Startup Unicorn Akulaku Terus Perluas Cakupan Bisnis Finansial

Akulaku mengumumkan pendanaan $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah dari Lend East. Investasi berbentuk debt funding tersebut akan dimanfaatkan Akulaku untuk meningkatkan portofolio kredit di pasar utama mereka, yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand. Seperti diketahui, sejak didirikan tahun 2014 aplikasi Akulaku sendiri menawarkan produk paylater dan cashloan untuk para konsumennya.

Sebelumnya Akulaku baru menerima pendanaan ekuitas senilai  $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB). Perolehan ini melanjutkan putaran investasi $125 juta di tahun sebelumnya yang dipimpin Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018. Secara total, saat ini valuasi Akulaku sudah menembus $1 miliar dan menjadikannya sebagai startup unicorn selanjutnya.

“Sejak tahun lalu Akulaku terus mengalami pertumbuhan dan dengan adanya pendanaan tambahan ini akan memungkinkan kami untuk terus memenuhi kebutuhan underbanked di seluruh Asia Tenggara,” ujar CEO Akulaku William Li.

Terus lakukan diversifikasi bisnis finansial

Pada 2021, Akulaku telah menyalurkan kredit lebih dari $ 2,2 miliar kepada lebih dari 10 juta pengguna. Selain layanan paylater, Akulaku menggabungkan platform wealth management, e-commerce, dan perbankan digital sehingga dapat meningkatkan total pendapatan perusahaan sebesar 120% menjadi $598 juta.

Untuk layanan bank digital, Akulaku memilih mengakuisisi 24,98% saham Bank Neo Commerce (mayoritas). Sejumlah rencana turut digencarkan dari kolaborasi tersebut, salah satunya lewat loan origination system, yakni sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

Selain itu, Akulaku juga mengembangkan serangkaian teknologi untuk meningkatkan kapabilitas perbankan memasuki era digital, beberapa produk yang disuguhkan di antaranya e-KYC, sistem verifikasi, sampai ke layanan pembayaran QR.

Sementara untuk layanan pinjaman, merekan mengandalkan platform fintech lending Asetku. Hingga saat ini total pinjaman yang sudah digulirkan mencapai 42 triliun Rupiah dengan total peminjam 13 ribu nasabah. Dan di platform wealth management, mereka mengembangkan OneAset, yakni aplikasi keuangan yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mengelola aset finansialnya, termasuk untuk berinvestasi ke reksa dana, surat berharga, hingga emas.

Kompetisi pasar

Di Indonesia, seluruh lini bisnis Akulaku harus bersaing dengan para pemain lain. Misalnya untuk payalter, saat ini ada Kredivo, Atome, hingga GopayLater yang menjadi penantang. Masing-masing juga memiliki dukungan besar dari induknya – termasuk untuk potensi menguasai pasar Asia Tenggara, seperti FinAccel, Advance Intelligence Group, dan GoTo.

Sementara di bank digital pun, saat ini persaingan juga terus diramaikan dengan inovasi produk dari pemain di ekosistem. Ada puluhan bank digital yang sudah mengudara dan siap meluncurkan debutnya. Dan untuk wealth management, puluhan aplikasi sejenis juga sudah dijajakan untuk investor ritel di Indonesia.

Terlepas dari diversifikasi produk finansial yang coba disuguhkan, pemain seperti Akulaku sebenarnya memiliki keunggulan strategis yang dapat dieksplorasi, yakni konektivitas di ekosistem digital yang dimiliki. Nyatanya pemain lain banyak bersinergi dengan pihak ketiga untuk menghadirkan kapabilitas tertentu – ambil contoh Bank Jago dengan Bibit/Stockbit untuk fitur investasi—yang mana hal ini bisa juga dilakukan oleh Neo Commerce dan OneAset; atau diaplikasikan untuk skenario model bisnis lain.

Application Information Will Show Up Here

Understanding Fintech Challenges and Opportunities amid Recession

The impact of the Covid-19 pandemic has finally brought Indonesia officially into a row of countries experiencing a recession. The Central Bureau of Statistics (BPS) recorded a growth of minus 3.49 percent Gross Domestic Product (GDP) on an annual basis (Year-on-Year/YoY).

This condition claims an alert for all the business sectors in Indonesia, considering that not a few have been affected by Covid-19. Business people, large to small, have struggled to survive this situation over the past few months.

How do fintech players run business in times of recession? See in full the interesting explanation from CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai and Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma in the following #SelasaStartup session.

