Asosiasi Fintech Desak OJK Keluarkan “Surat Pernyataan Telah Mendaftar”

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri fintech, khususnya usaha p2p lending. Tiga bulan sejak dikeluarkannya POJK Nomor 77/2016 belum ada perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan fintech yang mendapat izin usaha dari OJK.

Hingga Maret 2017, baru tercatat 27 perusahaan fintech dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya baru menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Belum adanya respon dari OJK menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.

Berdasarkan salah satu poin POJK Nomor 77/2016, disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan setelah POJK diberlakukan, perusahaan diwajibkan mengajukan pendaftaran dengan syarat memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar untuk perusahaan fintech yang sudah berbentuk PT atau koperasi.

Setelah itu, modal disetor dinaikkan jadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan saat perusahaan telah mengantongi surat pernyataan telah mendaftar maksimal satu tahun setelah penyelenggara terdaftar di OJK.

“OJK memberikan batas waktu enam bulan sejak dikeluarkannya POJK No.77/2016 bagi perusahaan P2P lending untuk melakukan pendaftaran. Pelaku usaha tinggal memiliki waktu sebentar lagi untuk memenuhi aturan ini. Untuk itu diharapkan OJK bisa segera memberi kejelasan terkait aturan ini,” ucap Direktur Eksekutif Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Suleiman, Rabu (22/3).

Ketidakjelasan ini berdampak pada kinerja perusahaan. Pasalnya, membuat gerak bisnis perusahaan fintech p2p lending jadi sedikit terbatas ketika ingin ekspansi ke luar Jakarta. Contohnya, terjadi dalam rencana ekspansi yang ingin dilakukan Investree ke Jawa Tengah.

CEO Investree Adrian A Gunadi mengatakan karena perusahaan belum mengantongi surat keterangan telah mendaftar, membuat pihaknya harus mengundur rencana ekspansinya tersebut.

“Saat kami ingin ekspansi ke Jawa Tengah, kami melakukan koordinasi dengan OJK setempat. Namun rupanya koordinasi belum dengan OJK pusat belum selesai, akhirnya Investree harus hold rencana ekspansi sampai ada arahan yang jelas. Kami sebenarnya bisa saja ekspansi, namun spirit awalnya adalah comply dengan regulasi,” terang Adrian yang juga merupakan Wakil Ketua AFTECH Indonesia.

Solusi yang ditawarkan AFTECH Indonesia kepada OJK terkait hal ini adalah menerbitkan Surat Edaran OJK (SE OJK) untuk memperjelas alur pendaftaran dan perizinan.

Ajisatria menegaskan bahwa pelaku usaha p2p lending memiliki komitmen yang penuh untuk mematuhi peraturan dari OJK, termasuk mematuhi iuran tahunan sebagaimana yang berlaku di sektor jasa keuangan lainnya.

Secara industri, Adrian diperkirakan total outstanding dari seluruh pemain bisnis p2p lending dari 2016 hingga Maret 2017 kisaran Rp300 miliar. Sementara itu, secara year-to-date (ytd) dari Januari-Maret 2017 sekitar Rp100 miliar. Adrian menargetkan sepanjang tahun ini, total pinjaman yang disalurkan dapat mencapai kisaran Rp400 miliar.

Asosiasi Fintech Indonesia Desak Pembentukan Lembaga Pengawas P2P Lending

Asosiasi Fintech Indonesia mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera membentuk badan lembaga khusus yang mengawasi kegiatan layanan peminjaman uang bermedium digital (P2P Lending). Desakan tersebut sebagai langkah lebih lanjut setelah sebelumnya Desember lalu OJK telah merilis peraturan tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), dan aturan turunan yang direncanakan rampung pada kuartal pertama tahun 2017 ini.

Menurut wakil ketua Asosiasi, Adrian Gunadi, pembentukan lembaga tersebut penting untuk memastikan jalannya usaha P2P Lending di Indonesia sesuai koridor. Saat ini jumlah pengusaha/startup yang terjun dalam segmen bisnis tersebut terpantau terus bertambah, sejalan dengan potensi yang masih sangat besar. Salah satu faktor yang membuatnya populer karena P2P Lending menawarkan fleksibilitas, pemberi pinjaman dan peminjam diberikan keleluasaan secara transparan dalam bernegosiasi.

