Untungnya QR Code Masih Bertahan

Selama saya bekerja di Soundbuzz (awal tahun 2000an), teringat akan QR Code yang selalu tertera pada kartu nama sebagian besar pegawai Nokia yang saya temui. Tidak begitu jelas kemana QR Code itu tertaut, namun pada saat itu QR Code diremehkan. QR Code itu tidak penting, bahkan semakin tidak jelas ketika dibuat menjadi desain. Pengalaman penuh pemindaian QR Code terbilang pelik, memakan waktu, dan acap kali gagal.

Harian Kompas bahkan mencoba untuk menghubungkan offline dan online (bayangkan) dengan menempatkan QR Code di samping artikel, yang menurut saya tidak berjalan mulus karna mereka menghentikan hal itu. Banyak percobaan pemasaran yang menggunakan QR Code berhenti karna tidak bisa memindai kode – seringkali, anda harus memiliki aplikasi khusus memindai. Hal ini terjadi sebelum era ponsel pintar – tidak ada yang benar-benar peduli pada aplikasi ponsel (terkecuali permainan).

Ketika masyarakat mulai menggunakan BlackBerry, mereka bisa menambahkan kontak secara nyata menggunakan QR Code (sesuatu yang menurut saya ditiru oleh aplikasi chat lain) menggunakan aplikasi kamera dalam BBM, tetapi yang tidak diketahui banyak orang adalah, aplikasi itu bisa digunakan untuk memindai jenis QR Code apapun, termasuk yang langsung megarahkan ke situs web – semua tergantung pada konten QR Code-nya. Pada dasarnya, Anda bisa menyandikan teks apa saja dalam QR Code, termasuk alamat situs. Lalu ketika kebanyakan orang menggunakan ponsel pintar, tidak semuanya memiliki alat pemindai QR Code yang terpasang dalam kamera atau aplikasi bawaan.

Bersama semua sindiran yang ditujukan pada QR Code (khususnya dalam pemasaran), manfaatnya jelas – sebagai sarana untuk menyampaikan informasi (atau tautan) secara instan, yang dapat disematkan dalam bentuk cetak atau digital, dan dapat memuat teks lebih panjang dalam ruang yang lebih kecil. Kode akan dibuat atas apa yang tidak bisa dilakukan barcode – yang tidak bisa mencakup informasi terlalu banyak (dimana akan semakin panjang), tidak bisa menggunakan simbol spesial, dan tidak terbaca oleh layar ponsel.

Jadi sekarang QR Code sudah tidak bisa lagi diremehkan

QR Code adalah batu loncatan dari kebanyakan aplikasi pembayaran yang ada saat ini, bahkan pengemis di jalanan diduga menerima donasi menggunakan QR Code. Pemindai genggam yang tidak menggunakan lensa, melainkan laser untuk membaca QR Code telah mengambil alih pengalaman pemindaian lamban yang membuat QR Code tidak diminati. Sementara software untuk memindai QR Code sekarang semakin cepat – beberapa aplikasi bahkan menyertakan tombol untuk menyalakan lampu senter di ponsel demi memastikan pencahayaan optimal untuk pemindaian. Sebagai gambaran tajuk, banyak klien dari Wooz.in yang berpaling menggunakan gelang QR Code yang jauh lebih hemat biaya dibandingkan gelang RFID yang menjadi inti bisnis kami sebelumnya.

Menurut saya, apa yang terjadi ketika QR Code pertama kali muncul, banyak orang mulai menggunakannya untuk berbagai macam hal, dimana saat ini, pengalaman pengguna semakin jauh lebih baik sehingga dalam kegiatan yang menggunakan QR Code, pengalaman yang optimal pada sistem yang kerap tertutup dapat tersampaikan. Sebagai sebuah efisiensi biaya dan ruang, saya pikir kita bisa melihat lebih banyak pengalaman khusus industri, terlebih dalam hal interkoneksi dunia fisik dan digital.


Artikel ini telah dipublikasi ulang dengan suntingan dan izin dari Ario Tamat. Sumber asli dari Medium.

Ario adalah co-founder dari Ohdio dan Wooz.in. Terhubung dengan Ario di Twitter @barijoe.

Thank God The QR Code Refused to Die

During my days at Soundbuzz (in the early 2000’s), I remember that there was always a QR Code printed on the business cards of most Nokia people I met. I don’t really remember what the QR Code linked to, but even at that time, the QR Code was derided. It was ugly, and even uglier when you tried to embed it into a design. The whole experience of scanning QR Codes was arcane, time-consuming, and and many times unsuccessful.

The Kompas newspaper even tried out connecting the offline and the online (imagine that) by placing QR Codes alongside articles, which I guess didn’t pan out because they stopped doing that. Many marketing engagements utilizing QR Codes fell flat because many couldn’t scan the code — most of the time, you had to have a special app to scan. And this was before the smartphone era — nobody really thought about applications for phones (with games being the exception).

