Mari Berkenalan Dengan Controller DualSense Untuk PlayStation 5

Controller merupakan bagian dari identitas sebuah console game dan, dalam mendesainnya, tiap produsen mengambil pendekatan yang berbeda. Microsoft tak banyak mengubah wujudnya setelah era The Duke. Sedangkan Nintendo terus bereksperimen di tiap generasi hardware. Sementara itu, DualShock yang tadinya merupakan periferal sekunder diadopsi untuk menemani PlayStation 2 hingga produk current-gen Sony.

Melihat respons positif gamer terhadap DualShock, banyak orang (termasuk saya) berasumsi bahwa ‘keturunannya’ juga akan mendampingi PlayStation 5. Dugaan ini betul sekaligus salah. Baru saja Sony menyingkap penerus DualShock 4. Di sana produsen tetap mempertahankan elemen-elemen favorit gamer, namun tak lupa mencantumkan deretan teknologi baru dan mengemas semuanya dalam rancangan bertema futuristis. Menariknya, controller tak lagi mengusung titel ‘DualShock’. Sony menamainya DualSense.

IMG_08042020_123517_(1000_x_650_pixel)

Senior vice president Hideaki Nishino menjelaskan bahwa sesuai namanya, lewat DualSense, timnya mencoba mengedepankan aspek yang jarang jadi perhatian developer game serta desainer periferal: sensasi sentuhan. Itu sebabnya mereka repot-repot mengembangkan teknologi haptic feedback untuk menggantikan metode getaran di DualShock yang mulai menua.

Selanjutnya, Sony membenamkan sistem adaptive trigger di L2 dan R2 sehingga aksi yang Anda lakukan di permainan (seperti menarik tali busur panah atau menekan pedal gas kendaraan) terasa lebih realistis. Demi memaksimalkan efek tersebut, produsen turut memodifikasi sudut tombol pelatuk, sekarang jadi lebih miring.

Dari sisi penampilan, wujud DualSense lebih berisi dari DualShock 4 – jadi sedikit menyerupai controller Xbox One. Tak seperti biasanya, gamepad menyajikan dua warna. Di versi awal ini, warna putih tampak mendominasi permukaan DualSense, dihias oleh hitam di bagian ‘dalam’. Garis-garis dan pelat grip dibuat diagonal dan inilah yang menonjolkan kesan futuristisnya. Sony memindahkan light bar dari depan ke samping touchpad, lalu mengubah tombol PS menjadi bergaya cut out mengikuti logo.

IMG_08042020_123541_(1000_x_650_pixel)

Selain pada body, tema monokromatis diimplementasikan pula pada tombol action (dengan simbol segitiga, kotak, silang dan lingkaran). Warna-warninya digantikan oleh abu-abu. Sony juga memperluas fungsi tombol Share, dan memberinya istilah baru: Create. Produsen belum menjelaskan secara detail fitur-fitur anyar di sana, hanya menjelaskan bahwa tombol ini akan ‘memberikan para pemain cara baru buat menciptakan dan berbagi konten’.

Sebagai pelengkap, Sony menyematkan rangkaian microphone built-in (pertama kalinya tersedia di controller mereka) dan meng-upgrade bagian baterai, memastikan daya tahannya lebih lama tapi juga lebih ringan. Di luar itu, produsen tetap mempertahankan layout tombol dan penempatan stik analog secara simetris khas DualShock.

“DualSense menandai sebuah perubahan radikal dari controller yang kami tawarkan sebelumnya dan mewakili lompatan ke generasi selanjutnya,” tutur CEO SIE Jim Ryan. “Bersama dengan fitur-fitur inovatif di PlayStation 5, periferal anyar ini akan mentransformasi cara kita menikmati permainan – wujud dari misi kami untuk terus mendorong batasan dalam bermain.”

Sumber: PlayStation.

Arkade Blaster Ialah Controller Game FPS Berwujud Pistol Futuristis

Bagi banyak pemain, gamepad dianggap sebagai sistem kendali paling fleksibel, sementara itu keyboard dan mouse merupakan pilihan bagi mereka yang menginginkan keakuratan serta tingkat respons tinggi. Tapi upaya buat merombak status quo dan mencari metode input yang lebih intuitif lagi terus dilakukan, dan ini sebabnya sejumlah developer terdorong untuk bereksperimen dengan virtual reality. Hasilnya pun sama sekali tidak mengecewakan.