[Baca Juga: Hal-hal Pendukung Transformasi Industri P2P Lending]

Sekurangnya –menurut catatan Asosiasi Fintech Indonesia—saat ini terdapat 157 startup di bidang P2P Lending yang beroperasi di Indonesia. Riset Statista menyebutkan nilainya tahun ini akan mencapai $18,64 miliar, dengan sektor pinjaman dan pembiayaan personal mendominasi sebesar 25 persen. Sementara data OJK menunjukkan bahwa masih terdapat 49 juta UMKM yang belum bankable di Indonesia, mereka membutuhkan akses terhadap pinjaman. Mereka adalah salah satu pangsa pasar yang sangat mungkin digarap pemain P2P Lending di Indonesia.

Permasalahan di Indonesia terkait pemerataan akses dan ketersediaan layanan pembiayaan masih cukup signifikan, 60 persen masih terkonsentrasi di Jawa. P2P Lending diharapkan dapat memutuskan gap tersebut, dengan medium digital yang memungkinkan untuk dapat diakses di mana saja, sesuai dengan tingkatan kebutuhan masyarakat.

“Upaya yang dilakukan oleh perusahaan P2P Lending di Indonesia dalam memberikan solusi cepat bagi konsumen akan maksimal bila diimbangi dengan syarat dan ketentuan dari regulator untuk memastikan ekosistem yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi untuk membina dan mengawasi industri ini sehingga P2P Lending di Indonesia dapat berkembang dengan baik,” ujar Ketua Bidang P2P Lending Asosiasi Fintech Reynold Wijaya.

[Baca Juga: Perjalanan Panjang Rancangan POJK tentang Fintech Lending]

Secara umum Asosiasi Fintech menegaskan bahwa peran pemerintah sangat besar dalam memastikan perkembangan bisnis finansial berbasis teknologi. Perlu diregulasi dan diawasi secara serius karena sangat riskan. Dalam Asosiasi sendiri saat ini sudah tergabung 70 perusahaan di berbagai sektor, 18 di antaranya telah dan tengah bersiap memproses izin sesuai dengan regulasi yang telah diterbitkan.

Laporan DailySocial: Kondisi Industri Fintech Indonesia Tahun 2016

Hari ini (5/12) DailySocial meluncurkan laporan hasil riset dengan tajuk “Indonesia’s Fintech Report 2016” untuk membantu entitas lokal dan luar negeri dala memahami kondisi fintech Indonesia di tahun 2016. Fokus riset ini lebih menitikberatkan pada entitas perusahaan atau layanan fintech yang bukan milik bank atau perusahaan telekomunikasi. Riset ini merupakan hasil kolaborasi antara DailySocial dengan Asosiasi Fintech Indonesia dan JakPat.

Beberapa poin menarik yang bisa ditemui dalam riset dengan 69 halaman dan melibatkan sekitar 1000 responden pengguna internet umum ini adalah:

  • Pertumbuhan pemain fintech baru tahun ini adalah yang tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, mencapai 78% dengan jumlah pemain hingga 140.
  • Di antara pemain-pemain yang ada saat ini, 43% – nya masuk dalam kategori payment.
  • Jumlah investasi fintech yang tercatat mencapai Rp 486,3 miliar di tahun 2016 dengan East Ventures menjadi VC lokal paling aktif berinvestasi dengan delapan aktivitas investasi.
  • Istilah fintech sendiri masih belum begitu dikenal di kalangan pengguna internet secara umum. Dari 1000 responden yang mengikuti survei, hanya 28,34% yang mengatakan sudah pernah mendengarnya.
  • Pemain fintech saat ini merasa tantangan terbesar datang dari sisi regulasi yang masih belum jelas, kurangnya kolaborasi, kurangnya talenta yang memahami fintech, dan edukasi.

Bila ingin mengetahui lebih jauh hasil riset “Indonesia’s Fintech Report 2016” yang terdiri dari 69 halaman, Anda dapat mengaksesnya secara gratis setelah menjadi member DailySocial melalui tautan berikut ini.

Di samping survei ini, sebelumnya kami juga telah meluncurkan hasil survei yang menyoroti perilaku pengguna terhadap layanan digital, tingkat kepuasan konsumen terhadap layanan e-commerce, penetrasi layanan kesehatan digital, pola mendengarkan musik di Indonesia pada tahun 2016, konsumsi mobile game, dan alat pembayaran non-tunai populer di Indonesia.

