Traveloka Ekspansi ke Australia

Bersama pembaruan aplikasi Android versi teranyar, Traveloka mengumumkan bahwa pihaknya kini mulai melayani pangsa pasar Australia. Terkait ekspansi ini, DailySocial telah menghubungi tim Traveloka. Mereka mengonfirmasi kabar tersebut, hanya saja belum bisa menginformasikan secara detail, apakah mereka sudah membangun kantor perwakilan di sana dan/atau membentuk tim khusus.

Ekpansi Traveloka di Australia
Informasi mengenai ekspansi Traveloka pada pembaruan aplikasi

Kehadiran Traveloka di luar Asia Tenggara sebenarnya sudah dimulai sejak Januari 2019 lalu di India. Hanya saja fokus mereka di sana bukan untuk memenangkan peluang OTA, melainkan mengembangkan pusat riset dan pengembangan produk teknologi.

Rencana ekspansi besar-besaran Traveloka sudah mulai tersiar sejak tahun 2018. Untuk mengakselerasi misi tersebut, mereka dikabarkan tengah mengumpulkan pendanaan baru senilai 6 triliun Rupiah. Saat ini selain di Indonesia, Traveloka sudah melayani pengguna di Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Sebelumnya Traveloka juga dikabarkan telah melakukan akuisisi beberapa pemain OTA, salah satunya merupakan rival bisnisnya di Indonesia, yakni Pegipegi. Selain itu ada juga Mytour dari Vietnam dan Travelbook dari Filipina. Strategi lain yang terus didorong untuk memenangkan pasar ialah pengembangan produk, saat ini yang cukup digencarkan ialah fitur PayLater.

Menurut hasil penelitian Google-Temasek, sektor Online Travel adalah salah satu yang terbesar di ekonomi digital Asia Tenggara saat ini. Prakiraan nilainya di tahun 2018 sebesar $30 miliar, melebihi e-commerce dan ride hailing. Potensi pertumbuhannya ditakar mencapai $78 miliar pada tahun 2025 mendatang.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Direktori Halal Local Siap Sambangi Australia Tahun Depan

Halal Local, aplikasi direktori halal asal Bandung, siap menyambangi pasar Australia dan Asia Pasifik tahun depan melalui kerja sama B2B dengan mitra di negara tujuan. Lewat perluasan tersebut, Halal Local akan menyediakan direktori halal di negara tujuan, baik berupa masjid maupun restoran untuk para pelancong.

CEO Halal Local M Senoyodha Brennaf menuturkan, dalam skema B2B ini perusahaan akan menyediakan API yang bisa diintegrasikan dengan platform milik mitra, sehingga para penggunanya bisa terhubung dengan database dari Halal Local saat ingin mencari destinasi halal.

“Halal Local akan ada di balik layar, bantu menyediakan konten untuk mitra, sehingga nanti turis bisa lebih mudah menentukan keputusan saat ingin mendapatkan itinerary halal yang bagus,” ujar Senoyodha, saat ditemui di Startcon 2018 bersama Kedutaan Besar Australia Jakarta dalam rangka Digital Indonesia Media Visit di Sydney, pekan lalu (1/12).

Untuk mendukung rencana ekspansi tersebut, Halal Local tengah menjajaki kerja sama strategis dengan pemain direktori halal dari New Zealand yang sudah 10 tahun menggeluti sektor yang sama. Diharapkan nantinya menghasilkan jaringan dan basis data yang kuat. Yodha memperkirakan proses ini bakal rampung pada Mei 2019 mendatang.

Halal Local sudah mendapat pendanaan eksternal sebanyak tiga kali dari angel investor, Bekraf, dan Kemenristekdikti. Bila ditotal jumlahnya sekitar 950 juta Rupiah.

Perusahaan masuk ke dalam enam besar untuk kompetisi pitching global Startcon 2018 untuk memperebutkan hadiah investasi sebanyak AUD 1 juta (sekitar 10 miliar Rupiah). Namun sayangnya Halal Local harus mengakui keunggulan dari startup Australia yakni Daitum yang bergerak di bidang kecerdasan buatan.

