Glints Future Plan in Indonesia after Series C Funding

After securing $22.5 million series C funding or equivalent to 327 billion Rupiah led by PERSOL Holdings, the technology-based recruiting platform Glints plans to focus on accelerating their business in Indonesia.

As a country with the largest population in Southeast Asia, Indonesia is considered capable of producing young workforce. Moreover, with a median age of 29 years, it indicates a young workforce that is ready and adaptive for the future. Coupled with an increasingly skilled talent pool, Indonesia is able to stand out from other economies.

“In the near future, we will expand our geographic reach to other cities including Surabaya and Bandung. In parallel, we will also invest in Expert Class Glints product, to enable our talent community to engage with experts from various fields and help professionals improve their expertise,” Glints’ Co-founder & CEO, Oswald Yeo said.

Apart from Indonesia, Glints is to focus on empowering the career development of 120 million professionals in Southeast Asia and to solve the regional talent crisis, by building more teams, features and solutions in the Glints Talent Ecosystem. They also plans to deepen the company’s footprint in Singapore, Vietnam and Taiwan.

The Series C round includes participation from investors such as Monk’s Hill Ventures, Fresco Capital, Mindworks Ventures, Wavemaker Partners, as well as angel investors including Binny Bansal (co-founder of Flipkart), and Xiaoyin Zhang (Ex-Goldman Sachs TMT China Head & Partner who brought Tencent, Baidu, and Alibaba go-public).

“With PERSOL Group’s commercial distribution and experience in Asia and the Glints talent platform with their leading technology, we will empower Southeast Asian professionals and help solve the talent crisis in Southeast Asia,” PERSOL Asia Pacific’s CEO, Takayuki Yamazaki said.

Pandemic and business growth

During the pandemic the company observed an immediate decline in local hiring business activity as companies suspended their recruiting activities. On the other side, the pandemic has helped to accelerate the future of employment, including the trend of remote working and is driving major changes in recruitment as companies become more accustomed to working with distributed teams.

“In addition, many Singaporean and regional companies are now more comfortable recruiting Indonesian talent. This has allowed Glints to maintain strong revenue growth despite the pandemic.”

By 2020, Glints managed to double its annual revenue. With the pandemic accelerating the future of employment and the future of hiring, it is considered as an opportunity to sustain a trend in annual income that has grown triple digit percentage every year for the past 3 years.

“The pandemic has accelerated the future of jobs and caused major changes in the labor market,” Oswald said.

Officially launched in Indonesia in early 2016, Glints currently has around 7000 active job lists per month and 4 million professionals who have visited the platform every month. On average, Glints recorded that their clients are capable to perform the successful recruitment process and faster in 28 days, compared to the industry standard of 40-50 days with recruitment fees up to 40% -100% cheaper by utilizing their platform.

In Indonesia, there are many job marketplace platforms that offer recruitment services with different added values. For example, Kalibrr as a recruiting company from the Philippines is available in Indonesia since 2016. They combine an AI-based recruitment platform and employer branding services to help companies demonstrate their values, attract the right candidates, and realize a seamless process.

As local players there are also several platforms that provide similar service such as Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, and several others. During the pandemic, they were also quite active in helping companies to digitize HR systems. For example, Urbanhire positioned itself not only as a job opening portal, but HR technology and talent solutions, thanks to their strategic partnership with Mercer.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Rencana Glints di Indonesia Usai Peroleh Pendanaan Seri C

Setelah mengantongi pendanaan seri C senilai $22,5 juta atau setara 327 miliar Rupiah yang dipimpin oleh PERSOL Holdings, platform perekrutan berbasis teknologi Glints berencana untuk fokus mengakselerasi bisnis mereka di Indonesia.

Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia dinilai mampu menciptakan tenaga kerja muda. Terlebih, dengan median usia 29 tahun, menunjukkan angkatan kerja muda yang siap dan adaptif untuk masa depan. Ditambah dengan kumpulan bakat yang semakin terampil, Indonesia mampu tampil beda dari negara ekonomi lainnya.

“Dalam waktu dekat, kami akan memperluas jangkauan geografis kami ke kota-kota lain termasuk Surabaya dan Bandung. Secara paralel, kami juga akan berinvestasi pada produk Expert Class Glints, untuk memungkinkan komunitas talenta kami terlibat dengan pakar dari berbagai bidang dan membantu para profesional meningkatkan keahlian mereka,” kata Co-founder & CEO of Glints Oswald Yeo.

Selain fokus kepada Indonesia, Glints juga ingin memberdayakan pengembangan karier 120 juta profesional di Asia Tenggara dan untuk memecahkan krisis bakat regional, dengan membangun lebih banyak tim, fitur, dan solusi di Glints Talent Ecosystem. Mereka juga memiliki rencana untuk memperdalam jejak perusahaan di Singapura, Vietnam, dan Taiwan.

Putaran seri C mencakup partisipasi dari investor seperti Monk’s Hill Ventures, Fresco Capital, Mindworks Ventures, Wavemaker Partners, serta angel investor meliputi Binny Bansal (co- pendiri Flipkart), dan Xiaoyin Zhang (Ex-Goldman Sachs TMT China Head & Partner yang membawa Tencent, Baidu, dan Alibaba go-publik).