Menakar Keseriusan Investor Asing di Sektor Fintech Indonesia

Seiring dengan ancaman perlambatan ekonomi global yang terus terjadi, mau tak mau negara maju harus terus mencari peluang dari negara-negara berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak potensial yang dapat menjadi magnet, rupanya berhasil menarik minat negara maju untuk masuk ke Indonesia untuk berinvestasi.

Apalagi ketika membahas financial technology (fintech), Indonesia saat ini sedang giat membangun berbagai infrastruktur untuk mendukung ekosistemnya. Peranan fintech pun sangat luas, tidak hanya sebagai transaksi keuangan online, juga telah merambah ke uang elektronik, virtual account, aggregator, lending, crowdfunding, asuransi elektronik, dan lainnya.

Secara global, industri fintech terus tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Lanskap industri perbankan digital mencatat Asia sebagai yang terdepan dalam proses adopsi teknologi ini.

Korea Selatan merupakan salah satu negara maju di Asia yang mengalami pertumbuhan jumlah penggunaan teknologi keuangan tertinggi (63%), sementara Indonesia mengalami pertumbuhan sebanyak 28% (data McKinsey Asia PFS survey 2007-2014). Data ini menunjukkan kesempatan tumbuh untuk inovasi fintech di Indonesia masih terbuka lebar.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menerangkan sejauh ini sudah ada beberapa delegasi dari luar negeri yang datang ke Indonesia khusus untuk observasi kondisi fintech di Tanah Air. Beberapa diantaranya, Amerika, Singapura, Hong Kong, Tiongkok, dan yang terbaru Korea Selatan.

Namun, sambungnya, dari seluruh delegasi tersebut yang menunjukkan keseriusan dan niatan yang tinggi adalah Korea Selatan. Terlihat dari kunjungan perwakilan industri fintech Korea yang terdiri dari pejabat Ministry of Science, ICT dan Future Planning Korea, Korea Internet & Security Agency (KISA), serta 10 perusahaan fintech Korea melakukan lawatan selama tiga hari pada 30 November – 2 Desember 2016.

“Semua negara maju pasti punya kepentingan soal ini [investasi fintech]. Amerika [Serikat] dan Singapura yang paling paling dekat juga sudah merealisasikannya. Bisa dibilang lawatan delegasi Korea [Selatan] adalah terniat dan paling serius dibandingkan negara lainnya. Mereka melakukan roadshow ke kawasan Asia, Indonesia adalah negara pertama yang dikunjungi,” terangnya, Kamis (1/12).

Selain menyuntikkan dana investasi untuk pengembangan usaha, negara maju tersebut juga berniat untuk mengalirkan dananya sebagai lender atau pemberi pinjaman kepada fintech yang bergerak di jasa peer-to-peer lending atau pinjaman langsung.

Menurut dia, fintech jadi sarana tercepat bagi negara maju untuk mengalirkan dana ke negara berkembang, ketimbang melakukan jasa keuangan lainnya karena terbentur masalah aturan.

Dari kegiatan lawatan ini, delegasi Korea menekankan pihaknya membuka kesempatan yang lebar bagi dengan pemain lokal untuk bermitra demi mencapai berbagai tujuan. Seperti, peningkatan akses pasar, peningkatan produk, dan peningkatan operasional.

“Indonesia dan Korea perlu mengembangkan eksosistem yang kuat dan terintegrasi lewat hubungan kerja sama kolaboratif, baik di dalam ekosistem fintech maupun antar eksistem yang berbeda,” ucap Lee Keunjoo selaku Sekjen Korea Fintech Industry Association.

Saat ini delegasi Korea Selatan masih dalam mempelajari pasar fintech di Indonesia, seperti yang terlihat dari rencana observasi 10 pemain fintech Korea Selatan saat berkunjung ke sini. Salah satunya, Paycock, sebuah aplikasi pembayaran mobile, berencana ingin menjajaki pasar mobile payment Indonesia dengan mitra terpercaya dan berpengalaman.

Berikutnya Crizen (P2P lending brokerage platform) berencana ingin kerja sama bisnis dengan lembaga atau perusahaan fintech Indonesia.

Ajisatria Suleiman, Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia menambahkan kedatangan delegasi dari Korea Selatan ini bisa menciptakan peluang bagi lokal untuk mengadopsti teknologi yang mereka miliki untuk produk yang dihasilkan.

