Bukukan Profit, Telunjuk Siapkan Dasbor “Market Insight” Compas

Didirikan tahun 2012, platform pembanding harga Telunjuk saat ini fokus ke revenue, menyasar segmen B2B, dan tidak terlalu agresif melakukan penggalangan dana. Kepada DailySocial, CEO Telunjuk Hanindia Narendrata menyebutkan, dengan cara tersebut perusahaan mengklaim mampu memperoleh profit yang cukup untuk menjalankan perusahaan.

Berawal dari platform rekomendasi dan pembanding harga antar layanan e-commerce, Telunjuk telah memiliki beragam produk memanfaatkan data untuk kebutuhan klien korporasi. Meskipun masih meng-cater kebutuhan layanan e-commerce, dengan produk market insight baru yang bisa dikustomisasi, perusahaan makin fokus mengembangkan layanan ini ke depannya.

“Awalnya kita mendapat tawaran dari brand besar yang ingin melihat perkiraan harga di berbagai platform e-commerce yang ada di Indonesia. Dari situ kita melihat dengan engine crawling yang sudah dimiliki serta data yang telah dikumpulkan. Menjadi ideal bagi kami untuk menghadirkan layanan tersebut dan ternyata demand-nya cukup besar di kalangan brand.”

Memperkenalkan Compas

Di awal tahun mendatang, Telunjuk berencana meluncurkan Compas, sebuah dasbor yang berisikan online marketshare data, price monitoring, health check placement, dan monitoring untuk platform e-commerce di Indonesia.

“Kita sengaja memanfaatkan tren official store yang banyak ditawarkan oleh layanan e-commerce, seperti Tokopedia, Shopee hingga Bukalapak. Banyaknya brand besar yang mulai memanfaatkan platform tersebut namun masih sedikit informasi dan cara tepat penggunaannya membuat produk kami menjadi relevan,” kata Hanindia.

Kehadiran official store diklaim bisa membantu mendorong pendapatan dan penjualan perusahaan secara online.

“Saya perkirakan tahun 2020 mendatang akan lebih banyak lagi perusahaan yang mengadopsi teknologi dan pastinya membutuhkan platform yang relevan untuk membantu mereka. Untuk itu saya lihat tahun 2020 bakal lebih banyak startup yang menyasar segmen B2B dibandingkan B2C,” kata Drata.

Rencana tahun depan

Selain meluncurkan produk Compas, Telunjuk juga memiliki rencana menambah vertikal bisnis mereka. Mulai dari market insight atau survei untuk berbagai pihak terkait hingga insight yang menyasar segmen khusus, seperti travel, asuransi, dan lainnya.

“Meskipun masih berfokus kepada layanan e-commerce hingga brand besar, harapannya Telunjuk bisa menambah produk baru yang bisa digunakan oleh berbagai pihak. Masih dalam tahap uji coba [..]. Harapan kami tahun 2020 mendatang produk baru tersebut bisa kami tawarkan kepada publik,” kata Hanindia.

Meskipun tidak secara agresif melakukan penggalangan dana, Hanindia menegaskan pihaknya tidak menutup kemungkinan jika adanya tawaran untuk fundraising dari investor. Pendanaan rencananya akan digunakan Telunjuk untuk melakukan ekspansi secara regional. Negara yang memiliki kemiripan dari sisi pasar, sehingga ideal menjadi sasaran ekspansi, adalah Vietnam.

“Kami tidak terlalu agresif melakukan penggalangan dana karena dengan model bisnis yang kami tawarkan saat ini, mendapatkan revenue dari brand besar dan perusahaan jauh lebih ideal dan positif untuk perusahaan. Namun jika ada investor yang cocok dengan kami, tidak menutup kemungkinan penggalangan dana tahapan Seri B bakal kami lakukan, ” kata Hanindia.

Application Information Will Show Up Here

Tahun Depan Blanja Fokus ke Pembelian Produk Digital

Menyambut tahun 2020, Blanja akan mengalihkan fokus. Tidak lagi berat ke sisi e-commerce, perusahaan akan fokus ke melayani pembayaran produk digital dan penawaran produk edukasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

CEO Blanja Jemy Confido mengklaim, sepanjang tahun 2019 Blanja telah mengalami peningkatan revenue yang cukup signifikan. Dibandingkan tahun 2018, jumlahnya meningkat hingga 84%. Terjadi peningkatan EBITDA 11% dan Net Income sekitar 4%. Bagi perusahan metrik utama saat ini tidak lagi GMV, tetapi revenue.

