Bukan Sembarang Speaker Wireless, Beosound Edge Pantas Diikutkan Pagelaran Seni

Minimalis nan elegan sudah menjadi filosofi desain Bang & Olufsen sejak lama, bahkan di era smart speaker pun ‘iman’ mereka masih tak tergoyahkan. Kendati demikian, saya rasa belum ada speaker lain yang lebih minimalis ketimbang persembahan terbaru B&O yang satu ini.

Namanya Beosound Edge. Wujudnya mirip koin raksasa, dengan dimensi kurang lebih setara ban mobil (diameternya sekitar 50 cm). Sisi kiri dan kanannya dilapis fabric hitam dengan sentuhan matte, sedangkan rangka melingkarnya murni terbuat dari aluminium utuh yang dipoles hingga semengilap cermin.

Ada panel indikator kecil di bagian rangkanya yang akan menyala ketika seseorang mendekat berkat kehadiran proximity sensor. Di panel ini juga pengguna bisa melihat indikator volumenya, namun bersiaplah terkejut mengetahui cara mengatur volume dari speaker ini.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Untuk membesar-kecilkan volumenya, pengguna harus menggelindingkan speaker sedikit (mengayunkan) ke depan atau belakang. Tak perlu khawatir speaker-nya terlepas dari pegangan dan menggelinding liar, sebab ada semacam kaki kecil di bawahnya yang akan membantu speaker kembali ke posisi asalnya.

Metode yang sama juga dapat diterapkan ketika speaker digantungkan ke tembok – dorong ke atas atau bawah untuk mengatur volume – sebab di dalamnya telah tertanam accelerometer dan gyroscope yang membantunya ‘menyadari’ posisinya. Meski simpel secara penampilan, rupanya ia masih menyimpan kejutan yang cukup unik.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Soal performa, B&O telah membekalinya dengan sebuah woofer 10 inci, sepasang midrange driver 4 inci dan sepasang tweeter 0,75 inci, lengkap beserta enam buah amplifier Class-D. Inovasi lain yang diunggulkannya adalah Active Bass Port, yang akan membuka dan menutup tergantung seberapa tinggi volumenya. Alhasil, keseimbangan antara kejernihan suara dan dentuman bass yang mantap bisa tercapai di level volume apapun.

Bang & Olufsen Beosound Edge

Beosound Edge merupakan speaker wireless. Koneksi langsung via Bluetooth dapat ia atasi, begitu juga via Chromecast ataupun AirPlay 2. Secara keseluruhan, ia bisa diunggulkan perihal performa dan fitur, namun kebetulan saja fisiknya juga pantas diikutkan pada pagelaran seni.

Lalu berapa harganya? Sudah pasti mahal: $3.500 saat mulai dipasarkan di pertengahan bulan November nanti.

Sumber: TechRadar dan The Verge.

Blue Yeti Nano Warisi Keunggulan Mikrofon USB Legendaris dalam Harga yang Lebih Terjangkau

10 tahun yang lalu, merek yang kita ingat saat membicarakan tentang mikrofon mungkin adalah merek seperti Sennheiser atau Shure. Namun di eranya para YouTuber dan podcaster ini, gelar merek mikrofon terpopuler malah jatuh ke Blue. Lewat produk legendaris seperti Yeti, Blue berhasil membangun reputasinya sampai akhirnya diakuisisi oleh Logitech.

Blue Yeti sudah tidak perlu diragukan lagi kualitasnya, bahkan YouTuber kondang sekaligus tajir seperti MKBHD pun juga merekomendasikannya. Namun banderol $130 mungkin terasa kelewat mahal bagi sebagian konsumen. Kalau itu masalahnya, Blue sudah menyiapkan alternatifnya, yakni Yeti Nano.

Yeti dan Yeti Nano / Blue Microphones
Yeti dan Yeti Nano / Blue Microphones

Sesuai namanya, ia merupakan versi lebih mungil dari Yeti. Dimensi yang lebih ringkas membuat tombol mute harus absen darinya, tapi setidaknya kenop volume berukuran besarnya masih ada. Ia pun masih dilengkapi jack headphone sehingga pengguna bisa memonitor rekaman audionya secara real-time.

