Memitigasi Risiko, Menuai Investasi: Platform Urun Dana Budidaya dalam Sorotan

Belum reda pemberitaan negatif tentang maraknya pinjaman online, industri fintech Indonesia kembali lagi tercoreng kasus dugaan “salah pengelolaan” uang investor senilai miliaran Rupiah oleh platform urun dana berbasis digital Tanijoy. Kasus ini menambah deretan startup fintech yang tersandung kasus yang sama di sektor budidaya.

Sebelum Tanijoy, dalam dua tahun terakhir, kasus serupa menerpa Angon dan Vestifarm. Keduanya sama-sama dituntut para investor untuk mengembalikan dana. Angon dan Vestifarm menggunakan model crowdfunding atau urun dana untuk menyalurkan pembiayaan ke para petani atau peternak.

Tentu polemik ini tak dapat dibiarkan saja karena bisa berpotensi terulang kembali di masa depan. Investor dapat kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi di sektor budidaya. Padahal, peternak dan petani di Indonesia masih sangat membutuhkan akses permodalan.

DailySocial mencoba mendalami apa yang sebetulnya terjadi dan upaya mitigasi apa yang dapat dilakukan ke depan. Ada tiga sisi yang ingin kami bahas, yaitu pelaku usaha budidaya, industrinya, dan upaya pemerintah dan sektor terkait menangani kasus ini.

Risiko investasi budidaya

Dari berbagai sumber informasi yang kami himpun, kasus ketiganya sama-sama diakibatkan faktor internal dan eksternal. Misalnya saja Angon. Startup yang berdiri pada 2016 ini dianggap lalai mengelola dana publik. Angon disinyalir banyak menggunakan dana tersebut untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Sementara Tanijoy mengaku proyeknya sudah selesai, tetapi terhambat  penarikan dana. Menurut klarifikasinya, dana hasil proyek masih ada di tangan petani dan belum dikembalikan sepenuhnya kepada Tanijoy. PSBB dianggap menyulitkan komunikasi dengan petani dan membuat perusahaan sulit mendapatkan pemasukan karena tidak ada proyek.

Di kasus Vestifarm, kami sulit menemukan pemberitaan detail soal dugaan keterlambatan pengembalian dana. Dari unggahan sejumlah investor Vestifarm, pelaku usaha yang didanai Vestifarm mengalami gagal bayar. Pihak Vestifarm tidak merinci proyek yang gagal, tetapi mereka mengaku sudah berupaya maksimal untuk menagih pembayaran lewat pihak ketiga.

Terlepas dari situasi pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun lalu, budidaya termasuk dalam sektor usaha yang memiliki risiko cukup tinggi. Risiko gagal panen dapat terjadi akibat kombinasi berbagai faktor, mulai dari cuaca, bencana alam, kurangnya perawatan, hingga kemampuan bercocok tanam.

Laporan DSResearch dan Crowde bertajuk “Driving the Growth of Agriculture-Technology Ecosystem in Indonesia” menyebutkan, pengembangan usaha di sektor budidaya terhalang sejumlah tantangan, seperti akses permodalan, literasi keuangan, serta kemampuan dan pengetahuan budidaya dari para petani.

Pemberian modal di agrikultur, kehutanan, dan perikanan / DSResearch dan Crowde

Perbankan yang memiliki akses permodalan yang kuat justru bukan menjadi pilihan utama para petani. Persyaratannya sangat sulit dipenuhi karena petani rata-rata tak punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Belum lagi siklus produksi panen yang terkadang terhambat cuaca dan hama, membuat pemasukan mereka tak stabil. Rumitnya prosedur pengajuan mendorong petani untuk meminjam dari institusi tak resmi dengan persyaratan lebih mudah.

Status Total Petani Indonesia Petani Laki-Laki Petani Perempuan
Tidak Lulus SD 8.247.112 5.679.847 (68,9%) 2.567.265 (31,1%)
Lulus SD 13.994.725 10.638.485 (76%) 3.356.240 (24%)
Lulus SMP 5.400.834 4.255.020 (78,8%) 1.145.814 (21,2%)
Lulus SMA 4.799.070 3.992.383 (83,2%) 806.687 (16,8%)
Lulus S1 754.814 633.414% (83,9%) 121.400 (16,1%)

Tingkat pendidikan petani Indonesia / DSResearch & Crowde

Laporan ini juga menyebutkan, latar belakang pendidikan dan literasi keuangan para petani yang masih rendah menjadi salah satu faktor penghambat usaha budidaya. Demikian juga dengan penetrasi internet. Berdasarkan data BPS di 2018, hanya 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

Kembali ke persoalan di atas, paparan barusan sebetulnya menjelaskan mengapa faktor-faktor ini berkontribusi besar terhadap potensi gagal panen dan gagal bayar di sektor budidaya. Memang belum ada data yang dapat menunjukkan tingkat potensi kegagalan di platform yang memberikan pembiayaan ke sektor budidaya, tetapi potensi tersebut seharusnya dapat ditekan dengan manajemen risiko yang lebih baik.

DSResearch & Crowde

Apa yang dapat dilakukan oleh platform selaku pemberi fasilitas? Jika misinya ingin mendorong industri budidaya, seharusnya bantuan tak hanya berhenti pada akses permodalan. Platform dapat meningkatkan perannya dengan memberikan pendampingan kepada petani agar dapat memaksimalkan modal usaha mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Selain pendampingan, penting untuk menempatkan orang yang ahli atau mampu mengelola keuangan di perusahaan. Bagaimanapun juga ini adalah dana publik yang perlu dipertanggungjawabkan.

Founder sepatutnya menyiapkan skema/model cadangan apabila ada potensi proyek gagal. Jika petani gagal panen, sudah pasti gagal bayar. Apabila ini terjadi, pengembalian dana akan sulit dilakukan.