When people started using Blackberrys, you could actually add new chat contacts on BBM by scanning the QR Code (something which I think many chat apps have copied) using the camera app within BBM, but what most people didn’t know was that it could be used to scan any QR Code, including those directing to websites — it just depended on the QR Code’s content. You can basically encode any text into a QR Code, which included website addresses. And when people started using smartphones, not all had QR Code readers built-in into the camera or an app preloaded.

With all the derision the QR Code received (especially in the marketing world), the benefits were clear — it was a way to relay information (or a link to information) instantly, which could be embedded into print or digital form, and could accommodate longer text strings within a smaller space. QR Codes would build upon what barcodes couldn’t do — barcodes couldn’t store too much information (lest they become longer and longer), couldn’t use special symbols, and couldn’t be read off a phone screen.

So now QR Codes don’t seem such a pain in the ass, don’t they?

QR Codes are the cornerstone of many payment-related applications today, to the point that beggars on the streets allegedly use QR codes to accept donations. Commercial handheld scanners that use lasers, instead of lenses, to read QR Codes have taken away the notoriously sluggish code reading experience that once made them unwanted. And software for QR Code reading is so much faster now — some apps even include a toggle to turn on the flashlight on the phone to make sure lighting conditions are optimum for scanning. And as in the header picture, a lot of Wooz.in’s clients have moved towards using QR Code wristbands, which are much more budget-efficient compared to RFID wristbands, which were the previous staple of our business.

I think what happened was that when QR first came around, people started to use them for everything, while now, user experience design is so much better so that in the event QR Codes are needed, an optimal, most often closed-system, experience can be delivered. And since they’re so cost-and-space efficient, I think we’ll be seeing more industry-specific uses down the line, especially when it comes to interconnecting the physical world with the digital one.


This article has been republished with editing and permission from Ario Tamat. Original source is from Medium.

Ario is a co-founder of Ohdio and Wooz.in.  Keep up with him on Twitter at @barijoe.

Bagaimana Baiknya Startup Indonesia Bergerak Tumbuh Menuju Seri A?

Sejak 2012, saya telah bekerja di dalam yang sering disebut “industri startup” — yang dalam konteks ini pada dasarnya berarti startup teknologi — dengan bekerja di Wooz.in sambil membangun Ohdio.FM. Lima tahun terakhir saya lewati dengan sedikit penyesalan, sepertinya ketidakmampuan diri saya adalah faktor utama yang menyebabkan kedua startup yang saya jalani belum menjadi sukses besar. Tapi ini bukan tulisan introspektif.

Berbagai versi inkubator, akselerator dan VC pendanaan awal (seed) telah datang dan pergi dalam beberapa tahun ini, begitu pula VC untuk tahap-tahap pendanaan lain. Setelah berupaya mendapatkan kontak berbagai VC dan bertemu dengan mereka dalam rentang bulanan sampai tahunan, baru saya pahami gambaran besar soal tahapan-tahapan pendanaan.

Meskipun ada beberapa program seed/alpha baru-baru ini, kebanyakan dari jaringan atau VC dari luar negeri, terhitung akhir tahun lalu, hanya ada 2-3 program inkubasi startup yang besar. Ini bukan masalah karena mengelola inkubator tidak mudah, terutama karena banyak startup yang masih polos berpikir bahwa inkubator adalah jalan pasti menuju sukses (sori, nggak). Lalu medannya kosong, sampai VC-VC Seri A dan seterusnya yang akan memberikan uangnya pada startup yang cerdas dan mampu.

Semenjak hari-hari awal memasuki industri startup, saya sudah sering mendengar bahwa masalah besar startup Indonesia adalah scaling up, bergerak tumbuh. Sejauh pengalaman saya sampai hari ini, hal ini masih menjadi masalah. Ada banyak faktor yang memberi efek negatif terhadap pergerakan tumbuh, sehingga saya asumsikan ini adalah masalah tingkat industri, dan bukan hanya persoalan dengan para founder (tapi saya akui, untuk saya sendiri, ini menjadi persoalan).

Jadi, ada jalur yang putus antara tingkat seed/incubator sampai kantong-kantong uang di Seri A (yang tidak seseksi kedengarannya, karena biasanya investasi hanya akan berkesinambungan apabila kinerja startup tersebut dianggap baik pada KPI yang berdasarkan data). Program-program seperti Gerakan 1000 Startup, Telkomsel NextDev dan yang lainnya, membantu orang untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai untuk membangun dari ide sampai proses bisnis (dan ya, penekanannya pada eksekusi secara bisnis, bukan programming). Setelah itu, semuanya terserah Anda, punya uang maupun tidak dan siap atau tidak untuk menghasilkan uang, sampai Anda dapat berbicara lagi pada VC tingkat Seri A.