“Dengan distribusi komersial dan pengalaman PERSOL Group di Asia dan  platform talenta Glints dengan teknologi terkemuka mereka, kami akan memberdayakan para profesional di Asia Tenggara dan membantu menyelesaikannya krisis bakat di Asia Tenggara,” kata CEO PERSOL Asia Pacific Takayuki Yamazaki.

Pandemi dan pertumbuhan bisnis

Selama pandemi perusahaan mencatat terdapat penurunan langsung dalam aktivitas bisnis perekrutan lokal karena perusahaan membekukan/menunda sementara kegiatan perekrutan mereka. Namun di sisi lain, pandemi juga membantu mempercepat masa depan pekerjaan, termasuk tren remote working dan mendorong perubahan besar dalam rekrutmen karena perusahaan semakin terbiasa bekerja dengan tim yang terdistribusi.

“Selain itu banyak perusahaan Singapura dan regional kini lebih nyaman merekrut talenta Indonesia. Hal ini memungkinkan Glints untuk mempertahankan pertumbuhan pendapatan yang kuat meskipun pandemi.”

Pada tahun 2020, Glints berhasil menggandakan pendapatan tahunan. Dengan pandemi yang mempercepat masa depan pekerjaan dan masa depan perekrutan, hal tersebut dilihat sebagai peluang untuk mempertahankan tren pendapatan tahunan yang tumbuh pada persentase tiga digit setiap tahun selama 3 tahun terakhir.

“Pandemi telah mempercepat masa depan pekerjaan dan menyebabkan perubahan besar di pasar tenaga kerja,” kata Oswald.

Resmi meluncur di Indonesia awal tahun 2016 lalu, Glints saat ini telah memiliki sekitar 7000 daftar pekerjaan aktif per bulan dan 4 juta profesional yang telah mengunjungi platform setiap bulannya. Glints mencatat rata-rata klien mereka mampu melakukan proses perekrutan secara sukses dan lebih cepat dalam waktu 28 hari, dibandingkan dengan standar industri yaitu 40-50 hari dengan biaya rekrutmen hingga 40%-100% lebih murah dengan memanfaatkan platform mereka.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak platform job marketplace yang menawarkan layanan perekrutan dengan value added yang berbeda. Misalnya Kalibrr, sebagai perusahaan perekrutan asal Filipina yang sudah hadir di Indonesia sejak tahun 2016. Mereka menggabungkan platform rekrutmen berbasis AI dan layanan employer branding untuk membantu perusahaan menunjukkan nilai-nilai mereka, menarik kandidat tepat, dan merealisasikan proses yang mulus.

Untuk pemain lokal juga ada beberapa platform yang menangani kebutuhan serupa seperti Urbanhire, Ekrut, Nusatalent, dan beberapa lainnya. Selama pandemi mereka juga cukup aktif membantu perusahaan untuk melakukan digitalisasi sistem HR. Misalnya yang dilakukan Urbanhire, kini mereka tidak hanya memosisikan diri sebagai portal lowongan pekerjaan saja, tetapi HR technology dan talent solutions, berkat kemitraan strategisnya dengan Mercer.

Application Information Will Show Up Here

Kitabisa Luncurkan “Saling Jaga”, Layanan Perlindungan Kesehatan Berbasis Sedekah

Bertujuan untuk menghadirkan layanan yang bisa dimanfaatkan oleh pengguna saat dihadapkan kepada kondisi yang mendesak, Kitabisa luncurkan “Saling Jaga”. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Kitabisa Alfatih Timur mengungkapkan, sejak tujuh tahun berdiri sudah ada jutaan pengguna Kitabisa menolong ribuan penggalangan dana, khususnya untuk kategori kesehatan.

“Namun kalau sebelumnya tolong-menolong menunggu ada yang butuh bantuan baru kita berdonasi/menolong, sekarang sebelum ada yang butuh kita sudah berdonasi untuk saling menjaga satu sama lain agar saat butuh bantuan bisa langsung tertolong. Itulah kenapa kami membuat Saling Jaga,” ujar Alfatih.

Konsep ini juga bukan hal baru untuk masyarakat Indonesia. Berbagai praktik serupa sudah berjalan lama sebagai budaya masyarakat, seperti budaya Marsialapari di Sumatera Utara, Sambatan di Gunungkidul Yogyakarta, dan Liliuran di Jawa Barat.

Per Maret 2021 Kitabisa mencatat, ada lebih dari 650 ribu anggota yang sudah bergabung di Kitabisa Saling Jaga dan telah menyalurkan bantuan total Rp2 miliar kepada 500 orang anggota yang terdiagnosis positif Covid-19 atau penyakit kritis.

“Setiap anggota donasi minimal Rp10.000 untuk menjadi saldo Saling Jaga, lalu saldo tersebut dikumpulkan dengan saldo anggota lainnya sehingga menjadi uang kas bersama. Saat ada anggota yang butuh, bisa mengajukan bantuan, dan saldo seluruh Anggota akan terpotong merata,” kata Alfatih.

Dicontohkan olehnya, jika ada yang mendapatkan bantuan Rp50.000 dan anggota berjumlah 500.000 orang, maka masing-masing anggota saldonya akan terpotong Rp100. Dalam hal ini jika awalnya Rp10.000 menjadi Rp9.900. Proses ini ditampilkan secara digital dan transparan di Saling Jaga.

