[Review] Apex Legends – Pilih Setia atau Pulang Tinggal Nama

“Oh, battle royale lagi.” Mungkin begitu reaksi Anda ketika mendengar tentang Apex Legends, produk terbaru dari para kreator seri Titanfall. Sama, saya juga berpikiran demikian. Game bergenre battle royale belakangan ini sudah begitu banyak, bahkan berbagai franchise lama seperti Call of Duty dan Counter-Strike pun ikut “latah” masuk ke dunia battle royale juga. Saya tidak merasa kita butuh game battle royale baru, apalagi pada dasarnya saya juga bukan penggemar genre ini.

Andai nama developer di belakangnya bukan Respawn Entertainment, mungkin saya tidak akan berminat mencicipi Apex Legends. Tapi saya tahu bahwa Respawn adalah developer jagoan, jadi saya penasaran ingin melihat seperti apa karya mereka yang satu ini. Apalagi harga jualnya sangat murah, yaitu nol rupiah. Tidak ada ruginya saya install, paling-paling kalau tidak suka tinggal hapus saja.

Hal berikutnya yang saya tahu adalah saya begadang dari malam hingga jam sembilan pagi gara-gara main Apex Legends.

“Overwatch Battle Royale”

Cara tergampang untuk menggambarkan Apex Legends adalah menggunakan tiga kata di atas: Overwatch Battle Royale. Sebetulnya sih tidak sesederhana itu juga. Memang separuh aspek game ini adalah team-based shooter seperti Overwatch, sementara separuh lainnya adalah battle royale seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds. Tapi Apex Legends adalah sesuatu yang lebih daripada sekadar “Overwatch digabung dengan PUBG”. Banyak inovasi serta desain gameplay yang membuat game ini layak disebut sebagai evolusi berikutnya dari genre battle royale.

Mirip seperti battle royale pada umumnya, di sini Anda akan bertempur melawan sejumlah besar pemain lainnya di medan yang kian lama kian mengecil, hingga akhirnya hanya tersisa satu pemenang. Bedanya, di sini Anda tidak pernah bermain sendirian. Anda selalu tergabung dalam Squad yang berisi tiga orang, dan masing-masing anggota Squad harus memilih karakter berbeda.

Mirip seperti team-based shooter pada umumnya, setiap karakter dalam Apex Legend punya keunikan. Dari segi mobilitas serta penggunaan senjata semuanya sama rata, tapi tiap karakter punya tiga kemampuan yang terdiri dari Passive Ability, Tactical Ability, dan Ultimate Ability. Cara main Anda ketika mengontrol Gibraltar yang memiliki role Tank pasti akan berbeda dengan Lifeline yang seorang Medic.

Apex Legends - Screenshot 1
Apex Legends punya kualitas visual yang cukup keren | Sumber: Sony

Nah, kemiripan dengan Overwatch dan PUBG berakhir hanya sampai di sini. Sisanya, Apex Legends adalah game yang sangat berbeda. Bila battle royale biasanya mempertarungkan 100 orang sekaligus, satu ronde di Apex Legends hanya diikuti oleh 60 orang (20 Squad). Bila biasanya setiap orang yang mati akan langsung terdepak dari permainan, di sini Anda bisa respawn dengan bantuan teman satu Squad. Dan masih banyak perbedaan lainnya.

Didesain untuk kerja tim

Ada dua poin utama yang tampaknya menjadi landasan akan segala keputusan desain dalam Apex Legends, yaitu kerja tim dan strategi. Respawn memang menyebut game ini sebagai sebuah “strategic battle royale”, jadi sudah pasti ada banyak sekali unsur yang mendorong Anda untuk memutar otak. Dan serunya, Anda tidak akan memutar otak sendirian.

Inovasi paling keren dalam Apex Legends menurut saya adalah adanya tombol khusus untuk berkomunikasi secara kontekstual dengan teman. Dengan menekan tombol R1, karakter Anda akan mengatakan sesuatu sesuai dengan apa yang sedang Anda sorot di kursor. Contohnya, bila Anda menyorot sebuah tempat, maka si karakter akan berkata, “Ayo kita pergi ke sana.” Bila Anda menyorot sebuah Health Pack, dia akan berkata, “Ada Health Pack di sini.”

Apex Legends - Screenshot 2
Bloodhound punya kemampuan mendeteksi lokasi musuh di sekitarnya | Sumber: Respawn Entertainment

Komunikasi kontekstual ini variasinya luar biasa banyak, dan dapat digunakan untuk melaporkan segala macam kondisi yang Anda temukan pada teman setim. Anda kehabisan amunisi untuk shotgun? Sorot senjata itu di inventory dan tekan R1, maka si karakter akan berkata, “Saya butuh shotgun ammo.” Anda menemukan supply box yang sudah terbuka? Anda bisa melaporkan bahwa, “Sepertinya tadi ada musuh lewat sini.”

Meski tanpa mengetik atau menggunakan voice chat, saya senantiasa mengobrol dengan teman satu Squad saat pertandingan. Komunikasi, yang biasanya sulit dilakukan di first-person shooter, betul-betul difasilitasi dan dimudahkan. Ini membuat saya merasa bagaikan anggota sebuah kesatuan pasukan khusus yang bahu-membahu di tengah medan perang penuh marabahaya.

Tanpa ada anggota tim yang sengaja menekan tombol R1 pun, game ini selalu memberi petunjuk audio visual agar kita tahu kondisi yang dialami teman kita. Ketika ada kawan yang mengalami baku tembak, mundur untuk melakukan reload, atau berlindung sambil menyembuhkan diri misalnya, Apex Legends memberi tahu Anda kejadian tersebut lewat percakapan antar karakter serta perubahan-perubahan ikon di antarmuka.

Apex Legends - Screenshot 3
Temukan Respawn Beacon untuk menghidupkan kawan | Sumber: Respawn Entertainment

Saya sangat salut pada Respawn akan sistem komunikasi yang mereka ciptakan dalam Apex Legends. Ini fitur yang harus dicontek oleh developer game multiplayer lain di masa depan, karena efeknya benar-benar membuat medan pertempuran jauh lebih hidup!

Adu tangkas adu cerdas

Walau punya kemiripan dengan Overwatch sebagai sesama team-based shooter, rasa permainan dalam Apex Legends masih kental dengan nuansa survival. Jangan harap Anda bisa menekan satu tombol ultimate RYUU GA WAGA TEKI WO KURAU lalu Squad lawan akan wipeout secara instan. Di sini memang ada berbagai macam Ability, tapi Ability itu harus digunakan dengan benar bila Anda ingin berhasil.

Saat ini Apex Legends masih cukup baru jadi kita belum bisa melihat meta game pastinya seperti apa. Namun dari pengalaman bermain sejauh ini, saya merasa bahwa tidak ada Ability dalam Apex Legends yang bisa memutarbalikkan keadaan secara instan. Sebagian besar keberhasilan kita justru ditentukan dari cara bermain, sementara Ability hanyalah fasilitas untuk mengeksekusi suatu taktik tertentu.

Apex Legends - Screenshot 4
Hati-hati, salah lokasi mendarat bisa membuat timmu gugur bersamaan

Desain arena dalam Apex Legends juga terasa sangat memfasilitasi permainan taktis, dengan begitu banyak tempat untuk berlindung, pintu, jalan tembus, serta vertikalitas yang cukup tinggi (meski tidak seekstrem Titanfall 2). Jarang sekali ada lahan terbuka tanpa perlindungan, dan untuk menuju satu tempat biasanya kita dapat menggunakan banyak alternatif jalur. Ini terasa berbeda sekali dengan misalnya Fortnite, tapi memang Fortnite punya fitur bangunan yang bisa dibuat sendiri, sih.

Arena yang begitu padat sangat selaras dengan opsi mobilitas dalam Apex Legends yang cukup tinggi. Anda tidak akan menemukan wall-run atau double jump seperti Titanfall 2, tapi Anda dapat melakukan sliding, vaulting (memanjat), serta memanfaatkan kabel-kabel (zipline) untuk berpindah tempat dengan cepat. Bila perlu, Anda bahkan bisa mencari balon udara yang tersebar untuk melakukan redeployment, alias terjun kembali ke lokasi yang berbeda.

Satu hal lagi yang unik. Dalam Apex Legends, ketika Anda melakukan deployment awal, Anda tidak akan terjun sendiri-sendiri. Game ini memiliki fitur bernama Jumpmaster, di mana satu orang akan ditunjuk untuk memilih lokasi terjun seluruh Squad bersamaan. Anggota Squad bisa memilih untuk melepaskan diri dari formasi, tapi secara default, turun bersamaan tentu lebih aman daripada berpencar-pencar. Hati-hati, bila Anda bertemu dengan musuh, artinya Anda juga akan langsung bertemu satu Squad sekaligus! Pemilihan lokasi terjun ini sangat penting, dan seperti aksi-aksi lainnya, kita dapat berkomunikasi dengan tombol R1 untuk memilih lokasi yang optimal.

Apex Legends - Screenshot 5
Medan pertempuran didesain dengan kreatif | Sumber: Sony

Respawn sang developer baik

Tidak ada game yang sempurna di dunia ini, tapi saya merasa bahwa sepertinya Apex Legends hampir tidak punya hal yang bisa saya komplain. Dari segi gameplay, game ini sudah sangat keren, dan punya potensi besar untuk menjadi esports. Visualnya pun keren, apalagi performanya stabil 60 FPS meski di PS4 Fat. Paling ada framerate drop sedikit ketika sedang deployment, karena seluruh pulau yang demikian besar ditampilkan sekaligus.

Bila harus ada yang dikomplain, mungkin saya akan menunjuk pada konten yang masih sangat sedikit untuk saat ini. Hanya ada delapan karakter tersedia, itu pun dua di antaranya (Caustic dan Mirage) harus di-unlock dengan Apex Coins (mata uang premium) atau Legend Tokens (didapat dari bermain). Arena yang disediakan hanya ada satu (Outlands), begitu pun mode permainan juga masih satu (Training tidak termasuk).

Akan tetapi komplain tentang konten ini jadi tak berarti karena Apex Legends adalah game gratisan. Lambat laun Respawn pasti akan menambahkan konten-konten baru di masa depan. Lagi pula dengan konten yang ada sekarang pun saya rasa tidak akan membosankan walau dimainkan hingga puluhan jam.

Apex Legends - Screenshot 6
Harga Apex Coin cukup bersahabat

Saya juga sangat senang melihat bagaimana Respawn menangani transaksi mikro dalam game ini. Harga Apex Coin yang ditawarkan cukup terjangkau, yaitu 1.000 Coin untuk US$9,99. Satu karakter bisa dibeli seharga 750 Coin, atau bila dikonversi ke rupiah mungkin sekitar Rp105.000. Bila Anda membeli Apex Coin dalam jumlah besar, harganya lebih murah lagi. Itu pun tidak wajib, karena karakter bisa dibuka dengan mata uang Legend Tokens.

Mirip seperti Overwatch, Anda akan memperoleh loot box yang disebut Apex Pack setiap kali Anda level up. Apex Pack ini berisi tiga item, dan uniknya, Respawn menerapkan algoritma “bad luck detection”, sehingga pemain pasti akan mendapat item langka setelah sekian kali membuka Apex Pack. Item yang didapat dari Apex Pack juga tidak akan pernah duplikat, dan semua item ini hanya bersifat kosmetik.

Lebih asyik lagi, Respawn berjanji tidak akan ada item yang tersedia eksklusif dari loot box berbayar, dan mereka akan membuka rasio kemungkinan perolehan item secara publik. Sungguh developer panutan!

Apex Legends - Screenshot 7
Tidak akan ada kosmetik eksklusif loot box berbayar | Sumber: Respawn Entertainment

Kesimpulan: Semper Fi or Die

Apex Legends adalah kejutan yang sangat menyenangkan. Para penggemar seri Titanfall yang menanti Titanfall 3 masih harus bersabar lebih lama, tapi untuk orang-orang lainnya, kehadiran Apex Legends adalah hiburan baru yang sangat mengasyikkan. Bahkan saya yang tidak suka genre battle royale pun berhasil dibuat ketagihan olehnya. Respawn juga berencana mengimplementasikan fitur cross-play, pastinya akan membuat komunitas di sekitar game ini semakin seru.

Fitur komunikasi yang dirancang sangat intuitif, gameplay taktis dan menegangkan, serta kualitas grafis top adalah daya tarik utama dari Apex Legends. Kerja sama tim sangat penting di sini, seperti kalimat yang sering dilontarkan karakter Bangalore, “Setia kawan atau mati.” Saya benar-benar berharap Apex Legends sukses besar, supaya Respawn Entertainment dapat terus menciptakan karya-karya keren seperti ini. Sampai bertemu di Outlands!

Sparks:

  • Gabungan formula team-based shooter dan battle royale menghasilkan sesuatu yang baru, unik, dan asyik
  • Fitur komunikasi sangat bervariasi, dipadukan dengan antarmuka intuitif yang membuat pertempuran terasa sangat hidup
  • Desain arena yang menarik, baku tembak sangat dipengaruhi oleh strategi kita memanfaatkan lingkungan
  • Kualitas visual keren dengan performa solid
  • Transaksi mikro yang bersahabat

Slacks:

  • Konten masih sedikit

[Review] Jones: Jomblo is Happiness – Kehidupan Sekolah ala Teenlit

Jones: Jomblo is Happiness adalah salah satu game karya Indonesia yang cukup mencuri perhatian dalam acara Google Indie Games Accelerator 2018 lalu. Pasalnya, buah karya Niji Games ini berhasil meraih penjualan yang sukses, bahkan sempat bertengger di jajaran Top Paid Games Google Play. Salah satu daya tariknya adalah harga jual yang sangat murah, hanya Rp9.000, sehingga para gamer tidak perlu berpikir panjang untuk membelinya.

Mengusung gaya permainan ala visual novel serta latar belakang kehidupan SMA, Jones: Jomblo is Happiness tampil menarik dan menjanjikan. Apalagi temanya yang seputar kehidupan jomblo pasti banyak membuat orang penasaran. Seperti apa sih isi game ini? Apakah harga yang begitu murah merupakan pertanda bahwa game ini punya kualitas rendah? Atau malah sebaliknya, murah tapi ternyata tidak murahan? Simak di bawah.

Cita rasa dating sim lokal

Sekilas lihat dari screenshot dan trailer, saya mengira bahwa Jones: Jomblo is Happiness adalah game bergenre visual novel dengan bumbu simulasi. Tapi setelah memainkannya ternyata game ini lebih cocok disebut simulasi saja. Itu karena gameplay di Jones: Jomblo is Happiness hanya punya sedikit sekali elemen cerita, dan lebih fokus pada strategi pengaturan stat karakter.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 1

Anda berperan sebagai seorang pria remaja yang baru saja masuk SMA. Sebagai pelajar, Anda harus menjalani pendidikan selama tiga tahun lamanya. Tujuan permainan ini sederhana: Anda harus lulus dari sekolah. Tapi lulus dengan hasil seperti apa, itulah yang jadi pertanyaan penting.

Terdapat lima stat yang harus Anda atur sedemikian rupa, yaitu Perasaan, Keuangan, Kesehatan, Akademis, dan Sosial. Untuk lulus dengan baik, Anda harus menjaga stat Akademis agar berada di atas 75 poin sehingga bisa mengerjakan ujian. Sementara itu, keempat stat lainnya tidak boleh sampai menyentuh angka 0 atau 100, karena itu berarti Anda memiliki kehidupan yang tidak seimbang.

Berbeda dengan visual novel, di mana sebagian besar waktu Anda habiskan untuk membaca cerita kemudian mengambil pilihan sesekali, justru dalam Jones: Jomblo is Happiness nyaris semua dialog memiliki pilihan. Setiap pilihan yang Anda ambil akan mempengaruhi stat, bisa positif atau negatif tergantung dari perilakunya. Berusaha menyeimbangkan berbagai stat tersebut hingga kelulusan rasanya cukup seru dan menghibur.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 2

Belajar nakal sedikit

Jones: Jomblo is Happiness akan membuat Anda yang gemar bermain dengan alignment Lawful Good merasa terusik. Ingat, misi utama game ini adalah sebuah kehidupan yang “seimbang”. Seimbang artinya kehidupan yang tidak buruk, tapi juga tidak sepenuhnya baik. Itu artinya Anda akan sering dipaksa mengambil keputusan yang jelek demi menjaga stat.

Sebagai contoh, misalkan Anda melihat stat Kesehatan sudah terlalu rendah, sementara stat Akademis sedang tinggi sekali. Anda mungkin akan memilih untuk bolos sekolah saja dan istirahat agar Kesehatan meningkat, karena poin Akademis masih aman walau turun sedikit. Di lain waktu mungkin Anda melihat poin Sosial terlalu tinggi, jadi Anda melakukan bullying terhadap teman sekelas agar nilai Sosial kembali normal.

