Honda Demonstrasikan Teknologi Smart Intersection untuk Mengurangi Angka Kecelakaan

Di Surabaya, ada satu perempatan antara Jalan Diponegoro dan Jalan Dr. Sutomo yang hampir setiap harinya selalu terjadi kecelakaan. Penyebabnya sering kali adalah pengguna jalan yang melanggar lampu lalu lintas.

Yang melanggar ini jelas tidak sayang nyawa, tapi yang dirugikan justru adalah ‘lawan’ tabrakannya yang sebenarnya sudah taat peraturan. Mengubah tabiat buruk pengguna jalan memang sulit, akan tetapi teknologi setidaknya bisa membantu mengurangi angka kecelakaan di perempatan jalan, seperti yang baru-baru ini didemonstrasikan oleh Honda.

Di kota Marysville di Amerika Serikat, Honda memasang sejumlah kamera di atas empat lampu lalu lintas pada suatu perempatan jalan. Fungsi dari kamera-kamera tersebut adalah menjadi ‘mata’ dan ‘telinga’ tambahan bagi pengguna jalan.

Honda sengaja memilih perempatan jalan yang sekitarnya dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi, yang kerap menyulitkan pengguna jalan untuk melihat kendaraan dari arah lain. Kebetulan juga pejalan kaki di area itu cukup banyak, menjadikannya semakin ideal untuk dijadikan lokasi uji coba teknologi yang Honda sebut dengan istilah “Smart Intersection” ini.

Honda Smart Intersection

Kamera-kamera tadi mengirimkan informasi ke unit HUD (heads-up display) yang terpasang pada mobil pengujian. Informasinya berupa simbol peringatan untuk tiga macam skenario: ada pejalan kaki yang sedang menyeberang, ada kendaraan darurat (ambulans, mobil pemadam kebakaran, dll) dari arah lain, dan ada kendaraan yang melanggar lampu merah.

Peringatan visual itu juga dibarengi peringatan dalam bentuk audio. Jadi pada skenario yang pertama misalnya, sebelum pengemudi membelok, sistem akan memperingatkan terlebih dulu ketika ada pejalan kaki yang menyeberang di arah tujuannya.

Untuk skenario yang kedua dan ketiga, pemilik mobil akan diingatkan ketika ada kendaraan darurat atau pengemudi tidak sayang nyawa yang sedang melintas dari arah lain dalam kecepatan tinggi sekaligus melanggar lampu merah demi tiba di tujuannya lebih cepat. Sistem ini diklaim bisa mendeteksi keberadaan kendaraan-kendaraan itu dari jarak sejauh 100 meter.

Pada akhirnya, pemilik mobil bisa mengantisipasi skenario-skenario tadi dengan lebih sigap. Sistem semacam ini tentunya juga akan sangat ideal buat mobil kemudi otomatis yang benar-benar mengandalkan data untuk bisa bekerja dengan baik.

Honda Smart Intersection

Untuk sekarang, kendala dari sistem ini adalah ongkos produksi unit HUD yang masih mahal, akan tetapi ini pasti bakal teratasi ketika produksi massal sudah diterapkan. Di samping itu, tentu saja juga harus ada persetujuan dari pemerintah daerah yang tertarik mengimplementasikan teknologi ini.

Honda sejauh ini belum punya rencana apa-apa terkait implementasinya. Namun mereka bilang bahwa teknologinya dapat disesuaikan guna mengakomodasi kota yang lebih besar dan yang lalu lintasnya lebih padat. Semoga saja Bu Risma tertarik dan Surabaya bisa menjadi lokasi pengujian selanjutnya.

Sumber: Motor Trend dan Honda.

Audi Select Ialah Layanan Berlangganan Mobil ‘Bebas Komitmen’

Komitmen bukanlah hal mudah buat sebagian besar orang. Sebelum Anda berpikir terlalu jauh, satu contoh berkomitmen adalah memilih kendaraan. Apakah Anda akan memilih mobil sport dua pintu berperforma tinggi atau berinvestasi demi keluarga dengan membeli minivan irit? Beberapa perusahaan otomotif sudah menyiapkan jawaban dari kendala ini, salah satunya ialah Audi.

Ada kabar gembira bagi konsumen yang ingin berkendara menggunakan produk-produk ciptaan brand asal Jerman itu tanpa membeli. Minggu ini, Audi resmi meluncurkan Audi Select secara terbatas, yaitu sebuah program berlangganan yang memperkenankan kita menyewa kendaraan roda empat sesuka hati. Kata ‘sesuka hati’ perlu ditegaskan di sini karena program tersebut tidak mengunci Anda ke satu jenis mobil saja.