Supaya jelas: VC itu cari uang. Mereka menghasilkan uang (di atas kertas) dari peningkatan nilai pemegang saham dengan berinvestasi pada bisnis risiko tinggi, dengan harapan saham tersebut suatu hari dapat dijual dengan nilai berkali-kali lipat, atau bahkan pada harga-harga bursa saham. Ini sebabnya seed VC akan lebih melihat pada foundernya ketimbang bisnisnya, karena pada akhirnya ini sebuah pertaruhan terhitung.

VC Seri A biasanya hanya akan investasi ke startup yang sudah memenuhi hal berikut:

  • Ada pasar cukup luas yang siap menerima produk/jasa, dengan data angka yang jelas
  • Siklus bisnis yang sudah matang: proses dari akuisisi pelanggan sampai penjualan perlu sampai pada tingkat sudah ada biaya akuisisi pelanggan, dan tinggal masalah “nambahin bensin ke mesin”.
  • Diutamakan pasar dengan kompetitor lain atau bisnis yang mirip di pasar lain, yang memberikan validasi tambahan pada model bisnisnya
  • Tren startup saat ini. Ini bukan sekedar mengikuti “selera zaman”, tapi terkait dengan tahap investasi selanjutnya dan potensi exit (penjualan saham secara keseluruhan). Makin banyak pihak yang tertarik pada sebuah industri, makin tinggi kemungkinan exit.

Pasti banyak contoh yang tidak mengikuti prinsip-prinsip di atas, tapi ini merupakan kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi saya dengan berbagai VC dalam upaya menggalang dana investasi.

Nah bagaimana caranya untuk bergerak dari teknologi yang terbukti, ke siklus bisnis yang dapat berulang, dan bergerak tumbuh sampai layak mendapatkan Seri A?

Sepertinya ini masalah dengan beberapa startup di Indonesia. Mungkin tidak cukup mentor atau jaringan untuk membantu ribuan startup yang ada di Indonesia, dan tidak banyak VC mau investasi di tahap pra-Seri A, yang pada akhirnya sama dengan bertaruh pada investasi seed, tapi dengan uang lebih banyak (sehingga risiko untuk tidak balik modal lebih tinggi). Banyak startup-startup yang sudah bertahan dari tahun-tahun awalnya, beralih menekankan pemasukan ketimbang pertumbuhan. Tidak ada masalah dengan itu, hanya saja, perusahaan-perusahaan ini tidak akan tumbuh dengan cepat.

Di sisi lain, beberapa VC telah menemukan cara untuk memanfaatkan dana VC untuk investasi ke real estate — melalui jaringan co-working space. Ini baik untuk para VC, tapi dana yang bisa diakses untuk perusahaan lain yang membutuhkan pertumbuhan jadi berkurang.

Jadi, bagaimana alternatif jalan keluarnya? Mari kita diskusi ide.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dalam bahasa Inggris dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Empat Mitos Saat Menjadi Founder Startup

Dibalik gemerlapnya memangku posisi sebagai seorang pemimpin perusahaan, ada banyak mitos yang berseliweran di telinga orang-orang. Ada yang mengatakan CEO itu memiliki banyak kebebasan, harus pintar, bisa datang kantor kapan saja, dan masih banyak lagi. Benarkah demikian?

Acara diskusi #SelasaStartup yang diselenggarakan DailySocial setiap pekannya kali ini menghadirkan CEO Wooz.in Ario Tamat untuk berbagi pengalaman pribadinya selama menjadi CEO. Berikut rangkumannya:

1. Punya ide bagus, pasti bakal kaya raya

Banyak yang menyebut, startup itu lahir dari ide. Itu memang benar, namun menurut Ario bukan berarti setiap orang yang punya ide pasti jadi orang kaya. Ario berpandangan, ide itu justru tidak berarti tanpa ada langkah eksekusi, ide brilian sekalipun. Terlebih selama beberapa tahun belakang, tren mendirikan startup mulai marak di Indonesia.

Ini yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba mencari ide bagus untuk mendirikan startup, namun akhirnya tidak bisa bertahan lama karena eksekusinya yang kurang tepat.

“Ide saja tidak cukup, yang terpenting bagaimana eksekusinya. Sebab semua orang itu punya ide, maka perlu riset yang bagus agar tepat bagaimana mengeksekusi. Apalagi saat ini VC mulai memilih-milih tidak ingin sembarang investasi ke startup baru,” kata Ario.

2. Saya bangun startup karena tidak ingin kerja dengan orang lain

Semua orang banyak yang mengira, pengusaha itu memulai startup karena tidak ingin bekerja di bawah orang lain. Perkiraan itu salah. Menurut Ario, justru orang yang ingin mendirikan startup perlu merintis kariernya terlebih dahulu lewat bekerja di perusahaan lain.

Ario malah menyarankan kepada calon founder startup untuk bekerja di perusahaan yang semi/well-established sebab di sanalah banyak bekal ilmu yang bakal berguna ke depannya.