Ambil contoh TaniFund. CEO TaniHub Pamitra Eka mengungkap upaya penagihan tetap mengacu pada skema yang telah dibuat perusahaan. Skema ini juga dirancang sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh OJK. Pada langkah pertama, TaniFund akan melakukan upaya penyelamatan kredit, seperti restrukturisasi dan negosiasi, apabila terdapat keterlambatan 60 hari pertama.

“Namun, jika sampai 90 hari tidak juga ada penyelesaian sisa keterlambatan pembayaran dari borrower, kami persiapkan proses klaim ke perusahaan asuransi yang telah menjadi partner TaniFund. Upaya ini kami lakukan agar lender mendapat pengembalian pokok hingga 80%,” ujar pria yang karib disapa Eka ini kepada DailySocial.

Adapun, lanjutnya, TaniFund telah menerapkan advanced credit scoring dengan model 100 data points untuk mengukur profil borrower, menelusuri rekam jejak penanaman komoditas, dan akses ke pasar. Dengan demikian, sistem ini dapat menghasilkan profil borrower dan proyek berkualitas serta mengurangi potensi gagal panen/gagal bayar.

“Kami juga monitoring secara berkala oleh field team atau agronomist untuk memastikan setiap proyek berjalan dengan baik dan timeline bisa sesuai dengan pengajuan RAB di awal. Pendampingan juga dijalankan terus-menerus sehingga borrower memperoleh akses informasi dan teknologi terbarukan dalam mengelola usaha dan mencapai target yang sesuai.”

Perlindungan regulator

DailySocial mencoba menghubungi perwakilan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait hal ini. Namun, belum ada respons hingga berita ini diturunkan. Terlepas dari status platform ilegal ini, OJK sebetulnya dapat memperkuat kebijakan untuk melindungi konsumen, dalam hal ini investor. Misalnya, memberikan aturan ketat kepada platform dalam hal manajemen risiko.

Faktanya, tiga startup yang “bermasalah” ini tidak memiliki status terdaftar atau berlisensi dari OJK. Meskipun demikian, mereka tetap bisa beroperasi dan mengelola dana publik tanpa pengawatan atau audit lebih lanjut.

Startup Status OJK
Angon Tidak terdaftar
Tanijoy Tidak terdaftar
Vestifarm Tidak terdaftar

Tentu tidak semua platform investasi budidaya bersifat “nakal”. Berikut ini adalah nama-nama platform investasi budidaya yang terdaftar di OJK dan informasi tentang Tingkat Keberhasilan Bayar di tiap platform (yang cenderung masih sehat).

Startup Status OJK Investor TKB90
Crowde Terdaftar Mandiri Capital Indonesia, STRIVE, Crevisse 97,12%
iGrow Terdaftar Google Launchpad Accelerator, 500 Startups, East Ventures 96,54%
iTernak Terdaftar Unknown 98,57%
TaniFund (Bagian dari TaniHub) Terdaftar MDI Ventures, Openspace Ventures, Intudo Ventures, BRI Ventures, Telkomsel Mitra Inovasi, dll. 100%

Dihubungi secara terpisah, Executive Director Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah berkomentar, isunya sangat sederhana, tetapi perkaranya perlu verifikasi secara akurat. Jika Tanijoy tetap beroperasi tanpa memperoleh tanda terdaftar, alasannya tetap tidak dapat dibenarkan.

Ia menegaskan pihaknya terus mengimbau masyarakat agar teliti memilih fintech yang sudah terdaftar dan diawasi OJK.

“Kita akui potensi platform di sektor budidaya memang sangat besar, tetapi tantangannya juga besar. Misalnya, upaya membangun rantai pasok petani, peternak, dan nelayan agar terintegrasi di ekosistem. Harapannya, informasi terkait proses produksi, panen dan pemasaran dapat terpantau. Kami yakin perlahan tapi pasti, ekosistem ini akan semakin matang dengan dukungan teknologi,” ujarnya.

Angon.id Cultivation Investment Startup Issue

Within the past few months, some DailySocial readers might find out Angon.id cultivation investment startup issue on social media accounts related to the refund of all investors. Through its main Instagram channel for sharing information, Angon.id has the latest status updates in October 2018.

As the media that has covered their launch and development, we feel required to seek the truth. We tried to contact boards of founders by phone or social media, but there’s no feedback.

Some staff who had been connected with DailySocial said they started to left the company since mid-2018.

Moreover, we’ve got some news from trusted source of what happened.

“Fraud”

According to our source, a person having close connection to Angon.id management, said this issue risen due to an error of business calculation. The money collected from investors was used mostly for operational expenditure and founder’s demand which wasn’t urgent.

One case is when it was used to buy office property in “fancy enough” area in Semarang. Regardless, they have deadline to return the investor’s fund for livestock cultivation and its outcome.

The total loss is claimed to reach four billion Rupiah

Angon.id is a Telkom-based Indigo Creative Nation program incubation, under Jogja Digital Valley.

Debuted on October 2016, this startup combined investment startup (fintech) with agriculture (agtech) concept. Investor is to invest through Angon.id to raise fund for farmers, before they get profit sharing from the product sales.

“[Simple] Angon.id management committed fraud to the investor’s money. I would say this case is like First Travel [with a different scale]. Management has been “broken” since the late 2018.”

They’re facing a condition which solution is on its own management, while Telkom claims its position as business coach in early stage and not related to the operational.

“The last time we communicate with Agif [Angon.id’s CEO, Agif Arianto], they guarantee to return the money, gradually. Currently, it’s very difficult to connect.”

Update: Angon.id’s CEO gives clarification to the public funding issue on its platform
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Klarifikasi CEO Angon.id terhadap Isu Kisruh Dana Publik

Sebagai tanggapan terhadap pemberitaan DailySocial yang berjudul “Kisruh Startup Investasi Budidaya Angon.id“, Co-Founder & CEO Agif Arianto menghubungi DailySocial untuk memberikan klarifikasi. Sebagai bagian dari hak jawab, berikut ini adalah penjelasan menurut sisi Angon.id.