Berbeda dari Care by Volvo atau Lexus Complete Lease, Audi Select memungkinkan kita akses ke beberapa opsi mobil. Ada lima tipe yang saat ini bisa dipilih, yaitu S5 coupe, A5 convertible, Q5, Q7, dan A4. Mereka ini bukanlah jenis entry-level yang biasa disewakan, melainkan varian premium: S5 tersebut mengusung konfigurasi Prestige, lalu tersedia versi Premium atau Premium Plus buat A4.

Dengannya, Anda bisa gonta-ganti kendaraan sebanyak dua kali sebulan. Bayangkan, kita dapat mengendarai sedan berinterior lapang buat bekerja, kemudian menggunakan SUV di akhir minggu untuk bertamasya bersama keluarga.

Layanan Audi Select disajikan secara berlangganan. Biaya per bulan yang harus dikeluarkan memang tidak sedikit, hampir US$ 1.400; namun Anda tak perlu memikirkan lagi ongkos ganti oli, perbaikan, dan asuransi; lalu Audi Select turut didukung layanan bantuan 24-7. Kendaraan pilihan Anda bisa diambil (dan diantar kembali) di gerai Audi, atau Anda dapat meminta mereka mengirimkan mobil tersebut ke tempat tinggal, dengan tambahan biaya.

Sebelum Anda terlalu bersemangat, perlu diketahui bahwa program Audi Select baru disediakan secara eksklusif untuk konsumen yang tinggal kawasan Dallas-Fort Worth, Texas, Amerika Serikat. Audi Select sendiri bukanlah ‘layanan kendaraan berlangganan’ pertama dari perusahaan. Di tahun 2016, Audi sempat meluncurkan ‘Audi on demand‘, dengan San Francisco sebagai lokasi disuguhkannya program tersebut.

Ada peluang besar perusahaan-perusahaan otomotif akan terus bereksperimen dengan layanan berlangganan serta ride-sharing dalam upaya memperluas sayap bisnis mereka. Alasannya, pakar industri memperkirakan bahwa di masa depan, jumlah kepemilikan mobil akan berkurang. Soal harga, Audi Select masih berada di bawah Porsche yang mencapai US$ 2.000 sebulan…

Via The Verge.

Audi e-tron Resmi Diperkenalkan, Siap Tantang SUV Elektrik Lain dengan Seabrek Teknologi Canggih

Setelah lama dinantikan, Audi akhirnya resmi menyingkap mobil elektrik perdananya, sebuah SUV bernama e-tron. Penawaran Audi ini rupanya datang tidak lama setelah rival sekampungnya, Mercedes-Benz, juga menjalani debutnya di segmen elektrik melalui mobil bernama EQC, yang kebetulan juga bertipe SUV.

Dalam mengembangkan e-tron, Audi tampaknya berfokus pada aspek terpenting dari sebuah mobil elektrik, yakni efisiensi daya. Baterai berkapasitas total 95 kWh yang diposisikan di bagian lantai sanggup menyuplai energi yang cukup untuk menempuh jarak sekitar 400 km. Bukan yang paling efisien, tapi tetap saja mengesankan.

Audi e-tron

Yang lebih istimewa menurut saya adalah fitur regenerative braking yang dimiliki e-tron. Tesla maupun mobil elektrik lainnya juga dilengkapi fitur serupa, tapi garapan Audi sepertinya adalah salah satu yang paling efisien saat ini. Kesimpulan ini saya ambil berdasarkan pengujian prototipe e-tron yang dilakukan Carwow, yang bisa Anda tonton sendiri videonya.

Regenerative braking bekerja saat pedal gas dilepas, tidak harus ketika pedal rem diinjak. Saat aktif, motor elektrik yang ada pada mobil justru bekerja sebaliknya, menjadi generator listrik ketimbang mengonversinya menjadi tenaga penggerak. Singkat cerita, di jalan menurun, baterai mobil elektrik seperti Audi e-tron bukannya berkurang, tapi malah bertambah.

Audi e-tron

Dalam kasus e-tron, penambahannya cukup signifikan. Dari hasil pengujian Carwow tadi, e-tron berhasil mengumpulkan energi sebesar ± 10 kWh setelah diajak jalan menurun sepanjang 30 km. 10 kWh kalau dihitung-hitung bisa dikonversikan menjadi jarak tempuh sejauh 60 km. Jalan 30 km, baterai malah bertambah untuk jalan 60 km lebih lagi.