“Kalau baru lulus [kuliah] langsung mendirikan startup itu omong kosong. Kalau belum kerja dengan orang artinya Anda belum kerja sebenarnya. Butuh banyak waktu untuk belajar banyak hal mengenai organisasi, sistemnya, apalagi menghitung profit & loss. Mengatur cashflow terlihat mudah, namun sebenarnya tidak.”

3. Bangun startup, langsung cari investor

Startup memang menjadi sasaran empuk bagi para investor, baik itu angel investor maupun modal ventura. Namun, dengan banyaknya startup yang bertebaran secara tidak langsung membuat investor jadi lebih selektif. Risiko gagalnya pun jadi makin besar.

Ario menyarankan kepada founder untuk menggunakan cara cepat yakni membuat model bisnis yang bisa menghasilkan uang sejak pertama kali berdiri. Dengan cara ini diyakini bisnis akan lebih dapat bertahan lama karena tidak bergantung pada bantuan sokongan dana dari orang lain.

“Saran saya sebaiknya ditunda dulu [cari investor] semundur mungkin, atau sampai mereka yang datang ke startup Anda. Sebaiknya benerin dulu proses bisnisnya, cari aman dengan membuat bisnis yang bisa menghasilkan profit. Gratis sebaiknya jadi strategi, bukan komponen utama. Pastikan bisnis jalan terlebih dahulu.”

4. Banyak waktu luang

Karena startup itu dibangun oleh diri sendiri, bukan berarti Anda memiliki banyak waktu luang tidak harus kerja. Hal ini belum tentu berlaku bagi startup yang sudah memiliki manajemen yang terorganisir. Untuk startup dengan tim yang terbatas, tentunya distribusi pekerjaan bakal tidak merata. Kesempatan untuk mengalihkan pekerjaan pun jadi tidak terasa mungkin.

“Urusan printil-printilan memang kecil, namun kalau banyak itu kan tetap makan waktu luang.”

Terkait kebebasan waktu luang, juga ada kaitannya dengan berpakaian. Banyak yang mengira bekerja di perusahaan startup itu memiliki gaya busana bebas, apalagi bagi seorang CEO. Di satu sisi, menurut Ario, hal itu benar tapi sangat tergantung pada kondisi.

Menurutnya CEO itu menjadi panutan bagi timnya, sehingga cara berpakaiannya diharapkan bentuk cerminan dari perusahaan itu sendiri.

“Berpakaian sesuai kebutuhan saja, bukan berarti berfantasi pakai kaus dalam saja seperti orang bule. Realita tetap bakal mengikuti kebutuhan gaya berpakaian seorang CEO,” pungkas Ario.

Apakah Pemblokiran Efektif Memerangi Pembajakan?

Beberapa waktu lalu, melalui Satgas Anti-Pembajakan yang pernah diinisiasi, Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) mengumumkan telah menutup puluhan situs online yang menyebarkan karya musik dan film digital bajakan. Mungkin langkah semacam ini bukan hal baru yang pernah kita dengar. Sebelumnya pemerintah melalui badan lainnya juga sering melakukan perang konten negatif dengan cara yang sama. Hasilnya terlihat booming sesaat, namun tak signifikan mengubah. Mati satu, tumbuh seribu.

Muncul sebuah pertanyaan, “apakah proses pemblokiran adalah langkah tepat di tengah lautan digital Indonesia yang makin terfragmentasi?”.

Menurut Ketua Satgas Anti-Pembajakan Bekraf Ari Juliano Gema, pemblokiran dinilai efektif menurunkan arus pengguna, meskipun selalu ada cara untuk mengakali, misalnya dengan mengganti nama domain. Selain itu langkah penutupan situs ini juga dilakukan untuk mengurangi periklanan judi dan pornografi yang biasa dipakai situs film dan musik bajakan.

“Dengan hancurnya traffic, iklan tidak mau datang. Situs ilegal itu pasti kesulitan bertahan karena mereka butuh server yang biayanya tidak murah,” ungkap Ari seperti dikutip dari BeritaSatu.

Layanan streaming belum mendominasi, tapi ada potensi tinggi di dalamnya

Sebagai representasi pemerintah untuk membereskan kasus di industri kreatif, Bekraf sudah menawarkan beberapa alternatif untuk suksesi industri ini. Sebut saja rencana pengembangan Gempita, sebuah paket komplit yang menyajikan kepada industri musik keperluan pemasaran, perlindungan HAKI hingga penyampaian produk ke konsumen. Layanan yang dinilai akan mirip Spotify tersebut (di sisi konsumen) dilansir lantaran tren pengguna sudah mulai ke sana.

