TipTech #1: Bagaimana Pengembang Bukalapak Mengelola Fitur Baru di Tengah Siklus Produk yang Kencang

TipTech adalah rubrik baru DailySocial yang membahas berbagai kiat dalam pengembangan produk atau aplikasi startup. Pada bagian pertama ini, kami berkesempatan untuk berdiskusi dengan VP of Engineering Bukalapak Ibrahim Arief dan VP of Product Design Bukalapak Yoel Sumitro.

Di tengah persaingan bisnis online marketplace yang sangat ketat, banyak hal yang harus dilakukan Bukalapak untuk membuat para pembeli betah. Salah satu yang dilakukan dengan menggulirkan inovasi produk secara terus-menerus di aplikasi. Kami sendiri mengamati beberapa pembaruan yang diluncurkan, misalnya setelah fitur Serbu Seru kini mereka menggulirkan #MauDitinju dan #Maudikode sebagai mekanisme distribusi voucer dan pengundian diskon.

Sebagai komplementer, fitur tersebut harus mendapatkan porsi dan penempatan yang sesuai agar tidak mengganggu model bisnis utamanya. Pendekatan ini yang akan kami diskusikan, tentang bagaimana tim pengembang dan produk memaksimalkan fitur aplikasi untuk meningkatkan traksi pengguna.

Manfaatkan framework yang tepat

User Interface (UI) dan User Experience (UX) menjadi bagian penting ketika merumuskan sebuah produk baru. Secara sederhana, UI didefinisikan sebagai representasi dari produk yang akan diakses oleh pengguna; sementara UX menjadi alur desainnya, mengakomodasi cara-cara konsumen dalam mengakses produk tersebut.

“Ada berbagai macam jalan yang bisa diambil ketika merumuskan rancangan UX untuk fitur yang baru. Salah satu yang kita pernah pakai adalah framework buatan Nir Eyal. Di dalamnya dia melempar sebuah ide bahwa fitur yang bisa membuat kebiasaan baru untuk pengguna harus mempunyai empat siklus: trigger, action, variable reward, dan investment,” terang Yoel.

Nir Eyal dalam bukunya “Hooked: How to Build Habit-Forming Products” menjelaskan bagaimana produk dikonversi menjadi kebiasaan. Maksudnya, konsumen dikondisikan memiliki dorongan emosional untuk menggunakan tanpa harus berpikir panjang. Contohnya keberhasilan Instagram, membuat orang akan kembali dari waktu ke waktu tanpa pikiran sadar untuk melihat foto baru dan scroll timeline.

Gambaran Hooked Model Framework yang dicetuskan Nir Eyal / Startup Grind
Gambaran Hooked Model Framework yang dicetuskan Nir Eyal / Startup Grind

Trigger atau pemicu, yakni faktor yang dijadikan alasan bagi pengguna untuk mengakses dan menggunakan produk tersebut. Pemicu ini dibagi menjadi dua aspek, eksternal dan internal. Pemicu eksternal ini yang ditugaskan untuk mendorong orang masuk ke dalam produk yang diluncurkan, bentuknya bermacam-macam, misalnya yang dilakukan di Bukalapak dengan mengirimkan notifikasi yang cukup persuasif kepada pengguna.

Kemudian pemicu internal – ini adalah faktor yang paling sulit terkait penciptaan pengalaman pengguna, membutuhkan pemikiran kritis dari desainer produk. Menurut Neil, dikatakan sukses jika mampu menghasilkan emosi negatif yang persisten; kemudian memberikan kelegaan singkat dari emosi itu, lalu menciptakan kecanduan.

Contohnya fitur Serbu Seru di Bukalapak, dengan harga produk yang relatif sangat kecil, pengguna dapat menyerbu produk-produk pilihan. Kemudian sistem akan melakukan pengundian secara acak di tiap produk, hingga terpilih satu penyerbu yang beruntung. Bagi yang kurang beruntung, nominal yang diberikan akan dikembalikan, baik berupa saldo ataupun pembelian item lain. Harga yang sangat murah, keberuntungan, dan varian produk yang menarik memanfaatkan faktor emosional tersebut.

“Di dalam fitur baru Maudikode yang baru kita luncurkan, empat elemen di atas bisa cukup terasa, terutama external trigger yang kuat,” lanjut Yoel.

Untuk pembahasan framework ini secara lengkap, buku Neil tadi dapat dijadikan rujukan.

Pengujian dan kolaborasi

Agar bisa diterima dan memberikan dampak yang diharapkan, pengujian juga penting untuk dilakukan. Ibrahim menjelaskan, di Bukalapak mereka menggunakan A/B Testing.

“A/B Testing, sangat penting untuk memastikan pengembangan UI/UX aplikasi memberikan dampak positif yang bisa terkuantifikasi bagi pengguna dan bagi conversion funnel kita. Layanan dan pustaka A/B Testing yang bisa digunakan dan diintegrasikan dengan aplikasi kita cukup banyak, mulai yang gratis hingga berbayar,” terang Ibrahim.

Gambaran tentang A/B Testing / Conversio
Gambaran tentang A/B Testing / Conversio

Kolaborasi dan manajemen tim juga menjadi bagian krusial untuk meningkatkan kualitas UI/UX di Bukalapak.

“Untuk perangkat pendukung kolaborasi dalam membuat desain, dulunya kami memakai gabungan Sketch, Abstract, dan Realtimeboard. Tapi setelah melakukan beberapa eksperimen, kami menemukan bahwa Figma bisa menggantikan tiga alat tersebut, bahkan bisa menunjang kolaborasi yang lebih bagus dengan tim-tim di luar desain,” lanjutnya.

Personalisasi untuk pengguna

Peningkatan traksi juga dipengaruhi oleh kenyamanan pengguna dalam mengakses aplikasi. Misalnya terkait keandalan aplikasi, ketika diakses tetap kencang meskipun banyak fitur yang dibubuhkan. Agar aplikasi tetap kencang, Ibrahim menyiasatinya dengan memisahkan pola penggunaan aplikasi, antara yang read-heavy dengan yang write-heavy.

“Biasanya aplikasi yang berhadapan dengan pelanggan cenderung pada skenario penggunaan read-heavy. Dalam kasus tersebut, pertimbangkan juga penggunaan cache yang efisien. Diskusikan juga bersama tim bisnis, untuk produk apakah ada jangka waktu tertentu yang masih acceptable untuk menyajikan stale data ke pelanggan,” jelasnya.

Misalnya, untuk aplikasi yang menampilkan data cuaca, mungkin data yang stale selama maksimal 20 menit masih bisa diterima dan bisa di-cache untuk jangka waktu yang lama.

Selain itu saat ini Bukalapak menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membangun model personalisasi dari jutaan pelanggannya. Model ini bisa digabungkan dengan AI yang digunakan untuk rekomendasi agar bisa membantu pengguna dalam memudahkan pengalaman berbelanja.

