Metaverse Bakal Banyak Dilibatkan di Dunia Gaming, Demikian Pula NFT dan Cryptocurrency

Definisi metaverse sejauh ini bisa dibilang masih agak abu-abu, akan tetapi itu tidak mencegah banyak perusahaan besar mengejar tren tersebut. Mulai dari Facebook Meta, Microsoft, sampai Niantic, semua punya visinya sendiri-sendiri akan konsep metaverse yang ideal.

Satu hal yang pasti, metaverse bakal banyak dilibatkan di dunia gaming. Seperti yang kita tahu, gaming memang kerap menjadi lahan percobaan untuk banyak teknologi baru, dan pola tersebut pun juga bakal berlaku untuk metaverse.

Beberapa game yang ada saat ini, seperti misalnya Fortnite, Minecraft, Roblox, atau Second Life bahkan juga sudah bisa kita anggap sebagai iterasi awal metaverse, dan masing-masing bakal terus berevolusi ke depannya. Ini bukan pendapat saya pribadi, melainkan pemikiran dari Jesse Powell, co-founder sekaligus CEO dari Kraken, salah satu marketplace crypto tertua yang sudah eksis sejak tahun 2011.

Dalam wawancaranya bersama Yahoo Finance, Jesse menyamakan metaverse dengan dunia virtual yang sudah bisa kita temukan di berbagai game online populer, mulai dari Second Life, World of Warcraft, sampai Runescape.

NFT bisa populer karena keakraban kita dengan tren membeli barang virtual di game / Sumber gambar: Epic Games

Menurutnya, orang-orang yang sempat memainkan deretan game tersebut kini tertarik dengan tren metaverse salah satunya karena ide akan kemudahan memindah-mindah barang virtual, token virtual, pakaian virtual, atau apapun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan cryptocurrency jadi bakal banyak berperan.

Ditanya mengenai faktor yang mendorong peningkatan popularitas NFT belakangan ini, Jesse bilang salah satu alasannya adalah keakraban generasi muda dengan tren membeli barang-barang virtual, seperti membeli skin di game online misalnya. Lagi-lagi game yang jadi pemicunya.

Poin terakhir yang tak kalah menarik adalah, Jesse percaya ke depannya tidak akan ada satu metaverse saja. Atau dengan kata lain, tidak akan ada satu perusahaan saja yang memonopoli bidang ini. Sekali lagi, platform-nya boleh berbeda-beda, akan tetapi ada blockchain yang bakal menjembatani satu sama lain.

Sumber: Yahoo Finance.

Imbas Krisis Chip Global, Peluncuran Steam Deck Ditunda Dua Bulan

Kabar mengecewakan bagi yang sudah tidak sabar menanti Steam Deck. Peluncuran konsol genggam besutan Valve tersebut terpaksa ditunda dua bulan. Yang tadinya dijadwalkan bakal dikirim ke konsumen pada bulan Desember 2021 kini harus mundur ke Februari 2022.

Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu alasannya kenapa. Ya, apa lagi kalau bukan karena dampak dari fenomena kelangkaan chip global. Kalau industri otomotif saja sampai terkena imbasnya, apalagi industri gadget secara umum.

“Kami meminta maaf soal ini — kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah rantai pasokan global, tapi akibat krisis material, komponen tidak bisa tiba di fasilitas manufaktur kami tepat waktu sesuai dengan jadwal peluncuran awal kami,” tulis Valve dalam sebuah posting blog.

Perlu dicatat, Februari 2022 itu adalah estimasi tercepatnya, dan masing-masing konsumen bakal melihat estimasi waktu pengiriman yang berbeda berdasarkan antrean. Bahkan yang sama-sama melakukan pemesanan di hari pertama pengumuman Steam Deck pun bisa mendapati estimasi waktu pengiriman yang berbeda kalau menurut The Verge.

Kalau boleh menyimpulkan, stok Steam Deck sepertinya bakal cukup langka untuk beberapa waktu, kurang lebih sama nasibnya seperti Nintendo Switch maupun PlayStation 5.