Dalam sebuah survei tentang penikmat musik di Indonesia, DailySocial mengemukakan sebuah fakta bahwa tren ini masih belum menyeluruh. Tercatat hanya 29,54 persen dari responden survei yang mendengarkan musik melalui layanan streaming, sedangkan 70,46% sisanya masih memilih jalur offline. Namun menariknya lebih dari separuh responden mengatakan memiliki kemauan untuk segera beralih ke layanan musik streaming yang saat ini sudah mulai ramai di pasaran.

Model streaming adalah salah satu yang bisa dioptimalkan untuk penyampaian karya digital ke tangan konsumen dengan cara yang legal. Cara lain pun masih banyak yang bisa dioptimalkan, misalnya dengan memberikan ruang penjualan yang lebih luas dan edukasi dini tentang HAKI. Di lapangan sangat banyak orang yang sebenarnya tidak sadar, bahwa apa yang mereka konsumsi (karya digital) adalah sesuatu yang tidak legal. Carut-marut konten di internet membuatnya kadang sulit dibedakan oleh masyarakat awam.

Membatasi yang ilegal, menyuburkan yang legal

Kami pun coba meminta pendapat dari pelaku di industri musik sekaligus digital di Indonesia saat ini, terkait dengan langkah antisipasi yang pas untuk melindungi bisnis tersebut.

“Aksi anti pembajakan oleh Bekraf is politically necessary. Efektivitas nomor dua. Bayangkan, aksi anti pembajakan itu kayak satpam dan metal detector di mall. It acts as a deterrence rather than actual enforcement or prevention,” ujar Ario Tamat, salah satu profesional di bidang entertainment dan digital.

Jika dilihat dari satu sisi, aksi pemblokiran ini akan terlihat efektif. Memburu sumber konten pembajakan dan menghentikannya bisa menjadi cara yang pas dengan tujuan dan strategi yang jelas.

“Pokoknya hidup pembajak dibuat sesusah mungkin, begitu sih kata Bekraf. Kalau objektifnya ini sih saya setuju. Gempita, TELMI, tidak cukup. Harus bisa membuka jalan untuk pengusaha creative economy dengan membuat solusi-solusi bagi industri musik dan film juga. Buka peluang bisnis sebesar-besarnya untuk bisa bersaing di pasar, jangan cuma memikirkan inisiatif level nasional.” lanjut Ario.

Nyatanya pembajakan seperti sebuah virus yang sudah bertahun-tahun dihadapi tapi tak pernah punah.

“Pembajakan sih tidak akan hilang, tapi untuk mereka beroperasinya saja yang dipersulit. Dengan dukungan yang sesuai untuk alternatif pilihan layanan dan metode distribusi musik lain, baru jalan. Harus jalan bareng,” pungkas Ario.

TELMI: Langkah Awal Yang Baik Untuk Industri Musik, Tapi…

Minggu lalu, di IESE, Badan Ekonomi Kreatif meluncurkan platform Telinga Musik Indonesia, disingkat TELMI. Dari yang bisa saya baca dari liputan yang ada di media, pada dasarnya platform TELMI ini terdiri dari dua komponen:

  1. hardware, berupa sebuah kotak internet-enabled yang kelihatannya dibuat dari platform Arduino atau Raspberry Pi, yang bertugas merekam lagu yang sedang dimainkan di sekitarnya dan mengirimkan ke aplikasi TELMI
  2. software aplikasi TELMI, berupa web-based application yang bertugas untuk menerima rekaman lagi dari hardware TELMI, mengenali lagunya apa, dan merekam ke dalam database.

Secara hukum (menurut UU Hak Cipta No. 28 tahun 2014), pencipta lagu, produser dan artis berhak mendapatkan sebuah royalti saat lagu mereka diperdengarkan ke umum di ruang komersil seperti hotel, restoran dan kafe. Selama ini, implementasi pengumpulan royalti ini. baik berdasarkan UU no. 28 tahun 2014 ataupun UU Hak Cipta sebelumnya, masih kurang efektif, karena beberapa hal:

  • sosialisasi atas hak royalti ini ke pihak hotel, restoran dan sebagainya masih kurang luas
  • dalam pengelolaan pengumpulan royalti sebelumnya, metode-metode yang digunakan masih kurang tepat (dari cara pengumpulan royalti yang, um, agak preman, sampai formula perhitungan royalti yang tidak transparan)
  • distribusi royalti yang tidak transparan

Semangat dari UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 adalah perbaikan pengumpulan royalti ini, yang sering diistilahkan public performance, dengan dibentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, dengan para komisionernya.

Salah satu tugas LMKN ini adalah menentukan tarif besaran royalti, yang setahu saya sampai saat ini belum diputuskan secara final. Namun, perangkat hukum dan birokrasi ini memang perlu ada dahulu sebagai fondasinya.