Kalau Yeti standar mengemas tiga kapsul kondensor 14 mm, Yeti Nano cuma punya dua. Kompromi lain yang Blue terapkan pada Yeti Nano terletak pada mode perekamannya: ia hanya memiliki dua mode saja (Yeti standar punya empat), yaitu Cardioid (satu arah) dan Omnidirectional (segala sudut).

Blue Yeti Nano

Yeti Nano siap merekam audio dalam resolusi maksimum 24-bit/48kHz (Yeti standar cuma 16-bit). Resolusinya ini bisa diatur melalui aplikasi pendampingnya di komputer, Blue Sherpa, termasuk halnya pengaturan lain. Firmware update untuk Yeti Nano nantinya juga akan dikirim melalui software ini.

Blue Yeti Nano saat ini sudah dipasarkan seharga $100. Selisihnya memang tidak begitu banyak, dan ini juga bukan mikrofon USB termurah yang ada di pasaran (juga bukan yang termurah di jajaran produk Blue). Terlepas dari itu, kalau memang harus memiliki Blue Yeti namun tidak punya dana lebih dari $100, inilah pilihan satu-satunya.

Sumber: TechCrunch dan Blue.

Bose Luncurkan Smart Speaker dan Smart Soundbar Berintegrasi Alexa

Harman Kardon bukan satu-satunya dedengkot audio yang mengumumkan smart speaker anyar menjelang IFA 2018. Di kubu lain, ada Bose yang tampil all out. Tidak tanggung-tanggung, mereka memperkenalkan tiga smart speaker sekaligus. Dua di antaranya malah masuk kategori soundbar – Bose sepertinya tidak rela membiarkan Sonos berkuasa di segmen ini.

Bintang utamanya adalah Bose Home Speaker 500, yang diklaim sebagai smart speaker dengan soundstage paling luas yang ada di pasaran saat ini. Di dalam tubuh aluminium silindrisnya bernaung sepasang driver yang diposisikan saling membelakangi. Tujuannya demi menyuguhkan separasi instrumen yang sempurna, dan Bose pun percaya diri konsumen tak memerlukan sampai dua unit speaker untuk bisa menikmati konfigurasi stereo yang sebenarnya macam yang ditawarkan pabrikan lain.

Bose Home Speaker 500

Salah satu sisi speaker ini dihuni oleh sebuah layar berwarna. Layar ini bukanlah touchscreen, melainkan berfungsi untuk menampilkan cover album musik yang tengah diputar. Untuk mengoperasikan speaker ini, terdapat sederet tombol di permukaan atasnya, termasuk sejumlah tombol yang dapat diprogram sesuai kebutuhan, dan tentu saja Anda juga bisa langsung menginstruksikan Alexa secara lisan.

Interaksi pengguna dengan Alexa ini dipastikan selalu mulus berkat penggunaan total delapan mikrofon sekaligus. Mikrofonnya pun bukan sembarangan, melainkan yang mewarisi teknologi yang digunakan pada lini headphone Bose, yang memang juara dalam hal noise cancelling. Selain Wi-Fi, konektivitasnya juga mencakup Bluetooth, dan semua ini rupanya juga tersedia pada kedua soundbar-nya.

Bose Soundbar 700 / Bose
Bose Soundbar 700 / Bose

Soundbar yang pertama, Bose Soundbar 700, memiliki dimensi 98 x 11 x 5,7 cm, dengan bobot sekitar 4,8 kilogram. Ia bongsor, tapi itu justru bisa menjadi indikasi positif akan kualitas suaranya. Estetikanya pun begitu menawan, dengan grille logam yang mengelilingi seluruh sisinya, diikuti sebilah tempered glass pada permukaan atasnya.

Tampang elegan yang sama juga bakal konsumen dapatkan pada soundbar yang kedua, yakni Bose Soundbar 500 yang lebih ringkas di angka 80 x 10 x 4,5 cm, dengan bobot 3,2 kg – plus memiliki sentuhan matte. Hampir semua fitur yang dimiliki kakaknya juga tersedia di sini, terkecuali teknologi Bose PhaseGuides, yang dirancang untuk menyebarkan distribusi suara secara lebih optimal sehingga menumbuhkan kesan soundstage yang lebih luas lagi.