Selain Jabodetabek, Blanja mengklaim memperleh peningkatan traffic dan jumlah pengguna di Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar.

“Untuk GMV sendiri kami mencatat banyak datang dari organik sekitar 85%. Dari jumlah tersebut kami melihat positioning Blanja dan brand awareness sudah cukup efektif, meskipun masih dalam kalangan tertentu.”

Untuk tahun depan, Blanja meningkatkan jumlah produk digital yang diakomodasinya, mulai dari fasilitas komunikasi, produk permainan, hiburan, hingga pembayaran BPJS Kesehatan. Blanja juga lebih agresif menghadirkan produk edukasi bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam bentuk Katalog Sektoral Pendidikan dan Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah).

“Produk consumer goods hingga gadget juga masih kita hadirkan, namun sekarang kami memilih untuk lebih selektif. Kemitraan dengan UKM dan BUMN juga masih terus kami lancarkan. Produk digital hingga investasi akan menjadi fokus utama kami ke depannya,” kata Jemy.

Selain pembayaran default melalui LinkAja, Blanja juga berencana menghadirkan fitur pembayaran PayLater. Fitur ini akan menggandeng LinkAja, pihak perbankan, dan institusi keuangan lainnya.

“Kita juga terus mendorong pilihan pembayaran yang masih dalam Telkom Group. Salah satunya adalah Finpay dari PT Finnet Indonesia (Finnet). Dengan skema agregasi nantinya akan ditambah pilihan pembayaran dompet digital di luar ekosistem Telkom,” kata Jemy.

Salah satu kerja sama baru Blanja adalah dengan Invisee. Pengguna bisa memilih produk investasi reksa dana yang dikelola Invisee melalui platformnya.

“Kami melihat saat ini kalangan milenial mulai banyak jumlahnya yang mengakses platform kami. Dengan pilihan investasi yang terjangkau dan proses yang mudah, diharapkan bisa lebih banyak lagi kalangan milenial yang tertarik untuk membeli produk reksa dana di Blanja,” kata Jemy.

Application Information Will Show Up Here

Tantangan Startup Kesehatan dalam Menghadirkan Kemudahan Akses Melalui Teknologi

Salah satu sektor yang masih sulit untuk “diganggu” teknologi adalah kesehatan. Masih kakunya cara-cara yang diterapkan serta belum siapnya regulasi yang dibuat, menjadikannya sulit untuk disasar startup digital. Dalam sesi #Selasastartup minggu ini, Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo mencoba untuk mengurai persoalan dan solusi terbaik terkait sektor kesehatan di Indonesia untuk penggiat startup.

Persoalan akses rekam medis

Salah satu isu di sektor kesehatan Indonesia adalah susahnya bagi pasien memindahkan rekam medis ke rumah sakit yang berbeda. Jika satu orang pasien sudah terdaftar di sebuah rumah sakit, tidak ada jaringan atau akses yang bisa diambil oleh rumah sakit lain, ketika pasien memutuskan untuk memindahkan layanan kesehatan mereka.

Hal ini menurut Harya menjadi beban tersendiri bagi startup atau perusahaan teknologi yang mencoba untuk memecahkan persoalan tersebut. Indonesia masih mengacu kepada peraturan yang berlaku, di dalamnya dengan jelas dituliskan, jika pihak rumah sakit membocorkan rekam medis seorang pasien dengan sengaja, bisa diancam hukuman pidana.

Masih ketatnya peraturan tersebut, menyulitkan akses rekam medis untuk bisa diakses terbuka di jaringan unit kesehatan yang saat ini berjumlah sekitar 2800 rumah sakit dan 18 ribu klinik kesehatan.

“Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Singapura yang sudah menerapkan akses terbuka untuk semua rumah sakit hingga klinik melihat rekam medis pasien ketika mereka memutuskan untuk berobat di berbagai rumah sakit dan klinik yang ada,” kata Harya.

Persoalan integrasi dan proses data

Tantangan lainnya, masih belum terhubungnya kebutuhan pasien, perusahaan asuransi, hingga rumah sakit. Jika pasien ingin berobat dan mengajukan pembayaran asuransi, semua proses tersebut kebanyakan masih diterapkan secara manual.