Selain irit, e-tron juga termasuk jagoan soal charging. Di stasiun pengisian yang mendukung, e-tron bisa di-charge dengan kapasitas 150 kW – lebih tinggi dari Tesla dan sistem Supercharger-nya yang ‘hanya’ 120 kW – sehingga charging dari 0 sampai 80% hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit saja. Untuk pengisian ulang di rumah, e-tron sudah dilengkapi charger bawaan dengan kapasitas yang cukup tinggi pula di angka 11 kW.

Audi e-tron

Soal performa, e-tron masih kalah dibanding Tesla Model X, tapi akselerasinya jelas menang jauh ketimbang SUV bermesin bensin: 0 – 100 km/jam dalam waktu 5,7 detik. Top speed-nya sendiri berada di angka 200 km/jam.

e-tron ditenagai oleh dua motor elektrik yang diposisikan di depan dan belakang. Perpaduannya mampu menghasilkan tenaga sebesar 265 kW (± 350 hp), akan tetapi angka akselerasi tadi didapat dengan mengaktifkan “Boost Mode”, yang bakal menambah lagi output dayanya hingga mencapai 300 kW (± 400 hp).

Audi e-tron

Tenaganya ini disalurkan ke penggerak empat roda (Quattro), akan tetapi sistem Quattro di sini rupanya juga sudah dielektrifikasi. Hasilnya, sistem dapat menyesuaikan penyaluran torsi ke masing-masing roda dalam waktu 5 milidetik saja, jauh lebih cepat ketimbang sistem Quattro mekanis.

Baik performa dan efisiensi dayanya ini juga bergantung pada faktor aerodinamika, dan spion virtual milik e-tron sangat berjasa dalam hal ini. Ya, teknologi itu bukan sekadar untuk keren-kerenan saja, tapi memang ada faedahnya ke pengalaman berkendara secara keseluruhan.

Audi e-tron

Dari luar, bisa dilihat kalau penampilannya sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dari versi konsepnya yang pertama dipamerkan tiga tahun silam. Sepintas, e-tron bisa dilihat sebagai versi baru dari SUV Audi Q5, dan tidak akan kelihatan terlalu mencolok apabila dijajarkan dengan barisan SUV tradisional Audi lainnya.

Interior e-tron sendiri sudah pernah kita bahas; tidak kelewat futuristis, tapi masih canggih dan terasa mewah layaknya mobil Audi biasanya. Urusan kemewahan, pabrikan Jerman memang masih sulit ditandingi, dan ini berlaku baik untuk Mercedes-Benz EQC maupun Audi e-tron.

Audi e-tron

Berbeda dari Mercy yang masih bungkam soal banderol harga EQC, Audi tidak segan mengungkap harga e-tron, yang dimulai di angka $74.800, dan akan dipasarkan pada pertengahan tahun 2019 nanti. Untuk varian termurahnya ini, harganya berada di bawah Tesla Model X, tapi masih sedikit di atas Jaguar I-Pace.

Sumber: Electrek dan Audi.

BMW Vision iNext Demonstrasikan Teknologi Kabin yang Amat Canggih

Mobil konsep dulunya identik dengan pintu bergaya gullwing maupun elemen visual lain yang dapat menambah kesan keren secara instan. Zaman jelas sudah berubah. Sekarang, mobil konsep identik dengan interior minimalis ibarat sebuah lounge berjalan, maupun yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan.

Tema yang sama juga diangkat oleh BMW lewat konsep terbarunya, BMW Vision iNext. Melalui iNext, BMW sejatinya ingin mendemonstrasikan teknologi-teknologi yang bakal mendikte perkembangan mereka selama setidaknya sepuluh tahun ke depan.

BMW Vision iNext Concept

Motor elektrik sudah pasti menjadi atribut utama, demikian pula integrasi sistem kemudi otomatis. iNext masih mempunyai lingkar kemudi pada dashboard penuh layarnya, yang berarti Anda masih bisa memilih untuk menyetir sendiri. Namun saat mode otomatisnya aktif, setir akan bergerak mundur, mengindikasikan sistem telah mengambil alih.

Yang cukup janggal dari kabin ini adalah absennya tombol atau kenop kontrol fisik. Oke, memang sudah ada beberapa mobil produksi zaman sekarang yang mengandalkan interface sentuh sepenuhnya. Lalu apakah iNext juga demikian? Ya, tapi jauh lebih canggih dari yang kita bayangkan.