TELMI ini sebenarnya sebuah terobosan, karena akhirnya ada jawaban dari industri teknologi terhadap kebutuhan dari industri musik. Kebanyakan perusahaan teknologi yang ada lebih mencari peruntungan dengan menawarkan sesuatu langsung ke konsumen, yang pada akhirnya berkisar pada layanan musik download maupun streaming, dan perusahaan teknologi yang melakukan sesuatu yang lain masih sangat sedikit; mungkin karena ketidaktahuan komunitas teknologi mengenai masalah dan kesempatan dalam industri musik (bukan salah mereka, karena industri musik sendiri terkadang lupa akan berbagai kesempatan lain dalam industrinya sendiri).

Tapi kok…

Masalah pertama

Saya melihat diagram dari artikel ini (yang entah dari mana dapatnya, mungkin dibuat sendiri) dan seperti ada yang kurang.

bagan alir cara kerja TELMI
bagan alir cara kerja TELMI

Kotak TELMI diletakkan di sumber musik, yang akan merekam lagu, mengirimkannya ke aplikasi TELMI, yang dengan teknologi song fingerprinting seperti yang dimiliki Shazam, akan mengenali lagu tersebut dan memasukkannya dalam laporan. Laporan ini kemudian dapat diakses oleh pencipta lagu, produser, komposer dan musisi. Laporan ya, bukan uang. TELMI tidak mengumpulkan uang dan lebih berupa teknologi pengawasan/monitoring.

Yang melakukan pengumpulan uang dari pengguna musik seperti hotel, restoran dan sebagainya? Para Lembaga Manajemen Kolektif, sesuai persetujuan dari LMKN.

Dari liputan para media pun, Kepala Bekraf Triawan Munaf pun mengatakan bahwa TELMI itu untuk memberikan gambaran royalti yang bisa didapat oleh para musisi. Ya ini hanya satu langkah dari beberapa langkah yang perlu dilakukan, termasuk berkoordinasi dengan LMKN dan para LMK.

Siapa yang akan melakukan koordinasi? Apakah LMK melakukan pengumpulan laporan secara independen? Kalau ada perbedaan laporan gimana?

Masalah kedua

Ini bukan pertama kali pengawasan pemerintah berupa kotak berisi elektronik diletakkan dalam ruang-ruang komersil — pengawasan pajak sudah melakukan ini dengan memasang kotak yang mencatat transaksi pada kasir. Sebuah kotak berisi elektronik, yang tetap membutuhkan listrik, dan tetap membutuhkan sang pemilik usaha untuk menyalakannya dan memastikan kotak tetap nyala.

Bukan tidak mungkin, tapi tetap memerlukan perangkat pengawasan lain berupa hukuman dan insentif. Ini sudah ada atau belum? Dan di bawah wewenang siapa?

Masalah ketiga

TELMI beroperasi dengan mendengarkan lagu yang diputar. Nah, di ruang komersil seperti cafe atau restoran, ada yang menyetel lagu dari CD/MP3/file digital, ada pula dari live music. Apakah penerapan teknologi listening dan song fingerprinting ini akan selalu tepat guna?

perangkat Telmi / Liputan 6 - Dewi Widya Ningrum
perangkat Telmi / Liputan 6 – Dewi Widya Ningrum

Ada beberapa perusahaan di luar negeri yang melakukan sesuatu yang jauh lebih praktis untuk pemilik usaha: pengelolaan playlist lagu dan streaming dengan alat khusus, langsung ke sound system para pemilik usaha. Pencatatan lagu dapat lebih akurat (nggak perlu pakai song fingerprinting, wong lagunya dari server), pemilik usaha juga mendapatkan sebuah layanan yang mempermudah dan memperkuat usaha mereka, bukan cuma “dipalak” karena nyetel lagu. Mungkin gabungan teknologinya TELMI dan layanan streaming khusus bisnis ini bisa lebih cocok?

Masalah keempat

Song fingerprinting sangat tergantung database lagu yang lengkap, dari data fingerprint itu sendiri, sampai informasi seperti judul lagu, nama artis, pencipta lagu, publisher, dan seterusnya. Apakah database seperti ini sudah ada? Belum ada yang komprehensif.

Rasanya ini lebih mendesak untuk dibangun, dan lebih dekat pada kepentingan nasional (bukan saja kepentingan industri, tapi juga sebagai rekam budaya, misalnya). Informasi seperti ini malah lebih fokus dikumpulkan oleh layanan streaming/download, ataupun lembaga seperti Irama Nusantara. Rasanya ini lebih penting pada fondasi tadi, ketimbang memikirkan end user applications.

Masalah kelima

Yang membuat TELMI canggih, menurut saya, adalah song fingerprinting. Tapi menurut saya, ada kegunaan yang lebih cocok, yaitu media monitoring. Pasangkan aplikasi TELMI dengan seluruh siaran radio terestrial maupun online, sehingga kita benar-benar tahu lagu apa sedang disetel di radio mana dan kapan. Top 10 yang resmi dan datanya dapat dipertanggungjawabkan. Data ini berguna untuk pendengar musik, pelaku industri musik, brand maupun perusahaan riset. Teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk media monitoring iklan — berapa kali sebuah iklan radio (atau TV) tayang? Jual data ini ke perusahaan riset atau langsung ke brand. Jadi satu startup deh.