Namun saat ini VR memang bukan buat semua orang. Perangkat pendukungnya tidak murah dan ia juga memerlukan hardware berperforma tinggi. Sementara itu, sebagian besar konsumen mengakses game lewat perangkat bergerak atau PC berspesifikasi menengah. Kondisi ini mendorong satu tim inventor untuk merancang controller unik yang mampu membuat pengalaman bermain game FPS jadi istimewa. Kreasi tersebut mereka namai Arkade Blaster.

Sederhananya, Arkade Blaster adalah unit controller berbasis motion/gerakan yang dirancang untuk menikmati permainan shooter. Wujudnya menyerupai pistol futuristis, dibekali rangkaian tombol di sisi kanan dan kiri beserta stik analog. Terdapat pula mount buat tempat menyematkan smartphone. Perangkat bergerak bisa berperan jadi layar utama atau sekunder, bergantung dari game yang Anda mainkan.

Jantung dari Arkade Blaster adalah ialah gyroscope yang berfungsi untuk mengubah gerakan jadi input. Ia juga menyimpan motor haptic penghasil vibrasi (seperti controller DualShock), akan bergetar saat Anda menembak atau tertembak. Uniknya lagi, garis-garis LED yang ada di sisi kiri Arkade Blaster bukanlah sekadar hiasan. Mereka berguna sebagai indikator, misalnya buat menampilkan status health, armor, amunisi dan lain-lain.

Arkade Blaster mendukung beragam game PC serta mobile, termasuk judul-judul baru dan populer (Fortnite, Modern Combat 5, Apex Legends, Call of Duty: Warzone, hingga Doom Eternal). Untuk menggunakannya, pertama-tama Anda perlu mengunduh aplikasi Arkade di perangkat bergerak. Selanjutnya, cantumkan smartphone di mount dan sambungkan ke Arkade Blaster. Controller juga bisa dipasang langsung ke PC secara plug-and-play tanpa membutuhkan ponsel pintar.

IMG_07042020_121408_(1000_x_650_pixel)

Ada dua mode penggunaan Arkade Blaster: 360-derajat dan 180-derajat. Opsi 360-derajat memungkinkan kita bergerak bebas, cocok untuk menikmati game mobile atau ketika Anda ingin berolahraga sambi bermain. Alternatifnya, mode 180-derajat memperkenankan kita buat tetap duduk di depan komputer atau di atas sofa. Selain menunjang penyajian game secara tradisional, Arkade Blaster juga kompatibel dengan layanan cloud serta streaming seperti GeForce Now dan Steam Link.

Arkade Blaster kabarnya sudah memasuki tahap produksi dan bisa Anda pesan di situs Indie Gogo. Proses perancangannya dilakukan oleh tim Arkade bersama PewDiePie. Selama kampanye crowdfunding masih berlangsung, produk dapat dibeli seharga mulai dari US$ 100 – dengan harga retail US$ 150.

Game-Game yang Peluncurannya Tertunda Akibat Pandemi Corona

Karena wabah COVID-19, pemerintah di sejumlah negara telah menurunkan larangan bagi warganya untuk keluar rumah. Dan demi membantu menyetop penyebaran virus, sejumlah layanan hiburan digital seperti Steam dan Epic Store sudah melepas sejumlah game secara gratis. Namun meski hal ini terdengar menyenangkan, pandemi corona tentu memberi dampak negatif terhadap semua hal – termasuk jadwal rilis permainan.

Anda mungkin sudah mendengar soal deretan game yang peluncurannya terpaksa harus diundur akibat kendala logistik – beberapa di antara mereka sangat dinanti. Lewat artikel ini, saya bermaksud untuk merangkum semua judul yang tanggal rilisnya dipastikan tertunda. Saya menduga, jika wabah corona tak juga mereda, daftar ini akan jadi bertambah panjang.

Berdasarkan pengamatan sementara ini, ada (sekitar) tujuh permainan yang telah dikonfirmasi mengalami penundaan. Ini dia:

 

Final Fantasy VII Remake

Sebagai respons tak terkendalinya penyebaran COVID-19, Square Enix melakukan penyesuaian di sisi distribusi agar remake Final Fantasy VII bisa tetap meluncur di tanggal 10 April 2020 – setidaknya untuk edisi digitalnya. Lewat Twitter, developer mengabarkan bahwa akan ada perubahan di segmen retail yang menyebabkan ketersediaan versi fisik permainan di sejumlah negara jadi terlambat.

 

The Last of Us Part II

Sekuel The Last of Us ini boleh dibilang sebagai game yang terkena dampak pandemi corona terparah. Karena Sony dan Naughty Dog bersikeras untuk merilis game di semua wilayah secara berbarengan, The Last of Us Part II akhirnya ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. Kabarnya, status pengerjaan permainan saat ini sudah hampir rampung dan developer sedang memperbaiki bug.