“Untuk membangun model seperti ini, kami mengumpulkan miliaran data terkait perilaku setiap pelanggan di Bukalapak, dan menggunakan data tersebut untuk melatih berbagai jenis model dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran mesin seperti bayesian model, neural network, atau logistical regression,” jelas Ibrahim.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Menerapkan “End-to-End Analytics” untuk Akuisisi Pelanggan

Salah satu tantangan bisnis yang kerap dihadapi oleh brand adalah mempertahankan pelanggan. Setelah proses akuisisi dilakukan, return visit hingga high value transaction menjadi fokus kegiatan pemasaran yang wajib dicermati. Business Director, Analytics & CRM iProspect Valuklik Dessy Amirudin mengupas tentang “end-to-end analytics” dan potensinya mendorong pertumbuhan pelanggan dalam sesi #SelasaStartup DailySocial.

Menggabungkan data online dan offline

Banyak cara untuk mengakuisisi pelanggan baru, namun masih belum banyak yang sukses mempertahankan pelanggan untuk kembali membeli produk. Dengan menerapkan end-to-end analytics semua bisa dilihat dengan jelas, misalnya seperti apa behaviour terhadap perusahaan. Sehingga bisa dilakukan aksi yang konkret, agar pelanggan bisa menjadi loyal dan engage.

“Kebanyakan brand kehilangan pelanggan karena kurangnya edukasi saat pelanggan baru bergabung atau onboarding. Dari analitik bisa dilihat problem apa yang terjadi sehingga bisa dilakukan aksi yang tepat agar tidak terjadi lagi kehilangan pelanggan,” kata Dessy.

Melalui focus group juga bisa dilakukan rebranding produk memanfaatkan feedback dari responden. Melakukan survei juga bisa dilakukan untuk menemukan masalah lebih awal terhadap produk atau layanan yang ditawarkan. Tantangan terbesar yang kerap dihadapi adalah menggabungkan data yang masuk secara online dan offline menjadi data yang unifying.

Untuk bisa menggabungkan kedua data tersebut, cara paling populer yang dilakukan dengan menerapkan Data Management Platform. Dengan cara ini, data yang masuk secara online, kebanyakan adalah anonymous data, bisa digabungkan dengan data yang bentuknya lebih detail dan kebanyakan berasal dari offline channel.

Dari data tersebut nantinya brand bisa menerapkan framework yang relevan. menyesuaikan kegiatan pemasaran yang bersifat data driven. Framework yang ideal untuk diterapkan adalah, strategi objektif, menciptakan analisis berbasis data, proses menyeleksi pelanggan dan target pelanggan, kampanye marketing, privasi dan metriks.

Menentukan tipe pelanggan

Cara lain yang bisa dilakukan agar bisa mendapatkan pelanggan yang lebih loyal adalah mempelajari lebih mendalam kebiasaan dan jenis masing-masing pelanggan. Proses yang disebut customer equity, dipercaya bisa melakukan kegiatan pemasaran dengan target pasar yang relevan.

Dalam hal ini menurut Dessy, penting untuk bisa mendapatkan pelanggan loyal dengan kategori high value. High value dalam hal ini adalah mereka yang kerap melakukan pembelian secara rutin dengan produk yang premium dan lebih fleksibel terhadap kebijakan dan persyaratan yang berlaku.

Sementara untuk pelanggan low value, kebanyakan hanya membeli barang dengan nilai yang rendah dan kerap mengeluh juga tidak terlalu fleksibel mengikuti persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Tahapan ideal yang dipercaya ampuh untuk dilakukan adalah diawali dengan akuisisi pelanggan, growth atau menambah jumlah pelanggan dan retensi yaitu mempertahankan jumlah pelanggan yang kembali lagi membeli produk atau layanan yang ditawarkan.

“Pada akhirnya perusahaan akan sukses mendapatkan pendapatan jika bisa mengakuisisi pelanggan yang loyal, sehingga retention bisa meningkat jumlahnya dan nilai transaksi bisa bertambah,” kata Dessy.

4 Langkah Founder Memulai Tahap “Scale Up”

Pada masanya, setiap startup akan melalui tahap scale up atau tahap berkembang. Tahap ini dilakukan seiring dengan penambahan jumlah pengguna dan produk yang telah tervalidasi.

Biasanya, scale up ditandai dengan penambahan jumlah karyawan hingga diversifikasi produk. Tujuannya tak lain untuk mengejar pertumbuhan bisnis dan menciptakan pasar baru melalui perluasan produk.

Dalam melakukan scale up, startup perlu memperhitungkan sejumlah hal, mulai dari bagaimana menentukan produk/fitur baru hingga langkah strategis apa yang harus dilakukan.

Sejumlah hal ini dijawab oleh Co-founder Jubelio Andra Yusuf yang berbagi sejumlah tips dan pengalamannya dalam membangun bisnis omni-channel di sesi #SelasaStartup kali ini.

Langkah memulai scale up

Sebetulnya, kedua hal ini terbilang sangat fundamental bagi para founder saat membangun startup, yakni visi-misi dan mindset.

Menurut Andra, founder perlu memastikan kembali visi-misi dan mindset mereka. Kedua hal ini akan menjadi sebuah pengingat penting untuk  menentukan langkahnya membesarkan bisnis.

“Kita perlu pastikan apakah founder memiliki visi dan misi yang jelas. Demikian juga mindset, apakah membangun startup hanya untuk mendapatkan fresh money atau bisnis jangka panjang,” ungkapnya.

Memperbanyak kolaborasi

Ketika membangun startup, founder akan bertemu dengan banyak orang. Dalam kaitannya dengan scale up, Andra menilai pentingnya menjaga koneksi dengan banyak pihak karena mereka berpotensi menjadi mitra bisnisnya di masa depan.

Di Jubelio, Andra menyebutkan pihaknya telah bermitra dengan sejumlah e-commerce di bidang marketplace, seperti Shopee dan Bukalapak. Ini menjadi keuntungan karena marketplace memiliki basis pengguna, baik seller dan buyer, yang besar.

“Kita perlu tahu bahwa income terbesar bukan dari sales melainkan partnership. Maka itu, jangan mengeksklusifkan bisnis karena ruang lingkup menjadi terbatas. Partnership harus diperbanyak dan dijaga,” paparnya.

Kunci diversifikasi produk: kenali pasar dan masalahnya

Dalam melakukan diversifikasi produk, startup tidak boleh hanya mengikuti ego perusahaan, tetapi mengikuti apa yang diinginkan oleh konsumen. Hal ini dapat diketahui dengan memvalidasi data dengan masalah yang terjadi di lapangan.

“Misal, kami mengembangkan fitur inventori produk. Ternyata setelah divalidasi dengan data, bukan fitur itu yang benar-benar dibutuhkan pengguna. Makanya kita perlu mengenali pasar yang diincar karena produk yang kita ciptakan akan menjadi solusi mereka” ujar Andra.

Andra melanjutkan, ada hal lain yang tak kalah penting saat mengembangkan produk baru, yakni jangan terpaku pada produk yang mudah. Menurutnya, jika suatu produk/fitur baru mudah dikembangkan, lantas menjadi prioritas.

“Mudah dikembangkan tetapi belum tentu produk itu dibutuhkan pasar. Jangan takut untuk mengembangkan produk yang lebih sulit,” tambahnya.

