Google Mulai Uji Coba Fitur Navigasi AR Google Maps

Pada konferensi developer-nya tahun lalu, Google memamerkan satu fitur anyar Maps yang sangat menarik, yaitu navigasi AR. Sesuai namanya, ketimbang menampilkan panduan navigasi pada tampilan peta seperti biasanya, fitur ini akan menyajikan panduan navigasi secara langsung pada tampilan kamera.

Gambar di atas seharusnya bisa memberikan gambaran yang cukup jelas terkait cara kerja fitur ini. Kalau Anda ingat, fitur ini juga mirip seperti salah satu hal yang diunggulkan Google Glass dulu, namun di sini kita hanya perlu mengangkat ponsel sebentar.

Mengapa hanya sebentar? Sebab Google sendiri sudah memikirkan matang-matang dan menerapkan cara supaya pengguna tidak terus terpaku pada panduan navigasi AR di ponselnya. Jadi ketika pengguna sudah terlalu lama mengarahkan kamera ponselnya, aplikasi akan meminta pengguna untuk menurunkan ponselnya.

Kalau masih tidak mempan (pengguna masih ngotot mengarahkan kamera ponselnya sambil berjalan), layar ponsel bakal meredup dengan sendirinya. Ini penting demi keselamatan pengguna (jangan sampai pengguna celaka akibat tidak memperhatikan sekitarnya), sekaligus untuk menghemat konsumsi baterai dan data smartphone.

Sumber: The Wall Street Journal
Sumber: The Wall Street Journal

Menurut penjelasan perwakilan Google kepada jurnalis The Wall Street Journal yang dipersilakan mencoba, fitur ini akan sangat bermanfaat dalam kesempatan-kesempatan seperti misalnya, ketika pengguna turun dari kereta komuter atau MRT. Tanda panah besar yang muncul di layar akan menunjukkan ke mana pengguna harus berjalan sebelum akhirnya mereka keluar dari stasiun.

Fitur ini bekerja dengan memadukan data lokasi GPS sekaligus data Street View guna melacak lokasi pengguna secara lebih akurat. Saya membayangkan fitur ini akan sangat berguna bagi orang-orang yang sering kesulitan membaca arah di peta.

Sayangnya Google masih belum memastikan kapan fitur ini akan dirilis secara luas, sebab mereka ingin fiturnya sudah benar-benar matang ketika diluncurkan. Dalam waktu dekat, mereka baru akan mencobanya bersama sejumlah orang terpilih yang tergabung dalam komunitas Google Maps Local Guides.

Sumber: The Wall Street Journal via Engadget.

Lego AR Playgrounds Ajak Kita Mengeksplorasi Set Lego Rakitan Secara Digital

Pada konferensi developer yang dihelat Apple Juni lalu, divisi Creative Play Lab dari Lego diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan karya terbarunya di bidang augmented reality, sekaligus menyoroti sederet pembaruan yang dihadirkan pada platform AR bikinan Apple.

Kreasi mereka tersebut adalah Lego AR Playgrounds, yang baru saja dirilis untuk perangkat iOS 12. Premis utama Playgrounds adalah mengajak para pemain untuk berinteraksi dengan balok Lego secara fisik sekaligus elemen-elemen digital yang disajikan aplikasi.

Jadi ketika pengguna mengarahkan kamera iPhone atau iPad-nya ke set Lego yang kompatibel (sementara baru dari seri Lego Ninjago), mereka dapat melihat balok-balok tersebut menjadi ‘hidup’, lengkap dengan tambahan elemen digital lainnya.

Lego AR Playgrounds

Berkat Playgrounds, set Lego yang kita rakit pada dasarnya tidak sebatas menjadi pajangan saja. Pastinya ada kepuasan sendiri bermain-main secara interaktif selagi melibatkan set Lego kebanggaan kita. Lego tidak lupa melengkapinya dengan narasi yang menarik, sehingga anak-anak berusia 9 tahun atau lebih bisa semakin terpikat.