Demikian juga dengan persoalan resep hingga informasi yang dikeluarkan oleh dokter kepada pihak rumah sakit dan pasien. Semua masih dalam bentuk tulisan dan belum banyak yang dilakukan secara digital.

“Di Indonesia masih banyak dokter yang melakukan penulisan resep dan lainnya dengan tulisan tangan, karena ada pemahaman yang diyakini oleh komunitas dokter dan pihak terkait lainnya tentang proses konvensional tersebut. Sementara di negara lain semua dokter di rumah sakit sudah mulai membiasakan kepada pasien memberikan resep secara digital,” kata Harya.

Peluang untuk startup kesehatan di Indonesia

Meskipun masih sulit, namun startup seperti Medigo yang sebelumnya dikenal sebagai Instigator, kini mulai menjajaki peluang untuk menjadi operator. Dengan platform SaaS yang ditawarkan, mereka menawarkan pendekatan teknologi kepada rumah sakit dan klinik di Indonesia.

Selain itu masih ada potensi lain lain yang juga masih bisa dihadirkan oleh startup, antara lain layanan konsultasi online hingga pemesanan/pengantaran resep dari rumah sakit. Selebihnya Harya menyarankan untuk menjalin kemitraan dengan ekosistem terkait seperti BPJS  untuk mengadopsi teknologi ke dalam sistem internal mereka.

Aplikasi Petloka Mudahkan Pemilik Hewan Peliharaan Temukan Jasa Perawatan dan Penitipan

Banyaknya jumlah layanan pet grooming (perawatan hewan peliharaan) atau pet hotel (tempat penitipan hewan peliharaan) di ibukota menjadi salah satu alasan mengapa Petloka didirikan. Mereka menyediakan platform online untuk memudahkan pemilik hewan memesan jasa tersebut.

Petloka didirikan oleh empat orang co-founder yakni Alvin Lim, jebolan beberapa startup di bidang fintech dan cashback; Andrew J. Gunawan, Albert Sudartanto, dan James Roberto yang pernah bekerja di perusahaan e-commerce.

Kepada DailySocial COO Petloka Albert Sudartanto menjelaskan, layanannya memiliki tujuan untuk mempermudah proses pemesanan oleh pelanggan kepada mitra. Saat ini aplikasi sudah tersedia untuk perangkat iOS dan Android.

“Berangkat dari pengalaman pribadi saat memiliki binatang peliharaan, muncul ide mendirikan Petloka agar bisa membantu para pemilik binatang peliharaan lainnya. Didukung oleh jaringan dan relasi yang cukup di pet industry dan latar belakang bekerja di tech company, kami sangat optimis dengan platform yang ditawarkan.”

Layanan on-demand untuk pemilik hewan peliharaan

Untuk mitra, bakal ditawarkan opsi sebagai jasa penyedia layanan pet grooming atau pet hotel. Ke depannya Petloka juga akan menambah layanan lainnya seperti klinik hewan dan marketplace berbagai kebutuhan pendukung. Hingga akhir Oktober 2019, Petloka sudah memiliki lebih dari 200 mitra dan memproses lebih dari 1000 transaksi per bulan.

“Dengan rata-rata spending Rp1 juta/bulan untuk satu binatang peliharaan dan jumlah populasi anjing hingga kucing yang sudah jutaan jadi potensi pertumbuhan sangat menjanjikan, tinggal bagaimana kita mengedukasi para pet lover supaya bisa beralih dari offline ke online,” kata Albert.

Meskipun banyak layanan serupa yang mulai memanfaatkan teknologi, namun belum ada yang bisa memberikan layanan secara menyeluruh memanfaatkan aplikasi. Saat ini Petloka belum mengenakan biaya kepada mitra yang bergabung, namun ke depan akan dikenakan potongan kepada service provider untuk setiap pemesanan.

“Di era yang serba cepat ini, Petloka ingin mempermudah proses booking untuk layanan hewan peliharaan melalui aplikasi. Cukup dengan beberapa langkah yang sangat singkat, konsumen dapat mengatur jadwal pet grooming atau pet hotel yang diinginkan melalui platform kami,” tutup Albert.

Saat ini layanan sudah bisa digunakan untuk pengguna di Jabodetabek, Bandung, Denpasar, Surabaya, Semarang, Malang, Yogyakarta, Samarinda, Medan, Gersik, Kediri, hingga Solo.