Belajar dari startup yang sukses

Kunci dari membangun startup adalah tidak takut gagal dalam berinovasi dan mengembangkan suatu hal. Setiap startup akan memiliki pengalaman jatuh-bangun sendiri dalam membangun bisnisnya.

Membesarkan bisnis tentu menantang. Perubahan dan dinamika startup akan terjadi seiring bertambahnya karyawan, fokus bisnis, dan target yang ingin dicapai.

“Maka itu, kita tidak perlu malu untuk mau belajar startup-startup lain yang sudah sukses. Pengalaman mereka bisa jadi inspirasi kita untuk mengembangkan bisnis,” ujarnya.

Tips Menyusun Ide Awal Sebelum Berkarier di Startup

Semua orang bisa mendirikan startup, tapi tidak semua orang cocok untuk berkarier di sana. Butuh keuletan yang ekstra dan tahan banting di berbagai kondisi dan situasi karena di dunia ini tidak ada kesuksesan yang instan.

Untuk mengawali topik di atas, di #SelasaStartup edisi pekan kedua Agustus 2019 DailySocial mengundang Co-Founder dan COO Lacak.io Danny Jiang sebagai pembicara. Dia banyak berbagi tips seputar entrepreneurship di dunia startup yang tentunya sangat korelasi dengan menyusun ide awal mendirikan startup.

Lacak.io merupakan startup fleet management untuk pelaku UKM di bidang logistik yang ingin menekan biaya operasional dan keamanan kendaraan dengan teknologi.

Berikut rangkumannya:

Realita sebenarnya bekerja di startup

1. Tidak punya kebebasan atur jam kerja

Perlu ditekankan di sini, banyak orang mendirikan startup itu artinya sebagai founder punya kebebasan untuk mengatur jam kerja, sangat timpang dengan jam kerja karyawan pada umumnya yang tersistem. Anggapan ini sama sekali tidak benar.

Danny menjelaskan ketika memutuskan untuk menjadi founder, pada tahun awal bahkan sampai startup itu benar-benar bisa stabil, maka founder tersebut tidak akan punya waktu bebas. Hingga mengira waktu 24/7 itu tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua pekerjaan.

“Kebebasan waktu itu hanya ada dipikiran saja, kenyataannya sama sekali tidak demikian. Jadi harus bersiap sampai lima tahun ke depan sampai startup-nya stabil, harus kerja siang malam setiap hari,” ujar Danny.

2. Penghasilan pasif tidak datang secara instan

Pandangan lainnya, berkarier di startup itu sama dengan bebas secara finansial karena punya usaha yang tidak perlu dipantau setiap waktu. Anggapan ini lagi-lagi tidak benar.

Saat baru dirintis, founder harus siap dengan kemungkinan besar usahanya belum bisa memberikan untung. Bahkan ada yang sampai bertahun-tahun harus bakar uang karena belum ada konsumen yang benar-benar mau bayar layanan yang dibuat.

“Ini harus ditanamkan dalam pikiran founder bahwa mendirikan startup itu belum tentu dalam waktu dekat punya unlimited income.”

3. Tidak bisa sepenuhnya melakukan hal yang disuka

Danny melanjutkan, banyak orang yang keluar dari kantor lama dan tertarik mendirikan startup karena mereka ingin melakukan hal yang mereka sukai. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar.

Bahkan dia memperkirakan hanya 20%-30% pekerjaan saja yang benar-benar sesuai dengan minat. Sisanya? Founder harus melakukan semua pekerjaan, yang tidak disukai sekalipun. Artinya harus mau bertemu orang untuk jualan, rekrut orang baru, melakukan pembukuan, tidak hanya coding saja.

“Kalau mau menjalankan startup, mau tidak mau harus bersinggungan dengan itu semua.”

4. Siap tahan banting

Kenyataan lainnya yang perlu disadari calon founder adalah butuh daya banting selama bertahun-tahun siap berhadapan dengan berbagai tekanan. Seperti kondisi startup belum bisa beri penghasilan dalam waktu dekat, tidak ada orang yang mau beli produk, dan tantangan lainnya.

Ketika sudah berdarah-darah merintisnya, sampai startup tiba waktunya untuk bersinar, artinya founder tersebut punya daya tahan teruji.

Endurance-nya itu bukan dorong founder untuk lari sprint, ibaratnya. Tapi kemauan untuk lari marathon, pelan tapi pasti. Kalau pitching ke investor dan di-judge tidak akan sukses, jika endurance-nya kendor pasti mudah nyerah.”

Keempat realitas ini setidaknya harus disadari betul oleh para calon founder sebelum benar-benar mulai eksekusi idenya.

Memulai ide awal yang tepat

1. Cari peluang dari masalah di lapangan

Menurut Danny, selama ada masalah di lingkungan sekitar pasti bisa menjadi potensi bisnis. Ketika sudah berhasil memecahkan masalah tersebut, orang pasti mau membayar produk apa yang kita buat.

Yang terpenting, solusi yang mau kita pecahkan ini pada dasarnya haruslah bidang yang kita kuasai. Bila tidak, pemecahan solusinya bakal kurang tajam.

Untuk itu, founder haruslah punya passion yang kuat sebagai seorang entrepreneur. Bila mereka tidak suka dengan apa yang harus dilakukan, pasti tidak akan bisa bertahan di dunia startup.

Passion itulah yang membuat seorang entrepreneur bertahan.”

2. Buat nilai tambah dari solusi yang sudah ada

Maksudnya di sini adalah founder itu tidak harus memulai dari sesuatu yang nol. Selagi ada solusi yang ditawarkan startup lain, pasti akan muncul masalah berikutnya. Yang mana hal itu bisa kita manfaatkan.

“Bisa kok copy dari apa yang sudah ada, tapi dengan menambahkan value. Lihat contohnya dari Shopee, mereka masuk Indonesia lebih lambat dari pemain sejenis yang sudah dahulu beroperasi. Namun sekarang mereka sudah cukup ahead dan bisa mengejar ketertinggalan karena menawarkan promosi gratis ongkir.”

3. Mulai dari hal kecil dan fokus ke konsumen

Danny mencontohkan, Lacak.io ini dimulai awalnya bukan sebagai fleet management karena melakukan berbagai riset, melainkan hanya sebatas perusahaan yang menjual alat untuk pantau proses bisnis. Konsumennya bermacam-macam dari berbagai industri, ada rental juga logistik.

Seiring waktu, karena perusahaan punya keterbatasan tenaga kerja, akhirnya memutuskan untuk survei konsumen agar lebih fokus ke pelayanan. Ditemukan bahwa alat yang dijual ini lebih memberikan manfaat buat pelaku logistik karena mereka butuh alat untuk memantau truk secara digital. Mereka pun tercatat sebagai konsumen aktif yang selalu membutuhkan solusi ini.

Dari situ akhirnya membuat tim bersemangat untuk lebih dalam mendalami soal fleet management. DHL pun menunjukkan ketertarikannya untuk dicarikan solusi serupa. Setelah riset 1,5 tahun melihat masalah dari DHL, Lacak.io pun akhirnya resmi berdiri.