Perusahaan fintech Korea Selatan bernama Fount adalah robo advisor yang dapat bertindak sebagai manajer investasi untuk menyarankan portofolio investasi kepada investor berdasarkan algoritma komputer.

Pihak asing berpotensi kuasai 85% kepemilikan perusahaan fintech Indonesia

Hendrikus melanjutkan, dalam draft regulasi yang mengatur fintech peer-to-peer lending, sudah ada peluang untuk asing dalam rangka mendukung perkembangan fintech di Tanah Air.

Hal ini tertuang dalam Pasal 3 Rancangan Peraturan OJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Uang Berbasis Teknologi Informasi, menyebutkan saham Fintech Lending harus berbentuk perseroan terbatas dan dapat dimiliki warga negara asing dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 85%.

Dia bilang, angka tersebut memang belum final dan pembahasan dengan industri masih terus bergulir. Namun, pertimbangan dari regulator mengenai angka 85% timbul karena ingin membesarkan sektor jasa yang menjadi alternatif dari industri jasa keuangan konvensional.

Belum lagi, layanan fintech yang didominasi oleh perusahaan startup sangat rentan dengan kegagalan yang cukup tinggi.

“Orang lokal banyak tidak mau investasi di startup karena tergolong sangat konservatif. Makanya untuk memajukan startup fintech Indonesia, butuh tenaga asing untuk masuk ke Indonesia. Jangan terlalu buru-buru bilang asing itu jelek untuk Indonesia.”

Menurutnya, bila asing masuk tanpa ada filter pun belum tentu mereka bakal berhasil di Indonesia. Pasalnya, untuk berbisnis membutuhkan adanya ekosistem yang mendukung industri pendukung lainnya. Lagipula, pihak lokal juga tidak bisa menampikkan kebutuhan modal yang sangat tinggi ketika bisnis fintechnya sudah mulai berjalan.

Membuka Seluruh Potensi Fintech di Indonesia dengan Mencontoh Negara Sahabat

Tiongkok dan India adalah dua negara yang sering disandingkan dengan Indonesia ketika membahas perkembangan teknologi dan digital. Pasalnya ada beberapa kesamaan yang dimiliki, terutama dari segi populasi penduduknya.

Sebenarnya Indonesia sedang mengalami fase yang sebelumnya sudah dilalui oleh kedua negara tersebut bertahun-tahun lalu. Sehingga langkah apa saja yang sebelumnya mereka lakukan dapat menjadi acuan bagi Indonesia.

Dari hasil konferensi IFFC 2016, pada dasarnya ada lima karakteristik pasar Indonesia yang menawarkan peluang bagi perusahaan fintech. Mulai dari kondisi ekonomi yang mendukung, pasar besar sementara penetrasi keuangan masih rendah, konsumen yang antusias terhadap teknologi, startup yang inovatif dan profitabilitas industri yang menarik.

Bersamaan dengan peluang tersebut, menyimpan sejumlah tantangan yang harus Indonesia hadapi. Untuk lebih lengkapnya dapat diunduh di link ini.

Salah satu tantangannya adalah mendorong know your customer (KYC) digital. Proses KYC secara face-to-face sebenarnya jadi penghambat potensi solusi keuangan digital dan kini belum ada tools yang mampu mengatasinya, mengingat KYC digital memiliki risiko tersendiri.

Dalam mengatasi hal ini, mungkin Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Spanyol dan Inggris. Mereka menetapkan bahwa lembaga keuangan bisa saling menggunakan data satu sama lainnya antara kelompok bisnis. Jadinya, nasabah yang sudah memiliki rekening di suatu bank dapat membuka rekening di bank lain tanpa proses KYC tatap muka.

Nasabah hanya diminta lakukan transfer dana sebesar US $1 dari rekening bank yang telah dimiliki untuk validasi dan menyatakan bahwa proses KYC telah dilakukan untuk pembukaan rekening baru atas nama nasabah yang sama.

India menghadirkan Aadhaar, sebuah infrastruktur ID digital pertama di dunia. Aadhaar menyediakan ID secara daring melalui PIN khusus. Proses otentikasi untuk transaksi keuangan dilakukan melalu berbagai cara (biometrik, demografis, dan one time password dari ponsel atau email yang telah terdaftar), disimpan di cloud, dapat dilakukan di mana pun di India.

