Chimera Squad Ialah Spin-Off Sekaligus ‘Penerus’ Seri XCOM

Kesuksesan reboot XCOM memicu lahirnya rentetan permainan strategi turn-based generasi baru, contohnya Phoenix Point, Mutant Year Zero, Phantom Doctrine hingga Battletech. Tapi sejauh ini, game yang betul-betul layak jadi penerusnya hanyalah XCOM 2. Banyak fans berharap agar Gears Tactics betul-betul mengesankan seperti janji Xbox Game Studios, namun kabar baiknya, kita juga mendapatkan satu alternatif lagi.

Secara tiba-tiba, Firaxis mengumumkan ‘babak selanjutnya’ dari seri XCOM yang mereka namai Chimera Squad. Konsepnya cukup menarik karena XCOM: Chimera Squad bukanlah sekuel ataupun expansion pack. Ia merupakan spin-off sekaligus penerus kisah XCOM 2. Chimera Squad bukan hanya digarap buat para fans XCOM, namun juga diracik sebagai gerbang masuk bagi pendatang baru ke franchise ini.

Ketika dua game XCOM sebelumnya difokuskan pada perjuangan manusia melawan penindasan alien, latar belakang Chimera Squad sedikit berbeda. Lima tahun telah berlalu setelah pemerintah bayangan Advent berhasil ditumbangkan, dan manusia serta alien akhirnya dapat hidup harmonis. Kini mereka harus membangun ulang peradaban yang sebelumnya berantakan akibat konflik. Chimera Squad ialah nama dari pasukan khusus antar-spesies penjaga keamanan Kota 31.

Di XCOM: Chimera Squad, pemain akan mengendalikan dan mengelola tim berisi 11 agen (semuanya didesain oleh Firaxis). Game tetap mempertahankan formula strategi turn-based khas XCOM, namun ada banyak hal yang dimodifikasi developer. Perbedaan karakteristik, latar belakang, serta kemampuan unik masing-masing agen sengaja diusung untuk memberi warna pada tim. Pendekatan ini kabarnya terinspirasi dari expansion pack XCOM 2: War of the Chosen.

Sejumlah perubahan lain juga lebih fundamental. Ketika misi dimulai, pemain dipersilakan memilih lokasi penerjunan pasukan – developer menyebutnya Breach Mode. Beberapa tempat bisa diinfiltrasi oleh agen tertentu, dan tiap pilihan punya keuntungan dan kekurangannya sendiri. Perbedaan selanjutnya terletak pada bagaimana turn diterapkan. Sewaktu perintah dieksekusi, agen Chimera dan pasukan musuh akan beraksi bersama-sama; tidak bergantian seperti sebelumnya.

Dan karena tiap anggota Chimera Squad merupakan bagian dari narasi permainan (mereka akan berinteraksi dengan sesamanya), Firaxis juga menghilangkan sistem permadeath (kematian permanen). Saat seorang agen tumbang di tengah misi, rekannya harus menstabilkan kondisinya. Jika gagal, misi tersebut akan gagal. Kondisi ini berbeda dari game sebelumnya, ketika misi bisa diselesaikan meski hanya tersisa satu orang di tim Anda.

XCOM Chimera Squad 1

Hal menarik lain dari Chimera Squad adalah cara 2K Games menyajikannya. Terlepas dari kontennya yang orisinal, permainan dijajakan di harga expansion pack. Saat dirilis di tanggal 24 April nanti, Anda bisa memilikinya cukup dengan mengeluarkan uang Rp 105 ribu. Harganya akan naik jadi Rp 210 ribu di tanggal 2 Mei 2020. Buat sekarang, game baru tersedia untuk Windows PC via Steam.

Via US Gamer.

 

Epic Games Store Bagikan Just Cause 4 Secara Gratis

Penggemar game action adventure dengan setting open-world pasti tidak asing lagi dengan seri Just Cause garapan Avalanche Studios. Sejak menjalani debutnya di tahun 2006, Just Cause sudah melahirkan empat seri, dengan seri terakhir, Just Cause 4, yang dirilis menjelang akhir 2018 lalu.

Bagi yang belum sempat memainkannya karena berbagai alasan, ada kabar gembira. Mulai tanggal 16 sampai 23 April, Just Cause 4 bisa didapatkan secara cuma-cuma dari Epic Games Store sebagai bagian dari penawaran gratis mingguannya di samping Wheels of Aurelia.

Cukup daftarkan akun jika belum, lalu klaim game tersebut sebelum 23 April. Menjelajahi negara fiktif Solis yang menjadi setting lokasi Just Cause 4 pastinya bisa membantu membunuh banyak waktu selama masa swakarantina seperti sekarang.

Just Cause 4

Secara plot, Just Cause 4 sejatinya menerapkan formula yang cukup mirip seperti sebelum-sebelumnya. Sang lakon, Rico Rodriguez, lagi-lagi harus berjuang melepaskan satu wilayah dari kekuasaan sosok antagonis, meski kali ini ada sentuhan yang lebih personal pada plotnya.