BMW Vision iNext Concept

Untuk mengatur volume audio misalnya, tidak perlu menyentuh slider di layar atau menerapkan gesture tangan tertentu. Cukup letakkan jari di permukaan jok di samping paha, lakukan gerakan seperti menggambar lingkaran, maka volume bakal membesar atau mengecil.

BMW menyebut teknologi ini dengan istilah “Shy Tech”. Maksudnya, teknologi ini akan hanya tersedia ketika kita membutuhkannya saja. Sebaliknya, teknologi bakal membaur dengan material-material dalam kabin ketika tidak diperlukan, sama sekali tidak mengganggu pengalaman berkendara semua penumpang.

BMW Vision iNext Concept

Sepintas kedengarannya memang seperti sihir, akan tetapi BMW memanfaatkan teknologi Jacquard hasil garapan Google untuk mewujudkannya. Teknologi itu pada dasarnya memungkinkan material kain untuk disulap menjadi panel kapasitif karena ditenun menggunakan benang induktif.

Contoh lain Shy Tech yang lebih ekstrem adalah proyektor sebagai sumber segala konten. Bukan cuma konten yang tampil di layar infotainment saja, tapi juga yang muncul di halaman buku; saat berada di dalam kabin iNext, Anda cuma perlu membawa satu buku kosong, lalu proyektor akan mendeteksi keberadaannya dan memproyeksikan bacaan ke atasnya.

BMW Vision iNext Concept

Apakah ini lebih efisien ketimbang membawa sebuah iPad? Entahlah, toh ini memang mobil konsep, jadi semua hal tidak harus terdengar rasional. Kendati demikian, harus diakui filosofi Shy Tech ini sangat menarik, terutama apabila BMW bisa menerapkannya guna mengatasi problem-problem yang nyata, bukan sebatas keren-kerenan seperti mengganti buku dengan hasil proyeksi itu tadi.

BMW Vision iNext Concept

Beralih ke luar, kelihatan sekali wajah SUV yang amat futuristis. Ciri khas BMW masih dipertahankan lewat grille depannya, meski kini wujudnya sudah agak berbeda, demikian pula fungsinya yang telah beralih menjadi tempat bernaungnya sensor-sensor sistem kemudi otomatis.

Rencananya, BMW akan menggarap versi produksi iNext pada tahun 2021. Setahun sebelum itu, SUV elektrik BMW iX3 yang lebih tradisional bakal lebih dulu direalisasikan.

Sumber: CNET dan BMW.

Konsep Volvo 360c Gambarkan Kondisi Transportasi Pribadi di Masa Depan

Anggap Anda hendak menuju Bandung dari Jakarta, Anda pilih naik mobil atau pesawat? Naik pesawat memang jelas lebih cepat, tapi jika ditotal waktu yang dihabiskan sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda; yang mencakup perjalanan ke bandara, waktu menunggu boarding, dan perjalanan dari bandara Husein Sastranegara ke lokasi yang dituju di kota Bandung.

Poin yang ingin saya angkat adalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung memang lebih lama dan lebih melelahkan, tapi jauh lebih praktis. Setidaknya satu kekurangannya itu (melelahkan) dapat diatasi oleh perkembangan mobil kemudi otomatis. Kira-kira demikian pemikiran di balik pengembangan mobil konsep terbaru Volvo, 360c.

Volvo 360c Concept

Volvo 360c dideskripsikan sebagai mobil elektrik yang fully autonomous alias sama sekali tidak memerlukan kehadiran seorang sopir. Tidak ada ruang untuk pengemudi di dalam kabinnya, yang ada hanyalah interior modular yang bisa diatur sesuai kebutuhan; apakah Anda perlu tidur selama perjalanan, perlu bekerja, perlu bertatap muka bersama kolega, atau mungkin sebatas perlu menghabiskan satu season serial favorit di Netflix.

Karena ini adalah Volvo yang kita bicarakan, faktor keselamatan selalu menjadi prioritas sejak mereka pertama kali menciptakan sabuk pengaman tiga titik di tahun 1959, dan 360c pun tidak luput dari filosofi tersebut. Salah satu contohnya, selimut yang ada di dalam kabin juga dilengkapi sistem pengaman serupa, sehingga penumpang dapat tidur nyenyak sepanjang perjalanan selagi masih dijaga keselamatannya.