 

Marvel’s Iron Man VR

Pengunduran Iron Man VR diumumkan berbarengan dengan The Last of Us Part II. Awalnya, game dijadwalkan buat dilepas pada tanggal 15 Mei, tapi sekarang tidak diketahui kapan ia akan tersedia. Iron Man VR merupakan judul mandiri, seperti Marvel’s Spider-Man, dengan twist virtual reality. Jagatnya terpisah dari permainan Avengers yang sedang digodok Crystal Dynamics dan Eidos Montreal.

 

Minecraft Dungeons

Spin-off game sandbox dan survival populer ini tadinya akan meluncur di bulan April, namun kemudian dimundurkan ke tanggal 26 Mei 2020. Permainan menyajikan gameplay dungeon crawler dengan konten berkonsep randomly-generated, sehingga pengalaman bermain tiap orang akan berbeda. Anda dapat menikmati Minecraft Dungeons bersama tiga orang kawan via mode multiplayer co-op.

 

The Outer Worlds (Switch)

The Outer Worlds ialah salah satu game role-playing terunik di tahun 2019. Setelah tersedia di PC, PS4 dan Xbox One, Obsidian Entertainment membutuhkan waktu beberapa bulan buat mem-porting game ke Nintendo Switch. Dan karena wabah virus corona, developer memilih untuk mengundur waktu pelepasannya dari tanggal 6 Maret ke 5 Juni 2020.

 

Super Smash Bros. Ultimate DLC

Ada beberapa karakter yang rencananya akan Bandai Namco hadirkan di Super Smash Bros. Ultimate lewat downloadable content, tapi penyediaannya terpaksa ditunda. Developer berjanji untuk merilis para fighter baru itu selambat-lambatnya di bulan Desember 2021 – semuanya tergantung situasi.

 

Wasteland 3

Karena COVID-19, penggarapan sekuel dari sekuel RPG taktis legendaris ini mesti dilakukan secara remote, dan kondisi tersebut tentu berdampak pada efektivitas kerja. Dengan anggaran tiga kali lipat dibanding modal pengembangan Wasteland 2, tim inXile berkomitmen untuk menghidangkan konten game sebaik mungkin, dan menarik waktu rilisnya dari 19 Mei ke 28 Agustus 2020.

 

Xbox Series X & Halo Infinite (?)

Microsoft sejauh ini belum mengabarkan perubahan agenda peluncuran Xbox Series X. Console masih dijadwalkan untuk tersedia di ‘musim libur’, dekat penghujung tahun 2020. Tetapi ada indikasi 343 Industries tidak bisa menyelesaikan Halo Infinite sebelum Xbox Series X dilepas, walaupun pengerjaannya turut dibantu oleh studio independen SkyBox Labs.

Via Metacritic.

Astro Slide Ialah Perpaduan Smartphone 5G Dengan Komputer Saku

Sebagai cara beradaptasi terhadap meningkatkannya jumlah serta kualitas konten digital, produsen smartphone terus membekali produknya dengan layar beresolusi lebih tinggi serta menyesuaikan rasionya demi menyajikan pengalaman penggunaan yang optimal. Mayoritas brand kini sudah meninggalkan pemakaian papan ketik fisik untuk memaksimalkan penyajian konten tanpa membuat wujudnya jadi terlalu besar ataupun bulky.

Namun buat sebagian orang, keyboard masih jadi metode input paling responsif dan intuitif. Kabar baiknya, sejumlah perusahaan (walaupun bukan brand besar) masih terus menyediakan smartphone ber-keyboard, salah satunya adalah Planet Computers. Beberapa tahun silam, produsen asal London ini meluncurkan pewaris Nokia Communicator bernama Gemini PDA yang kemudian disusul oleh Cosmo Communicator. Dan memasuki kuartal kedua 2020, mereka memperkenalkan produk flagship anyar, Astro Slide.

Secara konsep, Astro Slide ialah perpaduan antara smartphone 5G dan komputer saku. Ia diklaim pula sebagai perangkat genggam berkonektivitas 5G dengan keyboard fisik pertama di dunia. Sekilas, Astro Slide punya penampilan seperti ponsel pintar berlayar sentuh standar. Tapi ketika dibutuhkan, sistem slider Rockup-nya mempersilakan kita untuk menggeser sisi depan Astro demi menampilkan papan ketik. Saat terbuka penuh, layar akan sedikit condong ke depan.