Berada di bawah naungan Kementerian Sosial

Konsep yang serupa dengan crowd insurance ini, bisa juga dikategorikan layanan fintech untuk umum. Menanggapi hal tersebut Alfatih menegaskan produk Saling Jaga telah didaftarkan ke regulatory sandbox OJK, dan saat ini statusnya masih menunggu proses selanjutnya dari pihak otoritas.

“Adapun Kitabisa sebagai platform crowdfunding donasi tetap akan bernaung di bawah izin Penggalangan Uang dan Barang (PUB) Kementerian Sosial Republik Indonesia,” kata Alfatih.

Memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Kitabisa, skala komunitas yang bisa ikut patungan bisa diperluas secara signifikan. Jika sebelumnya konsep patungan untuk saling menjaga hanya bisa dilakukan oleh komunitas dalam satu desa, kini bisa dilakukan dengan ribuan bahkan jutaan orang se-Indonesia. Semakin banyak anggota bergabung, semakin kecil jumlah kontribusi untuk membantu anggota yang membutuhkan, semakin banyak pula orang yang bisa terbantu.

“Target kami melalui Saling Jaga adalah, menyediakan solusi perlindungan dengan konsep gotong royong atau patungan berbasis digital, yang secara konvensional sudah marak dilaksanakan oleh masyarakat luas di Indonesia. Dengan demikian upaya edukasi pada masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya memiliki perlindungan bagi diri dan keluarga dari Risiko  kesehatan yang tak diduga,” tutup Alfatih.

Application Information Will Show Up Here

Siklus Ingin Biasakan Penggunaan Layanan Isi Ulang di Masyarakat

Ketika tinggal di India dan Filipina, Jane von Rabenau melihat besarnya jumlahnya sampah plastik dan memikirkan solusi yang tepat untuk mengurangi jumlahnya. Di Indonesia, ia terinspirasi untuk mengembangkan solusi penggunaan kembali plastik sebagai wadah isi ulang kebutuhan sehari-hari dengan nama Siklus.

“Banyak pelanggan berpenghasilan rendah akan menggunakan ini sebagai alternatif yang lebih murah untuk air kemasan. Jadi, saya berpikir, mengapa kita tidak dapat melakukan ini untuk produk yang biasanya dijual dalam kemasan sachet,” kata Jane.

Siklus merupakan salah satu portofolio Teja Ventures. Sebelumnya, perusahaan telah menerima investasi dari Golden Space Capital, CEO Zenius Rohan Monga, dan Chief Commercial Officer Gojek Antoine de Carbonnel. Siklus Refill juga menerima hibah dari Partnering for Green Growth and the Global Goals (P4G).

Memanfaatkan kemitraan dengan perusahaan FMCG terkemuka, seperti Wings, P&G, Nestle, Total Chemindo, Siklus menyediakan pos pengisian isi ulang mobile menggunakan motor yang memudahkan konsumen mengisi ulang sampo, deterjen, hingga cairan pembersih lantai.

“Satu jerigen sampo [yang dibawa petugas] mampu menghemat biaya pembuatan 2.500 sachet. Kami kemudian menjual kepada pelanggan kami melalui pos pengisian ulang mobile, untuk memastikan bahwa mereka dapat membeli sesedikit atau sebanyak yang mereka suka dengan harga yang lebih murah dan tanpa harus khawatir membayar untuk kemasan plastik. Ke depannya kami juga berencana untuk melakukan memonetisasi iklan di pos pengisian ulang dan aplikasi,” kata Jane.

Saat ini Siklus telah memiliki sekitar 25 pos pengisian ulang yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Perusahaan mengklaim mendapat respon positif dari pengguna. Bulan Maret lalu, Siklus meluncurkan aplikasi untuk Android.

Tantangan Siklus

Pandemi diklaim tidak terlalu mempengaruhi pertumbuhan bisnis perusahaan. Dengan memanfaatkan layanan pengantaran langsung ke rumah pelanggan, bisnis Siklus mampu bertahan. Perusahaan bahkan terus menambah jumlah pegawai.

“Pandemi adalah saat di mana kita harus merenungkan dan bersatu menghadapi tantangan saat ini. Polusi plastik telah meroket selama pandemi dan sekarang, lebih dari sebelumnya, kita harus bersatu untuk mengatasi krisis plastik,” kata Jane.

Tantangan yang masih ditemui Siklus adalah membangun rantai pasokan sirkular dengan perusahaan FMCG dan menciptakan norma sosial baru seputar konsep pengisian ulang.

“Tujuan kami adalah untuk memperluas layanan ke tiga kota lagi, menambahkan lebih banyak produk, dan meningkatkan teknologi pengeluaran kami. Kami sangat bersemangat untuk membawa revolusi isi ulang ke wilayah lain di Indonesia, terutama yang paling terpukul oleh krisis plastik,” kata Jane.

Application Information Will Show Up Here

Dorong Pertumbuhan Konsep O2O, JD.ID Luncurkan Gerai Offline “Wellio”

Layanan e-commerce asal Tiongkok, JD.ID, kembali membuka gerai offline di Jakarta. Bernama Wellio, gerai ini mencoba konsep baru dengan menawarkan multi category yang menjual berbagai kategori produk, mulai dari elektronik rumah tangga, gadget, hingga berbagai produk pelengkap gaya hidup (lifestyle).

