Valthirian Arc: Hero School Story Akan Mendarat di PC, Switch dan PS4 Akhir Tahun Ini

Bulan Juli ini ialah momen menggembirakan sekaligus membanggakan buat para gamer Indonesia. IGX 2018 baru saja rampung kemarin dan minggu ini Game Prime 2018 akan dilangsungkan. Dan tepat pada tanggal 5 Juli 2018 silam, publisher Toge Productions dan Mojiken Studio asal Surabaya resmi melepas Ultra Space Battle Brawl untuk console Nintendo Switch.

Dan Anda mungkin sudah mendengar bahwa bukan hanya USBB saja yang disiapkan buat hadir di platform game populer. Beberapa hari lalu, tim Agate International turut mengumumkan rencana untuk melepas permainan yang telah lama mereka kerjakan di PC, Nintendo Switch dan PlayStation 4. Judul game tersebut boleh jadi juga cukup akrab di telinga kita semua, yaitu Valthirian Arc: Hero School Story.

Eksistensi dari Valthirian Arc: Hero School Story telah terdengar sejak tahun 2015. Digarap sebagai penerus Valthirian Arc 2, saat diperkenalkan, permainan tersebut mengusung sub-judul Red Covenant. Jika Anda mengikuti perjalanan Valthirian Arc: Red Covenant dari awal, maka Anda tahu seperti apa kerja keras yang Agate lakukan serta berbagai rintangan yang sudah developer lalui.

Dalam proses pengembangannya, developer sempat gagal mengumpulkan dana yang mereka butuhkan. Namun Agate tidak menyerah. Di bulan Februari 2017 mereka kembali melangsungkan kampanye di Kickstarter, dan akhirnya, Valthirian Arc: Red Covenant berhasil menggalang modal jauh di atas target minimal. Tak lama, developer  mengabarkan agenda buat meluncurkan game di bulan Agustus 2017.

Namun 2017 berlalu tanpa kemunculan Valthirian Arc: Red Covenant. Ternyata, penundaan itu dilakukan untuk mempersiapkan peluncuran permainan dalam skala lebih besar lagi. Agate tengah melakukan kolaborasi bersama publisher Inggris PQube sebagai upaya menghadirkan Valthirian Arc: Hero School Story ke lebih banyak gamer. Hal tersebut juga didukung oleh lokalisasi game ke enam bahasa lain, yakni Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Korea dan Mandarin.

Valthirian Arc Hero School Story 1

Agate belum mengungkap tanggal tepat peluncuran Valthirian Arc: Hero School Story, hanya bilang akan merilisnya di kuartal keempat 2018. Kabar gembiranya, status game saat ini sudah hampir rampung. Di IGX 2018 kemarin, Valthirian Arc: Hero School Story telah dapat dinikmati dari console Switch dan PS4 – baik bagian base-building serta sesi action-RPG-nya. Sisa waktu beberapa bulan ini kemungkinan besar dimanfaatkan developer buat memolesnya lebih jauh lagi.

Dugaan saya, alasan Agate mengubah sub-titel dari Red Covenant ke Hero School Story adalah agar permainan lebih mudah diterima bagi gamer yang belum familier atau sama sekali tidak pernah bermain seri Valthirian Arc. ‘Hero School Story’ secara garis besar menjelaskan tema yang diusung game tersebut.

Sumber: Agate.id.

Mfun Tingkatkan Ekosistem Game Lokal Melalui Platform Reward Berbasis Blockchain

Mfun, platform reward berbasis blockchain, resmi diperkenalkan di Indonesia. Platform ini membawa sejumlah misi untuk mendorong daya saing ribuan pengembang game lokal serta memberikan dukungan penuh terhadap penggunanya di Indonesia.

Platform ini menawarkan solusi terhadap berbagai masalah yang kerap ditemui oleh para pengembang lokal di Tanah Air. Misalnya, efisiensi terhadap belanja iklan digital dan biaya-biaya lain pada pihak ketiga.

Founder Mfun Brian Fan menilai pengembang game lokal sulit bersaing dengan pengembang luar karena sejumlah faktor. Misalnya, belanja iklan digital yang dikeluarkan terkadang tidak tersasar dengan tepat sampai kepada targetnya.

“Belanja advertising itu tidak jelas return of investment (ROI), berapa user yang tersasar. Semua (biaya yang dikeluarkan) larinya ke advertiser, seperti Facebook dan Google. Belum lagi, payment provider sebagai pihak ketiga, itu mematok fee besar,” ujar Fan ditemui pada konferensi pers Mfun, Selasa (9/5/2018).

Saat ini pengembang game lokal baru bisa berkontribusi sebesar 1,8 persen terhadap total nilai bisnis industri ini. Sementara dari sisi penggunanya, lanjut Fan, gamer dinilai tidak mendapat reward atau imbalan atas waktu dan uang yang mereka habiskan untuk bermain dan membeli aplikasi.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar game terbesar di dunia dengan jumlah gamer mencapai 43,7 juta pengguna. Indonesia juga menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara untuk usual gaming dengan nilai bisnis mencapai US$ 500 juta.

“Pengguna justru dipaksa untuk menonton video hingga mengisi survei demi mendapatkan reward. Belum lagi privasi data terancam dengan potensi penyalahgunaan data pribadi,” tambah Fan.

Platform ini menawarkan solusi di mana pengembang lokal dan pengguna sama-sama mendapatkan keuntungan. Bagi pengembang, mereka tidak perlu mengeluarkan belanja iklan besar karena budget yang dikeluarkan diyakini akan langsung menjangkau pengguna yang disasar.