Kondisi yang terjadi

Agif menceritakan adanya gagal panen yang dialami pemilik ternak online (disebut member Angon) dan direalisasikan menjadi kerugian. Ia mengklaim hal ini bukan karena Angon melakukan penipuan ataupun salah melakukan pengelolaan uang member.

Diklaim ada oknum peternak wanprestasi (belantik yang mengaku jadi peternak) yang mengakibatkan ternak mengalami masalah dalam pertumbuhan bobot. Kondisi tersebut diperparah adanya penurunan harga jual ternak di pasar.

Agif mengatakan, “Ternak yang telah dibeli oleh member dan rugi sudah menjadi risiko member. Namun karena tipe member Angon berbeda-beda, beragam pula kondisi member Angon dalam menyikapi kejadian ini.”

“Yang paling ekstrem adalah CS Angon sempat ada yang mau bunuh diri akibat tekanan dari beberapa member yang mengalami gagal panen, bahkan rumah mertua saya pun diancam mau dibakar, menelpon dengan kata makian yang sama sekali tidak mau tahu tentang risiko kerugian yang sedang dialaminya dan sama sekali tidak mau memahami penjelasan kami tentang bahwa Angon itu bukan lembaga keuangan atau manajer investasi atau crowdfunding yang mengumpulkan dana masyarakat kemudian menyalurkan pembiayaan kepada peternak,” ujarnya.

Agif melanjutkan, “Platform Angon merupakan marketplace yang coba mendigitalkan proses bisnis beternak. Mitra peternak rakyat itu layaknya pet shop, tempat penitipan hewan ternak saja tanpa bagi hasil. Jika untung 100% hasil diambil oleh member, begitu juga saat rugi 100% ditanggung member, karena member memilih sendiri ternaknya dan lokasi ternaknya. Setelah member membeli ternak di aplikasi Angon, member bisa langsung mengambil ternaknya. Intinya risiko dalam beternak online sama seperti beternak offline. Member perlu bijak dalam menyikapinya.”

Terkait isu Angon membeli kantor di kawasan mewah Semarang juga diklarifikasi tidak benar oleh Agif. Status kantor Angon di Semarang itu sewa bulanan, layaknya sebuah coworking space.

Pengembalian dana

Untuk menyelesaikan masalah gagal panen member, tim Angon mengklaim telah berkomunikasi langsung kepada member secara satu per satu untuk menghindari adanya pihak yang mengaku-ngaku memiliki ternak.

Customer handling Angon saat ini dilakukan melalui sambungan telepon dan WhatsApp pada jam 09.00-17.00 WIB di nomor 081220337376.

Alternatif jalan keluar yang coba ditawarkan tim Angon adalah sebagai berikut:

  • Member dapat melakukan perpanjangan masa perawatan ternak hingga harga membaik (diperkirakan di bulan April-Mei 2019).
  • Bagi pemilik ternak yang ingin menjual ternaknya dengan harga saat ini (dalam kondisi rugi) akan diproses dalam 4-14 hari kerja.
  • Jika member menginginkan refund, Angon mencoba membantu memfasilitasinya dengan mencicil sebanyak 8 kali.

“Dari pengalaman ini kami menyadari tidak semua peternak rakyat amanah dan tidak semua orang juga memahami masalah dari berbagai sisi,” tutup Agif.

Kisruh Startup Investasi Budidaya Angon.id (UPDATED)

Pembaca DailySocial mungkin telah melihat “keributan” di akun media sosial startup investasi budidaya Angon.id mengenai isu tuntutan pengembalian dana yang diminta hampir seluruh investor.

Di kanal Instagram, yang selama ini menjadi kanal utamanya untuk berbagi informasi, pihak Angon.id terakhir kali melakukan pembaruan status pada Oktober 2018.

Sebagai media yang pernah meliput peluncuran dan perkembangan Angon.id, kami merasa perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami mencoba menghubungi jajaran founder Angon.id, baik melalui ponsel maupun media sosial, namun sama sekali tidak terhubung.

Beberapa staf yang pernah berkomunikasi dengan DailySocial mengatakan mereka mulai meninggalkan posisinya di perusahaan pembiayaan tersebut sejak pertengahan 2018.

Kami kemudian mendapat informasi dari setidaknya dua sumber terpercaya, yang tidak mau disebutkan namanya, tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Fraud”

Menurut sumber kami, isu ini terjadi lantaran ada kesalahan kalkulasi bisnis. Uang yang dihimpun dari investor banyak digunakan untuk belanja operasional dan kebutuhan founder yang sifatnya tidak terlalu mendesak.

Salah satunya digunakan membeli properti yang dijadikan kantor di kawasan yang “cukup mewah” di daerah Semarang. Padahal ada tenggat waktu pengembalian dana investor untuk budidaya ternak dan hasilnya.

Diklaim total kerugian yang dihasilkan mencapai empat miliar Rupiah.

Angon.id merupakan startup hasil inkubasi program Indigo Creative Nation milik Telkom, tepatnya di bawah naungan Jogja Digital Valley.

Memulai debutnya sejak Oktober 2016, startup ini menggabungkan konsep startup investasi (fintech) sekaligus pertanian (agtech). Investor bisa menanamkan duitnya melalui Angon.id untuk membantu memodali peternak, sebelum kemudian mendapatkan bagi hasil jika ternaknya dijual.

“[Sederhananya] manajemen Angon.id melakukan fraud kepada uang investor. Kalau saya bilang kasusnya jadi mirip First Travel [dengan skala yang berbeda]. Manajemen juga sudah ‘bubar’ sejak akhir 2018 lalu,” ujar sumber kami.

Kondisi yang dihadapi tim Angon.id disebut harus diselesaikan manajemennya sendiri, sementara sumber kami mengklaim posisi Telkom hanya sebagai pembina bisnis di tahap awal dan tidak terkait dengan bagaimana startup tersebut dijalankan.

“Komunikasi terakhir dengan Agif [CEO Angon.id Agif Arianto], pihaknya berkomitmen untuk mengembalikan, secara bertahap. Kalau sekarang memang sulit sekali dihubungi.”