Kabar baiknya, penundaan ini berarti Valve punya lebih banyak waktu untuk mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Steam Deck. Seperti yang kita tahu, Steam Deck memang sudah dilengkapi dukungan software anti-cheat, akan tetapi masing-masing developer tetap perlu memperbarui game-nya agar software anti-cheat yang digunakan tidak bentrok dengan compatibility layer milik Steam Deck.

Valve sendiri mengklaim prosesnya sangat mudah, namun nyatanya masih banyak developer besar yang sama sekali belum punya jawaban terkait kompatibilitas game-nya dengan Steam Deck.

Belum lama ini, Valve juga sempat mengumumkan bahwa mereka akan meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan Steam Deck. Singkat cerita, Valve masih punya banyak PR, dan semoga saja penundaan ini berarti Steam Deck nantinya bisa meluncur dalam kondisi benar-benar matang.

Sumber: The Verge.

Keyboard dan Mouse Nirkabel Terbaru Logitech Diciptakan untuk Penggemar Emoji

Seberapa penting emoji dalam keseharian Anda? Cukup penting sampai-sampai Anda masih menggunakannya selagi bertukar pesan via komputer atau laptop? Kalau demikian, maka keyboard anyar dari Logitech ini cocok buat Anda.

Dinamai Logitech Pop Keys, ia datang bersama total delapan keycap emoji — empat di antaranya sudah terpasang. Pengguna bebas memprogram tombol-tombol tersebut dengan emoji favoritnya melalui software Logitech Options di Windows atau macOS, atau menggantinya dengan fungsi yang lain kalau memang tidak sebegitu bergantungnya dengan emoji.

Secara estetika, Pop Keys mengadopsi gaya retro khas mesin tik seperti yang ditawarkan Logitech K380. Bedanya, Pop Keys merupakan sebuah mechanical keyboard, dengan tactile switch yang diklaim tahan sampai 50 juta kali klik. Jadi kalau Anda suka dengan gaya desain milik K380 tapi tidak nyaman dengan switch membran, Pop Keys bisa jadi alternatif yang menarik.

Menemani Pop Keys adalah Pop Mouse yang tak kalah jenaka desainnya. Emoji lagi-lagi menjadi tema utama di sini, dengan tombol di bawah scroll wheel yang dapat diklik untuk membuka menu emoji. Namun tentu saja, Anda bisa menggantinya dengan fungsi yang lain jika membutuhkan, semisal untuk mute mikrofon atau untuk mengambil screenshot.

Scroll wheel-nya sendiri cukup pintar dan mampu beradaptasi dengan cara pengguna menggulirkan. Kalau pelan, maka putarannya bertahap dan presisi. Kalau digulirkan secara cepat, maka putarannya pun jadi cepat dan los. Cara kerjanya mirip seperti scroll wheel milik MX Master 3 dan MX Anywhere 3.

Baik Pop Keys maupun Pop Mouse sama-sama memakai Bluetooth 5.1 sebagai koneksinya, akan tetapi Logitech turut menyertakan dongle USB Logi Bolt pada paket penjualannya bagi yang membutuhkan koneksi yang lebih stabil sekaligus lebih aman.

Terkait daya tahan baterainya, Pop Keys diyakini mampu bertahan hingga 3 tahun pemakaian menggunakan tiga baterai AAA. Pop Mouse pun tidak kalah fenomenal; sanggup beroperasi sampai 2 tahun hanya dengan mengandalkan satu baterai AA saja.

Di Amerika Serikat, Logitech Pop Keys saat ini telah dipasarkan seharga $100, sementara Pop Mouse dibanderol $40. Keduanya hadir dalam tiga kombinasi warna: Blast, Daydream, dan Heartbreaker. Untuk melengkapi, Logitech turut menawarkan Desk Mat seharga $20.

Sumber: Logitech.