Untuk ke depannya, Petloka juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana. Pihaknya mengklaim saat ini sudah ada beberapa investor yang tertarik untuk berinvestasi dan masih terus membuka peluang kepada investor lainnya yang ingin bergabung.

Application Information Will Show Up Here

Jungle Ventures to Invest in Two Indonesian Based Startups by the End of This Year

Closing the third round at $240 million (more than 3.3 trillion Rupiah), venture capital for seed funding in Southeast Asia, Jungle Ventures, plans to invest in two Indonesian based startups by the end of this year. Jungle Ventures’ Managing Partners, David Gowdey said, both are platforms targeting retail consumers in Series A.

“We’ve always been focusing on startups focused on social commerce, consumer, and software. Currently, only two startups from Indonesia are to receive funding from Jungle Ventures [the third round]. It’s possible to have another startup to invest from Southeast Asia by 2020.”

The ticket size for series A is between $3 million up to $7.5 million, while seed funding is usually at $500 thousand up to $1 million.

Jungle Ventures has doubled the funds from the previous round, Jungle Ventures II (2016), with nearly 60% comes from outside Asia. More than 90% of the capital comes from institutional investors from North America, Europe, the Middle East, and Asia. The new investors dominate this round about 70%, while the rest have previously participated, including the $40 million which comes separately in the managed account.

The fresh money is to be invested in various tech-companies and digital businesses in Southeast Asia. Previously, Jungle Ventures has invested in Kredivo, RedDoorz, Sociolla, and SweetEscape.

Focus on margin, not GMV

In addition to funding, the company aims to support startups by providing consultation and mentorship. He said that the company is to assist startups to focus more on margin, not GMV. The step was made to avoid potential issues in the future.

“We’ve always been encouraging startups to focus on margin instead of GMV, therefore, the long-term plans and target can be measured, not only the prediction. We use a different approach in searching for potential startups, we’re looking for those who aren’t fundraising,” he said.

It was supported by Amit Anand who has expertise in the software development sector and David Gowdey who is responsible for Koprol acquisition by Yahoo a few years ago, Jungle Ventures expects to create an Indonesian startup with the best software to compete in the global market.

“I think Indonesian talents are improving, especially those who have experience in the unicorns like Gojek, Tokopedia, Bukalapak and Traveloka. When they’re no longer at the company and building their own, they’re expected to be mature enough to create products and services in demand,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jungle Ventures Siapkan Dana untuk Dua Startup Indonesia Jelang Akhir Tahun

Berhasil mengumpulkan dana tahap ketiga dengan nilai total kelolaan $240 juta (lebih dari 3,3 triliun Rupiah), perusahaan modal ventura tahap awal Asia Tenggara Jungle Ventures berencana berinvestasi ke dua startup Indonesia akhir tahun ini. Menurut Managing Partners Jungle Ventures David Gowdey, kedua startup tersebut merupakan platform yang menyasar konsumer ritel di tahap Seri A.

“Sejak awal kita fokus kepada startup yang menyasar kepada social commerce, consumer, dan software. Untuk saat ini baru dua startup asal Indonesia yang akan menerima pendanaan dari Jungle Ventures [untuk dana tahap ketiga]. Tidak menutup kemungkinan tahun 2020 mendatang akan ada lagi startup di Asia Tenggara yang mendapatkan investasi dari kami.”

Ticket size yang disiapkan Jungle Ventures untuk tahap seri A adalah antara $3 juta hingga $7,5 juta, sedangkan untuk startup tahap awal antara $500 ribu sampai $1 juta.

Jungle Ventures telah mengumpulkan pendanaan dengan jumlah dua kali lipat lebih besar dari pendanaan sebelumnya, Jungle Ventures II (2016), dengan hampir 60 persen pendanaan berasal dari luar Asia. Lebih dari 90% modal berasal dari investor institusional Amerika Utara, Eropa, Timur Tengah, dan Asia. Jumlah investor baru mengambil porsi hampir 70 persen dari penggalangan dana investasi ini, sedangkan sisanya merupakan investor lama, termasuk $40 juta yang diperoleh secara terpisah dalam komitmen akun kelolaan (managed account).

Dana tersebut akan diinvestasikan pada berbagai perusahaan berteknologi inovatif dan bisnis digital di Asia Tenggara. Sebelumnya Jungle Ventures telah berinvestasi ke Kredivo, RedDoorz, Sociolla dan Sweet Escape.