Seri Just Cause selalu penuh elemen aksi, bahkan dari awal game dimulai. Menonton trailer-nya bahkan terkesan seperti Fast & Furious yang dikemas menjadi video game. Sistem Liberation yang menjadi ciri khas seri-seri sebelumnya, tetap dipertahankan meski mekanismenya agak berbeda di Just Cause 4.

Singkat cerita, tidak ada ruginya menjajal game ini, apalagi kalau gratis. Saat artikel ini ditulis, Just Cause 4 di Epic Games Store masih berstatus “Coming Soon”, jadi tunggu saja sampai besok – tapi jangan lebih dari tanggal 23 April.

Sumber: Eurogamer.

Sony Bagikan Uncharted dan Journey Gratis Untuk Pemilik PS4

Berkali-kali saya menyampaikan bahwa Windows merupakan platform terbaik untuk menemukan game gratis karena buat mendapatkannya di console, kita perlu berlangganan layanan premium seperti PS Plus atau Xbox Live Gold. Dan dalam membantu penyebaran wabah corona, beberapa platform distribusi digital seperti Steam dan Epic Store kian gencar membagikan permainan secara cuma-cuma.

Kali ini, sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh Sony Interactive Entertainment. Lewat blog resmi, mereka mengumumkan sebuah prakarsa baru untuk membantu Anda menyibukkan diri di rumah, di tengah-tengah pandemi COVID-19. Mereka menamainya Play At Home. Ada dua tujuan utama digelarnya program tersebut: bagi-bagi game gratis serta buat membantu deveoloer-developer kecil yang menemui kendala finansial akibat virus corona.

Sebagai langkah awalnya, Sony menggratiskan dua judul legendaris di era current-gen, yaitu Uncharted: The Nathan Drake Collection serta Journey. Tak perlu pengenalan panjang-panjang, The Nathan Drake Collection ialah bundel tiga permainan pertama di seri Uncharted, berisi Drake’s Fortune, Among Thieves, serta Drake’s Deception; semuanya di-remaster untuk PlayStation 4. Journey sendiri adalah game petualangan indie artisitik, pemenang banyak penghargaan di tahun 2013.

Dua permainan gratis tersebut bisa diunduh tanpa perlu membayar, tetapi durasi penawarannya terbatas, sampai tanggal 5 Mei 2020 (pukul 20:00 Waktu Pasifik). Silakan ditebus dan mereka akan jadi milik Anda secara permanen. Terhitung mulai artikel ini ditulis, 5 Mei memang terasa masih lama, namun Anda disarankan agar tidak membuang-buang waktu buat men-download karena Sony telah menurunkan kecepatan akses ke layanannya demi mengurangi beban pada server.

Menariknya untuk alasan yang belum diketahui, khusus di kawasan Jerman dan Tiongkok, Sony menukar Uncharted: The Nathan Drake Collection dengan Knack 2. Permainan ini juga merupakan franchise milik sang publisher – digarap oleh SIE Japan. Namun ketika meluncur, respons media terharap Knack II memang tidak seantusias saat The Nathan Drake Collection tersedia.

“Di masa-masa ketika kita harus membatasi kontak fisik ini, fans [PlayStation] mengandalkan gaming sebagai cara mengisi waktu serta menghibur diri,” tutur CEO Jim Ryan. “Di Sony Interactive Entertainment, kami merasa sangat beruntung dapat menyediakan konten hiburan. Kami sadar ini hanyalah sebuah langkah kecil, dan kami sangat berterima kasih pada para pemain, seisi komunitas serta partner.”

Dan seperti yang sempat disinggung sebelumnya, Play At Home digarap pula untuk membantu studio-studio kecil tetap hidup, terutama di waktu sulit ini. Sony tidak menjelaskan prosedurnya secara detail, mereka hanya bilang akan mendukung mereka dari sisi pendanaan dan telah menyiapkan US$ 10 juta bagi para developer mitra.

Ini Daftar Pemenang Ajang Ayo Bikin Game di Rumah Aja

Beberapa waktu yang lalu, Kemkominfo bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI), dan Clevio Coder Camp, menyelenggarakan ajang bikin game bernama “Ayo Bikin Game di Rumah Saja”. Selain untuk mendorong kreativitas kreator game lokal, ajang ini juga dilakukan sebagai salah satu cara untuk mendukung kebijakan isolasi diri dari pemerintah untuk menahan laju penyebaran wabah COVID-19.

Pada awal April kemarin, tercatat ada 200 game lebih yang turut diciptakan untuk berkompetisi dalam ajang ini. Dari total 238 karya, ada 131 karya datang dari kategori umum, dan 107 karya datang dari kategori junior. Ajang ini diikuti oleh ragam peserta, dengan yang termuda datang dari bocah berusia 7 tahun yang masih duduk di kelas 2 SD, dan juga dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari Langsa di Banda Aceh sampai Mali di Kabupaten Luwu.