Memang sih Jones: Jomblo is Happiness hanya sebuah game, dan mungkin banyak di antara kita yang berpikir bahwa wajar saja bila anak-anak SMA nakal sedikit. Tapi adanya perilaku-perilaku buruk seperti ini terkadang membuat saya merenung juga. Bila perilaku buruk yang muncul adalah kenakalan yang sifatnya lucu dan tidak merugikan orang sebetulnya tak masalah. Tapi ketika ada hal-hal seperti membohongi guru atau bullying, itu meninggalkan sedikit rasa yang kurang nyaman.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 3

Tentu saja Jones: Jomblo is Happiness bukan satu-satunya game yang memiliki pilihan perilaku negatif di dalamnya. Jauh dari itu bahkan. Bedanya adalah, biasanya, ketika kita dengan sengaja melakukan hal buruk, ada konsekuensi tertentu yang berlawanan dengan cerita ketika kita mengambil pilihan baik. Semacam bad ending misalnya.

Di sini, kita justru seolah tidak punya pilihan, karena untuk mendapatkan good ending pun kita harus mau (bahkan sering) mengambil pilihan-pilihan buruk. Hal buruk tersebut levelnya hanya “kenakalan remaja” saja sih, tapi saya tetap khawatir desain seperti ini akan menanamkan persepsi yang tidak-tidak pada pemainnya: bahwa kehidupan SMA yang “benar” itu harus ada perilaku nakalnya.

Romansa, imbalan paling terasa

Selain mempengaruhi stat, ada satu hal lagi yang juga dipengaruhi oleh pilihan yang Anda pilih, yaitu cerita. Tadi saya berkata bahwa Jones: Jomblo is Happiness hanya punya sedikit elemen cerita. Ini karena dialog yang muncul setiap hari umumnya tidak berhubungan satu sama lain, melainkan hanya berperan sebagai pertanyaan atau kondisi yang harus direspons. Namun sesekali akan muncul dialog penting yang menjadi pemicu suatu event.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 4

Ketika event itu berhasil Anda temukan, saat itulah muncul suatu drama. Kejadian-kejadian ini cukup berkesan, dan membuat saya teringat akan berbagai drama yang dulu ada di masa SMA saya sendiri. Apalagi didukung dengan ilustrasi-ilustrasi yang keren, saya rasa Niji Games berhasil menyajikan momen-momen penting dengan baik dan “anak SMA banget”.

Melihat judulnya, bisa ditebak bahwa game ini memiliki elemen percintaan di dalamnya, dan menurut saya inilah poin terkuat dalam Jones: Jomblo is Happiness. Di antara berbagai event yang ada, sebagiannya merupakan event yang mempengaruhi kedekatan Anda dengan salah satu dari empat gadis di sekolah. Aksi berbeda akan mempertemukan Anda dengan gadis berbeda pula, dan karena pilihan dalam game ini jumlahnya sangat banyak, berusaha mencari event yang tepat rasanya cukup menantang. Terutama bila Anda baru pertama kali main.

Saya suka sekali melihat bagaimana keempat gadis tersebut punya kepribadian, latar belakang, serta masalah yang jauh berbeda satu sama lain. Hasilnya, ketika sampai di titik kelulusan pun ending yang Anda dapatkan akan jauh berbeda. Tapi hati-hati, bila Anda tidak bermain dengan baik, bisa-bisa Anda lulus dalam keadaan menyandang status jomblo abadi.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 5

Oh iya, game ini tidak mempunya fitur Save dan Load seperti visual novel biasanya. Save terjadi secara otomatis, jadi Anda tidak bisa “save scumming” untuk mencoba-coba pilihan. Agak menyebalkan sih, tapi satu playthrough bisa diselesaikan dalam waktu beberapa menit saja kok, jadi itu bukan masalah besar.

Niji Games juga sepertinya berencana agar kelak ada Jones: Jomblo is Happiness versi cewek, karena ketika kita baru memulai permainan ada pilihan untuk bermain sebagai siswa putri namun tertulis “Coming Soon”. Memang beberapa karakter cowok dalam game ini terasa cocok untuk menjadi calon pasangan bila protagonisnya perempuan. Tapi entah kapan konten versi cewek itu akan dirilis. Saya sih cukup penasaran ingin mencobanya.

Teenlit bukan alasan

Sayangnya kualitas penulisan naskah dalam Jones: Jomblo is Happiness masih butuh banyak sekali peningkatan, setidaknya menurut saya. Game ini menggunakan gaya bahasa santai/gaul seperti dialog sehari-hari, dan hal itu sah-sah saja. Akan tetapi ketika muncul typo, penggunaan tanda baca yang tidak pas (atau malah tidak ada), dan teks yang keluar dari kotak dialognya, kenyamanan membaca pun jadi berkurang.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 6

Tak hanya soal tata penulisan, naskah dialog game ini sendiri pun saya rasa masih perlu ditingkatkan lagi. Sama seperti saya tidak setuju dengan pandangan bahwa fiksi remaja itu pasti tidak berkualitas, saya juga tidak ingin unsur cerita dalam video game dipandang sebelah mata. Arti kualitas di sini bukan berarti ceritanya harus serius. Banyak kok cerita berlatar sekolah yang santai dan jenaka, namun ditulis dengan sangat baik. Saya yakin Niji Games juga bisa melakukannya.

Di samping bahasa Indonesia sebagai default, Jones: Jomblo is Happiness juga menyediakan pilihan untuk bermain dalam bahasa Inggris. Nikko Soetjoeadi, co-founder Niji Games, memang pernah berkata bahwa mereka juga ingin menjamah pasar global. Dan saya terkejut karena terjemahan bahasa Inggris dalam game ini sangat menarik!

Menarik yang saya maksud adalah bahwa terjemahan itu bukan sekadar perubahan secara literal, tapi juga mengandung penyesuaian yang membuat dialog-dialognya terasa cukup natural dalam bahasa Inggris. Di beberapa tempat bahkan kalimatnya bisa berbeda sangat jauh, tapi konteks atau konsekuensi yang dihasilkannya tetap terjaga.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 7

Satu yang agak ekstrem, saya merasa sepertinya si tokoh utama memiliki kepribadian berbeda di versi bahasa Inggrisnya. Di versi Indonesia, ia terasa seperti anak yang ramah, santai, dan sedikit tengil. Sementara di versi Inggris, ia terkesan lebih gaul, malah mungkin mendekati jock. Penyesuaian semacam ini adalah tanda bahwa terjemahan game ini dilakukan dengan cukup serius, meski pada akhirnya saya pribadi lebih suka versi bahasa Indonesianya.

Kesimpulan: Kisah remaja banyak rasa

Jones: Jomblo is Happiness adalah game buatan Indonesia yang bagus, namun masih kurang polesan serta perhatian pada hal-hal detail. Cerita di dalamnya cukup menyenangkan untuk diikuti, dan romansa yang dihadirkan berhasil mencerminkan drama kehidupan SMA dengan manis. Tetapi butuh peningkatan lagi dari segi penulisan serta perbaikan hal-hal kecil agar bisa menjadi game yang benar-benar keren.

Game ini lebih tepat disebut simulasi daripada visual novel, jadi bila Anda berharap adanya cerita yang padat, Anda tidak akan menemukannya di sini. Tapi gameplay yang diberikan Jones: Jomblo is Happiness juga asyik dengan caranya sendiri. Dengan banderol harga yang hanya setara dengan sepiring nasi goreng, saya rasa Anda tidak akan rugi membeli game ini bila sedang butuh hiburan ringan.

Jones: Jomblo is Happiness - Screenshot 8

Sparks:

  • Ilustrasi beragam karakter dibuat dengan cukup keren
  • Lagu pembuka yang sangat cepat menjadi earworm
  • Beragam pilihan romansa dengan kepribadian pasangan berbeda-beda, seru untuk diikuti
  • Terjemahan bahasa Inggris digarap dengan baik
  • Harga banderol super murah

Slacks:

  • Tidak ada cara untuk menghindari pilihan buruk
  • Tidak ada fitur Save dan Load manual
  • Kualitas naskah masih perlu ditingkatkan

[Review] Rage in Peace – Emosi dalam Wahana Roller Coaster

Ketika pertama kali mencicipi Rage in Peace dalam acara PopCon Asia 2016, saya langsung tahu bawa game ini akan menjadi sebuah game yang spesial. Saya tentu tidak bisa memperkirakan akan sesukses apa Rage in Peace secara finansial karena saya tak punya ilmu tentang itu. Akan tetapi saya amat yakin, Rolling Glory Jam punya potensi menciptakan sesuatu yang lain daripada developer Indonesia pada umumnya.

Keyakinan itu adalah sesuatu yang agak sulit untuk dijelaskan secara spesifik. Mungkin karena sejak awal, Rolling Glory Jam telah menunjukkan vertical slice yang sangat terpoles baik, bukan hanya prototipe tapi sudah berwujud sepotong game dengan standar kualitas ritel. Mungkin karena begitu menggenggam gamepad, hanya butuh waktu beberapa detik untuk saya merasa bahwa ini adalah game yang “feels good to play”. Atau mungkin semua itu hanya firasat saja, entahlah.

Satu hal yang pasti, saya punya ekspektasi tinggi terhadap Rage in Peace. Malah mungkin tingginya sudah sampai kadar agak tidak sehat. Saya sudah ngefans dengan game ini bahkan sebelum saya tahu apakah game ini betulan bakal rilis atau tidak. Lebih parah lagi, para developernya berkata pada saya bahwa mereka ingin game ini bukan jadi platformer biasa. Berlawanan dengan konsensus umum bahwa daya tarik utama platformer adalah gameplay, Rolling Glory Jam justru ingin Rage in Peace punya kekuatan utama di cerita. Ekspektasi saya semakin meroket.

Saya berharap banyak pada Rage in Peace, tapi sekaligus juga skeptis. Sebagus-bagusnya cerita buatan mereka, saya tidak yakin Rolling Glory Jam bisa menyajikan sesuatu selevel game yang dari awal memang dirancang untuk narrative-driven. Feeling saya mengatakan bahwa Rage in Peace akan menjadi game yang bagus, berkualitas di atas rata-rata, namun kemungkinan masih jauh untuk masuk dalam jajaran masterpiece atau platformer legendaris.

Terima kasih, Rolling Glory Jam, karena telah membuktikan bahwa saya salah.

Rage in Peace - Screenshot 1

Damai dalam amarah

Rage in Peace adalah sebuah side-scrolling platformer yang diciptakan oleh studio game asal Bandung, Rolling Glory Jam, dan diterbitkan oleh Toge Productions. Dalam game ini, Anda berperan sebagai Timmy Malinu, seorang pemuda berkepala marshmallow yang punya sebuah impian sederhana. Ia ingin mati dalam keadaan damai, di atas kasur, sambil memakai piyama dan tanpa drama.

Suatu hari, tiba-tiba Timmy didatangi oleh malaikat pencabut nyawa alias Grim Reaper. Tanpa peringatan, Grim Reaper berkata bahwa giliran mati bagi Timmy telah tiba. Tapi Grim Reaper sedang berbaik hati. Ia mengizinkan Timmy untuk berusaha mewujudkan paling tidak satu impian terakhirnya. Maka dimulailah perjalanan Timmy menuju rumah dengan selamat, sebelum akhirnya ajal benar-benar menjemput.

Apa side-scrolling platformer paling sederhana yang pernah Anda mainkan? Mungkin Anda akan menjawab pertanyaan ini dengan Super Mario Bros. versi NES. Nah, Rage in Peace bahkan lebih sederhana lagi dari itu, setidaknya dari segi sistem kontrol. Game ini hanya memiliki satu tombol aksi, yaitu untuk melompat. Ya, benar-benar hanya satu. Setidaknya di Super Mario Bros. kita masih bisa menembakkan bola-bola api, atau melakukan sprint. Sementara Timmy, jangankan menembak. Jongkok saja dia tidak bisa.

Rage in Peace - Screenshot 2

Sistem kendali begitu sederhana, bukan berarti game ini lantas gampang. Justru kebalikannya. Rage in Peace adalah game yang sangat sulit. Dalam perjalanan menuju rumah, Timmy harus menghindari aneka rupa marabahaya. Setiap jebakan dan musuh di game ini dirancang untuk muncul tiba-tiba, di tempat-tempat tak terduga. Jadi Anda akan sering, sangat sangat sering mati.

Untuk menyelesaikan stage, Anda harus berkonsentrasi, menghapal lokasi serta timing jebakan-jebakan yang ada, kemudian mengendalikan Timmy agar dapat menghindar dengan cekatan. Jadi Rage in Peace merupakan kombinasi antara tantangan otak dan tantangan jari. Tapi jangan khawatir bila Anda sering mati. Di sini tidak ada game over, juga tidak ada penalti apa pun meski Anda harus mengulang stage hingga ratusan kali.

Untungnya lagi, Rage in Peace juga menyediakan sangat banyak checkpoint, sehingga Anda tidak perlu takut mengulang terlalu jauh ketika gagal. Game ini memang susah, tapi tantangan yang diberikan tak pernah terasa tidak adil. Ada keseimbangan yang pas antara kesulitan dengan fasilitas bantuan yang disediakan, jadi pemain tidak akan sampai merasa frustrasi. Paling-paling lelah saja setelah memaksa otak bekerja keras untuk menyelesaikan beberapa stage berturut-turut.

Di awal-awal mungkin Anda akan merasa geregetan melihat Timmy mati berulang kali. Tapi setelah angka kematian itu mencapai tiga digit, kemungkinan Anda sudah tidak peduli lagi. Di titik itu, Anda akan merasa game ini berubah, dari sekadar “platformer susah” menjadi semacam media meditasi di mana seluruh pikiran Anda hanya fokus pada satu hal: memorisasi. Setelah berhasil melewati fase rage, Anda akan masuk ke kondisi mental peace. Anda menerima kesulitan sebagai suatu keniscayaan, kemudian pikiran Anda tenggelam ke dalam dunia kecil namun imersif yang dihiasi warna-warna senja, alunan musik post-rock, serta mungkin, aroma kopi.

Rage in Peace - Screenshot 3

Rebirth, Reminisce, Redemption

Rage in Peace memiliki cerita yang terdiri dari enam babak (Act). Saya sungguh berharap bisa menceritakan semuanya, kemudian meyakinkan Anda untuk tidak ragu-ragu membeli game ini. Tapi itu berarti saya harus menyebarkan dosa besar yang bernama spoiler. Paling banter, saya setidaknya bisa bercerita bahwa semua hal yang saya katakan tentang Rage in Peace sejauh ini hanya berlaku hingga Act 3.

Mulai Act 4 ke belakang, lupakan semua yang Anda ketahui tentang Rage in Peace. Lupakan semua bayangan Anda tentang platformer normal, karena Rage in Peace adalah game yang sama sekali tidak normal. Seperti menonton anime Food Wars: Shokugeki no Soma, pada awalnya Anda akan mengira sang koki sedang memasak nasi goreng, tapi begitu sampai di akhir ternyata hasilnya adalah pizza.

Ketika Rolling Glory Jam berkata bahwa mereka ingin narasi jadi unsur terkuat Rage in Peace, mereka sama sekali tidak main-main. Ini bukan “platformer yang punya cerita”. Ini adalah “cerita yang kebetulan punya platformer”. Semua mekanisme gameplay dalam Rage in Peace dirancang untuk menyampaikan suatu narasi, bahkan sampai ke hal-hal yang kecil. Hal-hal sepele, tapi mengandung nuansa serta simbolisme berkaitan dengan cerita yang sedang Anda alami. Yang, tentu saja, satu pun tidak bisa saya ceritakan kecuali dengan kata-kata ambigu seperti ini.

Rage in Peace - Screenshot 4

Saya tidak bisa memberi tahu Anda isi cerita Rage in Peace, tapi saya bisa memberi tahu bahwa game ini mengingatkan saya akan banyak hal. Banyak sekali hal, yang sama sekali tak terduga. Ketika saya berada di Act 3, saya teringat akan ketegangan mempertahankan nyawa di Dead Cells yang saya ulas beberapa waktu lalu. Ketika masuk ke cerita flashback masa lalu Timmy, saya teringat pada salah satu adegan bittersweet di drama tahun 1991 berjudul Tokyo Love Story. Dan ketika akhirnya cerita utama game ini mulai terkuak, nuansa yang saya rasakan mirip seperti ketika dulu memainkan Brothers: A Tale of Two Sons.

Menyebut judul-judul di atas bukan berarti Rage in Peace adalah game yang tidak punya identitas. Justru sebaliknya, Rage in Peace memberi saya hantaman emosional begitu kuat, yang sebelumnya hanya saya rasakan dari judul-judul tersebut. Anda mungkin akan membandingkannya dengan hal-hal lain, tergantung dari pengalaman pribadi Anda. Mungkin Anda akan membandingkan Rage in Peace dengan NieR: Automata, atau Journey, atau sesuatu yang lain. Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Anda harus memainkannya sendiri.

Saya percaya bahwa seseorang yang sedang berkarya harus memegang prinsip “berani ngawur”. Ngawur tidak dalam artian bekerja asal-asalan, tapi berpikir sesuatu yang begitu tak lazim sampai-sampai orang lain bingung dari mana asal idenya. Go big or go home, begitu istilah kerennya. Saya rasa Rolling Glory Jam pun punya semangat seperti ini, dan setelah memainkan produk jadinya, saya paham mengapa Rage in Peace yang “cuma” platformer ini makan waktu tiga tahun untuk diselesaikan.