Pendekatan yang diambil Volvo ini tergolong cukup unik karena selama ini jarang sekali ada konsep-konsep mobil tanpa sopir yang menekankan fitur keselamatan, seakan-akan pengembangnya berasumsi mobil-mobil tersebut tidak akan pernah mengalami kecelakaan.

Masih seputar keselamatan, 360c juga dirancang agar dapat menyampaikan intensinya kepada pengguna jalan lain lewat perpaduan indikator suara dan lampu. Volvo berharap sistem komunikasi satu arah semacam ini dapat menjadi standar dalam pengembangan mobil kemudi otomatis ke depannya.

Volvo 360c Concept

Balik lagi ke cerita perjalanan Jakarta-Bandung tadi, Volvo 360c pada dasarnya bisa memberikan kepraktisan yang sama seperti naik mobil sendiri (tidak perlu ke bandara dan sebagainya) sekaligus kenyamanan seperti naik pesawat (cukup pejamkan mata saja sepanjang perjalanan). Namun selama mobil seperti 360c masih berstatus konsep, semua ini hanyalah angan-angan semata.

Juga penting untuk dicatat adalah, seandainya Volvo memproduksi mobil serupa di masa yang akan datang, kemungkinan Anda tidak akan bisa membelinya. Volvo bakal menawarkannya dalam bentuk layanan berlangganan (car sharing) ketimbang menjualnya ke konsumen secara langsung – ya setidaknya debat mengenai “bikin garasi dulu sebelum beli mobil” jadi bisa diselesaikan.

Sumber: CNET dan Volvo.

Mobil Elektrik Perdana Mercy, Mercedes-Benz EQC, Resmi Diperkenalkan

Pertama kali Mercedes-Benz mengungkapkan rencananya untuk memproduksi mobil elektrik adalah di tahun 2016 lewat sebuah mobil konsep bernama Generation EQ. Dua tahun berselang, mimpi tersebut akhirnya menjadi kenyataan. Inilah Mercedes-Benz EQC, mobil elektrik murni perdana dari sang pionir industri otomotif.

Dari luar, penampilannya tidak mencerminkan sebuah mobil elektrik. Anda bisa melihat grille berukuran besar di hidungnya, dan ini jelas palsu alias untuk hiasan semata mengingat mekanisme pendingin mobil elektrik sangat berbeda dari mobil bermesin bensin. Pun demikian, setidaknya tampangnya jadi tidak kelewat futuristis.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Mercy tidak membual saat berkata bahwa desain mobil elektrik versi produksinya tidak akan jauh-jauh dari mobil konsep yang diperkenalkan dua tahun lalu. Secara keseluruhan, EQC sangat mirip dengan Generation EQ, hanya saja kesan futuristisnya sedikit ditekan sehingga wujudnya lebih menyerupai SUV/crossover tradisional Mercy.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Urusan performa, EQC mengandalkan sepasang motor elektrik yang masing-masing diposisikan di tengah-tengah roda depan dan belakang. Tenaga yang dihasilkan mencapai angka 300 kW (402 hp), dan torsi maksimumnya mencapai 765 Nm yang disalurkan ke keempat rodanya (all-wheel-drive). Top speed-nya dibatasi di angka 180 km/jam, sedangkan akselerasi 0 – 100 km/jam berhasil diselesaikan dalam 5,1 detik saja.

Motor elektrik ini menerima suplai energi dari baterai lithium-ion berkapasitas total 80 kWh. Layaknya mobil-mobil buatan Tesla, baterainya ditempatkan di bagian dasar mobil demi menekan center of gravity, dan pada akhirnya meminimalkan efek limbung. Dalam satu kali pengisian, EQC dapat menempuh jarak sekitar 450 kilometer.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Terkait charging, kita tahu bahwa Daimler (induk perusahaan Mercy) telah membentuk aliansi bersama nama-nama besar industri otomotif lainnya untuk mengembangkan jaringan charger mobil elektrik bernama Ionity. Namun yang cukup unik, Mercy telah menyematkan charger terintegrasi di dalam EQC yang dilengkapi sistem water cooling. Fungsinya adalah supaya konsumen dapat mengisi ulang baterai EQC di kediamannya dengan lebih cepat, tepatnya dengan kapasitas 7,4 kW.

Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC

Masuk ke dalam kabinnya, Anda akan disambut oleh interior yang cukup mewah dan lagi-lagi tidak terlampau futuristis seperti yang ada pada versi konsepnya. Panel instrumen dan sistem infotainment-nya mengandalkan satu layar memanjang dari balik setir ke tengah dashboard, sama seperti sejumlah model Mercy terbaru, dan EQC masih menggunakan sistem MBUX meski ada sejumlah perubahan yang disesuaikan untuk ekosistem mobil elektrik.

Rencananya, mobil bernama lengkap Mercedes-Benz EQC 400 4MATIC ini baru akan diproduksi secara massal mulai tahun 2019. Sayang Mercy masih bungkam soal harga maupun jadwal pemasarannya.

Sumber: Electrek dan Daimler.

Piaggio Segera Produksi Vespa Elettrica, Vespa Bermesin Listrik Pertamanya

Sebelum dunia melihat Harley-Davidson bertenaga listrik turun ke jalanan secara resmi, kita rupanya akan lebih dulu disuguhi dengan Vespa elektrik. Pasalnya, Piaggio baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka bakal mulai memproduksi skuter elektrik pertamanya secara massal di bulan September.

Bagi yang sudah lupa, tahun 2016 lalu Piaggio sempat menyingkap konsep skuter elektrik bernama Vespa Elettrica. Ketika itu mereka menargetkan bisa memproduksinya pada pertengahan tahun 2017, tapi ternyata meleset, dan detail mengenai Elettrica pun juga nyaris tidak ada, terlepas dari penampilannya yang mirip seri Primavera.

Sekarang, kita bisa mengenalnya secara lebih mendalam. Motor elektrik tipe brushless yang menenagainya sanggup menyemburkan daya kontinyu sebesar 2 kW (2,7 hp) dan daya puncak sebesar 4 kW (5,4 hp). Kecil memang, tapi torsinya disebut menembus angka 200 Nm, dan Piaggio cukup percaya diri menyebut performa Elettrica setara skuter dengan mesin berkapasitas 50 cc.

Vespa Elettrica

Bisa sengebut apa Eletrrica sayangnya masih belum diketahui, akan tetapi kalau untuk diajak bersantai, bakal ada mode “Eco” yang akan membatasi kecepatan maksimum di angka 30 km/jam saja. Well, siapa sih yang ngebut pakai Vespa? Pengguna skuter ini justru sengaja bergerak pelan-pelan untuk pamer, bukan?

Soal efisiensi daya, Elettrica dirancang untuk bisa menempuh jarak 100 kilometer dalam satu kali charge. Proses isi ulang baterainya sendiri memakan waktu sekitar 4 jam, dan charge cycle-nya berada di kisaran 1.000 kali, atau setara jarak tempuh 50.000 – 70.000 km (kurang lebih 10 tahun pemakaian mayoritas konsumen). Lebih dari itu, kapasitas baterainya bakal berkurang cukup signifikan.

Yang cukup menarik, Elettrica diklaim punya ruang penyimpanan di bawah jok yang bisa menampung sebuah helm, suatu hal yang tidak umum mengingat skuter elektrik biasanya memerlukan ruang yang cukup besar untuk baterainya. Lebih lanjut, Piaggio juga bakal menyematkan sejumlah fitur berbasis AI, dengan robot Gita sebagai inspirasinya.

Vespa Elettrica

Produksi mulai bulan depan itu baru untuk pasar Eropa, dan jumlahnya masih akan dibatasi. Untuk pasar Amerika Serikat dan Asia, Piaggio menargetkan tahun 2019. Banderol harganya belum diungkap, tapi Piaggio bilang harganya bakal berada di kelas Vespa high-end – di Indonesia, ada GTS 300 ABS yang dijual seharga Rp 109 juta.

Untuk pasar Indonesia, menurut saya yang bakal lebih cocok adalah Vespa Elettrica X, yakni versi hybrid bensin-listrik dari skuter yang sama yang juga akan diproduksi. Versi ini memiliki jarak tempuh cuma 50 km, tapi dengan bantuan mesin bensin kecilnya ia malah bisa menempuh jarak 200 km.

Sumber: Electrek dan Piaggio.

Bermesin Listrik tapi Berwajah Klasik, Jaguar E-type Zero Siap Mengaspal Tahun 2020

Sekitar setahun yang lalu, Jaguar membuat kejutan lewat reinkarnasi versi elektrik dari roadster klasiknya. Saat diumumkan, status mobil bernama Jaguar E-type Zero itu baru sebatas konsep, namun baru-baru ini Jaguar memutuskan untuk melanjutkannya ke tahap produksi, dengan estimasi pengiriman ke tangan konsumen paling cepat pada musim panas tahun 2020.