Playgrounds bisa dilihat sebagai tahap eksplorasi lebih lanjut atas set Lego yang kita rakit. Namun seandainya Anda belum mempunyai set Lego yang kompatibel, Playgrounds masih bisa dimainkan hingga lima level pertama; yang Anda butuhkan hanyalah permukaan datar seperti meja guna bermain dalam mode AR-only.

Lego AR Playgrounds saat ini sudah bisa diunduh secara cuma-cuma dari App Store. Lego memastikan bahwa tidak ada satu pun iklan atau opsi in-app purchase pada aplikasi. Masuk akal mengingat game ini mendorong kita untuk membeli set Lego demi mendapatkan kepuasan yang maksimal.

Sumber: Lego.

Kacamata Audio Augmented Reality Bose Frames Siap Dipasarkan Januari 2019

Maret lalu, Bose membuat kejutan dengan memamerkan prototipe kacamata augmented reality yang sama sekali tidak mengedepankan aspek visual. Sebagai gantinya, pengalaman AR murni disajikan melalui suara.

Kedengarannya aneh memang, akan tetapi kalau mengacu pada makna harfiah AR yang berarti “realitas tertambah”, tidak ada salahnya apabila yang ditambahkan hanya sebatas audio. Anda boleh setuju boleh tidak, tapi yang pasti Bose sudah siap untuk memasarkannya dalam waktu dekat.

Perangkatnya pun kini sudah memiliki nama resmi, yaitu Bose Frames. Secara fisik Frames hampir tidak ada bedanya dari kacamata hitam biasa, kecuali bagian tangkainya memang agak lebih gemuk dari biasanya. Bose pun bakal menawarkan Frames dalam dua gaya desain yang berbeda: Alto yang mengotak dan besar, dan Rondo yang bulat tapi lebih kecil.

Bose Frames

Frames mengarahkan audio langsung ke kedua telinga pengguna, dan di bagian pelipis kanan ada sebuah tombol multi-fungsi beserta mikrofon, sehingga pengguna dapat memanggil Siri atau Google Assistant dengan mudah. Ya, untuk menggunakan Frames, Anda harus terlebih dulu menyambungkannya ke ponsel via Bluetooth.

Setelahnya, Frames akan mengambil data GPS yang direkam ponsel untuk menentukan lokasi pengguna dan memulai sajian AR-nya. Namun bukan hanya itu saja, Bose juga menyematkan sensor pada Frames yang dapat mendeteksi pergerakan kepala di 9 poros, sehingga pada akhirnya perangkat bisa paham ke arah mana pengguna menghadap.

Jadi semisal pengguna tengah berkunjung ke museum dan mengamati suatu objek, Frames bisa tahu dan langsung memberikan informasi lebih lengkapnya. Berhubung semuanya tersuguhkan via audio, pengguna tak perlu khawatir ada elemen visual yang menghalangi pandangannya.

Bose Frames

Dalam satu kali pengisian, baterai Frames bisa bertahan hanya sampai 3,5 jam pemakaian, atau 12 jam standby. Charging-nya sendiri memakan waktu kurang dari dua jam.

Gerbang pre-order Bose Frames saat ini telah dibuka di Amerika Serikat, dengan harga $199. Pemasarannya baru akan dimulai pada bulan Januari 2019, akan tetapi fitur-fitur AR-nya baru akan hadir pada bulan Maret, bertepatan dengan event SXSW 2019.

Sumber: VentureBeat dan Bose.

VR Tambah Subur, Diujungtombaki PlayStation VR dan Oculus

Ujian sesungguhnya bagi virtual dan augmented reality telah dimulai, ketika makin banyak orang mencobanya dan mitos yang dahulu hinggap pada perangkat cross reality memudar. Signifikansinya dibanding platform hiburan mainstream memang tidak begitu besar, namun VR dan AR sepertinya sudah menemukan pasarnya sendiri dan tumbuh dengan sehat.