Trend for consumer behavior and business impact

Pandemic triggers changes in consumer behavior in transactions. This trend applies worldwide, including in Indonesia. For OVO and Asetku, shifting from offline to online has a positive and negative impact on their business.

Based on company data, Jaygan admitted that there was a significant increase in food ordering (Grab Food) and online shopping (Tokopedia). Because of this shift, consumers tend to be promo-centric and cost-centric.

“We do see a decline, but it’s not as bad as we thought. We are trying to reach [the target] that we have corrected. Currently, we see that people are getting used to [transacting online] during the pandemic,” he said.

Meanwhile, Asetku, who plays in P2P lending, admitted that he experienced an increase in Non-Performing Loans (NPL) as a result of business difficulties during the PSBB period. As of September 2020, the company noted that the NPL of My Assets increased to 8.27% from the average NPL before the pandemic of 1% -2%.

Jimmi even saw an increase in the number of lenders rather than borrowers on his platform. According to him, this happened due to several factors, such as changes in consumer behavior in shopping, a decline in the JCI, tightening borrower criteria, and government initiatives to restructure debt.

“We see that the demand for borrowers has increased, so we have tightened the criteria. In addition, consumer loans have also increased because of the shifting behavior. Consumers often shop online,” he said.

Mitigation act

With the current situation, business players have started to secure the business and keep the runway long by mitigating both in terms of cost efficiency and re-evaluating their future strategies.

Both Jaygan and Jimmi claim to be efficient in their business by cutting unnecessary costs. In the Asetku case, his party took mitigation steps according to the government’s initiative to restructure.

However, according to Jimmi, one thing that should be underlined is to continue to observe trends in existing consumer behavior. According to him, it is important to understand this so that the company can continue to channel and maybe even increase loans to existing borrowers.

Meanwhile, Jaygan assessed the importance of understanding consumers to maintain the relevance of his services in the future. His party even evaluated a number of collaborations with several partners because they became irrelevant during a pandemic, for example with malls.

“This is all about optimizing what we spend, the difficult thing is to grow revenue lines and stay relevant to our consumers, especially when the promo period ends. That’s why we build risk mitigation, it takes time being customer centric,” he said.

Opportunities for SMEs to drive cashless

On the other hand, the pandemic is recognized as a momentum to accelerate a cashless society, especially since there are still many people in Indonesia who depend on cash. One of the most highlighted segments of MSME players is considered to be the most affected by the pandemic.

For Jaygan, this situation is an opportunity to encourage the penetration of QRIS features throughout Indonesia through the MSME segment, such as merchants in the market. According to company data, there are OVO merchant partners from this segment that are affected.

“Before the pandemic, we acquired MSMEs in Indonesia, for example with Pujasera. Because many were affected by the pandemic, we tried to convert merchants from offline to online with Tokopedia and Grab so that their business would continue,” he said. Now he sees an increasing trend of additional users outside Java who have been identified as being cash centric.

Meanwhile, as mentioned earlier, said Jimmi, his party continues to strive to accommodate loans to the MSME segment, especially for merchants selling on e-commerce platforms that are partners.

“The SMEs loan is not large, around Rp. 5-15 million. With KYC, algorithms, and mitigation measures, we are trying to accommodate their loans because this segment is untouched by banks, ”he explained.

Recession: Challenge or Opportunity?

Personally, Jaygan considered that a recession due to a prolonged pandemic has become a kind of reality check in running a business. He learned to think carefully before executing something.

According to him, this could be a good implication or not in the future.
“If there was no reality check, we would have just spent, not necessarily we could come up with new products or think about new market segments,” said Jaygan.

Meanwhile, Jimmi did not see this recession as a brutal challenge for fintech players, but a learning moment to be able to sustain a business. Moreover, he said, Indonesia was not the first to face this situation. Indonesia experienced economic crises in 1998 and 2008.

“The definition of economy is very broad, of course this situation can be an opportunity to learn because we have experienced crises before,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Tantangan dan Peluang Pelaku Fintech di Masa Resesi

Imbas pandemi Covid-19 akhirnya membawa Indonesia resmi masuk dalam deretan negara yang mengalami resesi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49 persen secara tahunan (Year-on-Year/YoY).

Kondisi ini otomatis menjadi red alert bagi sektor bisnis di Indonesia, mengingat tak sedikit yang terdampak dari Covid-19. Para pelaku bisnis berskala besar hingga kecil berupaya keras untuk bisa bertahan dari situasi ini selama beberapa bulan terakhir.

