Microsoft Umumkan Spesifikasi Resmi Xbox Series X

Walaupun Microsoft sempat bilang bahwa penjualan Xbox One cukup memuaskan, perusahaan tetap mengakui keunggulan sang rival di era current-gen. Sony berhasil mengapalkan lebih dari 102 juta unit PlayStation 4, memaksa Microsoft untuk mengambil strategi baru dalam menyuguhkan konten. Kita tahu, mereka tak pernah lagi menghidangkan permainan eksklusif. Hampir seluruh game Xbox One kini tersedia di Windows 10 dan Microsoft terus mempromosikan cross-platform play.

Meski demikian, tidak berarti produsen tak menyiapkan produk baru buat berkompetisi dengan Sony. Xbox Series X diumumkan tiba-tiba di ajang The Game Awards 2019. Di sana, Microsoft memamerkan wujud console dan tak lama turut diketahui pula Series X merupakan satu dari beberapa model Xbox anyar yang perusahaan sedang siapkan. Dan melalui Xbox Wire minggu ini, head of Xbox Phil Spencer akhirnya mengungkap informasi lebih rinci terkait hardware dan teknologi pendukung Xbox Series X.

Microsoft menjelaskan bahwa dibandingkan console mereka sebelumnya, Xbox Series X menawarkan keseimbangan antara kecepatan dan tenaga yang lebih baik. Ada lima faktor yang jadi andalan sang produsen: performa grafis 12-teraflop, variable rate shading, teknologi ray tracing DirectX berbasis hardware, kemampuan ‘me-resume‘ beberapa game sekaligus dalam waktu singkat, dan fitur Smart Delivery. Selain itu, Microsoft tentu saja menjabarkan aspek teknis Series X secara lengkap.

IMG_25022020_140347_(1000_x_650_pixel)

Diklaim sebagai console paling bertenaga yang pernah Microsoft ciptakan, Xbox Series X dipersenjatai prosesor semi-custom berbasis AMD Zen 2 dan arsitektur RDNA 2. Komponen ini kabarnya menyimpan kemampuan olah data empat kali lipat dari Xbox One, serta memberikan kesempatan bagi developer game untuk memanfaatkan performa GPU berkekuatan 12-teraflop. Jumlah ini dua kali lebih besar dibanding Xbox One X dan delapan kali Xbox One standar. Console turut ditunjang oleh penyimpanan berbasis SSD sehingga waktu load app jadi lebih singkat.

Variable rate shading merupakan salah satu fitur unik Xbox Series X, memungkinkan distribusi kinerja grafis yang lebih efisien. Dengan VRS, GPU tak lagi perlu mencurahkan tenaganya terus-menerus untuk menangani seluruh pixel di layar. Ia kini dapat memprioritaskan efek visual secara individual, misalnya di karakter tertentu atau objek-objek penting. Alhasil, sistem bisa menampilkan resolusi lebih tinggi dan memastikan frame rate tersaji lebih stabil tanpa mengurangi kualitas grafis. Series X sendiri siap menghidangkan 120fps.

Melengkapi aspek kinerja, Microsoft juga membekali Xbox Series X dengan konektivitas yang lebih canggih. Console ditunjang HDMI 2.1 yang lebih rendah latency serta kemampuan dynamic latency input sehingga sistem bisa membaca perintah dari unit controller wireless lebih cepat, presisi dan responsif.

Sempat dibahas sebelumnya, backward compatibility akan kembali hadir di Xbox Series X. Kapabilitas ini memperkenankan console menjalankan permainan-permainan lawas, termasuk judul yang dirilis di era Xbox generasi pertama. Backward compatibility berhubungan dengan fitur Smart Delivery.  Teknologi ini mampu mengenal game, berfungsi untuk menghidangkan konten secara optimal berdasarkan sistem yang kita miliki – baik Xbox Series X maupun Xbox One. Berkatnya, kita hanya perlu membeli permainan satu kali buat dinikmati di hardware berbeda.

Xbox Series X rencananya akan mulai dipasarkan di kuartal keempat tahun ini. Saya menduga Microsoft akan memamerkan kecanggihannya di E3 2020 serta mendemonstrasikan sejumlah game yang dapat memaksimalkan kinerja console. Hal yang paling membuat saya penasaran adalah harganya. Seberapa jauh kira-kira perusahaan mampu menekan harga Series X?