Pengguna yang memainkan game lokal di platform ini berpeluang mendapat reward dalam bentuk mata uang digital (cryptocurrency). Cryptocurrency ini menjadi token Mfun yang dapat dipakai untuk melakukan pembelian di dalam aplikasi (in-app purchase) di sejumlah game di platform Mfun.

Platform Mfun direncanakan meluncur secara komersial pada kuartal keempat tahun ini. Untuk membangun ekosistem digital ini di Indonesia, Mfun bermitra secara eksklusif dengan Agate Studio, Duniaku Network, dan Yogrt.

Kolaborasi ini akan menghubungkan lebih dari 20 juta pemain game di seluruh Indonesia mengingat Agate memiliki 6 juta basis pengguna, Duniaku Network 6 juta basis pengguna, dan aplikasi Yogrt dengan 8 juta pengguna.

“Bisa dibilang, kami adalah platform pertama di dunia yang mengadopsi teknologi blockchain untuk untuk sistem reward game kepada pengguna,” tutur BP Tang, co-founder Mfun.

Model bisnis lebih direct

Dalam kesempatan sama, Ricky Setiawan, CEO Duniaku Network, mengungkapkan bahwa ekosistem digital di Tanah Air belum sepenuhnya optimal. Pasalnya, pengembang game di Indonesia pada 2015 hanya bisa meraup 2 persen pangsa pasar, di mana game publisher hanya 6 persen.

“Dengan menggunakan blockchain, platform Mfun membuat sistem insentif menjadi lebih direct langsung ke publisher dan pengembang game. Ini akan mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia,” ungkap Ricky.

Soal model bisnis, Mfun mengambil 5 persen sebagai fee-nya, sedangkan 95 persen masuk ke kantong pengembang game, publisher, dan pengguna.

Sebagai contoh, apabila pengguna ingin membeli in-app purchase senilai $1, Mfun akan mendapatkan $0,05 dari total nilai sebagai biaya transaksi . Sementara, publisher dan pengembang akan menerima USD 0,95.

Sebaliknya, apabila pengembang atau publisher mengeluarkan $1 untuk beriklan, Mfun akan menerima $0,05 sebagai biaya transaksi. Sementara, sesuai sistem reward berbasis machine learning, pengguna akan meraup $0,95.

“Kalau user beli in-app purchase, pakai pihak ketiga, settlement uangnya sampai ke pengembang bisa makan waktu 60-90 hari. Begitu juga saat pengembang beriklan di Facebook dan Google, belum tentu budget yang dikeluarkan tepat sasaran, user dapat zero,” jelas Fan.

DStour #35: Menikmati Ruangan Kerja Desain Minimalis di Kantor Agate

Jika sebelumnya sudah dirilis obrolan DScussion dengan CEO Agate, edisi DStour terbaru kali ini DailySocial turut menyuguhkan pesona di kantor Agate yang terletak di Bandung Jawa Barat. Gedung kantor yang memiliki desain modern dan minimalis ini, memiliki ruangan kerja yang cukup luas menampung jumlah pegawai yang semakin banyak.

Satu keunikan yang dimiliki oleh kantor Agate adalah untuk setiap tamu yang datang wajib untuk melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal Agate yang sudah disiapkan. Simak liputan selengkapnya di kantor Agate.

Juragan Hantu, Game Horror Android yang ‘Mencekam’ dan Menggemaskan

Film horror kembali marak di jagat perfilman Indonesia, mulai dari Pengabdi Setan, Mereka yang Tak Terlihat, Happy Death Day, hingga Gasing Tengkorak. Banyak yang tak mau kehilangan moment tersebut, terlebih karena di bulan ini juga masih sangat kental dengan suasana Halloween.

Salah satunya ialah Agate, yang turut meramaikan fenomena hantu gentayangan di bulan November ini lewat game Android terbaru mereka berjudul “Juragan Hantu”. Kejutan apa yang disuguhkan Agate untuk para gamer lewat Juragan Hantu?
Berburu-dan-tangkap-berbagai-hantu

Jangan takut, karena tidak seperti game yang mengusung tema horror mencekam lainya, di dalam Juragan Hantu, Anda akan disuguhkan sosok-sosok lain dari para hantu yang dikemas dengan tampilan grafis 2D yang unik dan justru menggemaskan. Anda akan menjumpai penampakan tuyul, jin, kuntilanak, pocong, suster ngesot, mak lampir, genderuwo, kepala buntung, babi ngepet, noni Belanda, hingga Putri Pantai Selatan.

Ceritanya Anda akan berperan menjadi seorang dukun sakti, tugas Anda adalah menangkap hantu-hantu gentayangan di daerah sakral. Kemunculan para hantu ini harus Anda cegah dan wilayah pun harus dinetralisir dengan cara melakukan tap pada setiap hantu yang bermunculan.

Lakukan-Ritual-Mistis

Namun tugas menangkap hantu tentu bukanlah perkara yang mudah. Anda sebagai dukun sakti pun sewaktu-waktu bisa lengah dan kalah ilmu saat menghadapi jenis hantu tertentu yang levelnya terlalu kuat. Untuk itu Anda harus menambah ilmu dengan melakukan ritual, mempersembahkan sesajen, dan mengoleksi pusaka.

Hal unik lainnya, game yang mengangkat nuansa hantu lokal ini juga dikemas dengan instrumen nusantara, lokasi-lokasi mistis di Indonesia, visual yang unik, serta gameplay dan alur cerita yang menarik.