Di minggu ini, IDC melaporkan bahwa pasar VR dan AR menunjukkan kenaikan year-over-year sebesar 9,4 persen per kuartal tiga 2018 kemarin. Data tersebut merupakan kabar gembira bagi para pemain di bidang ini, karena distribusi produk virtual reality sempat menurun empat triwulan berturut-turut. Buat sekarang, head-mounted display virtual reality menguasai 97 persen produk AR dan VR, dan menunjukkan kenaikan 8,2 persen dari periode yang sama tahun lalu – mencapai 1,9 juta unit.

Berdasarkan data IDC, peningkatan ini diujungtombaki oleh dua brand lewat pendekatan produk berbeda. Di segmen VR tethered/berkabel, PlayStation VR dan Oculus terlihat mendominasi, masing-masing berhasil menyumbangkan angka pengapalan 463 ribu dan 300 ribu unit dalam setahun. Di posisi ketiga, HTC membuntuti dengan 230 ribu headset. Itu berarti, untuk pertama kalinya distribusi HMD VR berkabel melampaui 1 juta unit.

Segmen HMD standalone meroket 428,6 persen, dan kini menguasai 20,6 persen pasar VR. Dua brand terlihat menonjol di sana: Oculus Go dan Xiaomi Mi VR. Pada dasarnya, mereka merupakan produk yang sama, tapi punya nama dipasarkan ke wilayah berbeda. Ketika dijumlahkan, angka pengapalan keduanya mendekati 250 ribu unit – membuatnya jadi perangkat standalone paling populer.

Meski Sony boleh dibilang berada di posisi pertama, Facebook-lah yang sukses memasarkan produk virtual reality paling banyak jika ditakar dari total varian tethered maupun standalone. Tanpa menyertakan Xiaomi Mi VR, distribusi headset Oculus menyentuh 491 ribu unit. Itu berarti, brand punya Facebook itu mengamankan 25,9 persen pasar VR.

Namun ada berita buruk di tengah kabar baik ini: kepopuleran headset-headset tanpa layar seperti Samsung Galaxy Gear VR terus merosot. Penurunannya sangat signifikan, yaitu 58,6 persen, disebabkan oleh ketersediaan yang berkurang dan habisnya program diskon. Hal tersebut diperparah oleh tidak kompatibelnya smartphone Samsung terbaru dengan Gear VR.

Pertumbuhan augmented reality juga tidak buruk. Lenovo mengamankan posisi pertama dengan keberhasilan mereka mengapalkan 23 ribu unit headset dalam setahun. Mayoritas dari produk tersebut adalah HMD Star Wars Jedi Challenge yang ditargetkan pada end-user. Tanpa menyertakan model ini, nama-nama seperti Epzon dan Vuzix menyumbang peningkatan sebesar 1,1 persen.

Niantic Bekerja Sama dengan PBB demi Memajukan Turisme Global Lewat Game AR

Niantic resmi meluncurkan game AR barunya belum lama ini, Ingress Prime. Game tersebut boleh dikatakan sebagai remake atas properti pertama Niantic, tapi di saat yang sama Ingress Prime juga menjadi panggung demonstrasi atas usaha besar Niantic mengembangkan Real World Platform besutannya selama ini.

Kita tahu bahwa AR secara umum punya potensi yang sangat luas di luar ranah gaming, dan itu juga berlaku untuk teknologi yang dikerjakan Niantic. Buktinya, United Nations World Tourism Organization (UNWTO) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah bekerja sama dengan Niantic, dengan tujuan untuk meningkatkan turisme global melalui game AR.

Baik UNWTO maupun Niantic belum membeberkan secara detail mengenai rencananya. UNWTO hanya bilang bahwa teknologi AR besutan Niantic dapat membantu orang-orang jadi lebih terlibat dengan beragam lokasi dan komunitas di berbagai belahan dunia, dan caranya pun sangat bervariasi.