Ubisoft Akan Rilis RPG Tom Clancy’s Elite Squad dalam Waktu Dekat

Setelah pengumumannya di E3 2019 kemarin, akhirnya Tom Clancy’s Elite Squad dikabarkan akan rilis dalam waktu dekat. Tom Clancy’s Elite Squad adalah role-playing games yang bisa Anda mainkan di platform Android dan iOS secara free-to-play. Tetapi pada post Twitter tersebut, Ubisoft menyebutkan “coming soon in Google Play”. Sehingga para pengguna iOS harus bersabar lebih lama lagi untuk memainkan game ini. Perihal ditanyakan tanggal pasti perilisannya, Ubisoft menjawab bahwa tahun ini akan dilakukan perilisan secara bertahap. Tetapi Ubisoft tidak memberikan informasi negara mana yang akan dipilih untuk diluncurkan perilisan pertama.

Menariknya, game ini menggabungkan karakter-karakter dari game Tom Clancy’s yang lain seperti Rainbow Six, Splinter cell, Ghost Recon dan The Division. Anda dipersilakan untuk memilih lima karakter ke dalam tim untuk bermain di mode story mode atau online PVP. Pada Desember 2019 kemarin, Tom Clancy’s Elite Squad mengumumkan masuknya Dokkaebi ke dalam game. Saat ini, Anda dapat mengikuti pre-register untuk mendapatkan karakter eksklusif.

Mungkin Anda akan mengira genre game ini adalah first person shooter. Tetapi Ubisoft memperkenalkan game ini sebagai role-playing games 5v5 dynamic battle. Melihat gameplay-nya, Tom Clancy’s Elite Squad menggunakan desain karakter yang bergaya kartun. Terlihat berbeda dengan game Tom Clancy’s lain yang memiliki desain realistis. Anda dapat mengendalikan karakter yang dimainkan untuk diserang dan mengeluarkan skill. Anda juga dapat meng-upgrade karakter yang dimiliki di game ini. Setiap karakter juga memiliki skill dan senjata tersendiri yang bisa Anda manfaatkan sesuai strategi.

Berbeda secara desain dan genre game, Ubisoft seperti menghindari persaingan dengan raksasa yaitu Call of Duty Mobile dan PUBG Mobile. Pasalnya, Ubisoft harus memasuki pasar yang sudah dikuasai oleh yang lain. PUBG Mobile sendiri memiliki 50 juta user yang bermain setiap harinya. Call of Duty Mobile sendiri berhasil meraih 100 juta downloads pada minggu pertama peluncuran. Mengenai hal tersebut, Ubisoft menjawab keputusannya dalam memilih genre ini adalah “untuk memberikan kesempatan para penggemar game Tom Clancy’s memainkan karakter favoritnya baik heroes ataupun villains di dalam satu game.”

Kabarnya EA Sedang Menggarap 2 Game Star Wars Baru, Salah Satunya Sekuel Fallen Order

Meski belum bisa dikatakan sempurna, Jedi: Fallen Order berhasil memuaskan dahaga gamer terhadap permainan Star Wars single-player berkualitas. Dikerjakan oleh tim pencipta Titanfall, performa game action-adventure ini jauh melampaui ekspektasi EA. Jedi: Fallen Order laris di PC, dan penjualannya terhitung mencapai delapan juta kopi di bulan Desember 2019. Publisher mengestimasi, angkanya berpotensi menyentuh 10 juta kopi di akhir Maret nanti.

Kondisi tersebut kembali mengingatkan para pemain di industri bahwa masih ada permintaan tinggi terhadap permainan single-player. Tentu saja, kesuksesan Jedi: Fallen Order menyemangati EA untuk mengembangkan lebih banyak game Star Wars. Lagi pula, perusahaan hanya punya waktu tiga tahun sebelum kontrak dengan Disney (untuk memublikasikan game Star Wars secara eksklusif) habis. Dan informasi terkini menyebutkan bahwa sang publisher tengah sibuk menggarap dua lagi permainan di jagat Perang Bintang.

Kabar ini diungkap oleh sejumlah narasumber pada jurnalis Kotaku, Jason Schreier. Dua game Star Wars anyar itu punya arahan desain berbeda. Satu permainan disiapkan sebagai sekuel Star Wars Jedi: Fallen Order dan satu lagi berskala lebih kecil dengan konsep yang ‘tidak biasa’, ditangani oleh Motive Studios asal Montreal. Didirikan oleh mantan produser Assassin’s Creed, Jade Raymond, EA Motive sempat membantu DICE dan Criterion merampungkan Battlefront II.