Semua permintaannya akan disampaikan ke Central Identities Data Repository yang bertindak sebagai sumber tunggal kebenaran verifikasi. Aadhaar terbukti dapat membantu pelanggan mengunjungi toko kelontong di pedesaan dan menarik tunai dari rekening bank yang terhubung jaringan Aadhaar, atau mengunjungi Public Distribution Outlet (PDO) untuk memperoleh beras/gandum bersubsidi dari akun pangan yang terhubung dengan Aadhaar.

Tantangan berikutnya, mendorong eksperimen lewat regulatory sandbox. Sebenarnya di Indonesia, sudah ada regulatory sandbox yang dihadirkan dalam Bank Indonesia Fintech Office saat peluncurannya beberapa waktu lalu. Konsepnya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Monetary Authority of Singapore (MAS) saat membentuk regulatory sandbox.

MAS menetapkan kerangka regulasi yang memungkinkan perusahaan serta lembaga keuangan melakukan percobaan dengan solusi fintech. Namun tetap pada lingkup dan durasi yang ditetapkan dengan baik, mematuhi kerangka regulasi yang ada.

Sejak diluncurkan di Juni 2016, wadah ini mendorong lembaga keuangan serta non keuangan untuk bereksperimen dengan solusi fintech. Ini memungkinkan perusahaan menawarkan produk kepada kelompok pelanggan spesifik selama periode tertentu, selama masih mengikuti batasan persyaratan yang ditetapkan MAS.

Setelah masa sandbox berakhir, perusahaan dapat menawarkan produk lebih luas jika MAS dan perusahaan puas dengan hasil pengujian yang diperoleh serta dapat memenuhi persyaratan hukum dan regulasi terkait.

Mungkin India adalah contoh ideal untuk fintech Indonesia

Bank Sentral India (Reserve Bank of India) melakukan banyak hal inovatif untuk mendukung pengembangan fintech di negaranya, dengan membentuk platform infrastruktur yang memadai untuk pembayaran efisien dan lintas operasional.

Mereka mendirikan Immediate Payment Service (IMPS) untuk menawarkan sistem transfer dana elektronik antar bank secara real-time 24/7. Kemudian, meluncurkan United Payments Interface (UPI). Yakni rancangan umum dan interface aplikasi standar untuk memfasilitasi transfer dana antar bank tanpa perlu meminta nomor rekening atau kode bank.

Semua pengguna Android yang memiliki rekening pada bank mitra UPI dapat mengunduh apliksi UPI untuk melakukan transaksi e-commerce secara person-to-person menggunakan alamat virtual seperti (nama)@bankname. UPI dibangun terpisah dari IMPS.

Bank Sentral juga meluncurkan Aadhaar Payment Bridg, untuk membantu kelancaran transfer pembayaran dana kesejahteraan kepada warga yang berhak menerima. Nasabah tidak perlu membuka rekening di bank berbeda untuk memperoleh subsidi dan tunjangan tersebut; mereka hanya perlu membuka satu rekening dan dihubungkkan ke nomor Aadhaar.

Pencairan dana subsidi akan secara otomatis dikirimkan ke rekening bank tanpa perlu menginformasikan detil rekening bank nasabah ke pemerintah.

Tak hanya itu, Bank Sentral menginisiasikan peluncuran Payment Bank di 2014. Payment Bank adalah kategori bank model baru dengan persyaratan KYC yang lebih longgar. Pembukaan rekening dapat dilakukan dengan satu dokumen saja yang membuktikan alamat nasabah. Dokumen ini bersifat permanen maupun lokal, yang dapat diverifikasi melalui surat registrasi/lewat telepon.

Hanya saja rekening tersebut dipersyaratkan memiliki maksimal setoran dan saldo tidak lebih dari US $1,500 sepanjang waktu. Penawaran pinjaman dan kartu kredit tidak berlaku untuk rekening tersebut, namun dapat menawarkan produk dan layanan seperti kartu ATM, debit, online, dan mobile banking.

Upaya Bank Sentral India harus diapresiasi. Sebab pada dasarnya, di seluruh dunia regulator memegang peranan lebih aktif dalam mendorong inovasi fintech dengan mengupayakan pencapaian keseimbangan tepat atas regulasi yang “terlalu rendah” vs “terlalu tinggi”.

Bagaimana regulator dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendorong para pemain baru, sekaligus terus berupaya menyeimbangkan risiko yang terikat pada inovasi-inovasi tersebut.