Rage in Peace - Screenshot 5

Video game adalah medium yang hebat

Dari tadi saya banyak berkoar tentang bagaimana narasi adalah daya tarik terkuat dari Rage in Peace. Tapi tahukah Anda, bahwa narasi yang saya maksud itu bukanlah tentang teks? Lebih tepatnya, bukan sekadar tentang teks.

Narasi dalam Rage in Peace adalah pertunjukan. Sebuah pentas, di mana para pemeran menari-nari di atasnya mengikuti koreografi dari sang sutradara. Mereka tampil mengenakan pakaian-pakaian indah, berlatar panggung sarat dekorasi yang terkadang terasa surreal namun sekaligus juga nyata. Permainan cahaya membawa kita hanyut ke suatu fantasi yang memabukkan, sementara alunan musik menjadi pilar tak tergantikan yang membuat adegan di depan mata itu layak disebut drama.

Bagian terbaiknya? Anda adalah bagian dari pertunjukan tersebut. Bukan sekadar hiburan, Rage in Peace memanfaatkan karakteristik video game semaksimal mungkin untuk menciptakan pengalaman yang tak bisa kita rasakan melalui medium lain. Di sini, keempat unsur utama video game (teks, visual, audio, dan gameplay) bersinergi menjadi suatu kesatuan “narasi” yang tak terpisahkan.

Rage in Peace - Screenshot 6

Ada kalanya gameplay memegang peranan utama, sementara musik hanya menjadi bagian dari suasana latar. Tapi kemudian tiba waktunya musik maju ke tengah panggung, disokong oleh gameplay serta tampilan visual di sekitarnya. Sesekali game ini berubah menjadi semacam walking simulator, dan kita diajak beristirahat sambil menikmati suguhan visual mengagumkan. Tapi game ini juga berani menyuguhkan teks di posisi terdepan, sambil membuang unsur-unsur lain yang dirasa tak perlu.

Inilah yang terjadi ketika seorang kreator berani melepaskan diri dari konsensus umum tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Inilah bentuk video game ketika dirancang sebagai sebuah karya seni, penuh eksplorasi berani dan didorong oleh sebuah visi. Mungkin bahasa saya terdengar lebay. Tapi membayangkan kerja keras dan imajinasi yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu seperti Rage in Peace, saya tak punya kata-kata selain hanya pujian.

Kesimpulan: Emosi dalam wahana roller coaster

Jadi, layakkah Rage in Peace disebut sebagai sebuah masterpiece? Yah, mungkin belum. Tapi untuk menuju ke sana, jaraknya sudah dekat sekali. Mungkin bila Rolling Glory Jam punya anggaran lebih besar untuk menciptakan animasi-animasi yang lebih mengagumkan lagi. Mungkin bila kualitas penulisan dialognya ditingkatkan lagi sehingga terasa lebih natural dan believeable.

Rage in Peace - Screenshot 7

Mungkin bila pergerakan kamera ketika sedang scrolling bisa diperhalus lagi, atau hitbox karakter dibuat lebih konsisten, atau akselerasi gerakan karakter di Act 4 dan 5 dibuat lebih responsif, atau apa lah. Tidak ada game sempurna di dunia ini, tapi masterpiece hanya bisa lahir dari tangan orang-orang yang tak pernah berhenti mengejar kesempurnaan. Sekarang memang masih belum, tapi dengan debut seperti ini, saya yakin Rolling Glory Jam bisa. Ekspektasi saya yang sudah menjulang begitu tinggi saja ternyata berhasil mereka lampaui, kok.

Rage in Peace adalah paket komplet yang mengingatkan saya pada betapa besarnya potensi yang dimiliki oleh video game. Di balik tampilan luarnya yang sederhana, game ini menyembunyikan roller coaster emosi berel spiral dengan pemberhentian akhir pada stasiun refleksi diri. Di dalamnya ada kemarahan, kesedihan, namun juga kebahagiaan, kedamaian. Dan bila Anda masih belum memainkannya… Anda tidak tahu apa yang sedang Anda lewatkan.

Sparks:

  • Desain para karakter yang memorable dan selalu memberi kesan kuat
  • Sistem kontrol yang responsif membuat Timmy sangat nyaman untuk dikendalikan
  • Keseimbangan pas antara kesulitan dan fasilitas bantuan
  • Gameplay yang begitu kreatif, jauh dari kata normal
  • Cerita seru dan penuh dengan momen emosional
  • Teks, audio, visual, dan gameplay bersinergi membentuk narasi unik yang mengagumkan
  • Musik ambience dan post-rock mengangkat nilai dramatis cerita ke titik yang sangat tinggi

Slacks:

  • Kualitas penulisan dialog masih bisa ditingkatkan lagi
  • Scrolling kamera terkadang tidak mulus sehingga mengganggu konsentrasi
  • Akselerasi gerakan Timmy di Act 4 sedikit kurang responsif
  • Sulit dijadikan bahan review karena lebih dari separuh isinya adalah kejutan

[Review] Mouse Gaming Corsair Harpoon RGB Wireless, Jagokan Kesederhanaan dan Fleksibilitas

Di ranah pengembangan aksesori gaming, inovasi ialah pedang bermata dua. Tanpanya, bidang ini tidak akan maju dan kita tak bisa menyaksikan terobosan-terobosan unik. Namun jika konsep sebuah perangkat terlalu radikal, kemungkinan besar konsumen jadi ragu buat mengadopsinya. Itu sebabnya beberapa produsen menggunakan pendekatan yang ‘lebih aman’ ketika meracik produk baru.

Boleh dibilang, arahan inilah yang diambil Corsair Components dalam mengembangkan mouse gaming Harpoon RGB Wireless. Harpoon RGB Wireless adalah versi nirkabel dari perangkat entry-level yang melakukan debutnya di kuartal terakhir 2016. Corsair tidak menerapkan banyak perubahan pada desain. Segala hal yang Anda sukai (dan tidak sukai) tentang Harpoon kembali muncul di sana. Dalam penggarapannya, produsen terlihat lebih memfokuskan perhatian pada faktor konektivitas.

Selama beberapa minggu ini, tepatnya dari sebelum 2018 berakhir, Corsair Indonesia mempersilakan saya untuk menjajal langsung periferal ini. Saya mengujinya dengan genre permainan berbeda serta menggunakannya sehari-hari buat bekerja. Dan terlepas dari simpelnya desain, dengan gembira saya katakan bahwa Harpoon RGB Wireless mampu menunaikan tugasnya secara optimal. Silakan simak ulasan lengkapnya di bawah.

 

Rancangan

Dalam puluhan tahun menikmati game di PC, mouse berdesain ambidextrous merupakan pilihan pribadi saya. Saya tidak kidal, namun mouse jenis ini biasanya punya penampilan lebih sederhana. Saya memang sempat jatuh hati pada beberapa model ergonomis, tapi umumnya mereka dibanderol di harga permium. Berita baiknya. Harpoon mengubah sentimen saya soal hal ini.

Harpoon RGB Wireless 10

Harpoon RGB Wireless 28

Seperti yang saya singgung sebelumnya, Harpoon RGB Wireless punya desain yang identik seperti versi standar. Konstruksi mouse terbuat dari bahan plastik, memiliki dimensi 115×68,3×40,4mm. Permukaan tubuhnya bertekstur kasar buat meningkatkan daya cengkeram, dipadu lapisan karet berpola segitiga di sisi kanan dan kiri. Lapisan karet juga dapat ditemukan pada bagian scroll wheel.

Harpoon RGB Wireless 30

Karena tubuhnya dirancang untuk pemakaian di tangan kanan, Harpoon RGB Wireless kurang pas buat user kidal. Kelengkapan tombolnya sendiri cukup standar. Mouse memiliki total enam tombol, termasuk tombol scroll wheel, dua thumb button dan switch DPI.

Harpoon RGB Wireless 6

Begitu dikeluarkan dari bungkusnya, Harpoon RGB Wireless tersambung ke kabel berlapis sulaman kain sepanjang 1,8-meter. Kabel ini bisa dicabut dari mouse, terhubung via port microUSB. Saat kabel dilepas, bagian belahan di scroll wheel membuatnya jadi menyerupai Scimitar Pro RGB. Lalu selain ada sistem pencahayaan RGB di punggung, LED juga dimanfaatkan sebagai indikator switch DPI, sehingga kita dapat lebih mudah mengingat setting-nya.

Harpoon RGB Wireless 23

Harpoon RGB Wireless 27

Satu aspek yang harus dimaklumi dari mouse versi nirkabel ialah bobot yang cenderung lebih tinggi dibanding model wired karena menyimpan baterai. Menariknya, Corsair tetap berhasil memastikan berat Harpoon RGB Wireless berada di bawah 100g, cuma 14g lebih berat dari Harpoon RGB (85g). Silakan lihat sisi bawahnya, Anda akan menemukan tutup kompartemen kecil untuk menempatkan dongle USB dan switch mode koneksi.

Harpoon RGB Wireless 20

 

Kualitas produk

Kepopuleran pencahayaan RGB membuat fitur ini diusung oleh banyak sekali gaming gear, termasuk varian ekonomis. Namun di beberapa model buatan tetangga, harga murah biasanya mengorbankan kualitas produk. Saya sempat membeli mouse gaming terjangkau dari brand ternama, dan menemukan betapa ringkihnya bagian samping sehingga tekanan di area itu menyebabkan thumb button jadi teregistrasi.

Harpoon RGB Wireless 22

Kabar baiknya, fenomena ini tidak terjadi pada Harpoon RGB Wireless. Tiap-tiap bagian di mouse terasa keras dan kokoh, tidak ada area yang lunak, walau bobotnya tergolong ringan. Mungkin hal yang perlu kita perhatikan adalah kebersihan lapisan karetnya. Jari berminyak dapat mengikisnya, dan saya sudah melihat sendiri kerusakan parah akibat minyak pada lapisan karet di gaming gear.

Harpoon RGB Wireless 5

Tiap tombol di Harpoon RGB Wireless mengandalkan switch Omron yang kabarnya dapat bekerja normal bahkan setelah ditekan sebanyak 50 juta kali. Sebagai perbandingan, switch Omron di Harpoon RGB standar punya daya tahan 20 juta kali klik.

Harpoon RGB Wireless 24

Dengan sederhananya desain, ringannya bobot dan absennya bagian-bagian ornamental, saya tidak khawatir saat harus memasukkan mouse dalam tas atau menggunakannya dalam sesi gaming intensif (ketika ada peluang emosi mengambil alih akal sehat). Bagian-bagian detachable seperti tutup kompartemen dongle USB dan colokan kabel ke mouse juga tetap mantap dan menggigit walaupun saya cabut-pasang berkali-kali.

Harpoon RGB Wireless 31

 

Software dan instalasi

Harpoon RGB Wireless bisa segera terbaca sistem begitu Anda menyambungkan kabelnya di port USB PC (minimal ber-Windows 7). Alternatifnya, kita tinggal mencolokkan dongle USB dan memindahkan switch ke mode nirkabel 2,4GHz atau mengoneksikannya via Bluetooth. Tapi tentu saja, agar mouse dapat bekerja optimal, pengguna disarankan untuk menginstal software iCUE (versi anyar dari Corsair Utility Engine) terlebih dulu.

Harpoon RGB Wireless 1

Begitu iCUE terpasang, ia dapat segera membaca perangkat Corsair yang ada atau tersambung di PC. Setelah membuka software ini, Anda hanya tinggal mengklik icon mouse untuk mengakses beragam fungsi di sana. Kita bisa membuat profile baru, mengonfigurasi macro, mengutak-utik pencahayaan dan pola LED, mengustomisasi setting DPI serta mengubah kecepatan pointer.

Harpoon RGB Wireless 2

Lewat iCUE, Corsair berhasil menunjukkan bahwa mereka adalah salah satu pengembang software companion terbaik. Interface-nya sangat intuitif, tidak membingungkan dan tidak menyekat fungsi-fungsinya ke menu berbeda. Bahkan untuk mereka yang pertama kali menggunakannya, semua hal tersaji ringkas.

Harpoon RGB Wireless 3

 

Aspek teknis dan pengalaman penggunaan

Jantung dari Harpoon RGB Wireless adalah sensor optik ‘gaming grade‘ PMW3325 persembahan PixArt, menyuguhkan DPI rating dari 100- sampai 10.000-dots per inch. Ketika bermain, saya jarang menggunakan setting DPI terlalu tinggi. Saat ulasan ini ditulis, saya merasa nyaman memakai 1.500DPI baik untuk bekerja maupun bermain. Namun kapabilitas ini memperlihatkan fleksibilitas dan kesiapan mouse menunjang beragam karakteristik pengguna.

Harpoon RGB Wireless 9

Harpoon RGB Wireless 26

Harpoon RGB Wireless memang diprioritaskan untuk menangani permainan-permainan first-person shooter. Dari pengalaman memakainya, mouse mampu membaca gerakan dengan tanggap, serta melacak secara akurat dan (yang terpenting) konsisten – dibantu oleh mouse feet berbahan polytetrafluoroethylene. Sensitivitas tinggi bisa bermanfaat jika Anda benar-benar membutuhkan responsitivitas, misalnya ketika melakukan serangan jarak dekat; sedangkan sensitivitas rendah sangat membantu meningkatkan akurasi, terutama saat memburu lawan berbekal senapan penembak jitu.

Harpoon RGB Wireless 18

Permainan-permainan yang saya gunakan buat menguji Harpoon RGB Wireless meliputi Shadow of the Tomb Raider sebagai perwakilan dari genre action secara umum, game action-RPG Monster Hunter: World, dan Titanfall 2, shooter yang menuntut presisi dan responsivitas tinggi.

Harpoon RGB Wireless 15

Saya sama sekali tidak menemui masalah dalam Shadow of the Tomb Raider dan Monster Hunter: World. Tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, senyaman-nyamannya mouse baru, saya tetap membutuhkan proses adaptasi ketika bermain game multiplayer kompetitif bertempo cepat. Mengejutkannya, Harpoon RGB Wireless terasa seperti perpanjangan tangan saya sendiri dari awal menikmati Titanfall 2.

Harpoon RGB Wireless 13

Tidak ada bagian yang menonjol aneh atau bentuk-bentuk canggung. Saya adalah seorang pengguna mouse dengan kebiasaan menggenggam gaya cakar (claw grip). Postur ini – ditambah lagi mungilnya tangan saya – mengakibatkan jangkauan jari jadi lebih pendek. Meski demikian, saya bisa mencapai semua tombol di mouse tanpa kesulitan, terutama dua thumb button. Mengangkat mouse juga mudah, cukup berbekal jempol, jari manis dan kelingking.

Harpoon RGB Wireless 29

Mungkin sedikit keluhan saya pada thumb button adalah, dua bagian di sana sulit dibedakan karena konturnya serupa. Akhirnya, saya enggan menaruh fungsi krusial game di thumb button depan karena sering tertukar dengan tombol di sebelahnya.

Harpoon RGB Wireless 19

Mouse gaming ini menyediakan tiga mode penggunaan, yakni via kabel, nirkabel di frekuensi 2,4GHz ‘Slipstream’ menggunakan dongle, dan Bluetooth LE 4.2 (dengan latency 7,5-milidetik). Sebagian orang mungkin akan berargumen bahwa wired merupakan jenis koneksi terbaik buat gaming. Namun saya tidak menemui kendala ketika bermain terlepas dari mode yang sedang digunakan. Malah tanpa kabel, pemakaian mouse jadi lebih bebas dari keribetan.

Harpoon RGB Wireless 21

Saat baterai terisi penuh, mode wireless Slipstream Wireless 2,4GHz siap menyajikan sesi gaming selama 30 jam. Durasi bisa meningkat jadi 40 jam di mode Bluetooth. Ingin lebih hemat? Aktifkan Power Saving Mode untuk mematikan segala LED dan mendongkrak daya tahan baterai hingga 60 jam. Mouse turut dilengkapi memori internal sehingga setting yang sudah Anda buat tidak akan hilang meski disambungkan ke unit PC berbeda.

Harpoon RGB Wireless 4

 

Konklusi

Perlu kembali kita sadari bahwa di ranah gaming gear, tidak ada produk yang bisa menjadi solusi atas kebutuhan seluruh konsumen. Perangkat gaming ideal sangat bergantung dari kebiasaan, preferensi, dan modal pengguna. Walau begitu, saya tidak segan memasukkan Harpoon RGB Wireless ke daftar rekomendasi mouse gaming, khususnya bagi penggemar permainan action dan shooter yang menginginkan periferal ringkas, andal, serta ditunjang fitur-fitur gaming esensial.

Harpoon RGB Wireless  memperlihatkan pada kita bahwa desain yang sederhana masih tetap bisa menawarkan fleksibilitas pemakaian. Di sana ada dua mode nirkabel, dan jika Anda masih belum yakin dengan performa koneksi wireless, mode wired setia menanti. Keleluasaan tersebut membuatnya bukan hanya dapat dimanfaatkan sebagai gaming gear, tapi juga perangkat bekerja: colok dongle di laptop, dan Anda tidak akan direpotkan lagi oleh kabel.