Buat Anda yang penasaran dengan game ini, bisa langsung mengunduhnya melalui Google Play Store untuk pengguna smartphone Android atau App Store untuk pengguna iOS.

Update untuk game Dungeon Chef

Selain mengeluarkan judul permainan yang baru, tim Agate juga ternyata sudah menyiapkan update bertemakan Halloween untuk game RPG keluarannya, Dungeon Chef. Dalam update versi 1.16 ini, Anda akan melihat tema game yang sangat berbeda dari biasanya. Akan terdapat beberapa kostum baru yang melengkapi tampilan Anda seperti kostum “Fairy”, dan kostum “Jack O’Lantern”.

Dungeon Chef itu sendiri adalah game berbasis RPG atau role playing game, yang menceritakan tentang seseorang yang diwarisi sebuah restoran yang dulunya merupakan sebuah restoran legendaris karena masakannya terkenal paling enak sejagat. Namun beberapa waktu kemudian, restoran tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya dan datanglah seorang pemuda yang memiliki niat yang kuat untuk menghidupkan kembali kejayaan restoran tersebut seperti dulu kala.

Anda berani menerima tantangan untuk membangun kembali restoran tersebut?

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Sukses di Kickstarter, Valthirian Arc: Red Covenant Siap Dirilis Tahun Ini

Pengembangan game ketiga Valthirian Arc dilakukan Agate Studio sejak dua tahun silam. Sayang, upaya crowdfunding pertamanya gagal, hanya berhasil mengumpulkan modal 40 persen dari target, karena developer belum bisa meyakinkan khalayak untuk menjadi backer. Belajar dari pengalaman itu, Agate kembali melangsungkan kampanye Red Covenant di bulan Februari kemarin.

Satu bulan selepas momen itu, Agate Studio dengan gembira mengumumkan kesuksesan Valthirian Arc: Red Covenant melampaui target stretch minimal Kickstarter. Awalnya membidik angka S$ 20 ribu (dolar Singapura), saat artikel ini ditulis, Red Covenant berhasil menghimpun S$ 32 ribu lebih. Jumlahnya kemungkinan akan terus naik hingga kampanye ditutup pada pukul 19:00 tanggal 30 Maret besok.

Valthirian Arc Red Covenant Kickstarter Success 1

Tentu Agate masih punya beberapa stretch goal lagi yang ingin mereka capai: jika Red Covenant bisa menghimpun S$ 35 ribu, semua NPC dan siswa akan memperoleh voice acting dalam pertempuran; lalu di S$ 40 ribu, seluruh foto NPC penting akan disuguhkan dalam animasi. Developer juga berencana buat membubuhkan hewan peliharaan, skenario quest serta kelas baru untuk para murid.

Valthirian Arc Red Covenant Kickstarter Success 3

Anda tidak perlu cemas jika beberapa fitur tersebut tidak disertai dalam permainan karena kampanye dihentikan. Agate bilang mereka akan terus membuka kesempatan untuk jadi backer via PayPal setelah periode crowdfunding usai. Dan kabar gembiranya lagi, developer sedang berunding bersama sebuah publisher demi menghadirkan Valthirian Arc: Red Covenant di console.

Valthirian Arc Red Covenant Kickstarter Success 2

Mengusung formula hampir serupa pedahulunya, Red Covenant terbagi dalam dua tipe gameplay. Mode pertama adalah academy simulation, di mana Anda dapat membangun infrastruktur, mengelola siswa, dan mengirim mereka untuk melakukan berbagai misi. Ketika menugaskan sekelompok murid dalam perburuan, pemain dibawa ke mode berbeda, memungkinkan kita bertempur secara real-time.

Mode simulasi di Red Covenant mirip The Sims atau SimCity. Di sana Anda dapat membangun ruang kelas, asrama, lalu menempatkan bangku, lampu serta dekorasi-dekorasi lain. Siswa memulai pendidikannya sebagai Apprentice, dan Anda bisa mengarahkan mereka jadi tiga kelas: Knight, Magi dan Scout. Selanjutnya, masing-masing kelas tersebut mempunyai dua cabang lagi. Misalnya seorang Knight dapat menjadi Paladin atau Arc Draconus.

Dengan menjadi backer tier ‘Knight’ di Kickstarter, Anda bisa jadi orang pertama yang akan mencicipi Valthirian Arc: Red Covenant di momen peluncurannya nanti, dilepas pada bulan Agustus 2017 untuk PC. Game dibundel bersama bonus credit dan wallpaper eksklusif backer buat desktop dan smartphone.

Agate Belum Menyerah, Valthirian Arc: Red Covenant Siap Kembali Melenggang di Kickstarter

Diumumkan pertama kali di bulan Oktober 2015, Valthirian Arc: Red Covenant adalah kreasi digital terbaru buatan Agate yang menggabungkan elemen simulasi sekolah dengan formula RPG klasik Jepang – sebuah perpaduaan antara Final Fantasy, SimCity dan Harry Potter. Premisnya sangat menarik, tapi sayang sekali kampanye crowdfunding game dua tahun silam tidak berhasil.

Namun Agate Studio masih belum menyerah. Memegang komitmen mereka, Valthirian Arc: Red Covenant terus digarap. Di penghujung bulan Februari 2017 ini, sang developer mengumumkan bahwa permainan itu sudah memasuki tahap akhir pengembangan, dan di momen ini pula, Valthirian Arc: Red Covenant siap kembali melangsungkan kampanye pengumpulan dana di Kickstarter.