“Saat kita bergerak maju menuju era kenormalan baru yang sarat akan perubahan, adalah tugas kami untuk menyambut perubahan-perubahan itu dengan tangan terbuka serta membantu transisi tren belanja para pelanggan kami, itulah dasar kami untuk membuka Wellio by JD.ID,” kata Head of Offline Business JD.ID Eyvette Tung.

Dengan dibuka-nya Wellio, JD.ID juga memperkenalkan kembali fitur “Nearby Shop”. Diluncurkan pada bulan November 2020 lalu, fitur ini bisa memperlihatkan gerai-gerai offline di manapun konsumen berada, dengan durasi kirim yang lebih singkat.

Ekspansi Wellio akan menjadi fokus divisi offline JD.ID tahun ini. Wellio dan gerai konsep ekslusif lainnya akan hadir di berbagai pusat perbelanjaan strategis Jakarta dan Surabaya.

Mendorong kembali Online-to-Offline (O2O)

Berdasarkan riset yang dilakukan secara internal oleh JD.ID, pandemi telah mengubah gaya hidup dan kebiasaan dari masyarakat ketika mengkonsumsi produk. Perusahaan berupaya menggabungkan dua saluran bisnis yang berbeda (online & offline) menjadi satu, sehingga diharapkan bisa melengkapi satu sama lain.

“Harapannya adalah dengan ekspansi dari Wellio by JD.ID, kami dapat melakukan penetrasi market secara agresif dengan mengedepankan ‘Joyful Shopping Experience’ sebagai modal utama. Dan menjadi platform ecommerce pertama dengan integrasi offline-online terluas di Indonesia.”

Sebelumnya JD.ID telah memiliki toko offline yang telah diluncurkan pada tahun 2018 lalu dengan nama JD.ID X. JD.ID X merupakan gerai produk serba ada yang berbasiskan teknologi AI (artificial intelligence) pertama di Indonesia, dengan fitur pemindai wajah, radio-frequency identification (RFID), dan metode pembayaran non-tunai.

JD.ID juga telah membangun JD HUB. Gerai ini menjual berbagai produk kebutuhan sehari-hari dengan kombinasi pengalaman belanja online dan offline, yang terletak di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan.

Selain mengedepankan konsep O2O, JD.ID akhir tahun 2020 lalu juga mulai fokus ke rantai pasokan, penambahan gudang dan logistik.

Application Information Will Show Up Here

A Battle to Embrace Micro, Small and Medium Enterprises

With its high contribution to the Gross Domestic Product reaching more than 57,8%, the Micro, Small and Medium Enterprises (MSME) sector not only contributes to the economy, but is also capable to gather majority of Indonesian workforce (Central Statistics Agency/BPS, 2018). However, the perks of having technology is not quite inclusive in this segment.

“Since it was founded, Youtap’s vision is to provide and empower all lines of business, from the enterprise level to MSMEs to achieve their best through digital development. MSMEs have become one focus in developing our all-in-one solutions as Youtap spots a great potential in this sector,” Youtap Indonesia’s CEO, Herman Suharto said.

Meanwhile, according to BukuWarung’s Co-Founder & President, Chinmay Chauhan, MSMEs are not only an economic source, but also important for local communities, especially those who live in rural areas. BukuWarung has formed partnerships with more than 5 million businesses in 750 locations. Most of them function as a place for people to shop for daily necessities and to interact with neighbors.

“The major operational challenge for microbusinesses is their reliance on manual processes for bookkeeping and repayment with customers. We estimate that less than 10% of microbusinesses use any type of digital device to manage their business or accounting.”

From this case, technology companies are trying to play an important role in supporting efforts to digitize MSMEs in Indonesia. Chinmay recommends that they rather focus on how their day-to-day operations, than too focus on innovation and disruption, such as bookkeeping, stock fulfillment and receiving payments, can be made easier and more efficient.

BukuKas’ Co-Founder & CEO, Krishnan Menon learned from his living experience and working in Indonesia, MSMEs are the bread and butter of this country. However, not many technology companies have focused on the needs of this segment. He said to DailySocial that his business is positioned as a digitalization software company for MSMEs that will develop into a fintech player.

“Merchants have realized that going digital is very important for their business. Traders save 2-4 hours a day, 20% costs, and minimize manual calculation errors. We also allow merchants to recover their debt 3 times faster since it’s all automatic.”

Accelerating adoption

In the Social Impact 2020 report released by Bukalapak, MSMEs throughout Indonesia is said to face enormous challenges during the pandemic. Bukalapak is trying to turn this challenge into an opportunity. As the pandemic limits movement, they empower MSMEs capable of offering a wide range of services, from selling groceries and basic necessities, also offering remittances, bill payments and various financial services and other virtual products.

This step allows public to get services from conventional stores registered as Bukalapak’s partners. Until 2020, Bukalapak had added around 4 million Bukalapak vendors and partners. Overall, there are currently 6.5 million sellers (pelapak) and 7 million Bukalapak partners throughout Indonesia.

The pandemic has fasten target users’ acceleration and digital adoption. Chinmay said, MSME’s traditional socioeconomic role in Indonesia is fundamental. Indonesia’s economic potential, which currently experiencing a rapid digitalization during the pandemic, cannot be fully realized if small companies do not immediately taking part in the digital transformation.