Harpoon RGB Wireless 25

Tapi meski Harpoon RGB Wireless bisa jadi pertimbangan untuk mereka yang belum mempunyai mouse khusus gaming, saya pikir belum ada alasan kuat bagi pemilik Harpoon standar buat beralih ke varian nirkabel ini. Desain dan konstruksinya identik, dan mereka sama-sama didukung iCUE.

Harpoon RGB Wireless 17

Aspek harganya sendiri mungkin dapat membuat calon konsumen jadi ragu membelinya. Ketika Harpoon RGB standar saat ini bisa Anda peroleh dengan mengeluarkan uang kisaran Rp 350 ribu, harga saudara nirkabelnya jauh lebih tinggi, dibanderol Rp 825 ribu.

 

Sparks

  • Ergonomis dan nyaman
  • Sangat ideal untuk menikmati game FPS dan action
  • Instalasi mudah
  • Memilih mode juga simpel
  • Dukungan iCUE secara menyeluruh

Slacks

  • Desainnya tidak pas digunakan oleh gamer kidal
  • Segala hal yang (mungkin) Anda tidak sukai dari Harpoon RGB muncul lagi di sana
  • Harganya jauh lebih mahal dari versi berkabel

[Review] Red Dead Redemption 2, Mahakarya Digital Dalam Wujud Simulator Koboi

Di sebuah pagi yang indah di kota kecil bernama Rhodes, Arthur Morgan baru saja menyelesaikan sarapannya. Hari memang terbilang masih dini, tapi apa salahnya untuk menikmati sedikit minuman alkohol bukan? Arthur mulai berjalan ke arah bartender, saat dua pemabuk masuk dari pintu belakang. Sempat beradu mulut, dua individu anggota Lemoyne Raiders itu tiba-tiba menyerang seorang pelanggan.

Arthur tak jadi memesan minuman, karena saya terlalu terkesima melihat insiden tersebut. Dan tanpa menunggu lama, kedua pemabuk mulai menumpahkan kekesalannya pada Arthur. Saya punya beberapa pilihan di sini: pergi dengan damai, atau tetap berada di sana dan melihat apa yang selanjutnya akan terjadi. Seperti yang mungkin bisa Anda tebak, Arthur akhirnya terlibat baku hantam dengan para anggota geng.

Kejadian di atas merupakan satu dari banyak skenario tak terduga yang akan ditemui para pemain Red Dead Redemption 2. Kejutan dan ketidakpastian di sana tercampur secara dinamis dengan dunia permainan kompleks yang dirajut penuh detail oleh Rockstar Studios. Red Dead Redemption 2 bukanlah Grand Theft Auto versi koboi. Sejatinya, game ini adalah simulator kehidupan ‘American Old West’ yang berpeluang menghabiskan ratusan jam hidup Anda.

Redemption 1

 

Starts really slow…

Sebelum membahas game ini lebih jauh, perlu Anda ketahui bahwa saya tidak pernah memainkan Red Dead Redemption pertama. Itu artinya, saya tidak bisa memberikan perbandingan. Hal yang saya tahu adalah, game ini didesain sebagai prekuel, dan meski memperkenalkan karakter protagonis baru, ia kembali mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh familier seperti Dutch van der Linde, John Marston dan Abigail Roberts.

Redemption 7

Arahan prekuel tentu saja memberikan efek positif bagi mereka yang tak pernah bermain Red Dead Redemption: tidak ada ekspektasi dan semuanya terasa seperti lembaran baru. Perspektif ‘lembaran baru’ juga perlu kita pasang sebelum memulai Red Dead Redemption 2 karena struktur gameplay permainan ini berbeda dari game open world populer lain. Ia bahkan terasa begitu berbeda dari Grand Theft Auto V.

Redemption 19

Red Dead Redemption 2 dibuka dengan begitu lambat. Di awal cerita, dikisahkan bahwa geng Van der Linde gagal menjalankan suatu operasi di Blackwater dan terpaksa melarikan diri dari kejaran agen Pinkerton. Hal tersebut memaksa mereka mengungsi ke daerah dingin dan terpencil di atas gunung. Dan dari sana, permainan pelan-pelan mengajarkan gameplay dasar seperti menembak, berburu, dan berkuda.

Redemption 26

Penyajian linier ini berlangsung kurang lebih selama 20 jam, dan mungkin inilah saat-saat kritis penguji kesabaran. Di sana Anda menyadari bagaimana Arthur Morgan bergerak dengan lambat, apalagi ketika ia berjalan menembus tumpukan salju. Melalui momen introduksi ini, RDR2 secara tak langsung mencoba memberi tahu pemain bahwa ia merupakan game yang harus dinikmati secara perlahan-lahan.

Redemption 18

Dunia permainan baru mulai terbuka luas ketika Chapter 1 berakhir, tepatnya saatnya geng Van der Linde telah menemukan lokasi untuk bermukim. Perkemahan ini adalah pusat operasi geng. Di sana Anda bisa berkenalan lebih jauh dengan tokoh-tokoh lain serta mengerjakan sejumlah aktivitas (memotong kayu bakar, memberi makan hewan, menyiapkan air bersih). Di tempat ini pula lah mayoritas quest utama diberikan.

Redemption 24

Namun bahkan di momen ini, game belum memberi tahu bahwa ada dunia luas menanti buat dieksplorasi di luar sana. Padahal, sejumlah side quest (ditandai dengan indikator putih di peta) akan terlewat dan menghilang jika Anda hanya mengerjakan main quest (indikator berwarna kuning). Saran saya, jangan ragu untuk berjelajah ketika memungkinkan karena Red Dead Redemption 2 mengapresiasi eksplorasi dan eksperimen.

 

It’s a slow game

Red Dead Redemption 2 bukanlah game bagi mereka yang ‘ingin selalu buru-buru’. Efek positif dari pendekatan ini adalah, kita punya banyak waktu untuk menikmati segala konten yang tengah disuguhkan di depan mata, serta jadi lebih cermat dalam menangkap segala detail tersembunyi, seperti kotak deposit di bawah meja atau tumbuhan wortel liar buat konsumsi kuda Anda.

Redemption 23

Di Red Dead Redemption 2, sebagian besar waktu Anda dihabiskan untuk pergi dari satu titik ke titik lain. Namun perjalanan jarang sekali membosankan. Selalu ada kejadian menarik, menegangkan, ataupun hal-hal pengalih perhatian. Dalam perjalanan, Anda bisa saja menemui orang yang butuh pertolongan, dihadang geng rival, atau mungkin menemukan jejak hewan buruan yang sedang Anda cari.

Redemption 15

Salah satu kejadian favorit saya meliputi upaya pencopetan tepat ketika Arthur masuk ke toko senjata. Insiden ini memulai aksi kejar-kejaran seru yang membawa saya ke pemukiman terpencil di jantung kota Saint Denis. Peristiwa lucu lain adalah ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai penembak tercepat, hingga akhirnya saya tantang untuk berduel. Arthur tidak membunuhnya – hanya menembak kakinya, namun saya duga hal itu melukai egonya karena ia melarikan diri dengan penuh malu.

Redemption 5

Dalam petualangannya, Arthur akan menjumpai banyak kejadian, dan seberapa pun remehnya, penyajiannya selalu menarik dan penuh detail. Rockstar sendiri adalah studio paling brilian dalam hal peracikan narasi, tapi cerita-cerita paling unik di RDR2 malah tersimpan di dunianya – bersembunyi di sejumlah side quest, serta kadang disajikan tanpa percakapan (contohnya ketika Arthur mencoba memecahkan teka-teki pembunuhan berantai).

Redemption 12

Permainan punya tingkat detail yang sulit ditandingi permainan lain, dan membuat gameplay-nya jadi kompleks. Anda perlu membiasakan diri dengan sistem health, stamina, dead eye yang statusnya diperanguhi core (butuh adaptasi). Jika diperlukan, Arthur memang bisa berlari kencang, tapi aktivitas itu lama-lama akan mengurangi inti stamina, dan hanya bisa diisi kembali lewat mengonsumsi nutrisi tertentu.

Terlalu banyak atau sedikit makan juga akan memengaruhi berat badan Arthur. Jika berat badan kurang, tingkat health akan merosot tapi stamina jadi meningkat, memungkinkan sang koboi berlari lebih lama. Kelebihan berat badan akan membalikkan status tersebut.

Redemption 27

 

Role-playing + sim

Red Dead Redemption 2 juga menyimpan sistem leveling ala role-playing yang diimplementasikan ke banyak elemen. Seandainya Anda ingin meningkatkan stamina, suruhlah Arthur berlarian ke sana-sini. Ingin memperpanjang durasi dead eye (slow motion)? Banyak-banyaklah menembak. Lalu pertarungan tangan kosong yang Arthur lakukan bisa menambah health bar. Hal ini bahkan diterapkan pada kuda tunggangan Anda. Semakin dekat hubungan hewan ini dengan tuannya, maka ia kian mudah dikendarai dan dapat melakukan lebih banyak manuver.

Redemption 25

Arthur Morgan memang mempunyai jalan pikirannya sendiri (ia tidak akan menerima ‘tawaran’ wanita-wanita penghibur), namun karakteristik serta penampilannya bisa Anda bentuk sesuai imajinasi: jadi individu baik atau buruk, mengenakan pakaian yang rapi dengan rambut dan dan jenggot terawat, atau berantakan layaknya penjahat-penjahat di kisah Wild West.

Kustomisasi bisa Anda lakukan pada hampir seluruh hal, contohnya warna dan pola pakaian (baju, celana rompi, sampai spur di sepatu boot Arthur), gaya rambut, persenjataan (mengutak-atik pistol merupakan bagian favorit saya) hingga penampakan kuda peliharaan dan pelananya. Terlalu banyak atau kurang makan juga memengaruhi wajah dan tubuh sang jagoan, kemudian rambut dan jenggot akan panjang secara natural – kita bisa memotongnya dengan gaya tertentu atau membiarkannya.

Redemption 13

Begitu detailnya sejumlah aspek di game memasukkan Red Dead Redemption 2 ke kategori simulasi. Mendaki bukit atau menembus salju di kecepatan tinggi akan menghabiskan stamina kuda Anda; lalu ketika berburu, Anda mesti menyadari ke mana angin bertiup karena hewan dapat mencium bau tubuh Arthur; lalu agar bekerja sempurna, pistol dan senapan perlu diperhatikan kondisinya secara reguler; contoh lainnya, tumbuh-tumbuhan serta bagian hewan bisa dimanfaatkan sebagai pangan, bahan crafting ataupun bumbu masakan.

Redemption 16

Rockstar Studios kembali menggunakan Honor System di RDR2, yaitu sistem yang mengukur baik buruknya tindak-tanduk Arthur Morgan. Menyakiti orang tak bersalah, merampok, mencuri, menggeledah mayat karakter non-antagonis atau sekadar membiarkan hewan buruan mati kehabisan darah akan menyebabkan poin Honor jadi berkurang; sedangkan perbuatan-perbuatan baik dapat menaikkan rating-nya. Di Red Dead Redemption 2, Arthur bisa berinteraksi dengan semua karakter lewat cara yang baik ataupun kasar.

Menyerang kereta dan melakukan aksi perampokan memang terdengar seru dan menghidupkan imajinasi kita tentang film-film Old West, tapi dari pengalaman saya, ada banyak keuntungan menjadi karakter baik: toko dan pedagang akan memberikan Anda potongan harga, ada lebih banyak item dan pakaian yang dapat kita akses, lalu musuh-musuh yang Anda kalahkan akan menjatuhkan lebih banyak tonic dan obat.

Redemption 22

 

Let’s talk technical

Aspek negatif yang Red Dead Redemption 2 wariskan dari Grand Theft Auto 5 adalah sistem pengendalian yang rumit, tidak responsif dan tidak intuitif. Pertama-tama, Anda harus menghafal tiap-tiap fungsi tombol dan kombinasinya. Bahkan untuk mengerjakan aktivitas simpel seperti memberi makan kuda saat kita mengendarainya memerlukan lima langkah/kali menekan tombol. Bayangkan rasa frustasi sewaktu Anda ingin menggunakan dead eye saat Arthur ditodong segerombolan orang di tengah perjalanan.

Redemption 3

Keluhan lain terkait sistem kendalinya ialah, sering kali game tidak merespons perintah dengan sigap di momen-momen genting. Misalnya, saya sudah menekan tombol untuk menangkis, tapi Arthur tetap terkena pukulan, ia juga kurang cepat menggeser posisi ketika berlindung di tengah hujan peluru, kemudian membidikkan senjata terasa begitu berat – tanpa sistem auto-aim, rasanya mustahil Arthur bisa menangani banyak musuh sekaligus. Seolah-olah, RDR2 sengaja menyulitkan kita buat bergerak.

Redemption 14

Kurangnya responsivitas input berpeluang menyebabkan sejumlah masalah yang tidak diinginkan: kuda menabrak batu di tengah-tengah aksi kejar-kejaran, atau menghantam pejalan kaki, melukai mereka, dan menjadikan Anda tersangka penyerangan. Di suatu ketika, saya pernah tak sengaja membentur tubuh NPC. Momentumnya sangat pelan, tetapi efeknya menggagalkan seluruh side quest. Kemudian tombol L2 (DualShock 4) untuk mengaktifkan fitur interaksi malah membuat saya menodongkan pistol ke pemburu yang baru saja Arthur selamatkan.

Jika interaksi merupakan aspek yang begitu penting dalam Red Dead Redemption 2, Rockstar sebaiknya menggarap sistem kendali yang jauh lebih presisi lagi.

Redemption 11

Anda mungkin sudah mendengar bagaimana gamer dan media memuji grafis Red Dead Redemption 2. Secara visual, game ini memang cantik dan memesona: sinar matahari menembus dedaunan dan mengenai jaket, titik-titik pantulan cahaya di salju, serta begitu nyatanya efek becek dan basah ketika Arthur menjelajahi rawa-rawa. Tak cuma grafis, Rockstar Studios juga sangat pandai membangun atmosfer. Tiap-tiap wilayah bisa memberikan efek berbeda, misalnya daerah salju yang benar-benar terasa terpencil ataupun hutan basah berisi makhluk-makhluk pemangsa.

Redemption 10

Berbicara aspek teknis, faktanya RDR2 hanya menghidangkan 30 gambar per detik terlepas dari platform apapun yang Anda gunakan. Soal pilihan console, Xbox One X merupakan hardware terbaik buat menangani game karena mampu menyajikan resolusi 4K sejati. Bahkan di PlayStation 4 Pro, permainan cuma menyuguhkan resolusi 1920x2160p dengan kepadatan pixel separuh dari UHD sesungguhnya (di 2160x3840p).

Redemption 2

Dalam hal resolusi versus performa, saya pribadi lebih memfavoritkan kelancaran bermain dengan mengorbankan jumlah pixel. Di God of War, Anda bisa memilih memprioritaskan satu dari dua hal tersebut, namun di kasus Red Dead Redemption 2, kita harus puas dengan 30FPS. Buat saya yang gemar menikmati game-game bertempo cepat di PC, kembali bermain di frame rate rendah terasa seperti mundur ke era console last-gen.

 

Verdict

RDR2 merupakan permainan terbesar di tahun 2018, dan setelah memainkannya selama beberapa ratus jam saja, saya memahami apa yang membuat begitu banyak orang menantinya. Tak cuma besar dan ambisius, Red Dead Redemption 2 adalah salah satu game terbaik yang bisa dimainkan di console generasi kedelapan, jika Anda berkenan memaklumi sejumlah kendala teknis dan arahan ‘unik’ yang Rockstar terapkan di sistem pengendalian karakternya.

Redemption 3

Red Dead Redemption 2 bukanlah game action-adventure biasa. Sejatinya, ia adalah permainan semi-simulasi kehidupan koboi, akan menyeret Anda mundur menyusuri waktu ke tahun 1899. Elemen action hanyalah satu dari banyak pilar gameplay-nya. Seorang teman dekat saya menyebutnya sebagai Westworld dalam bentuk video game, dan saya setuju dengan perumpamaan ini, apalagi jika nanti Red Dead Online sudah tiba dan pemain bisa menciptakan karakter sendiri.

Redemption 17

Agar bisa menikmati seluruh kontennya secara maksimal, saran saya ialah, terima Red Dead Redemption 2 apa adanya. Hilangkan ekspektasi Anda, dan tak perlu mencoba mengomparasinya karena RDR2 tak sama seperti game-game lain. Begitu sesi introduksi berakhir, Red Dead Redemption 2 akan menyingkap keajaibannya. Selalu ada kejadian dan skenario tak terduga yang bisa ditemukan di dunia permainan.

Pesan saya buat Rockstar, menghadirkan Red Dead Redemption 2 di PC berpotensi menanggulangi sejumlah masalah yang ada di permainan, karena platform ini tidak dihadang kendala keterbatasan hardware console. Bayangkan betapa luar biasanya jika game dapat dijalankan di atas 60FPS, dengan resolusi lebih tajam, dan input kendali yang bisa dikustomisasi.