Valthirian Arc: Red Covenant adalah game ketiga di seri Valthirian Arc, menempatkan pemain sebagai kepala sebuah akademi. Anda ditugaskan untuk melatih para siswa untuk menjadi penyelamat dunia, sembari mengerjakan quest-quest ringan dan unik ala RPG seperti menemukan kucing yang hilang, mengirimkan surat cinta, membantu ibu-ibu menyeberang jalan, dan ada pula tugas bertempur melawan monster.

Di sana, Anda bisa mengembangkan sekolah, menambah ruang kelas serta mendirikan fasilitas-fasilitas baru buat menampung lebih banyak murid dan memperkuat akademi. Tentu saja Anda ditantang untuk cermat dalam mengelola sumber daya dan merencanakan pembangunan. Seiring berkembangnya akademi tersebut, jumlah siswa jadi bertambah banyak. Anda dapat mempromosikan karakter-karakter ke kelas yang lebih tinggi: berawal dari Apprentice, mereka bisa diarahkan menjadi Knight, Magi, ataupun Swift. Agate menyiapkan tidak kurang dari sembilan pilihan kelas.

Valthirian Arc 2

Untuk pertempurannya sendiri, Valthirian Arc: Red Covenant mengusung sistem real-time di mana Anda dapat langsung segera menyerang lawan, atau terlebih dulu menempatkan siswa di posisi-posisi strategis – tergantung dari peran dan spesialisasi mereka.

Valthirian Arc 3

Upaya penggalangan dana Valthirian Arc: Red Covenant yang dilakukan Agate sebelumnya dua tahun lalu hanya mengumpulkan 40 persen dari target. Developer mengetahui pangkal masalahnya: saat itu, permainan masih berada di fase awal pengerjaan. Akibatnya, mereka belum bisa betul-betul meyakinkan calon backer. Kampanye baru Valthirian Arc sendiri dimulai hari ini, tanggal 28 Februari, tepatnya pada pukul 05:00 pagi waktu New York. Agate Studio menargetkan angka US$ 20.000.

Jika kampanye crowdfunding episode kedua ini sukses, Valthirian Arc: Red Covenant rencananya akan meluncur di plaform Windows PC pada bulan Agustus 2017 nanti via Steam.

Informasi lebih detail mengenai Valthirian Arc: Red Covenant bisa Anda peroleh dengan mengunjungi situs resminya.

Update: Kampanye Valthirian Arc: Red Covenant sudah kembali dimulai di Kickstarter, dan di sana Anda bisa mengunduh gratis versi demonya.

Pelajaran Penghentian Operasional Agate Jogja

Kabar berhentinya operasional Agate Jogja sempat menjadi perhatian di kalangan pengembang game. Di Yogyakarta sendiri, startup yang fokus pada produk game cukup diminati, dengan komunitas aktif bernama Bengkel Gamelan secara rutin mengadakan pertemuan dan pelatihan bersama. Sosok Co-Founder Agate Jogja Frida Dwi (atau biasa disapa Ube) memang sangat akrab di kalangan komunitas tersebut. Kemampuannya tak diragukan lagi. Beberapa waktu lalu tim yang dipimpinnya juga menyabet juara dalam perlombaan Indonesia Next Apps 3.0 yang diinisiasi Samsung dan DailySocial.

Agate Jogja tidak sepenuhnya tutup. Ube menjelaskan Agate Jogja terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) brand Agate Jogja, (2) Co-Founder dan timnya di Yogyakarta, dan (3) kegiatan operasionalnya. Saat ini poin( 2) sudah dibubarkan dan poin (3) dihentikan. Brand sendiri masih dipegang Agate Studio, sehingga ada kemungkinan jika brand Agate Jogja akan digalakkan kembali dengan komposisi yang berbeda.

Kami mencoba menggali apa yang bisa dipelajari dari perjalanan Ube bersama Agate Jogja, termasuk permasalahan yang melatarbelakangi keputusannya meninggalkan Agate Jogja.

Komposisi sebuah tim startup

Produk menjadi komponen penting dalam sebuah bisnis, namun bukan satu-satunya karena ada aspek lain yang harus sama-sama kuat bersinergi untuk membantu bisnis berakselerasi. Seringkali kita menemui sebuah produk yang sangat sederhana tapi mampu dikemas secara apik sehingga menarik banyak peminat, karena ditempatkan pada pangsa pasar spesifik sesuai dengan target.

Dalam startup digital umumnya pengembang akan fokus bagaimana produk tersebut dilahirkan, lalu di luar itu ada divisi lain seperti pemasaran dan riset yang mampu membungkus produk tersebut dengan branding yang tepat dalam waktu peluncuran yang tepat dan target pasar yang pas.

Hal ini disebut sebagai alasan paling mendasar penghentian operasional Agate Jogja. Kepada DailySocial, Ube mengatakan:

“Kendala terbesar saya adalah skill management kurang mumpuni, kebetulan selama 5 tahun ini saya multihat, memegang manajemen dan produksi. Ini yang membuat perkembangan Agate Jogja stagnan, membuat kami (bersama Estu Galih) selaku Co-Founder Agate Jogja merasa tidak memiliki kemampuan membantu tim berkembang dengan baik.”

Pengelolaan manajemen dalam sebuah bisnis sendiri mencakup banyak hal. Mulai dari kebutuhan operasional internal, kebutuhan pengelolaan bisnis, hingga mengakomodasi sumber daya manusia dan finansial di dalam kegiatan bisnis. Dalam kasus Agate Jogja, dua Co-Founder memiliki backgroud mendalam seputar pengembangan aplikasi. Kepiawaian keduanya dalam coding dan mendesain game sudah tidak diragukan lagi.