“Di sini awalnya kita fokus ke masalah satu konsumen yaknk DHL. Kemudian setelah satu konsumen puas dan mau bayar solusi kita, ada kesempatan untuk scale up sehingga bisa gaet banyak konsumen. Sekarang kita sudah menghubungkan sekitar 2 ribu truk dengan solusi Lacak.io,” tutupnya.

Waktu yang Tepat Memulai Startup

Menjalankan bisnis startup tak hanya soal solusi dan urusan teknis. Untuk bisa berkembang butuh yang namanya “waktu yang tepat”, terutama dengan pemahaman kondisi pasar, edukasi pengguna, dan ketersediaan fitur.

Perkara waktu yang tepat ini ada beberapa cerita. Koprol misalnya. startup asal Indonesia yang mengusung konsep jejaring sosial berbasis lokasi. Waktu itu Koprol merupakan sebuah inovasi yang cukup membanggakan bagi Indonesia, apalagi menjadi startup lokal yang diakuisisi oleh raksasa teknologi saat itu, Yahoo. Sayangnya pasar Indonesia masih belum cukup besar segmen seperti ini. Inovasi Koprol datang terlalu dini.

Gojek juga punya cerita yang hampir serupa. Dimulai dengan konsep call center, Gojek bertahan lima tahun sebelum akhirnya memperkenalkan aplikasi mobile. Perhitungan Gojek akurat. Solusi mereka yang dibarengi pasar yang kian matang menjadi landasan untuk berkembang pesat. Dari awalnya adalah layanan pemesanan ojek dan pengantaran barang, kini mereka menjadi super app.

Cerita menarik lain datang dari Qlue, penyedia solusi smart city yang menjadi salah satu pioner aplikasi pelaporan warga. Founder dan CEO Qlue Rama Raditya mulai merintis Qlue pada medio 2014 silam. Saat itu, kesulitan warga terhubung dengan dinas terkait, membuatnya menggagas sebuah aplikasi pelaporan warga.

Ia kemudian mengirimkan surat ke Gubernur DKI Jakarta. Gayung pun bersambut. Suratnya ditanggapi Wagub DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahaja Purnama. Ia diberikan waktu sembilan bulan untuk menyempurnakan aplikasi tersebut.

“Sembilan bulan kemudian, saya berhasil menyelesaikan platform Qlue versi pertama, lalu lahirlah Jakarta Smart City. Di hari pertama peluncuran Jakarta Smart City, Qlue diunduh oleh 15.000 orang. Dengan dukungan penuh dari Pemprov DKI Jakarta dan jajarannya untuk menindaklanjuti setiap laporan Qlue yang masuk, maka aplikasi Qlue langsung dapat digunakan oleh ratusan ribu user di DKI Jakarta,” cerita Rama.

Dalam tempo setahun kolaborasi antara Qlue dengan pemerintah DKI Jakarta berhasil mengurangi lebih dari 7.500 titik banjir, memangkas pungutan liar hingga 45% dan berhasil mengurangi ratusan ton sampah berkat kolaborasi warga, pemerintah dan teknologi.

“Momentum adalah salah satu faktor penentu keberhasilan dari banyak faktor dalam membangun sebuah startup. Di Qlue sendiri ada tiga nilai penting yang harus diimplementasikan di setiap individu, yaitu SEXI (Synergy, Execution, dan Integrity), di mana momentum terdapat di dalam nilai execution,” terang Rama membagikan tipsnya.

Mengenali pasar dan momentum

Tugas utama founder, selain membangun solusi dengan teknologi, adalah mengenali pasar untuk mencari pengguna yang disasar dan mencari momentum. Momentum kadang bisa terlewat atau kadang terlalu lambat.

Analisis terhadap pasar harusnya melibatkan dua unsur besar: volume atau besar-kecilnya pasar dan pertumbuhan di dalamnya. Jika kita menargetkan pasar yang sudah besar, dengan pertumbuhan yang juga besar, risiko pertama yang dihadapi adalah pemain-pemain besar lainnya. Apakah tidak ada pelung sama sekali ? Belum tentu.

Instagram, sebagai platform media sosial, datang belakangan jika dibanding Facebook dan Twitter. Cerdiknya, mereka mencari celah di antara kedua raksasa yang sudah ada. Mereka eksklusif menawarkan berbagi cerita dengan media foto. Gayung pun bersambut. Masyarakat bisa beradaptasi dengan apa yang Instagram tawarkan dan kini Instagram menjadi bagian dari Facebook.

Sebagai founder yang menginginkan bisnisnya tumbuh berbarengan dengan pangsa pasar yang berkembang, hindari untuk membuat solusi dengan pasar yang kecil dengan pertumbuhan yang minim. Mengeksekusi untuk kondisi pasar ini hanya akan membuang-buang waktu. Meski teknologi tampak keren, tapi banyak orang tidak membutuhkannya, lalu untuk apa?

Saran terbaik bagi startup untuk yang ingin berkembang bersama pasar adalah menemukan pasar, meskipun dengan ukuran kecil, tapi memiliki potensi pertumbuhan besar di kemudian hari.

Menciptakan Model Pendapatan yang Tepat Bagi Startup

Startup tidak semata-mata berfokus pada pengembangan produk dan talenta saja. Sama seperti korporasi, startup punya tujuan sama dalam membangun sebuah bisnis, yakni meraup pendapatan.

Perusahaan perlu revenue model yang tepat sebagai strategi untuk memperoleh pendapatan dari bisnisnya. Ada banyak revenue model yang dapat dijadikan acuan. Misalnya, revenue model berbasis transaksi, komisi, dan berlangganan. Semua bergantung pada target pasar yang dituju.

Apa saja yang kita dapat kita ketahui tentang revenue model? Apakah sekadar menentukan model bisnisnya saja? Pada sesi #SelasaStartup pekan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer berbagi ilmu kepada khalayak tentang revenue model untuk startup.

Tentu topik ini menjadi sangat menarik jika melihat cita-cita Wahyoo yang ingin mendigitalisasikan warung makan di Indonesia. Selengkapnya, simak pembahasan Peter berikut ini.

Tiga hal sebagai fondasi dasar

Pendapatan adalah fondasi utama dalam membangun sebuah bisnis. Pada akhirnya, setiap bisnis menginginkan pendapatan sebagai kunci keberlangsungan perusahaan di masa depan.

Peter menyebutkan ada tiga pertanyaan dasar yang perlu dijawab saat ingin membangun startup. Pertama, siapa target pasarnya, masalah yang ingin diselesaikan beserta solusinya, dan apakah solusi ini dapat menghasilkan uang.

Jika ketiga hal ini mampu dijawab, pelaku startup dapat menciptakan revenue model-nya. Selain itu, ketiga hal ini dapat menentukan apakah sebuah bisnis patut dicoba atau tidak. Menurutnya, pelaku startup dapat menghindari bisnis yang sejak awal kita tahu tidak mampu menghasilkan pendapatan.