“Indonesia is now doubling down on digitizing its companies to be more productive and competitive amid this economic recovery, focusing on a largely underbanked segment such as MSMEs. This is a commendable task but also a monumental one, as there are around 60 million similar businesses throughout the 6,000 islands in the country,” Chinmay said.

One way to focus on accelerating adoption is providing education. Each platform also strives to provide the features users need with easy-to-use technology.

“It is undeniable that the education is easier to do in Jakarta, compared to small cities outside Jabodetabek. In order to provide education easily and inclusively, it is important for players to build simple products to be easily used by traders,” Krishnan said.

With its unique characteristics, the Indonesian market does need a special touch. This is also said by BukuKas team. In order to reach users in small cities, they present an offline mode feature with automatic synchronization when the user is successfully connected to the internet network.

Meanwhile, Youtap sees the benefits of digital technology in helping business players maintain their operational during a pandemic. They are using technology services to increase their sales.

“However, to date, technological adaptation is still not very inclusive in various regions in Indonesia. In fact, if they can adapt, their business can move forward thanks to the ability and fluency of the advanced technology,” said Herman.

SME market potential

Based on BPS data in 2018, the MSME sector is still one of the biggest drivers of the economy at 64.2 million. However, only 16% (Ministry of Cooperatives and MSMEs, December 2020) have been connected to the digital ecosystem.

“Through the large number, the MSME market holds many great opportunities to maximize digital use in its business. Not only limited to business management, but also many other aspects such as marketing, financial management and digital payments, especially with the standardization of QR payments by the Government,” Herman said.

In order to provide the best services and products, BukuKas performs several strategies. One of them is to focus on seeing what their pain points look like and building the solutions required.

“We have the best team with an innovative product culture and DNA that no other player in the market has. This becomes our core strength. We remain focused on traders rather than worrying about competition,” Krishnan said.

BukuWarung claims to be the only player who makes money through payments. In this case, they see the payment adoption as a strategic driver to enable monetization through credit, savings and other financial services at a later stage of the merchant’s business cycle.

“Our focus is more on an in-depth understanding of our merchants to help us stay ahead, it’s proven by how our products and features have become the standard for other players,” Chinmay said.

Meanwhile, Bukalapak still has a vision to build the economy through MSMEs. Starting as a marketplace, Bukalapak has grown into a trading platform serving both online and offline markets.

“In 2016, to ensure that there are no MSMEs left behind, we started to provide solutions to serve the needs of the offline market including stalls, traditional kiosks and individual agents, enabling them to sell beyond FMCG goods,” Bukalapak’s CEO, Rachmat Kaimuddin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Berlomba Merangkul Pasar Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Dengan kontribusinya yang tinggi, mencapai lebih dari 57,8% Pendapatan Domestik Bruto, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tidak hanya memberikan sumbangsih ekonomi, namun juga mampu mayoritas tenaga kerja di Indonesia (Badan Pusat Statistik / BPS, 2018). Meskipun demikian, manfaat teknologi belum terlalu dirasakan sebagian besar segmen ini.

“Sejak awal, Youtap memiliki visi untuk dapat hadir dan memberdayakan semua lini bisnis, mulai dari level enterprise hingga UMKM untuk mencapai pencapaian terbaik mereka melalui perkembangan digital. UMKM menjadi salah satu fokus dalam mengembangkan solusi serba bisa kami karena Youtap melihat potensi besar di sektor ini,” kata CEO Youtap Indonesia Herman Suharto.

Sementara menurut Co-Founder & Presiden BukuWarung Chinmay Chauhan, UMKM tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga penting bagi masyarakat lokal, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. BukuWarung mencatat saat ini telah menjalin kemitraan dengan lebih dari 5 juta bisnis di 750 lokasi. Kebanyakan di antaranya berfungsi sebagai tempat orang berbelanja kebutuhan sehari-hari dan tempat mereka berinteraksi dengan tetangga.

“Tantangan operasional utama bagi bisnis mikro adalah ketergantungan mereka pada proses manual untuk melakukan pembukuan dan pembayaran kembali dengan pelanggan. Kami memperkirakan bahwa kurang dari 10% bisnis mikro menggunakan segala jenis perangkat digital untuk mengelola bisnis atau akunting mereka.”

Berangkat dari persoalan tersebut, perusahaan teknologi mencoba memainkan peran penting dalam mendukung upaya digitalisasi UMKM di Indonesia. Cara yang direkomendasikan Chinmay adalah tidak terlalu fokus ke inovasi dan disrupsi, tetapi lebih pada bagaimana operasional sehari-hari mereka, seperti pembukuan, pemenuhan stok dan penerimaan pembayaran dapat menjadi lebih mudah dan efisien.

Menurut Co-Founder & CEO BukuKas Krishnan Menon, belajar dari pengalamannya tinggal dan bekerja di Indonesia, UMKM merupakan tulang punggung bagi Indonesia. Meskipun demikian, belum banyak perusahaan teknologi yang fokus ke kebutuhan segmen ini. Kepada DailySocial, ia menyampaikan bahwa bisnisnya diposisikan sebagai perusahaan perangkat lunak digitalisasi UMKM yang akan berkembang menjadi pemain fintech.