Setelah melalui beberapa tahap, kini akhirnya ajang “Ayo Bikin Game di Rumah Saja” sudah menemukan para pemenangnya. Melihat antusiasme para peserta, dan karya yang diciptakan, Semuel Abrijani Pangerapan, Dirjen Aplikasi Informatika, Kemkominfo memberikan sedikit pendapatnya.

“Setelah melihat game yang dihasilkan oleh peserta dan dibuat dalam waktu 3 hari, ini sungguh memperlihatkan bahwa kondisi beraktifitas di rumah tidak menjadi kendala untuk belajar hal baru dan menghasilkan karya yang bermanfaat.” Tuturnya.

“Kami berharap para pemenang dan seluruh peserta mendapatkan manfaat perkembangan kemampuan mereka dalam membuat game, yang tentunya akan baik bagi masa depan industri game developer Indonesia. Juga dalam kondisi wabah COVID-19, kami berharap agar apresiasi yang didapatkan bisa mendorong mereka untuk berbagi kepada para saudara-saudari di sekitar kita yang membutuhkan.” Paparnya lebihlanjut.

“Program ini adalah salah satu bentuk nyata usaha pemerintah dan asosiasi untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang muncul dari krisis COVID-19,” ungkap Ketua Umum AGI, Cipto Adiguno. “Selain mendorong kreativitas masyarakat yang mungkin terhambat karena harus tetap di rumah, kami berharap karya yang dihasilkan, baik menang atau tidak, mampu mengedukasi masyarakat, tak hanya soal bahaya COVID-19 tapi juga efek samping berdiam di rumah dalam waktu lama dan cara menanggulanginya.” Lanjut Cipto.

Maka dari itu, berikut jajaran pemenang ajang Ayo Bikin Game di Rumah Aja:

Kategori SD

Pemenang Pertama: Fight the Virus (Anneke Nazeeya Setiawan) – https://bit.ly/fightTheVirus (PC)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Pemenang Kedua: Attack on Corona (Ananda Tri Noviar Rahmadanu Pangestu) – https://bit.ly/AttackCorona (Mobile Android)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Kategori SMP

Pemenang Pertama: Mr Sprayman (Aghnat Hasya Sayyidina) – https://bit.ly/MrSpraymanSMP (PC)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Pemenang Kedua: Social Distancing The Game (Gavin Malik Setiawan) – https://bit.ly/SocialDistancingGameSMP (PC)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Kategori SMA

Pemenang Pertama: Di Rumah Aja (Raihanita Damayanti) – https://bit.ly/DiRumahAjaSMA (PC)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Pemenang Kedua: Sijaro (Wiaji Robian Dwi Cahya) – https://bit.ly/SijaroSMA (Mobile Android)

8

Pemenang Favorit Junior: Petualangan Covid-19 (Akbar Wicaksono) – https://bit.ly/PetualanganCovid19 (Mobile Android)

Sumber: Rilis Resmi
Sumber: Rilis Resmi

Kategori Umum

Pemenang Pertama: Stay – A Cute but Anxious Girlfriend Simulator (Fajri Rahmadhany) – https://bit.ly/AnxiousGirlfriendUmum (PC)

Pemenang Kedua: Safey Shoppy (Vinda D Zoebir) – https://bit.ly/SafeyShoppyUmum (Mobile Android)

Pemenang Ketiga: Fight Covid-19 (Andrie Nata. S) – https://bit.ly/FightCovidUmum (Mobile Android)

Pemenang Favorit Umum: Planet Covid (Kevin Jaya Wiguna) – https://bit.ly/PlanetCovidUmum (Mobile Android)

Terkait pemenang yang terpilih, Anton Soeharyo, CEO maingame.com mewakili dewan juri mengatakan. “Pada akhirnya kami cuma boleh memilih satu pemenang, dan itu adalah karya Fajri, Stay – A Cute but Anxious Girlfriend Simulator sebagai pemenang pertama. Game ini tidak hanya memiliki daya tarik keindahan visual dan musik, tapi juga berhasil menangkap perhatian para gamers lewat alur cerita disajikan seraya memberi edukasi tentang pandemi ini. Good luck dan selamat untuk Dhanny!”

Selamat untuk para pemenang! Semoga karya yang diciptakan bisa menjadi momentum untuk membuat karya-karya lain yang lebih baik lagi!

ESRB Siapkan Label Khusus untuk Game yang Menawarkan Loot Box atau Sistem Gacha

Loot box, gacha, dua istilah ini kerap menimbulkan kontroversi di industri gaming dalam beberapa tahun terakhir. Sebenarnya tidak ada yang salah dari pembelian dalam game (in-game purchase) menggunakan mata uang nyata, namun itu bisa jadi problem ketika sudah mengarah ke konsep pay-to-win.

