Bergembiralah Kawan, Borderlands 3 Resmi Diumumkan

Dalam menggarap tulisan, kami di DailySocial (dan Hybrid) selalu memprioritaskan kualitas dalam berbagi informasi pada para pecinta teknologi terlepas dari usia maupun minat Anda. Tanpa mengorbankan mutu, kali ini saya membuat satu perkecualian. Saya mendedikasikan artikel ini bagi Glenn, Yabes, dan seluruh penggemar Borderlands yang sudah menghabiskan ratusan (ribuan?) jam menikmati game-game di seri ini.

Setelah rumor, penantian panjang, masa-masa hening mencekam, serta hadirnya teaser beberapa hari lalu, Gearbox Software akhirnya resmi mengumumkan Borderlands 3 melalui penayangan trailer perdana di PAX East 2019. Video ini menunjukkan segala hal yang bisa Anda lakukan di permainan serta karakter-karakter yang akan ditemui dan gambaran mengenai para protagonisnya. Meneruskan tradisi pendahulunya, trailer turut diiringi alunan musik. Gearbox memilih lagu Can’t Hold Me Down dari GRiZ.

Untuk sekarang, segala detail mengenai Borderlands 3 hanya ada di trailer itu. Bahkan jika Anda mengunjungi situs resminya, hanya ada sebuah kalimat deskripsi game: ‘mayhem is coming‘. Satu hal yang dapat dipastikan ialah, Borderlands 3 kembali mengusung arahan visual cel-shaded ala komik. Namun jangan kecewa, karena ada banyak informasi yang bisa kita ekstrak dari video berdurasi 3 menit 40 detik tersebut.

Borderlands 3 tampaknya akan menjadi satu ajang reuni besar. Mereka yang mengikuti seri ini dari awal akan segera menjumpai wajah-wajah familier: Lilith, Maya, Brick, Mordecai, Zer0, Ellie, Sir Hammerlock, Rhys dari spin-off Tales from the Borderlands, lalu kita bisa melihat bagaimana Tiny Tina tak lagi kecil. Tentu saja robot narsis cerewet Claptrap juga akan kembali hadir, meski kemungkinan besar kita tidak dapat bermain sebagai dirinya seperti di Borderlands: The Pre-Sequel.

Berdasarkan rumor sebelumnya, Borderlands 3 akan memperkenalkan empat pahlawan baru, yaitu Moze (prajurit), Amara (siren), Zane (assassin) dan Flak (hunter). Jika laporan ini akurat, maka formasi tokoh protagonisnya tak terlalu berbeda dari game terdahulu. Saya pribadi berharap agar gamer juga diberikan pilihan buat bermain sebagai karakter-karakter lawas.

Borderlands 3 1.

Ada dugaan kuat Borderlands 3 kembali mengambil latar belakang planet Pandora. Bedanya, permainan akan menyajikan lokasi lebih bervariasi. Pandora memang didominasi oleh padang pasir dan pemukiman kumuh, tetapi trailer juga menunjukkan tempat-tempat dengan pohon raksasa serta kota megah futuristis berisi gedung-gedung pencakar langit. Pertanyaannya adalah, apakah kota metropolis tersebut berada di Pandora atau bagian dari planet lain?

Segala detail mengenai Borderlands 3 rencananya akan diungkap pada tanggal 3 April 2019, termasuk waktu rilis dan platform tempat permainan tersedia. Tebakan saya, game dijadwalkan untuk meluncur di tahun ini juga karena tidak ada alasan kuat bagi Gearbox dan 2K Games buat menundanya lagi.

Tambahan: PC Gamer.

Divinity: Fallen Heroes Ialah Sekuel Original Sin II Dengan Sentuhan ala XCOM

Bersama The Witcher 3 dan trilogi Dark Souls, banyak orang setuju bahwa Divinity: Original Sin II merupakan permainan role-playing modern terpenting. Game kreasi Larian Studios itu istimewa berkat kombinasi kompleksnya dunia dan cerita, karakter-karakter unik, serta bagaimana ia memberikan para pemain keleluasaan dalam memecahkan masalah dan menyelesaikan tugas.

Dua tahun hampir berlalu semenjak Divinity: Original Sin II melakukan debutnya di Windows. Dan secara mendadak, tim developer dari Belgia itu mengumumkan Divinity: Fallen Heroes di tengah minggu ini. Game baru tersebut sangat menarik karena berperan sebagai sekuel sekaligus spin-off dari Original Sin II. Lewat pengembangannya, Larian mecoba bereksperimen dengan formula baru, berangkat dari gameplay taktis di dua Original Sin terdahulu.

Fallen Heroes mungkin bisa dideskripsikan sebagai Final Fantasy Tactics-nya seri Divinity. Dan menggali lebih dalam, game punya sejumlah kesamaan dengan seri XCOM. Itu artinya, ia siap memuaskan dahaga penggemar permainan strategi kelas kakap – tetapi dilatarbelakangi jagat fantasi, bukan sci-fi. Di sana Anda dapat merekrut pasukan dari berbagai ras, lalu meng-upgrade dan membekali mereka dengan perlengkapan yang lebih baik.

Uniknya, kita akan menemui banyak hal familier di Divinity: Fallen Heroes. Pertama, karakter-karakter Divinity: Original Sin II seperti Malady, Fane, Ifan, Lohse, Sebille, Red Prince, dan Beast akan hadir lagi serta membantu Anda mengerjakan misi. Kedua, perahu perang Lady Vengeance kembali jadi markas dan pusat misi. Anda tidak bisa membangun atau menambah ruang seperti di XCOM, tapi dipersilakan buat mengunjungi area berbeda dan berdialog dengan penghuninya.

Satu lagi kesamaan antara Fallen Heroes dan XCOM adalah sistem kematian permanen. Itu artinya, keputusan keliru dapat menyebabkan karakter favorit yang telah Anda asuh sedimikian rupa tewas. Game juga tidak kalah menantang: musuh akan mencoba menyergap Anda dan mereka bisa menggunakan kemampuan serupa para hero di tim Anda. Untuk meminimalkan korban, pemain dituntut buat berpikir dan mengeksekusi langkah matang-matang.

Seperti dalam Original Sin, elemen memegang peranan penting dalam pertempuran. Genangan oli bisa menghambat gerakan musuh dan membakar mereka jika disulut api. Lawan yang basah kuyup dapat lebih mudah membeku. Lalu selain mematikan, elemen racun bisa pula meledak. Namun berbeda dari XCOM, beberapa level punya kondisi kemenangan yang bervariasi karena Fallen Heroes juga mengedepankan elemen narasi dan cerita.