Memang, menjadi komentator sesuatu yang sudah jadi memang sangat mudah. Ah kurang ini, harusnya seperti itu, dan setelah itu puas karena sudah merasa lebih pintar ketimbang yang membuat. Di zaman penuh teknologi ini, terkadang masalah dan kekurangan pada sebuah produk teknologi baru jelas terlihat saat sudah dibuat dan dilempar ke pasar.

Ide — dan komentar — itu murah dan mudah didapat. Membuat sesuatu, apalagi punya nilai guna yang baik ke orang lain, itu yang susah. Berkarya tak mudah dan tak akan luput dari kritisi. Saya nggak mau sok lebih pintar, karena belum tentu juga saya bisa mengerjakan ini sendiri. Demi industri musik yang lebih luas, kompeten, berkesinambungan, interconnected, dan transparan.


Disclosure: Artikel ini pertama kali terbit di Medium dan dipublikasi ulang atas izin penulis, Ario Tamat.

Ario adalah co-founder Ohdio, layanan streaming musik Indonesia. Ia bisa dikontak melalui Twitter di @barijoe atau di blog-nya di http://barijoe.wordpress.com.

Ohdio Peroleh Pendanaan dari Pranala Group

Layanan streaming musik lokal Ohdio mengumumkan perolehan pendanaan dari Pranala Group, yang terdiri dari sejumlah perusahaan yang bergerak di bisnis digital. Salah satu hasil pendanaan ini adalah peluncuran ulang LaguGalau.com, sebuah segmen khusus lagu-lagu sendu, untuk desktop dan mobile browser.

Sejak kehabisan bahan bakar dan ditinggal oleh salah satu pendirinya, Ohdio praktis cukup stagnan dan mengandalkan spin off sejumlah situs untuk mempertahankan bisnisnya.

Kehadiran Pranala Group, yang di antaranya memiliki Wooz.in yang juga dipegang oleh Co-Founder Ohdio Ario Tamat, diharapkan mampu memberi sinergi bagi kedua belah pihak, termasuk memperkuat produk yang ditawarkan Ohdio untuk para brand dan agency secara umum.

Selain Wooz.in, Pranala Group juga menaungi Think.web, Talklink PR, dan Inmotion.

Ramya Prajna dari Pranala Group dalam rilis persnya menyatakan, “Bergabungnya Ohdio ke dalam keluarga Pranala memperkuat visi kami untuk memberdayakan usaha-usaha muda Indonesia dan kami harapkan akan saling memperkuat dan menguntungkan.”

Ario menambahkan, “Kami sangat senang dapat bergabung dengan keluarga Pranala. Tentunya, banyak yang bisa dilakukan bersama-sama dan dipelajari juga bersama. Mudah-mudahan baru ini dapat terus memperkuat Ohdio untuk ke depannya.”

Ario kepada DailySocial menyebutkan, selain LaguGalau, Ohdio memiliki beberapa proyek di pipeline pasca pendanaan ini. Yang ia bisa ceritakan saat ini adalah pengembangan segmen teknologi musik B2B (seperti yang diusahakan melalui Ohdio for Business).

Application Information Will Show Up Here

Revisiting “Are Digital Music Services Scalable”

With Rdio basically dying off and sold for parts, Beats Music dead and Zune finally taken off life-support, I thought it was a good time to revisit the article I wrote a year ago about digital music services.

In any “new” industry, there will always be a pioneer that basically proves the worthiness of a business model (or at least some aspect of it), after which they will continue to grow with ‘copycats’ (I’m using the term loosely here) following in step to see on whether they can build something for the new industry. As time has proven time and time again, the greatest beneficiaries of a new industry are not necessarily always the pioneers, as in the case of the smartphone, it took Apple to basically turn the market around although many players have dabbled in that market before with some success.

And just like in any other industry, growth spurts witnessing the birth of many similar-modeled businesses will continue for a time, until the business model itself will prove itself (or not) as something sustainable in the longer term. Bankruptcy and consolidation is unavoidable, whether it is triggered by government oversight or regulation, or the fact that the business model itself does not scale as well for multiple companies. Or perhaps in the case of music services, contracts like these simply don’t allow for a variety of company sizes.

Spotify continues to dominate the music streaming market due to their deep pockets (I mean, what else could it be?) while Apple and Google have their own streaming plays. While Rdio is probably the first of the more ‘international’ music streaming services to stop operating, there are probably many other regional- or local-based digital music services who are probably operating at a loss or defunct. That said, even Spotify is yet to be profitable. The winners of this game? Not even the artists, but the recording companies who own the masters of the songs. Yet, even when we say ‘recording companies’, it simply does not paint an accurate picture of what is actually going on, as with any other industry, there are big companies and there are small companies, with differing influence. And even they are trying to figure out what to do next.