Selain dua game anyar, informan juga mengungkapkan bahwa EA sebetulnya sempat menggarap tiga permainan Star Wars, namun mereka semua dibatalkan. Kisahnya dimulai di tahun 2015, ketika EA menugaskan Visceral Games mengerjakan game Star Wars ber-codename Ragtag. Permainan difokuskan pada tema ‘perampokan’ (saya membayangkan Solo: A Star Wars Story dalam wujud game). Tapi tiba-tiba proyek dihentikan di tahun kedua pengembangannya, lalu aset-asetnya ditransfer ke EA Vancouver sebagai basis pembuatan permainan open-world Star Wars.

Di kalangan internal, game tersebut diberi julukan Orca. EA Vancouver menggodoknya hingga tahun 2018, namun lagi-lagi Electronic Arts memutuskan buat membatalkannya. Info mengenai penghentian Orca baru terungkap di 2019. Selanjutnya, tim Vancouver diarahkan untuk menggodok proyek Star Wars yang ‘lebih kecil’ bertajuk Viking. Saat itu, permainan dijadwalkan buat meluncur di musim gugur 2020 bersamaan dengan console PlayStation dan Xbox next-gen.

Viking didesain sebagai spin-off dari Battlefront dan mengusung elemen open-world. Dalam prosesnya, EA meminta Criterion untuk membantu EA Vancouver, dan di sinilah problem dimulai. EA Vancouver sudah menghabiskan banyak waktu untuk merancang serta menciptakan prototype, tetapi publisher ingin agar Criterion – developer di belakang seri balap Burnout – yang memimpin pengembangan.

Kolaborasi sulit dilakukan karena dua studio berasal dari tempat berbeda (Kanada dan Inggris). Dan kendala logistik ini diperparah oleh terlalu banyaknya pihak pengambil keputusan. Criterion punya visi yang ambisius: mereka ingin agar Viking menitikberatkan aspek cerita dan karakter. Pada akhirnya, EA sadar mereka tidak akan sanggup menyelesaikan game dalam target waktu satu setengah tahun. Dan iniah alasan disetopnya pengembangan Viking.

Saya harap tak ada lagi pembatalan proyek game Star Wars karena sejak lisensi dipegang oleh EA, hanya ada sejumput judul yang tiba di tangan gamer. Saya juga penasaran mengapa Knights of the Old Republic sama sekali tidak disebutkan oleh narasumber…

Microsoft Flight Simulator Bakal Sajikan Semua Bandara yang Ada di Bumi

Simulasi merupakan salah satu genre video game yang paling gampang dinilai. Pasalnya, faktor yang selalu akan dijadikan tolok ukur utama adalah realisme. Semakin mendekati kenyataan suatu game simulasi, semakin bagus dan menarik ia untuk dimainkan. Sederhananya demikian.

Tentu saja masih ada faktor lainnya, semisal faktor narasi sebagai bumbu penyedap, tapi kalau dihadapkan dengan game yang membawa nama “Simulator” di judulnya, sudah pasti saya akan menilai seberapa akurat game tersebut dalam menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Realisme sangat penting dalam game simulasi, dan Microsoft Flight Simulator tampaknya tidak mau main-main soal ini.

Diumumkan di event E3 tahun lalu, Microsoft Flight Simulator pada dasarnya merupakan reboot total dari franchise yang terlahir 37 tahun silam tersebut. Trailer-nya sudah menunjukkan grafis yang memukau, tapi ternyata developer Asobo Studio yang mengerjakannya juga ingin memamerkan betapa mendetailnya game ini, relevan dengan kondisi yang sebenarnya.

Lewat sebuah video, Sven Mestas selaku lead game designer Asobo memaparkan bahwa Microsoft Flight Simulator bakal menyajikan semua bandara yang ada di Bumi. Ya, semua, atau spesifiknya 37.000 airport yang mereka buat berdasarkan data satelit beserta data asli lainnya.

Sebagai pembanding, Microsoft Flight Simulator X yang dirilis di tahun 2006 ‘hanya’ dibekali dengan 24.000 airport. Mulai dari airport kecil di kawasan pegunungan dengan landasan terbang yang pendek, sampai tentu saja airport megah di kota-kota besar, semuanya bakal bisa disinggahi pada Microsoft Flight Simulator terbaru, yang dijadwalkan dirilis tahun ini juga.