Kingston Luncurkan SSD PCIe 4.0 KC3000 dan Memori DDR5 Versi Value

Kingston kembali mengumumkan SSD PCIe 4.0 dan memori DDR5 baru. Produk yang diluncurkan kali ini adalah Kingston KC3000 PCIe 4.0 NVMe M.2 SSD dan Kingston ValueRAM (KVR) DDR5.

Berbekal pengontrol NVMe Gen 4×4 terbaru, KC3000 menjanjikan performa kecepatan baca/tulis yang sangat gegas, tepatnya hingga 7.000/7.000 MB/detik. Kinerja semacam ini tentu sangat cocok untuk pengguna yang memiliki beban kerja tinggi, semisal untuk rendering grafik 3D ataupun pembuatan konten beresolusi 4K ke atas.

KC3000 datang membawa 3D TLC NAND berdensitas tinggi dalam format M.2 2280 untuk menghadirkan kapasitas yang lebih besar, maksimum hingga 4.096 GB. Seperti halnya Kingston Fury Renegade SSD yang diperkenalkan baru-baru ini, KC3000 juga dilengkapi heat spreader tipis yang terbuat dari bahan aluminium graphene.

Keempat varian kapasitasnya — 512 GB, 1.024 GB, 2.048 GB, dan 4.096 GB — sama-sama didukung oleh garansi terbatas selama lima tahun dan dukungan teknis gratis. Untuk ketahanannya, masing-masing varian menawarkan rate TBW (Total Bytes Written) sebesar 400 TBW, 800 TBW, 1,6 PBW, dan 3,2 PBW.

“Dengan meningkatnya aplikasi dengan kebutuhan data yang berat, konsumen menuntut solusi yang dilengkapi dengan kinerja tinggi dan kapasitas besar; melalui pemanfaatan teknologi PCIe 4.0 generasi terbaru KC3000, kami mampu menghadirkan penyimpanan yang cepat dan andal untuk memenuhi kebutuhan berbagai konsumen di pasar,” tulis Kingston di siaran persnya. “Kami juga dengan senang hati memperkenalkan ValueRAM DDR5 untuk lebih memperluas penawaran DDR5 Kingston, sekaligus menghadirkan memori berkinerja tinggi dengan harga yang terjangkau.”

Sesuai standar yang ditetapkan oleh JEDEC, modul KVR DDR5 mengemas on-board Power Management Integrated Circuit (PMIC) yang bertugas mengatur daya yang dibutuhkan dari berbagai komponen modul memori demi mewujudkan distribusi daya yang lebih baik, peningkatan integritas sinyal, sekaligus mengurangi tingkat kebisingan.

Hadir dalam varian 16 GB atau kit 2 x 16 GB, KVR DDR5 menawarkan kecepatan 4.800 MHz dan latensi CL40, dengan dukungan garansi seumur hidup. Kedua produk ini kabarnya akan segera tersedia di pasar Indonesia, namun informasi harganya sejauh ini masih belum diketahui.

Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

[Tekno] Microsoft Umumkan Windows 11 SE, Versi Lebih Ringan untuk Laptop Pelajar

Microsoft hari ini meluncurkan Windows 11 SE, varian baru sistem operasinya yang ditujukan untuk bidang edukasi. Windows 11 SE — singkatan dari “Student Edition” — berbeda dari fitur S Mode, sebab varian ini tidak dibatasi agar hanya bisa mengunduh aplikasi dari Microsoft Store saja. Malahan, Microsoft Store justru tidak ada di Windows 11 SE.

Sebagai gantinya, Microsoft membatasi Windows 11 SE dengan cara yang berbeda, semisal dengan menyederhanakan fitur Snap Layout maupun menghilangkan fitur Widget. Tujuannya bukan cuma untuk mengurangi distraksi, tetapi juga untuk memastikan Windows 11 SE bisa berjalan dengan mulus di laptop dengan spesifikasi low-end.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Windows terasa berat di laptop dengan spesifikasi rendah, terutama jika dibandingkan dengan Chrome OS. Windows 11 SE pada dasarnya hadir untuk mematahkan anggapan tersebut, dan ini bisa dilihat dari perangkat terbaru yang Microsoft luncurkan bersamaan dengan OS baru tersebut: Surface Laptop SE.