Pokemon GO sejatinya bisa menjadi bukti atas pernyataan UNWTO tersebut. Game itu terbukti mampu menggerakkan jutaan orang untuk mengeksplorasi lokasi-lokasi baru, dan di sana mereka juga membangun komunitas dengan skala amat besar.

Kolaborasi dengan Niantic ini merupakan salah satu dari agenda kampanye Travel.Enjoy.Respect yang dicanangkan UNWTO. Pihak Niantic sendiri bilang bahwa mereka berencana menciptakan “petualangan baru” bersama UNWTO untuk meningkatkan kesadaran akan misi mereka dalam memajukan ekosistem turisme.

Sumber: Niantic dan UNWTO via VRFocus.

Snap Siap Rilis Spectacles Generasi Baru dengan Sepasang Kamera dan Kapabilitas AR

Ketika Snap merilis Spectacles generasi kedua pada bulan April lalu, banyak yang merasa kecewa karena pembaruan yang dibawanya kurang begitu signifikan. Dua varian baru yang dirilis belum lama ini memang berhasil membenahi aspek estetikanya, akan tetapi fungsionalitasnya tetap sama persis, dan masih lebih pantas disebut sebagai kacamata berkamera ketimbang kacamata pintar.

Namun Snap diam-diam ternyata sedang menggodok versi baru Spectacles yang lebih canggih, berdasarkan informasi yang diterima oleh Cheddar. Versi baru Spectacles ini kabarnya bakal mengusung desain anyar dengan frame aluminium, dan mengemas sepasang kamera dengan kapabilitas augmented reality (AR).

Kita tahu bahwa AR bukanlah bidang yang asing buat Snap, dan mereka juga dengan bangga menyebut dirinya sebagai perusahaan kamera. Perpaduan dua kamera ini pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk menempatkan filter AR dan menciptakan efek 3D pada foto-foto yang mereka ambil menggunakan Spectacles versi baru.

Meski kedengarannya menjanjikan, perangkat ini hanya akan diproduksi sekitar 24.000 unit dan harganya pun diperkirakan berkisar $350 saat dipasarkan pada akhir tahun nanti, jauh lebih mahal dari pendahulu-pendahulunya. Snap sejatinya tidak mau mengulangi kesalahannya dengan Spectacles generasi pertama. Kala itu, mereka memproduksi sekitar 800.000 unit, dan pada akhirnya banyak sekali sisa unit yang tidak terjual.

Kendati demikian, ini sama sekali bukan pertanda Snap sudah mulai menyerah di bidang hardware. Pada kenyataannya, Snap tidak segan merugi sampai tahun 2020 demi mengembangkan portofolio hardware-nya, sebab Evan Spiegel selaku CEO-nya yakin ini penting untuk strategi jangka panjang Snap.

Sumber: Cheddar.

SnapCard Kembangkan Produk Kartu Nama dengan Sentuhan Augmented Reality

Augmented Reality (AR) menjadi salah satu teknologi yang dianggap mampu merepresentasikan masa depan. Di industri game, teknologi AR sudah banyak diimplementasi dan dieksplorasi. Di Indonesia sudah ada beberapa startup yang hadir dengan mengusung teknologi ini, salah satunya adalah SnapCard. Di tangan SnapCard kartu nama tidak hanya selembar kertas yang berisikan informasi/kontak pribadi, namun juga informasi lainnya dalam bentuk digital.

Teknologi AR digunakan oleh SnapCard untuk mengenali kode di kartu nama, kemudian menampilkan konten visual berupa video, 3D model, dan tautan-tautan yang terhubung langsung ke media sosial atau situs pemilik kartu. Dengan teknologi ini diharapkan bisa memberikan kesan yang lebih menarik dan interaktif kepada rekan bisnis.