Microsoft Flight Simulator

Kembali ke topik realisme, Asobo memastikan semua bandaranya mereka kerjakan seakurat dan seteliti mungkin, mulai dari bentuk landasan terbangnya, sampai simbol dan indikator yang memenuhinya. Asobo bahkan juga memerhatikan titik-titik parkir pesawat di tiap-tiap bandara, lagi-lagi dengan memadukan data satelit dari Bing Maps sekaligus data asli.

Khusus untuk 80 bandara terpopuler, Asobo bilang detailnya bahkan bakal lebih lengkap lagi. Selain desain airport yang menyerupai aslinya, Microsoft Flight Simulator juga akan menyimulasikan ‘kehidupan’ di bandara sehingga pemain juga bisa merasakan kesibukan di bandara sehari-harinya.

Jujur saya bukanlah penggemar berat genre simulasi – terkecuali Cities: Skylines – akan tetapi saya mungkin bakal memainkan game ini hanya demi merasakan realisme luar biasa yang ditawarkannya.

Sumber: Eurogamer.

DreadOut 2 Resmi Dirilis, Kembali Hadirkan Petualangan Linda

Pertama kali rilis 15 Mei 2014 lalu, DreadOut pertama mungkin bisa dibilang sebagai salah satu game developer lokal paling sukses. Selain karena game ini sudah cukup lengkap dari segi grafis maupun cerita, kemasyhuran game ini jadi semakin meningkat ketika Youtuber gaming ternama Pewdiepie memainkan game besutan pengemban Digital Happiness.

Kini 6 tahun berlalu setelah rilisan pertama, Digital Happiness akhirnya merilis sekuel dari game horror Indonesia kenamaan ini. Diluncurkan pada 20 Februari 2020 kemarin lewat platform Steam, DreadOut kembali menghadirkan petualangan Linda (protagonis pada DreadOut pertama) menyelamatkan kawan-kawannya dari serangan roh-roh jahat.

Masih seperti pada seri pertama, gameplay DreadOut 2 masih berupa perburuan hantu dengan menggunakan smartphone. Seiring perjalanan Anda akan bertemu dengan berbagai macam sosok hantu khas Indonesia, yang dapat dinetralisir dengan mengambil foto menggunakan smartphone. Tak hanya itu, Dreadout 2 sepertinya juga menampilkan elemen baru, terlihat lewat Linda yang kini juga bisa menggunakan senjata, seperti pisau, kapak, dan senjata tajam lainnya.

“DreadOut 2 kembali menghadirkan petualangan Linda dalam dunia DreadOut, menampilkan aksi dan pembasmian hantu-hantu yang dikenal di Indonesia maupun hantu fantasi hasil kreasi Digital Happiness,” ucap Rachmad Imron Founder Digital Happiness lewat siaran pers.

Untuk saat ini, DreadOut 2 sudah dapat Anda miliki dengan membelinya lewat laman Steam resmi milik sang pengembang. Mengingat DreadOut 2 memiliki grafis yang cukup lumayan, tak heran jika game ini membutuhkan spesifikasi hardware komputer yang cukup lumayan. Berikut kebutuhan spesifikasi hardware komputer DreadOut 2.

MINIMUM

  • Prosesor dan OS 64-bit
  • OS: Windows 8.1
  • Prosesor: Intel i5 3570K / AMD FX-8350
  • Memori: 8 GB RAM
  • GPU: GTX 770 with 2GB VRAM / Radeon R9 280X 3GB
  • DirectX: Version 11
  • Storage: 16 GB available space
  • Sound Card: DirectX compatible

DIREKOMENDASIKAN

  • Prosesor dan OS 64-bitOS: Windows 10
  • Prosesor: Intel i7
  • Memori: 16 GB RAM
  • GPU: GTX 1050 / Radeon Rx 570
  • DirectX: Version 12

DreadOut 2 bisa dibilang merupakan salah satu sarana unjuk gigi kreator lokal kepada khalayak internasional. Mengutip dari Katadata.co.id DreadOut pertama saja dikatakan membutuhkan investasi sekitar US$200.000 (sekitar Rp2,7 miliar). “Untuk DreadOut kedua biayanya naik, yang pertama sekitar US$200.000, maka yang kedua di atas itu masih di bawah US$1 juta (sekitar Rp13,8 miliar).” ucap Rachmad Imron kepada Katadata.co.id. Saat ini, DreadOut 2 sudah tersedia pada platform Steam seharga Rp108.999.