Windows 11 SE akan tersedia di Surface Laptop SE dan deretan laptop pelajar lain dari berbagai pabrikan / Microsoft

Dibanderol $250, Surface Laptop SE punya spesifikasi yang mirip seperti jajaran Chromebook yang dipasarkan di kisaran harga yang sama: prosesor Intel Celeron N4020, RAM 4 GB, dan storage eMMC sebesar 64 GB. Berkat sederet optimasi yang Microsoft terapkan pada Windows 11 SE, Microsoft percaya performanya bakal mulus di spesifikasi serendah itu.

Namun Surface Laptop SE tentu bukan satu-satunya opsi yang tersedia bagi sekolah-sekolah dan institusi pendidikan yang membutuhkan alternatif terhadap Chromebook. Ke depannya, mereka juga bisa membeli laptop Windows 11 SE dari pabrikan-pabrikan seperti Acer, Asus, Dell, Dynabook, Fujitsu, HP, JK-IP, Lenovo, dan Positivo.

Windows 11 SE tidak selamanya harus digunakan selagi online. Aplikasi-aplikasi Office macam Word, PowerPoint, Excel, OneNote, dan OneDrive tetap bisa digunakan secara offline di laptop Windows 11 SE. Di saat yang sama, Windows 11 SE juga sepenuhnya mendukung pembelajaran berbasis web, baik menggunakan browser Edge maupun Chrome.

Kalau benar Windows 11 SE punya performa yang bagus di laptop berspesifikasi low-end, tentunya ini bisa jadi alternatif yang menarik terhadap Chromebook buat sekolah-sekolah, terutama yang tidak bisa meninggalkan ekosistem Windows (karena menggunakan software yang cuma tersedia di Windows, misalnya).

Sumber: Microsoft.

Belum Rilis, Forza Horizon 5 Sudah Dimaikan oleh 1 Juta Pemain Lebih

9 November 2021, game balap Forza Horizon 5 akhirnya resmi dapat dimainkan oleh para gamer di seluruh dunia. Game balap open-world dengan latar Meksiko tersebut memang menjadi salah satu game yang paling ditunggu tahun ini. Bahkan karena tidak sabarnya, Forza Horizon 5 berhasil menembus 1 juta pemain bahkan sebelum game-nya dirilis.

Hal tersebut dimungkinkan karena adanya fitur early-access bagi mereka yang membeli Premium Edition. Jadi, para gamer yang membeli edisi tersebut sudah dapat memainkan game-nya sejak tanggal 5 November kemarin. Padahal game-nya sendiri juga dapat dimainkan secara gratis lewat Xbox Game Pass.

Apalagi sebelum sesi early-access tersebut tiba, Forza Horizon 5 juga telah merilis review dari berbagai media gaming dan juga influencer. Mayoritas memberikan penilaian positif terhadap game ini. Bahkan salah satu yang paling mengejutkan adalah ketika IGN memberikan nilai 10/10 yang sebelumnya hanya bisa diraih oleh game-game yang istimewa seperti Red Dead Redemption 2 dan God of War.


Data satu juta pemain ini ditemukan oleh salah satu streamer bernama Stallion83 yang memperlihatkan jumlah pemain yang mengikuti tantangan dalam game-nya saat berstatus early-access. Menariknya lagi, sudah ada lebih dari 1 juta pemain yang telah mencoba tantangan tersebut bahkan sebelum game-nya dirilis resmi.

Fitur early-access atau bermain lebih awal lewat pembelian edisi tertentu sebuah game memang bukan hal yang baru. Namun hak istimewa tersebut bukan tanpa resiko. Beberapa gamer yang memainkan versi early-access ini kerap mengalami beberapa masalah seperti game yang mengalami force close, frame rate yang kadang tidak stabil dan bahkan terjadi stutter, hingga ke permasalahan koneksi server yang belum stabil.