“Dengan SnapCard setiap orang bisa membuat kartu nama digital dan masing-masing akan mendapatkan kode yang dinamakan SnapCode. SnapCode ini bisa dikenali melalui AR Scanner yang terdapat di aplikasi atau bisa juga dibaca memakai QR scanner. Untuk membaca SnapCode tidak harus menggunakan aplikasi kami. Bahkan kalau di iPhone cukup buka kamera dan point ke SnapCode maka kartu nama digital orang tersebut bisa terbaca,” terang CEO SnapCard, Budi Sinaga.

SnapCard mulai beroperasi pada Oktober tahun 2017. Mereka juga menjadi salah satu startup yang terpilih mendapatkan insentif program Inkubasi Bisnis Teknologi 2017 dari Kemenristekdikti. Untuk melebarkan sayap, pada Mei 2018 mereka mulai menjalin kerja sama dengan Accelerion, sebuah perusahaan asal Australia untuk memasarkan produk SnapCard.

Inovasi SnapCard juga akan terus dilanjutkan dalam bentuk produk untuk perusahaan. Kepada DailySocial Budi menjelaskan tahun depan mereka akan meluncurkan produk untuk bisnis dengan fitur yang lebih mendalam.

“Awal tahun depan kami akan merilis SnapCard untuk perusahaan, di mana fitur-fiturnya akan lebih banyak. Dengan SnapCard perusahaan dapat mengontrol database pelanggan serta memberikan report mengenai customer mereka. Fitur yang kami usung untuk perusahaan adalah brosur digital yang kami namai SnapLet,” jelas Budi.

CEO SnapCard Budi Sinaga / SnapCard
CEO SnapCard Budi Sinaga / SnapCard

Inovasi brosur digital AR di tahap awal nantinya akan menggunakan aplikasi SnapCard, namun untuk pengembangan selanjutnya brosur bisa dibuka tanpa aplikasi atau hanya perlu mengakses dengan aplikasi web browser pengguna.

Lebih jauh Budi juga menjelaskan bahwa mereka tengah mengembangkan aplikasi Loyalty AR untuk perusahaan yang didesain untuk mempermudah promosi. Diharapkan ke depan masyarakat tinggal membuka kamera AR dan diarahkan ke benda yang diinginkan, kemudian langsung bisa melakukan pencarian untuk harga, toko yang menjual, dan promo-promo yang sedang berlangsung.

“Target kami saat ini adalah mendapatkan pengguna sebanyak-banyaknya. Sehingga kalau orang bertemu atau berkenalan tidak lagi menanyakan kartu nama tetapi mereka akan bertanya, SnapCard mu mana,” tutup Budi.

Application Information Will Show Up Here

Niantic Luncurkan Game AR Baru, Ingress Prime

Niantic punya game augmented reality baru. Judulnya Ingress Prime, dan sama seperti Pokemon Go, game ini juga bakal mengajak para pemainnya untuk berdiri, keluar rumah, berkeliling dan bertatap muka dengan pemain lain.

Secara teknis, Ingress Prime sebenarnya bukanlah sebuah IP (intellectual property) baru, melainkan remake dari game pertama Niantic, Ingress. Ingress diluncurkan di tahun 2012, jauh sebelum pengguna smartphone mengenal istilah AR seperti sekarang.

Ingress Prime di sisi lain benar-benar memaksimalkan perkembangan pesat teknologi AR selama beberapa tahun terakhir. Contoh yang paling gampang adalah, dalam Ingress prime, pemain bisa menempatkan peta 3D dari sebuah lokasi di atas meja makan atau meja ruang tamunya guna mengatur strategi sebelum berkunjung ke tempat tersebut.

Ingress Prime

Konsep permainannya masih sama. Pemain diminta untuk memilih satu dari dua faksi yang ada: The Enlightened yang futurist, dan The Resistance yang konservatif. Kedua faksi pada dasarnya bakal berebut kekuasaan dengan mengamankan portal-portal yang muncul, biasanya di lokasi landmark sungguhan.