Fokus ke margin, bukan GMV

Selain memberikan pendanaan, perusahaan berupaya memberikan dukungan bagi startup berupa konsultasi dan arahan. Menurut David, perusahaan akan mengarahkan startup untuk fokus ke margin dan bukan kepada GMV. Langkah tersebut diambil untuk menghindari potensi permasalahan di masa mendatang.

“Sejak awal kita selalu mengajak pendiri startup untuk memikirkan margin dibandingkan GMV, sehingga rencana dan target dalam jangka panjang sudah bisa ditentukan, bukan hanya prediksi atau target saja. Kita juga melakukan pendekatan yang unik saat mencari startup yang memiliki potensi, yaitu startup yang sedang tidak melakukan penggalangan dana, mereka yang kami cari,” kata David.

Didukung Amit Anand yang memiliki pengalaman di bidang pengembangan piranti lunak dan David Gowdey yang bertanggung jawab terhadap akuisisi Koprol ke Yahoo beberapa tahun yang lalu, Jungle Ventures berharap bisa menciptakan startup Indonesia yang memiliki produk piranti lunak terbaik dan mampu untuk bersaing dengan pasar global.

“Menurut saya saat ini talenta di Indonesia sudah semakin baik, terutama mereka yang sebelumnya pernah bekerja di startup unicorn seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak hingga Traveloka. Ketika mereka keluar dan membangun startup sendiri, diharapkan bisa menjadi sumber daya yang sudah siap untuk menghasilkan produk atau layanan yang dibutuhkan,” kata David.

Lima Cara Unik Penggiat Industri Teknologi yang Bisa Diterapkan di Pemerintahan

Masuknya Nadiem Makarim ke jajaran Kabinet Indonesia Maju memberikan suatu sinyal bahwa orang-orang yang berkecimpung di industri teknologi (tech people) bisa memberikan kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat. Tentu Nadiem bukan satu-satunya orang teknologi yang mencoba jalan ini.

Pemilihan kandidat Presiden Partai Demokrat Amerika Serikat untuk tahun 2020 juga diramaikan dua kandidat muda yang yang sebelumnya pernah bersinggungan dengan dunia teknologi. Andrew Yang dan Beto O’Rourke, meskipun bukan dari kalangan milenial, memiliki eksposur serupa.

Andrew Yang di awal masa dotcom bubble pernah membangun startup dan kemudian menjadi CEO Venture for America, sebuah program untuk membantu lulusan perguruan tinggi yang ingin menjadi wirausahawan atau membangun startup.

Jika nantinya terpilih sebagai Presiden, Andrew ingin menciptakan posisi setingkat kabinet baru dalam bentuk Departemen Teknologi yang akan mengatur artificial intelligence dan teknologi baru lainnya.

Kandidat lainnya adalah Beto O’Rourke. Meskipun tidak memiliki latar belakang sebagai pendiri startup, ia diberitakan sempat menjadi hacker dan tergabung dalam kelompok terkenal dengan “hactivism” yang merupakan kelompok peretas komputer tertua dalam sejarah AS.

Meskipun tidak adanya indikasi O’Rourke pernah terlibat jenis peretasan yang paling canggih, seperti membobol komputer, keanggotaannya dalam kelompok tersebut dapat menjelaskan pendekatannya terhadap politik dengan cara yang berbeda. Latar belakangnya sebagai hacker tertuang dalam visi dan misi jika terpilih menjadi Presiden, yaitu merombak sistem yang ada dan memperbaikinya dengan ide-ide dan inovasi yang baru.

Tidak heran ketika inovasi, teknologi, dan disrupsi menjadi fokus utama tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.

Artikel berikut akan mengupas lima poin yang dimiliki kebanyakan tech people dan bagaimana mereka bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang sudah ada sebelumnya.

Berani ambil risiko

Sebagai pendiri startup, Nadiem Makarim dan Andrew Yang memahami benar sulitnya membangun perusahaan rintisan. Tidak hanya membutuhkan modal dan sumber daya, namun juga kemampuan untuk berani mengambil risiko. Tidak banyak startup yang sukses saat menjalankan bisnis di awal. Dibutuhkan waktu dan effort yang cukup lama bagi startup untuk bisa sukses. Mereka dituntut untuk mencari solusi terbaik agar perusahaan tetap bertahan menjalankan bisnis dan meraup pendapatan.