Update: CEO Angon.id telah memberikan tanggapannya terhadap isu kisruh dana publik di platform-nya.

Semarak Kurban Melalui Platform Online di Indonesia

Esensi dari layanan digital ialah menghadirkan efisiensi dari proses bisnis yang disajikan. Kultur masyarakat urban dengan kesibukan ekstra memicu mereka untuk memenuhi kebutuhan secara instan. Melihat tren tersebut, banyak hal yang kini coba disesuaikan, tak terkecuali ibadah kurban dalam rangka perayaan Idul Adha. Bekerja sama dengan lembaga resmi penyelenggara kurban, banyak platform digital yang menjembatani kebutuhan masyarakat.

Salah satunya Tokopedia, melalui laman khusus yang disediakan pihaknya memfasilitasi pembelian dan pembayaran kurban dari berbagai lembaga. Di antaranya dari ACT, Al Azhar, Baznas, Dompet Dhuafa, Marinagrow (8Villages) dan sebagainya. Kerja sama antara platform e-commerce dan lembaga kurban memungkinkan layanan disajikan secara menyeluruh, dari transaksi, penyembelihan, hingga distribusi daging kurban. Menggandeng lembaga penyelenggara kurban turut menjamin prosesi tetap sesuai syariah.

Sebenarnya para lembaga penyelenggara juga sudah mencoba menangkap tren masyarakat urban. Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) misalnya, tahun ini selain melalui mekanisme langsung (offline), pihaknya juga menerima kurban melalui situs resmi dan media sosial (menggunakan LINE). Tidak hanya Tokopedia, beberapa e-commerce digandeng sebagai perantara transaksi kurban, termasuk Kaskus, elevenia, Blibli, ebaba dan Mataharimall. E-commerce dinilai sudah sangat dekat dengan kebiasaan masyarakat.

Shopee pun melakukan hal yang sama, melalui kampanye “Shopee Berkurban” pihaknya membuat kanal khusus untuk membantu konsumennya untuk melakukan ibadah kurban. Konsep yang ditekankan oleh Shopee ialah kurban secara berkelompok untuk hewan sapi.

“Melalui Shopee Berkuban, pengguna dapat membeli kurban secara patungan melalui fitur Group Hemat di Shopee. Dengan kehadiran fitur ini, umat Islam dapat memiliki akses yang lebih mudah untuk berkurban, terutama bagi mereka yang hendak untuk berkurban sapi. Nantinya tiga lembaga terpercaya yang kami gandeng akan membantu proses distribusi hewan kurban yang dibeli melalui platform kami,” ujar Country Brand Manager Shopee, Rezki Yanuar,  dalam rilis yang diterima DailySocial.

Microsite Kitabisa untuk penyaluran ibadah kurban
Microsite Kitabisa untuk penyaluran ibadah kurban

Tidak hanya platform e-commerce, bahkan situs crowdfunding Kitabisa pun turut merilis layanan yang sama. Melalui microsite yang dikembangkan khusus, Kitabisa menjadi perantara transaksi pembelian hewan kurban dan melakukan penyaluran di berbagai wilayah. Inisiatif ini sudah dilakukan Kitabisa sejak dua tahun lalu dengan traksi yang cukup signifikan. Visi Kitabisa mendukung program ini selain memudahkan masyarakat urban juga mendorong pemerataan penyaluran hasil kurban.

Startup investasi budidaya Angon.id pun turut menghadirkan program serupa. Bertajuk “semarak qurban”, pihaknya mengajak para investor ternak di aplikasinya untuk membeli hewan kurban dan menyalurkan melalui mitra resmi yang sudah ditunjuk.

Tidak hanya sebagai perantara transaksi, insiatif lain pun bermunculan. Salah satunya yang dilakukan oleh platform ride-hiling Grab. Selain proses donasi, pihaknya bekerja sama dengan PKPU Human Initiative akan membantu distribusi daging kurban di seputar wilayah Jakarta dan Bogor melalui GrabExpress.

“Kami sangat senang dapat bermitra dengan Grab serta memperoleh manfaat dari dukungan teknologi serta operasional yang disediakan oleh Grab dalam menyambut perayaan Idul Adha. Kami memiliki misi yang sama dengan Grab yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menantikan untuk merayakan semangat kebersamaan melalui program ini,” ujar Manager of Customer Relation Management (CRM) PKPU Human Initiative, Ira Nurulia.

Angon Resmikan Kantor Baru dan Siapkan Sejumlah Inovasi

Angon Indonesia (Angon) saat ini menjadi startup peternakan yang cukup aktif di Indonesia. Mereka sudah bekerja sama beberapa sentra peternakan dan peternak di Bogor, Semarang, dan Sumbawa. Bahkan sudah ada kerja sama dengan peternak dari Selandia Baru dan Australia.

Awal bulan Agustus kemarin, Angon baru saja meresmikan kantor barunya di Semarang. Hal tersebut tampaknya menjadi awal untuk sejumlah manuver besar yang akan dilakukan dalam waktu dekat.

Mengingatkan kembali, Angon adalah startup yang mengusung semangat beternak online melalui investasi budidaya. Anggotanya dapat membeli hewan ternak (domba atau sapi) untuk kemudian dirawat di peternakan-peternakan mitra Angon.

Siklus ternak untuk anggota yang menjadi investor adalah 3 kali masa ternak. Satu masa ternak memakan waktu 3 bulan. Setelah itu, anggota dibebaskan untuk menjual atau menarik hewan ternak tersebut. Keuntungannya didapat dengan sistem bagi hasil.

Proses tersebut dapat sepenuhnya dilakukan melalui aplikasi Angon yang kini tersedia di Google Play dan App Store.

Perombakan kebijakan dan inovasi

Dalam upaya menumbuhkan bisnis, Yoki B. Sembodo selaku Vice President Angon menceritakan akan ada sejumlah perubahan di bulan Agustus ini. Pertama soal kebijakan kepemilikan hewan ternak. Saat ini semua hewan ternak dari peternak dibeli dulu oleh Angon, baru kemudian ditawarkan untuk para anggotanya.