Redemption 20

 

Sparks

  • Dunia permainan yang kaya, hidup dengan berbagai hal yang dapat Anda lakukan
  • Kompleks tapi sangat adiktif
  • Tingkat detail yang sulit Anda temukan di game lain
  • Salah satu game dengan visual tercantik yang tersedia buat console current-gen
  • Beragam cerita dan karakter menarik menanti untuk Anda ungkap

 

Slacks

  • Sistem kontrol yang rumit, tidak responsif dan tidak intuitif
  • Hanya bisa menyajikan 30 frame per detik
  • Menghabiskan ruang penyimpanan sangat besar, kurang lebih 100GB
  • Belum tersedia di PC

[Review] Valthirian Arc: Hero School Story – Lulus dengan Nilai Cukup

Saya memiliki sebuah kebiasaan buruk ketika menulis review alias ulasan game. Menulis ulasan untuk game yang sudah jelas keren itu mudah. Begitu pula dengan menulis ulasan game yang memang sudah jelas jelek. Tapi ada sebuah ruang menyebalkan di antara “keren” dan “jelek” yang selalu membuat saya frustrasi, yaitu ketika sebuah game punya potensi besar untuk jadi keren namun tersandung beberapa hal sehingga gagal mencapai status keren secara utuh. Saya mengelompokkan game semacam ini ke dalam sebuah kategori khusus, yaitu game hampir keren”.

Valthirian Arc: Hero School Story masuk ke dalam kategori tersebut. Ketika memainkan Valthirian Arc, saya sering menemukan momen-momen yang menurut saya bagus sekali. Baik dari segi cerita maupun gameplay, Valthirian Arc menggoda kita dengan janji-janji manis nan mendebarkan, namun setelah ditunggu lama ternyata tidak kunjung terealisasi. Lalu ketika saya sudah hampir bosan, putus asa, dan ingin game ini cepat tamat saja, tiba-tiba muncul momen-momen keren secara tak terduga. Saya jadi batal sebal. Tapi kemudian sebal lagi. Begitu terus-menerus. Perasaan saya seperti dipermainkan.

Ketika mengulas sebuah game yang hampir keren, biasanya gaya bahasa saya akan menjadi sedikit kasar. Sebetulnya mungkin bukan kasar sih, tapi lebih tepat disebut geregetan. Bagaimana pun juga saya ingin agar di dunia ini tidak ada game jelek, jadi ketika ada game yang punya potensi besar namun tidak tercapai maksimal, gemas sekali rasanya. Mungkinkah ini yang dinamakan tough love?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 1

Narasi: Sampul Depan Sebuah Epos

Valthirian Arc: Hero School Story dibuka dengan adegan-adegan yang menurut saya sangat exciting (maaf, saya tak menemukan padanan kata bahasa Indonesia yang tepat). Beragam ilustrasi indah menghiasi adegan demi adegan cerita yang memperkenalkan Anda pada kondisi dan tatanan pemerintahan keraton Valthiria. Setelah menerima jabatan sebagai kepala akademi pahlawan dan bertemu para staf yang akan bekerja bersama Anda, Anda melihat tingkah laku para bangsawan dari seluruh penjuru negeri, masing-masing tampak punya agenda tersendiri.

Kemudian cerita bergerak cepat. Bencana tak dinyana tiba, dan mendadak keraton Valthiria jatuh ke dalam suatu kondisi kekosongan kekuasaan. Seorang putri yang seharusnya menjadi pewaris takhta, keberadaannya entah di mana. Lima ratu vasal Valthiria tergiur nafsu untuk merebut kuasa, dan Anda, sebagai kepala akademi yang punya pengaruh militer, tak luput dari ketertarikan mereka.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 2

Kekacauan di Valthiria semakin buncah ketika datang masalah dari luar. Sebuah sekte misterius muncul melakukan pemberontakan, dan beredar desas-desus akan suatu kekuatan jahat yang mengancam keberlangsungan keraton Valthiria. Sebagai kepala akademi, Anda mengemban tanggung jawab melatih para siswa untuk menjadi kader-kader pahlawan penjaga kesatuan negara. Jelas bukan tugas yang mudah.

Sampai di sini cerita Valthirian Arc: Hero School Story terasa cukup mendebarkan. Saya tidak berharap akan ada konflik sedalam Game of Thrones atau Final Fantasy Tactics, namun premisnya yang serupa membuat saya sangat berminat mengetahui kelanjutan ceritanya. Dan betapa kecewanya saya ketika mendapati bahwa cerita dalam game ini tiba-tiba berhenti maju, seperti mobil yang direm mendadak tanpa peringatan.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 3

Alih-alih menggali motivasi terselubung di balik para bangsawan di Valthiria, game ini malah sibuk menyuguhkan beragam quest dengan skenario yang begitu miskin faedah. Bukannya berisi intrik politik, quest yang dari deskripsinya terlihat penting ternyata hanya membuat siswa-siswi akademi saya jadi pekerja kasar. Mengumpulkan jamur, memburu babi, serta menambang mineral adalah sebagian contohnya.

Struktur quest yang mengecewakan mungkin masih bisa dimaafkan bila setidaknya cerita di dalamnya seru. Akan tetapi ternyata tidak. Kontras dengan nuansa cerita utamanya yang serius, semua quest ini malah sarat akan dialog-dialog jayus. Saya jadi curiga, jangan-jangan naskah cerita utama dan naskah quest ditulis oleh orang-orang yang berbeda.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 4

Quest dengan cerita “ringan” sebetulnya bukan barang baru di dunia RPG. Banyak game lain juga melakukannya. Tetapi ini jadi masalah ketika cerita “ringan” mengisi sekitar 90% dari game keseluruhan, bahkan termasuk di misi-misi yang seharusnya merupakan bagian dari cerita utama. Diingat-ingat lagi, cerita Valthirian Arc: Hero School Story yang saya sukai hanyalah bagian pembuka dan penutupnya saja. Sisanya betul-betul membosankan dan terasa seperti filler.

Saya juga heran, perancang quest Valthirian Arc: Hero School Story sepertinya suka sekali dengan turnamen. Bila dalam game ada satu cerita atau misi turnamen, itu sudah biasa. Tapi di sini setidaknya ada tiga deretan quest yang isinya hanya turnamen saja. Satu deret tantangan dari para ratu, satu deret misi Trials of Valthiria, dan satu deret lagi misi dari suku Kawiya. Mengapa? Mengapa harus turnamen terus? Tidak adakah alasan lain yang lebih menarik untuk turun ke dungeon dan menghajar monster?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 5

Nantinya, ketika Anda sudah sampai mendekati akhir game, Anda akan bertemu dengan beberapa quest spesial untuk mendapatkan senjata-senjata legendaris. Dan salah satu quest senjata legendaris itu betul-betul membuat saya emosi jiwa. Bagaimana tidak? Sebelum masuk ke misi utama, saya terlebih dahulu harus:

  • Mencari kapten kapal untuk membawa saya menyeberang laut
  • Menjalankan tuas-tuas untuk membuka gerbang menuju pelabuhan
  • Kapal diserang! Bertarung melawan monster
  • Kapal diserang lagi! Bertarung lagi
  • Mencari anak untuk menjadi pemandu di pulau, ternyata si anak terperangkap
  • Mencari pelumas untuk membuka pintu perangkap
  • Melewati beberapa dungeon lainnya tanpa ada kejadian penting

Percayalah, bila daftar ini terdengar membosankan, memainkannya langsung lebih membosankan lagi. Padahal deretan quest ini harus kita lakukan untuk mendapatkan Crescent Edge, pedang legendaris dengan kekuatan terkutuk yang dapat menciptakan malam abadi. Benda sekeren itu, tapi proses mendapatkannya “receh” begini? Imbalan yang kita dapat keren sih, tapi bagaimana bisa puas bila isi quest itu sendiri tidak menarik?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 6

Quest dalam game ini yang begitu banyak namun tidak berkesan adalah contoh kasus ketika kuantitas mengalahkan kualitas. Pada akhirnya berjibun quest itu hanya jadi wadah untuk bertarung dan grinding, termasuk juga quest cerita utamanya. Sungguh hal yang patut disayangkan, padahal premis cerita di awal punya banyak ruang untuk berkembang.

Untungnya, Valthirian Arc: Hero School Story berhasil mencapai titik yang tinggi ketika cerita sampai di klimaks. Adanya plot twist yang cukup keren (walau mungkin agak mudah ditebak), alasan untuk berempati terhadap motivasi tindakan musuh, serta perkembangan diri beberapa karakter penting sudah cukup untuk menghasilkan ketegangan yang memikat. Setidaknya setelah tamat, saya bisa berkata dengan yakin bahwa game ini punya ending yang memuaskan.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 7

Tata Permainan: Kemudi Semiotomatis

Sama seperti cerita, aspek gameplay dalam Valthirian Arc: Hero School Story juga digerogoti keputusan-keputusan aneh yang menghalangi game ini dari status keren sempurna. Pada dasarnya inti permainan Valthirian Arc: Hero School Story cukup sederhana. Sebagai kepala akademi, Anda akan merekrut siswa-siswi baru, menjalankan quest untuk meningkatkan level mereka, melengkapi mereka dengan berbagai macam senjata, dan setelah level mencukupi, mengubah mereka menjadi class tertentu. Terdapat tiga class dasar dan enam class lanjutan dalam game ini, variasinya cukup luas juga asyik untuk diulik-ulik.

Bagi Anda yang menyukai game dengan fokus pada character building semacam Ragnarok Online atau Diablo, Valthirian Arc: Hero School Story akan terasa familier dengan cepat. Ada kesenangan yang muncul dari memilih siswa untuk “dibesarkan”, karena tiap siswa punya atribut dasar berbeda-beda. Satu siswa mungkin cocok untuk dijadikan class Paladin, sementara siswa lainnya lebih cocok menjadi Arquebusier. Terdapat banyak kombinasi untuk dicoba-coba, termasuk kombinasi hura-hura misalnya party berisi empat orang Scholarsage untuk pengalaman framerate drop maksimal.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 8

Senjata-senjata langka dapat Anda peroleh lewat item drop di dungeon, membeli di pedagang keliling, atau crafting di Armory. Cara mana pun yang Anda pilih, berhasil mendapatkan senjata keren selalu terasa menyenangkan. Dengan senjata yang tepat, seorang siswa bisa tampil sangat menonjol di medan pertarungan.

Sayangnya Valthirian Arc: Hero School Story punya masalah yang aneh di perihal balancing. Secara garis besar, pertarungan dalam game ini hanya punya dua kemungkinan: Anda membunuh semua musuh dengan satu serangan, atau Anda mati dengan satu serangan. Mungkin frase “dengan satu serangan” agak berlebihan sih, tapi memang rasanya seperti itu. Bila Anda bertemu musuh yang levelnya terlalu tinggi sedikit saja, Anda akan sangat cepat mati. Sebaliknya, bila level Anda lebih tinggi dari musuh sedikit saja, musuh pun akan sangat cepat mati, termasuk musuh-musuh bos sekalipun.

Balance yang aneh itu mengingatkan saya pada game Pikmin atau Little King’s Story, yang mana sebetulnya kedua game tersebut bukanlah game action murni tapi lebih menyerupai real-time strategy (RTS). Saya menemukan bahwa taktik terbaik dalam pertarungan adalah berlari saja berputar-putar, karena biasanya musuh akan berusaha mengincar karakter yang Anda kendalikan. Sementara si musuh sibuk mengejar Anda, teman-teman Anda (yang dikendalikan komputer) dapat menghajarnya leluasa hingga ia mati tanpa perlawanan berarti.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 9

Setelah main cukup lama, persoalan balance tak lagi terasa signifikan. Saya cukup menganggap bahwa Valthirian Arc: Hero School Story adalah game dengan genre yang tak biasa, dan masalah itu sudah bisa saya abaikan. Tapi kemudian muncul satu hal lagi yang sebenarnya mungkin minor, tapi membuat saya bertanya-tanya, “Mengapa?!” Masalah itu, saudara-saudara sekalian, adalah fitur bernama Trigger Skill.

Jadi begini. Tiap class dalam Valthirian Arc: Hero School Story dapat mempelajari berbagai macam skill yang terbagi ke dalam tiga jenis: Active Skill, Permanent Skill, dan Trigger Skill. Active Skill pertama akan langsung Anda dapatkan ketika memilih class, namun untuk mendapatkan Active Skill berikutnya, Anda harus berganti ke salah satu class lanjutan dan mencapai level 25. Permanent Skill, di sisi lain, adalah skill pasif yang dapat meningkatkan atribut-atribut karakter Anda, seperti daya serang atau jumlah HP.

Dua jenis skill di atas tidak ada masalah. Yang saya permasalahkan adalah jenis skill ketiga, Trigger Skill, yaitu skill yang akan muncul secara random di tengah pertarungan. Trigger Skill ini ada banyak jumlahnya, beberapa bahkan lebih keren dan bermanfaat daripada Active Skill.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 10

Class Arc Draconus misalnya, memiliki Trigger Skill bernama Dragon Dance. Karakter Anda akan melompat sambil menebas musuh dengan gerakan spiral, lalu menghempaskan pedang ke arah lantai, menghasilkan damage yang luar biasa. Class Magi dan Medica memiliki Trigger Skill bernama Freeze, ilmu sihir yang sangat berguna untuk menghentikan gerakan lawan. Harlequin memiliki Trigger Skill bernama Poison Flask yang dapat meracuni musuh dalam area yang besar. Dan masih banyak lagi lainnya.

Pertanyaan saya: Mengapa skill yang keren-keren seperti ini malah hanya bisa dilakukan secara random? Mengapa tidak membuat semuanya jadi Active Skill saja, agar pemain dapat mengeluarkan potensi keren karakter mereka hingga batas maksimal? Mengapa saya tidak boleh spamming semua skill terus-menerus seperti Fayt Leingod di Star Ocean: Till the End of Time?

Kembali ke persoalan balance tadi, mungkin jawabannya adalah karena Valthirian Arc: Hero School Story memang bukan game action murni, melainkan semi-RTS. Bila semua skill dijadikan Active Skill, pertarungan mungkin akan jadi terlalu rusuh. Tapi saya tetap merasa sebal, sebab game ini tidak memberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur aksi karakter-karakter saya.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 11

Terlepas dari keluhan-keluhan di atas, gameplay Valthirian Arc: Hero School Story secara keseluruhan menurut saya menyenangkan. Bahkan, sangat menyenangkan! Selain membawa para siswa bertarung, Anda juga harus mengatur wujud akademi Anda. Memilih ruangan dan bangunan untuk didirikan rasanya begitu menghibur, apalagi tidak ada penalti besar untuk menghancurkan ruangan/bangunan lalu memindah-mindahnya ke lokasi lain.

Setiap akhir semester, Anda harus memilih minimal satu siswa untuk diluluskan. Unsur pemilihan ini pun begitu asyik, sebab selalu ada dilema antara usaha dan imbalan yang diberikan. Bila Anda meluluskan karakter dengan level pas-pasan, uang serta poin akreditasi yang Anda dapat akan lebih sedikit. Tapi bila harus meluluskan karakter yang sudah Anda tempa hingga sangat jago, kira-kira apakah Anda rela?

Semakin sayang Anda pada siswa-siswi Anda, semakin lama waktu yang Anda butuhkan untuk meningkatkan level akreditasi sekolah. Padahal level akreditasi ini berpengaruh sangat besar. Dengan akreditasi lebih tinggi, Anda dapat mendirikan bangunan lebih banyak, melakukan upgrade fasilitas lebih jauh, termasuk juga membuka class karakter baru. Melihat akademi tumbuh dari bangunan kecil tak beratap menjadi institusi pendidikan megah lengkap dengan peternakan naga, rasanya sungguh membuat hati gembira.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 12

Audio Visual: Bernas Walau Sumber Daya Terbatas

Aspek paling saya sukai dari Valthirian Arc: Hero School Story, sudah pasti, adalah ilustrasi-ilustrasinya yang begitu menawan. Karakter-karakter dalam game ini didesain begitu ekspresif, masing-masing dengan pose yang samar namun memancarkan kepribadian dengan begitu kuat. Melihat Isabel sekilas, saya bisa merasakan bahwa ia adalah gadis yang elegan namun berjiwa bebas. Sementara melihat Mirza, langsung terasa bahwa meski terlihat urakan, diam-diam ia menyimpan karisma.

Desain karakter Valthirian Arc terinspirasi dari berbagai latar kebudayaan berbeda. Sebagian besar memang menyerupai desain Eropa era Victoria, tapi ada juga karakter-karakter dengan inspirasi dari Timur Tengah dan Indonesia. Suku Kawiya, yang desainnya menyerupai pakaian adat Bali, terlihat indah dan eksotik. Desain favorit saya sendiri adalah Shilekka, si pedagang keliling yang mengingatkan saya pada komik berjudul Otoyomegatari.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 13

Keindahan itu terus berlanjut hingga game tamat, bahkan saat credit roll pun rasanya saya gatal ingin mengambil screenshot terus-menerus. Sayangnya, meski Valthirian Arc: Hero School Story bersinar di unsur visual 2D, desain model 3D di dalamnya justru meninggalkan nilai minus.