Sebelumnya, lokasi portal yang tersedia hanya berjumlah ratusan ribu, tapi sekarang Ingress Prime menawarkan jutaan lokasi yang tersebar di seluruh dunia. Grafis, jalan cerita, semuanya turut diperbarui agar Ingress Prime terasa seperti game modern.

Ingress Prime

Seperti halnya Pokemon Go, Niantic juga berencana menghelat event besar-besaran untuk Ingress Prime. Ada 12 event berskala masif yang sudah direncanakan; tiga untuk kawasan Asia, tiga untuk Eropa, dan tiga sisanya untuk Amerika. Event ini akan dimulai pada 17 November nanti di kota-kota besar seperti Barcelona, Austin maupun Hong Kong.

Ingress Prime bisa dibilang sebagai kulminasi investasi Niantic pada Real World Platform besutannya. Sejumlah perusahaan telah Niantic akuisisi demi mewujudkan visinya ini, yang paling menonjol adalah Escher Reality pada bulan Februari lalu.

Ingress Prime saat ini sudah bisa diunduh secara cuma-cuma dari Google Play maupun App Store.

Sumber: VentureBeat.

Application Information Will Show Up Here

Snap Camera Persilakan Siapapun untuk Memakai Snapchat Lens dari Komputer

Juli lalu, Snapchat meluncurkan Lens Explorer demi memudahkan pengguna untuk menambatkan filter wajah maupun objek augmented reality yang interaktif garapan komunitas. Menarik, tapi hanya untuk pengguna Snapchat saja. Bagaimana seandainya fitur Lens ini juga dapat digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki akun Snapchat?

Pemikiran seperti inilah yang pada akhirnya melahirkan Snap Camera, yang secara spesifik dirancang agar siapapun dapat ikut merasakan keseruan bermain-main dengan fitur Lens melalui komputer. Ya, Snap Camera bukanlah aplikasi untuk Android maupun iOS, melainkan untuk Windows dan macOS.

Snap Camera

Snap Camera pada dasarnya tidak lebih dari sebatas Lens Explorer untuk desktop. Pengguna bisa melihat-lihat dan mencoba langsung beragam filter wajah AR yang tersedia, untuk kemudian digunakan di aplikasi lain seperti Skype, Google Hangouts, OBS, YouTube, Twitch via extension, maupun yang berupa web app seperti Facebook Live.

Sejauh ini sudah ada lebih dari 250 ribu Lens karya komunitas yang tersedia, dan semua ini dapat ditambatkan ke tampilan webcam demi memeriahkan sesi video calling ataupun live streaming. Khusus untuk para streamer Twitch, mereka dapat mengakses Lens bertema gaming dari judul-judul seperti League of Legends, Overwatch, World of Warcraft, dan PUBG.

Snap Camera

Satu-satunya aplikasi video chat ternama yang tidak kompatibel dengan Snap Camera adalah FaceTime, tapi toh pengguna Mac tetap bisa memakai alternatif seperti Skype kalau memang tertarik mencoba Snap Camera. Aplikasinya sekarang sudah bisa diunduh secara cuma-cuma, dan seperti yang saya bilang, Anda sama sekali tidak harus memiliki akun Snapchat untuk bisa menggunakannya.

Sumber: Snap dan TechCrunch.

Persis Kacamata Biasa, Focals Unggulkan Teknologi Retinal Projection dan Integrasi Alexa

Februari lalu, Intel memamerkan prototipe kacamata pintar buatannya yang bernama Vaunt. Namun sebelum perangkat itu sempat terealisasi, entah kenapa Intel memutuskan untuk menyetop pengembangannya.

Sangat disayangkan memang, mengingat Vaunt menyimpan teknologi retinal projection yang amat istimewa. Teknologi ini sangat berbeda dibanding yang diterapkan pada Google Glass, dan karena konten diproyeksikan langsung ke retina, semuanya akan selalu kelihatan fokus.