Sumber header: Digital Happiness

Baldur’s Gate III Akan Meluncur Tahun Ini di Steam Early Access

Sebagai salah satu seri game role-playing paling legendaris, upaya pengembangan penerus Baldur’s Gate sudah dilakukan sejak dua dekade silam. Saat itu, Interplay selaku pemegang lisensi Dungeons & Dragons menugaskan Black Isle Studios untuk mengerjakannya. Namun karena masalah teknis dan krisis finansial, game yang tadinya akan diberi judul The Black Hound tersebut akhirnya dibatalkan. Sementara itu, hak publikasi game D&D kembali diamankan oleh Wizards of the Coast.

Beberapa belas tahun berlalu, fans dan gamer dikejutkan oleh pengumuman mendadak Baldur’s Gate III dalam presentasi Google Stadia di ajang E3 2019. Berkat kesuksesan Divinity: Original Sin dan sekuelnya, Larian Studios mendapatkan kepercayaan Wizards of the Coast untuk menggarap permainan yang dinanti-nanti ini. Baldur’s Gate III akan dihadirkan di Windows serta platform cloud gaming Google, dan ada kemungkinan versi console-nya meluncur setelah itu. Dan di minggu ini, terungkaplah informasi mengenai kapan game bisa mulai dicicipi.

Dalam acara investor di New York Toy Fair, Hasbro yang merupakan perusahaan induk Wizards of the Coast mengumumkan agenda buat meluncurkan Baldur’s Gate III via Steam Early Access di tahun 2020. Melalui cara ini, Larian mengajak komunitas untuk bersama-sama mengembangkan dan memoles permainan – sama seperti ketika mereka meramu Divinity: Original Sin 1 dan 2. Menariknya lagi, perusahaan juga mengungkap rencana pelepasan tujuh game Dungeons & Dragons hingga tahun 2025. Selain Baldur’s Gate III, sedang digarap pula sekuel spin-off Baldur’s Gate: Dark Alliance.

Setelah trailer sinematik Baldur’s Gate III ditayangkan di E3 2019, Larian berencana untuk memamerkan demo gameplay perdana di acara PAX East di tanggal 27 Februari besok. Lewat channel YouTube resmi, minggu lalu tim developer menyingkap sedikit apa yang sudah mereka kerjakan – seperti proses desain level, perekaman musik dan dialog, serta motion capture. Baldur’s Gate III dibangun berlandaskan ruleset D&D edisi kelima dengan sejumlah penyesuaian agar gameplay-nya lebih berorientasi pada pemain.

Baldur’s Gate III buatan Larian tidak mempunyai keterkaitan dengan Baldur’s Gate III: The Black Hound yang sempat ditangani Black Isle. Permainan di-setting kurang lebih 200 tahun setelah Baldur’s Gate II dan menyajikan jalan cerita orisinal. Berdasarkan trailer-nya, permainan sepertinya mengedepankan insiden atau konflik dengan ras illithid (Mind Flayer).

Selain lewat Stadia dan Steam, Baldur’s Gate III juga akan dirilis di platform bebas-DRM GOG.com. Uniknya, ketika banyak developer melangsungkan kesepakatan eksklusif dengan Epic Games Store, Larian malah tidak punya niatan untuk meluncurkan game di platform distribusi yang dimiliki pencipta Fortnite itu. Founder Larian Studios, Swen Vincke menyampaikan bahwa ia ingin agar Baldur’s Gate III tersedia secara luas dan mudah diakses gamer.

Via DualShockers.

Susul Activision Blizzard, Bethesda Juga Tarik Deretan Game-nya dari Katalog GeForce Now

Tahap beta testing selama tujuh tahun merupakan periode yang sangat panjang untuk sebuah layanan digital, tapi itulah yang secara tabah dijalani GeForce Now sebelum akhirnya diluncurkan secara resmi belum lama ini. Apesnya, peluncuran layanan cloud gaming milik Nvidia itu malah diwarnai kabar yang kurang mengenakkan.

Secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, Activision Blizzard menarik seluruh game-nya dari katalog GeForce Now. Lebih parah lagi, sekarang giliran Bethesda Softworks yang ikut-ikutan. Semua game yang mereka publikasikan, mulai dari seri Fallout, The Elder Scrolls, sampai Doom, juga akan ditarik dari GeForce Now. Satu-satunya properti Bethesda yang tersisa dan bisa dimainkan pelanggan GeForce Now hanyalah Wolfenstein: Youngblood.