Image Credit: Microsoft

Namun hal tersebut kelihatannya tidak menghentikan para gamer untuk menikmati game ini setelah 3 tahun menunggu. Forza Horizon 5 memang menjadi game pertama yang tidak dirilis dalam siklus waktu dua tahunan.

Untungnya penantian para gamer kini terbayar karena terlepas beberapa masalah teknis yang akan segera diperbaiki, developer Playground Games berhasil menyajikan sebuah game balap yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Niantic Luncurkan Lightship, Platform untuk Membangun “Real-World Metaverse”

Tiada hari tanpa pembahasan tentang metaverse. Namun kali ini angle-nya cukup menarik, sebab yang menjadi subjeknya adalah Niantic, yang visi mengenai metaverse-nya agak bertolak belakang dari yang dibayangkan oleh Facebook Meta.

Niantic, yang selama ini dikenal sebagai developer Pokémon Go, baru saja meluncurkan sebuah platform bernama Lightship. Dari kacamata sederhana, Lightship dideskripsikan sebagai platform untuk membangun “real-world metaverse”. Jadi ketimbang kita yang masuk ke dunia virtual, objek-objek virtualnya yang kita biarkan eksis di dunia nyata.

CEO Niantic, John Hanke, menjelaskan dalam presentasinya bagaimana Lightship memungkinkan smartphone untuk mengidentifikasi apakah pengguna sedang mengarahkan kameranya ke langit, tanah, atau air, lalu memetakan area di sekitarnya secara real-time.

Informasi-informasi ini kemudian dipakai agar objek virtual bisa tampil serealistis mungkin di dunia nyata. Jadi seandainya kita melempar sebuah bola virtual ke tembok fisik, makanya bolanya pun akan memantul tepat di permukaan temboknya. Lalu seandainya kita melempar bola virtualnya ke balik semak-semak, maka bola tersebut pun juga jadi tidak kelihatan.

Agar semua itu bisa terasa semakin nyata, Lightship pun turut menghadirkan pengalaman multiplayer yang konsisten, atau istilah kerennya, shared state. Jadi bola virtual yang saya pantul-pantulkan ke tembok itu juga bisa Anda lihat menggunakan perangkat lain selagi berdiri di dekat saya. Dengan kata lain, apa yang saya lihat bakal sama persis dengan yang Anda lihat walaupun perangkatnya berbeda.

Shared state untuk sekarang masih agak terbatas dan cuma bisa mengakomodasi lima pengguna secara bersamaan. Namun Niantic sudah menyiapkan cara untuk mengatasinya dalam bentuk Visual Positioning System (VPS). Anggap saja ini seperti GPS, tapi yang digunakan oleh sistem computer vision.

Berkat VPS, smartphone atau kacamata AR pada dasarnya jadi bisa memahami letak posisinya di dunia nyata secara akurat, sehingga pada akhirnya objek-objek virtual yang ditempatkan pun tidak perlu berubah-ubah posisinya. Kalau saya menemukan seekor Pikachu di Bundaran HI, maka Anda pun juga bisa menjumpainya di titik yang sama persis.

Kacamata AR? Ya, ke depannya memang arahnya bakal ke sana, sebab kacamata AR memungkinkan interaksi dengan objek virtual yang lebih natural ketimbang smartphone. Kendati demikian, Niantic memastikan bahwa teknologi yang dihadirkan Lightship sepenuhnya kompatibel dengan perangkat Android dan iOS yang ada sekarang.

Lightship merupakan proyek yang sudah dikerjakan sejak lama oleh Niantic — dulunya dinamai Niantic Real World Platform. Peluncuran ini menandai dibukanya akses platform Lightship bagi semua developer di seluruh dunia. Sebagian besar API yang Lightship tawarkan dapat digunakan secara cuma-cuma oleh developer, kecuali API untuk shared state itu tadi.

Apakah Lightship cuma cocok dipakai untuk mengembangkan game saja? Tidak, namun Niantic percaya bahwa game dan aplikasi hiburan merupakan cara termudah untuk mendemonstrasikan kapabilitas AR.