Divinity: Fallen Heroes diproduksi secara kolaboratif oleh Larian dan Logic Artists. Game dijadwalkan untuk meluncur di sejumlah platform gaming di tahun ini juga, tetapi developer belum mengungkap detailnya secara lebih spesifik. Tebakan saya, Fallen Heroes kemungkinan akan tersedia di PC, Xbox One dan PS4 – dan saya pribadi berharap ada versi Nintendo Switch-nya.

Sumber: Situs Divinty: Fallen Heroes. Tambahan: PC Gamer.

[Opini] 4 Hal yang Perlu Respawn Benahi dalam Sistem Monetisasi Apex Legends

Apex Legends adalah sebuah game yang keren dan seru untuk dimainkan. Saya rasa untuk hal ini sebagian besar dari kita bisa sepakat. Akan tetapi apakah Apex Legends bisa bertahan di jangka panjang serta menyaingi dominasi Fortnite dan PUBG, itu masih butuh pembuktian. Semua tergantung dari bagaimana strategi Respawn Entertainment menjaga agar game ini tetap menarik, dan bila perlu, memiliki ekosistem esports yang kuat.

Sayangnya, ada satu hal dalam Apex Legends yang cukup banyak dikeluhkan oleh pemain selama ini: sistem monetisasi di dalamnya terasa tidak nyaman dan tidak menimbulkan rasa senang yang kuat. Bila meminjam istilah dari Marie Kondo, monetisasi dalam Apex Legends sejauh ini masih tidak spark joy, kecuali mungkin bila Anda sangat beruntung dan mendapatkan Heirloom Set.

Di tengah banyaknya pesaing baik dari genre yang sama ataupun tidak, Respawn jelas berada di bawah tekanan untuk menghadirkan pengalaman di atas standar pasar. Menurut saya setidaknya empat hal dalam Apex Legends yang bisa dibenahi oleh Respawn untuk membuat monetisasi di dalamnya lebih menyenangkan penggemar. Berikut ini empat hal tersebut.

Imbalan dari progresi level

Sistem monetisasi utama dalam Apex Legends hadir dalam wujud loot box bernama Apex Pack. Selain dengan cara membeli, pemain juga bisa memperoleh Apex Pack secara gratis dengan cara menaikkan level. Namun setelah Anda bermain hingga melampaui level 20, Anda akan menyadari sesuatu. Anda level up, namun tidak mendapatkan Apex Pack.

Ternyata, mulai level 21 ke atas, Apex Pack hanya akan Anda dapatkan setiap 2 level sekali. Nantinya progresi ini akan berubah lagi, mulai level 51 Anda hanya bisa mendapat Apex Pack setiap 5 level sekali. Imbalan yang kita dapatkan dari menaikkan level ternyata tidak linear, tapi akan semakin sedikit seiring makin lama kita bermain.

Kita bisa memaklumi bahwa Respawn tidak mungkin memberikan Apex Pack secara gratis begitu saja. Namun perasaan yang ditimbulkan dari strategi ini adalah perasaan yang sangat negatif. Sebagai pemain kita akan merasa kecewa, atau malah tertipu, karena sudah begitu semangat menaikkan level namun ternyata tidak menemukan Apex Pack yang merupakan insentif untuk bermain terus-menerus. Strategi ini juga terasa menipulatif karena mendorong pemain yang sudah “kecanduan” perasaan senang dari membuka Apex Pack untuk merogoh kocek agar dapat merasakan kesenangan itu lagi.

Apex Legends - Wild Frontier Skins
Beberapa Skin dari Battle Pass Season 1 | Sumber: EA

Coba kita bandingkan dengan monetisasi game lain, misalnya Overwatch. Dalam Overwatch, loot box pasti kita dapatkan setiap kali kita naik level. Kebutuhan experience point untuk menaikkan level itu akan meningkat pelan-pelan (maksimum 22.000 XP), tapi pemain tetap akan mendapat satu loot box setiap satu level. Dengan sistem demikian, pemain selalu memiliki target yang terukur untuk diraih, sehingga insentif yang diberikan terasa adil. Ini memberikan perasaan positif yang membuat penggemar Overwatch bersemangat untuk terus bermain.

Overwatch memang memiliki satu keuntungan dibanding Apex Legends, yaitu bahwa game tersebut adalah game premium. Blizzard sudah mendapatkan revenue walaupun pemain tidak membeli loot box. Tapi justru karena itulah Respawn harus lebih berhati-hati. Karena Apex Legends adalah produk free-to-play, pemain tidak terikat komitmen apa pun untuk terus bermain dan bisa pergi sewaktu-waktu. Strategi yang memunculkan emosi negatif terus-menerus bisa membuat pengguna kehilangan minat sehingga retention anjlok. Saat ini Respawn boleh bangga karena memiliki 50 juta pemain, tapi berapa banyak dari mereka yang akan setia?

Denominasi harga barang

Selain progresi level, cara Respawn memasang harga untuk beberapa item juga terasa sedikit manipulatif. Pertama-tama kita lihat dulu bagaimana mereka menjual Apex Coin, mata uang premium dalam Apex Legends. Untuk paket termurah, Anda dapat membeli 1.000 Coin dngan harga US$9,99 (sekitar Rp142.000). Semakin besar paket yang Anda pilih, Anda akan mendapat Coin bonus sesuai paketnya, hingga paket terbesar yaitu 11.500 Coin seharga US$99,99 (sekitar Rp1,42 juta).

Apex Legends - Apex Coins

Ini adalah cara penjualan yang bagus, karena pemain akan mendapat insentif lebih bila mereka mau merogoh kocek lebih dalam. Banyak game juga sudah menerapkan sistem serupa. Akan tetapi bila kita perhatikan baik-baik, tampak ada usaha untuk cross-selling di sana-sini yang muncul dari cara Respawn memasang harga barang yang bisa dibeli dengan Apex Coin.

Harga Battle Pass adalah kasus yang paling jelas terlihat. Di Apex Legends, Battle Pass dijual dengan harga 950 Apex Coin. Anda bisa mendapatkannya dengan membeli paket Apex Coin termurah. Tapi kemudian Anda akan memiliki sisa sebesar 50 Coin. Apa yang bisa Anda lakukan dengan 50 Coin? Tidak ada. Untuk membeli 1 Apex Pack, Anda butuh 100 Coin. Jadi Anda berakhir dengan sejumlah Coin yang tidak berguna, kecuali bila Anda membeli Coin tambahan.

Hal yang sama juga terjadi di penjualan Legend (karakter) yang dibanderol dengan harga 750 Coin. Ini hanya tebakan saya, tapi sepertinya Respawn memang sengaja memasang harga-harga seperti ini agar Coin pemain selalu bersisa dan mereka terdorong untuk membeli lagi.