Pangsa pasar game di Indonesia besar, namun masih sangat dinamis

Angka pengguna ponsel pintar dan internet yang terus bertumbuh secara signifikan memang membuka banyak kesempatan baru bagi industri kreatif untuk mendulang untung, tak terkecuali di segmentasi game mobile. Beberapa survei merilis bahwa game masih mendominasi tangga atas aplikasi yang paling sering digunakan oleh pengguna ponsel pintar, beriringan dengan media sosial.

Hal yang ama dirasakan pengembang game lokal. Potensinya terasa besar, namun masih banyak yang perlu dipahami lebih dalam.

“Potensi game mobile di Indonesia besar. Hampir di setiap acara startup maupun seminar digital kreatif pasti menyajikan data dan angka yang sangat menarik. Tapi yang saya pribadi rasakan adalah user mobile game Indonesia ini unik sekali, susah ditebak. Butuh banyak hal yang perlu dipelajari dari user mobile game kita […] Soal segmentasi game mobile di Indonesia, user-nya banyak sekali dan unik butuh banyak penyesuaian yang kadang di luar cara berpikir kita sebagai developer.”

Hal tersebut mungkin senada dengan apa yang pernah DailySocial temukan dalam survei tentang pengembang game mobile lokal. Dari survei tersebut diungkapkan bahwa 49,61% dari total responden kurang aware dengan keberadaan pengembang game lokal. Kadang mereka tidak menyadari bahwa permainan yang dimainkan adalah karya anak bangsa.

Meskipun demikian, ada strategi unik yang sangat jitu dilakukan oleh para pengembang lokal, yakni mendompleng tren terkini untuk dijadikan konten berbasis game. Jika ingat game Tahu Bulat atau Dimas Kanjeng Gandakan Uang, para pengembang sangat cekatan membaca apa yang sedang menjadi pusat perhatian masyarakat, sehingga dijadikan media untuk berkreasi yang berimplikasi pada proses promosi yang sangat cepat. Di balik tantangan tersebut selalu ada jalan bagi kreator untuk memaksimalkan potensi yang ada.

“Suka duka sangat umum, sukanya saat game menjadi feature di Google Play, jumlah unduhan meningkat tajam, income turut naik. Termasuk memenangkan beberapa kompetisi, ketemu banyak rekanan yang membantu. Dukanya pun ada, seperti piutang yang terbayar dan baca komentar bintang satu dulu kalau sudah bagus baru ditambah. Overall perjalanan bersama Agate Jogja menyenangkan karena banyak kreasi yang bisa bebas saya lakukan.”

Selalu siap dan menyiapkan dalam segala kemungkinan

Tim Agate Jogja sendiri resmi dibubarkan pada Juni 2016 awal sebelum puasa. Hingga hanya menyisakan dua Co-Founder saja untuk melanjutkan aktivitas operasional dan mengikuti beberapa kompetisi. Bulan Oktober, Ube dan Estu sempat ke Bandung sementara bergabung dengan Agate Studio, tujuannya transfer pengetahuan dan diskusi soal rencana setup tim Agate baru lagi di Jogja.

Setelah berdiskusi panjang lebar akhirnya diputuskan Agate fokus produksi di Bandung saja dan kedua co-founder memutuskan kembali ke Yogyakarta dengan alasan masing-masing tidak berminat relokasi ke Bandung.

Per bulan Desember 2016 semua game Agate Jogja di Google Play sudah dipindahkan ke akun Agate Studio. Kemudian Ube dan Estu menyampaikan pengunduran diri dari Agate. Sekarang (Januari 2017) operasional Agate Jogja yang dikomandoi Ube dihentikan.

Startup tak jarang dihadapkan pada liku-liku dan dinamika bisnis yang menantang. Seperti cerita Ube di atas, banyak hal besar yang harus diputuskan, termasuk keputusan untuk mengakhiri sebuah bisnis. Risiko harus selalu menjadi salah satu pertimbangan pelaku bisnis, dan semua perlu disiasati dengan matang untuk menciptakan ketenangan.

Setidaknya ketika bisnis berhenti, para anggota tim yang ada di dalamnya tidak “kaget” karena sudah disiapkan sejak awal. Mungkin hal tersebut yang ada di benak Ube saat itu.

“Demi kebaikan semua anggota tim pula akhirnya Co-Founder Agate Jogja sepakat membubarkan tim disertai pesangon beberapa kali gaji sebagai tanda terima kasih kami atas pengabdian mereka selama ini. Pemberitahuannya juga tidak mendadak, kita sampaikan keputusan itu ke tim sebulan sebelum benar-benar berpisah jadi mereka bisa mempersiapkan rencana mereka ke depan seperti apa.”

Mati satu, tumbuh seribu

Setiap orang berhak memiliki pilihan, karena ia sendirilah yang akan menjalani dan menanggung pilihan tersebut. Melanjutkan ceritanya, Ube menerangkan bahwa setelah co-founder mundur dan operasional dihentikan, brand Agate Jogja telah dikembalikan kepada Agate Studio. Keputusan selanjutnya tentang Agate cabang Jogja ataupun Agate Jogja sudah diserahkan sepenuhnya pada tim di Bandung.

Ube dan Estu masih akan tetap bernaung dalam pengembangan game. Saat ini keduanya tengah menyelesaikan proyek pengembangan game terbarunya.