IMG_06042020_120906_(1024_x_576_pixel)

Astro Slide 5G Transformer menyuguhkan layar seluas 6,53-inci beresolusi 2340×1080, dibekali keyboard backlight, kamera utama bersensor 48Mp, sensor pemindai sidik jari untuk menyederhanakan akses serta fitur NFC. Perangkat berjalan di sistem operasi Android 10, dengan opsi multi-boot Linux. Segala kelengkapan ini membuat Astro Slide menjadi salah satu perangkat komputasi berukuran saku paling fleksibel.

IMG_06042020_120424_(1024_x_576_pixel)

Menggali spesifikasinya lebih dalam, Astro Slide mengusung system-on-chip MediaTek Dimensity 1000 MT6889 yang menyimpan CPU octa-core, GPU ARM G77 9-core Manhattan 3.0 dan APU gen-3. Terdapat pula RAM 4-channel LPDD4x (minimal) 6GB, penyimpanan internal 128GB yang bisa diperluas dengan menambahkan kartu microSD, slot nanoSIM 2x, serta dua buah port USB type-C. Smartphone ditenagai oleh baterai 4.000mAh.

IMG_06042020_120652_(1024_x_576_pixel)

Di sisi konektivitas nirkabel, hybrid smartphone dan laptop ini dilengkapi modem 5G ganda, Wi-Fi 6, Bluetooth 5.1 dan BLE Audio. Planet Computers menjanjikan sambungan berkecepatan tinggi, dengan tingkat unduh dan unggah masing-masing mencapai 4,7-Gigabit per detik serta 2,5-Gigabit per detik.

Seperti Gemini dan Cosmo, Planet Computers memilih buat menggunakan platform crowdfunding (Indie Gogo) dalam menggalang modal pengembangan Astro Slide. Prosesnya terbilang sukses, produsen berhasil mengumpulkan uang 400 persen lebih dari target awal mereka. Anda bisa memesannya di sana seharga mulai dari € 491 (sekitar US$ 530, harga retail-nya € 819), dan produk siap dikirim ke seluruh dunia mulai bulan Maret 2021.

Akibat COVID-19, Peluncuran The Last of Us Part II Ditunda Hingga Waktu yang Belum Ditentukan

Kita menyaksikan sendiri efek negatif pandemi virus corona terhadap kehidupan. Di ranah teknologi saja, wabah ini mengacaukan banyak hal, membuat peluncuran produk hingga perhelatan besar jadi tertunda atau malah dibatalkan. Beberapa perusahaan dan brand memang berhasil beradaptasi terhadap kondisi ini, tapi ada pula yang terpaksa merombak seluruh rencana mereka.

Bersama dengan remake Final Fantasy VII dan Ghost of Tsushima, The Last of Us Part II merupakan game blockbuster eksklusif yang dijadwalkan untuk dirilis di PlayStation 4 sebelum Sony meluncurkan console next-gen mereka. Sayangnya setelah penantian panjang, pihak Sony serta tim Naughty Dog mengumumkan bahwa mereka terpaksa menunda pelepasan The Last of Us Part II sampai waktu yang belum ditentukan akibat krisis COVID-19.

Lewat Twitter, Naughty Dog menjelaskan bagaimana pengerjaan The Last of Us Part II sudah hampir rampung. Saat ini perhatian developer tengah tercurah pada perbaikan bug. Namun bahkan meski pengembangan game sebentar lagi akan selesai, tim dihadang satu kendala besar: logistik. Karena pandemi corona, Naughty Dog tidak yakin mereka bisa menghidangkan The Last of Us Part II ke gamer PS4 di seluruh dunia secara berbarengan dan harus mengundur perilisannya hingga masalah itu dapat diatasi.

“Kami sangat kecewa terhadap keputusan tersebut, tetapi kami sadar ini merupakan jalan terbaik dan paling adil bagi para pemain.” ungkap Naughty Dog. “Kami berharap penundaan peluncuran permainan tidak berlangsung terlalu lama dan kami akan segera memberi tahu Anda jika ada informasi baru.”

Dan bukan hanya The Last of Us Part II saja yang mengalami penangguhan. Sony juga memundurkan pelepasan Marvel’s Iron Man VR. Selain Sony, publisher lain seperti Square Enix juga melakukan penyesuaian di sisi logistik, terutama pada judul andalannya, Final Fantasy VII Remake. Proses pengapalannya dimajukan agar permainan dapat dirilis sesuai jadwal, yaitu tanggal 10 April 2020.

Logistik menjadi faktor krusial bagi Sony karena mereka masih mengandalkan versi fisik dalam mendistribusikan game di sejumlah wilayah. Sementara itu, perusahaan gaming lain seperti CD Projekt Red tetap dapat mempertahankan agenda mereka sebelumnya, walaupun pengerjaan Cyberpunk 2077 akhirnya mesti dilakukan secara remote. Saya menduga, hal ini turut terbantu oleh dukungan platform digital seperti Steam dan GOG milik CD Projekt sendiri.