“Para pedagang telah menyadari bahwa go digital sangat penting bagi bisnis mereka. Pedagang menghemat waktu 2-4 jam sehari, 20% biaya, dan meminimalisir kesalahan perhitungan manual. Kami juga memungkinkan pedagang untuk memulihkan kasbon 3 kali lebih cepat karena prosesnya otomatis.”

Mempercepat adopsi

Dalam laporan Social Impact 2020 yang dirilis Bukalapak disebutkan, UMKM di seluruh Indonesia menghadapi tantangan yang sangat besar saat pandemi. Bukalapak mencoba mengubah tantangan ini menjadi peluang. Karena pandemi membatasi pergerakan, mereka memberdayakan UMKM yang mampu menawarkan berbagai layanan, mulai dari menjual bahan makanan dan kebutuhan dasar hingga menawarkan pengiriman uang, tagihan pembayaran dan berbagai layanan keuangan dan produk virtual lainnya.

Langkah tersebut memungkinkan masyarakat umum untuk mendapatkan layanan dari toko konvensional yang juga merupakan mitra Bukalapak. Hingga tahun 2020 lalu, Bukalapak telah menambah sekitar 4 juta pelapak dan mitra Bukalapak. Secara keseluruhan saat ini terdapat 6,5 juta pelapak dan 7 juta mitra Bukalapak yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pandemi juga telah mempercepat akselerasi dan adopsi digital target pengguna. Menurut Chinmay, peran sosioekonomi tradisional UMKM di Indonesia tidak dapat dihiraukan keberadaannya. Indonesia, yang saat ini sedang mengalami digitalisasi sangat cepat selama pandemi, potensi ekonominya tidak dapat sepenuhnya direalisasikan jika perusahaan kecil tidak segera  melakukan transformasi digital.

“Indonesia kini menggandakan digitalisasi perusahaannya agar lebih produktif dan kompetitif di tengah pemulihan ekonomi, dengan fokus kepada segmen yang sebagian besar belum tersentuh seperti UMKM. Ini adalah tugas yang patut dipuji tetapi juga tugas yang monumental, karena ada sekitar 60 juta bisnis serupa yang tersebar di 6.000 pulau,” kata Chinmay.

Salah satu cara yang menjadi fokus untuk mempercepat adopsi memberikan edukasi. Masing-masing platform juga berupaya menghadirkan fitur yang dibutuhkan pengguna dengan teknologi yang mudah digunakan.

“Tidak dapat dipungkiri edukasi yang dilakukan di Jakarta, dibandingkan dengan kota-kota kecil di luar Jabodetabek, menjadi lebih mudah dilakukan. Untuk bisa melakukan edukasi secara mudah dan tentunya lebih merata, penting bagi para pemain untuk kemudian membangun produk yang sederhana yang dapat digunakan dengan mudah oleh pedagang,” kata Krishnan.

Dengan karakteristik unik, pasar Indonesia memang perlu sentuhan khusus. Hal tersebut yang juga dipercayai tim BukuKas. Untuk dapat menjangkau pengguna di kota-kota kecil, mereka menghadirkan fitur mode offline dengan sinkronisasi otomatis ketika pengguna berhasil terkoneksi ke jaringan internet.

Sementara Youtap melihat manfaat teknologi digital dalam membantu pelaku bisnis mempertahankan usahanya di masa pandemi. Para pemilik usaha secara beramai-ramai menggunakan layanan teknologi untuk meningkatkan penjualan mereka.

“Namun adaptasi teknologi hingga saat ini masih belum merata diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia. Padahal jika mampu beradaptasi, usaha mereka dapat melangkah lebih maju berkat kemampuan dan kefasihan teknologi yang sudah berkembang,” kata Herman.

Potensi pasar UMKM

Berdasarkan data BPS di tahun 2018, sektor UMKM masih menjadi salah satu penggerak roda perekonomian terbesar, dengan angka sebesar 64,2 juta. Meskipun demikian, tercatat baru sekitar 16% (Kementerian Koperasi dan UMKM, Desember 2020) yang sudah terhubung dengan ekosistem digital.

“Melihat besarnya angka ini, kami melihat bahwa pasar UMKM masih memiliki banyak peluang besar untuk lebih memaksimalkan penggunaan digital dalam usahanya. Tidak terbatas hanya untuk pengelolaan usaha saja, tapi juga banyak aspek-aspek lain yang bisa dikembangkan seperti pemasaran, pengelolaan keuangan dan pembayaran digital, terutama dengan adanya standarisasi pembayaran QR yang dilakukan Pemerintah,” kata Herman.

Untuk bisa memberikan layanan dan produk terbaik, BukuKas memiliki beberapa strategi. Salah satunya adalah fokus melihat seperti apa pain point mereka dan membangun solusi yang dibutuhkan.

“Kami memiliki tim terbaik dengan budaya produk inovatif dan DNA yang tidak dimiliki pemain lain di pasar. Inilah yang kemudian menjadi kekuatan inti kami. Kami tetap fokus pada pedagang daripada mengkhawatirkan persaingan,” kata Krishnan.

BukuWarung mengklaim satu-satunya pemain yang menghasilkan uang melalui pembayaran. Dalam hal ini mereka melihat, adopsi pembayaran sebagai pendorong strategis untuk memungkinkan monetisasi melalui kredit, tabungan, dan layanan keuangan lainnya pada tahap selanjutnya dari siklus bisnis pedagang.