Bagi sebagian orang, loot box atau gacha tidak berbeda dari judi. Pemain mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak pasti atau bersifat acak, dan karena tak kunjung mendapat apa yang diinginkan, pemain pada akhirnya harus terus mengeluarkan biaya ekstra selama bermain.

Berdasarkan studi yang dilakukan badan rating ESRB, yang mengeluhkan sistem loot box ini bukan cuma kalangan orang tua saja, tapi juga para gamer itu sendiri. Pun demikian, keduanya punya perspektif yang agak berbeda.

Dari perspektif orang tua, yang dikhawatirkan biasanya cuma sebatas berapa banyak uang yang anaknya keluarkan selama bermain game. Kalau dari perspektif sang anak, yang dikhawatirkan justru lebih spesifik, yakni apakah pembelian dalam game yang mereka mainkan sifatnya acak atau tidak.

ESRB IGP IRI

Terkait kekhawatiran kalangan orang tua, ESRB sebenarnya sudah punya solusi dalam bentuk label “In-Game Purchases” yang ditambatkan pada game yang memang menawarkan konten ekstra yang dapat dibeli tanpa meninggalkan jendela permainan. Namun untuk kekhawatiran para pemain sendiri, ESRB menilai diperlukan indikator yang lebih spesifik.

Maka mulai hari ini, ESRB sudah menyiapkan label baru bertuliskan “In-Game Purchases (Include Random Items)” pada permainan yang mengadopsi sistem loot box atau gacha. Tujuannya adalah supaya para pemain bisa sadar akan sifat acak pada konten ekstra yang bisa dibeli dalam game sebelum mereka terlanjur mengeluarkan uang.

Mengapa “Random Items” dan bukan “Loot Box” begitu saja? Karena ESRB menilai tidak semua orang paham makna dari kata loot box, dan lagi label baru ini mereka maksudkan untuk semua bentuk in-game purchase yang sifatnya acak, entah itu cover card pack, prize wheel, dan lain sejenisnya.

Sumber: ESRB via Games Industry.

Berkat Bantuan Mod, Half-Life: Alyx Dapat Dimainkan Sampai Tamat Tanpa VR Headset

Half-Life: Alyx sudah resmi dirilis, dan lagi-lagi Valve berhasil menciptakan sebuah game yang fenomenal kalau melihat kumpulan review-nya. Kalau ditanya apa yang kurang dari Half-Life: Alyx, saya mungkin bakal menjawab “kurang versi non-VR”, tapi jawaban itu semata karena saya tidak punya VR headset untuk memainkannya.

Kalau Anda seperti saya, Anda mungkin bertanya-tanya kenapa Half-Life: Alyx cuma bisa dinikmati lewat VR. Singkat cerita, Valve melihat ada banyak ide brilian yang bisa mereka terapkan hanya melalui VR. Sebagai bonus, tentu saja game ini bisa membantu Valve menjual VR headset bikinan mereka sendiri.

Pantaskah membeli Valve Index hanya untuk memainkan Half-Life: Alyx? Kalau ada budget, kenapa tidak? Kalau budget terbatas, alternatifnya mungkin adalah memainkannya tanpa VR headset dengan bantuan sebuah mod.

Ya, menggunakan mod yang bisa diunduh dari GitHub ini, kita dapat memainkan Half-Life: Alyx di PC menggunakan keyboard dan mouse sampai tamat. Pengalamannya jelas jauh dari kata ideal. Yang paling utama, pergerakan karakter hanya bisa menggunakan tombol arah panah, bukan tombol WASD seperti biasanya.

Sejumlah adegan dalam game bahkan harus dijalani sesuai dengan panduan yang diberikan di laman GitHub-nya. Lebih lanjut, proses instalasi mod-nya tidak mudah dan memerlukan video penjelasan yang agak panjang. Terlepas dari itu, mod ini setidaknya patut dicoba buat yang benar-benar penasaran dengan Half-Life: Alyx tapi tak punya akses ke VR headset.

Pertanyaannya, apakah ini legal? Tentu saja, toh game-nya masih kita beli secara resmi lewat Steam. Bahkan Valve sendiri sudah memprediksi bakal ada seseorang yang menciptakan mod semacam ini. Menurut mereka, pemain pada akhirnya akan menyadari sendiri mengapa Valve mengambil jalur VR setelah menjajalnya via mod.

Sumber: PC Gamer.

Strategi Publisher dan Developer Lokal untuk Pasarkan Game di Pasar Global

Di era serba digital ini, batas antar negara semakin mengabur. Dengan internet, Anda dapat terhubung dengan hampir semua orang di seluruh dunia. Dalam industri game, keberadaan platform distribusi game digital seperti Steam dan Google Play memberikan keuntungan tersendiri. Ini memungkinkan para developer untuk bisa menyasar audiens global. Semakin besar pasar yang ditargetkan, semakin besar pula potensi pemasukan yang didapatkan. Tentu saja, ada berbagai masalah yang harus bisa diselesaikan oleh pihak developer jika mereka ingin game-nya sukses di pasar global.