Ketika masuk ke dalam pemerintahan, bisa dipastikan mereka mencoba memahami proses yang ada dan, jika memungkinkan, melakukan transformasi sesuai dengan value yang mereka miliki selama menjalankan startup.

Memangkas birokrasi

Salah satu kelebihan bekerja di startup adalah kebebasan dan suasana kerja yang lebih terbuka dibandingkan dengan gaya konvensional yang sarat birokrasi. Kecepatan mengambil keputusan, penentuan orang yang tepat untuk mengerjakan proyek, dan percepatan semua proses kerja merupakan jiwa startup.

Anti birokrasi ini akan menjadi tantangan bagi mereka yang masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Nilai-nilai tersebut akan coba diterapkan secara perlahan dan mereka berupaya memotong proses birokrasi yang rumit menjadi lebih sederhana dan efektif.

Kolaborasi

Keunikan lain yang hanya ditemui dalam dunia startup adalah konsep open collaboration. Tidak lagi mengusung ruang kerja dengan pembatas dan ruangan kantor terpisah, startup mulai banyak menerapkan ruangan kerja terbuka yang memudahkan kolaborasi antar pegawai.

Kolaborasi dan kultur perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab pegawai level awal. Setiap level harus bisa memberikan kontribusi dan bertanggung jawab terhadap semua pekerjaan yang dibebankan.

Adopsi cepat dan agile

Agile merupakan istilah yang paling banyak digadang-gadang penggiat startup. Agile di sini berarti kemudahan semua pihak untuk melakukan perubahan, transformasi, dan tidak fokus ke satu mindset saja. Fleksibilitas dan wawasan yang lebih terbuka juga merupakan konsep agile yang ingin dicapai startup.

Sebagai pihak yang mengedepankan teknologi, tech people juga cenderung lebih cepat mengadopsi perubahan demi menciptakan inovasi dan solusi yang lebih baik. Konsep ini pada akhirnya akan sangat masuk akal diterapkan dalam pemerintahan, sehingga tidak terjebak dalam rutinitas dan fokus ke masa depan.

Inovasi adalah raja

Dunia startup sarat dengan inovasi dan bagaimana inovasi yang tercipta bisa menjadikan solusi yang tepat. Inovasi pada akhirnya akan menjadi kunci utama bagi tech people ketika masuk ke dalam pemerintahan.

Inovasi melibatkan aplikasi informasi, imajinasi, dan inisiatif yang demi mewujudkan nilai yang lebih besar atau berbeda dari sumber daya.

Mendorong pegawai untuk lebih kreatif dan agresif akan menciptakan ide-ide baru yang lebih baik dan bermanfaat, dengan didukung teknologi dan berbagai tools yang ada.

Platform “Laundry On-Demand” Spanyol Mr Jeff Hadir di Indonesia Desember Mendatang

Platform laundry on-demand yang menawarkan konsep waralaba dari Valencia, Spanyol, Mr Jeff mengumumkan kehadirannya secara resmi bulan Desember 2019 mendatang. Indonesia rencananya menjadi kantor pusat regional di Asia. Selain di Indonesia, perusahaan berencana membuka waralaba di Filipina dan Singapura hingga akhir tahun.

Kepada DailySocial, VP of Expansion Mr Jeff Christakis Theodorou Villalta mengungkapkan, Indonesia sengaja dipilih melihat dari populasi yang besar dan pesatnya tingkat penetrasi smartphone dan internet.

“Akhir tahun ini bisa kami pastikan Mr Jeff akan resmi hadir di Indonesia dan secara langsung aplikasi bisa langsung digunakan. Kami juga telah menggandeng 12 mitra yang nantinya akan memiliki [gerai] waralaba.”

Tahun ini perusahaan telah menerima pendanaan Seri A senilai $12 juta yang dipimpin All Iron Ventures untuk meningkatkan ekspansi internasionalnya.

Konsep waralaba

Berbeda dengan layanan laundry on-demand yang lebih dulu hadir, yang rata-rata menggandeng laundry independen, struktur yang diterapkan Mr Jeff adalah eksklusivitas jaringan waralaba. Mitra waralaba harus memiliki kendaraan untuk melakukan penerimaan dan pengiriman hasil laundry ke rumah pelanggan.

“Kami memastikan tim Mr Jeff akan memberikan pelatihan, konsultasi bisnis dan pemilihan lokasi yang relevan memanfaatkan data dan sumber daya yang kami miliki. Dengan demikian bisa meningkatkan bisnis mereka dengan bergabung menjadi mitra di Mr Jeff,” kata Christakis.