“Untuk saya sendiri saat ini tetap di game development, bersama co-founder saya kita mulai setup lagi tim kecil mulai dari awal lagi, hanya dua orang saja. Harapannya jauh lebih mudah mengelolanya. Nama kita sudah ada tapi mungkin baru kita umumkan saat game pertama yang sedang kita garap sekarang selesai dan rilis, mohon doanya.”

Agate Luncurkan Game Fantasista Secara Global

Agate telah melangkah begitu jauh dari saat mereka berpartisipasi dalam kompetisi Microsoft Dream Build Play kira-kira delapan tahun silam, dan kini tim asal Bandung tersebut merupakan salah satu studio yang jadi panutan developer lokal. Lewat kreasi-kreasinya, Agate telah menapaki berbagai genre dan tema, salah satunya adalah menggarap versi game olahraga sepak bola.

Di tahun 2012, Agate Studio melepas Football Saga, permainan simulasi dan pengelolaan tim berbasis web. Dan berbekal pengalaman tersebut, developer memutuskan untuk mengadopsi formulanya dan menuangkannya ke permainan mobile berjudul Fantasista. Game sebetulnya sudah bisa dinikmati, namun Agate berambisi untuk menghidangkannya ke lebih banyak pemain. Bersamaan dengan momen final piala AFF Championship 2016, mereka resmi meluncurkan Fantasista secara global.

Fantasista 1

Dave Fabian dari Agate menjelaskan bahwa peresmian pelepasan Fantasista ke ‘kancah internasional’ merupakan perwujudan dari keyakinan mereka pada kemampuan Timnas sekaligus upaya menyemangati para pesepak bola lokal yang bertanding di sana. Layaknya permainan mobile, gameplay Fantasista memang tidak sekompleks Football Manager, tapi tetap seru dimainkan dan tak lupa dikemas bersama ilustrasi-ilustrasi high resolusion yang unik.

Fantasista 2

Fantasista menyuguhkan Anda pengalaman berkarier secara virtual sebagai pemain sepak bola profesional. Pemain ditugaskan untuk menciptakan karakter, melatihnya, lalu memasukkannya ke klub, Bersama teman-teman seperjuangan, Anda bisa mengharumkan nama tim dengan memenangkan beragam liga dan kejuaraan. Agate turut membubuhkan elemen role-playing di sana, memungkinkan karakter Anda belajar teknik baru atau mengenakan item-item pendongkrak kemampuan (semuanya legal, tentu saja).

Fantasista 3

Player bisa mengarahkan tokohnya menjadi beberapa peran, contohnya penyerang, pemain tengah, pemain belakang atau penjaga gawang. Gaya bermain dapat dipilih sebelum permainan dimulai. Selanjutnya, pertandingan ditampilkan via simulasi, dipadu cutscene animasi tiga dimensi, dan Anda dipersilakan melihat ulasan statistik setelah match usai. Anda juga bisa menantang gamer lain dalam kompetisi satu lawan satu untuk memperoleh bonus.

Fantasista 4

“Permainan sepak bola tidak dapat dimenangkan oleh seorang pemain saja, tetapi di setiap klub, ada beberapa orang yang mampu mengubah jalannya pertandingan. Mereka mungkin bukanlah pemain tercepat ataupun pesepak bola paling tangguh, namun orang-orang ini selalu memberikan harapan bagi para pendukung tim dan membawa klubnya pada kemenangan,” tulis Agate.

Fantasista 5

Fantasista dapat diunduh di Google Play dan Apple app store. Game ini dapat dimainkan gratis dengan sistem microtransaction.

Optimisme dan Harapan Pengembang Game Lokal pada Hari Game Indonesia

Hari ini diperingati sebagai Hari Game Indonesia (HARGAI). Sebuah momen yang diadakan untuk menyulut semangat inovasi pengembang, komunitas, hingga berbagai stakeholder lain yang berperan memajukan industri game lokal. Bersamaan dengan kemeriahan Hari Game Indonesia, DailySocial mencoba menggali insight dari pada pelaku di ekosistem pengembang game lokal untuk berbagi pendapat seputar roadmap ekosistem dan cita-cita yang ingin dibentuk di Indonesia dari sisi penumbuhan kreativitas produk berbasis game.

Kami mencoba berdiskusi dengan para pengembang game lokal yang sudah cukup memiliki reputasi di Indonesia, bersama Co-Founder Agate Jogja Frida Dwi (atau yang akrab dipanggil dengan UB), CEO Amagine Interactive Dennis Adriansyah Ganda dan CEO Arsanesia Adam Ardisasmita.

Tren industri game lokal dan perkembangannya hingga saat ini

Diskusi diawali dari pendapat masing-masing seputar tren perkembangan industri game lokal. Mengawali perbincangan Frida menyampaikan bahwa saat ini terdapat beberapa pergerakan tren terkait dengan pengembang game lokal, di antaranya komunitas pengembang yang mulai aktif di banyak kota dan game lokal yang banyak bermunculan di berbagai platform. Adam juga menambahkan, selain itu kini masyarakat juga sudah makin aware dengan keberadaan produk game lokal. Sehingga tak hanya mampu mempopulerkan produknya saja, bahkan sudah sampai ke tahap monetisasi dari produk game yang dibuatnya.