“Percuma bangun bisnis yang tidak bisa menghasilkan revenue karena effort yang dikeluarkan banyak dan [bisnis] tidak akan sustain. Bisnis yang sederhana bukan berarti scalable. Lebih baik menciptakan sesuatu sampai customer tahu [produk] ini bernilai,” ungkap Peter.

Revenue model sejalan dengan SDM

Peter menceritakan bagaimana Wahyoo memanfaatkan banyak stakeholder sebagai salah satu revenue model-nya. Sebagai startup penyedia solusi digitalisasi dan modernisasi warung, Wahyoo melakukan pendekatan dengan komunitas dan proyek tertentu sebagai target pasar produknya.

Wahyoo memiliki beberapa revenue model untuk bisnisnya, mulai dari transaksi, iklan, komisi, project based, franchise, hingga licensing. Peter sadar tidak semua revenue model dapat berjalan seluruhnya. Maka itu penting melakukan evaluasi untuk mengetahui revenue model yang cocok dengan bisnis yang dijalankan.

Di samping itu, semakin banyak revenue model akan sejalan dengan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) agar pengelolaannya lebih fokus. “Bagaimanapun juga, manusia cuma punya dua tangan. Tentu perlu dilihat apakah menambah orang atau tidak worth it dengan semakin banyaknya revenue model,” ujarnya.

Kolaborasi jadi potensi pemasukan

Menciptakan revenue model bagi bisnis tidak harus berjalan sendiri. Pelaku startup dapat berkolaborasi dengan banyak pihak untuk membuka peluang pemasukan lain.

Sebagai contoh, warteg yang menjadi mitra Wahyoo dapat menjadi double agent yang mana pemiliknya bisa mengantongi komisi dari iklan yang dipasang di warung tersebut.

“Banyak startup yang terlalu fokus pada satu hal [untuk menciptakan revenue]. Padahal, sebetulnya banyak sekali touch point yang dapat dikolaborasikan,” tutur Peter.

Belajar dari kompetitor

Satu hal yang tak kalah penting apabila pelaku startup telah menemukan revenue model yang tepat untuk bisnisnya, yakni mencari tahu tentang kompetitornya.

Peter menilai tidak ada salahnya mengetahui produk dan revenue model pesaing. Justru berbagai informasi yang didapatkan dari pesaing dapat menjadi learning process bagi pelaku startup untuk belajar tentang revenue model.

Suka Duka Bekerja secara “Remote Working”

Bekerja di startup umumnya menawarkan pilihan kepada karyawan untuk kebebasan bekerja di mana saja alias remote working.  Hal ini menjadi berkah buat orang-orang yang ingin melarikan diri dari suasana kubikel, ingin tetap fokus kerja dengan sengaja menjauhi “gosip” dari rekan kantor, dan berbagai alasan lainnya.

Meskipun demikian, untuk para atasan, ada pekerjaan ekstra untuk memantau karyawannya agar tetap fokus kerja dan menyelesaikannya secara on time. Meski berkesan manis, pada praktiknya konsep remote working tidak semudah yang dibayangkan. Pasti ada suka dan dukanya.

DailySocial mengompilasi curahan enam pekerja startup dari berbagai latar belakang yang kesehariannya bekerja remote, bagaimana tips agar tetap produktif dan duka yang dialami sebagai pegawai yang bekerja di luar kantor. Berikut ini rangkumannya:

Tips remote working yang produktif

1. Selalu menjaga komunikasi

Ryza, yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah startup media, menjelaskan, komunikasi adalah unsur terpenting harus dijaga ketika bekerja remote. Komunikasi ini, menurutnya, akan membuat koordinasi kerja dengan rekan jadi lebih optimal. Down side-nya, dia harus sepenuhnya bergantung pada koneksi internet. Ada tiga back up koneksi yang dia siapkan agar tetap terhubung di dunia maya.

“Dari awal emang sudah kerja remote, dulu itu takut banget kalau ada salah. Tapi seiring waktu, sadar kalau yang penting itu koordinasi dan komunikasi, makanya ‘up time’-nya harus 100%,” ujarnya.

Kebutuhan koneksi internet yang handal untuk berkomunikasi menjadi hal yang krusial. Menurut Bambang, yang bekerja di startup yang sama, setiap minggunya selalu ada meeting mingguan bersama seluruh tim dengan video conference. Karena koneksi internet yang tidak selalu baik di rumahnya, ia hanya bisa menangkap paling banyak 40% informasi yang disampaikan.

“Bukan karena tidak mengerti, tapi lebih karena alat yang kurang optimal dalam menghantarkan suara dan gambar. Walaupun tentu ada faktor lain di luar ini yang ikut berperan, seperti kualitas koneksi dan peralatan saya,” tutur Bambang.

Wynee yang berprofesi sebagai konsultan komunikasi mengamini hal ini. Menurutnya, komunikasi itu hal terpenting yang harus dijaga oleh orang-orang yang bekerja remote. Tak apa kerja dari luar, asalkan selalu responsif dan gampang dihubungi tim.

“Biar enggak nyusahin tim [kalau susah dihubungi],” terangnya singkat.

2. Punya jam kerja

Biasanya pekerja remote, terutama yang bekerja di rumah, memiliki jam kerja yang “abu-abu”. Tidak ada batasan 9-to-5 ala pekerja kantoran. Anisa, yang kesehariannya berprofesi sebagai jurnalis bercerita, kantornya memberi kebebasan bagi tim redaksi untuk bekerja di mana saja, mau di rumah, co-working space atau melancong ke tempat yang diinginkan.

Sebagai batasan, tim menetapkan jam kerja yang tetap setiap harinya. Dalam kurun waktu tersebut, tiap anggota tim harus selalu available untuk bekerja. Secara rutin, mereka melakukan meeting melalui audio atau video call.

“Selain hal-hal yang bersifat teknis, seperti salah paham karena koneksi internet buruk ketika berkomunikasi, sebenarnya kerja remote itu menuntut karyawan untuk mandiri dan memiliki inisiatif tinggi.”

Agak berbeda, Adimas, seorang konsultan IT, menjelaskan, perusahaannya membolehkan karyawannya untuk kerja remote asalkan mengisi timesheet mingguan. Itu pun hanya berlaku untuk pekerjaan yang bisa diselesaikan sendiri. Untuk pekerjaan yang butuh brainstorming dengan tim, apalagi berkaitan dengan ide kreatif, sebaiknya dilakukan tatap muka.

Ketika mengisi timesheet, dia harus mengisi hari dan kegiatan yang dilakukan sepanjang hari itu. “Terkait masalah jam kerjanya, professionally responsible aja sih,” terangnya.

3. Ajang aktualisasi diri

Di luar keseharian kerja, apabila memungkinkan, bisa menjadi ajang aktualisasi diri untuk mengembangkan diri. Bambang mengaku, seringkali dia dilibatkan dalam proyek lain di luar editorial, yang sebenarnya dia cukup antusias melakukannya.

Pasalnya, seperti manusia pada umumnya, dia butuh suasana baru agar kesehatan mental lebih terjaga. Sebagai pekerja remote yang tidak banyak terlibat secara sosial di kantor, aktualisasi diri dengan dunia luar adalah hal yang sangat baik.