Bila kita bandingkan dengan game lain, Mobile Legends misalnya, kita punya pilihan untuk membeli berbagai barang dengan harga Diamond murah. Meski barangnya hanya berupa Emblem atau kesempatan gacha, kita dapat memanfaatkan Diamond itu hingga habis (atau nyaris habis). Saya berharap Apex Legends juga menawarkan pilihan serupa di masa depan.

Kemudahan mendapat Skin

Ini juga merupakan poin yang cukup patut disayangkan, yaitu banyaknya Skin yang bentuknya tidak jauh berbeda dari penampilan default, hanya berupa perubahan warna saja. Memang untuk Skin dengan tingkat kelangkaan Rare atau di atasnya tidak sekadar perbedaan warna, melainkan juga ditambah dengan perubahan motif atau tekstur. Tapi tetap saja penampilannya tidak berbeda jauh. Skin karakter hanya akan memberikan perubahan model 3D untuk kelangkaan Legendary, yang mana kemungkinan mendapatkannya dari Apex Pack hanya 7,4%.

Sebetulnya di masalah pemberian konten Skin ini Respawn sudah melakukan banyak langkah yang tepat. Contohnya dengan memasang sistem “bad luck protection”, di mana pemain pasti mendapat minimal 1 item Legendary setiap membuka 30 Apex Pack. Selain itu, Respawn juga memastikan bahwa konten Apex Pack tidak akan pernah mengalami duplikasi.

Tapi karena Apex Pack sifatnya random, andai pun kita mendapat item Legendary belum tentu itu Skin yang kita inginkan. Item Legendary bahkan belum tentu berupa Skin karakter. Bisa saja kita mendapat item Legendary namun ternyata tidak berguna, misalnya Weapon Skin untuk Mozambique.

Apex Legends - Featured Skin

Bila ingin yang pasti-pasti saja, kita bisa membeli Legendary Skin dengan harga 1.800 Apex Coin. Itu berarti setara dengan kira-kira US$18, atau Rp256.000. Apakah harga ini bisa diterima atau tidak tentu subjektif, tapi saya sendiri merasa masih wajar apabila memang untuk Skin yang sangat keren. Masalahnya, kita tidak bisa membeli Skin dengan bebas setiap saat. Kita hanya bisa membeli Skin yang sedang “Featured”.

Featured Skin ini berubah setiap minggunya, dan isinya tidak menentu. Terkadang Respawn hanya menawarkan 1 Skin untuk 1 Legend, sementara sisanya adalah Weapon Skin. Pernah juga mereka menawarkan 2 Skin untuk 1 Legend, atau 3 Skin untuk 3 Legend berbeda. Selain membuat kita tidak bisa membeli barang yang diinginkan, sistem Featured Skin ini juga terasa agak manipulatif karena mendorong kita untuk cepat-cepat membeli ketika Skin yang kita inginkan muncul.

Imbalan dari Battle Pass

Ini adalah poin yang sangat bisa diperdebatkan karena sifatnya memang sangat subjektif. Menurut pendapat saya Battle Pass Season 1 di Apex Legends ini terasa kurang menarik karena tiga hal. Pertama, kita butuh sangat banyak grinding untuk mendapatkan imbalan yang keren. Kedua, banyak imbalan yang terasa tidak berguna. Dan ketiga, imbalan yang kita dapat masih dipengaruhi lagi oleh keberuntungan.

Mari kita bahas mulai dari hal-hal baiknya. Ketika kita membeli Battle Pass, kita langsung mendapatkan 3 Skin eksklusif bertema Wild Frontier untuk Wraith, Mirage, dan Lifeline. Skin yang ditawarkan hanya setingkat Rare, namun sudah cukup menarik dan berjumlah banyak, jadi ini adalah awal yang baik.

Battle Pass kemudian menawarkan berbagai imbalan tambahan setiap kita menaikkan levelnya. Sebagian imbalan ini cukup menarik, contohnya Weapon Skin untuk senjata-senjata tertentu, Banner Frame, bahkan Apex Coin. Imbalan paling mencolok muncul di level 51, 100, dan 110, yaitu Legendary Weapon Skin untuk senjata Prowler dan Havoc. Level 48 juga memberikan satu lagi Rare Skin untuk karakter Octane.

Sampai sini Battle Pass terlihat cukup menarik, tapi bila kita perhatikan lebih jauh maka kita akan melihat masalah muncul. Ternyata dari imbalan-imbalan itu, 20 di antaranya hanya berupa Banner Badge, alias ikon yang bisa kita pasang di Banner untuk menunjukkan berapa level Battle Pass kita. Banyak juga imbalan lain yang tidak begitu bernilai, seperti Stat Tracker atau Intro Quip.

Apex Legends - Battle Pass Rewards

Jumlah experience (XP) yang kita butuhkan untuk meningkatkan level juga cukup tinggi, yaitu 29.500 poin. Sebagai perbandingan, satu kali mendapatkan Champion of the Arena akan memberikan kita sekitar 6.000 XP. Bila satu pertandingan makan waktu 20 menit, maka untuk meraih 1 level kita butuh meraih 6 kali Champion dengan durasi permainan 2 jam. Tapi kita sama-sama tahu bahwa meraih Champion terus-menerus di battle royale adalah hal yang sulit. Rata-rata dalam satu pertandingan mungkin kita akan mendapat 3.000 – 4.000 XP saja.

Respawn memaparkan bahwa untuk mencapai level 100 di Battle Pass, waktu bermain yang dibutuhkan adalah kurang lebih 100 jam (1 jam per level). Tapi karena jumlah experience yang didapatkan bervariasi, angka tersebut tentu tidak pasti. Banyak pemain di forum Reddit yang telah mengekspresikan kekecewaannya karena tidak berhasil level up meski sudah bermain selama 2 – 3 jam. Respawn memang menawarkan bonus experience dengan cara berganti-ganti karakter, tapi itu berarti kita disuruh bermain bagus dengan karakter yang tak terbiasa kita gunakan.

Sebagian dari imbalan yang ditawarkan juga berupa Apex Pack, itu artinya kita butuh keberuntungan lagi untuk mendapatkan barang yang kita inginkan. Respawn memang menawarkan Epic Apex Pack dan Legendary Apex Pack di level 26 dan 86, jadi kita dipastikan akan mendapat item dengan kelangkaan tinggi. Tapi seperti sudah dibahas di poin sebelumnya, belum tentu item yang kita dapat itu berguna.