Sebelumnya, The Last of Us Part II sempat mengalami perubahan tanggal peluncuran dari 21 Februari ke 29 Mei 2020. Kini sulit untuk menebak kapan permainan akan dilepas. Kita hanya bisa berharap agar The Last of Us Part II tidak ditangguhkan ke tahun 2021.

Via The Verge.

Activision Blokir Permanen Lebih dari 50 Ribu Cheater Call of Duty: Warzone

Cheat atau cara curang sudah jadi bagian dari video game dari sejak medium hiburan ini diperkenalkan ke publik puluhan tahun lalu. Beberapa permainan memang terlalu sulit untuk sebagian orang, dan penggunaan cheat di mode single-player adalah suatu hal yang bisa diterima. Namun tentu saja cheat diharamkan di multiplayer, terutama ketika ia memberi keuntungan dan keunggulan pada sejumlah oknum di atas pemain lain.

Bagi developer game online, memerangi para cheater ialah sebuah perjuangan yang tak ada habisnya. Ada begitu banyak sistem anti-cheat diciptakan dan diimplementasikan. Beberapa studio juga memberanikan diri untuk mengambil langkah ekstrem dengan resiko kehilangan jumlah pemain secara signifikan. Salah satunya adalah melalui pemblokiran permanen, seperti yang belum lama dilakukan oleh Activision terhadap lebih dari 50 ribu cheater di Call of Duty: Warzone.

Lewat blognya, sang publisher dengan tegas menyampaikan bahwa Call of Duty: Warzone bukanlah tempat bagi cheater dan tidak ada toleransi untuk mereka. Memastikan semuanya bermain adil ialah prioritas utama Activision dan merupakan sebuah aspek yang betul-betul diperhatikan. Meski demikian, sudah pasti Activision tak mau mengungkap metodenya secara gamblang, sebagai upaya buat terus mengejutkan para cheater.

Ada dua pihak yang jadi musuh utama Activision: para pemain curang serta penyedia jasa cheat (umumnya ditawarkan sebagai layanan premium). Dalam membungkam mereka, publisher dan developer mengimplementasikan sejumlah strategi, terutama lewat penyempurnaan sistem keamanan serta pengawasan secara terus menerus.

Activision menugaskan tim keamanan buat bekerja tanpa henti dalam menginvestigasi data serta mengidentifikasi potensi-potensi pelanggaran. Tim ini akan mengulas semua metode hack dan cheat yang dapat mereka temukan, seperti penggunaan aimbot (memungkinkan orang membidik lawan secara otomatis), wallhack (memberi kemampuan untuk melihat atau berjalan menembus tembok), dan lain-lain.

Selain itu, Activision juga terus berusaha menyempurnakan sejumlah sistem in-game demi mempermudah pemain melaporkan dugaan tindak kecurangan, misalnya dengan menyederhanakan user interface. Segala laporan tersebut selanjutnya segera dianalisa dan disaring berdasarkan data. Setelah investigasi selesai, tim akan bergerak cepat buat menjatuhkan pemblokiran pada pelaku pelanggaran.

Activision turut berjanji untuk terus memberi update terkait jumlah cheater yang berhasil diblokir.

“Tidak ada tempat buat para cheater di sini,” tutur Activision sembari menutup pengumuman mereka. “Kami menyadari bahwa tidak ada solusi tunggal dalam memerangi praktek cheating. Ini merupakan usaha yang mesti dilakukan setiap hari, 24 jam selama seminggu penuh. Tapi yakinlah, kami berkomitmen buat menjaga agar pengalaman bermain tetap menyenangkan dan adil bagi semua orang.”

Microsoft Yakin Xbox Series X Mampu Mengungguli PS5 dari Aspek Harga

Harga merupakan salah satu faktor krusial yang bisa menentukan sukses tidaknya peluncuran console game. Di era current-gen, Sony sukses mengungguli Microsoft karena saat diperkenalkan, PlayStation 4-nya dibanderol US$ 100 lebih murah dibanding Xbox One. Sementara itu, sang rival bersikeras untuk membundel perangkatnya bersama Microsoft Kinect (yang kini tak lagi dipasarkan buat konsumen).

Namun kondisi saat ini cukup berbeda dari tujuh tahun silam. Anda mungkin sudah mendengar soal bagaimana Sony kesulitan menekan harga PlayStation 5 akibat kelangkaan sejumlah komponen pendukung penting. Dan melihat dari kemiripan teknologi antara console next-gen Sony dengan Xbox Series X, kita boleh berasumsi Microsoft juga menemui kendala serupa. Apalagi menakar spesifikasinya, Series X punya performa lebih tinggi dari PS5.