Dalam kesempatan yang sama, Niantic juga mengumumkan pembentukan Niantic Ventures. Berbekal modal investasi sebesar $20 juta, mereka siap mendanai deretan startup potensial yang bekerja di bidang AR, yang pada akhirnya bisa membantu mereka mewujudkan visi real-world metaverse ini.

Agustus lalu — bahkan sebelum rumor pergantian nama Facebook beredar — John Hanke sudah sempat membahas tentang konsep real-world metaverse ini. Menurutnya, metaverse merupakan sebuah “mimpi buruk distopia”, dan skenario terburuknya adalah manusia jadi lebih betah berada di dunia virtual ketimbang di dunia nyata — persis seperti yang digambarkan oleh novel Ready Player One beserta filmnya.

John berharap Lightship bisa membantu mencegah hal itu terjadi. Niantic pada dasarnya ingin developer memakai Lightship untuk membangun aplikasi-aplikasi AR yang bisa mendorong manusia untuk tetap berinteraksi dengan realita di sekitarnya, dengan objek virtual yang berperan sebagai bumbu penyedap.

Ini jelas sangat kontras dari visi yang dibayangkan oleh Facebook Meta, dan itu sekaligus membuktikan bahwa, setidaknya untuk sekarang, pemahaman akan metaverse itu masih belum seragam dan bisa berubah seiring perkembangan.

Sumber: Niantic via The Verge.

Dibanderol $199, Shure Aonic Free Ramaikan Pasar TWS Premium

Pabrikan audio kenamaan asal Amerika Serikat, Shure, meluncurkan TWS baru bernama Aonic Free. Shure menyebut Aonic Free sebagai TWS pertamanya, meski sebenarnya mereka sudah punya TWS bernama Aonic 215.

Alasannya simpel: secara desain, Aonic Free sangatlah berbeda dari Aonic 215 yang dibekali pengait telinga (ear hook). Terlepas dari ukurannya yang terkesan bongsor, Aonic Free tetap kelihatan jauh lebih mirip seperti kebanyakan TWS yang beredar di pasaran.

Tipikal Shure, kualitas suara menjadi suguhan paling utama, dan Aonic Free pun menjanjikan perpaduan antara clarity yang sangat baik dengan bass yang mantap. Shure memang tidak menjelaskan secara merinci spesifikasi driver yang digunakan, tapi nama besar dan pengalaman panjang mereka di industri audio semestinya sudah bisa menjadi jaminan.

Koneksinya mengandalkan Bluetooth 5, dan perangkat sepenuhnya kompatibel dengan codec aptX. Cukup disayangkan Aonic Free tidak punya active noise cancellation (ANC). Sebagai gantinya, ia mengandalkan mekanisme isolasi suara pasif yang diyakini mampu memblokir suara hingga 37 desibel.

Menariknya, meski tidak dilengkapi ANC, Aonic Free tetap menawarkan fitur transparency mode (Environment Mode kalau dalam kamus Shure) yang dapat diaktifkan via satu klik tombol, sehingga pengguna dapat mendengar suara-suara di sekitarnya ketika dibutuhkan tanpa perlu melepas perangkat dari telinga. Intensitas fitur transparency ini juga dapat diatur melalui aplikasi ShurePlus Play di smartphone.

Dalam satu kali pengisian, baterai Aonic Free diklaim bisa tahan sampai 7 jam pemakaian, sementara charging case-nya siap mengisi ulang sebanyak dua kali, memberikan total daya tahan baterai selama 21 jam. Shure tidak lupa menyematkan fitur fast charging; pengisian selama 15 menit saja sudah cukup untuk menenagai perangkat selama 1 jam pemakaian.

Di Amerika Serikat, Shure Aonic Free saat ini telah dipasarkan seharga $199, atau kurang lebih sekitar 2,8 jutaan rupiah. Cukup terjangkau jika dibandingkan dengan deretan earphone kelas audiophile-nya yang biasa dijual di kisaran 8-9 jutaan rupiah.

Sumber: Engadget dan Shure.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.