So recent events have apparently confirmed what I postulated last year, that digital music services — to an extent — are not scalable. You either have to run a very lean ship to be sustainable, find multiple revenue streams (not be a pure consumer-facing play), or expand with no end using other people’s money with hopes of an IPO or acquisition down the line.

Why is it always a question of streaming vs downloads?

Another angle to this problem is the generated revenue itself. Warner says streaming income is overtaking downloads, while some high-profile artists, most recently Adele, have shunned streaming services in favor of supporting download services like iTunes. While it’s totally up to the artists — as it should be — to decide where they want to sell their music, thinking about one business model versus the other, I think, is counterproductive.

Artistes and musicians today, on differing scales and revenues, already enjoy a much more diverse choice of revenue streams: live shows, merchandise, experiential packages, games/apps, and so on. The increase of “screens” enjoyed by the fans must also be serviced by content produced by these artistes and musicians, so it should never be a discussion around streaming vs downloads, for instance.

If the music industry were to learn something from the movie industry, it wouldn’t be something like this, but making separate release windows for downloadable content and streamable content could be similar to how movie studios break down their release dates to cinema, then to DVD release or streaming services, and lastly TV. This could become the norm, instead of the exception, as some artistes have already done this before.

[Digital] music services will need a ‘big brother’

We have yet to see how Apple Music will fare, and I have no idea on how much money Google Play Music is actually making. But there is no doubt in my mind that they will thrive on, as both Apple and Google do not depend their livelihood from those services. That said, the services are needed for, at the least, customer retention, so they’ll definitely run their services properly. Deezer has some relations with Warner Music, Sony Music Entertainment is part of Sony, and Universal Music is part of the French conglomerate Vivendi. Rdio had Cumulus Networks as an investor, which was more of a strategic deal rather than an investment deal. Spotify? Spotify currently stands alone, and I would think they would have better chance to sell themselves to a ‘big brother’ rather than getting to IPO stage. But who will they sell to?

Simply put, if it doesn’t have Spotify’s scale (and as mentioned in the previous article, even Spotify would be under scrutiny here), a music service is bound to need a ‘big brother’ — a network or ecosystem of sister companies — to keep it afloat and either enhance the service, or make the service as part of a bigger experience. The multiple consumption “screens” that users now have simply doesn’t have space for standalone music services, or will not have. Consolidation in the industry will either be caught up with consolidation with other entertainment-driven services, or a consolidation of consumer offerings (for instance, instead of paying separate prices for Netflix, Hulu, Spotify, and so on, users can pay one price to enjoy everything).

As has happened with the major labels, who basically consolidated from 5 major players to 3, the digital-based entertainment industry will further consolidate, either through acquisitions, technology purchases and so on, and the ones with the largest consumer base (and sustainable business model, of course) will win. Naturally this would not include services serving special niches or market segments that by scale do not make sense for these giant companies to do, but niche companies like these will have limited room to grow anyway.

So what’s the takeaway?

For users — get used to more services shutting down or consolidating in the future.

For artistes/musicians — get your music on as many platforms as possible but do not expect a big payday. Your superfans will probably spend more for exclusive merchandise anyway (well unless you have the capabilities to become an international artist, of which you will definitely need an international-level music marketing company).

For aspiring music services — consumer-facing business models will simply not scale enough for you to be profitable (unless you’re Spotify). Find other ways of making money and target for sustainability over scale.


This article has been republished with editing and permission from Ario Tamat. Original source is from Medium.

Ario is a co-founder of Ohdio, an Indonesian music streaming service. He worked in the digital music industry in Indonesia from 2003 to 2010, and recently worked in the movie and TV industry in Vietnam. Keep up with him on Twitter at @barijoe or his blog at http://barijoe.wordpress.com.

B Dash Camp is Back in September 2015

B Dash Ventures, a Japan-based VC, will hold another B Dash Camp this coming September 17-18, 2015 in Kyoto, Japan. B Dash Ventures focuses on providing seed, early, or later stage funding to startups that have potential to be the next generation tech company. It opens the opportunity to startups that are based outside Japan to grab a bite of their money.

Continue reading B Dash Camp is Back in September 2015

Perhelatan B Dash Camp Kembali Digelar Pertengahan September 2015

bdash

B Dash Ventures, venture capital asal Jepang, kembali akan mengadakan perhelatan B Dash Camp pada 17-18 September 2015 nanti di Kyoto, Jepang. Meskipun diadakan di Jepang, tak menutup kemungkinan penggiat startup Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam perhelatan yang bisa dimanfaatkan untuk memperluas networking ini.

Continue reading Perhelatan B Dash Camp Kembali Digelar Pertengahan September 2015