Sebagai pengembang game di Yogyakarta, Dennis mengakui bahwa ekosistem pengembang game yang bertumbuh ini turut membawa dampak mengalirnya dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari korporasi. Sebut saja Google selaku penyedia market store yang banyak dimanfaatkan pengembang di Indonesia, Dennis menyampaikan saat ini Google sudah membuka pintu lebih luas untuk masuknya produk pengembang dan publisher lokal. Dukungan media pun turut dirasakan, sebagai salah satu media publikasi yang efektif.

“Menurut saya ini pertanda positif bagi developer Indonesia, karena market-nya sudah siap, dukungan dari stakeholder juga cukup besar dan resource untuk membuat game juga mulai mudah diakses. Tinggal bagaimana caranya kita membuat game yang berkualitas tinggi dan mampu diterima pemain saja,” ujar Dennis.

Terkait dengan sejauh mana perkembangan ekosistem pengembang game saat ini, Denis dan Frida menyampaikan bahwa masih dalam tahap berkembang, namun dengan akselerasi yang lebih kencang. Para pengembang lokal sudah mulai mampu mengikuti dinamika kemajuan yang ada di dunia, terutama dari sisi cakupan teknologi. Sedangkan Adam mencoba menggambarkan dan membandingkan industri yang ada saat ini dengan yang ada di negara maju.

“Ekosistem game kita jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang bisa dibilang masih jauh. Misalkan Jepang level 9 dan Amerika level 10, mungkin Indonesia masih di level 3. Hal ini didasari dengan kualitas dan kuantitas developer kita yang masih rendah. Tak hanya itu, elemen di dalam ekosistem game di Indonesia juga masih banyak yang belum terbangun seperti keberadaan publisher, keberadaan studio game raksasa yang membuka cabang di Indonesia, dan lain sebagainya,” ujar Adam.

Namun demikian Adam mengatakan bahwa perlahan pengembang game lokal juga mulai muncul menghadirkan kualitas karya yang mendunia. Ia juga meyakini dengan momentum yang ada saat ini, cepat atau lambat Indonesia akan mampu bergerak di level yang lebih baik.

Pengembang lokal rata-rata memfokuskan pada game mobile

Teknologi menawarkan banyak ruang untuk pengembang game, mulai dari konsol, PC, mobile hingga yang terkini seperti perangkat virtual reality. Pengembang game lokal pun nyatanya memang masih banyak yang memfokuskan pada platform mobile, bagi Frida sebenarnya platform itu bukan sebagai batasan bagi pengembang, karena menurutnya selain dari sisi produk yang harus bagus, fokus pengembang game lokal adalah potensi profit yang perlu diraih. Selama pesan dan gagasan yang ingin disampaikan melalui game tersebut mudah dijangkau pemain, Frida merasa bahwa pengembang tidak perlu memusingkan tentang di mana game tersebut harus ditaruh.

Berbicara tentang penjangkuan profit, maka pangsa pasar adalah salah satu target yang perlu difokuskan. Adam berpendapat bahwa setiap genre game akan memiliki pangsa pasarnya sendiri-sendiri, pun demikian dengan jangkauan game di platform tertentu, tak bisa dikatakan konsol lebih baik dari mobile dan sebaliknya. Bagi industri yang sedang berkembang seperti di Indonesia, menurut Adam ada baiknya para pengembang memang fokus di platform dulu.

Dennis turut menambahkan bahwa pengembang perlu lebih membuka diri, jangan terlalu menggantungkan diri kepada sebuah platform. Ia melihat dari tren teknologi yang ada saat ini, sangat cepat berkembang dan diadaptasi oleh konsumen.

“Jadi bagi kami bukan soal platformnya yang utama, namun experience dan gameplay seperti apa yang ingin kami berikan kepada users. Baru kemudian kami menilai platform manakah yang cocok bagi kami untuk menyampaikan experience tersebut. Kalau saya pribadi sih ke depannya ingin mengembangkan game-game RPG yang mampu membuat orang betah bermain lama seperti Ragnarok Online,” jelas Dennis.

Monetisasi game bagi pengembang lokal di pangsa pasar lokal

Di tingkat dunia, dalam industri entertainment, game banyak dikatakan berada di peringkat kedua setelah film dari sisi pendapatan industri. Pangsa pasar yang besar itu ternyata belum begitu dirasakan oleh pemain industri lokal. Dan ketika berdiskusi dengan para pengembang, mereka sepakat bahwa industri lokal yang belum bertumbuh dan dominasi kuat pemain asing menjadi penyebabnya.

Adam mencontohkan bahwa industri game yang sudah memiliki pendapatan besar telah dikembangkah oleh studio dengan skala besar, dengan jumlah pengembang ribuan orang. Sedangkan di Indonesia, studio game terbesarnya jumlah karyawannya belum sampai angka ratusan. Artinya memang untuk bisa menghadirkan game dengan skala tersebut, kita masih belum sanggup untuk hari ini.

“Simplenya sih market game lokal sebagian besar masih dipegang oleh luar,” ujar singkat Frida.

Dennis melihat fenomena ini sebagai tantangan bagi pengembang lokal, untuk bisa turut ambil bagian dalam revenue stream yang besar tersebut. Selain itu sudah sejak lama juga para gamers di Indonesia disajikan pada produk-produk luar, tak jarang juga yang “resistant” terhadap game buatan lokal. Memang perlu usaha yang cukup besar untuk menunjukkan bahwa game buatan anak bangsa pun tidak kalah dari game buatan luar.