Sekadar mengingatkan, fisik E-type Zero sengaja dibuat sama persis seperti E-type orisinil yang dirilis pertama kali di tahun 1961. Namun ketika kap mesinnya dibuka, yang tampak bukanlah mesin enam silinder berukuran masif, melainkan baterai lithium-ion berkapasitas 40 kWh, diikuti sebuah motor elektrik di belakangnya, persis di posisi gearbox E-type orisinil.

Jaguar E-type Zero

Menilik ke bagian kabin, kita bakal disambut oleh interior yang lebih modern berkat penerapan sistem infotainment berbasis layar sentuh. Elemen modernisasi yang terakhir terletak pada bagian lampu depannya, yang telah digantikan oleh komponen LED. Jaguar terkesan sangat berhati-hati dalam menerapkan pembaruan demi menjaga aura klasik dari salah satu mobil kebanggaannya tersebut.

Jaguar E-type Zero

Begitu presisinya perubahan yang diterapkan Jaguar, konsumen tidak harus membeli E-type Zero sebagai mobil baru. Para pemilik E-type klasik keluaran tahun 1961 – 1975 yang tertarik juga bisa menyulap tunggangannya menjadi mobil elektrik, dan proses restorasi beserta konversinya bakal dikerjakan sepenuhnya oleh tim Jaguar Classic Works.

Jaguar tidak lupa menegaskan bahwa proses konversi ini sifatnya reversible. Semua komponen yang diganti, terutama mesin bensinnya, akan disimpan baik-baik sehingga ke depannya, apabila ada permintaan dari konsumen, Jaguar bisa mengembalikan mobil mereka ke versi aslinya.

Jaguar E-type Zero

Terkait performa, E-type Zero dikembangkan menggunakan teknologi yang sama seperti SUV elektrik perdana mereka, Jaguar I-PACE. Bukan berarti performanya sama persis, akan tetapi setidaknya konsumen dapat diyakinkan bahwa kombinasi motor elektrik dan baterai yang diusung E-type Zero memang pantas untuk versi produksi.

Kemungkinan besar akselerasinya justru lebih unggul ketimbang E-type orisinil, sebab torsi besar dan instan memang sudah menjadi standar mobil elektrik. Soal efisiensi daya, E-type Zero diestimasikan dapat menempuh jarak hingga 270 km dalam satu kali pengisian baterai, cukup baik untuk ukuran baterai yang kecil (40 kWh).

Jaguar E-type Zero

Satu detail yang masih misterius adalah harganya. Sudah pasti mahal mengingat ini Jaguar dan bisa dikategorikan sebagai mobil klasik. Untuk tarif konversi sepertinya bakal bervariasi tergantung kondisi E-type klasik milik masing-masing konsumen.

Sumber: CNET dan Jaguar.

Bugatti Singkap Divo, Supercar Bertenaga 1.479HP yang Didesain Untuk Melahap Tikungan

Sebagai penerus Veyron, Bugatti meramu Chiron dengan spesifikasi yang lebih beringas. Realisasi dari konsep ‘Vision Gran Turismo’ itu menyimpan 1.479-tenaga kuda dan dapat menyentuh 100km/jam hanya dalam 2,4 detik, sehingga Bugatti harus membatasi kecepatannya di 420km/jam karena alasan keselamatan: belum ada ban yang bisa bertahan saat Chiron melaju di atas tingkatan itu.

Dan saat kita mengira Chiron merupakan kreasi paling liar dari perusahaan otomotif asal Perancis tersebut, Bugatti Automobiles menyingkap Divo di acara The Quail: A Motorsports Gathering yang berlokasi di Monterey, Kalifornia. Namanya diambil dari pembalap legendaris Albert Divo, pemenang dua kali Targa Florio, Divo difokuskan pada aspek kelincahan dan kemampuan melahap tikungan.

Bugatti Divo 2

Penampilan Bugatti Divo memang tampak lebih ganas dibanding Chiron. Tubuhnya mempunyai lebih banyak sudut dan lekukan – seperti versi Bugatti dari Batmobile. Sang produsen punya alasan kuat dalam mengambil arahan desain seperti ini, yaitu demi mengoptimalkan faktor aerodinamis serta tekanan ke bawah ketika kendaraan melaju di kecepatan tinggi.