Jelas saja kabar ini memicu pertanyaan, “salah apa Nvidia sampai-sampai terkesan dijauhi oleh nama-nama besar di industri gaming?” Untuk kasus Activision Blizzard, masalahnya ternyata berakar pada kesalahpahaman antar kedua belah pihak, seperti dilaporkan oleh Bloomberg.

Dijelaskan bahwa Activision Blizzard sebenarnya ingin ada persetujuan baru pasca lepasnya GeForce Now dari fase beta dan menjadi layanan komersial. Di sisi sebaliknya, Nvidia beranggapan persetujuannya sudah ada sejak GeForce Now masih dalam tahap beta testing, sebab Activision Blizzard memang mempersilakan para penguji GeForce Now untuk memainkan gamegame yang mereka publikasikan.

Ilustrasi ketersediaan GeForce Now di beragam perangkat / Nvidia
Ilustrasi ketersediaan GeForce Now di beragam perangkat / Nvidia

Untuk kasus Bethesda, sejauh ini belum ada penjelasan dari pihak Nvidia maupun Bethesda, tapi saya menduga akar permasalahannya tidak jauh berbeda. Sebelum ini (selama fase beta), GeForce Now bisa dinikmati secara cuma-cuma. Sekarang, Nvidia mematok tarif berlangganan GeForce Now sebesar $5 per bulan.

Bisa jadi Activision Blizzard dan Bethesda mendambakan persetujuan baru dimana mereka bisa kebagian jatah beberapa persen dari pemasukan GeForce Now. Di sisi lain, Nvidia mungkin berpikiran bahwa mereka tidak perlu membayar royalti atau sejenisnya karena GeForce Now memang tidak punya toko game-nya sendiri.

Ini berbeda dari Google Stadia, yang mewajibkan para pelanggannya untuk membeli game di toko khusus milik mereka sendiri (Stadia Store). GeForce Now di sisi lain mempersilakan pelanggan membeli game-nya di platform mainstream seperti Steam dan Epic Games Store. Tarif $5 per bulan itu pada dasarnya cuma sebatas biaya sewa gaming PC kelas high-end yang ada di datacenter Nvidia.

Tampilan Stadia Store di browser komputer / 9to5Google
Tampilan Stadia Store di browser komputer / 9to5Google

Apakah ini berarti saya membela Nvidia dan menuduh Activision Blizzard serta Bethesda serakah? Pada dasarnya begitu, tapi jangan lupa juga kalau semua ini hanya sebatas spekulasi. Nvidia sendiri akan terus berusaha supaya publisher yang minggat berkenan menyediakan game-nya kembali di GeForce Now. Mereka juga menegaskan bahwa ke depannya kasus gamegame yang ditarik dari katalog GeForce Now seperti ini akan berkurang.

Terlepas dari itu, GeForce Now tetap masih memiliki daya tarik yang tinggi, khususnya jika Anda mengidolakan developer seri The Witcher, CD Projekt Red. Game terbaru mereka yang akan dirilis pada tanggal 17 September nanti, Cyberpunk 2077, bakal bisa langsung dimainkan via GeForce Now di hari peluncurannya.

Sumber: GamesRadar.

AOC Luncurkan Monitor Kelas Sultan Idaman Semua Gamer

Bagi yang pernah merakit gaming PC sendiri, Anda pasti tahu bahwa salah satu komponen termahal biasanya adalah kartu grafis alias GPU. Namun beberapa tahun terakhir ini semakin banyak gamer yang rela mengucurkan dana ekstra untuk monitor.

Kalau melihat spesifikasi gaming PC kelas high-end, tidak jarang harga GPU dan monitornya bersaing ketat. Terkadang malah harga monitornya bisa dua kali lipat sendiri. Salah satu contohnya adalah monitor istimewa besutan AOC berikut ini.

AOC AGON AG353UCG

Secara teknis, AOC AGON AG353UCG mengemas layar 35 inci beresolusi 3440 x 1440 pixel dengan aspect ratio super lebar (21:9). Seperti yang bisa kita lihat, layarnya yang menggunakan panel tipe VA ini juga melengkung, dengan tingkat kurvatur sebesar 1800R.