Developer game bukan badan amal, jadi wajar saja bila mereka ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tapi saya rasa itu bukan alasan yang tepat untuk membuat pemain merasa tidak nyaman atau kecewa. Bila produk yang ditawarkan bagus, penggemar pasti mau mengeluarkan uang untuk mendukung developer. Tapi semakin sering developer membuat penggemar kecewa, reputasi mereka akan turun dan pelan-pelan penggemar pun akan pergi.

Saya berharap Respawn bisa meluncurkan sistem monetisasi yang lebih baik lagi, yang benar-benar membuat pemain excited dan tak keberatan membuka dompet. Lagi pula di luar sana sudah banyak contoh game yang berhasil melakukannya. Lihat saja Dota 2 atau Rainbow Six: Siege yang punya fanbase sangat kuat dan bisa bertahan dalam waktu lama. Apex Legends pun saya yakin bisa seperti itu.

Batalkan Tuntutan Hukum, PUBG Corp dan NetEase Akhirnya Berdamai

Perseteruan di dunia battle royale tidak hanya terjadi antar para pemainnya, tapi juga antar para developernya. Dengan meledaknya PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) beberapa tahun terakhir, bukan kejutan bila kemudian muncul developer-developer lain yang meluncurkan game dengan tema serupa. Dan terkadang kemiripan itu dapat menimbulkan masalah, bahkan sampai berlanjut ke urusan meja hijau alias pengadilan.

Hal itulah yang terjadi antara PUBG Corp dengan NetEase, developer asal Tiongkok yang merupakan kreator dari game Knives Out dan Rules of Survival. Bulan April 2018 kemarin PUBG Corp menuntut NetEase atas tuduhan menciptakan dua mobile game yang sangat mirip dengan PUBG untuk “mencuri” audiens milik PUBG, terutama menjelang peluncuran PUBG versi mobile. Saat itu PUBG Corp menunjukkan berbagai elemen visual, audio, serta gameplay yang menunjukkan bahwa karya-karya NetEase memang serupa dengan PUBG.

PUBG RoS - Comparison
Kemiripan PUBG dengan Rules of Survival yang dipermasalahkan | Sumber: McArthur Law Firm

Tak terima dituduh menyontek, NetEase pun membalas tuntutan PUBG Corp dengan tuntutan lain. Mereka menuduh bahwa PUBG Corp sedang berusaha memonopoli genre battle royale, sehingga menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi secara adil. NetEase memprotes tindakan PUBG Corp yang seolah berusaha untuk mengklaim hak cipta atas elemen-elemen game yang umum, seperti tampilan health bar, fitur lobby, hingga kalimat “Winner Winner Chicken Dinner” yang merupakan jargon populer di Las Vegas.

Baik PUBG, PUBG Mobile, Knives Out, serta Rules of Survival kini sama-sama sudah beredar di pasaran dan meraih kesuksesan masing-masing. Knives Out, misalnya, dilaporkan telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna terdaftar dan mendatangkan penjualan senilai kurang lebih US$24.000.000 (sekitar Rp340 miliar). Terlebih-lebih PUBG Mobile, jangan ditanya lagi. Hanya setahun setelah rilis, game ini menghasilkan revenue sebesar US$242.000.000 (sekitar Rp3,4 triliun).

Persaingan dua perusahaan ini menyangkut jumlah uang yang sangat besar, jadi wajar saja bila PUBG Corp mengambil langkah untuk melindungi hak cipta mereka. Tapi di sisi lain argumen NetEase juga tidak salah, karena selama mereka tidak mencuri source code atau aset audio visual PUBG secara langsung, elemen-elemen dalam sebuah game secara sendiri-sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dipatenkan.

DOOM - Screenshot
DOOM bukan first-person shooter pertama, tapi DOOM mempopulerkan genre tersebut | Sumber: Steam

Dulu ketika DOOM muncul pada tahun 1993, developer seluruh dunia berbondong-bondong menciptakan game dengan fitur serta tampilan visual menyerupai DOOM. Pada awalnya berbagai game itu disebut sebagai “DOOM clone”, tapi kini sudah tidak ada yang menggunakan istilah itu. “DOOM clone” telah berubah menjadi genre baru yaitu first-person shooter, dan hal yang sama pun sedang terjadi dengan PUBG dan genre battle royale.

Mungkin karena sadar bahwa bertengkar di meja hijau tidak akan mendatangkan hasil, kini PUBG Corp dan NetEase dilaporkan telah mencapai suatu kesepakatan dan akan membatalkan tuntutan mereka. Isi kesepakatan itu sendiri sifatnya rahasia, jadi kita tidak tahu seperti apa detailnya (misalnya apakah NetEase setuju untuk mengubah unsur-unsur game mereka yang mirip PUBG).

Kita pantau saja dalam beberapa bulan ke depan, apakah akan muncul perubahan drastis di Knives Out dan Rules of Survival atau tidak. Bila ternyata tidak terjadi, itu artinya PUBG Corp dan NetEase benar-benar telah berdamai.

Sumber: gamesindustry.biz, McArthur Law Firm

Promosikan Politik Tanpa Polemik, Toge Productions Rilis Board Game Circus Politicus

Indonesia sedang dilanda kehangatan suasana politik jelang pemilihan presiden di tanggal 17 April nanti, dan Toge Productions sebagai salah satu developer/penerbit game lokal ternama tidak ketinggalan untuk turut meramaikan. Kali ini mereka menawarkan hiburan bukan dalam produk video game, melainkan board game dengan judul Circus Politicus. Ini adalah langkah pertama Toge Productions di dunia board game setelah mengembangkan video game selama sepuluh tahun.

Bisa ditebak dari judulnya, Circus Politicus adalah board game jenaka yang bertema parodi cerita-cerita politik baik di dalam maupun di luar negeri. Terinspirasi dari tokoh-tokoh serta berbagai kejadian penting di dunia nyata, Circus Polticus menempatkan kita dalam posisi manajer tim sukses pasangan kandidat politik. Pemain harus mengatur strategi, berkonspirasi, serta meraih suara lewat janji-janji demi memenangkan agenda politik calon yang mereka usung.

Circus Politicus - Characters
Karakter-karakter Circus Politicus | Sumber: Toge Productions

Anda akan bertemu dengan karakter-karakter kocak yang merupakan pelesetan dari tokoh politik sungguhan, seperti Jokowo, Prabowi, Theresa June, Donold Trump, Jim Kong Un, dan sebagainya. Tokoh-tokoh ini disuguhkan dalam wujud kartu dengan karikatur menarik karya ilustrator asal Jakarta, WD Willy. Toge Productions mengemas Circus Politicus sebagai board game dengan aturan main simpel, namun tetap memiliki strategi mendalam.