Himpun basis data dari berbagai pihak

Logo Halal Local / Halal Local
Situs website dan aplikasi Halal Local / Halal Local

Konsep B2B ini dilakukan oleh Halal Local setiap kali ingin melakukan ekspansi ke luar negeri. Jepang menjadi negara pertama yang disambangi Halal Local.

Perusahaan menerapkan konsep bisnis kepada para mitranya yang bergerak di berbagai industri seperti agen travel, maskapai penerbangan, perhotelan, dan lainnya.

Selain Jepang, Halal Local juga sudah hadir di Singapura, Malaysia, dan beberapa negara di kawasan Asia dan Eropa lainnya.

Yodha, panggilan akrab dari Senoyodha, menuturkan konsep B2B lebih mudah untuk diterapkan dan memiliki pasar yang jelas, ketimbang harus memakai strategi B2C. Pasalnya, B2C berarti mendorong Halal Local untuk membuat transaksi di dalam aplikasi. Di sisi lain, pasar di segmen ini belum siap untuk menerima itu karena butuh unsur keamanan dan banyak konsumen yang masih ragu.

Next 2019 kita mau ke Australia dan 2020 mau ke Tokyo Olympic Games 2020.”

Dalam menyediakan basis data direktori halal, Yodha menjelaskan perusahaan melakukan pendataan dengan berbagai metode. Di antaranya ada yang didapat dari lembaga sejenis MUI (Majelis Ulama Indonesia), lembaga dewan masjid, dan komunitas. Selain itu data juga didapat dari pihak ketiga seperti pemain di sektor yang sama. Pengguna Halal Local dapat turut berpartisipasi memberikan masukan.

Halal Local telah merangkum lebih dari 50 ribu restoran halal dan 150 ribu masjid yang tersebar di 110 negara di seluruh dunia. Secara penetrasi, pengguna Halal Local terbanyak berada di Timur Tengah dan Uni Emirat Arab (26%), Indonesia (25%), Amerika Serikat dan Kanada (12,5%), Eropa (7,6%), Inggris (5%), Jepang dan Korea Selatan (1,3%), Australia (1,1%), dan negara lainnya (21,5%).

Pengembangan fitur

CTO Halal Local Nurma Larasati menambahkan, saat ini perusahaan sedang mengembangkan fitur stiker bertanda “certified halal” sebagai tambahan layanan untuk para mitra restoran yang sudah listing di Halal Local. Stiker ini dibuat berbeda-beda sesuai dengan tingkat halal yang diterapkan setiap manajemen restoran, ada yang semi-halal atau full-halal.

Yodha menjelaskan selain menandakan halal, stiker juga dilengkapi dengan kode QR yang dapat dipindai oleh pengguna saat ingin mencari tahu lebih lanjut informasi tentang restoran tersebut di situs Halal Local. Fitur ini sudah digulirkan sejak November 2018, di Bandung sekitar 2-3 restoran sudah memanfaatkannya, menyusul Jepang ada sekitar 4-5 restoran.

“Kan listing restoran di kita itu free, model bisnis kita itu freemium. Jadi setelah listing, kami tawari mereka lagi mau tidak pasang iklan. Nah salah satunya itu adalah stiker QR yang ditempelkan di depan toko mereka.”

Fitur stiker ini menurut Yodha akan lebih difokuskan ke bagian daerah yang memiliki popularitas Muslim yang minim, seperti Bali dan luar negeri, agar fungsinya lebih efektif.

Aplikasi Halal Local sudah diunduh 6 ribu kali sejak pertama kali hadir di April 2018.

Application Information Will Show Up Here

Graphic Design Startup Canva’s Plan for Indonesian Market

Australian based graphic design startup claims ready to invest more for local content production in Indonesian to improve business penetration. Indonesia is claimed to be one of three countries with Canva users.