Bagaimana pelaku fintech menjalankan bisnis di situasi resesi? Simak selengkapnya paparan menarik dari CCO Payments of OVO Jaygan Fu Ponnudurai dan Chief Risk of Asetku Jimmi Adhe Kharisma pada sesi #SelasaStartup berikut ini.

Tren perilaku konsumen dan dampak bisnis

Pandemi memicu perubahan perilaku konsumen dalam bertransaksi. Tren ini terjadi di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi OVO dan Asetku, shifting dari offline ke online memberikan dampak positif dan negatif terhadap bisnis mereka.

Berdasarkan data perusahaan, Jaygan mengaku ada peningkatan transaksi secara signifikan pada pemesanan makanan (Grab Food) dan belanja online (Tokopedia). Karena pergeseran ini, konsumen jadi cenderung menjadi promo-centric dan cost-centric.

We do see a decline, tapi belum separah yang kami kira. Kami lagi berupaya mencapai [target] yang sudah kami koreksi. Saat ini kami lihat orang-orang sudah mulai terbiasa [bertransaksi online] selama pandemi,” ujarnya.

Sementara Asetku yang bermain di P2P lending mengaku mengalami peningkatan Non Performing Loan (NPL) sebagai akibat dari kesulitan bisnis selama masa PSBB. Per September 2020, perusahaan mencatat NPL Asetku naik sampai 8,27% dari NPL rerata sebelum pandemi 1%-2%.

Jimmi bahkan melihat terjadinya peningkatan jumlah lender ketimbang borrower di platformnya. Menurutnya, hal ini terjadi karena beberapa faktor, seperti perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja, penurunan IHSG, pengetatan kriteria peminjam, dan inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi utang.

“Kami melihat demand borrower naik, maka itu kami perketat kriterianya. Selain itu, pinjaman konsumtif juga naik karena ada shifting behaviour. Konsumen jadi sering berbelanja online,” ungkapnya.

Melakukan langkah mitigasi

Dengan situasi saat ini, pelaku bisnis sudah mulai mengamankan bisnis dan menjaga runway tetap panjang dengan melakukan mitigasi, baik dari sisi efisiensi biaya hingga mengevaluasi kembali strateginya ke depan.

Baik Jaygan dan Jimmi mengaku melakukan efisiensi di bisnisnya dengan memangkas biaya yang tidak perlu. Pada kasus Asetku, pihaknya melakukan langkah mitigasi sesuai inisiatif pemerintah untuk melakukan restrukturisasi.

Namun, menurut Jimmi, salah satu yang patut digaris bawahi adalah terus mengamati tren perilaku konsumen existing. Menurutnya, penting untuk memahami hal tersebut agar perusahaan tetap bisa menyalurkan bahkan mungkin menaikkan pinjaman kepada borrower existing.

Sementara Jaygan menilai pentingnya memahami konsumen untuk menjaga relevansi layanannya di masa depan. Pihaknya bahkan mengevaluasi sejumlah kolaborasi dengan beberapa mitra karena menjadi tidak relevan selama pandemi, misalnya dengan mal.

“Ini semua tentang optimalisasi what we spend, yang sulit adalah grow revenue line dan stay relevant to our consumer, apalagi ketika masa promo berakhir. Makanya kami build risk mitigation, it takes time being customer centric,” ujarnya.

Peluang bagi UMKM dorong cashless

Di sisi lain, pandemi diakui menjadi momentum untuk mengakselerasi cashless society, apalagi saat ini masih banyak masyarakat di Indonesia yang bergantung pada uang tunai. Salah satu yang paling banyak disoroti adalah segmen pelaku UMKM yang dinilai paling terdampak dari pandemi.

Bagi Jaygan, situasi ini menjadi peluang untuk mendorong penetrasi fitur QRIS di seluruh Indonesia melalui segmen UMKM, seperti merchant di pasar. Menurut data perusahaan, ada mitra merchant OVO dari segmen tersebut yang terdampak.

“Sebelum pandemi, kami memang acquire UMKM di Indonesia, misalnya dengan Pujasera. Karena banyak yang terdampak dari pandemi, kami coba convert merchant dari offline ke online dengan Tokopedia dan Grab supaya bisnis mereka tetap lanjut,” tuturnya. Kini ia melihat ada tren peningkatan penambahan pengguna di luar Jawa yang selama ini diidentifikasikan masih cash centric.