Circus Politicus - Back Cover
Circus Politicus bisa dimainkan oleh 2 – 4 pemain | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus pada awalnya lahir dari acara Global Game Jam 2017, di mana para peserta ditantang untuk menciptakan game dalam waktu 48 jam saja. Menurut Kris Antoni, CEO Toge Productions, saat itulah mereka menciptakan prototipe Circus Politicus dan langsung melihat bahwa game ini memiliki potensi.

Circus Politicus - Cards
Gunakan berbagai manuver politik | Sumber: Toge Productions

“Sempat ada banyak diskusi tentang tema yang akan diangkat permainan ini, namun setelah melihat aturan bermain yang makin diperbaharui serta menyaksikan ramainya pembicaraan yang terjadi di dunia maya, kami putukan untuk menjadikan Circus Politicus sebuah game parodi bertema politik. Jadilah sebuah permainan politik tanpa polemik,” kata Kris dalam siaran pers.

Circus Politicus - Play Session
Play session Circus Politicus di Arcanum Hobbies, Kuningan City | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus tersedia di pasaran mulai tanggal 25 Maret 2019 dengan harga banderol Rp200.000. Bagi para peminat, pemesanan sudah dapat dilakukan melalui halaman Tokopedia milik Toge Productions. Game ini juga akan tersedia secara offline di berbagai toko board game di Indonesia. Toge Productions berharap Circus Politicus bukan hanya menjadi hiburan, namun juga dapat menjadi sarana untuk mendamaikan masyarakat Indonesia yang bermusuhan akibat mendukung pasangan calon berbeda, sekaligus menyadarkan kita supaya tidak termakan strategi-strategi politik yang dapat memecah belah bangsa.

Berkenalan Dengan Emago, Platform Cloud Gaming Dalam Negeri

Cloud gaming? Istilah ini mungkin terasa asing, tapi jangan salah kira bahwa ini adalah bermain game di atas awan. Istilah cloud gaming ini sebenarnya digunakan untuk menjelaskan cara baru bermain game, yaitu dengan streaming konten game dari komputer server ke komputer pengguna. Tak terbayangkan? Itulah teknologi, berkat teknologi banyak hal jadi dimungkinkan, bahkan memunculkan suatu jenis produk baru yang tidak terpikirkan atau terasa asing sebelumnya.

Bicara soal cloud gaming, selain Google yang baru rilis Stadia, Indonesia ternyata punya teknologi serupa. Produk tersebut bernama Emago, yang sekarang berubah nama menjadi Gameqoo setelah diakuisisi oleh Telkom Indonesia. Penasaran dengan teknologi yang mungkin bisa menjadi tren baru di dalam gaming, kami pun mewawancara CEO dari Emago Cloud Gaming, Izzudin Al Azzam. Berikut hasil bincang-bincang kami.

Cloud Gaming, Ketika Main Game Jadi Ringan Seperti Streaming Video

Meskipun teknologi ini telah menjadi buah bibir belakangan, namun saya sendiri sejujurnya masih belum paham bagaimana teknologi cloud gaming bekerja. Azzam lalu menjelaskan teknologi ini seperti menjelaskannya kepada anak umur lima tahun, agar bisa dipahami oleh saya yang kadang gagap teknologi ini.

Agar lebih jelas Azzam menjelaskannya dengan cara teknis, tapi versi lebih sederhana. Jadi intinya begini, ada sebuah PC Server yang menjalankan sebuah game. Lalu dengan menggunakan internet, game yang dijalankan pada PC Server ditayangkan atau di-stream ke komputer yang kita gunakan.

Jadi sebenarnya, teknis cloud gaming bisa dibilang hampir sama persis dengan streaming video. Perbedaan utamanya mungkin ada pada dua hal: 1) Cloud gaming memungkinkan kita memberi input kepada konten yang di-stream, 2) Tak seperti streaming video, server cloud gaming membutuhkan komputasi grafis.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Walau teknologi ini masih sangat baru, namun Azzam mengaku sudah mulai mengembangkan Emago sedikit demi sedikit sejak tahun 2016 akhir. Awal pengembangannya cukup sederhana, ia hanya bermodal satu PC yang kuat untuk main game, internet, dan PC biasa saja untuk streaming konten game dari PC tersebut. Percobaan tersebut ternyata berhasil dan Azzam akhirnya mencoba untuk scale up atau membesarkan basis teknologi tersebut.

Landasan permasalahan Azzam ketika membuat Emago sebenarnya cukup sederhana. Sebagai gamers ia merasakan keresahan tersendiri, yaitu game PC yang terus rilis baru secara rutin, dan memiliki harga yang cukup mahal. Mencoba mempelajari apa yang dilakukan oleh negara maju, akhirnya tercetuslah percobaan pembuatan cloud gaming, dan sampai akhirnya memunculkan brand Emago. Ia membuat hal ini dengan harapan agar gamers di berbagai belahan Indonesia bisa mengakses game dengan lebih mudah dan murah; tak perlu PC mewah, cukup satu kali bayar untuk main banyak game.

Tetapi sebagai ganti dari PC mahal dan harga berlangganan yang cukup terjangkau, Anda sebagai pengguna harus memiliki internet yang stabil untuk bisa bermain game pakai Emago. “Kita bahkan pernah coba main game pakai USB Stick PC, dan di situ Emago bisa berjalan. Tapi pastikan internet Anda stabil, sebab internet yang tak stabil tentu akan membuat pengalaman bermain Anda jadi tidak nyaman. Entah membuat konten streaming jadi lebih rendah kualitasnya, atau input kontrol Anda yang menjadi delay.” jawab Azzam.

Emago dan Tantangan Infrastruktur di Indonesia

Sumber:
Sumber: Pythian

Kalau kita bicara permasalahan startup teknologi di Indonesia, biasanya yang paling sering menjadi pembicaraan adalah soal tantangan infrastruktur. Kesulitan tantangan tersebut semakin meningkat, karena bentuk alami Indonesia adalah negara kepulauan. Dalam hal teknologi cloud gaming seperti Emago, hal ini sebenarnya adalah salah satu permasalahan utama. Mengapa? Karena cloud gaming membutuhkan infrastruktur internet yang mapan.

Tetapi, selalu ada berbagai sisi dari sebuah masalah, tergantung dari mana sudut pandang Anda melihatnya. Pada satu sisi, hal tersebut bisa jadi adalah masalah. Sementara pada sisi lain, hal tersebut bisa jadi sebuah peluang. Azzam berada di sisi satunya, yang menganggap bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia sebagai sebuah peluang.