Konsep tersebut rencananya akan berubah per tanggal 25 Agustus nanti. Angon akan menjadi marketplace yang menghubungkan anggotanya dan peternak. Harga ternak yang ditawarkan berdasarkan bobot dan juga perhitungan biaya perawatan selama masa ternak.

Saat ini total hewan ternak yang dimiliki Angon sudah mencapai lebih dari 20 ribu ekor.

Sedangkan inovasi yang tengah disiapkan adalah membangun model B2B dan B2C untuk penyaluran ternak. Tidak hanya menyediakan solusi bagi individu yang ingin beternak secara online, Angon akan menyediakan hewan ternak bagi lembaga atau bisnis yang membutuhkan. Termasuk juga penjualan daging segar yang didapat langsung dari peternak.

Bulan ini menyambut hari raya Idul Adha, Angon meluncurkan program “Semarak Qurban”. Sebuah program yang membantu para anggota untuk membeli dan menyalurkan daging kurban ke mitra-mitra yang bekerja sama dengan Angon.

Membangun desa peternak online

Satu dari beberapa sentra peternakan Angon ada di Desa Wawar, Kecamatan Jambu, Semarang, Jawa Tengah. Di sana Angon mempunyai mimpi untuk membangun desa peternakan online. Inisiatif ini juga didukung Telkom, selaku mitra yang telah menginkubasi dalam program Indigo. Akan ada akses internet yang dibawa masuk untuk memudahkan update perkembangan ternak dan lain sebagainya.

Salah satu misi Angon adalah memudahkan masyarakat Indonesia memiliki hewan ternak tanpa repot memiliki kandang, mengurusi pakan, dan lainnya. Angon juga menerapkan standar peternakan yang tinggi, mulai dari kualitas kandang, pakan, perawatan dan pengawasan untuk menjamin pertumbuhan hewan ternak maksimal. Angon juga memberikan asuransi ke semua hewan ternak untuk melindungi kerugian jika ada kasus kematian hewan ternak.

Application Information Will Show Up Here

 

Angon Perluas Kerja Sama dengan Peternak di Australia dan Selandia Baru

Startup investasi ternak Angon mengumumkan perluasan kerja sama bisnis bersama peternak di kawasan Australia dan Selandia Baru. Kerja sama tersebut memungkinkan pengguna platform berinvestasi pada peternakan di kawasan tersebut. Hal ini dilakukan lantaran potensi ternak yang cukup besar. Menurut data yang disampaikan tim Angon di Australia populasinya mencapai 70 juta ekor, sedangkan di Selandia Baru mencapai 30 juta ekor.

“Ketika member Angon ingin beternak di Australia dan Selandia Baru, mereka tidak perlu repot mengurus ijin investasi, pembelian lahan, serta membangun infrastruktur peternakan mulai dari nol. Cukup dengan buka aplikasi Angon, pilih ternaknya, bayar dan selesai. Kita semua bisa memiliki ternak walau pun hanya dengan satu ekor saja,” ujar Founder & CEO Angon, Agif Arianto.

Aplikasi Angon mewajibkan setiap transaksi yang ada di dalamnya menggunakan mata uang Rupiah. Peternak luar negeri yang ingin memasukkan produknya di Angon untuk diinvestasi harus memiliki kerja sama dengan peternak dalam negeri sebagai groundholding. Hal tersebut berimplikasi pada kesepakatan aturan dan regulasi transaksi di masing-masing negara, sehingga tercatat sebagai devisa juga.

Berikan asuransi untuk investor ternak

Peresmian kerja sama dengan Jasindo Syariah / Angon
Peresmian kerja sama dengan Jasindo Syariah / Angon

Angon juga menandatangani kerja sama strategis dengan Jasindo Syariah. Kerja sama tersebut untuk menyediakan asuransi bagi peternak dalam proses pemeliharaan. Termasuk sebagai antisipasi jika terjadi bencana. Hal ini dilakukan untuk membuat member lebih mantap ketika menggelontorkan investasinya. Biaya asuransi dibebankan kepada member, dan dibayarkan otomatis pada saat memutuskan untuk membeli hewan ternak melalui aplikasi Angon.

“Pemilik ternak akan mendapatkan SKTB (Surat Kepemilikan Ternak Berjangka), berfungsi sebagai bukti sah mitra peternak Angon. SKTB Angon telah terintegrasi dengan nomor polis asuransi ternak yang diterbitkan oleh Jasindo Syariah. SKTB berfungsi dalam proses klaim jika terjadi kematian pada hewan ternak milik para member saat proses ternak online berlangsung dalam 1 periode masa ternak, yaitu 3 bulan,” jelas Agif.

Angon juga tengah mematangkan kerja sama dengan BNI46 untuk proses pembiayaan untuk para peternak. Dengan PKPU juga akan membuat program konversi tabungan qurban menjadi beternak online. Sampai saat ini Angon juga telah memiliki 223 mitra peternak yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Saat ini masih dengan Telkom [sebagai investor], Angon berencana akan mengeluarkan prospektus saham baru di akhir tahun 2018, namun jika ada tawaran yang menarik dari para investor juga sangat terbuka, terutama investor dari dalam negeri. Angon masih menjadi startup binaan Telkom Indigo,” tutup Agif.

Application Information Will Show Up Here

Startup Investasi Budidaya Sebagai Usaha Pemberdayaan Petani dan Bisnis Pertanian

Pak Gondrong, seorang petani yang tinggal di kawasan Gadog, Jawa Barat, kepada DailySocial mengatakan selama ini banyak petani yang mengawali kegiatannya secara otodidak. Walhasil pengetahuannya soal bercocok tanam sangat terbatas. Suatu ketika ia dan kawan-kawan mengenal Crowde, sebuah platform investasi budidaya. Ia menyebutkan kini banyak mendapatkan pendampingan dari tim lapangan Crowde untuk memastikan hasil pertaniannya optimal.