Sementara sebagaimana disebutkan di awal, ungkap Jimmi, pihaknya terus berupaya untuk mengakomodasi pinjaman kepada segmen UMKM, terutama pada merchant yang berjualan di platform e-commerce yang menjadi mitranya.

“Pinjaman UMKM itu tidak besar berkisar Rp5-15 juta. Dengan KYC, algoritma, dan langkah mitigasi, kami coba mengakomodasi pinjaman mereka karena segmen ini kan tidak tersentuh bank,” jelasnya.

Resesi: tantangan atau peluang?

Secara personal, Jaygan menilai bahwa resesi akibat pandemi berkepanjangan menjadi semacam reality check dalam menjalankan bisnis. Ia mendapat pembelajaran untuk berpikir matang sebelum mengeksekusi sesuatu.

Menurutnya, ini dapat menjadi implikasi baik atau tidak di masa depan.
“Kalau tidak ada reality check, kami pasti spending begitu saja, belum tentu kami bisa come up dengan produk baru atau memikirkan segmen pasar baru,” tutur Jaygan.

Sementara Jimmi tidak melihat resesi ini sebagai tantangan brutal bagi pelaku fintech, melainkan momen pembelajaran untuk bisa mempertahankan bisnis. Terlebih, ungkapnya, Indonesia bukan baru sekali menghadapi situasi ini. Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di 1998 dan 2008.

“Definisi ekonomi itu sangat luas, tentu situasi ini dapat menjadi peluang untuk belajar karena kita pernah mengalami krisis sebelumnya.” Tambahnya.

Menyimak Kinerja Platform P2P Lending di Tengah Pandemi

Pandemi yang masih terjadi hingga saat ini ternyata sudah mulai mengganggu jalannya bisnis layanan p2p lending. Makin minimnya pendanaan yang dikeluarkan hingga masa depan yang masih belum jelas menjadi isu yang disorot vertikal bisnis tersebut saat ini. Dalam sesi #Selasastartup kali ini, DailySocial mengundang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan, untuk berbagi informasi dan beberapa kendala yang masih kerap ditemui saat ini.

Menekan risiko gagal bayar

Salah satu fokus utama yang dicoba untuk dipertahankan oleh Asetku sebagai platform p2p lending adalah mempertahankan risiko gagal bayar hingga 0%. Dengan demikian perusahaan bisa meyakinkan kepada pemberi pinjaman (lender) bahwa investasi yang sudah digelontorkan terjamin dan pasti akan kembali.

Di sisi peminjam (borrower), Asetku mencoba untuk mendisplinkan mereka untuk selalu mematuhi perjanjian, terkait dengan pembayaran yang wajib dilakukan. Dengan demikian perusahaan bisa melihat dan melakukan kurasi organik, siapa saja peminjam yang memiliki rekam jejak positif.

“Karena kebanyakan lender kita adalah kalangan ritel yang memberikan pendanaan kepada mereka peminjam yang kebanyakan adalah mitra dari layanan e-commerce, kami menyadari benar kebutuhan dan kebiasaan dari para lender kami. Untuk itu meskipun pandemik berlangsung, kami mencoba untuk mempertahankan risiko gagal bayar tetap di nol persen,” kata Andrisyah.

Disinggung seperti apa demografi dari lender yang telah bergabung di Asetku, secara umum dari kalangan berusia sekitar 37 tahun. Sementara untuk borrower kebanyakan berasal dari kalangan milenial yang berusia sekitar 25 tahun.

“Itu semua sesuai dengan target kami mulai dari usia, pekerjaan hingga kebutuhan mereka untuk melakukan pinjaman hingga memberikan pendanaan melalui platform Asetku,” kata Andrisyah.

Besarnya pasar layanan p2p lending

Meskipun saat ini makin banyak bermunculan layanan p2p lending di Indonesia, tidak menjadikan platform seperti Asetku kehilangan target pengguna. Dengan kebijakan dan pemahaman yang benar di antara masing-masing pemain, masih banyak segmentasi pengguna yang bisa dirangkul. Untuk itu masing-masing penyedia harus menentukan dengan tepat, layanan seperti apa yang ingin dihadirkan dan siapa target pengguna yang ingin diincar.

“Saat ini baru sekitar 3,4% pendanaan yang digelontorkan kepada UKM oleh layanan p2p lending, artinya masih besar peluang untuk masing-masing pemain bermain di layanan tersebut yang bisa menguntungkan target pengguna,” kata Andrisyah.