In DailySocial visit with other media invited by the Australian Embassy in “Digital Indonesia Media Visit” framework, we met Canva’s Founder and CPO Cameron Adams, and the Growth Officer Xingyi Ho.

Adams explained, besides Indonesia, there are Brazil and India. Those three countries grab Canva’s attention. In addition, Canva is not only available in English but also French and Spanish.

Xingyi added because the three markets aren’t English-speaking countries, the company is adjusting to focus on it for deeper business penetration. Therefore, content localization is a priority.

In addition, Indonesian users growth is increasing rapidly since Canva released an Android version app in November 2017.

“We started to deepen the non-English market since last year. In fact, after the Android version app released, the growth is significant. We’re getting more aggressive in making content for Indonesia since the last six months”, he said.

Further He said, Canva is to make some investments for multiple contents in Indonesian, start from the logo, symbol, greeting card templates, and many more. Canva products most Indonesian people used are various size designs for social media, posters, and presentations.

Canva's Founder and CPO Cameron Adams / DailySocial
Canva’s Founder and CPO Cameron Adams / DailySocial

The company gets help from local people working as the third party to help Canva deepen its vocabulary in the content. Nevertheless, Xingyi hasn’t thought of the possibility to open a representative office in Indonesia.

In his opinion, the consideration is not urgent. Canva currently has a representative office in China and its head office in Sydney.

The unicorn startup claims to have had 10 million active users in 190 countries since it was established in 2013. However, Adams avoids revealing further information regarding users from Indonesia.

Canva sets a freemium business model for all its content. Users are capable to design with available tools for free, but there are some more attractive variations and it requires a fee.

Aside from Android version app, Canva has some supporting features, such as Canva for Work to enable users to connect with a design project. Canva for Prints, as a digital printing solution, is only available in 32 states in the US, Canada, Europe, and Mexico.

Indonesia hasn’t made it into the service list, but Adams ensures Indonesia will soon to take its turn in making Canva for Prints alive in the future.

Working culture

The open dining room atmosphere / DailySocial
The open dining room atmosphere / DailySocial

In the same occasion, we’re also invited to get around Canva’s head office in Melbourne. In total, Canva has around 400 employees distributed in three offices near each other.

Canva has a kitchen room and shared dining area on the ground floor. Adams said the dining room opens up opportunities for employees to communicate with each other and exchange ideas.

The atmosphere was made as cozy as possible, supported by an additional facility like the attractively designed pantry. Employees can work flexibly without having to worry about office hours.

Atmosphere in one of the working space at Canva's head office / DailySocial
The atmosphere in one of the working space at Canva’s head office / DailySocial

“The working culture Canva has built helps us to acquire qualified, happy, and passionate employees.”

Since Canva was first released, Adams expects it to be the solution for users who want to be an independent graphic designer. To date, graphic design is considered exclusive because it requires special tools not everyone has.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Rencana Startup Desain Grafis Canva untuk Pasar Indonesia

Startup desain grafis asal Australia Canva mengungkapkan siap berinvestasi lebih banyak untuk produksi konten lokal berbahasa Indonesia dalam rangka meningkatkan penetrasi bisnisnya. Indonesia disebutkan menjadi salah satu dari tiga negara dengan pengguna Canva.

Dalam kunjungan DailySocial beserta media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia dalam rangka “Digital Indonesia Media Visit”, kami bertemu dengan Founder dan CPO Canva Cameron Adams dan International Growth Officer Canva Xingyi Ho.

Adams menjelaskan, tiga negara dengan pangsa pasar terbesar selain Indonesia, ada Brazil dan India. Ketiga negara ini menempati perhatian serius bagi Canva. Selain hadir dalam bahasa Inggris, kini Canva juga tersedia dalam bahasa Perancis dan Spanyol.

Xingyi menambahkan, lantaran ketiga pasar ini bukan negara yang berbahasa Inggris, maka perusahaan pun menyesuaikan diri untuk memfokuskan ke sana demi penetrasi bisnis yang lebih mendalam. Oleh karenanya, pelokalan konten menjadi hal yang diutamakan.