“Alhamdullilah dari Crowde ada yang sering ke kebun, kebetulan dari IPB orangnya,” cerita Pak Gondrong.

[Baca juga: Platform Investasi Bidang Agrikultur Crowde Permudah Petani Dapatkan Modal]

Contoh di atas merupakan salah satu perwujudan kenapa startup di sektor pertanian dan peternakan, selanjutnya kita sebut agtech (agriculture technology), bisa memberikan dampak sosial ekonomi luar biasa bagi masyarakat.

Sebagai negara agraris, penerapan teknologi di sektor ini memang lumayan tertinggal dibanding sektor produktif lainnya di Indonesia. Dikutip dari Kompas, saat ini yang menjadi tiga permasalahan utama di sektor pertanian meliputi produksi, distribusi, dan keterjangkauan harga.

Rantai distribusi yang panjang dan dominasi pemain-pemain besar membuat perjalanan hasil pertanian terlalu panjang dan berpengaruh terhadap harga hasil pertanian di pasaran.

Menyelesaikan masalah di lapangan

Tanaman Cabai Pak Gondrong

Crowde yang dikembangkan Yohanes Sugihtononugroho dan BantuTernak yang dikembangkan Ray Rezky Ananda adalah contoh startup yang mencoba membantu mengatasi masalah-masalah ini.

Latar belakang pendidikan di bidang peternakan membuat Ray, yang berkuliah di UGM, mempunyai wawasan untuk memetakan masalah-masalah peternak ini.

“Jadi kalo ke pasar hewan mungkin peternaknya sedikit, kebanyakan belantik. Belantik ini membeli sapi dari peternak dengan harga murah. Tetapi peternak tetap senang, karena diberikan fasilitas hutang kepada peternak. Ini salah satu dari banyaknya cerita yang ironi tentang peternak desa. Semoga tahun ini nilai investasi Bantuternak bisa melakukan ekspansi ke daerah lain selain di Bantul. Kami ingin kebermanfaatan Bantuternak bisa dirasakan oleh peternak di seluruh Indonesia,” cerita Ray.

Kendati belum lama beroperasi, BantuTernak mengklaim telah mendapat sambutan positif dari peternak, utamanya mereka yang kesulitan modal dan belum terlalu paham sentuhan teknologi.

Secara umum, permodalan menjadi isu yang sangat fundamental. Startup lain mencoba menjembatani permasalahan tersebut dengan cara yang sedikit berbeda. seperti yang dilakukan startup Yogyakarta Angon.

[Baca juga: Sepak Terjang Angon Digitalkan Proses Beternak di Indonesia]

Apa yang dilakukan Angon ialah memberdayakan petani sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin berinvestasi dalam dunia peternakan tapi tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk merealisasikannya. Investor dapat melakukan pemesanan ternak, kemudian ternak tersebut dipelihara dan dibesarkan. Biaya perawatan akan dialokasikan untuk operasional peternak di sentra peternakan rakyat, sedangkan keuntungan yang didapat akan didistribusikan dengan mekanisme bagi hasil.

Implementasi teknologi tidak sepenuhnya mudah

Salah satu peternakan BantuTernak

Nyatanya tidak semudah yang dibayangkan membawakan solusi digital ke sektor pertanian. Untuk Crowde, Yohannes menceritakan bahwa ada beberapa permasalahan saat praktik mengimplementasikan solusi di lapangan, salah satunya dalam hal pembukuan oleh petani. Meski sederhana, hal ini penting untuk membantu pelaporan di sistem masing-masing. Sayangnya sejauh ini masih banyak yang belum melakukannya dengan baik.

“Yang menjadi tantangan adalah dari sisi petani. Masalah banyak petani yang belum begitu mengerti dalam melakukan pembukuan laporan keuangan. sehingga kami perlu melakukan kegiatan ekstra untuk memberikan edukasi dan membimbing mereka. Hal ini penting, karena kami sangat berfokus pada transparansi antara investor dan petani.”

[Baca juga: Daftar Startup Indonesia di Bidang Pertanian, Perikanan, dan Peternakan]

Pun demikian, dari sisi investor, Yohanes menganggap tantangannya adalah mengenai metode pembayaran yang paling efisien dan efektif. Pada dasarnya, saat ini sudah sangat banyak perusahaan yang telah menyediakan jasa pembayaran digital, tapi masih banyak masyarakat Indonesia yang masih belum begitu familiar, khususnya mereka yang tertarik di investasi budidaya.

Perlu terobosan menyeluruh

Mata rantai pertanian dan peternakan yang tidak sehat menjadi kecemasan banyak pelaku di industri ini. Di luar investasi budidaya, masalah seperti akses ke pasar, komoditas benih, hingga optimalisasi lahan masih menjadi peluang emas bagi startup untuk bermanuver.

Founder dan CEO 8Villages Sanny Gaddafi, yang dengan beberapa produknya aktif membantu petani meningkatkan produktivitasnya, mengatakan, “Transparansi proses dan akses informasi, keduanya sangat bisa diselesaikan dengan solusi digital. Solusi digital adalah jawaban dari kedua masalah tersebut. [Meskipun demikian]  investasi [budidaya] hanya bagian kecil dari keseluruhan value chain yang bisa dikembangkan lagi, seperti market dan rantai logistik.”


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Sepak Terjang Angon Digitalkan Proses Beternak di Indonesia

Jika waktu kecil akrab dengan permainan Tamagochi, itu adalah konsep yang paling mudah untuk menjelaskan bagaimana cara kerja Angon. Startup berbasis di Yogyakarta ini mencoba merambah dunia pertanian dengan pendekatan digital. Persisnya mereka berusaha menjadi jembatan antara orang yang ingin beternak (member), peternak rakyat, dan sentra peternakan.