Bose Soundbar 500 / Bose
Bose Soundbar 500 / Bose

Ketiga produk ini bakal Bose pasarkan mulai bulan Oktober mendatang. Home Speaker 500 dihargai $400, sedangkan Soundbar 700 dan Soundbar 500 masing-masing dihargai $800 dan $550. Catatan penting yang terakhir: Bose bilang bahwa ke depannya mereka juga bakal menyematkan integrasi voice assistant lain di samping Alexa – sekali lagi, langkahnya mirip seperti yang diambil Sonos.

Sumber: VentureBeat dan Bose.

Harman Kardon Citation 500 Janjikan Kualitas Suara Premium dan Integrasi Google Assistant

Dari sekian banyak pabrikan yang bermain di segmen smart speaker, Harman Kardon adalah salah satu yang paling produktif. Sejauh ini mereka sudah punya dua smart speaker untuk dua platform yang berbeda, yakni Invoke untuk Cortana dan Allure untuk Alexa. Mana yang mengemas integrasi Google Assistant? Well, itulah alasan artikel ini eksis.

Menjelang ajang IFA 2018, Harman Kardon memperkenalkan smart speaker anyar bernama Citation 500. Seperti yang saya bilang, yang menjadi ‘nyawanya’ adalah Google Assistant, dan kebetulan desainnya cukup mirip seperti Google Home Max – bahkan pilihan warnanya pun juga ada dua, yakni abu-abu atau hitam.

Sekeliling sasisnya dibalut oleh bahan wol yang terkesan premium, sedangkan permukaan atasnya yang minimalis hanya dihuni oleh panel sentuh LCD yang berwarna. Berhubung ada integrasi Google Assistant, pengguna tentu bisa mengoperasikannya dengan perintah suara di samping memakai panel sentuh tersebut.

Harman Kardon Citation 500

Mengontrol perangkat smart home yang kompatibel juga dapat dilakukan bersama speaker ini. Pada dasarnya apa yang dapat Google Assistant lakukan di smart speaker lain, juga dapat dilakukan di sini. Namun tentu saja sebagai Harman Kardon, kualitas suara selalu mendapat perhatian khusus, dan di sini Citation 500 mengandalkan speaker stereo berdaya 200 watt, dengan dukungan resolusi maksimum 24-bit/96kHz.

Ini juga yang menjadi alasan Harman Kardon Citation 500 dibanderol di atas rata-rata: $600. Harga tersebut menjadikannya salah satu smart speaker Google Assistant yang paling mahal – saya bilang salah satu karena masih ada Beosound 1 dan Beosound 2 dari Bang & Olufsen yang harganya berada di kisaran $2.000.

Sumber: The Verge.

Bang & Olufsen Sulap Dua Speaker Mahalnya Jadi Smart Speaker

Popularitas smart speaker berhasil mengubah perspektif konsumen terhadap sebuah pengeras suara. Kalau dulu yang menjadi prioritas utama adalah kualitas suara, sekarang speaker dituntut untuk mengusung integrasi voice assistant, dan secara tak sadar konsumen pun telah menomorduakan performa sehingga muncul anggapan baru bahwa kualitas audio smart speaker biasa-biasa saja.

Produk-produk seperti Apple HomePod atau Google Home Max sebenarnya bisa mematahkan anggapan tersebut, sebab mayoritas reviewer setuju kalau suaranya bagus. Masalahnya, kedua smart speaker itu tidak dibuat oleh pabrikan yang benar-benar berpengalaman di industri audio, jadi wajar apabila masih banyak yang meragukannya.

Lain halnya dengan Bang & Olufsen. Nyaris semua orang tahu kalau perusahaan asal Denmark ini merupakan salah satu pemain lama di dunia, dan produk keluarannya hampir selalu memuaskan untuk urusan kualitas suara. B&O tidak mau reputasi mentereng itu pudar hanya karena mereka ikut meramaikan pasar smart speaker. Maka dari itu, mereka telah menyiapkan produk yang istimewa.

Beosound 1 / Bang & Olufsen
Beosound 1 / Bang & Olufsen

B&O memperkenalkan dua smart speaker sekaligus, yakni Beosound 1 dan Beosound 2. Kalau namanya terdengar familier, itu karena keduanya sudah dipasarkan sejak tahun 2016. Yang dirilis baru-baru ini pada dasarnya cuma upgrade minor terhadap Beosound 1 dan Beosound 2, dengan satu penambahan fitur baru untuk menyulapnya menjadi speaker yang cocok di era voice assistant.