Meski begitu, bos Xbox Phil Spencer terlihat cukup percaya diri terhadap harga yang akan Microsoft tetapkan untuk Xbox Series X. Bahkan ia yakin produk mereka mampu menggungguli milik sang kompetitor, dan timnya sudah menyiapkan ‘rencana kemenangan’. Spencer menilai, hardware gaming baru Microsoft menyimpan performa serta kapabilitas yang superior, dan perangkat ini siap menawarkan sebuah paket lengkap.

Sejauh ini, baik Microsoft maupun Sony belum mengungkap harga console anyar mereka. Dari gelagatnya (dan melihat pengalaman sebelumnya), Sony sengaja menunggu hingga Microsoft melakukan pengumuman, barulah harga PS5 disingkap. Microsoft sendiri akan terus ‘membuka mata’ dan menetapkan harga Xbox Series X secara fleksibel karena sangat penting bagi produsen buat memenuhi – atau melampaui – ekspektasi konsumen.

Spencer kembali mengingatkan bahwa nilai sebuah console tak hanya dihitung dari hardware semata. Ada sejumlah faktor krusial lain yang jadi penentu daya tariknya di mata konsumen, misalnya seperti fitur backward compatibility dan layanan Xbox Game Pass. Phil Spencer juga menyampaikan, kapabilitas semisal Smart Delivery dirancang untuk membuat gamer merasa nyaman dalam membeli konten di platform Xbox. Teknologi ini memastikan kita hanya perlu bertransaksi sekali saja buat mengakses satu judul permainan di sistem berbeda.

Sebagai perbandingan, Microsoft awalnya menjajakan Xbox One di harga US$ 500. Seiring berjalannya waktu (dan setelah dipangkasnya bundel Kinect), angkanya turun ke US$ 300. Sementara itu, label US$ 500 kini diusung oleh varian Xbox One X. Spekulasi sementara ini adalah, Xbox Series X akan ditawarkan lebih mahal lagi dan Microsoft kemungkinan tak mengambil banyak keuntungan dari sana – mengharapkan balik modal dari penjualan software dan layanan premium.

Microsoft memang belum mengonfirmasinya, tapi sejumlah pakar dan analis menduga Xbox Series X hanyalah satu dari beberapa model console baru yang tengah produsen kembangkan. Boleh jadi nanti akan ada varian yang lebih terjangkau. Itulah alasannya Microsoft bilang bahwa kita hanya perlu memanggil hardware next-gen itu dengan sebutan ‘Xbox’.

Via Gamespot.

Pong Quest Ialah Penjelmaan Modern Pong Dengan Bumbu RPG

Diciptakan oleh Allan Alcorn atas permintaan co-founder Atari Nolan Bushnell, Pong adalah video game pertama yang sukses secara komersial. Bersama home console Magnavox Odyssey, Pong membantu mengokohkan industri gaming, Menyusul sambutan positif khalayak terhadap versi arcade-nya, Atari mulai memproduksi sistem permainan yang bisa dinikmati di rumah dan memasarkannya di tahun 1975.

Sesuai namanya, desain Pong terinspirasi dari permainan ping-pong (yang sebetulnya juga disajikan oleh Magnavox Odyssey). Kesuksesannya melahirkan rentetan sekuel serta tiruan. Beberapa judul resmi meliputi Pong Doubles, Super Pong, Ultra Pong, Quadrapong, serta Pin-Pong. Hampir setengah abad berlalu dari sejak Pong melakukan debutnya, Atari mengumumkan penjelmaan modern game ini yang akan hadir di platform current-gen. Mereka menamainya Pong Quest.

Lewat Pong Quest, Atari mencoba memadukan gameplay ala tenis meja tradisional (disebut pula ball-and-paddle) dan elemen role-playing. Anda bermain sebagai sebuah paddle dalam petualangan di dunia yang dihuni oleh karakter-karakter serupa. Sebagian besar waktu akan Anda habiskan bertanding ping-pong dengan mereka – ada paddle berpenampilan seperti badut, penyihir dan lain-lain.

IMG_01042020_124326_(1024_x_576_pixel)

Layaknya sebuah RPG, kustomisasi merupakan elemen penting di Pong Quest. Pemain bisa mendandani paddle-nya dengan beragam kostum, skin serta aksesori. Dan seperti yang diperlihatkan trailer singkatnya, Pong Quest tidak hanya menghidangkan pertandingan tenis meja digital saja. Game memiliki beragam mode unik, misalnya mengadu Anda dengan monster lipan, mode puzzle hingga variasi permainan ala Breakout (juga buatan Atari).