Ada beberapa hal yang membuatnya kelewat mahal. Yang pertama adalah refresh rate 200 Hz, dengan waktu respon 2 milidetik. Kedua, tingkat kecerahan maksimumnya tercatat di angka 1.000 nit, dan tentu saja ia sudah mengantongi sertifikasi DisplayHDR 1000 sekaligus G-Sync Ultimate dari Nvidia.

AOC AGON AG353UCG

Ketiga, AOC juga tidak lupa membanggakan teknologi quantom dot yang diusung monitor ini, yang berdampak langsung pada kemampuannya mereproduksi warna secara lebih akurat. Terakhir, monitor kelas sultan ini tidak pelit input: di samping port HDMI 2.0, ada sepasang port DisplayPort 1.4 dan empat port USB 3.1.

35 inci, 1440p, 200 Hz, 2 ms, DisplayHDR 1000, berapa biaya yang harus ditebus untuk semua itu? Di Inggris, monitor ini akan segera dipasarkan seharga £2.159, atau setara $2.780 kalau langsung dikonversi. Sebagai perbandingan, GPU RTX 2080 Ti yang sudah masuk kategori sultan dibanderol $1.199, tidak sampai separuhnya.

Sumber: PC Gamer.

 

Operator Baru Rainbow Six Siege: Iana dan Oryx, Apa Kelebihannya?

Dengan pengumuman update Operation Void Edge, diperkenalkan juga dua operator baru di Rainbow Six Siege yaitu Nienke “Iana” Meijer dan Saif “Oryx” Al Hadid. Dengan unique ability yang berbeda dari operator terdahulu, Iana dan Oryx akan memberi warna baru di dalam game. Di artikel ini, saya dan Ajie “WildLotus” Zata selaku Team Manager dari Team Scrypt akan menjelaskan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing operator baru ini.

Iana – Intel Gathering

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Sebelum membahas unique ability miliknya yaitu Gemini Replicator, saya akan membahas mengenai primary weapon-nya terlebih dahulu. Karena tidak sedikit pemain yang memilih operator dengan alasan primary weapon yang bagus. Iana memiliki ARX200 dan G36C yang terbilang mudah untuk dikendalikan recoil-nya. Selain itu, damage dari ARX200 tergolong besar (47 damage). Seharusnya, ARX200 akan lebih populer untuk dipilih dibandingkan G36C. Dan akan banyak pemain yang memilih Iana karena ARX200 yang ia miliki.

Gathering intel adalah kemampuan utama Iana. Melihat ia memiliki 2 drone ditambah Gemini Replicator. Totalnya ada tiga alat baginya untuk mengumpulkan informasi mengenai musuh. Menurut kami, Iana sangat berguna di dalam kondisi planting. Iana akan memanfaatkan informasi mengenai letak musuhnya ketika bomb defuser sudah dipasang. Dengan informasi tersebut, Iana bisa melakukan rotasi dengan mudah untuk menjaga bomb defuser. Karena ini, seharusnya operator Mute akan semakin populer untuk menghalangi intel gathering. 

Selain mengumpulkan informasi, Iana juga beguna untuk mengecoh lawannya. Sama seperti Alibi di posisi defender, hologram yang dikeluarkan juga memiliki potensi untuk membuat lawan bingung. Lawannya akan bertanya-tanya, apakah ini Iana asli atau tidak. Bisa dibilang seperti mind games, sangat sulit bagi musuh untuk mendeteksi Iana yang asli atau hologram. Ada beberapa alat yang bisa mendeteksi Iana, yaitu Evil Eye milik Maestro dan gadget Bulletproof Camera. Pasalnya, Evil Eye akan mendeteksi musuh dengan siluet berwarna putih. Hal tersebut karena Evil Eye juga mendeteksi panas tubuh lawannya. Apabila hologram milik Iana terlihat di Evil Eye, tidak akan terlihat siluet putihnya karena hologram tidak memiliki panas tubuh.

Kesimpulannya, Iana adalah seorang operator dengan kemampuan intel gathering ditambah primary weapon yang bagus. Tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak membelinya.

Oryx – King of Rotation

Sumber: Ubisoft
Sumber: Ubisoft

Senjata yang dimiliki Oryx juga mudah untuk digunakan. Walau memiliki damage yang kecil, MP5 tidak sulit untuk diatur recoil-nya. Tetapi MP5 milik Oryx tidak diberikan ACOG, berbeda dengan Doc atau Rook. Oryx juga memiliki barbed wire yang berguna untuk mendeteksi kedatangan musuh. Baliff 410 sebagai secondary weapon akan sangat berguna bagi Oryx untuk membuat rotasi baginya. Rotasi yang saya maksud di sini bukanlah breakable walls tetapi hatch yang bisa ia manfaatkan dengan unique ability-nya.