Untuk mengetahui secara lebih gamblang bagaimana proses bisnis hingga visi Angon, DailySocial berbincang dengan Founder & CEO Angon Agif Arianto. Dalam pemaparannya, ide Angon muncul dari kegemaran Agif beternak sejak ia berada di bangku SMA. Dari hobinya tersebut ia menemui banyak permasalahan yang dialami oleh peternak maupun masyarakat yang baru memulai beternak.

Masalah yang muncul itu misalnya terkait kebutuhan bibit berkualitas. Karena pasar umumnya didominasi oleh tengkulak, kadang peternak yang tidak jeli malah mendapatkan bibit yang kurang bagus. Proses selanjutnya ialah perawatan, hal yang tidak mudah juga untuk dilakukan. Butuh pengetahuan, pengalaman dan kemampuan baik agar hewan ternak mendapati kecukupan nutrisi untuk bertumbuh.

Pun ketika hewan ternak sudah siap untuk dijual, permainan tengkulak “nakal” pada matai rantai peternakan kadang membuat harga jual kurang layak bagi petani. Tidak sesuai dengan effort yang dilakukan untuk membuat hewan tersebut menjadi gemuk.

Salah satu sentra peternakan rekanan Angon / Angon
Salah satu sentra peternakan rekanan Angon / Angon

“Pengalaman selama berjibaku dalam dunia peternakan inilah yang mendorong saya ingin membantu para peternak. Saya juga merasa bahwa Indonesia adalah negara yang sangat berpotensi swasembada daging. Namun hingga saat ini daging-daging yang dikonsumsi kebanyakan masih diimpor dari luar.”

Bagi masyarakat umum, Angon hadir bagi mereka yang tidak memiliki waktu dan kemampuan beternak untuk berinvestasi dalam peternakan. Seakan-akan seperti merawat hewan virtual sejak telur hingga menjadi besar. Masyarakat yang menjadi member cukup membeli hewan ternak, lalu membayar biaya peternakan per tiga bulan. Mereka akan mendapat laporan perkembangan, sekaligus dapat mengawasi hewan ternak mereka di dashboard aplikasi Angon.

Angon tidak menggunakan mekanisme crowdfunding

Angon bukan sekedar ingin menghadirkan bisnis untuk kepentingan ekonomi, melainkan juga ada misi sosial yang diemban. Yakni memberdayakan kaum peternak rakyat, dan sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Peternak rakyat mendapatkan upah bulanan secara rutin dan berbagai tunjangan. Upah ini didapat dari biaya perawatan yang dibayarkan member.

Peternak juga mendapatkan upah dari pengolahan kotoran hewan ternak. Tidak hanya upah yang layak, Angon juga peduli dengan kompetensi peternak. Peternak rakyat akan dibekali kemampuan dan keahlian dalam bidang peternakan melalui pelatihan. Hal ini dilakukan untuk menyetarakan kompetensi peternak sesuai dengan standar peternak Angon Indonesia.

Mesin produksi pakan ternak milik Angon / Angon
Mesin produksi pakan ternak milik Angon / Angon

“Pada dasarnya Angon merupakan pet shop yang mana kepemilikan hewan ternak 100% dimiliki oleh peternak online, member Angon, atau di Angon disebut dengan peternak pasif. Angon hanya merawatkan, menjualkan di saat waktu panen. Untuk itu Angon berbeda dengan kebanyakan ternak online yang kini marak beredar yang merupakan crowdfunding.”

Sistem crowdfunding ini akan mengambil keuntungan dari bagi hasil sesuai penjualan, tidak mengambil untuk dari penjualan ternak, Angon mengambil keuntungan murni dari biaya perawatan. Jadi, ketika hewan ternak member Angon dijual, member akan mendapatkan uang sebesar harga hewan ternak itu, tanpa potongan sepeser pun. Sehingga apa pun hasilnya, baik saat bobot ternak bertambah secara maksimal atau tidak, untuk proyeksi terburuk, hasil penjualan menjadi milik member seutuhnya karena ternak secara legal merupakan milik member.

Potensi dan keuntungan yang coba diberikan Angon

Sejauh ini sudah terdapat 11 ribu domba yang di Sentra Peternakan Rakyat (SPR). Jumlah member sendiri saat ini mencapai lebih dari 2000 orang, terdiri dari 54,15% pria dan 45,85% wanita dengan peternak pasif terbanyak terdapat pada rentang umur 18-24 tahun (27,5%) dan 25-34 tahun (33,5%). Data yang menarik, selama anggapannya sektor pertanian hanya diminati oleh kalangan 40 tahun ke atas.

Dari data tersebut, Angon optimis memproyeksikan potensi akan mencapai 10,2 juta ekor ternak, 1,02 juta member dan 204 ribu Peternak Rakyat yang terakomodasi. Jumlah ekor ternak ini terdiri dari jumlah ternak yang terdapat di SPR atau mobile sentra yang kemungkinan akan bekerja sama dengan Angon Indonesia.

“Ada banyak keuntungan menjadi member Angon. Pertama, kepemilikan hewan ternak yang terjamin. Kepemilikan ternak dibuktikan kepada member dengan memberikan SKTB (Surat Kepemilikan Ternak Berjangka) saat member membeli ternak. Dengan adanya surat ini ditambah dengan ternak yang memiliki chip dengan nomor seri, hewan ternak member tidak akan tertukar, tidak akan digelapkan baik oleh peternak atau pihak mana pun.”

Agif melanjutkan, “Selain itu, saat member membeli ternak dan menitipkan hewan ternaknya untuk diternakkan oleh Angon Indonesia, member akan membayar sejumlah uang sebesar 1,3% dari harga hewan yang menjadi biaya asuransi. Biaya asuransi ini menjadi cara Angon Indonesia memberi jaminan keamanan untuk meminimalkan kerugian member jika hewan sakit lalu mati. Dengan membayar asuransi tersebut, member memiliki hak untuk mengklaim hewan ternak dan mendapatkan hewan ternak yang baru.”