Meskipun demikian, hal ini jangan sampai membuat Anda jadi gegabah. Menurut pandangan Anisa, terkadang kebebasan yang diberikan dari bekerja remote itu membuat orang jadi gegabah dalam mengambil proyek sampingan. Jika tidak bisa bagi waktu, hal ini justru bisa mengganggu performa pekerjaan utama.

4. Kreatif dengan platform

Ada sejumlah platform yang bisa membuat Anda tetap terhubung dengan atasan. Anisa menyebut platform yang biasa dipakainya saat bekerja adalah Slack dan Asana. Keduanya cukup populer dipakai oleh perusahaan teknologi.

Beda halnya dengan Mayank yang bekerja di sebuah agensi komunikasi. Platform yang bisa ia pakai saat kerja adalah Google Sheet dan Google Slide. Dari situ, tim bisa saling memberi komentar agar koordinasi bisa lebih cepat. Aplikasi untuk video conference call juga paling banyak dimanfaatkan saat meeting mingguan dengan tim.

Apabila ada salah satu anggota tidak bisa ikut, setidaknya anggota lainnya perlu membuat penjelasan singkat dan jelas dalam sebuah dokumen apa saja pekerjaan yang harus diselesaikan.

“Biasanya kan kalau mau setup campaign ada planned budget yang mau di-burn. Nah itu perlu dijelaskan pakai platform apa, best practice dari campaign sebelumnya bagaimana, materi yang bagus seperti apa menurut platform-nya. Tapi itu semua bisa di-set online dokumennya,” ujar Mayank.

Stigma remote working

1. Masih mendapat citra negatif

Anisa bercerita, di Indonesia masih ada stigma sosial tertentu terhadap orang yang kerja remote. Dari pengalaman pribadinya, ada seorang kenalan yang terpaksa menolak tawaran untuk kerja remote karena keluarganya takut mengira dia menganggur.

Selain itu, masih ada juga yang menganggap kerja remote itu sebagai “kerja santai” yang kurang menghasilkan dari segi gaji. Stigma seperti ini pada akhirnya bisa mempersulit perusahaan untuk cari kandidat yang tepat dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, dia memastikan profesional yang ingin kerja remote harus memiliki support system yang layak, entah melalui keluarga, teman, komunitas, atau perusahaan itu sendiri.

Perusahaan harus mau berinvestasi dalam fasilitas yang dukung kesehatan karyawan, seperti subsidi untuk kerja di coworking space pilihannya atau mengadakan office outing.

Ryza tak menampik ketika dirinya baru bekerja secara remote, ia pernah menjadi bahan gosip tetangganya.

“Tapi itu pas awalnya saja sih [sekarang sudah tidak].”

2. Butuh pertemuan rutin

Dalam setahun, Bambang hanya ke kantor tiga sampai empat kali. Frekuensi tegur sapa yang sangat jarang di dunia nyata, membuat Bambang harus beradaptasi di setiap bertemu rekan kantor. Ritme pergantian karyawan baru di startup biasanya cukup tinggi, yang mau tak mau membuatnya harus perlahan-lahan membaur dengan kondisi.

“Ada momen di mana saya merasa tidak mengerti apa yang dibicarakan rekan-rekan di kantor. Situasi ini memaksa saya untuk lebih banyak mendengarkan sebelum benar-benar ikut mengalir dalam perbincangan.”

Dia melanjutkan, “Makanya sebisa mungkin terapkan pertemuan untuk pekerja remote yang sifatnya rutin, bukan cuma insidental. Misalnya buat pertemuan rutin dua kali setahun, di luar outing atau event. Harapannya untuk memperkuat ikatan antara pekerja remote dan rekan kantor. Dengan atasan juga.”

Anisa menuturkan, hanya ada enam orang yang bekerja di kantor pusat. Selebihkan bekerja di tanah air masing-masing — kantornya diisi pegawai multinasional. Kegiatan tahunan yang digelar kantornya jadi ajang untuk saling mengenal satu sama lain.

3. Tidak semua orang cocok kerja remote

Meski terlihat kerja remote mengasyikkan, tapi menurut Anisa tidak semua orang cocok dengan hal tersebut. Dia menganggap kerja remote lebih cocok untuk profesional yang sudah pengalaman kerja minimal dua atau tiga tahun dan tidak disarankan untuk fresh graduate.

Dia beralasan, fresh graduate butuh pengawasan dan bimbingan yang lebih intens dibandingkan yang sudah punya pengalaman kerja. Apalagi, kemandirian adalah faktor yang penting dalam kerja remote.

Pada akhirnya, semua yang terlihat menyenangkan itu tidak selalu manis di tiap momennya. Tinggal bagaimana Anda menyiasatinya. Jangan sampai kebebasan kerja remote jadi bumerang yang mengacaukan koordinasi tim.

Cerita dan Pelajaran dari Proses “Pivot” Model Bisnis Akseleran

pivot menjadi salah satu strategi bisnis yang bisa dilakukan founder saat menemui keadaan “buntu”. Khususnya ketika produk yang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Atau model bisnis yang dikembangkan tidak berhasil mendatangkan keuntungan.

Setelah memutuskan untuk pivot pun, ada banyak hal yang harus disiapkan sampai akhirnya produk benar-benar siap untuk dipasarkan. Diskusi menarik ini diangkat oleh #SelasaStartup edisi pekan kedua Juli 2019, mengundang Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan.

Akseleran adalah platform p2p lending yang menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dengan basis pinjaman.

Ivan banyak memberikan cerita di balik keputusannya memilih pivot bersama startupnya. Sekaligus memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan founder sebelum dan sesudah “berpindah haluan” bisnis.

Awal mula pivot Akseleran

Ivan menjelaskan, awal pengembangan Akseleran didasari adanya funding gap penyaluran kredit dan susahnya pemilik modal mengakses pasar modal. Dari situ berangkatlah solusi pemberian pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas.

Sebelum akhirnya Akseleran diluncurkan, tentunya tim melakukan riset untuk validasi bisnis. Apakah konsep seperti ini bisa berjalan di Indonesia dengan mengacu di luar negeri? Waktu itu hipotesis mereka jawabannya “iya”, ada banyak startup di luar sana yang terbukti bisa berjalan dengan model bisnis serupa, bahkan sudah beroperasi sejak 2012, seperti Crowdcube dan Seedrs.

“Potensi dengan skema bisnis ini besar. Andaikan kita bisa hubungkan 15 juta orang dan mau kasi pendanaan rutin Rp100 ribu tiap bulan. Setahun ada Rp18 triliun. Gede potensinya, kita pikir ini bisa jalan,” kata Ivan.

Tim pun memikirkan cara termudah untuk bantu UKM mendapatkan pendanaan. Akhirnya memutuskan untuk bantu mereka dengan membuatkan deck, financial model bulanan selama tiga tahun, dan sebagainya. Dari sisi pemberi modal juga dipermudah, mereka bisa mulai berinvestasi mulai dari Rp100 ribu saja.