“Memang kalau kita amati, top grossing Google Play saja mungkin lebih dari 90% game yang ada di situ adalah produk luar, yang artinya sebagian besar revenue game Android yang ada di Indonesia dinikmati oleh developer luar. Namun sekali lagi saya juga cukup optimis game developer Indonesia dapat semakin berkembang karena gamers lokal sedikit demi sedikit mulai mampu menikmati dan mengapresiasi game lokal, contoh nyatanya ya game Tahu Bulat,” ujar Dennis.

Salah satu sudut kemeriahan dalam IN.GAME Expo 2016 Yogyakarta / IN.GAME Festival 2016
Salah satu sudut kemeriahan dalam IN.GAME Expo 2016 Yogyakarta / IN.GAME Festival 2016

Harapan untuk industri game lokal yang lebih berkilau

Kita semua tentu sepakat, bahwa cita-cita terbesar yang ingin dicapai adalah bisa memfasilitasi kebutuhan produk dalam negeri dengan karya lokal. Meskipun masih dalam tahap berkembang, dan harus bersaing dengan pengembang game global, semua meyakini bahwa tekad dan semangat yang kuat pengembang game lokal untuk berinovasi akan mengantarkan bangsa pada titik puncak yang diinginkan.

“Hari Game Indonesia, harapanku dengan adanya HARGAI masyarakat jadi lebih aware lagi dengan industri game lokal kita. Semoga makin banyak yang tertarik untuk membuat game sebagai media untuk menyampaikan pesan dan gagasan mereka,” pungkas Frida menyampaikan harapannya untuk industri game lokal.

Kerja sama dari berbagai pihak untuk bergotong-royong memajukan industri ini pun juga diperlukan.

“Saya berharap momen ini bisa menjadi tempat untuk mengapreasiasi game-game lokal, memberikan pencerdasan terhadap game yang positif, dan juga bisa membangun momentum agar ekosistem game lokal bisa semakin maju lagi. Memajukan industri game di Indonesia agar bisa sekelas Amerika, Jepang, Korea, dll butuh dukungan dari banyak pihak mulai dari masyarakat, komunitas, media, universitas hingga pemerintah,” pungkas Adam optimis industri game lokal yang bisa maju.

Hari Game Indonesia diharapkan juga tidak hanya menjadi seremonial saja, melainkan benar-benar memberikan dampak yang berarti bagi ekosistem pengembang game nasional.

“Menurut saya Hari Game Indonesia ini adalah awal yang sangat baik untuk mengajak gamers lokal memainkan game buatan dalam negeri. Semoga Hari Game Indonesia ini dapat menjadi acara tahunan yang semakin lama semakin meriah dan gamers lokal semakin menyukai game-game buatan Indonesia. Lalu sebagai seorang game developer juga, saya berharap mampu menyajikan game-game yang jauh lebih berkualitas untuk gamer Indonesia,” pungkas Dennis dengan komitmennya untuk meningkatkan kualitas produk game yang dikembangkannya.

Bermain Sambil Bertukar Budaya Dalam Game Next Door Land

Belakangan sempat marak berita mengenai game yang kerap dikonotasikan secara negatif. Game dianggap sebagai media yang berbahaya untuk anak-anak dan dapat memberikan efek buruk. Namun pernyataan tersebut dipatahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, yang mengatakan bahwa game juga bisa memberikan efek positif. Next Door Land merupakan salah satu jawaban yang menunjukan game yang bermanfaat.

Next Door Land merupakan game yang diluncurkan oleh Kementerian Luar Negeri Australia dan bekerja sama dengan Agate Studio untuk proses pengembangannya. Game ini merupakan sebuah proyek besar untuk meningkatkan kekerabatan dan keeratan antar dua negara melalui pertukaran budaya. Memanfaatkan media game, kedua negara bisa saling mengenal kebudayaannya dengan mudah dan menyenangkan.

Next Door Land
Tampilan game Next Door Land

Dengan membawa semangat positif, game Next Door Land pun didukung oleh banyak pihak. Game ini juga didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Rumah Belajar, Australia Indonesia Youth Association, dan Asia Education Foundation.

Game Next Door Land sendiri merupakan kumpulan mini game dengan tema berbagai kebudayaan unik di Indonesia dan Australia. Selain mini game, terdapat juga konten pendidikan yang informatif mengenai kebudayaan kedua negara dalam bentuk cerita di dalam game.

Pemain bisa mengunjungi berbagai kota yang populer di Indonesia ataupun Australia. Di tiap kota, Anda bisa mempelari kota tersebut dari sisi sejarah, budaya, pemerintahaan, hingga gaya hidup di kota tersebut.

Proses pembelajaran ini memanfaatkan permainan sederhana dan juga cerita-cerita yang menarik. Pemain bisa menjelajahi keramainan kota Jakarta menggunakan bajaj, bermain gamelan, memasak makanan khas Indonesia, berlomba di jembatan Syndey Harbour, berselancar di dekat Perth, dan lain-lain.

unnamed-3
Tampilan game Next Door Land

Dengan berbagai metode yang menarik untuk menyampaikan konten budaya tersebut, Game Next Door Land sukses menjadi salah satu contoh game yang memberikan efek positif. Ada banyak konten edukasi di dalam game ini yang disajikan dengan baik.

Di sisi lain, ada kekurangan dari sisi teknis, dengan konten yang sangat banyak, installer game ini juga menjadi cukup besar. Jadi pastikan Anda memiliki kuota internet yang cukup.

Jika ingin mengenal lebih jauh tentang budaya Indonesa dan Australia, Next Door Land merupakan game wajib yang harus Anda mainkan. Next Door Land sudah tersedia di Google Play, Apple App Store, dan Windows Store.

Application Information Will Show Up Here