Azzam mengutip Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, membicarakan soal ini. “Kalau kalian bikin teknologi tapi infrastrukturnya sudah siap, kalian sudah pasti telat. Jadi kalian harus bikin teknologi saat infrastrukturnya belum siap, sebab butuh pembelajaran untuk mengembangkan hal tersebut.” kata Azzam kepada Hybrid.

Maka dari itu Azzam bersikukuh untuk mengembangkan Emago sejak dini, sejak saat infrastruktur internet di Indonesia masih menjadi masalah. Harapannya adalah, ketika infrastruktur internet Indonesia sudah mapan, produk cloud gaming buatannya sudah sempurna, dan bisa dinikmati oleh para pengguna.

Hal ini juga yang menjadi alasan kerjasama Emago dengan Telkom, demi memperkuat teknologi cloud gaming miliknya. Menurut Azzam, setidaknya ada dua hal esensial dalam mengembangkan cloud gaming, yaitu dari sisi hardware (PC server yang kuat), dan infrastruktur telekomunikasi (Internet).

Untuk soal hardware, Emago kini bekerja sama dengan Intel untuk menyediakan PC server yang kuat. Lalu untuk soal internet, mereka bekerja sama dengan Telkom agar teknologi cloud gaming mereka dapat berjalan dengan lancar, di atas infrastruktur internet Telkom.

Sumber:
Sumber: 9to5google

Masih bicara soal tantangan, hal selanjutnya yang harus dihadapi adalah persaingan. Seperti yang Anda tahu, Google hadir dengan produk cloud gaming bernama Stadia, Microsoft juga mengembangkan hal tersebut, belum lagi produk cloud gaming lain seperti Skyegrid, Vortex, dan lain sebagainya. Azzam cukup percaya diri menghadapi hal ini, karena apa yang ia lakukan semuanya berbasis di Indonesia.

“Tak usah khawatir soal lag atau delay ketika bermain dengan menggunakan Emago, karena semua infrastruktur kami berbasis di Indonesia. Server kami ada di Indonesia, ditambah lagi kami juga bekerja sama dengan Telkom Indonesia untuk urusan network. Jadi bisa dijamin pengalaman bermain Anda menggunakan Emago akan lebih lancar, jika dibandingkan produk cloud gaming lainnya.” Azzam menambahkan.

Cloud Gaming dan Ekosistem Esports

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Bicara gaming di zaman sekarang, rasanya belum lengkap kalau tidak memasukkan topik seputar esports. Sampai saat ini, kompetisi esports dianggap menjadi salah satu alat marketing yang unik dalam industri game. Terutama untuk game yang sifatnya multiplayer dan kompetitif. Tambah lagi, kebanyakan game yang populer belakangan juga sifatnya multiplayer, kompetitif, dan butuh respon serba cepat.

Berlandaskan hal tersebut, saya jadi penasaran, bagaimana cara kerja cloud gaming untuk main game multiplayer? Apakah mungkin cloud gaming bisa digunakan untuk esports? Bisa atau tidak, Azzam mengatakan sebenarnya bisa saja, tapi bukan untuk saat ini.

Untuk bermain game multiplayer dengan teknologi ini, setidaknya ada tiga PC yang harus disambungkan dengan internet. Pertama PC sang pengguna, kedua PC server platform cloud gaming, ketiga PC server game multiplayer yang dimainkan. Jadi sederhananya, alur koneksi internet saat memainkan game multiplayer dengan cloud gaming adalah: Dari user, ke PC server cloud gaming, ke PC server game, kembali ke PC server cloud gaming, baru kembali ke PC user.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Proses yang cukup panjang bukan? Maka dari itu untuk sementara waktu, basis teknologi ini akan lebih maksimal jika digunakan untuk main game single-player. “Saya sudah sempat mencoba menggunakan teknologi ini untuk bermain Dota 2, dan ternyata ping yang dihasilkan bisa mencapai 200ms. Tentunya hal ini akan memberikan pengalaman bermain yang sangat tidak nyaman, maka dari itu menurut saya untuk sementara waktu cloud gaming belum siap untuk game esports.” ujar Azzam.

Menutup obrolan, saya mempertanyakan soal masa depan hubungan antara cloud gaming dengan esports. Akankah di masa depan kegiatan semua kegiatan esports menggunakan cloud gaming? Azzam cukup bijak dalam menjawab hal ini, menurutnya kalau hanya terbatas sampai casual player saja, bisa jadi. Tetapi kalau untuk professional use, kemungkinan besar akan tetap menggunakan hardware.

“Melihat perkembangan game yang lebih cepat daripada perkembangan hardware, maka menurut saya masa depan game kompetitif atau esports juga akan berada di cloud gaming. Nafas dari cloud gaming adalah filosofi sharing resource. Jadi dengan dibuatnya basis teknologi ini, harapannya agar semua orang punya akses lebih mudah dan ekonomis terhadap game, termasuk game esports. Tetapi kalau bicara untuk penggunaan professional, tentu akan beda lagi. Mereka pasti tetap butuh segala hardware yang terbaik untuk memaksimalkan permainan mereka.” Jawab Azzam memperjelas.

Mendengar penjelasan Azzam seputar Emago dan platform teknologi cloud gaming, membuka pikiran saya soal masa depan gaming dan platform teknologi cloud gaming. Maksudnya begini, kalau semua orang punya akses yang mudah dan ekonomis terhadap konten game, untuk apa harus memilih yang lebih mahal?

Namun kemudahan akses ini, untuk sementara waktu, datang dengan kompromi tertentu seperti: tidak bisa bermain mulus 144 FPS, kualitas grafis super jernih 4K, atau pengaturan grafis rata kanan. Tetapi saya setuju dengan apa yang dikatakan Azzam soal alasan dia mengembangkan teknologi ini sebelum infrastruktur di Indonesia siap.

Nantinya, kalau infrastruktur internet Indonesia sudah lebih mapan, teknologi cloud gaming diharapkan sudah sama majunya. Jadi, harapannya sudah tidak ada lagi kompromi-kompromi yang saya sebutkan di atas. Nantinya tak peduli siapapun Anda, di mana Anda tinggal, Anda tetap bisa bermain game dengan mulus memanfaatkan platform cloud gaming.

Sederet Game Blockbuster dan PlayStation Kini Jadi Judul Eksklusif Epic Games Store

Di momen peluncuran Epic Games Store, CEO Tim Sweeney sempat menyampaikan bahwa platform distribusi mereka itu tidak diciptakan untuk menyaingi Steam. Tapi kenyataannya, kompetisi tak bisa dihindari. Porsi pembagian keuntungan yang menggiurkan pertama-tama mendorong developer indie untuk bermigrasi. Lalu tak lama, studio-studio besar tergoda buat melakukan kesepakatan eksklusif dengan Epic.