Jangan salah sangka, bukan berarti tampilan 3D game ini jelek. Malah menurut saya sudah bagus. Penerapan gaya visual chibi di dalamnya imut namun tetap ekspresif, dan setiap class memiliki penampilan yang cukup istimewa. Para karakter, baik manusia ataupun monster, dianimasikan dengan halus, dan efek-efek yang muncul ketika mengeluarkan skill cukup layak untuk masuk standar game tahun 2018. Bangunan-bangunan di akademi pun didesain menarik dan enak dipandang mata.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 14

Nilai minus yang saya maksud semata-mata hanya masalah kurang variasi. Mungkin Agate Studio butuh anggaran lebih besar, atau kru 3D modeler lebih banyak, agar tampilan dungeon dalam game ini tidak melulu begitu-begitu saja. Bosan sekali rasanya melihat tampilan rerumputan dan gua bawah tanah yang tak jauh berubah dari awal hingga akhir. Memang ada beberapa misi yang menempatkan kita di lokasi unik, tapi misi-misi itu jumlahnya sangat sedikit.

Sisi audio Valthirian Arc: Hero School Story juga memberikan perasaan agak campur aduk. Musik dalam game ini sebetulnya bagus, tapi sayangnya background music (BGM) yang muncul terikat pada jenis dungeon yang sedang kita jelajahi. Dan karena sebagian besar dungeon punya desain monoton, BGM yang muncul juga itu lagi itu lagi. Sebagus apa pun musiknya, bila diputar terus-menerus lama-lama bikin kesal juga.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 15

Semua keluhan saya dari sisi audio visual sepertinya berakar pada persoalan yang sama, yaitu anggaran. Memang Valthirian Arc: Hero School Story bukan game AAA dengan bujet puluhan juta dolar, jadi saya rasa hal-hal tersebut bisa dimaklumi. Semoga saja game ini sukses, dan Agate Studio bisa menelurkan sekuel dengan anggaran yang lebih besar dan lebih efisien.

Kesimpulan: Hati Tak Dapat Berbohong

Jadi, apakah Valthirian Arc: Hero School Story layak dibeli atau tidak? Bila ditanya seperti itu, saya akan sulit untuk menjawab. Seperti sudah saya katakan, game ini masuk dalam kategori khusus yang dilematis, yaitu “game hampir keren”. Mungkin alih-alih menjawab, saya justru akan bertanya balik, apa yang Anda harapkan dari Valthirian Arc: Hero School Story?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 16

Bila Anda mengharap sebuah masterpiece yang sejajar dengan game buatan para developer JRPG senior di luar sana, itu tak akan Anda temukan. Tapi bila Anda ingin melihat sejauh mana pencapaian developer Indonesia, dan siap menerima segala keunggulan beserta keterbatasannya, Valthirian Arc: Hero School Story wajib Anda miliki. Dari kacamata gamer Indonesia, menurut saya Valthirian Arc: Hero School Story akan dinikmati oleh mereka yang menghargai usaha, namun akan mengecewakan mereka yang menilai dari hasil saja.

Tugas saya sebagai reviewer hanya memberi gambaran tentang isi game ini, bukan menentukan apakah Anda harus membelinya atau tidak. Lagi pula, selera setiap orang bisa berbeda-beda. Sama seperti keputusan untuk membeli game secara umum, daripada bergantung pada ulasan atau rekomendasi orang lain, lebih baik dengarkan kata hati sendiri. Hati saya sih berkata “Yes”. Bagaimana dengan Anda?

Sparks:

  • Ilustrasi dan desain karakter sangat menawan
  • Cerita utama cukup menarik, dengan ending yang memuaskan
  • Lagu ending indah dengan vokal yang menyentuh hati
  • Model 3D para karakter cukup keren dan dianimasikan dengan baik
  • Proses menyejahterakan akademi terasa begitu menyenangkan
  • Variasi class dan skill yang luas, seru untuk diulik
  • Banyak referensi menarik ke budaya dan kultur pop Indonesia

Slacks:

  • Desain dungeon kurang variatif
  • Skenario quest sangat membosankan, termasuk quest cerita
  • Grinding yang mungkin terlalu repetitif bagi sebagian orang
  • Musik latar terlalu sering diulang-ulang
  • Sistem Trigger Skill dan balance yang aneh membuat aksi kurang maksimal
  • Framerate drop di beberapa tempat

[Review] Assassin’s Creed Odyssey, Lembaran Baru Bagi Seri Action Berusia 11 Tahun

Assassin’s Creed Origins yang diramu menjadi pembuka saga ini merupakan game open world papan atas paling ambisius di 2017. Hasil kerja keras developer selama bertahun-tahun bisa kita lihat dari bagaimana detailnya tim Montreal menciptakan dunia Mesir Kuno di akhir era Ptolemaic sebagai medium untuk mengombinasikan kejadian bersejarah dan event fiksi.

Meluncur satu tahun kurang beberapa minggu dari Origins, Assassin’s Creed Odyssey mengusung konsep gameplay yang lebih berani dan mungkin bisa dikatakan sedikit radikal. Meski tetap mempertahankan sejumlah tradisi Assassin’s Creed, Odyssey dari awal sengaja diarahkan sebagai permainan action role-playing, untuk pertama kalinya membiarkan Anda memilih karakter utama dan menentukan dialog.

Langkah ini kemungkinan ialah cara buat menyegarkan kembali formula Assassin’s Creed. Tapi boleh jadi, transisi dari action-adventure ke formula role-playing belum bisa diterima semua fans dengan tangan terbuka. Kabar gembiranya, Ubisoft Quebec telah bersiap mengantisipasi hal tersebut melalui penambahan fitur baru dan penggunaan arahan unik.

AC Odyssey 13

 

Eagle-Bearer

Assassin’s Creed Odyssey menawarkan Anda untuk bermain menjadi salah satu dari cucu Raja Leonidas, antara Alexios atau Kassandra. Tidak ada perbedaan pada aspek gameplay dari keduanya kecuali pengisi suara dan siapa saudara tertuanya. Saya mencoba keduanya, dan secara pribadi lebih menyukai Kassandra karena perannya lebih natural dan sejauh ini hanya ada sedikit pilihan karakter utama wanita di seri utama Assassin’s Creed.

AC Odyssey 5

Meski demikian, Alexios sendiri bukanlah pilihan yang buruk dan mengingatkan saya pada Bayek of Siwa. Tentu saja, dua opsi tokoh utama mengharuskan Ubisoft melakukan prosedur pengisian suara sebanyak dua kali. Dan mengingat Odyssey merupakan game role-playing, jumlah dialognya tidaklah sedikit. Kesediaan developer buat melakukan hal tersebut perlu diapresiasi.

Diracik sebagai sebuah lembaran baru, hal positif lain dari Odyssey adalah ceritanya tidak membingungkan. Sesi Layla Hassan tetap ada, tapi porsinya telah dikurangi dan disederhanakan sehingga kita hanya cukup tahu siapa dia serta perannya di kisah ini. Dan tak seperti Origins, narasi Odyssey juga tidak lompat-lompat. Di sesi pembuka, Anda akan segera tahu siapa Alexios dan Kassandra, serta apa hubungan mereka dengan Leonidas.

AC Odyssey 7

Ketika Bayek of Siwa di Assassin’s Creed Origins merupakan seorang penegak hukum, Alexios atau Kassandra adalah Misthios, atau tentara bayaran. Ini artinya, sang tokoh tidak selalu berpihak dengan hukum. Beberapa kontrak yang diterima Kassandra sering kali mengharuskannya ‘membungkam’ individu tertentu, mencuri, atau membersihkan satu perkemahan berisi bandit. Dan demi menunjang desain gameplay seperti ini, Ubisoft Quebec mengimplementasikan sistem bounty.

 

Grand Theft Auto Greece

Assassin’s Creed Odyssey membawa pemain ke puncak Perang Peloponnesian, konflik militer yang dimulai di tahun 431 sebelum Masehi antara bangsa Sparta dan Athena. Di sana, Kassandra dan tim prajurit bayarannya tidak dituntut untuk mendukung salah satu faksi, bahkan dipersilakan bekerja buat keduanya. Ia bisa menghabiskan waktunya menyelesaikan kontrak, mengumpulkan kru, serta meng-upgrade peralatan dan perahu perangnya.

AC Odyssey 12

Satu Aspek menarik dari Odyssey adalah sensasai ala ‘GTA’. Memang tidak ada kendaraan ‘otomotif’ yang Anda bisa bajak, tapi Kassandra dapat mencuri kuda atau menyerbu perahu bajak laut, konvoi militer, serta kapal pedagang. Di dunia game, tersebar pula banyak benda-benda yang semestinya tidak boleh diambil (namun sayang buat dilewatkan).

AC Odyssey 10

Kekuatan Athena dan Sparta di satu daerah bersifat fluktuatif. Serangan yang Anda lakukan di lokasi tertentu akan melemahkan satu faksi, sehingga memungkinkan rivalnya mengambil alih. Menariknya lagi, kita bahkan bisa berpartisipasi dalam perang berskala besar, dan hasilnya akan memengaruhi siapa yang menguasai daerah tersebut.

Yunani masa perang Perang Peloponnesian versi Assassin’s Creed belum memiliki sistem penegakan hukum yang konkret. Aktivitas sosial di sana diawasi oleh pihak militer Sparta maupun Athena, namun jika tindakan kriminal Anda melewati batas, tentara bayaran lain akan mencoba menghentikan Anda. Semakin buruk perilaku Anda, maka level bounty jadi kian tinggi dan bertambah banyak pula individu-individu berbahaya yang datang mencari. Sebagai jalan keluarnya, Anda bisa bersembunyi atau membayar bounty.

AC Odyssey 6

Di sini, permainan mengadopsi pendekatan ala Nemesis System di Middle-earth: Shadow of Mordor walaupun tidak seekstensi game Warner Bros. itu. Odyssey hanya menunjukkan tentara-tentara bayaran yang sudah Anda kalahkan, peringkat Kassandra atau Alexios di sana, serta prajurit-prajurit berbahaya lain yang bisa jadi ancaman. Dan seiring keberhasilan Anda mengalahkan para kompetitor satu per satu, Anda dapat mendaki ranking Misthios terkuat.

 

Exploration Mode

Dengan begitu banyaknya game Assassin’s Creed serta sejumlah seri Ubisoft lain yang mengadopsi elemen gameplay permainan ini, gamer mungkin tidak kesulitan untuk menebak pola penyajian permainan. Umumnya, peta game Assassin’s Creed dipenuhi legenda dan lokasi menarik – penyuguhan yang informatif tapi menghilangkan misteri serta mengurangi serunya berjelajah.

AC Odyssey 9

Untuk mengubah status quo tersebut, Ubisoft Quebec menghadirkan fitur bernama Exploration Mode. Mode ini dirancang buat memandu pemain menemui hal-hal menarik sendiri tanpa memperlakukan kita seperti anak kecil. Dengan memilih Exploration Mode, kita perlu mengikuti petunjuk saat mengerjakan suatu quest. Contohnya, lokasi hewan buruan yang Anda cari berada di sebelah utara Sacred Lands of Apollo, biasanya terlihat di daerah dataran tinggi.

AC Odyssey 16

Setelah tiba di tempat tersebut, pencarian dapat dipermudah dengan memanggil Ikaros – burung elang peliharaan yang bisa membantu Anda mengunci posisi musuh dan menemukan objek, termasuk apapun yang Anda cari. Penyajian dan pengendaliannya sangat identik dengan Senu milik Bayek. Buat saya pribadi, kehadirannya masih terasa seperti metode curang yang memberikan pemain keunggulan tanpa efek samping; menghilangkan efek kejutan dan serunya ketidakpasian.

AC Odyssey 11

Banyak gamer mungkin menyukai kemudahan ini, namun buat saya, fitur Ikaros terasa mengganjal. Bagaimana bisa Kassandra mengetahui apa yang dilihat peliharaannya terus-menerus?

 

Action role-playing

Mengombinasikan tradisi Assassin’s Creed sebagai permainan action-adventure bertema stealth dengan prinsip role-playing memang tidak mudah. Ada banyak yang harus dikompromi oleh Ubisoft Quebec melalui penyingkiran beberapa elemen.

AC Odyssey 4

Bersembunyi di tempat tinggi atau di tengah-tengah lebatnya semak pepohonan, membuat pengalihan perhatian, dan menyerang tiba-tiba tetap menjadi gameplay inti Odyssey. Namun objek-objek ‘persembunyian instan’ seperti lemari atau tumpukan daun pohon tak lagi ada atau dapat dimanfaatkan, menuntut Anda buat mengendap-endap dan menghindari arah pandang lawan secara natural.

Pemain veteran juga segera merasakan kontrasnya sistem pertempuran antara seri Assassin’s Creed klasik dengan Odyssey. Ketika Ezio di Assassin’s Creed II bisa mudah mengungguli lawan yang mengepungnya, Kassandra harus mengalahkan musuh secara cermat dan sistematis. Anda perlu mengesksekusi gerakan dengan sigap, mengetahui kapan perlu menangkis dan menghindar, serta menentukan apakah fokus ke satu lawan merupakan strategi jitu atau tidak. Hal tersebut pada dasarnya tidak sulit, namun jadi sangat menantang jika kita menghadapi lebih dari dua lawan sekaligus.

AC Odyssey 14

Kassandra juga tak cuma berhadapan dengan manusia. Ada banyak fauna berbahaya yang menghadang dalam petualangan di Odyssey: kawanan serigala bisa menjatuhkan Anda dari kuda, lalu upaya mengendap-endap bisa berubah menjadi perjuangan bertahan hidup jika ternyata kita masuk ke wilayah kekuasaan beruang. Dan seperti menghadapi musuh lain di Odyssey, perlu strategi khusus buat mengalahkan hewan-hewan ini.

Selain musuh-musuh ‘biasa’, Anda juga akan bertemu dengan makhluk-makhluk mitos Yunani Kuno. Kehadiran mereka bertolak belakang dari game-game Assassin’s Creed lawas yang ‘berkomitmen’ pada keakuratan sejarah. Tapi kita tahu, arahan Assassin’s Creed mulai berubah sejak Origins.

AC Odyssey 2

Elemen role-playing yang paling menonjol di Odyssey tentu saja adalah opsi dialog. Dengannya, Anda bisa membangun karakter utamanya buat jadi individu yang terhormat atau brutal, serta memilih untuk menyelamatkan atau mengakhiri nyawa. Apapun keputusan Anda, efek dan konsekuensinya akan selalu menanti.

AC Odyssey 200

 

A bit desynchronized

Sebagai metode progres karakter, Odyssey memberikan kita pilihan untuk mengembangkan tiga aspek – terbagi dalam kategori hunter, warrior dan assassin. Hunter berkaitan dengan panah-memanah dan serangan jarak jauh; warrior memengaruhi kemampuan Kassandra/Alexios dalam bertempur; lalu assassin berperan dalam efektivitas serangan secara sembunyi-sembunyi.

AC Odyssey 3

Menariknya, apapun pilihannya, Anda tetap bisa mengubah dan memodifikasi ‘skill tree‘ kapan pun dengan mudah. Poin yang ditaruh di sana dapat di-reset, sehingga memberikan kita kesempatan untuk bereksperimen tanpa harus mengulang sesi permainan atau mengeluarkan credit dalam game. Beberapa pilihan Anda akan membuka ‘skill aktif’. Bagi pemain baru, proses pemakaiannya mungkin butuh adaptasi karena memerlukan kombinasi beberapa tombol.

AC Odyssey 15

Pemakaian skill aktif akan mengonsumsi poin adrenalin, yang akan bertambah secara otomatis ketika Anda bersembunyi atau sukses menumbangkan lawan tanpa ketahuan. Gamer casual juga mungkin akan mengapresiasi sistem regenerasi health otomatis, bisa bertambah sendiri jika Kassandra berada di luar konflik. Itu artinya, Assassin’s Creed Odyssey ialah RPG tanpa sistem consumable serta potion.

AC Odyssey 18

Layaknya permainan open world role-playing modern, Assassin’s Creed Odyssey mempersilakan Anda menjelajahi kepulauan Mediterania dan melupakan ceritanya setelah Kassandra atau Alexios mendapatkan perahu trireme-nya, Adrestia. Sebagaimana perlengkapan dan persenjataan yang dimiliki sang tokoh utama, pemain dipersilakan untuk meng-upgrade Adrestia serta menyewa kru yang lebih berpengalaman.

AC Odyssey 8

Bagi saya, satu hal mengganjal dari kombinasi antara open world dan penyajian narasi video game tradisional ialah tidak relevannya aspek urgensi di cerita. Misalnya: seorang anak diculik bandit dan Kassandra harus menyelamatkannya, tapi ia tetap bisa mengerjakan tugas lain serta berbelanja senjata tanpa beban. Di situasi lain, seorang pria meminta Kassandra membebaskan kakaknya yang ditangkap perampok, dan saya baru melakukannya berhari-hari sesudahnya tanpa efek samping.

Beberapa tugas yang bisa diterima Kassandra memang punya batasan waktu, namun dampak negatif yang Anda peroleh jika melewatinya hanyalah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan poin XP atau Orichalcum Ore – berguna buat membeli item-item langka/legendaris.