Ditambah pula, pertumbuhan pengguna di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup drastis sejak Canva merilis aplikasi versi Android pada November 2017.

“Kita mulai perdalam non english market sejak tahun lalu. Apalagi sejak aplikasi versi Android dirilis, pertumbuhannya cukup signifikan. Kamipun lebih agresif membuat konten untuk Indonesia sejak enam bulan lalu,” kata Xingyi.

Menurutnya, Canva akan melakukan banyak investasi untuk perbanyak konten berbahasa Indonesia mulai dari logo, simbol, template kartu ucapan dan sebagainya. Produk Canva yang paling banyak digunakan oleh orang Indonesia adalah desain berbagai ukuran untuk media sosial, poster, dan presentasi.

Founder dan CPO Canva Cameron Adams / DailySocial
Founder dan CPO Canva Cameron Adams / DailySocial

Perusahaan mendapat bantuan dari orang lokal yang bertindak sebagai pihak ketiga untuk membantu Canva dalam perdalam kosakata dalam kontennya. Kendati demikian, Xingyi belum membuka kemungkinan untuk buka kantor perwakilan di Indonesia.

Menurutnya, pertimbangan tersebut untuk sementara belum dianggap mendesak. Saat ini Canva memiliki kantor perwakilan di Tiongkok dan kantor pusat di Sydney.

Startup unicorn ini mengklaim sudah memiliki 10 juta pengguna aktif di 190 negara, sejak pertama kali hadir di 2013. Sayang, Adams enggan mengungkap lebih jauh soal pengguna dari Indonesia.

Canva menetapkan model bisnis freemium untuk setiap kontennya. Pengguna bisa mendesain dengan tools yang ada secara gratis, namun ada beberapa konten dengan variasi yang lebih menarik dan hanya bisa digunakan dengan membayarnya.

Selain merilis aplikasi versi Android, Canva memiliki sejumlah fitur penunjang seperti Canva for Work, memungkinkan antar pengguna bisa saling terhubung dengan suatu proyek desain. Serta Canva for Prints untuk solusi print digital, layanan ini baru tersedia di 32 negara yang berada di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Meksiko.

Indonesia belum masuk ke dalam daftar layanan ini, namun Adams memastikan bahwa Indonesia akan segera mendapat giliran untuk meramaikan Camva for Prints ke depannya.

Budaya kantor

Suasana ruang makan bersama di kantor pusat Canva / DailySocial
Suasana ruang makan bersama di kantor pusat Canva / DailySocial

Dalam kesempatan yang sama, kami juga diajak untuk mengelilingi kantor pusat Canva yang terletak di Melbourne.Secara total, Canva memiliki sekitar 400 karyawan yang tersebar di tiga titik kantor yang lokasinya berdekatan satu sama lain.

Canva memiliki ruangan dapur dan tempat makan bersama di lantai dasar kantor. Adams menuturkan dalam tempat makan bersama ini, membuka kesempatan kepada para karyawannya untuk saling berkomunikasi dan bertukar pikiran.

Suasana kantor pun dibuat senyaman mungkin, ditunjang dengan fasilitas tambahan seperti pantry dengan desain yang menarik. Karyawan bisa masuk kerja secara fleksibel, tanpa harus terganggu dengan rutinitas jam masuk kantor.

Suasana salah satu ruang kerja di kantor pusat Canva / DailySocial
Suasana salah satu ruang kerja di kantor pusat Canva / DailySocial

“Budaya kerja yang dibangun Canva tentunya sangat membantu kami untuk mendapatkan karyawan yang berkualitas, senang bekerja di sini, dan passion dengan apa yang mereka kerjakan.”

Sejak pertama kali Canva dirilis, Adams menginginkan Canva dapat menjawab solusi untuk pengguna yang ingin secara mandiri menjadi desain grafis. Selama ini desain grafis dianggap sesuatu yang eksklusif karena butuh tools khusus yang tidak semua orang bisa memilikinya.