Selama penyebaran virus Covid-19 ini menurut Andrisyah akan makin terlihat, siapa saja pemain yang akan unggul dan siapa di antara mereka yang bakal tergerus dan terpaksa tutup layanan. Makin ketatnya masyarakat umum menyimpan uang mereka dan menahan keperluan untuk berinvestasi, menjadikan pemain yang masih baru dan belum menjadi top of mind masyarakat akan kehilangan peluang.

“Ke depannya saya lihat konsolidasi pun mungkin akan terjadi di antara pemain-pemain baru yang masih kecil tersebut. Di sisi lain untuk pemain yang sudah besar dan cukup populer, akan makin cerdas lagi mengatur model bisnis mereka,” kata Andrisyah.

Di Asetku sendiri sejak bulan Januari 2020 ketika Covid-19 sudah mulai menyebar di Wuhan, Tiongkok, perusahaan telah menyiapkan modeling risiko. Tujuannya untuk memastikan lender dan borrower bahwa pinjaman dan investasi yang telah diberikan bisa berjalan secara normal. Modeling tersebut yang diklaim mampu untuk mempertahankan posisi risiko gagal bayar Asetku berada dalam posisi 0%.

“Kami telah menerapkan beberapa tahap modeling, di antaranya adalah memberikan potensi dan probabilitas terbaik bagaimana proses disburse loan yang tepat, memanfaatkan data, demografi dan histori para calon peminjam,” kata Andrisyah.

Cara lain adalah Asetku menunda pemberian pendanaan kepada peminjam yang sudah mendaftarkan untuk sementara dan hanya fokus kepada peminjam dan pemberi pinjaman yang sudah berjalan saat ini. Secara langsung cara tersebut mempengaruhi kepada penjualan dari perusahaan. Namun sesuai dengan misi perusahaan agar bisnis bisa berjalan secara stabil, sikap hati-hati dalam mengambil keputusan patut untuk diterapkan.

Masa depan layanan p2p lending

Masih diwarnai dengan berita miring soal pinjaman online ilegal, namun dengan menerapkan proses yang benar dan tidak asal memilih, dipastikan semua layanan p2p lending ilegal tersebut bisa diminamilisr jumlahnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara pinjaman online ilegal dan layanan p2p lending yang terdaftar oleh OJK. Kebanyakan mereka yang ilegal tidak memiliki kantor di Indonesia dan hanya memanfaatkan aplikasi yang kemudian diunggah di Play Store untuk menyebar luaskan layanan mereka.

“Yang bisa dilakukan oleh masyarakat umum adalah melihat apakah layanan p2p tersebut sudah terdaftar di OJK. Langkah tersebut bisa digunakan untuk memverifikasi layanan yang resmi dan terdaftar di Indonesia,” kata Andrisyah.

Meskipun baru muncul tahun 2016 lalu, saat ini layanan p2p lending telah muncul sebagai platform pilihan kalangan unbanked dan underserved, untuk mencari alternatif pinjaman atau tambahan modal. Kolaborasi dengan berbagai pihak terkait pun makin agresif dilancarkan, seperti perbankan, layanan e-commerce, penyedia layanan digital untuk verifikasi hingga tanda tangan digital. Semua kolaborasi tersebut wajib diperluas untuk mengembangkan ekosistem layanan p2p di Indonesia.

Mengapa Perlu Berinvestasi Lewat Peer To Peer Lending

Startup fintech, terutama peer to peer lending memiliki kontribusi luar biasa bagi ekonomi Indonesia. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), perusahaan p2p lending diproyeksikan menyumbang 100 triliun rupiah terhadap PDB Indonesia di 2020. Dalam laporan KPMG tahun 2018, industri P2P lending Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 800% sejak tahun 2016, dengan jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai 25 triliun Rupiah di akhir tahun 2018.

Fintech p2p lending merupakan solusi teknologi yang disediakan untuk membantu masyarakat dalam menikmati layanan keuangan dengan akses lebih mudah dan cepat. Baik bagi peminjam yang membutuhkan dana dalam jumlah tertentu dalam waktu singkat, maupun bagi pemberi pinjaman untuk menginvestasikan dananya kepada lembaga terpercaya.