Ternyata dalam kurun waktu enam bulan pasca peluncuran di Maret 2017, Akseleran hanya mampu mengumpulkan penyaluran dana kurang dari Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa Akseleran tidak punya product market fit dan saatnya untuk pivot

“Bahkan dari dua bulan berjalan kami sudah berpikir untuk pivot karena ternyata produk kita ini tidak memberikan solusi atas masalah yang ada.”

Pelajari kesalahan

Menjelang keputusan untuk memilih pivot, sebenarnya Ivan menyadari bahwa saat resmi meluncur pertumbuhan Akseleran lambat. Pertama, pasar Indonesia cenderung tidak reseptif dengan model pendanaan berbasis ekuitas. Mereka lebih menyukai investasi jangka pendek dengan pendapatan tetap.

Sementara kalau ekuitas itu berdasarkan pembagian dengan hasil yang tidak tentu, bisa untung atau rugi. Tenornya pun panjang. Intinya, orang Indonesia itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak pasti.

Kedua, masalah skalabilitas. Tim Akseleran membuatkan deck dan financial model untuk UKM. Yang mana, keputusan ini tidak scalable karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruhnya bisa sampai 1-2 minggu. Ini hanya buat satu UKM saja, tentu terlalu banyak waktu yang harus terbuang.

Terakhir, mengenai regulasi. Perlu diketahui, equity crowdfunding waktu itu belum memiliki regulasi di OJK. Padahal, menurut Ivan, dalam membuat bisnis startup itu harus dipikirkan tentang regulasinya, apakah sudah diatur dan banyak aturannya.

“Jadi awal kita masuk itu penuh dengan ketidakpastian karena belum ada aturannya. Tiga alasan ini akhirnya kita putuskan untuk berhenti.”

Dari tiga kesalahan ini, membuat Akseleran untuk kembali berkaca. Masalah yang terjadi di Indonesia itu nyata dan butuh solusi yang nyata pula, juga harus efektif.

Pivot tidak selalu berjalan cepat

Setelah memutuskan untuk pivot pun, tidak selalu mulus. Ivan dan tim harus mulai dari nol. Pivot resmi dilakukan akhir Mei 2017, produk baru dirilis pada awal Oktober 2017. Belajar dari kesalahan, akhirnya Akseleran terjun ke p2p lending.

Produk yang disediakan mulai dari invoice financing, inventory financing, capex loan, dan online merchant. Keempat produk ini bisa menjangkau seluruh UKM dari berbagai lini baik, online, offline, B2B atau B2C.

Dari sisi pemberi pinjaman, tenornya dibuat pendek mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun saja. Kupon dibuat dengan kisaran 18%-21%.

“Hasilnya pasca pivot dalam enam bulan kita sudah menyalurkan Rp36 miliar, dari [produk sebelumnya] Rp2 miliar dalam enam bulan. Padahal, timnya sama, problem-nya sama, tapi solusi dan hasilnya beda.”

Pencapaian ini tentunya tidak didapat dengan cara instan. Timnya melakukan validasi pasar berkali kali untuk memastikan dapat feedback dari pasar, terutama saat enam bulan baru beroperasi. Iterasi berkali-kali sampai dapat product market fit.

“Ketika semua ini sudah dilakukan, maka scale up bisnis bisa lebih mudah. Kita bisa lebih mudah untuk reach out ke investor karena mereka itu selalu melihat traksi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Empat Pelajaran Seputar Membangun Bisnis “Smart Logistics”

Smart logistics tidak sesederhana kedengarannya. Bagi CEO Iruna Yan Hendry Jauwena, smart logistics tidak sebatas membangun bisnis berbasis teknologi, tetapi juga perlunya kolaborasi dengan pemain industri existing di ekosistem.

Ini dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan sejumlah tantangan di industri logistik Indonesia. Yan menyebutkan bisnis logistik di Indonesia terbentur mahalnya biaya. Ia mencatat biaya logistik di Indonesia mencapai 14 persen dari biaya produksi dan 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Komponen biaya termahal terletak pada transportasi, yakni Rp 1.092 triliun. Kemudian, biaya pergudangan yang mencapai Rp 546 triliun. Ia menilai sulit untuk menekan biaya moda transportasi mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan.

Bagaimana smart logistics dapat menciptakan bisnis yang lebih sustain dan efisien di masa depan? Pada sesi #SelasaStartup kali ini, Yan berbagi ragam informasi inspiratif seputar bisnis smart logistics berdasarkan pengalamannya membangun Iruna.

Simak selengkapnya berikut ini:

Menantang kebiasaan dengan perubahan

Sebelum smartphone menjadi populer, orang-orang belum berpikir tentang bisnis berbasis mobile. Siapa yang pernah menyangka e-commerce telah menjadi fenomena bisnis menjanjikan di Indonesia?

Kini ada banyak marketplace yang menawarkan promo ongkos kirim gratis hingga pengiriman di hari yang sama. Yan menganggap kondisi di atas terjadi karena konsumen ingin barangnya cepat sampai.

Menurutnya, konsumen e-commerce terlalu dimanjakan dengan model bisnis di atas tanpa memikirkan dampak yang akan dirasakan oleh industri logistik di masa depan. Untuk beradaptasi di era yang serba cepat, bisnis logistik dinilai perlu berbenah.

“Kebiasan konsumen mendorong sektor logistik untuk berubah [model bisnis]. Ketika pasar bergerak cepat dan sulit diprediksi, di situlah teknologi masuk untuk mengatasi unpredictability. Tujuannya supaya bisa mengatur kecepatan, pesanan bisa disiapkan kapasitasnya, jadi tidak ada barang mangkrak,” jelasnya.

Dinamika konsumen menjadi pemacu bagi pemain logistik untuk dapat memodifikasi model bisnis yang mengutamakan pada kecepatan. Menurut Yan, tidak ada ruginya mencoba karena pasar e-commerce akan selalu meningkat di Indonesia.

Teknologi dan kolaborasi menjadi kunci

Bagaimana menciptakan sebuah model bisnis baru yang lebih efisien dan sustain? Jawabannya adalah menggabungkan teknologi dan kolaborasi. Tentu akan ada banyak pertanyaan muncul tentang bagaimana mengeksekusi keduanya ?

Yan berujar bahwa siapapun bisa menciptakan bisnis logistik yang lebih cerdas dengan melibatkan teknologi, baik itu startup maupun pemain existing dengan model bisnis konvesional. Bahkan keduanya dapat saling berkolaborasi.

“Yang berkecimpung lama dan punya infrastruktur, belum tentu punya teknologinya. Sebaliknya, yang punya teknologinya belum tentu ada kemampuan untuk bangun infrastruktur, investasi besar di pergudangan. Kenapa tidak dikolaborasikan? Teknologi bisa menjahit semuanya,” ungkap Yan.

Mobilitas pergudangan

Yan berujar bahwa teknologi mampu mentransformasikan infrastruktur menjadi lebih efisien dan dinamis. Ia mencontohkan pergudangan dapat berubah model menjadi gudang bergerak.

“Istilahnya slow moving to fast moving karena mengandakan teknologi untuk sistem dan track. Gudang tidak lagi berisi rak-rak tinggi, tetapi juga rak rendah yang dapat digunakan untuk barang yang diambil cepat atau siap dipesan kapapun, tidak perlu dicari. Kalau perlu barang bisa dipesan sebelum ada atau dibuat,” ujarnya.