AC Odyssey 17

 

Verdict

Dijalankan dari sistem berprosesor Intel i7-6700HQ bersenjata kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070, Assassin’s Creed Odyssey berjalan mulus di opsi ultra high 1080p, mampu mengamankan frame rate di atas 50 per detik. Odyssey merupakan salah satu game bergrafis paling cantik yang bisa Anda nikmati saat ini, dengan kualitas visual jauh di atas Red Dead Redemption 2 via PlayStation 4 Pro.

Berbicara soal desain game, Odyssey sesungguhnya tidak membutuhkan kepopuleran nama Assassin’s Creed untuk bersinar. Ia memang belum bisa disandingkan dengan RPG-RPG legendaris semisal The Witcher 3 atau Divinity Original Sin II, dan memang sejumlah elemen gameplay terasa sederhana. Tapi yang terpenting, Assassin’s Creed Odyssey sangat menyenangkan dan mudah dinikmati oleh siapa pun – baik mereka yang sudah lama mengikuti seri ini serta pendatang baru.

AC Odyssey 19

Permainan menyuguhkan konten yang begitu kaya, dan mungkin membuat pemula merasa kewalahan dan kehilangan fokus. Tapi saran saya, anggap saja semua hal di sana sebagai pilihan: Anda ingin menjelajahi daratan yang belum terjamah? Silakan. Mau jadi tentara bayaran paling disegani? Mengapa tidak. Berambisi menaklukkan lautan? Adrestia siap berlayar. Dan kapan pun Anda menghendakinya, cerita petualangan Kassandra dan Alexios siap dinikmati.

 

Sparks

  • Tidak rumit dan mudah dinikmati
  • Explorer Mode membuat gameplay Assassin’s Creed jadi lebih segar
  • Konten yang melimpah dipadu formula role-playing
  • Grafis sangat cantik

Slacks

  • Gameplay RPG-nya masih terasa sangat ringan dan kasual
  • Fans veteran mungkin tidak menyukai arahan baru ini
  • Ada microtransaction
  • Harga season pass sangat mahal

[Review Game] Contra: Return – Nostalgia Nyaris Sempurna

Ketika Garena mengumumkan perilisan Contra: Return, saya sangsi game ini dapat menyuguhkan hiburan yang menarik. Biasanya judul game yang diboyong dari console ke mobile pasti mengalami penurunan di suatu aspek. Entah dari cerita yang jadi tidak seru, grinding dan pay-to-win berlebihan, atau dalam kasus game setipe Contra, sistem kontrol yang tidak nyaman. Apalagi beredar kabar bahwa Contra: Return akan menambahkan unsur PvP, semakin ragu saja saya dibuatnya.

Ternyata, setelah melihat video-video gameplay yang beredar menjelang perilisannya, pandangan saya langsung berubah. Contra: Return terlihat sangat menjanjikan, terutama karena Tencent benar-benar serius menciptakan ulang gameplay Contra di NES dulu. Tentu saja ditambah berbagai pembaharuan yang membuatnya tampil prima di era modern.

Seri Contra adalah salah satu seri favorit saya di masa kecil. Apakah Contra: Return berhasil membawa saya bernostalgia? Dan bagaimana daya tarik game ini terhadap gamer generasi baru yang tidak mengenal seri Contra klasik? Simak ulasannya di bawah.

Contra: Return | Screenshot 1
Simpel tapi seru, klasik tapi modern

Kala nostalgia menggoda

Menyebut Contra sebagai judul nostalgia sebenarnya agak kurang tepat. Pasalnya, seri Contra selama ini tidak pernah mati. Setelah versi NES dirilis pada tahun 1988, judul-judul Contra selalu muncul di platform terbaru sesuai perkembangan zaman. Seri game ciptaan Konami ini pernah menyambangi console SNES, Mega Drive, GBA, PS1, PS2, NDS, bahkan PS3 dan Xbox 360. Hanya era PS4/Xbox One/Switch yang belum kebagian.

Meski demikian, judul-judul Contra selepas era NES memang kurang dikenal, terutama di Indonesia. Untuk genre “run and gun” seperti ini, popularitas Contra kalah oleh seri lain yang lebih mainstream, misalnya Gunstar Heroes atau Metal Slug. Mungkin banyak gamer tanah air yang tidak pernah memainkan judul-judul Contra baru tersebut, jadi strategi Tencent dan Garena untuk fokus pada nostalgia memang cocok untuk pasar Indonesia.

Faktor nostalgia ini kemudian juga berdampak positif pada gameplay inti dalam Contra: Return. Ingat, Contra pertama di era NES adalah sebuah game yang sangat simpel. Sistem kontrolnya hanya menggunakan tombol arah dan dua tombol aksi, satu untuk lompat dan satu untuk menembak. Sangat mudah dipelajari, bahkan oleh anak-anak.

Contra: Return | Screenshot 2
Contra: Return penuh bos musuh yang cukup spektakuler

Tencent menerapkan gameplay simpel yang sama dalam Contra: Return. Tampilan visualnya boleh modern, tapi Contra: Return tetap terasa seperti game dari era NES, di mana semuanya begitu mudah dimengerti namun tetap memberi tantangan seru. Penerapan kontrol sederhana ini cocok dan nyaman sekali untuk smartphone yang terbatas pada layar sentuh.

Saya yakin, bila game ini memiliki mekanisme gameplay a la Contra modern (ada gerakan dash, roll, slide, dan sebagainya) hasilnya malah akan merepotkan. Bukannya asik bertarung melawan musuh, kita justru dibuat sibuk “bertarung” melawan sistem kontrol yang ruwet. Untungnya Contra: Return tidak demikian. Game ini bisa dinikmati semua orang, bahkan mereka yang tak pernah menyentuh seri Contra sama sekali.

Bukan Contra biasa

Contra: Return memiliki beberapa tambahan fitur gameplay yang tidak ada di Contra orisinal. Misalnya kemampuan untuk membawa dua senjata sekaligus, serta adanya berbagai skill unik untuk tiap hero. Selain skill bawaan hero, Anda juga bisa mendapatkan skill dari sumber lain. Misalnya dengan membawa Super Weapon, atau menanamkan Soul (bagian tubuh monster) ke senjata Anda. Kombinasi senjata, hero, dan skill yang tepat adalah penting untuk menjadi prajurit terkuat di medan perang.

Contra: Return | Screenshot 3
Adegan sinematik keren memamerkan kualitas visual Contra: Return

Ketika seluruh skill sudah Anda lengkapi, layar Anda akan menjadi lebih penuh karena banyaknya ikon-ikon skill. Namun itu tidak membuat Contra: Return jadi terasa rumit, karena pada dasarnya mengeluarkan skill itu sama saja dengan menembak biasa. Cukup tekan satu tombol, hanya jenis serangannya yang berbeda.

Contra: Return juga menerapkan sistem aim assist yang sangat nyaman digunakan. Seperti bermain Mobile Legends atau Arena of Valor, serangan Anda otomatis akan mengarah ke musuh tertentu sesuai pilihan Anda. Anda juga dapat mengatur aim assist agar selalu mengincar musuh terdekat, terlemah, atau malah mematikannya sama sekali.

Variasi hero yang ada memang tidak sebanyak dua game MOBA yang saya sebut di atas, namun tiap hero di Contra: Return benar-benar dirancang unik. Strategi memainkan Sheena yang bersenjata meriam laser, akan jauh berbeda dengan Fang si manusia serigala yang ahli pertarungan jarak dekat. Bila Anda suka main frontal a la Rambo, Bill dengan roketnya adalah pilihan lebih baik. Catelyn si sniper dapat membekukan lawan, sangat berbahaya dalam PvP. Dan masih banyak lagi variasi lainnya.

Contra: Return | Screenshot 4
Koleksi pistol-pistolan virtual

Pemilihan senjata juga berpengaruh terhadap gaya permainan Anda, dan Contra: Return memiliki berpuluh-puluh jenis senjata untuk dikoleksi. Anda bisa mendapatkan senjata baru dengan cara mengumpulkan Weapon Fragment dari berbagai misi. Pengumpulan Weapon Fragment dan senjata inilah yang merupakan daya tarik utama Contra: Return. Berhasil mendapatkan senjata baru setelah susah payah grinding rasanya sangat memuaskan, apalagi bila senjata itu sangat cocok dengan hero favorit Anda.

Kerja keras bagai kuda

Bicara soal fitur, bila semua fitur dibahas di sini rasanya seperti tak akan ada habisnya. Contra: Return memiliki variasi mode permainan yang luar biasa banyak, juga memiliki segudang fitur yang dijamin tidak akan membuat Anda kehabisan hal untuk dikerjakan.

Karakter-karakter hero di Contra: Return dapat Anda upgrade untuk memperkuat skill mereka. Setiap senjata pun bisa Anda upgrade agar damage yang dihasilkan meningkat. Tapi selain upgrade, senjata juga memiliki fitur Enhance, Evolve, dan Mod, yang masing-masing akan memberi efek berbeda. Evolve merupakan fitur terpenting, sebab Evolve dapat memunculkan Mod (skill pasif) baru serta mengubah wujud peluru yang Anda tembakkan. Tentu saja, Evolve juga merupakan tipe upgrade yang materialnya paling susah dicari.

Contra: Return | Screenshot 5
Semua bisa di-upgrade

Ini masih belum semua. Tadi saya sempat menyinggung soal Super Weapon, senjata pamungkas yang hanya bisa digunakan sekali di setiap stage. Super Weapon juga dapat Anda upgrade. Bagaimana dengan Soul, yang bisa dipasangkan ke senjata agar muncul skill baru? Ya, Soul juga bisa Anda upgrade.

Anda dapat melengkapi hero dengan Equipment, seperti baju pelindung, sepatu, helm, dan sebagainya. Tentu saja, setiap Equipment pun bisa di-upgrade. Masih ada lagi fitur Pet, di mana Anda dapat membawa partner hewan tertentu untuk membantu pertarungan. Bisa Anda tebak, Pet pun bisa di-upgrade. Upgrade, upgradeupgrade!

Sekilas lihat fitur-fitur di atas bisa membuat kita kewalahan. Tapi setelah paham sistemnya, aktivitas grinding mengumpulkan material-material untuk upgrade akan terasa lebih asik dan santai. Setiap mode permainan menghasilkan imbalan berbeda-beda, jadi Anda cukup fokus pada mode sesuai material yang Anda incar saja.

Contra: Return | Screenshot 6
Musuh-musuh klasik seri Contra, lebih garang dari sebelumnya

Bila Anda sudah menyelesaikan suatu stage dengan baik, Contra: Return menyediakan fitur Raid untuk mengulang misi itu tanpa Anda harus memainkannya sendiri. Berbeda dari RPG mobile yang biasanya hanya menyediakan fitur auto battle, Raid di Contra: Return benar-benar langsung memberikan Anda imbalan tanpa bermain sama sekali. Jadi Anda tak perlu mengulang-ulang stage sampai bosan. Bila butuh material tertentu dari suatu stage, tinggal Raid saja. Kemudian Anda bisa fokus ke mode-mode lain yang lebih menantang.

Saat waktu memisahkan

Mengoleksi senjata dan hero dalam Contra: Return saya akui memang sangat asik. Tapi di sinilah muncul masalah yang mungkin merupakan satu-satunya komplain saya di seluruh game. Yaitu, terlalu banyaknya event yang dibatasi oleh waktu.

Memang event terbatas adalah hal yang lumrah di game online. Tapi untuk game kompetitif, biasanya imbalan yang diberikan tidak berpengaruh besar pada gameplay. Misalnya kostum hero, atau kesempatan mendapatkan hero tertentu secara gratis. Bila event itu kita lewatkan, hero yang kita incar tetap bisa didapatkan lewat grinding.

Contra: Return | Screenshot 7
Butuh merogoh kocek juga sesekali

Contra: Return tidak demikian. Beberapa hero memang bisa diperoleh secara gratis, tapi hero-hero peringkat S yang keren harus didapat dengan cara membeli atau mengikuti event terbatas. Begitu pula dengan senjata. Weapon Fragment yang diperlukan untuk mendapatkan senjata-senjata langka hanya tersedia dalam waktu terbatas.

Contra: Return seolah berambisi untuk menjadi game nomor satu di smartphone kita. Kebutuhan grinding yang tinggi, ditambah berbagai event terbatas, akan membuat kita merasa ketinggalan bila tidak rajin main setiap hari. Sah-sah saja sih berambisi demikian, tapi menurut saya itu melenceng dari sifat utama game bertipe run and gun seharusnya: hiburan ringan.

Saya memainkan Contra, Metal Slug, atau Gunstar Heroes bila butuh permainan sederhana yang seru, santai, dan bisa dinikmati bersama teman. Kalau ingin bermain lebih serius dan menghabiskan banyak waktu, saya akan beralih ke RPG atau MOBA saja. Dengan berusaha menjadi game yang lebih serius dari seharusnya, Contra: Return sedikit merusak kesenangan tersebut. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Contra: Return | Screenshot 8
Serasa menonton film Arnold Schwarzenegger

Serdadu jalanan

Satu aspek dari Contra: Return yang tak boleh kita lupakan adalah multiplayer. Menurut saya, multiplayer di game ini setengah berhasil, namun juga setengah gagal. Berhasil di sisi mode kooperatif, sementara untuk mode kompetitifnya masih terasa kurang maksimal.

Mode kooperatif Contra: Return yang disebut Duo Mode menurut saya adalah ide brilian. Ini merupakan modernisasi atau evolusi dari multiplayer zaman dulu, di mana dua orang pemain bekerja sama untuk menaklukkan stage yang seru. Bedanya, sekarang kita bisa melakukannya tanpa bertemu langsung, cukup lewat koneksi intenet yang dilengkapi voice chat.

Berkali-kali saya memainkan Duo Mode, baik bersama teman ataupun orang asing, dan saya selalu menikmatinya. Apalagi karena setiap pemain memiliki gaya dan build berbeda-beda, Duo Mode juga bisa jadi tempat mencari ide build untuk ditiru. Cara untuk “mabar” juga sangat simpel. Kita dapat menciptakan room publik, mengundang teman yang kita kenal, atau masuk ke Solo Queue dan menunggu dipasangkan dengan pemain lain secara acak.

Contra: Return | Screenshot 9
Berdua, dobel asyiknya

Sebaliknya, mode PvP di game ini justru terasa seperti ide setengah matang. Tersedia mode satu lawan satu serta mode keroyokan, dan sejujurnya ketika pertama kali mencoba keduanya terasa cukup seru. Tapi keseruan itu dengan cepat berubah jadi membosankan karena pertarungan terasa begitu repetitif.

Berbeda dari PvP di genre MOBA atau RPG yang butuh strategi, PvP di Contra: Return lebih rusuh, cepat, dan kacau. Karena semua orang memiliki aim assist, layar akan senantiasa penuh dengan hujan peluru, memaksa kita untuk berlarian ke sana kemari sambil sedikit panik.

Selain itu semua hero punya kecepatan jalan yang kurang lebih sama, dan permainan berjalan di arena 2D. Agak sulit menciptakan permainan taktis bila jarak antara kita dan musuh terasa seperti tak pernah berubah. Memang ada hero-hero yang punya skill dengan efek mobilitas, misalnya Han Feng. Namun tetap saja rasanya rusuh sebab tempo permainan sangat cepat.

Contra: Return | Screenshot 10
Tidak mau kalah dari Metal Gear Solid V

Mungkin di level profesional, PvP dalam Contra: Return bisa jadi lebih seru. Tapi saya tidak berharap banyak. Saya pribadi akan lebih senang bila Tencent dan Garena lebih fokus meningkatkan sisi kooperatif saja, karena itulah aspek seri Contra yang telah menghasilkan banyak kenangan.

Hiburan yang ceria untuk hari yang sepi

Secara keseluruhan, Contra: Return merupakan game dengan kualitas sangat baik. Tampilan visualnya sangat keren, lagu-lagu remix dari seri Contra lawas dengan aransemen rock juga selalu membangkitkan semangat. Cukup mengejutkan, game ini juga memiliki cerita yang cukup panjang dan dilengkapi dengan sulih suara serta adegan-adegan sinematik sesekali.

Sayangnya, game ini gagal menjadi nostalgia yang sempurna akibat terlalu berusaha menjadi sesuatu yang tak seharusnya. Mungkin Tencent ingin Contra: Return jadi judul esports besar di masa depan, sehingga mereka menambahkan unsur-unsur PvP dalam game ini. Tapi menurut saya genre run and gun lebih cocok untuk hura-hura saja ketimbang jadi ajang adu kemampuan. Meski demikian kemauan Tencent untuk berinovasi patut diapresiasi, walaupun masih belum 100% tepat sasaran.

Contra: Return | Screenshot 11
Mode paling susah, sudah masuk kategori “Nintendo Hard”

Bila kita abaikan sisi kompetitifnya, Contra: Return adalah hiburan sempurna ketika Anda butuh pengisi waktu luang yang bisa dinikmati kapan saja. Satu hal saja harapan saya, mudah-mudahan cara untuk mendapatkan hero bisa dibuat lebih mudah. Sebab saya ingin bisa menikmati game ini dengan cara dan gaya saya sendiri.