Investasi Aman Lewat P2P Lending

Berinvestasi lewat platform p2p lending memiliki banyak manfaat bagi pemberi pinjaman. Dengan platform berbasis teknologi dan aplikasi mobile, segala layanan dapat diakses dengan mudah, secara langsung dari genggaman tangan lewat smartphone. Mulai dari mendaftarkan diri dan mengisi formulir pengguna, mengirim dan menarik dana, hingga melihat berbagai informasi mengenai investasi yang sedang berjalan.

Namun dalam berinvestasi, kepercayaan pada penyedia platform dan layanan p2p lending tentu menjadi hal yang utama. Memilih fintech p2p lending yang tepat merupakan hal yang paling utama wajib dilakukan sebelum memulai menyalurkan dana. Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih platform p2p lending yang tepat untuk berinvestasi, antara lain sebagai berikut.

Keamanan Dana

Dalam berinvestasi, risiko keterlambatan pembayaran bahkan gagal bayar adalah hal yang dapat terjadi, dan umumnya tidak dapat diketahui sejak awal. Banyak faktor yang menyebabkan risiko gagal bayar ini muncul. Misalnya peminjam mengalami kegagalan atau kerugian dalam usaha yang dijalankannya, serta berbagai faktor lainnya.

Risiko ini ditanggung sepenuhnya oleh pemberi pinjaman, dan dana yang Anda investasikan akan hilang. Penyelenggara p2p lending tidak akan mengganti dana tersebut karena tugasnya hanya menjadi jembatan antara peminjam dengan pemberi pinjaman. Namun, Anda dapat mengantisipasi hal ini dengan memilih layanan p2p lending yang tepat. Mulai dari memilih perusahaan yang berlisensi OJK, hingga memiliki asuransi kredit gagal bayar yang memungkinkan dana pokok Anda dijamin keamanannya dengan asuransi.

Didukung Teknologi Canggih

Teknologi, manajemen informasi dan sistem keamanan yang canggih juga dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih layanan p2p lending untuk berinvestasi. Misalnya pemanfaatan teknologi machine learning yang digunakan oleh Asetku dalam proses risk control. Komitmen untuk mengedepankan inovasi teknologi dalam layanan p2p lending yang dimiliki mampu meningkatkan kepercayaan pengguna, serta memberikan kemudahan dan kecepatan akses dalam menggunakan semua fitur yang tersedia.

Riwayat Penyaluran Dana

Riwayat penyaluran dana merupakan hal yang dapat menunjukkan reputasi sebuah perusahaan fintech p2p lending. Informasi mengenai besarnya dana pinjaman yang telah disalurkan hingga banyaknya peminjam yang aktif dapat membantu calon pengguna untuk memilih layanan yang tepat. Berbagai informasi tersebut dapat menunjukkan tingkat kepercayaan pengguna terhadap layanan yang dimiliki, baik dari segi peminjam maupun pemberi pinjaman.

Asetku
Sumber: Asetku

Fintech p2p lending adalah salah satu wadah untuk berinvestasi dengan cara yang mudah, cepat, aman, dan menguntungkan. Memilih penyedia layanan yang tepat dan terpercaya dapat memperkecil risiko-risiko yang mungkin terjadi di kemudian hari pada investasi Anda.

Beberapa pertimbangan yang telah disampaikan salah satunya dimiliki oleh Asetku, dengan bekerja sama dengan PT Asuransi STACO Mandiri untuk menyediakan Asuransi Kredit Gagal Bayar, sehingga apabila produk pinjaman mengalami keterlambatan pembayaran, maka kompensasi klaim akan diselesaikan segera pada tanggal jatuh tempo untuk menjamin keamanan Dana Pokok.

Selain itu, sertifikasi ISO 27001: 2013 tentang Manajemen Informasi dan Sistem Keamanan yang dimiliki menunjukkan komitmennya terhadap inovasi teknologi dan keamanan dana pengguna. Riwayat penyaluran dana hingga 8,7 triliun rupiah kepada peminjam berkualitas dapat menjadi pertimbangan Anda untuk memilih layanan p2p lending yang tepat.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Asetku

Application Information Will Show Up Here

Akulaku to Acquire 20% of Bank Yudha Bhakti Shares

Akulaku fintech lending startup is to make gradual acquisition over 20.11% of Bank Yudha Bhakti (BBYB) shares.  The company just increase the stock to 13.06% from 8.95%.

Quoted from Bisnis.com, Andriyana Muchyana as Bank Yudha Bhakti’s Corporate Secretary said, Akulaku enters through the purchase of PT Gozco Capital which previously held 41.04% of Bank Yudha Bhakti shares.