Menurut penelitian perusahaan, layanan laundry populer di kalangan generasi muda dan dianggap sebagai pekerjaan rumah tangga yang paling tidak disukai. Mr Jeff mencatat kawasan seperti apartemen dan perkantoran menjadi sasaran ideal layanannya.

Skema bisnis berlangganan

Belum mencakup semua wilayah, Mr Jeff akan hadir di kawasan tertentu di Jakarta, Tangerang, Bandung, dan Banjarmasin.

“Kami melihat yang memutuskan untuk bergabung dengan waralaba Mr. Jeff tidak hanya pemilik bisnis laundry, namun juga masyarakat umum yang tertarik untuk memiliki bisnis laundry. Dengan pendekatan digital, kami ingin memberikan layanan yang terpadu untuk mereka yang tertarik bergabung dengan Mr Jeff,” kata Christakis.

Aplikasi Mr Jeff memungkinkan pengguna memesan layanan laundry sesuai permintaan melalui model berlangganan. Menggunakan aplikasi, web, atau jaringan waralaba, pelanggan dapat memilih lokasi, waktu dan hari yang diharapkan untuk mengumpulkan dan mengirimkan cucian mereka.

Pengemudi nantinya akan mengunjungi rumah atau kantor pengguna, mengumpulkan pakaian dan mengembalikannya setelah pakaian dibersihkan dan disetrika.

Saat ini pilihan pembayaran yang disediakan Mr. Jeff adalah melalui transfer bank, kartu kredit, dan uang tunai. Rencananya Mr Jeff akan menggandeng layanan dompet digital sebagai pelengkap.

“Tentunya semua masih dalam tahap penjajakan. Jika nantinya sudah final kami harapkan bisa mempermudah pelanggan di Indonesia untuk melakukan pembayaran,” kata Christakis.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Jamanow Mudahkan Pengguna Memulai Bisnis Jualan Online

Makin menjamurnya bisnis online yang memanfaatkan berbagai platform untuk berjualan menjadi salah satu inspirasi lahirnya aplikasi Jamanow. Yakni sebuah social commerce yang memfasilitasi pengguna memulai bisnis online secara mandiri.

Platform tersebut menawarkan kemudahan akses untuk menghubungkan brand atau merchant kepada reseller dan pelanggan. Dengan memanfaatkan social network reseller dan influencer, memungkinkan brand bisa menjangkau jaringan yang jauh lebih luas.

“Kami melihat social commerce sukses di India dan Tiongkok. Memberikan peluang usaha kepada semua orang, why not? Di Indonesia masih tinggi angka penganggurannya, kemudian ada yang sudah bekerja tapi gajinya kurang bisa mencukupi kebutuhan mereka, ada juga mahasiswa atau pelajar atau Ibu rumah tangga yang butuh dapat penghasilan tambahan,” kata Co-Founder & CMO Jamanow Cindy Ozzie kepada DailySocial.

Jamanow mencatat, 60% transaksi online terjadi di platform e-commerce formal, seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, dan sebagainya. Sementara 40% transaksi online terjadi di platform informal, seperti WhatsApp, Facebook, Kaskus, dan lainnya. Cara informal kebanyakan transaksinya masih menggunakan cara manual.

Secara demografi, profil Indonesia, India, dan Tiongkok bisa dibilang cukup serupa. Mulai dari penyebaran penduduk, heterogenitas budaya, dan gaya hidupnya. Jadi ada peluang yang besar juga social commerce ini bisa sukses di Indonesia, meskipun masih perlunya edukasi diberikan.

“Hingga kini masih menjadi tantangan bagi kami adalah social commerce yang masih sangat baru di Indonesia. Jadi untuk edukasi market membutuhkan waktu dan strategi yang tepat,” kata Cindy.

Fokus pada akuisisi merchant, reseller, dan pelanggan

Secara khusus platform tersebut menawarkan model bisnis yang serupa dengan drop shipping model. Ketika reseller berhasil menjual barang dari aplikasi, mereka akan dapat komisi hingga 25%. Jamanow juga mengenakan komisi dari setiap transaksi penjualannya. Untuk mengakuisisi lebih banyak merchant, perusahaan memanfaatkan jaringan tim yang telah dimiliki.