Oryx bisa melakukan rotasi yang tidak mungkin dilakukan oleh operator lain. Yaitu melakukan rotasi dengan memanjat hatch. Oryx dapat melakukan rotasi dengan sangat cepat dengan kemampuannya ini. Ia juga bisa memilih untuk langsung memanjat atau bergelantung untuk melihat sekitar terlebih dahulu.

Banyak yang membicarakan Remah Dash karena bisa menghancurkan breakable walls. Tetapi kami lebih melihat keunggulan Remah Dash di kemampuannya untuk berlari cepat. Walaupun dengan jarak yang pendek, Remah Dash akan sangat membantu Oryx untuk berpindah tempat lebih cepat. Remah Dash juga akan menjadi counter bagi tim yang menggunakan operator dengan shield seperti Montagne atau Blitz. Pasalnya apabila Remah Dash mengenai musuh, akan memberikan efek knock down selama beberapa detik yang cukup bagi Oryx untuk menghabisinya.

Inti dari Oryx di sini adalah rotasi yang cepat. Dengan Remah Dash, bisa memanjat hatch ditambah Baliff 410 sebagai secondary weapon menjadikan Oryx sebagai penguasa map.

THQ Nordic Garap Remake Gothic, RPG Legendaris yang Menginspirasi Seri The Witcher

Jauh sebelum The Witcher 3 mencuri hati para penggemar RPG, manusia lebih dulu mengenal game berjudul Gothic. Sama seperti seri The Witcher, Gothic merupakan action RPG dengan konsep open-world dan tampilan third-person. Pada kenyataannya, Gothic adalah salah satu inspirasi terbesar tim CD Projekt Red selama mengerjakan seri The Witcher.

Gothic dibuat oleh developer asal Jerman, Piranha Bytes. Dirilis pada tahun 2001, Gothic pada akhirnya melahirkan dua sekuel dan sejumlah spin-off. Piranha Bytes sendiri sekarang sudah menjadi bagian dari THQ Nordic, dan mereka juga sibuk mengembangkan franchise RPG lain, yakni ELEX.

Namun THQ Nordic rupanya menilai franchise Gothic terlalu ikonik untuk dilepas begitu saja. Mereka memutuskan untuk menggarap remake-nya, dan pada bulan Desember lalu, merilis versi demo-nya ke publik. Lewat demo tersebut, THQ berharap ada respon positif yang cukup sehingga mereka bisa lanjut mengerjakan Gothic Remake sepenuhnya.

Dan harapan mereka pun terkabul. Lebih dari 180.000 orang memainkan versi demo-nya, dan berdasarkan hasil survei mereka, 94,8 persen setuju THQ lanjut mengerjakan Gothic Remake hingga rampung. Seperti yang bisa kita lihat pada trailer versi demo-nya di atas, Gothic Remake digarap menggunakan engine baru yang sesuai dengan standar gaming terkini.

Meski tampak mengesankan, sebagian besar pemain yang menjajal versi demo-nya menuntut setting yang lebih kelam (lebih gothic) pada remake-nya. Kalau melihat video komparasi Gothic dan Gothic Remake di bawah ini, perbedaan atmosfer game-nya memang kelihatan cukup drastis.

Kabar baiknya, THQ berkomitmen untuk mempertimbangkan masukan dari mereka yang sempat menguji versi demo-nya. Gothic Remake masih jauh dari perilisan; THQ belum menentukan jadwal tetap, tapi yang pasti tidak di tahun 2020 ini. THQ juga bilang bahwa Gothic Remake bakal dikembangkan untuk platform PC dan console next-gen (PS5 dan Xbox).

Gothic memang menginspirasi seri The Witcher, namun tidak bisa dipungkiri bahwa versi remake-nya ini punya banyak kemiripan dengan The Witcher 3. Lokasi-lokasinya langsung mengingatkan saya pada kawasan Skellige di The Witcher 3, yang sendirinya banyak mengadopsi budaya Viking. Viking sendiri umumnya dianggap sebagai sepupu kaum Goth, meski keduanya berasal dari negara yang berbeda.

Sumber: Eurogamer dan THQ Nordic.