Apa yang Harus Diperhatikan Ketika Menargetkan Audiens Global?

Melalui platform seperti Steam atau Play Store dan App Store, developer bisa langsung menerbitkan game buatan mereka ke pasar global selama mereka menggunakan bahasa Inggris dalam game, ungkap CEO Toge Productions, Kris Antoni saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. Dia menambahkan, “Tapi, untuk beberapa negara yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Inggris, misal Tiongkok, Jepang, Korea, Brazil, dan lain sebagainya, kita perlu melakukan pelokalan. Tentu, biayanya tidak murah, tapi dapat dilakukan bertahap.” Ketika ditanya tentang apa yang harus diperhatikan ketika developer hendak menyasar audiens global, dia menjawab, “Perhatikan target market-nya. Negara/region apa saja yang mau kita tuju, dibandingkan dengan biaya pelokalan dan peraturan atau kultur.”

Senada dengan Kris, CEO dan Pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron berkata bahwa sekarang, developer lokal dapat menyasar pasar global dengan lebih mudah. “Dalam konteks komoditi digital global, untuk distribusi, tinggal centrang saja di negara mana saja yang mau kita rilis. Yang membedakan adalah apresiasi dari jumlah revenue yang bisa didapatkan dari market global,” ujarnya.

“Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelokalan konten, yang bisa meliputi script text, penamaan karakter, atau bahkan sampai di perancangan desainnya. Dicari benang merahnya yang bersifat global, sehingga game bisa dimengerti secara universal,” kata Rachmad. Dia memberikan contoh dalam penamaan Linda, tokoh utama DreadOut, game horror buatan Digital Happiness. “Nama Linda yang kita gunakan adalah nama yang universal dan pengucapannya pun hampir semuanya sama,” jelasnya.

Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam
Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam

Salah satu keuntungan menyasar pasar global adalah potensi pemasukan yang lebih besar, terutama jika developer membuat game PC atau konsol premium. Memang, Indonesia merupakan pasar yang cukup besar dengan populasi mencapai lebih dari 270 juta orang. Meskipun begitu, konsumen Indonesia cenderung sensitif terhadap harga. Selain itu, masyarakat di negara berkembang juga memiliki daya beli yang lebih kuat. Jadi, developer bisa mematok harga yang lebih tinggi untuk game-nya, selama mereka dapat memberikan kualitas yang memang memuaskan.

“Dikarenakan global market khususnya Tiongkok, AS, Rusia, Eropa, ekosistem industrinya telah matang puluhan tahun jauh di depan kita, daya beli masyarakat mereka pun tinggi sehingga mendongkrak revenue kita secara umum,” ujar Rachmad. Pada saat yang sama, dia menjelaskan, menyasar pasar global juga akan meningkatkan biaya operasi developer. Alasannya, karena mereka harus menyediakan dana untuk proses pelokalan game.

Menargetkan pasar global memang menggiurkan. Sayangnya, potensi pemasukan yang besar itu hanya bisa direalisasikan jika sebuah developer bisa mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.

Tantangan Menyasar Pasar Global?

Menurut Rachmad, salah satu tantangan yang dihadapi developer lokal ketika hendak masuk ke pasar global adalah persaingan ketat dengan para developer yang sudah lebih besar dan berpengalaman. “Kita harus bersaing dengan developer besar, yang punya ratusan pekerja dan dana ratusan juta dolar. Dibandingkan dengan kita, ya kayak bumi dan langit,” ujar Rachmad sambil tertawa.

“Semua orang bisa membuat game, tapi belum tentu kita bisa bersaing dengan developer-developer besar,” kata Rachmad. Menurutnya, bagi developer Indonesia yang enggan untuk mencoba menargetkan pasar global, mereka bisa memilih untuk fokus untuk menguasai pasar domestik. “Menarik apabila kita bisa menguasai pasar lokal. Tampaknya, kita juga nggak perlu go global, seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang,” dia bercerita.

Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam
Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam

Meskipun begitu, menurut Kris, terlepas apakah developer menyasar pasar global atau hanya menargetkan pasar domestik, mereka tetap harus bersaing dengan developer/publisher raksasa. Memang, berbeda dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia tidak membatasi developer asing yang hendak meluncurkan game buatannya di Indonesia. Di Tiongkok, jika developer asing ingin meluncurkan game di negara Tirai Bambu tersebut, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Namun, Kris setuju, persaingan dengan game-game internasional merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi developer lokal yang ingin menerbitkan game-nya di tingkat global. “Kita sekarang melakukan seleksi yang cukup ketat untuk memilih game yang akan kita kembangkan dan publish. Hanya game yang memiliki keunikan yang kuat, hook dan value proposition yang kuat yang akan kita pasarkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Kris bercerita, tantangan lain yang harus dihadapi oleh developer lokal adalah visibility dan market reach.