“Fokus kami adalah lebih kepada pemahaman mendalam tentang pedagang kami agar membantu membantu kami tetap terdepan, terbukti dari bagaimana produk dan fitur kami telah menjadi standar untuk pemain lain,” kata Chinmay.

Sementara bagi Bukalapak, perusahaan masih bervisi membangun ekonomi melalui UMKM. Dimulai sebagai marketplace, saat ini Bukalapak telah tumbuh menjadi platform perdagangan yang melayani pasar online dan offline.

“Untuk memastikan tidak ada UMKM tertinggal, pada tahun 2016 kami mulai memberikan solusi untuk melayani kebutuhan pasar offline meliputi warung, kios tradisional dan perorangan agen, memungkinkan mereka untuk menjual di luar barang FMCG,” kata CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin.

TaniHub Group Rotasi Posisi Manajemen, Pamitra Wineka Jadi CEO (UPDATED)

Selain merampungkan penggalangan pendanaan Seri B dan menggarap pasar luar Jawa, di tahun 2021 ini startup agritech TaniHub Group memberikan kejutan dengan perubahan di jajaran manajemen. Pergantian pertama adalah di posisi CEO.

Co-Founder Ivan Arie Sustiawan, di status media sosial yang telah dihapus, menyatakan mundur dari posisi manajemen, meski tetap berkiprah sebagai Board Member. Ia telah menjabat posisi ini selama 5 tahun terakhir. Ivan digantikan oleh Co-Founder perusahaan yang lain, Pamitra Wineka, yang saat ini menjabat posisi President.

Pihak TaniHub tidak memberikan konfirmasi saat dikontak DailySocial.

“Saya telah bekerja sebagai CEO TaniHub Group selama hampir 5 tahun. Saya merasa bangga apa yang sudah kami raih. Sejak membangun perusahaan bersama dengan Co-Founder lainnya, TaniHub Group telah berhasil tumbuh dengan memperluas pasar dari 1 kota hingga 5 kota,” kata Ivan di akun media sosial pribadinya.

TaniHub memperoleh dana Seri A+ pada April 2020 sebesar $17 juta (hampir Rp250 miliar) yang dipimpin Openspace Ventures dan Intudo Ventures.

Rencana ekspansi TaniHub Group

TaniHub Group mengklaim telah menjadi perusahaan agritech pertama yang berhasil mencetak GMV di atas Rp1 triliun dengan pertumbuhan gross revenue mencapai 639% secara year-on-year.

Di tahun ini perusahaan akan mendigitalkan seluruh proses rantai pasok dengan membangun sendiri sistem automasi yang digerakkan data, tidak lagi dengan manual. Mereka mengembangkan membuat platform khusus konsumen B2B untuk mengakomodasi proses spesifik demi memberikan pengalaman transparansi yang jauh lebih baik.

Terdapat lebih dari 46 ribu petani yang diklaim mendapat dampak positif kehadiran TaniHub, termasuk meningkatkan pendapatan petani sebesar 20%. Pendapatan terbesar TaniHub Group berasal dari segmen bisnis dengan kontribusi 80%, sisanya dari bisnis retail.

Application Information Will Show Up Here

Viding Hadirkan Platform Terpadu untuk Adakan Acara Pernikahan Virtual

Bisnis yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara pernikahan terganggu signifikan akibat pandemi. Aturan PSBB hingga social distancing, menjadikan acara pernikahan dan resepsi perkawinan menurun jumlahnya sepanjang tahun 2020. Melihat permasalahan tersebut, Viding, platform one-stop virtual wedding kemudian resmi meluncur pada bulan Juli 2020 lalu.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Viding Alkiadi Joyo Diharjo mengungkapkan, platformnya didirikan dengan menciptakan solusi atas permasalahan dalam pengelolaan akad dan resepsi pernikahan selama pandemi. Hingga kini perusahaan mengklaim omzet untuk tahun 2021 sudah tumbuh 3x lipat dan telah mencetak laba.

Layanan yang disajikan meliputi undangan digital, buku tamu digital, saluran untuk pemberian angpao secara digital, sampai fasilitas untuk sesi live streaming. Semua terintegrasi dalam satu platform terpadu. Pengguna juga akan mendapatkan dasbor untuk memantau laporan dari penyelenggaraan acara.

“Kami melihat pernikahan dengan konsep yang sederhana, intim, dan diselenggarakan secara hybrid menjadi tren di kalangan muda di Indonesia. Model bisnis kami adalah B2C, monetisasi dilakukan melalui biaya layanan pada tiap fitur, biaya layanan per paket, dan biaya administrasi transaksi dari e-angpao,” kata Alkiadi.

Saat ini layanan Viding telah tersedia di Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, dan Bali. Dalam waktu dekat perusahaan juga berencana untuk memperluas area layanan di Medan.

Fitur unggulan

Disinggung apa yang membedakan Viding dengan platform serupa lainnya, disebutkan platform lain kebanyakan hanya menyediakan layanan web invitation atau live streaming saja. Sedangkan Viding menyediakan fitur yang terintegrasi secara menyeluruh, yang memberikan pengalaman maksimal bagi mempelai dan tamu dalam mengikuti kondangan/pernikahan virtual.