Studio VR Opaque Kembangkan Konten Simulasi untuk Berbagai Bidang

Pemanfaatan teknologi Virtual Reality (VR) ternyata tidak hanya terbatas untuk industri game saja. Hal ini dibuktikan langsung oleh startup studio VR asal Australia, Opaque Media Group.

Opaque mengembangkan VR untuk segmen niche seperti luar angkasa, penerbangan, dan kesehatan yang bisa dimanfaatkan untuk dukung program pelatihan. Dengan demikian, demo simulasi akan terasa lebih terasa nyata dan lebih memberikan dampak secara langsung.

Dalam kunjungan DailySocial beserta media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia dalam rangka Digital Indonesia Media Visit, kami bertemu dengan Manajer Studio Opaque, Mitchell Manganaro.

Manganaro bercerita, startup yang didirikan sejak 2012 ini awalnya ingin membawa teknologi VR agar tidak melulu soal game saja. Setelah brainstorming bersama tim, akhirnya diputuskan untuk membuat simulasi soal dunia kesehatan bertemakan MRI, demensia, alzheimer, dan autisme.

Ambil contoh, MRI VR Preparation dipakai untuk memberikan gambaran kepada pasien sehingga mereka bisa lebih siap. Sementara Virtual Dimentia Experience digunakan agar perawat bisa memberikan pelayanan untuk pasien demensia.

“Kemudian dari situ kami melanjutkan brainstorming, sektor mana lagi yang bisa dikembangkan. Akhirnya memilih luar angkasa, dari situ kami mulai buat demo, kemudian mendapat tanggapan bagus sekarang juga dihadirkan untuk publik,” terang dia, Rabu (28/11).

Mencoba game VR Earthlight: Spacewalk / DailySocial
Mencoba game VR Earthlight: Spacewalk / DailySocial

Earthlight: Skywalk menjadi permainan eksplorasi VR di luar angkasa pertama dari Opaque, dirilis pada tahun 2015. Konten ini memungkinkan simulasi realistis sebagai astronot yang di International Space Station (ISS).

Pengguna diajak merasakan sensasi microgravity sembari menyelesaikan tugas yang diberikan lewat instruksi, seperti memanjat tangga atau melepas sekrup. Durasinya memakan waktu kurang lebih 30 menit.

Opaque menggabungkan Oculus Rift dan Kinect 2 dengan plugin Kinect 4 Unreal mereka sehingga menghasilkan Unreal Engine 4. Pengalaman yang ditawarkan terasa nyata, melihat luar angkasa tanpa batas dengan video 4K 360 derajat.

Lewat game VR ini, membuat Opaque akhirnya dilirik NASA dan akhirnya menimbulkan kolaborasi antar keduanya. NASA menggunakan Earthlight untuk melatih calon astronotnya. Manganaro menyebut kolaborasi antar keduanya masih berlanjut, hingga game franchise dari Earthlight yang kedua dirilis.

Space agency suka dengan konten yang kita buat karena menggambarkan habitat seperti aslinya. Selain dengan NASA, kami akan buka kemungkinan perluas pemanfaatan Earthlight di sekolah untuk mengenalkan luar angkasa kepada para pelajar.”

Mendapat feedback yang bagus dari NASA, sambungnya, membuat Opaque percaya diri untuk merilisnya secara publik. Game ini tersedia di SteamVR, PlayStation VR, dan Oculus Rift dengan tambahan perangkat game tambahan.

Manganaro menambahkan sejak dibuka untuk publik pada awal tahun ini, Earthlight telah dimainkan oleh lebih dari ratusan ribu gamers.

Adapun tim Opaque itu sendiri, tidak hanya ada di Melbourne saja, tapi sudah merambah ke Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jerman. Bila ditotal ada sekitar 20 orang.

Buat menggaet lebih banyak pengguna, Manganaro membuka kemungkinan untuk melakukan lokalisasi bahasa yang dipakai game saat memberi instruksi. Bahasa Indonesia masuk jadi pertimbangan tim Opaque, meski belum ada target kapan rencana tersebut akan direalisasikan.