Survei Fintech Indonesia 2016: 61 Persen Startup Fintech Anggap Regulasi di Indonesia Belum Jelas

Di sela-sela acara Indonesia Fintech Festival & Conference (IFFC) 2016 hari pertama, Deloitte Consulting bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Indonesia merilis hasil Survei Fintech Indonesia 2016. Terungkap bahwa 61 persen startup fintech Indonesia menganggap regulasi Indonesia masih belum jelas dan lambat beradaptasi terhadap perkembangan fintech. Temuan lainnya menyebutkan bahwa kolaborasi dan kemitraan strategis dianggap penting untuk mendorong inovasi keuangan digital.

Survei Fintech Indonesia 2016 ini dilakukan pada Juni-Agustus 2016 yang melibatkan 70 perusahaan fintech Indonesia. Ditemukan bahwa saat ini fintech di Indonesia masih berusia muda dengan 76 persen perusahan fintech baru beroperasi selama dua tahun. Di samping itu, terungkap juga bahwa 24 persen perushaan fintech Indonesia bergerak di bidang P2P atau Online Lending dan 25 persen responden saat ini memiliki total 30-100 staf.

Penasihat untuk industri jasa keuangan Deloitte Consulting Erik Koenen menyampaikan bahwa dari hasil Survei Fintech Indonesia 2016 ada empat poin penting yang bisa diambil. Keempat poin tersebut berkaitan dengan regulasi, kolaborasi, talenta, dan financial literacy dan financial inclusion.

Dari sisi regulasi ditemukan bahwa 61 persen responden menganggap adaptasi regulasi di Indonesia terhadap perkembangan fintech tergolong lambat dan berada di area abu-abu. Setidaknya, ada lima area dalam fintech yang dirasa responden memiliki kebutuhan paling tinggi untuk kejelasan regulasi. Lima area tersebut adalah Payment Gateway (60%), e-money/e-wallet (58%), mekanisme Know Your Client atau KYC (57%), P2P lending (57%) dan digital signature (54%).

Dari sisi kolaborasi ditemukan bahwa 100% responden setuju kolaborasi merupakan poin penting dalam pengembangan bisnis fintech, baik itu dengan pemerintah dan institusi finansial atau dengan pelaku fintech lainnya. Ada 38% responden yang percaya bahwa peningkatan penerapan best practice adalah manfaat terbesar kolaborasi dan 25% lainnya percaya kolaborasi bisa meningkatkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan data pasar.

Masalah kekurangan talenta juga tidak lepas dari sektor fintech, terutama kepada keahllian spesifik di bidang fintech itu sendiri. Erik menyampaikan ada banyak engineer dan developer di Indonesia, seharusnya tidak ada kekurangan bakat dari sudut pandang ini. Namun, menurutnya saat ini tidak ada banyak engineer atau sales person di Indonesia yang memahami teknologi di balik jasa keuangan.

Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa untuk perusahaan fintech yang berusia 0-2 tahun talenta di bidang data and analytics adalah permintaan tertinggi (83%). Perusahaan berusia 3 tahun butuh talenta di bidang back end programming (67%). Sedangkan perusahaan dengan usia 4 tahun ke atas kebutuhan talenta yang memahami risk management adalah yang paling dicari (90%).

Dari hasil survei juga ditemukan bahwa perusahaan fintech Indonesia hingga saat ini kesulitan untuk memajukan inklusi keuangan karena rendahnya tingkat pendidikan keuangan.  Sekjen Asosiasi Fintech Indonesia Karaniya Dharmasaputra bahkan menyebutkan masalah ini tidak hanya terjadi di antara anggota masyarakat umum tetapi juga di antara pemain di industri keuangan konvensional.

Berdasarkan hasil survei, 36 persen reponden percaya bahwa collaborative training and communications efforts adalah cara terbaik untuk meningkatkan financial literacy dari konsumen yang dibidik.

Karaniya mengatakan, “Saat ini kita sedan berada di tengah era inovasi keuangan, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi. Melalui survei ini, kami ingin menyoroti bagaimana kolaborasi di antara pemain fintech dan regulator dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan keuangan, khususnya yang memanfaatkan teknologi.”

Erik menambahkan, “Berkembangnya penggunaan teknologi di sektor keuangan membuktikan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi besar dan ini perlu menjadi agenda penting pemerintah [sebagai regulator]. Kolaborasi antara perusahaan fintech atau dengan institusi keuangan juga merupakan faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.”