IMG_01042020_124213_(1024_x_576_pixel)

Di luar itu semua, dunia Pong Quest bisa bebas kita jelajahi. Permainan menyuguhkan grafis flat minimalis dua dimensi, yang bagi saya pribadi, berkesan terlalu sederhana dengan pemilihan dan kombinasi warna yang kusam. Mungkin arahan visual ini diambil demi mempertahankan tradisi ‘old school‘ Pong. Tapi sebetulnya tak ada salahnya jika aspek grafis diracik lebih stylish dan cerah – misalnya seperti Figment atau Fez.

IMG_01042020_124307_(1024_x_576_pixel)

Dari deskripsi di laman Steam, Pong Quest menugaskan Anda untuk ‘mengumpulkan Orb dan menguak rahasia Pintu Menakutkan’. Game turut ditunjang mode multiplayer lokal dan online, serta mempersilakan kita buat bermain bersama tiga orang kawan. Anda tidak membutuhkan PC berspesifikasi tinggi untuk menjalankan game, cukup sistem berspesifikasi CPU dual core, RAM 2GB dan kartu grafis DirectX 11.

IMG_01042020_124231_(1024_x_576_pixel)

Selain di Windows, Pong Quest juga dapat dinikmati dari Xbox One, PlayStation 4 dan Switch. Game rencananya akan dirilis di ‘musim semi’ tahun ini – yang artinya sebentar lagi.

Via Gamespot.

6 Game Esensial yang Akan Dirilis di Bulan April 2020

Bagi para gamer, tiga bulan pertama di 2020 tidak kalah seru dari periode yang sama di tahun lalu. Di masa ini, sudah mulai bermunculan para kandidat Game of the Year. Setidaknya ada delapan permainan berkualitas yang sebaiknya tidak Anda lewatkan. Namun kita tahu, perilisan mereka hanyalah permulaan. Jika semuanya berjalan lancar, akan ada lebih banyak judul mengagumkan mendarat di tahun ini.

Mulai awal kuartal dua, arus perilisan game diperkirakan jadi lebih cepat dan beberapa permainan yang telah lama dinanti akan mendarat di bulan April 2020 besok. Dari pengamatan saya sejauh ini, sembilan judul rencananya siap dilepas selama 30 hari ke depan, tetapi ada enam yang paling esensial. Mereka terdiri dari sejumlah remake, spin-off serta satu game multiplayer berformula asimetris. Ini dia:

 

Resident Evil 3 (remake)

3 April – PC, PS4, Xbox One

Kesuksesan remake Resident Evil 2 menyemangati Capcom untuk turut merekonstruksi ulang sekuelnya. Seperti sebelumnya, seluruh aset permainan dibangun dari nol, diikuti oleh sejumlah modifikasi pada gameplay. Kali ini, game dirancang buat lebih mengedepankan elemen action. Melengkapi konten single-player, RE3 turut dibundel bersama mode online RE: Resistance.

 

Final Fantasy VII (remake)

10 April – PS4

23 tahun setelah meluncur di PlayStation, Final Fantasy VII akan kembali hadir dengan grafis dan gameplay modern yang mengombinasikan elemen strategi dan action real-time ala Kingdom Hearts. Game tetap menyajikan cerita, dunia, serta karakter yang sama; tapi Square Enix mengekspansi sejumlah bagian di versi remake ini dan akan merilis kontennya secara episodik.

 

Trials of Mana (remake)

24 April – PC, PS4, Switch

Permainan remake ketiga yang dijadwalkan untuk mendarat di bulan April. Juga merupakan IP milik Square Enix, developer mempertahankan aspek narasi dan gameplay yang diusung oleh versi Super Nintendo-nya; namun segala aset permainan kini dibangun dalam format tiga dimensi serta dilengkapi pula oleh voice-acting. Musiknya kembali digarap oleh sang komposer asli, Hiroki Kikuta.

 

Predator: Hunting Grounds

24 April – PC, PS4

Franchise Alien vs. Predator memang cukup populer di kalangan gamer, namun lewat Hunting Grounds, developer Illfonic mencoba mengembalikan tema Predator ke akarnya. Caranya ialah meramu formula multiplayer asimetris, menugaskan satu tim untuk mengerjakan sejumlah misi sementara itu satu orang akan bermain sebagai sang pemburu high-tech dari planet lain.