“Kami lihat ada potensi pemain yang besar game VR di Indonesia dan menarik apabila kami bisa turut serta,” pungkasnya.

Lebih Dekat dengan ACMI X, Coworking Space Mewadahi Pekerja Kreatif Digital di Australia

Ekonomi kreatif digadang-gadang menjadi penyokong ekonomi Indonesia terbesar pada masa mendatang. Bekraf memprediksi kontribusinya terhadap PDB pada tahun ini bisa tembus lebih dari Rp1000 triliun, lebih tinggi dari tahun 2016 sebesar Rp922 triliun dengan kontribusi 7,44%.

Diyakini tren ini akan terus meningkat tiap tahunnya, lantaran makin bertambahnya jumlah startup, kehadiran coworking space yang memudahkan pengusaha dalam bekerja, serta faktor pendukung lainnya.

Konsep kolaborasi jadi sesuatu yang diunggulkan dalam industri kreatif dan sering dipakai sebagai jargon dalam setiap coworking space. Di Indonesia pun demikian. Ada coworking space yang khusus untuk sektor tertentu saja. Ada juga yang khusus menyasar semua startup, termasuk non teknologi.

Di Australia, terdapat ACMI X, coworking space yang didirikan pemerintah untuk mendukung pelaku ekonomi kreatif terutama bergerak di bidang digital. ACMI merupakan kepanjangan dari Australian Centre for the Moving Image, museum nasional Australia khusus untuk film, video game, budaya dan seni digital. ACMI X berdiri sejak 2016.

DailySocial beserta rekan media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit, berkesempatan mengunjungi langsung ACMI X dan dipandu Head of ACMI X & Special Events Helen Simondson.

Ruang kerja membaur

Simondson menceritakan lebih detail bagaimana konsep kolaborasi begitu diutamakan dalam coworking space ini. Ruangan seluas 2 ribu meter persegi berisi tim ACMI yang sengaja membaur dengan ruang kerja para tenant dari manapun.

Ruangannya tidak berbilik sama sekali. Antara satu tenant dengan karyawan ACMI atau dengan tenant lainnya bisa berkomunikasi satu sama lain demi menghilangkan gap dan eksklusivitas. Semuanya bisa meminta bantuan, belajar, yang justru bisa menimbulkan potensi bisnis baru.

“Sehingga kalau ada startup yang butuh bantuan bisa langsung mencari ACMI, atau tenant lainnya. Ekosistem seperti inilah yang ingin kami usung dengan memanfaatkan jaringan ACMI yang sudah dibangun dengan berbagai stakeholder,” ucap Simondson, Selasa (27/11).

ACMI X juga rutin mengadakan program akselerator ACMI Xcel yang menyasar startup bergerak di studio kreatif, startup yang memanfaatkan teknologi dan produk dengan jaringan internet dan gambar bergerak, termasuk VR/AR, robot, media digital, AI, IoT, dan lainnya.

Program tersebut menawarkan bootcamp intensif selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 12 minggu program akselerator, dan demo day di hadapan calon konsumen dan investor. Peserta akan mendapat mentor untuk membimbing selama program berlangsung.

“Peserta akan diajarkan keterampilan metodologi dalam strategi pemasaran, design thinking, customer validation, product testing, dan sales. Sehingga mereka bisa merealisasikan ide dari masih berupa konsep hingga masuk ke pasar.”

Simondson menjelaskan, ACMI Xcel sudah memasuki tahun ketiga. Dari setiap angkatan, ACMI memilih beberapa startup yang sesuai dengan kualifikasi. Untuk tahun ini mereka akan mengambil 7 startup, meningkat dari sebelumnya hanya 5 startup. Jumlah startup yang digandeng bakal meningkat seiring waktu.

Di dalam coworking space, ACMI menyediakan fasilitas permanent dan hot desk, ruang meeting, aula, dan dapur. Ada pula perpustakaan khusus film dan musik untuk membantu referensi. Untuk startup yang bergerak di VR/AR, disediakan perangkat untuk tes produk secara gratis sebelum dipasarkan ke publik.