Apalagi kalau bukan integrasi Google Assistant. Fitur ini memungkinkan Beosound 1 dan Beosound 2 untuk dikendalikan via perintah suara, plus menjawab pertanyaan dari penggunanya. Namun berhubung hardware-nya sama persis seperti yang diluncurkan di tahun 2016, kualitas suaranya pun dijamin di atas rata-rata smart speaker yang ada di pasaran.

Beosound 2 / Bang & Olufsen
Beosound 2 / Bang & Olufsen

Di samping itu, masih ada pembaruan lain dalam wujud deretan tombol di ujung atas speaker, di mana sebelumnya bagian tersebut kosong. Konektivitasnya pun cukup oke, mencakup dukungan Chromecast, Spotify Connect, maupun AirPlay 2 yang dirilis belum lama ini.

Soal perbedaan di antara keduanya, Beosound 1 dibekali baterai rechargeable agar sedikit lebih portable, sedangkan Beosound 2 yang lebih besar dan bertenaga cuma bisa dicolokkan ke listrik. Upgrade versi pintarnya kini sudah dipasarkan masing-masing seharga $1.750 dan $2.250.

Sumber: Digital Trends.

Laporan DailySocial: Penggunaan Layanan Podcast 2018

Sejak iPod diperkenalkan Steve Jobs di tahun 2001, muncul sebuah tren baru untuk konten audio. Kala itu diberi nama “iPod Broadcasting”, diakronimkan menjadi Podcast. Berbeda dengan radio yang sebelumnya sudah akrab di masyarakat, podcast tidak menyiarkan konten secara linier, namun on-demand.

Seiring berjalannya waktu, konten podcast makin diminati. Selain kategori konten yang makin beragam, platform pengusungnya juga mulai banyak. Kendati demikian, jika melihat secara kasat mata, dibanding konten on-demand lainnya seperti musik atau video, popularitas podcast di Indonesi memang kalah jauh.

Untuk mendapatkan detail soal ketertarikan masyarakat dengan podcast, DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform melakukan survei terhadap 2023 pengguna ponsel pintar, menanyakan tanggapan masyarakat Indonesia terhadap podcast.

Dari survei tersebut, ditemukan beberapa fakta menarik, di antaranya:

  • Konten (65,00%) dan fleksibilitas akses (62,69%) menjadi faktor yang dianggap menarik bagi responden, sehingga mereka memilih podcast.
  • Spotify (52,02%) adalah layanan paling populer yang digunakan untuk mendengarkan konten podcast oleh responden.

Selain itu, masih ada beberapa tren lain yang berhasil ditangkap dalam survei, termasuk tema yang digemari, narasumber yang dipilih, hingga durasi konten yang dianggap ideal. Selengkapnya silakan unduh gratis laporan “Podcast User Research in Indonesia 2018”.

Bukan Sebatas Earphone Planar Magnetic, RHA CL2 Planar Ternyata Juga Wireless

Ngomong-ngomong soal headphone berteknologi planar magnetic, biasanya langsung teringat dengan Audeze. Teknologi yang juga dikenal dengan istilah orthodynamic ini sebenarnya sudah dipopulerkan oleh Yamaha sejak tahun 1976, akan tetapi tidak bisa dipungkiri Audeze-lah yang berjasa mengangkat reputasinya di kalangan audiophile lewat headphone premium seperti LCD–2.

Secara umum, headphone planar magnetic memiliki ukuran yang lebih besar dari biasanya, akan tetapi pada tahun 2016, Audeze membuktikan bahwa mereka bisa mengemas teknologi tersebut dalam sebuah earphone yang cukup ringkas bernama iSine. Dua tahun berselang, giliran RHA Audio yang membuktikan bahwa planar magnetic juga bisa diterapkan pada earphone wireless.

RHA CL2 Planar

Pabrikan audio asal Skotlandia itu baru saja memperkenalkan RHA CL2 Planar, earphone wireless berteknologi planar magnetic pertama di jagat raya. Bukan cuma wireless, dimensinya pun jauh lebih mungil ketimbang Audeze iSine – bobotnya cuma 9 gram tanpa kabel – dan desainnya juga terkesan lebih ‘normal’ selagi masih mencurahkan aura premium.