 

Gears Tactics

28 April – PC, Xbox One

Gears merupakan seri permainan yang mempopulerkan cover shooter, tetapi lewat Gears Tactics, tim The Coalition serta Splash Damage mencoba melakukan eksperimen: bagaimana jika tema perang melawan alien dan latar belakang fiksi ilmiah Gears of War digunakan sebagai basis pengembangan game strategi turn-based? Hasilnya adalah permainan yang sangat mirip XCOM.

 

Minecraft Dungeons

TBA April – PC, Xbox One

Satu-satunya game di daftar ini yang masih belum punya tanggal rilis pasti terlepas dari janji Mojang buat melepasnya di bulan April. Seperti Gears Tactics, Minecraft Dungeons juga merupakan spin-off. Di Dungeons, elemen sandbox dan survival khas Minecraft digantikan oleh formula dungeon crawler. Anda bisa menikmati game sendirian atau bersama dengan tiga orang kawan.

Alasan Mengapa Desain Xbox Series X Seperti Menara

Dalam menggarap console game, masing-masing brand memang punya kiblat desain sendiri. Tapi sejak Magnavox Odyssey diperkenalkan (sebagai console pertama), hampir semua perangkat memiliki satu kesamaan: mereka disiapkan untuk dimainkan dari ruang keluarga dan dirancang  agar setidaknya serasi dengan furnitur rumah. Mayoritas home console berpenampilan melebar.

Namun Microsoft tampaknya mencoba merombak tradisi lewat Xbox Series X. Console next-gen mereka punya wujud seperti menara, dan banyak orang segera membandingkan desainnya dengan PC small form seperti Corsair One. Ditambah lagi kian terintegrasinya API serta ekosistem Xbox dan Windows 10, pada dasarnya Xbox Series X adalah PC high-end yang menyamar jadi console. Lalu apa alasannya Xbox Series X dibuat seperti tower?

IMG_17032020_174150_(1000_x_650_pixel)

Kepada Eurogamer, teknisi Microsoft mengungkap latar belakangnya. Desain ala menara ternyata berkaitan dengan upaya produsen menyediakan sistem sirkulasi udara yang optimal sembari memastikan tak ada polusi suara. Rancangan tersebut esensial karena Xbox Series X menyimpan deretan hardware berperforma tinggi, namun semuanya dimampatkan dalam tubuh yang relatif mungil – berdimensi 15,1×15,1×30,1cm.

Microsoft menjelaskan, komponen-komponen seperti GPU, CPU, penyimpanan SSD NVMe serta memori GDDR6 akan menghasilkan panas yang signifikan saat bekerja, dan jika temperatur terlalu tinggi, kinerja mereka akan merosot. Dari sana, tim teknisi memikirkan berbagai macam ‘strategi termal’ hingga akhirnya mereka menemukan solusi inovatif. Sasarannya ialah menciptakan console dengan kemampuan grafis dua kali lipat Xbox One X.

IMG_17032020_174126_(1000_x_650_pixel)

Sedikit mendalami sisi teknis, ternyata komponen terbesar dari Xbox Series X ialah heat sink, dimaksudkan supaya mampu memuat SOC serta regulator. Bagian ini terdiri dari vapour chamber tembaga dan struktur aluminium. Microsoft juga mencurahkan perhatian pada kipas. Beragam kustomisasi – misalnya terhadap geometri serta jumlah bilah – dilakukan agar satu unit fan bisa menjinakkan panas. Selanjutnya, kipas diposisikan di bagian atas, dekat lubang-lubang ventilasi berukuran besar.

Kombinasi dari semuanya menghasilkan aliran udara yang lebih besar jika dibandingkan console generasi sebelumnya: 70 persen lewat kipas dan 20 persen melalui heat sink (secara pasif). Menakar secara keseluruhan, konstruksi dan sistem termal Xbox Series X mengingatkan saya pada PC desktop MSI Vortex G65 yang diperkenalkan empat tahun silam.

IMG_17032020_174012_(1000_x_650_pixel)

Meski desain Xbox Series X merepresentasikan sebuah lompatan besar, Microsoft malah tidak banyak mengubah rancangan controller versi anyar. Penampilannya tak jauh berbeda dari model yang ada sekarang, baik dari lekukan tubuh maupun penempatan tombol dan stik analog-nya yang asimetris. Produsen hanya menambah satu tombol share dan mengganti D-pad, membuatnya menyerupai varian Elite.

IMG_30032020_125748_(1000_x_650_pixel)

Sementara itu, kita tahu bagaimana Sony berupaya membuat gebrakan lewat DualShock ‘5’. Lewat unit kendali ini, sang rival mencoba menghadirkan teknologi haptic dan adaptive trigger demi menyajikan sensasi bermain yang lebih realistis.