“Gimana caranya agar game Indonesia bisa dikenal di luar negeri? Kita berjuang keras untuk mengirimkan game-game kita ke kompetisi dan event eksibisi internasional. Dari situ, kita pelan-pelan membangun kredibilitas dan jaringan,” ujar Kris.

Strategi Dalam Menargetkan Pasar Global

Menurut laporan dari PCGamesN, pada 2019, ada 8.290 game yang dirilis di Steam. Tidak mudah bagi developer untuk membuat game-nya tampil menonjol di antara ribuan game tersebut. Karena itu, marketing menjadi sangat penting. Kris bercerita, di Toge, ketika mereka hendak memasarkan game di pasar global, mereka akan melakukan marketing secara digital. Dengan digital marketing, Toge dapat memperluas jangkauan mereka dan menekan pengeluaran, mengingat biaya marketing digital relatif lebih murah jika dibandingkan dengan marketing tradisional.

Selain itu, Toge juga melakukan pelokalan konten. Namun, terkait hal ini, Kris berkata bahwa Toge biasanya tidak mengubah isi konten game. “Pelokalan yang kita lakukan kebanyakan hanya sebatas bahasa,” ujarnya saat ditanya strategi Toge untuk masuk ke negara-negara yang memiliki budaya dan kebiasaan masing-masing.

Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam
Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam

Saat menyasar audiens global, developer bisa meluncurkan game-nya di seluruh dunia secara serentak. Namun, ada juga developer yang memilih untuk merilis game-nya di kawasan atau negara tertentu terlebih dulu, seperti yang Niantic lakukan dengan Pokemon Go. Menurut Rachmad, jika developer mengincar pasar global dan memiliki dana yang memadai, mereka sebaiknya meluncurkan game mereka secara serentak di seluruh dunia pada berbagai platform sekaligus. Idealnya, developer juga sudah menyiapkan opsi bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Mandarin, Rusia, Prancis, Italia, Jerman, dan Spanyol.

“Dalam kasus DreadOut 1 dulu, kita memang menyasar langsung global. Indonesia sangat membantu dalam memviralkannya. Tapi, angka sales (di Indonesia) sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat,” cerita Rachmad. “Untuk DreadOut 2, kami setengah-setengah. Kabar baiknya, pengguna asal Indonesia saat ini menempati urutan ke-2 pengguna berbayar, mengalahkan pemain AS yang di DreadOut 1 menempati peringkat pertama.”

Taktik Ekspansi Global oleh Developer Asing

Masing-masing developer memiliki strategi yang berbeda ketika mereka menyasar audiens global. Bagi Activision, ketika mereka menyasar pasar global dengan Call of Duty: Mobile, mereka tidak hanya berusaha untuk melokalkan konten, tapi juga berusaha untuk memastikan konten dalam game tetap relevan dengan para pemain, tak peduli di negara mana mereka tinggal. Jenny Taran, Head of Growth, Call of Duty Mobile at Activision menjelaskan, untuk membuat game terasa familier bagi pemain, Activision biasanya membuat tim lokal, yang mencakup customer support, media sosial, marketing, dan lain sebagainya, seperti dikutip dari VentureBeat.

Taran bercerita, saat hendak menargetkan pasar global, Activision memang akan melakukan pelokalan sejak awal. “Semua channel untuk akuisisi pemain dan konten kreatif dibuat secara khusus menargetkan kawasan tertentu,” ujarnya. “Terkait pelokalan, salah satu hal penting yang pelajari adalah untuk fokus pada video gameplay dari game kami.” Dia menambahkan, hal penting lainnya adalah untuk menjelaskan gameplay dengan cara yang memang dipahami dengan masyarakat di sebuah negara atau kawasan.”

Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision
Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision

Jika dibandingkan dengan developer lokal, Activision memiliki dana yang lebih besar. Namun, itu bukan berarti mereka bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja. Ekspansi global tidak murah. Tidak hanya uang, developer juga harus siap untuk menyediakan waktu dan sumber daya ketika mereka hendak menyasar audiens global. Karena itu, Activision biasanya tidak sembarangan mencoba untuk masuk ke sebuah negara. Sebagai gantinya, mereka akan fokus pada pasar yang memang memiliki potensi besar.

Lalu, bagaimana Activision menentukan pasar mana yang harus mereka masuki? Taran menjelaskan, Activision memiliki tim analitik dan konten kreatif di seluruh dunia. Dari sini, mereka akan mencoba untuk mengetahui besar potensi pasar sebuah negara. Setelah itu, mereka akan memfokuskan sumber daya mereka — uang, pekerja, dan waktu — berdasarkan besarnya potensi pasar dari satu negara. Sementara strategi yang mereka gunakan akan ditentukan berdasarkan apa yang mereka butuhkan. “Jika ada penyalahgunaan sumber daya karena kurangnya proses otomasi, maka data dan analitik data akan menjadi prioritas kami. Jika ada banyak ide kreatif yang belum direalisasikan, maka prioritas kami adalah mengembangkan konten kreatif,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, game biasanya dikemas dalam bentuk fisik, baik berupa cartridge atau kepingan CD. Namun, sekarang, seiring dengan semakin cepatnya koneksi internet dan semakin tingginya penetrasi internet, semakin banyak juga orang yang memilih untuk membeli game melalui platform distribusi digital, seperti Steam dan Epic Store. Bagi developer game, ini berarti mereka dapat menyasar audiens global dengan lebih mudah.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pasar di Indonesia memang sudah cukup besar. Meskipun begitu, menyasar pasar global tetap menawarkan potensi pemasukan yang lebih besar. Pasalnya, sejumlah negara memiliki industri game yang lebih matang dan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.