Yang lebih mengejutkan lagi, RHA baru memulai debutnya di segmen earphone wireless tahun lalu, dan ternyata CL2 Planar ini sudah mereka kembangkan selama sekitar empat tahun. Dedikasi dan kerja keras mereka itu akhirnya berujung pada driver planar magnetic berukuran 10 mm yang tertanam di masing-masing earpiece CL2 Planar.

RHA CL2 Planar

Kedua earpiece yang terbuat dari bahan keramik zirconium itu menyambung ke sebuah neckband fleksibel yang menyimpan chip Bluetooth 4.1 (aptX) sekaligus baterai berdaya tahan 12 jam. Remote kecil berisikan tombol pengaturan audio juga tampak pada salah satu kabelnya.

Berhubung ini masuk kategori produk audiophile – dan audiophile umumnya lebih memprioritaskan kualitas suara ketimbang kepraktisan konektivitas wireless – CL2 Planar rupanya juga dapat dilepas earpiece-nya dan disambungkan ke kabel audio 3,5 atau 2,5 mm (yang termasuk dalam paket pembelian) menjadi earphone wired biasa. Dibantu headphone amp atau DAC, CL2 Planar siap menyuguhkan respon frekuensi di rentang 16 – 45.000 Hz.

RHA CL2 Planar

Kabel audio bukan satu-satunya aksesori yang tersedia dalam paket pembelian CL2 Planar. RHA mempertahankan tradisinya menyertakan seabrek aksesori lain seperti sebuah carrying pouch, flight case, adaptor kabin pesawat, kabel USB-C untuk charging, sports clip, dan total 10 pasang eartip cadangan (termasuk buatan Comply yang berbahan memory foam) yang disusun rapi pada sebuah pelat stainless steel.

Melihat semua yang ditawarkannya, RHA CL2 Planar jelas bukan barang murah. Harganya dipatok $900, dan akan dipasarkan di berbagai peritel mulai tanggal 12 September mendatang.

RHA CL2 Planar

Sumber: Digital Trends dan RHA Audio.

Separated Sound Zone Ciptakan Zona Audio yang Berbeda untuk Tiap Penumpang dalam Mobil

Ketika mobil kemudi otomatis sudah menjadi mainstream nanti, peran sistem hiburan dalam mobil jelas bakal semakin menguat. Masalahnya, tidak semua orang punya selera musik atau tontonan yang sama, sehingga sering kali harus ada yang mengalah dan pada akhirnya memasang muka cemberut di sepanjang perjalanan.

Solusinya kalau menurut Hyundai dan Kia adalah teknologi bernama Separated Sound Zone (SSZ). Sesuai namanya, sistem yang terpasang pada mobil ini dapat menciptakan zona audio yang berbeda untuk setiap penumpang, termasuk sang pengemudi.

Dengan begitu, pengemudi bisa fokus mendengarkan petunjuk navigasi plus podcast misalnya, lalu masing-masing penumpang di depan dan belakang dapat menikmati playlist musik favoritnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang harus mengalah, namun di saat yang sama mereka masih bisa berkomunikasi satu sama lain dengan leluasa, sebab gelombang suara yang ‘dinetralkan’ di tiap-tiap zona hanyalah yang berasal dari speaker.

Hyundai-Kia Separated Sound Zone

Jauh sebelum ini, Harman sebenarnya sudah mengungkap teknologi serupa yang mereka juluki Individual Sound Zones. Premis dan cara kerja SSZ besutan Hyundai dan Kia ini cukup mirip, dan mereka pun juga sudah mengembangkannya cukup lama, sejak 2014 tepatnya.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Hyundai dan Kia bakal menyematkan SSZ pada mobil produksi mereka dalam satu atau dua tahun ke depan. Sebelum era mobil self-driving terwujudkan, sepertinya teknologi ini hanya akan tersedia pada mobil yang tergolong di kelas premium saja.

Sumber: New Atlas dan Kia.

Sennheiser Memory Mic Adalah Mikrofon Wireless untuk Videografer Smartphone

Entah kebetulan atau tidak, kategori produk mikrofon semakin mencuat popularitasnya belakangan ini. Dua indikasinya adalah mikrofon USB garapan Beyerdynamic dan akuisisi Logitech atas Blue Microphones. Di saat yang sama, tren mikrofon portable alias wireless juga ikut menguat berkat produk seperti Mikme Silver, serta yang terbaru datang dari dedengkot mikrofon itu sendiri, Sennheiser.