Rencana improvisasi jangkauan layanan

Tim Angon bersama para mentor di Indogo Startup Nation / Angon
Tim Angon bersama para mentor di Indigo Startup Nation / Angon

Dalam jangka dekat, Angon ingin menyediakan fasilitas yang lebih mumpuni bagi member seperti live streaming dengan deep screening yang mampu menganalisis identitas hewan dengan jelas untuk diakses sehingga member bisa melihat perkembangan hewannya dengan jelas. Akhir bulan Juli ini pun, Angon Indonesia akan membuka Farm House untuk kandang yang terletak di Bogor. Farm House ini dimaksudkan menjadi wahana edukasi dan rekreasi bagi siapa pun, termasuk member atau orang-orang yang ingin belajar lebih banyak tentang domba.

“Ya, Angon ini founder-nya luar biasa, sangat passionate bervisi besar dan mampu mengeksekusinya,” ujar Ery Punta Hendraswara selaku Dep. Executive General Manager Digital Service Division Telkom, yang menangani langsung program Indigo Creative Nation. Sebagai informasi bahwa Angon adalah salah satu startup yang diinkubasi oleh program Indigo.

Ery melanjutkan, “Di progran Indigo Angon berawal dari tahapan validasi ide sampai saat ini juga terus memvalidasi bisnisnya. Timnya tidak kenal lelah selalu penuh energi, dan salah satu yang penting adalah tim ini punya kemauan untuk dimentori. Kemampuan utk belajar hal baru dan un-learn cara-cara lama juga mendukung startup ini untuk terus berkembang. Ini yang kita perhatikan.”

“Angon sangat menarik, karena basic-nya sudah menjadi peternak sudah dari 2008. Dari situ dia kepikiran untuk mendigitalkan beberapa proses bisnis yang ada. Bagus, karena sebagai peternak ia [Agif] aware dengan perkembangan teknologi. Secara konsep bisnis dasar sudah sangat matang, dan kini dilanjutkan dalam mekanisme digital. Sangat optimis dengan kemajuan Angon,” ujar Saga Iqranegara sebagai salah satu mentor di Jogja Digital Valley menilai bagaimana Angon ke depannya.

Application Information Will Show Up Here

Angon.id Berikan Jembatan antara Investor dan Peternak

Angon.id memulai debutnya sejak Oktober 2016. Menggabungkan konsep startup investasi (fintech) sekaligus pertanian (agtech), perusahaan rintisan binaan Indigo ini mencoba memberikan layanan online untuk menghubungkan antara peternak rakyat dengan masyarakat urban. Jika pernah mendengar tentang konsep bisnis startup pertanian iGrow, konsepnya hampir sama, perbedaannya pada objek investasi, yakni peternakan sapi dan domba.

Angon.id memungkinkan masyarakat umum untuk investasi beternak tanpa harus memiliki kandang. Menggunakan layanan aplikasi Angon.id, pengguna cukup menggelontorkan sejumlah dana sesuai dengan kesepakatan untuk disalurkan kepada peternak yang sudah menjadi mitra bisnis Angon.id. Dari penjelasan tim Angon.id, rata-rata investor mendapatkan return of investment (ROI) sekitar 5-10 persen per tiga bulan.

Dipimpin Co-founder & CEO Agif Arianto, saat ini Angon telah mengakomodasi lebih dari 11 ribu hewan ternak yang dikelola Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang dimiliki oleh mitra bisnis dan dimiliki oleh tim Angon.id. SPR tersebut kini tersebar di berbagai wilayah, mulai dari Semarang, Bogor, Sukoharjo, hingga Sumbawa.

Proses kerja aplikasi Angon.id

Bagi investor yang ingin beternak di Angon.id, setelah mengunduh aplikasi pengguna diwajibkan melakukan upgrade profil menjadi full-services, yakni memastikan semua informasi data diri terisi dengan baik. Kemudian harus mengisi saldo TMoney untuk melakukan transaksi. Secara khusus, saat ini Angon.id juga telah menggandeng layanan fintech milik Telkom (TMoney) untuk mendukung sistem transaksi di aplikasi secara penuh.

Ketika sudah masuk ke dalam aplikasi, pengguna akan ditemani asisten virtual bernama Pak Arto. Asisten virtual tersebut akan memberikan arahan kepada pengguna. Mulai dari memilih jenis hewan yang dipilih, hingga memberikan informasi seputar investasi dan pemrosesan transaksi. Keanggotaan di Angon.id sendiri terdiri dari tiga jenis, yakni Member Angon, Member Peternak dan Member Investor Kandang/Bibit, masing-masing memiliki keterlibatan yang berbeda.

Salah satu sudut tampilan aplikasi Angon.id / Angon.id
Salah satu sudut tampilan aplikasi Angon.id / Angon.id

Ingin capai 50 SPR di tahun 2020

Melalui aplikasinya, Angon.id mengharapkan bahwa adanya investasi ke akar rumput dapat mendorong terjadinya distribusi peredaran uang yang saat ini banyak terpusat di kota. Sehingga masyarakat desa di daerah dapat hidup sejahtera tanpa harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, yakni salah satunya dengan menjadi peternak. Cita-cita Angon.id, di tahun 2020 mendatang setidaknya akan ada 50 SPR yang masuk dalam jaringannya, hal ini sejalan dengan misi membantu pemerintah menyiapkan lapangan pekerjaan menghadapi bonus demografi ditahun tersebut.

Untuk menjamin kualitas layanan, mengacu pada standardisasi ISO 9001, Angon.id secara konsisten melakukan sertifikasi kepada para peternak rakyat sebagai bentuk meningkatkan daya saing kualitas yang dapat diterima secara global. Guna mencapai sertifikasi tersebut, salah satu yang diunggulkan dalam Angon.id adalah peternak berpengalaman dan bibit ternak yang sehat.

Secara garis besar apa yang dikelola Angon.id ialah menciptakan peluang kerja sama antara peternak dengan masyarakat sebagai investor. Dengan proses ini, produktivitas peternak diharapkan terus meningkat untuk menjamin kesejahteraan para peternak itu sendiri, dan memberikan keuntungan pula bagi para investor.

Application Information Will Show Up Here