“There are agreements through secondary market and right issue,” she added.

Based on Indonesian Stock Exchange, Gozco Capital sold 320.43 million with Rp338 per share in 30 April 2019. After the corporate action, Gozco Capital stock in Bank Yudha Bhakti has risen to 28.24%.

Furthermore, Akulaku will continue to scale up the stock by going steady for Limited Public Offering II (LPO) at the end of this month.

The company updated stock to 499.6 million worth Rp100 per shares. The action is worth Rp168.86 billion. Akulaku is to collect it all to make 20.11% total shares. Other shareholders that didn’t claimed to HMETD will be dilluted by 8.11%.

Per 30 April 2019, shareholders structure for Bank consists of Gozco Capital (28.24%), Asabri (21.91%), Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha (5.45%), and public for less than 5%, at 31.34%.

Akulaku has claimed its commitment to add up to the core capital up to Rp500 billion this year, through some right issue in gradual by Bank Yudha Bhakti.

After the LPO II, the company will ask for fresh stock through LPO III in the Annual General Meeting of Shareholders (RUPSLB). Akulaku has a big potential to enter as a steady buyer for its ambition.

Along with the fresh fund, the company is confident to take it to the next level with Rp 1 trillion to Rp5 trillion core capital. From the company’s publication in March 2019, they have Rp502.91 billion.

Akulaku, based on Startup Report 2018, has over $500 million (more than 7 trillion Rupiah) after the Series D funding from Alibaba in early this year. Akulaku is said to launch peer-to-peer lending product called Asetku.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Segera Miliki 20% Saham Bank Yudha Bhakti

Startup fintech lending Akulaku bakal menguasai 20,11% saham Bank Yudha Bhakti (BBYB) secara bertahap. Perusahaan baru saja meningkatkan porsi sahamnya menjadi 13,06% dari sebelumnya 8,95%.

Dikutip dari Bisnis.com, Corporate Secretary Bank Yudha Bhakti Andriyana Muchyana menjelaskan, Akulaku masuk melalui pembelian saham PT Gozco Capital yang semula menguasai 41,04% saham Bank Yudha Bhakti.

“Ada perjanjian yang dibeli melalui secondary market dan melalui rights issue,” terangnya.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Gozco Capital melepas 320,43 juta saham dengan harga Rp338 per lembar di 30 April 2019. Setelah aksi korporasi, kepemilikan saham Gozco Capital di Bank Yudha Bhakti menjadi 28,24%.

Selanjutnya, Akulaku akan terus meningkatkan kepemilikan sahamnya dengan menjadi pembeli siaga untuk Penawaran Umum Terbatas II (PUT II) yang segera digelar perseroan pada akhir bulan ini.

Perseroan menerbitkan saham baru sebanyak 499,6 juta dengan harga Rp100 per lembar. Total nilai yang diperoleh perseroan dari aksi ini adalah Rp168,86 miliar. Akulaku akan menyerap seluruh saham baru ini, sehingga nantinya kepemilikan saham menjadi 20,11%. Pemegang saham lain yang tidak mengambil jatah sesuai HMETD akan terdilusi 8,11%.

Per 30 April 2019, struktur kepemilikan saham di Bank terdiri dari Gozco Capital (28,24%), Asabri (21,91%), Asuransi Jiwa Adisarana Wanartha (5,45%), selebihnya dimiliki publik dengan kepemilikan kurang dari 5% sebanyak 31,34%.

Akulaku sendiri sejak awal berkomitmen untuk menambah modal inti bank hingga Rp500 miliar pada tahun ini, secara bertahap lewat sejumlah aksi rights issue yang digelar Bank Yudha Bhakti.

Setelah PUT II kelar, dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) perseroan akan meminta izin untuk menerbitkan saham baru melalui PUT III. Kemungkinan besar, Akulaku akan masuk kembali sebagai pembeli siaga demi merealisasikan ambisinya tersebut.

Sejalan dengan penambahan modal segar ini, perseroan optimis dapat naik kelas menjadi bank BUKU II dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun. Dari publikasi perseroan di Maret 2019, perseroan memiliki modal inti Rp502,91 miliar.

Akulaku menurut Startup Report 2018 memiliki valuasi lebih dari $500 juta (lebih dari 7 triliun Rupiah) setelah kabar pendanaan Seri D dari Alibaba awal tahun ini. Akulaku sendiri baru saja meluncurkan produk peer-to-peer lending terafiliasi dengan nama Asetku.