Pabrikan asal Jerman tersebut baru saja memperkenalkan Sennheiser Memory Mic, sebuah mikrofon yang bisa tersambung ke smartphone via Bluetooth untuk membantu meningkatkan kualitas audio pada saat pengambilan video dari jarak jauh. Seperti yang kita tahu, kualitas gambar bukanlah kelemahan smartphone dalam merekam video, melainkan kualitas audionya.

Sennheiser Memory Mic

Seperti Mikme, Memory Mic datang bersama sebuah aplikasi smartphone yang berfungsi untuk menyinkronkan audio dengan video yang sedang direkam secara otomatis. Yang cukup unik di sini adalah, mikrofon bawaan smartphone rupanya masih akan aktif selama perekaman, sehingga pada hasil akhirnya, pengguna dapat menggabungkan audio dari Memory Mic dan suara ambient yang ditangkap oleh ponsel.

Juga menarik adalah kemampuan Memory Mic untuk terus merekam audio meski sudah keluar dari jangkauan koneksi Bluetooth. Ia dapat menyimpan audio secara internal hingga berdurasi empat jam, dan setelahnya dapat disinkronkan secara otomatis dengan video dari smartphone melalui aplikasi pendamping itu tadi.

Sennheiser Memory Mic

Di balik kemasan putihnya yang terlihat premium itu bernaung mikrofon tipe condenser yang mampu merekam audio dari segala arah (omnidirectional) dalam resolusi 16-bit/48kHz, dengan rentang frekuensi 100 – 20.000 Hz. Casing-nya dilengkapi sebuah penjepit magnetik agar dapat dengan mudah dipasangkan ke tubuh subjek video yang hendak direkam.

Baterainya diperkirakan dapat bertahan sampai empat jam pemakaian dalam satu kali pengisian. Charging-nya sendiri mengandalkan sambungan USB-C, tapi sayangnya tidak ada informasi apakah perangkat ini juga dapat difungsikan sebagai mikrofon USB.

Sennheiser Memory Mic saat ini sudah dipasarkan seharga $200. Podcaster, YouTuber maupun kalangan umum yang ingin meningkatkan kualitas audio pada video-video bikinannya semestinya bakal tertarik dengan produk semacam ini.

Sumber: Sennheiser.

Logitech Akuisisi Blue Microphones Senilai $117 Juta

Logitech kembali mengakuisisi sebuah perusahaan besar setahun setelah membeli Astro Gaming. Yang menjadi incaran kali ini adalah Blue Microphones, pabrikan asal AS yang mikrofonnya cukup populer di kalangan podcaster, YouTuber, maupun live streamer.

Logitech bersedia membayar $117 juta secara tunai guna mencaplok seluruh aset Blue, termasuk semua karyawannya. Namun sama seperti ketika Logitech mengakuisisi Ultimate Ears dan Jaybird, brand Blue masih akan dipertahankan sebagai salah satu portofolio produk Logitech.

Akuisisi ini merupakan langkah yang wajar mengingat Logitech memang sudah cukup lama bermain di bidang audio sekaligus memproduksi sejumlah perangkat pendukung broadcasting. Headphone dan headset mereka punya, webcam pun juga demikian, tinggal mikrofon yang belum (sebenarnya ada tapi tidak populer), dan langkah termudah adalah meminang perusahaan yang sudah mendedikasikan waktunya sejak lama di segmen ini.

Salah satu produk Blue yang paling diminati konsumen, Blue Yeti / Blue Microphones
Salah satu produk Blue yang paling diminati konsumen, Blue Yeti / Blue Microphones

Kalau brand sekelas Beyerdynamic saja sudah mulai ikut bermain di kategori mikrofon USB, maka Logitech pun juga sudah harus mengerahkan upaya ekstra, dan akuisisi ini bisa dianggap sebagai langkah minim resiko bagi mereka. Popularitas mikrofon buatan Blue di kalangan live streamer juga bakal bersinergi dengan posisi Logitech yang memang sudah cukup kuat di sektor gaming.

Bagi Blue sendiri, berhubung brand-nya masih dipertahankan, akuisisi ini bisa dianggap sebagai suntikan dana segar buat upaya mereka memimpin di kategori mikrofon USB. Berada di bawah naungan Logitech juga berarti produk-produknya bisa menjangkau konsumen secara lebih luas.

Sumber: Logitech dan TechCrunch.