Alhasil, game-game kelas berat seperti Metro Exodus dan The Division 2      sementara ini cuma bisa dibeli di Epic Games Store. Dan dalam waktu dekat Jumlahnya dipastikan akan bertambah banyak setelah perusahaan melakukan pengumuman besar di Game Developers Conference minggu ini. Epic mengabarkan bahwa ada sederet judul blockbuster lain yang dijadwalkan buat meluncur di layanan mereka, termasuk sejumlah permainan buatan Quantic Dream yang dahulu cuma tersedia di PlayStation.

Jangan tanya bagaimana mereka bisa merayu studio asal Perancis itu, namun hal ini merupakan kabar gembira bagi gamer PC dan – dilihat dari perspektif lebih luas – sebuah langkah strategis brilian Epic Games untuk menghimpun lebih banyak konsumen. Ada tiga game Quantic Dream yang nantinya bisa dinikmati via Epic Games Store, dua di antaranya adalah judul console last-gen Sony, yaitu Beyond: Two Souls, Heavy Rain, dan Detroit: Become Human. Betul sekali, Anda tak perlu membeli PS4 untuk memainkan Detroit.

Selain kreasi Quantic Dream, setidaknya ada dua permainan ‘most wanted‘ di 2019 yang rencananya hanya bisa diakses dari Epic Store, yakni game action-adventure baru karya tim pencipta Max Payne, Control; dan RPG fiksi ilmiah first-person buatan Obsidian, The Outer Worlds. Daftarnya tidak berhenti sampai di sana. Akan ada Afterparty (buatan talenta di belakang Oxenfree), Ancestors: The Human Odyssey, The Cycle, Industries of Titan, Kine, Journey to the Savage Planet dan Trover Saves di Universe.

Kejutan masih belum berhenti. The Sinking City dan Dangerous Driving turut bergabung di Epic Games Store dan bisa di-pre-order. Selanjutnya, sang penyedia layanan telah resmi meluncurkaan Roller Coaster Tycoon Adventures dan Satisfactory.

Kita tahu bahwa Epic Games melalui tahun 2018 dengan sangat sukses. Di tahun itu, mereka kabarnya meraup keuntungan sebesar US$ 3 miliar, dan perusahaan diestimasi memiliki nilai US$ 15 miliar. Tak sulit ditebak, keberhasilan Epic mendorong mereka untuk melakukan manuver-manuver agresif, seperti melakukan perjanjian dengan publisher/developer third-party serta menerapkan program bagi-bagi game gratis secara konsisten.

Saya sempat mendengar keluhan sejumlah rekan gamer pengguna Steam terkait kehadiran game secara eksklusif di Epic Store. Namun saya pribadi berpendapat, kompetisi ialah hal positif buat konsumen. Dengan munculnya penantang, Steam akan terdorong untuk terus menyempurnakan plaform-nya dan cara mereka ‘melayani’ developer.

Sumber: Epic Games.

Rayakan Ulang Tahun ke-50, Konami Siap Luncurkan Bundel Game Klasik ke Platform Current-Gen

Di saat Capcom sedang menikmati kesuksesan remake Resident Evil 2 dan Devil May Cry 5, sang rival senegaranya Konami dikabarkan tengah mencurahkan perhatian mereka untuk membangun pusat kegiatan esports di jantung kota Tokyo. Namun ada satu kesamaan esensial antara dua perusahaan asal Jepang itu: mereka ialah pemegang franchise permainan populer yang dicintai jutaan penggemarnya.

Fans Konami tahu, Maret adalah periode istimewa bagi sang publisher. Di bulan inilah perusahaan resmi didirikan, dan tepat di tanggal 21 Maret 2019 besok, ia genap berusia separuh abad. Konami tentu saja sudah menyiapkan kejutan buat memanjakan para gamer-nya. Minggu ini, mereka mengumumkan agenda peluncuran Anniversary Collection Arcade Classics, yakni sebuah seri bundel permainan berisi judul-judul legendaris mereka.

Kata ‘seri’ perlu ditekankan karena Konami berencana untuk melepas lebih dari satu Anniversary Collection. Edisi pertamanya sendiri diisi oleh delapan permainaan dari era 1980-an, disiapkan agar bisa dinikmati lagi di platform current generation. Selain game, Konami turut menyertakan bonus eBook berisi segala macam informasi mengenai delapan permainan tersebut, di antaranya wawancara dengan staf pengembang, pandangan developer soal kreasi mereka, serta desain, sketsa dan sejumlah dokumen yang selama puluhan tahun belum pernah dipublikasikan.

Ini dia delapan game yang ada di Konami Anniversary Collection Arcade Classics:

  • Haunted Castle
  • A-Jax
  • Nemesis (Gradius)
  • Vulcan Venture (Gradius II)
  • Life Force (Salamander)
  • Thunder Cross
  • Scramble
  • TwinBee

Anniversary Collection edisi pertama dijadwalkan untuk meluncur di Windows PC via Steam, PlayStation 4, Xbox One dan Nintendo Switch pada tanggal 18 April 2019. Tidak ada versi fisik. Apapun platform pilihan Anda, bundel permainan didistribusikan secara digital. Paket permainan tersebut bisa Anda beli seharga US$ 20, tetapi saya menduga akan ada penyesuaian harga ke rupiah khusus versi Steam.

Dalam beberapa bulan ke depan, Konami berniat untuk turut melepas Castlevania Anniversary Collection serta Contra Anniversary Collection. Kabarnya, dua bundel itu akan dirilis secara berbarengan di ‘musim panas’ 2019.

Di tiap edisi, ada empat judul yang telah dikonfirmasi, yaitu: Castlevania yang dahulu dilepas di NES, Castlevania II: Belmont’s Revenge, Castlevania III: Dracula’s Curse, and Super Castlevania IV; kemudian ada Contra, Super Contra, Super C, Contra III: The Alien Wars plus satu game lagi yang baru akan diumumkan nanti.

Via GameSpot.

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.

Jadi Gamer dan Kreator Konten yang Lebih Baik Berbekal SSD ‘Super Gesit’ WD Black SN750

Hingga saat ini, memilih unit penyimpanan masih belum menjadi prioritas sebagian pengguna PC. Dalam membeli laptop ataupun merakit desktop, orang umumnya lebih dulu memilih hardware-hardware yang dianggap memengaruhi langsung performa, seperti prosesor dan kartu grafis. Padahal, penggunaan storage yang tepat sebetulnya sangat memengaruhi kelancaran penggunaan.