Hanya saja, untuk bisa menembus pasar global, developer juga harus bisa menawarkan game yang memang menarik bagi gamer internasional. Di sinilah pentingnya pelokalan. Biasanya, pelokalan tidak lebih dari mengganti bahasa, khususnya untuk negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga developer yang membuat tim lokal untuk memastikan bahwa game mereka dapat diterima dengan baik. Pada akhirnya, tingkat pelokalan yang dilakukan oleh developer tergantung pada dana yang mereka miliki.

Sumber header: DailySocial

Cyberpunk 2077 Bakal Disertai DLC yang Tak Kalah Banyaknya dari The Witcher 3

September 2020 adalah bulan yang ditunggu-tunggu banyak gamer. RPG terbaru CD Projekt Red (CDPR), Cyberpunk 2077, bakal dirilis di bulan itu, dan CDPR juga sudah memastikan kalau jadwal peluncurannya tak akan terpengaruh pandemi COVID-19.

Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya mengapa hype atas game ini bisa sedemikian besar. Well, game ini digarap oleh developer yang sama yang mengerjakan seri The Witcher, dan fakta itu setidaknya bisa menjamin bahwa Cyberpunk 2077 bakal menyuguhkan pengalaman single-player yang tak terlupakan.

Sebelum ini, CDPR sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan menahan-nahan konten untuk dirilis di lain waktu dalam bentuk DLC (downloadable content) berbayar demi mendapat untung lebih besar. Praktik seperti ini cukup umum kita jumpai pada sejumlah developer dan publisher besar, akan tetapi CDPR telah membuktikan bahwa mereka punya filosofi yang berbeda melalui The Witcher 3.

Cyberpunk 2077

Dalam sesi tanya-jawab dengan investor belum lama ini, CDPR menegaskan bahwa jumlah konten DLC untuk Cyberpunk 2077 tidak akan lebih sedikit dari yang The Witcher 3 miliki. Buat yang tidak tahu, The Witcher 3 mempunyai 16 DLC yang semuanya dirilis secara cuma-cuma (quest baru, senjata baru, kostum baru, dan lain sebagainya), serta 2 expansion pack berbayar yang begitu masif.

Beragam konten tambahan itu bakal dirilis secara bertahap dengan jadwal yang mirip seperti ketika The Witcher 3 dirilis di bulan Mei 2015: pasca perilisan, setiap minggunya selama dua bulan, pemain akan mendapatkan dua konten DLC gratis. Kemudian beberapa bulan setelahnya, giliran expansion pack yang menyusul.

Dalam kasus The Witcher 3, expansion pack keduanya yang berjudul Blood and Wine merupakan yang paling istimewa. Expansion ini datang sekitar satu tahun setelah The Witcher 3 dirilis, dan konten baru yang disajikan luar biasa besar sampai-sampai terasa seperti sekuel.

Penasaran seperti apa expansion buat Cyberpunk 2077 nanti? Sabar sedikit, sebab CDPR bakal membeberkan detailnya menjelang perilisan Cyberpunk 2077 itu sendiri. Lagi-lagi skenarionya sama seperti ketika mereka menyingkap detail mengenai expansion pack The Witcher 3 beberapa minggu sebelum game-nya diluncurkan.

Sumber: Video Games Chronicle via PC Gamer.

Apakah Riot Games Akan Hadirkan Valorant Mobile?

Valorant memang sedang menjadi game yang diperbincangkan komunitas belakangan ini. Walau masih dalam status beta, game ini sudah pecahkan rekor jumlah penonton di Twitch. Organisasi esports asal Korea Selatan, T1, bahkan sudah tak sabar dan akan mengadakan turnamen Valorant. Hype tersebut jadi semakin tidak terbendung setelah streamer FPS kawakan seperti Shroud, berpendapat bahwa Valorant adalah game yang luar biasa.

Seakan tidak bisa berhenti menjadi hype, baru-baru ini muncul informasi lain dari Valorant yang mungkin akan membuat para gamers Indonesia turut terhanyut dalam kehebohan. Ini karena, salah seorang pemain secara tidak sengaja menemukan skema kontrol analog dalam Valorant yang mengindikasikan kehadiran Valorant mobile.