Sparks:

  • Kualitas visual sangat keren, baik model 3D maupun artwork para karakter
  • Remix lagu-lagu Contra lawas selalu berhasil membangkitkan semangat
  • Sistem kontrol yang sangat simpel, persis Contra era NES
  • Puluhan senjata menarik dengan variasi serangan yang sangat luas
  • Koleksi senjata tidak terlalu bergantung pada keberuntungan
  • Upgrade, upgradeupgrade, selalu ada alasan untuk bermain
  • Setiap hero punya gaya main yang jauh berbeda
  • Segudang variasi mode permainan, dari yang sangat mudah sampai level “Nintendo Hard
  • Fitur Raid sangat membantu untuk mengumpulkan material
  • Cerita yang cukup menghibur dan mengandung sulih suara lengkap
  • Duo Mode sangat asyik untuk main bersama teman

Slacks:

  • Banyak event terbatas yang menyebalkan
  • Mode PvP terasa repetitif

[Review] Game Dead Cells: Sang Penghancur yang Rapuh

Anda terbangun di sebuah penjara bawah tanah yang lembab. Tanpa ingatan, tanpa teman, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di balik dinding tebal yang mengurung Anda. Ragu-ragu, Anda membuka pintu sel yang ternyata tak terkunci, hanya untuk dikejutkan oleh sosok monster menjijikkan yang tiba-tiba menerjang. Beruntung, di sisi Anda tergeletak sebilah pedang berkarat dan tameng usang. Bukan perlengkapan paling meyakinkan, tapi jauh lebih baik daripada tak ada sama sekali.

Satu monster, dua monster. Satu lusin, dua lusin. Tak butuh waktu lama sampai Anda tak ingat lagi sudah berapa monster yang telah Anda basmi. Tanpa tahu harus ke mana, tiap langkah Anda berat oleh rasa takut dan penasaran. Setidaknya Anda tahu satu hal: bahwa Anda harus terus bergerak. Tidak ada pilihan lain. Diam berarti mati.

Dead Cells | Screenshot 1

Hampir-hampir Anda putus asa, kalau saja Anda tak melihat cahaya dari pintu di salah satu sudut lorong. Anda berlari mendekat, berharap menemukan jalan keluar, tapi sebelum sempat melewati pintu itu seorang kesatria menghadang jalan Anda.

“Bagaimana rasanya, jalan-jalan tanpa kepala?” sapa si kesatria.

Selamat datang di Dead Cells.

Dia yang tak bisa mati

Uraian singkat di atas adalah gambaran tentang apa yang Anda rasakan ketika bermain Dead Cells untuk pertama kali. Bingung, tegang, mungkin bahkan takut karena Anda merasa begitu tak berdaya. Dead Cells memang game yang sedikit “jahat”. Game ini tidak mengajarkan banyak hal. Anda langsung diceburkan ke dalam bahaya dan dipaksa untuk meraba-raba.

Dead Cells | Screenshot 2

Tokoh utama Dead Cells sebenarnya bukanlah manusia, melainkan sekumpulan sel yang menghuni tubuh orang mati. Karena sebenarnya Anda sudah mati, tentu saja Anda tak bisa mati lagi. Karena itulah setiap kali Anda game over, Anda dapat hidup kembali, namun dengan kehilangan nyaris semua progres dan barang yang telah Anda temukan.

Mekanisme permainan yang disebut “roguelike” ini selaras dengan konsep dunia yang ada dalam Dead Cells. Di sini, kematian bukanlah akhir, namun awal dari siklus yang harus Anda lewati untuk menyelesaikan game. Meski Anda harus mengulang dari awal, setiap pengulangan terjadi Anda pasti menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Dead Cells | Screenshot 3

Kekuatan itu datang dari berbagai upgrade permanen yang dapat Anda beli dari NPC bernama The Collector. Ketika Anda membunuh musuh, terkadang musuh itu bisa menjatuhkan sel yang dapat Anda serap. Sel itulah mata uang yang dapat Anda tukar dengan kemampuan baru. Misalnya membuka senjata-senjata baru, membuka beragam skill pasif yang disebut Mutation, mendapatkan Healing Potion lebih banyak, dan sebagainya.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa game ini susah sekali. Tapi seiring Anda mengumpulkan sel dan mendapatkan berbagai kemampuan baru, Anda akan merasa kemungkinan hidup Anda berangsur-angsur meningkat.

Tentu saja, sebanyak apa pun Anda mengumpulkan sel, tetap tak ada artinya tanpa disertai keahlian yang mumpuni. Di dalam Dead Cells, semua hal berusaha untuk membunuh Anda. Jebakan menanti di setiap sudut ruangan, dan bila tak hati-hati, musuh selevel kroco pun bisa membuat Anda tewas mengenaskan.

Dead Cells | Screenshot 4

Usaha takkan mengkhianati

Motion Twin, developer Dead Cells, menyebut bahwa game ini terinspirasi oleh tiga hal: Rogue, Castlevania, dan Dark Souls. Kemiripan dengan Rogue terletak pada dunianya yang dibuat acak secara prosedural. Jadi setiap kali Anda bermain, desain level serta musuh di dalamnya akan selalu berubah.

Kemiripan dengan Castlevania terletak pada tampilan visualnya yang menggunakan pixel art dua dimensi dan permainan yang memiliki fokus kuat pada eksplorasi. Anda akan menemukan bahwa banyak sekali jalur atau ruangan yang tidak bisa langsung dimasuki dari awal. Jalur-jalur rahasia tersebut hanya bisa Anda buka dengan memanfaatkan kemampuan tertentu, misalnya kemampuan untuk menghancurkan dinding atau teleportasi.

Dead Cells | Screenshot 5

Pengaruh Dark Souls terasa sangat kuat di dua hal: pertarungan dan cerita. Jangan bayangkan Anda bisa bermain asal pencet lalu semua musuh akan musnah. Dark Cells menuntut Anda untuk benar-benar mempelajari pola serangan tiap lawan, kemudian menyerang balik dengan metode yang tepat.

Selain itu, Dead Cells juga memiliki cerita yang misterius dan sulit dimengerti. Jangan bayangkan adegan-adegan teatrikal bersulih suara ala Castlevania: Symphony of the Night. Dead Cells justru menyajikan ceritanya secara implisit dan minimalis, tersebar di antara catatan-catatan yang dapat Anda temukan di seluruh penjuru kastil serta monolog si tokoh utama.

Walau tidak begitu koheren, saya cukup menikmati cerita Dead Cells karena cara penyajiannya yang eksentrik dan kental akan nuansa dark humor. Dipadukan dengan arahan visual yang berhasil berkali-kali menyajikan image kuat dalam ingatan, developer Dark Cells tampaknya ingin mengajak kita semua untuk tak lupa tertawa meski sedang merasa terkurung oleh kejamnya dunia.

Dead Cells | Screenshot 6

Satu hal pasti yang bisa saya simpulkan dari gaya penceritaan Dead Cells. Ini bukan game untuk anak-anak.

Geser keseimbangan neraca takdir

Dead Cells memiliki desain kesulitan brilian yang akan membuat Anda bersemangat sekaligus tegang pada waktu yang sama. Memang benar, mati adalah hal yang sangat mudah dalam Dead Cells. Tapi game ini juga membekali Anda dengan segudang senjata maupun gadget yang begitu variatif, Anda akan merasa bagaikan sedang menjadi Batman. Batman yang terjebak di dalam neraka, mungkin.

Dalam permainan, Anda hanya boleh membawa lima perlengkapan, terdiri dari dua jenis senjata, dua jenis gadget, dan satu aksesoris. Dua senjata itu bisa terdiri dari satu pedang dan satu tameng, atau dua buah pedang, atau satu pedang dan satu panah, atau dua panah, bahkan dua tameng bila Anda mau. Ragam senjatanya pun begitu luas. Tak hanya pedang, panah, dan tameng, ada juga tombak, cambuk, pisau, palu, sepatu, bumerang, bahkan The Force.

Dead Cells | Screenshot 7

Gadget (sebetulnya istilah asli dalam Dead Cells adalah Skill, tapi saya lebih suka menyebutnya gadget) yang tersedia pun tak kalah luas. Bermacam-macam granat, jebakan, ranjau, serta kemampuan spesial ada di sini. Dengan pemilihan gadget yang tepat Anda bisa membuat semua musuh tak berdaya, tapi tentu itu semua tergantung dari bagaimana Anda menggunakannya.

Dead Cells memaksa pemainnya untuk berpikir dan mengambil keputusan-keputusan sulit sepanjang permainan. Pasalnya, semua senjata dan gadget hanya bisa Anda dapat secara acak. Anda harus pintar memilih mana saja benda yang harus Anda bawa, yang sesuai dengan gaya permainan Anda, agar Anda dapat mengalahkan lawan-lawan secara optimal.

Dead Cells | Screenshot 8

Sinergi merupakan kata kunci penting di sini. Bisa saja Anda menemukan satu senjata dahsyat yang langka, tapi bila senjata itu tidak sinergis dengan gadget dan Mutation Anda, mungkin lebih baik buang saja. Mutation yang Anda pilih juga akan berpengaruh besar, karena Anda terbatas hanya bisa menggunakan tiga jenis Mutation. Keberuntungan tak bisa diprediksi, tapi bagaimana Anda memanfaatkan apa yang Anda punya, itulah yang menjadi penentu kesuksesan.

Bukan untuk semua orang

Dead Cells adalah game seru yang sangat memacu adrenalin. Kesenangan melakukan eksplorasi sambil melibas monster-monster dengan gabungan aksi heroik dan taktik benar-benar menimbulkan rasa candu. Persis seperti makan sambal, sebetulnya menyakitkan namun susah berhenti karena enak.

Dead Cells | Screenshot 9

Tak semua orang doyan makan sambal. Begitu pula tak semua orang cocok memainkan Dead Cells. Struktur permainan roguelike bisa membuat orang frustasi karena mereka harus mengulang dari awal lagi bila mati. Selera humor dalam ceritanya tidak cocok untuk orang yang anti pikiran-pikiran negatif. Kesulitannya yang tinggi pun memberikan tantangan baik kepada otak maupun jari-jemari kita.

Sesuai dengan tiga game yang menginspirasinya, Dead Cells hanya cocok untuk orang yang menyukai game setipe Rogue, Castlevania, dan Dark Souls sekaligus. Bila Anda merasa bagian dari kelompok itu, Dead Cells akan membawa Anda ke dalam pengalaman yang adiktif walau menyakitkan, kejam namun indah dipandang, dan membuat Anda terdorong untuk mencoba lagi dan lagi.

Tapi bila Anda tidak termasuk di dalamnya, sebaiknya jauh-jauh saja.

Sparks

  • Animasi pixel art yang mulus, setiap aksi terasa berbobot dan memuaskan
  • Cerita misterius, penuh dark humor serta referensi ke elemen pop culture lain
  • Desain level walau prosedural tetap terasa menarik untuk dieksplorasi
  • Progresi tidak linear, jalur-jalur rahasia dapat membawa Anda ke level berbeda bahkan bos musuh berbeda pula
  • Variasi senjata dan gadget sangat luas, menghasilkan segudang kemungkinan strategi berbeda
  • Sound effect didesain brilian, membuat setiap aksi terasa lebih epik dari kelihatannya

Slacks

  • Desain roguelike yang memaksa mengulang ke level pertama bisa memunculkan rasa frustrasi

[Review] Rapoo VPro V16: Mouse Gaming Murah untuk Gamer Pemula

Untuk menikmati pengalaman optimal sebagai gamer, bisa membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain harus menabung untuk membeli game yang setiap bulannya rilis, peralatan gaming pun juga harus dimiliki. Hal tersebut tentunya untuk menambah kenyamanan dalam bermain.

Sayangnya, perlengkapan bermain game seperti laptop, keyboard, mouse, motherboard, graphics card, dan lain sebagainya akan diberi harga lebih mahal saat dijual dengan label gaming. Padahal, beberapa vendor memiliki jenis peripheral yang sama yang tidak dilabeli gaming namun lebih murah.

Rapoo Vpro V16 - Atas

Dengan dilabeli peripheral gaming, fasilitas yang dimiliki juga biasanya lebih baik dibandingkan dengan peripheral biasa. Akan tetapi, harga sekali lagi bakal membuat mereka yang tidak memiliki dana lebih harus gigit jari. Apalagi, sebuah mouse gaming biasanya memiliki tingkat presisi yang lebih baik serta tersedia tombol yang lebih dibandingkan mouse biasa.

Untungnya, vendor seperti Rapoo memiliki sebuah mouse gaming yang memiliki harga yang dapat dibilang murah. Kami pun kedatangan sebuah mouse gaming milik Rapoo dengan nama VPro dengan seri V16. Harga jualnya juga tidak mahal, hanya Rp. 220.000 saja.

Rapoo masih menggunakan kabel USB untuk terkoneksi dengan komputer. Untungnya, VPro V16 menggunakan braided cable (Kabel berlapis sulaman kain) sehingga kabelnya tidak terlalu kaku. Rapoo juga mengklaim bahwa konektor USB dari V16 menggunakan lapisan emas.

Paket Penjualan

Paket penjualan dari Rapoo Vpro V16 adalah seperti berikut ini:

Desain

Desain dari mouse yang satu ini dapat dibilang tidak istimewa. Bentuknya seperti kebanyakan mouse yang beredar di pasaran. Walaupun menggunakan nama gaming mouse, bobotnya ternyata hanya 111 gram saja. Beberapa gamer biasanya lebih nyaman saat bobot mouse mereka ditambahkan.

Mouse ini didesain memiliki lekukan tubuh yang sama antara kanan dan kirinya. Pada bagian atas mouse ini terbuat dari bahan polikarbonat plastik yang dibuat cukup kesat sehingga tidak licin. Akan tetapi, pada bagian sisi-sisinya tidak dibuat kesat. Dan pada bagian bawahnya terdapat lapisan karet yang licin sehingga mouse dapat mudah digeser di segala permukaan.

Di bagian tengah terdapat sebuah scroll yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan slider pada window di komputer Anda. Scroll ini juga dapat diklik untuk mendapatkan fungsi tambahan. Di bawah scroll-nya terdapat tombol untuk mengatur resolusi DPI-nya.

Pada sisi sebelah kiri terdapat dua buah tombol tambahan. Secara default tombol tersebut berfungsi sebagai back dan forward pada browser. Sayangnya, Rapoo tidak menyertakan software pada paket penjualannya. Pengguna harus melakukan download dari webpage resmi mereka.

Software

VPro V16 memiliki sebuah software yang mampu melakukan setting lebih dalam untuk setiap tombol yang ada. Software yang bernama VPro Unified Driver ini bahkan memiliki fungsi macro yang bisa digunakan pada beberapa game. Dan fungsi macro tersebut pun juga sudah memiliki beberapa profile bawaan.

Namun lampu LED yang ada pada mouse ini tidak dapat diubah warnanya. Jadi, pengguna tidak dapat mengubah warna oranye yang ada pada bagian logo dan sekitar scroll dari mouse ini.

Pengujian

Hal yang paling menyebalkan pada saat menggunakan mouse optical adalah saat berada di meja kaca. Seringkali mouse tidak akan bergerak sehingga sebuah mouse pad menjadi sebuah kebutuhan. Hal yang sama juga terjadi dengan menggunakan VPro V16.

Dengan menggunakan resolusi 2.000 DPI (dot per inch), mouse ini terasa cukup baik dalam melakukan beberapa gerakan yang membutuhkan ketelitian. Mouse ini pun dirasa cukup baik pada saat dipakai dengan menggunakan software editing gambar seperti Photoshop.

Rapoo Vpro V16 - With Laptop

Saat digunakan untuk bermain game, mouse ini juga cukup presisi saat digunakan. Sayangnya, bobot dari mouse ini cukup ringan sehingga sensasi saat bermain game FPS menjadi kurang nyaman. Akan tetapi, saat bermain game-game RTS, mouse ini terasa cukup nyaman saat digunakan.

Kesimpulan

Dalam membeli sebuah mouse, tentu saja tingkat kenyamanan seseorang dalam menggunakannya berbeda-beda. Rapoo menawarkan sebuah mouse gaming dengan bobot yang ringan namun memiliki tingkat presisi sebesar 2000 DPI. Selain itu, harga yang ditawarkan juga tergolong cukup murah.

VPro V16 dapat dengan nyaman digunakan saat melakukan editing gambar pada software-software editing kenamaan. Hal tersebut dikarenakan pengguna dapat menyesuaikan sendiri tingkat presisi sampai 2000 DPI. Hal ini membuatnya cocok digunakan oleh para editor foto maupun video.

Rapoo Vpro V16 - Light

Untuk bermain game, beberapa orang tidak akan nyaman dengan ringannya bobot V16. Namun, para penggemar game RTS bisa bermain dengan cukup nyaman dengan mouse ini.

Dengan harga Rp. 220.000 saja, mouse ini dapat dimiliki oleh semua kalangan. Namun, jika Anda seorang gamer profesional, mouse ini kemungkinan tidak cocok. Jika Anda seorang gamer amatir, mouse ini mungkin dapat menjadi langkah awal untuk menjadi seorang profesional.

Sparks

  • Harga Murah
  • Presisi sampai 2000 DPI
  • Tombol di pinggir mouse
  • Braided Cable
  • Software tambahan yang bisa mengubah fungsi tombol

Slacks

  • Terlalu ringan
  • Build terkesan rapuh