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Umumkan Kehadiran Layanan Afiliasi P2P Lending “Asetku”

Perusahaan afiliasi Akulaku, layanan p2p lending Asetku, mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Pada tahap awal, Asetku khusus melayani pengguna Akulaku yang ingin mendapatkan pinjaman, baik itu merchant maupun konsumen individu.

“Kita berdiri di akhir 2017 dan aktif di awal 2018. Sekarang baru take off karena kami ingin penetrasi ke pasar jauh lebih besar dari tahun lalu,” terang Direktur Asetku Andrisyah Tauladan kepada DailySocial.

Asetku pada tahap ini baru menyediakan pinjaman khusus untuk pengguna Akulaku. Salah satu layanan yang bisa dimanfaatkan pengguna adalah pinjaman tunai (cash loan) dengan dana bersumber dari para pemberi pinjaman Asetku yang sudah terdaftar.

Tim Asetku saat ini berjumlah 60 orang, kebanyakan ditempatkan di bagian front liner dan risk management. Untuk proses collection, Asetku bermitra dengan Akulaku. Andrisyah enggan menjelaskan lebih detail kepemilikan saham Akulaku di Asetku.

Aplikasi Asetku disebutkan telah diunduh lebih dari 500 ribu kali dan terdaftar di OJK per tanggal 21 Desember 2018.

Andrisyah menjelaskan, tidak sembarang pengguna Akulaku yang bisa lolos menerima pinjaman dari Asetku. Pasalnya perusahaan melakukan mitigasi risiko tersendiri. Nominal dana yang bisa dipinjam oleh pengguna untuk produk ini mulai dari Rp500 ribu-Rp2 juta dan tenor maksimal 30 hari.

Model bisnis seperti ini, sambungnya, menjadi diferensiasi yang paling mencolok antara Asetku dengan pemain p2p lending lainnya. Perusahaan berkomitmen untuk menjaga kualitas peminjam dengan rekam jejak yang jelas dari Akulaku, agar investasi yang diberikan pemberi pinjaman tetap aman.

“Kita concern banget dari sisi lender makanya benar-benar saring borrower-nya. Itu yang membedakan kami dengan yang lain.”

Untuk menjadi pemberi pinjaman di Asetku, minimal dana yang dapat diinvestasikan Rp2 juta dan imbal hasil sebesar 18%-24% dalam setahun. Perusahaan akan memberikan daftar rekomendasi peminjam dari Akulaku yang bisa dipilih pemberi pinjaman dan menyarankan untuk melakukan diversifikasi pembiayaan untuk mengurangi potensi default.

Akses untuk pemberi pinjaman hanya tersedia lewat aplikasi Asetku, sementara peminjam bisa mengajukan pinjaman dana lewat Akulaku.

“Produk pinjaman apa saja yang ada di Akulaku bisa kita danai, tidak hanya pinjaman tunai saja.”

Rencana bisnis

Saat ini Asetku sudah menyalurkan sekitar Rp218 miliar kepada 2,31 juta peminjam. Jumlah pemberi pinjaman yang teregistrasi sebanyak 172.165 orang. Diklaim selama setahun beroperasi Asetku memiliki pengembalian dana pokok dan bunga selalu mencapai 100%. Alhasil NPL di Asetku masih 0%.

Tahun ini perusahaan berencana melipatgandakan penyaluran pembiayaan sampai ke angka Rp500 miliar per bulan dari saat ini Rp50 miliar-Rp100 miliar.

Untuk merealisasikan target tersebut, perusahaan akan mengundang segmen institusi sebagai pemberi pinjaman. Dengan demikian, akan semakin banyak pengguna bisa mendapatkan pinjaman dana dan prosesnya lebih cepat.

Asetku juga segera memperluas layanan ke segmen syariah untuk menangkap calon pemberi pinjaman yang peduli dengan ranah tersebut.

Diungkapkan perusahaan masih dalam proses persiapan perizinan untuk peluncuran layanan ini. Rencananya bakal diresmikan pada kuartal ketiga 2019.

“Dua rencana kami itu market-nya sangat besar. Dari sisi tingkat risikonya, mau kami perkuat lewat kerja sama dengan Dukcapil, kredit biro, dan sebagainya sebab makin besar pasar maka risikonya juga makin besar, makanya perlu diperkuat fondasinya,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here