Menurutnya, proses yang lambat meski akurat juga tidak berarti sama baiknya karena hal tersebut bukanlah menjadi sebuah nilai yang layak ditawarkan ke pasar.

Yang dicapai dengan smart logistics

Teknologi dinilai menjadi kekuatan baru bagi bisnis logistik yang efisien dan sustainable. Ditambah, teknologi dapat menciptakan solusi yang dapat meningkatkan service level kepada konsumen.

Dari pengalamannya membangun Iruna, Yan berujar bahwa smart logistics dapat menciptakan beragam solusi aplikatif, seperti fulfillment center untuk memfasilitasi e-commerce.

Selain itu, teknologi mempermudah kita untuk mengecek proses pengiriman secara real time. Yan menilai bahwa ujung tombak smart logistic adalah efisiensi tanpa perlu menghambur-hamburkan sumber daya manusia (SDM).

“Tanpa sistem integrasi, sorting-nya masih dilakukan manusia. Pengirimannya bisa unpredictable. Ini mengapa kita coba bangun smart logistics. Kita coba pecahkan masalah agar ada proper inventory management. Dengan sistem, kita tahu order mana yang harus disiapkan dengan cepat dan akurat, bisa bagi prioritas dengan tepat ke mitra pengiriman,” paparnya.

Tips Dasar untuk Founder Ketika Memulai Startup

Startupfest 2019 di Medan minggu lalu menghadirkan banyak pembicara dari berbagai latar belakang. Kebanyakan berbagi tentang pengalamannya dalam mengembangkan startup. Dari proses merencanakan, menjalankan, dan mempertahankan bisnis. DailySocial mencoba merangkum beberapa tips yang disampaikan narasumber.

Sesi Natali Adrianto

Natali Ardianto berkesempatan membagikan pengalamannya berkecimpung di dunia startup di panggung utama Startupfest 2019. Mantan CTO Tiket dan EmasDigi ini menyampaikan beberapa hal yang penting dimiliki founder.

Pertama adalah membekali diri dengan pengetahuan dan pengalaman. Menurutnya, kesalahan pertama para entrepenuer adalah memulai berbisnis dasar ilmu yang mumpuni. Jadi jangan mulai berbisnis sebelum mempunyai bekal cukup. Minimal carilah mentor untuk membimbing pada saat merancang bisnis. Cari yang terikat secara profesional, opsi menawarkan saham juga patut dipertimbangkan.

alidasi ide penting dilakukan. Jangan langsung memulai bisnis dari ide, mulailah dengan menjalankan business model canvas untuk mengidentifikasi banyak hal, termasuk visi bisnis yang akan dijalankan. Validasi ini termasuk mengukur seberapa besar pangsa pasar yang disasar, plus mendengar masukan-masukan dari pengguna.

Jika ingin membangun sebuah bisnis yang terencana dan memiliki tujuan pasti, kembangkan rencana bisnis (business plan). Rencana bisnis yang terdokumentasi dengan baik juga akan memudahkan pada saat pitch atau bertemu dengan investor.

Lalu, jalankan analisis SWOT. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) merupakan analisis paling dasar yang bisa digunakan untuk “memetakan” bisnis. Natali dalam presentasinya menyarankan agar lebih fokus pada poin W, karena dengan demikian kita bisa fokus memperbaiki diri agar lebih baik lagi. Tentunya tanpa mengabaikan yang bagian lainnya.

Identifikasi tim pendiri. Memperjelas status tim dari awal jadi hal penting. Pastikan dia sebagai co-founder atau sebagai karyawan biasa. Semua harus ditentukan dari awal. Sebagai founder carilah kelemahan diri untuk mencari co-founder yang melengkapi tim. Setelahnya jelaskan pembagian ekuitas/saham agar tidak terjadi permasalahan ke depannya.

Bangun MVP (Minimum Viable Product). Setelah ide divalidasi dan model bisnis ditemukan segera bangun MVP. Segera keluarkan produk untuk secepatnya bisa dicoba oleh pengguna dan mendapatkan masukan. MVP tersebut kaitannya juga dengan kehadiran online produk startup. Untuk bisa dikenal banyak orang, manfaatkan jejaring online untuk mempromosikan produk.

Setelah matang, siapkan pengacara. Ini adalah bagian persiapan jika nantinya ketika tumbuh besar bisnis sudah memiliki pengacara untuk menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Jangan lupa juga untuk belajar keuangan. Menurut Natali permasalahan perusahaan mati karena dua hal, yakni founder yang menyerah dan kehabisan dana. Untuk itu kemampuan perencanaan dan pengelolaan keuangan harus dimiliki founder.

Pemilihan teknologi harus diperhitungkan. Ini berkaitan dengan investasi dari segi infrastruktur. Untuk membangun sebuah platform yang menyesuaikan dengan pertumbuhkan, platform cloud untuk mendapatkan fleksibilitas dan pengelolaan yang mudah. Gunakan juga platform analisis untuk mengukur capaian-capaian dari produk.

Setelah produk diluncurkan cobalah membangun komunikasi dengan investor. Mulailah dengan menceritakan perkembangan bisnis ke investor, sehingga ketika suatu saat membutuhkan pendanaan investor sudah mengetahui perjalanan startup.

Sesi Jourdan Kamal

Startupfest 2019 juga menghadirkan Jourdan Kamal selaku Founder MauBelajarApa, platform marketplace pembelian tiket untuk belajar. Di panggung utama ia membagikan pengalamannya menjalankan MaubelajarApas selama lima tahun.

Untuk mulai menjalankan bisnis bagian pengembangan produk adalah satu yang krusial. Hanya saja sebagai sebuah startup prinsip “segera memulai” perlu dilakukan. Pastikan MVP segera meluncur ke publik. Tidak perlu langsung mewah dengan segala fitur yang keren dan teknologi yang mutakhir. Cukup menemui calon pelanggan dengan solusi. Itu cukup untuk sebagai awal perjalanan.

Operasional ada dalam poin penting yang disampaikan Jourdan. Pengelolaan di sini termasuk anggota tim, ruangan, dan kebutuhan-kebutuhan pengembangan bisnis. Jika mulai kewalahan mengantisipasi pertumbuhan bisnis segera mencari tambahan bisa freelance atau outsource. Sehingga bisnis bisa menyesuaikan. Kantor mewah memang dambaan semua startup, tapi jika untuk mengawali carilah tempat yang sederhana namun nyaman untuk bekerja.

Semua bentuk bisnis butuh upaya pemasaran untuk mengenalkan produknya. Salah satu kanal efektif yang bisa dimanfaatkan oleh startup adalah media sosial. Bangun brand dan interaksi dengan pengguna di media sosial. Sesekali lakukan kolaborasi dan temu komunitas untuk menguatkan hubungan dengan pengguna. Jangan lupa minta komunitas untuk berbagi cerita di media sosial. Semua respons positif di media sosial juga berperan dalam meningkatkan kepercayaan pelanggan.