Bugatti Divo 3

Pernak-pernik super-detail di tubuh Divo merupakan bagian kompleks dari sistem aerodinamika kendaraan. Bagian cover depan dilengkapi dengan lubang agar tidak ada area yang memotong aliran udara sekaligus sebagai cara mendongkrak efisiensi aspek aerodinamisnya. Lalu sistem pengereman juga didinginkan oleh empat sumber udara secara independen, diarahkan langsung ke cakram.

Bugatti Divo 4

Hasil dari penyempurnaan tim pada aspek rancangan Divo meliputi: bobot 35-kilogram lebih ringan dengan downforce 90-kilogram lebih tinggi dibanding Bugatti Chiron, lalu gaya akselerasi lateral didongkrak naik ke 1,6g. Mengusung mesin W16 delapan liter, Divo mampu menghasilkan tenaga setara Chiron serta  melesat di kecepatan maksimal 380-kilometer per jam.

Bugatti Divo 6

Angka top speed-nya memang berada di bawah Chiron. Tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, Bugatti Divo dispesilisasikan untuk lintasan berkelok. Teknisi Bugatti melakukan modifikasi besar-besaran pada bagian chassis dan suspensi. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan: dalam uji coba di atas sirkuit Nardò – berlokasi di selatan Itali – Divo berhasil menyelesaikan lap delapan detik lebih cepat dari Chiron.

Bugatti Divo 5

Segala kecanggihan ini memang menuntut uang yang tidak sedikit. Satu unit Bugatti Divo dibanderol seharga € 5 juta ‘saja’ atau kisaran US$ 5,81 juta. Dan berbeda dari mobil-mobil eksperimental, Divo telah mendapatkan izin untuk turut ke jalan. Namun bahkan jika Anda punya modal sebesar itu, kabar buruknya, seluruh 40 unit Divo yang Bugatti sediakan sudah habis terjual.

Sumber: Bugatti.

Supercar Elektrik Audi PB18 e-tron Siap Merajai Jalanan Sekaligus Sirkuit Balap

Sebelum kita melihat wujud final dari SUV elektrik Audi e-tron Quattro, sang pabrikan asal Jerman masih punya persembahan lain untuk menggambarkan visinya akan masa depan industri otomotif melalui sebuah prototipe supercar elektrik. Namanya Audi P18 e-tron, dan Anda bisa menilai sendiri betapa ganas penampilannya dari gambar di atas.

Tidak seperti R18 e-tron Quattro yang diciptakan untuk balap Le Mans, PB18 siap melahap jalanan biasa maupun sirkuit balap. Ia bahkan memiliki kabin belakang yang bisa memuat kargo layaknya sebuah hatchback. Kendati demikian, tema utamanya tetap balapan, berbeda dari konsep Audi Aicon yang berfokus pada tren self-driving.

Audi PB18 e-tron

Satu hal yang paling unik dari PB18 e-tron adalah posisi duduknya. Dengan menekan satu tombol saja, jok pengemudinya bakal bergeser dari samping ke tengah, posisi yang dinilai paling pas untuk bermanuver di sirkuit balap (monoposto). Inovasi ini dimungkinkan berkat setir dan pedal yang dioperasikan secara elektronik, alias tidak ada sambungan mekanisnya.

Sebagai sebuah supercar, performanya yang berasal dari tiga motor elektrik tidak bisa dianggap remeh. Tenaganya memang cuma 570 kW (± 764 hp), akan tetapi torsinya mencapai angka 830 Nm, dan kita semua tahu kalau mobil elektrik bisa langsung meraih torsi besarnya dari 0 RPM. Alhasil, akselerasi 0 – 100 km/jam sanggup ditempuh dalam waktu kurang dari 2 detik berdasarkan klaim Audi.

Audi PB18 e-tron

Sebagai mobil yang juga bisa dibawa secara legal di jalanan, efisiensi daya pun juga harus menjadi prioritas. Untuk itu, Audi telah menyematkan baterai solid-state berkapasitas 95 kWh yang diperkirakan bisa membawa mobil menempuh 500 kilometer dalam satu kali pengisian. Baterai ini bisa di-charge secara wireless, atau diisi ulang dengan sangat cepat menggunakan charger 800 volt milik Porsche.

Audi PB18 e-tron tidak lebih dari sebatas showcase, akan tetapi bukan tidak mungkin Audi menerapkan sejumlah teknologinya pada mobil-mobil produksinya di masa yang akan datang. Mungkin bukan jok yang bisa bergeser itu, melainkan teknologi baterai dan motor elektriknya.

Sumber: Electrek dan Audi.