Pemain yang menemukan ini adalah seorang pengguna Reddit, dengan username Spacixr. Pada postingan 3 hari lalu, ia mengatakan bahwa dirinya mencoba bermain Valorant menggunakan laptopnya dengan menggunakan Tablet Mode bawaan Windows 10.

Sumber: Reddit
Sumber: Reddit

Namun setelah berhasil membuka Valorant, ia malah menemukan layarnya penuh dengan berbagai ikon, yang menunjukkan skema kontrol mobile game FPS. Ia mencoba menggunakannya kontrol mobile game FPS pada Practice Mode, dan ternyata bisa digunakan.

Kebenaran akan informasi ini tentu masih dipertanyakan, karena informasinya yang datang forum, yang bisa saja gambar tersebut hanyalah hasil edit digital saja. Tetapi selain pengguna Reddit, ada juga seorang streamer bernama FireMonkey yang membongkar jeroan kode Valorant, dan menemukan ikon-ikon untuk kebutuhan tampilan skema kontrol analog FPS mobile.

Tetapi lagi-lagi, kehadiran informasi ini belum bisa dipastikan, dan belum bisa membenarkan kehadiran Valorant untuk mobile. Walau demikian, sebenarnya ada beberapa kemungkinan yang membuat Riot Games dapat menyajikan Valorant untuk pengguna mobile.

https://www.twitter.com/FireMonkey__/status/1246427130696732672

Kemungkinan tersebut datang dari beberapa faktor, misalnya pasar mobile gaming yang besar, terutama di Tiongkok. Hal lain mungkin adalah status Riot Games yang sudah menjadi milik Tencent Games. Mengingat perusahaan game asal Tiongkok tersebut sudah punya banyak pengalaman dalam mengembangkan game shooter di mobile, maka Riot Games bisa saja bekerja sama dengan Tencent untuk menyajikan Valorant mobile.

Tencent Games sudah berhasil menyajikan beberapa game FPS yang ternyata secara mengejutkan, nyaman dimainkan dan dapat diterima oleh banyak pemain. PUBG Mobile jadi salah satu contohnya, yang sudah diunduh 600 juta kali pada Desember 2019 lalu. Contoh lainnya adalah Call of Duty Mobile, yang bisa dibilang sebagai salah satu FPS ternyaman untuk mobile hingga saat ini.

Jika Valorant benar-benar akan rilis di mobile, ini tentu akan menjadi berita bahagia bagi para gamers di Indonesia. Apalagi Valorant juga menarik dan cukup mudah untuk dipelajari, karena dengan gameplay familiar seperti CS:GO, serta tambahan skill yang membuat permainan jadi lebih variatif.

Kira-kira apakah akan ada Valorant untuk mobile? Semoga saja hal tersebut bisa terjadi, agar kita semua bisa mencicipi FPS terbaru besutan Riot Games tersebut.

Mulai 14 April, Gamer PC Bisa Dapatkan Assassin’s Creed 2 Secara Gratis

Dari sekian banyak game Assassin’s Creed yang sudah dirilis, Origins merupakan favorit saya pribadi. Alasannya simpel: Origins mengubah sejumlah elemen gameplay, menjadikannya lebih mirip action RPG macam The Witcher 3, tapi di saat yang sama juga masih mempertahankan aspek stealth-nya.

Kendati demikian, favorit banyak orang masih Assassin’s Creed 2. Game tahun 2009 yang mengisahkan lakon berdarah Itali, Ezio Auditore, tersebut dicintai karena narasi yang dihadirkannya.

Dibanding game orisinalnya, AC2 tentu juga menghadirkan sejumlah penyempurnaan gameplay. Selain cerita yang begitu mendalam, setting lokasi AC2 di Itali era Renaissance beserta atmosfernya juga sangat menarik untuk dijelajahi.

Assassin's Creed 2

Kabar baiknya, Assassin’s Creed 2 versi PC bisa kita dapatkan secara cuma-cuma mulai 14 April. Ubisoft selaku developer sekaligus publisher-nya memutuskan untuk menggratiskan game itu melalui platform distribusi mereka sendiri, Uplay.

Sekali kita klaim, Assassin’s Creed 2 akan tersedia selamanya di library Uplay kita masing-masing. Pastikan Anda sudah mengunduh client Uplay di PC, lalu klaim game ini pada tanggal 14 April.

Tidak diketahui sampai kapan deal ini bakal berlangsung, tapi lebih amannya kita bisa mengklaimnya di Uplay begitu harganya berubah jadi gratis. Meng-install dan memainkannya boleh menyusul.

Grafiknya sudah pasti terasa agak melempem di tahun 2020 ini, akan tetapi tidak ada ruginya menghabiskan puluhan jam di masa swakarantina ini bersamanya. Buat yang tertarik melanjutkan cerita Ezio Auditore sampai habis, mereka bisa membeli dua game kelanjutannya, Assassin’s Creed Brotherhood dan Assassin’s Creed Revelations, yang mendapat potongan harga.

Sumber: Polygon.