Inilah salah satu argumen yang mendorong Western Digital untuk merancang SSD NVMe WD Black SN750 dan membawanya ke Indonesia minggu ini. Sang produsen menyampaikan bahwa WD Black SN750 telah disempurnakan agar gamer dan kalangan antusias hardware memperoleh pengalaman terbaik ketika menikmati konten berspesifikasi tinggi. Perusahaan asal San Jose itu juga percaya kreasinya bisa sangat berguna bagi para pencipta konten.

WD Black SN750 2

WD Black SN750 menawarkan empat poin dalam memenuhi kebutuhan para gamer yang biasanya sulit dipuaskan: performa khas storage Non-Volatile Memory express (NVMe), luasnya kapasitas, efisiensi aspek termal, dan adanya dukungan software untuk pengawasan serta kustomisasi. Pengembangannya juga didesuaikan dengan kondisi segmen gaming saat ini, terutama dampak dari ambisi developer permainan video buat menghidangkan konten yang kaya dan visual secantik mungkin.

WD Black SN750 7

Untuk sekarang, tidak lagi aneh jika sebuah game membutuhkan ruang penyimpanan puluhan gigabyte. Beberapa judul bahkan ada yang menembus batasan 100GB – misalnya Gears of War 4 dan Final Fantasy XV. Dan belum lama ini, dirilislah permainan yang tak disarankan buat diinstal di hard drive karena developer kurang optimal dalam pengembangannya. Ia baru dapat berjalan normal jika dipasang di SSD. Game tersebut adalah Anthem.

WD Black SN750 10

WD Black SN750 11

 

Live demo

Demo yang dilakukan tim JagatReview menunjukkan perbedaan kecepatan baca dan tulis yang signifikan antara SSD NVMe WD Black SN750 dengan penyimpanan berjenis hard disk 7200RPM (sayang mereka enggan menyebutkan merek dan jenisnya). Menggunakan hard drive, waktu boot Windows 10 terasa begitu menyiksa, dan hal ini menjadi lebih menonjol begitu Anda mulai mengerjakan aktivitas komputasi sehari-hari.

WD Black SN750 1

Di sesi tes unzip file sebesar 100GB, HDD yang memiliki kecepatan antara 60 sampai 70MB per detik membutuhkan waktu 25 hingga 30 menit. Penggunaan SSD biasa (160-170MBps) bisa memangkas durasi kira-kira separuhnya, namun dengan WD Black SN750 segala proses tersebut berlangsung kurang dari empat menit. Dalam pengujian CrystalDiskMark 6, software mencatat kecepatan read di 3300,7MB/s dan write 3006.4MB/s.

WD Black SN750 4

Beralih ke Anthem, akan membutuhkan waktu 1 menit 37 detik untuk melanjutkan permainan setelah tombol start diklik di PC ber-hard disk, sedangkan WD Black SN750 bisa memotongnya jadi 47 detik saja. Keterbatasan hard drive baru betul-betul terlihat begitu Anda mulai bertualang di belantara Anthem. Game berjalan tersendat-sendat walaupun sistem dipersenjatai CPU Intel Core high-end dan GPU Nvidia GeForce RTX 2080 (serta RAM 8GB, batasan minimal buat menjalankan game). Anthem baru tersaji mulus dan layak dinikmati setelah hard drive ditukar dengan WD Black SN750.

WD Black SN750 5

 

Desain istimewa dengan dua opsi model

SSD NVMe WD Black SN750 mempunyai wujud sebesar thumb drive. Terlepas dari ukurannya yang mungil itu, tersimpan ruang storage seluas 250-gigabyte sampai 2-terabyte. Western Digital menawarkan dua opsi WD Black SN750, yakni varian standar yang dapat dibubuhkan di laptop serta model ber-heatsink untuk PC desktop.

WD Black SN750 dengan dan tanpa heatsink.

Heatsink tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Western Digital dan EKWB. Rancangan pendingin pasif berbahan aluminium ini stylish namun elegan serta tidak berlebihan sehingga penampilannya tetap menarik bagi kalangan non-gamer. Dalam sejumlah skenario, kehadirannya bisa menekan suhu hingga 20 derajat Celcius tanpa perlu menurunkan kecepatan. Perlu dicatat bahwa heatsink tidak bisa dilepas-pasang. Sewaktu membeli, Anda harus menentukan dulu versi yang dibutuhkan.

WD Black SN750 16

Menurut Western Digital, setidaknya ada tiga aspek mengapa WD Black SN750 ideal buat para gamer. Pertama, gesitnya kemampuan SSD NVMe anyar mereka berguna ketika kita mengunduh dan menginstal permainan. Selanjutnya, kehadiran komponen ini mempersingkat waktu load – terutama game dengan dunia yang terbuka luas. Dan ketiga, WD Black SN750 sempurna untuk multitasking – terutama bagi Anda yang gemar merekam video dan streaming sesi gaming.

WD Black SN750 9

 

Gaming mode

Tak hanya laptop atau periferal gaming saja yang kini dibekali software serta mode berbeda. SSD NVMe WD Black SN750 juga memilikinya. Di sana, Anda dipersilakan memonitor sisa ruang penyimpanan, kondisi kesehatan, hingga temperatur. Selain itu, kita dapat mengaktifkan ‘gaming mode‘ untuk memaksimalkan performa SSD dan menghilangkan latency. Caranya sangat mudah, hanya tinggal mengklik switch.

WD Black SN750 3

Tampaknya, Western Digital telah meng-upgrade desain UI dan penampilan software ini, dimaksudkan untuk menggarisbawahi identitas ‘WD Black’ sebagai storage berkinerja tinggi.

WD Black SN750 8

 

Harga dan ketersediaan

WD Black SN750 tanpa heatsink sudah mulai dipasarkan di Indonesia, disajikan dalam pilihan kapasitas berbeda. Produk bisa Anda dapatkan via toko resmi Western Digital di Lazada, Shopee dan Tokopedia. Sekali lagi, ia cocok buat notebook dan harganya bisa Anda lihat di bawah:

  • 250GB: Rp 1,23 juta
  • 500GB: Rp 2,2 juta
  • 1TB: Rp 4,3 juta
  • 2TB: Rp 8,5 juta

WD Black SN750 17

 

Dan ini adalah daftar harga WD Black SN750 dengan heatsink EKWB. Mereka rencananya akan hadir di triwulan kedua 2019.

  • 500GB: Rp 2,2 juta
  • 1TB: 4,5 juta
  • 2TB: Rp 9,4 juta

WD Black SN750 18

WD Black SN750 6

WD Black SN750 14