Selain mereka yang sudah menjadi reseller sebelumnya, target perusahaan adalah mengajak kalangan ibu rumah tangga, karyawan, dan mahasiswa untuk bergabung.

Untuk melancarkan kegiatan tersebut, perusahaan telah melakukan aktivitas offline dan kampanye di media sosial. Jamanow mengklaim telah memiliki pengguna aktif di luar kawasan Jabodetabek, seperti Padang, Surabaya, Kalimantan hingga Bali. Layanan juga sudah bisa diakses melalui aplikasi maupun website.

“Tahun 2020 mendatang kami memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana pra seri A dan seri A. Sementara target yang ingin kami capai tahun depan di antaranya meningkatkan angka transaksi, angka active user, dan yang pasti impact untuk setiap pengguna aplikasi kami,” kata Cindy.

RateS, TokoTalk, dan Feedr juga merupakan aplikasi serupa yang beroperasi di Indonesia. Tawarkan model social commerce untuk permudah masyarakat berjualan sebagai reseller.

Application Information Will Show Up Here

Fokus Dekoruma Menghadirkan Layanan dan Produk “Home Living” Terpadu

Sebagai salah satu platform jasa desain interior dan konstruksi, Dekoruma mencoba untuk menghadirkan layanan hingga inovasi terkini. Salah satu yang diluncurkan adalah jasa desain ruangan kantor mengadopsi tren ruang kerja populer saat ini, yaitu “open concept”.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan menyebutkan bahwa pertumbuhan bisnis perusahaan saat ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

“Kami juga berencana untuk meresmikan experience center baru, menjalin lebih banyak kemitraan dari desainer interior, kontraktor, dan pihak terkait guna memenuhi permintaan yang makin meningkat jumlahnya.”

Dikenal bukan hanya menjual produk furnitur, Dekoruma menyediakan layanan konsultasi desain. Perusahaan mencatat dari sisi ritel sudah mulai banyak pelanggan yang berani untuk membeli barang dengan harga premium. Hal ini membuktikan bahwa pasar sudah makin dewasa dan mengalami pertumbuhan positif.

“Pada akhirnya saat ini jasa desain interior tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang memiliki anggaran lebih saja, memanfaatkan teknologi dan supply chain yang makin baik, dana yang dikeluarkan bisa dipangkas jumlahnya menjadikan lebih banyak orang menikmati layanan ini” kata Dimas.

Mengedepankan penggunaan teknologi

Sebagai platform yang memanfaatkan teknologi, Dekoruma selalu berupaya menjadi platform yang mengakselerasi pengembangan dan pertumbuhan industri home living. Saat ini mereka telah menambah kategori untuk desain komersial yang bertujuan untuk memberikan peluang lebih banyak kepada mitra. Perusahaan juga memiliki rencana untuk meluncurkan Design & Project Management Software kepada publik.

“Kami juga mencatat penggunaan aplikasi saat melakukan transaksi masih mendominasi dan mendorong jumlah traffic. Namun berdasarkan informasi dari para pengembang dan desainer juga tercatat, penggunaan tablet dan desktop saat mengakses platform Dekoruma juga masih besar jumlahnya. Salah satu alasannya adalah monitor yang lebih besar,” kata Dimas.

Tahun 2020 masih banyak target yang ingin dicapai oleh Dekoruma, fokus utama mereka adalah menambah lebih banyak produk, menawarkan berbagai macam pilihan furnitur dan bekerja dengan supplier untuk menghadirkan produk dan harga yang tepat kepada pelanggan. Penggalangan dana juga menjadi salah satu rencana perusahaan, meskipun tidak dalam waktu dekat.

Mengklaim mengalami pertumbuhan yang positif, namun perusahaan masih mengalami tantangan saat menjalankan bisnis. Salah satunya adalah persoalan skill dan cara-cara konvensional yang masih diterapkan oleh mitra seperti mandor, tukang, hingga kontraktor.

“Saya melihat akan menjadi sulit bagi industri untuk bisa tumbuh dengan cepat jika masih menerapkan cara-cara lama, selain kurang efektif, cara tersebut juga terkadang menghabiskan anggaran yang cukup besar. Untuk itu kami ingin meningkatkan skill mereka dan mengubah mindset juga kultur yang sudah diterapkan sejak dulu. Kami ingin mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dengan meningkatkan produktivitas,” tutup Dimas.

Application Information Will Show Up Here