Kabar baiknya, Intel ternyata bukan satu-satunya perusahaan yang mampu mengimplementasikan teknologi retinal projection pada kacamata. Baru-baru ini, sebuah startup asal Kanada bernama North menyingkap kacamata augmented reality bernama Focals yang mengusung teknologi serupa.

North Focals

Seperti Vaunt, Focals juga memanfaatkan retinal projection sehingga konten hanya dapat dilihat oleh penggunanya saja, dan dari luar fisiknya kelihatan persis seperti kacamata biasa. Proyektor laser ini mengambil ruang kecil di pelipis sebelah kanan, bersamaan dengan komponen elektronik lainnya.

Kalau Anda bingung North ini datang dari mana kok tiba-tiba membuat terobosan secanggih ini? Well, mereka adalah Thalmic Labs yang sudah berganti nama.

Thalmic Labs adalah pengembang Myo Armband, yang baru-baru ini dihentikan pemasarannya, sebab Thalmic ingin berfokus sepenuhnya pada produk barunya. Produk baru yang dimaksud adalah Focals ini, yang ternyata juga sesuai dengan rumor yang beredar sebelumnya.

North Focals

Yang tidak banyak orang ketahui adalah, Intel merupakan salah satu investor North. Dua tahun lalu, North yang kala itu masih bernama Thalmic Labs meraih pendanaan senilai $120 juta dari Intel Capital, Amazon Alexa Fund, dan Fidelity Investments Canada. Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan mengapa Intel menyetop pengembangan Vaunt.

Melihat ada nama Amazon sebagai salah satu investornya, Anda tak perlu terkejut mengetahui Focals dibekali integrasi Alexa. Ya, kacamata ini dapat Anda operasikan dengan perintah suara layaknya Vuzix Blade, dan Alexa bakal merespon secara lisan (via speaker terintegrasi) atau menampilkan informasinya secara visual. Namun perintah suara bukan satu-satunya metode input yang ditawarkan Focals.

North Focals

Setiap paket penjualannya turut disertai semacam cincin kecil bernama Loop. Cincin ini mengemas joystick imut-imut yang bisa digerakkan ke empat arah sekaligus diklik. Jadi ketika Loop Anda pasang di telunjuk, Anda bisa mengoperasikan Focals dengan menggerakkan joystick-nya menggunakan ibu jari, tanpa sekalipun mengangkat tangan Anda.

Lalu apa saja yang bisa pengguna lakukan dengan Focals setelah perangkat tersambung ke ponsel Android atau iPhone via Bluetooth? Dari yang sederhana seperti membaca pesan teks sekaligus meresponnya, mengakses kalender dan reminder, memantau ramalan cuaca, sampai menerima panduan navigasi turn-by-turn maupun memesan Uber. North bilang bahwa Focals mampu menyajikan informasi-informasi ini secara proaktif sesuai konteks.

North Focals

Di samping Loop, paket penjualan Focals juga mencakup sebuah carrying case yang merangkap peran sebagai charger untuk Focals dan Loop sekaligus. Untuk pemakaian standar, baterai Focals diperkirakan bisa bertahan sampai sekitar 18 jam, sedangkan Loop sudah pasti lebih awet dari itu.

North berencana memasarkan Focals sebelum akhir tahun ini seharga $999. Focals bakal hadir dalam dua varian desain: Classic dan Round, dengan tiga pilihan warna (hitam, abu-abu dan tortoise).

Satu kekurangan Focals adalah ketersediaannya. Ia tak bisa dibeli secara online begitu saja. Konsumen diwajibkan datang ke showroom North di kota Toronto atau New York untuk melakukan pengukuran terlebih dulu, sebab North ingin produknya benar-benar nyaman dipakai oleh masing-masing konsumennya.

Sumber: VentureBeat dan North.