“Mempelai dapat membuat halaman website-nya sendiri secara mudah (drag & drop), di dalamnya terdapat fitur E-Guestbook, E-Angpao, Live Streaming dan Dashboard Reporting,” kata Alkiadi.

Sejak meluncur, platform Viding diterima dengan baik oleh target pengguna. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan omzet lebih dari 20% per bulannya; dan banyaknya rekan-rekan vendor pernikahan yang berkolaborasi, karena posisi Viding sebagai komplementer.

Viding juga menawarkan pilihan yang relatif terjangkau, menyesuaikan paket yang diberikan dengan harga antara Rp3 juta hingga Rp10 juta.

Ada beberapa rencana yang akan dilancarkan Viding tahun ini, di antaranya adalah ekspansi di beberapa kota besar di Indonesia. Masih menjalankan bisnis secara bootstrapping, mereka tengah mempersiapkan kegiatan penggalangan dana dan bekerja sama dengan mitra strategis potensial untuk pendanaan.

“Target kami hingga akhir tahun ini dapat menyelenggarakan 1000 pernikahan, membuka layanan di beberapa kota (target 20 kota) dan terus menyempurnakan platform. Kami juga membuka pintu kolaborasi dengan instansi-instansi terkait untuk membuat konsumen semakin nyaman,” kata Alkiadi.

Gambar Header: Depositphotos.com

Jagofon Hadirkan Platform E-commerce Ponsel Bekas, Fasilitasi Pengujian Kualitas

Besarnya permintaan produk smartphone bekas di Indonesia, memberikan inspirasi kepada Stéphane Becquart untuk meluncurkan platform e-commerce Jagofon. Nilai unik dari layanan ini, setiap barang tangan kedua yang mereka suguhkan telah melalui uji kualitas dan orisinalitasnya — verifikasi tersebut diharapkan dapat memberikan keyakinan lebih kepada calon pembeli.

Prosesnya meliputi dua aspek utama, yakni pemeriksaan IMEI untuk memastikan barang tersebut legal. Dan yang kedua pemeriksaan fungsionalitas dari perangkat, termasuk kamera, mikrofon, baterai, sensor, layar dll. Harga jual akan disesuaikan dengan hasil penilaian akhir.

Mereka memiliki 4 jenis penilaian terhadap produk yang dijual, dari yang paling rendah ke paling tinggi, meliputi Fair, Good, Very Good, dan Mint. Status tersebut akan melekat ke produk dan berpengaruh pada persentase depresiasi atau penurunan dari harga awal.

“Indonesia adalah pasar yang ideal untuk smartphone bekas, yang hingga saat ini masih menjadi pasar yang besar, terfragmentasi, dan disfungsional. Setidaknya 20% ponsel diimpor, dicuri, atau dipalsukan secara ilegal, menurut sebuah studi oleh Kementerian Perindustrian & Qualcomm. Oleh karena itu, ada peluang besar untuk memberikan nilai yang lebih baik kepada konsumen Indonesia,” ujar Stéphane.

Melalui layanan iklan digital ala OLX atau Kaskus, sebenarnya proses jual-beli ponsel bekas sudah cukup ramai dipraktikkan di Indonesia. Namun sejauh ini faktor “kepercayaan” masih menjadi variabel utama dalam transaksi, alih-alih penilaian sistematis terhadap kondisi barang.

“Secara umum kebanyakan pasar tidak melakukan kontrol kualitas. Kami mencatat 40% smartphone di pasar pada umumnya tidak lulus pengujian dari kami, karena itu kurang baik kondisinya,” imbuh Stéphane.

Lebih lanjut ia mengatakan, “Secara khusus kami menerapkan strategi monetisasi berdasarkan komisi dari setiap transaksi. Kami juga menambahkan jaminan untuk perangkat di platform kami.”

Rencana penggalangan dana

Saat ini Jagofon memiliki sekitar 35 ribu pengguna aktif dan telah menjual 3 merek smartphone premium terpopuler di Indonesia, yakni Apple, Samsung dan Oppo. Ke depannya mereka secara bertahap akan menambah tipe dan merek barang yang dapat dijual dalam platform.

Meskipun hanya menjual dalam situs milik mereka sendiri, Jagofon juga saat ini tengah melakukan uji coba untuk mengintegrasikan dengan layanan onliine marketplace ternama di Indonesia, sebagai opsi kepada pelanggan untuk mengakses semua produk yang mereka jual.

“Sejak diluncurkan bulan Oktober 2020 lalu hingga saat ini kami masih fokus kepada wilayah Jabodetabek. Rencana ke depannya kami juga ingin memperluas area layanan,” kata Stéphane.

Jagofon telah mengantongi pendanaan pre-seed senilai $254.000 dari angel investor. Selanjutnya perusahaan juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana tambahan hingga $500.000 dalam waktu dekat. Rencananya dana segar tersebut akan digunakan Jagofon untuk memperluas area layanan. Startup ini juga sebelumnya merupakan peserta program akselerasi GK-Plug and Play di batch ke-8.

“Kami ingin bekerja sama dengan Plug & Play Corporate Partners di bidang pembiayaan (untuk menawarkan solusi angsuran yang lebih baik kepada pelanggan kami), pemasaran (promosi lintas-pemasaran misalnya), dan sourcing (bagi mereka yang memiliki akses ke inventaris barang bekas ),” kata Stéphane.