secara lean, belum banyak tim yang direkrut oleh perusahaan.

“Sejak bulan Maret tahun ini, kamu telah mengembangkan aplikasi yang bisa digunakan oleh pegawai untuk mengajukan klaim hingga menikmati pilihan program wellness. Sementara untuk perusahaan bisa mengakses Aigis melalui dashboard yang kami sediakan,” kata Reinhart.

Masih dalam proses akuisisi pengguna bisnis untuk bergabung dan menggunakan layanannya, hingga merekrut lebih banyak broker asuransi, ke depannya Aigis juga ingin scale-up dengan menambahkan layanan yang relevan seperti pilihan berlangganan hingga mengenakan biaya untuk tambahan layanan lainnya. Namun fokus perusahaan saat ini adalah untuk meningkatkan penjualan.

Selain Aigis platform yang menawarkan layanan hampir serupa dan baru saja mendapatkan pendanaan pre-seed (pra-awal) senilai $1,2 juta atau setara 18 miliar Rupiah adalah aman. Rey Assurance juga menggunakan pendekatan yang mirip, memadukan platform insurtech dan wellness.

Application Information Will Show Up Here

1982 Ventures Tutup Dana Kelolaan Awal 292 Miliar Rupiah, Jadikan Indonesia sebagai Pasar Inti

1982 Ventures mengumumkan penutupan akhir dari dana kelolaan awal mereka senilai lebih dari $20 juta atau setara 292 miliar Rupiah dalam bentuk komitmen modal. Dana tersebut diklaim mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed, target awalnya mengumpulkan sekitar $15 juta.

Perusahaan modal ventura yang didirikan Scott Krivokopich dan Herston Elton Powers ini sejak awal debutnya memfokuskan untuk berinvestasi kepada startup di Asia Tenggara. Secara keseluruhan mereka telah berinvestasi kepada 25 usaha rintisan di berbagai negara di Asia Tenggara, Pakistan, dan Bangladesh.

“Kami mempercepat laju investasi meskipun ada sentimen [negatif] pasar saat ini. Layanan fintech tahap awal di Asia Tenggara tetap menjadi sektor yang paling menarik untuk modal ventura,” kata Herston.

Dana pertama mereka telah didukung oleh VC, institusi, perusahaan dan kantor keluarga global. Investor terkemuka di dana debut 1982 Ventures termasuk kantor keluarga dari salah satu konglomerat terbesar di Indonesia, Trihill Capital, fintech unicorn AS Carta, hingga unit ventura Genting Group.

Sementara itu pendukung individu 1982 Ventures termasuk di antaranya pendiri startup unicorn, eksekutif senior perusahaan teknologi, partner di VC seperti salah satunya Sheel Mohnot (Better Tomorrow Ventures).

“Kami adalah fintech fund global dan telah melihat bagaimana fintech mengubah semua pasar. 1982 Ventures adalah pilihan yang jelas bagi kami untuk pendanaan dan menjadi mitra yang memahami lanskap layanan fintech di Asia Tenggara,” Co-Founder & General Partner Better Tomorrow Ventures Sheel Mohnot.

Rencana di Indonesia

1982 Ventures memimpin putaran pendanaan pre-seed dan seed dengan tiket investasi senilai $250 ribu hingga $500 ribu. Perusahaan menargetkan bisa melakukan 10-15 investasi baru, selain investasi lanjutan yang ada dalam portofolio Fund I mereka.

1982 Ventures memiliki komitmen awal lebih dari $5 juta untuk Fund II yang akan segera diumumkan.

Khusus untuk Indonesia saat ini sudah ada sekitar 9 startup yang telah mendapatkan investasi dari 1982 Ventures. Di antaranya adalah aman, Citycall, hipajak, Luna, Monit, PasarMikro, Pina, Wagely dan Brick.

“1982 Ventures memimpin putaran VC pertama kami dan Brick sangat beruntung memiliki investor yang hidup dan bernafaskan fintech dan selalu siap mendukung kami dengan pengenalan investor, pelanggan, dan talenta,” kata Co-Founder & CEO Brick Gavin Tan.

Kepada DailySocial.id Herston menyebutkan, Indonesia adalah pasar inti untuk 1982 Ventures dan mereka berharap dapat meningkatkan investasi ke startup fintech Indonesia.