Di kesempatan yang sama, ACMI juga memperkenalkan dua startup yang sedang memasuki proses tahap akhir akselerator, yakni Audioplay dan PluginHuman.

Audioplay bergerak di bidang audio storytelling untuk anak usia 6 sampai 12 tahun. Model bisnis ini lahir karena ada kekhawatiran orang tua terhadap konsumsi smartphone anak yang tinggi.

Sementara PluginHuman menawarkan cara unik menikmati seni digital di museum atau galeri lewat pemanfaatan gelombang otak manusia hanya dengan menggunakan EEG headset. Seni yang timbul merupakan kombinasi dari gelombang otak, jika reaksi otak berubah tampilan seni pun ikut.

Kolaborasi unik antara ACMI dengan para tenant dan startup binaannya bisa menjadi inspirasi yang baik untuk pegiat ekosistem startup di Indonesia.

ArtProcessors Digitalkan Museum di Australia dengan Teknologi VR dan AR

Museum seringkali dianggap sebagai tempat wisata kuno yang tidak menarik untuk dikunjungi, apalagi buat anak muda. Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Australia. ArtProcessors sebagai salah satu startup yang peduli dengan isu tersebut membangun teknologi untuk mendukung museum.

DailySocial beserta rekan media lainnya yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit, bertemu langsung dengan CEO ArtProcesssor Mike Nihill dan Co-Founder & Delivery Director Nic Whyte di kantornya, Selasa (27/11).

Nihill bercerita, ArtProcessors fokus pada perpaduan antara teknologi, media digital, dan desain spasial yang menggugah pengunjung dengan memberikan pengalaman baru saat berkunjung ke museum. Pengunjung betah berlama-lama di museum, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah kunjungan.

Sejak pertama kali berdiri di 2011, perusahaan kini memiliki 27 orang karyawan dari awalnya 8 orang saja. Beberapa orang di antaranya berlokasi di Amerika Serikat.

“Kami mulai tumbuh pesat sejak awal tahun ini, dari awalnya hanya tim kecil jadi lebih komersil karena ada tim baru di Amerika Serikat. Mengembangkan teknologi hybrid untuk museum demi meningkatkan engagement dengan para pengunjung,” terangnya.

Inovasi ArtProcessors

Dia pun mencontohkan aplikasi The O yang dibuat khusus untuk Museum Old and New Art (MONA), Australia. Sebelumnya, MONA bernama Moorilla Museum of Antiquities. Pengelola ingin merenovasi museum sejak 2006, namun tidak sukses meningkatkan angka pengunjung.

Niatan tersebut baru terlaksana lima tahun kemudian, bersama ArtProcessors melahirkan aplikasi The O. Aplikasi ini bisa diunduh sendiri di perangkat masing-masing atau cukup menggunakan perangkat yang disediakan pihak museum sebelum mengelilinginya.

Di dalam aplikasi, ArtProcessors sudah menanamkan data digital untuk menggantikan teks di dinding yang biasa menjadi keterangan di dekat objek seni. Begitu pengunjung mendekati objek, cukup menekan tap The O dan seketika informasi mengenai objek tersebut akan muncul dengan tampilan yang intuitif dan informatif.

Tidak hanya itu, pengunjung bisa melakukan pemesanan antrean secara virtual saat ingin mendatangi suatu objek seni tertentu yang laku dikunjungi. Nanti aplikasi akan memberi notifikasi ketika nomor antrean sudah mendekati.

“Kami menginginkan jumlah antrean paling lama sekitar 5-6 menit saja, dengan demikian waktu kunjungan bisa lebih efektif,” tambah Nic Whyte.

Hasil yang didapat pasca merilis aplikasi ini, sambung Whyte, MONA mengalami peningkatan kunjungan hingga 81%. Ditambah lagi pemugaran museum makin membuat MONA terkesan semakin modern, ramah untuk pengunjung dari segala rentang usia.

“Semua orang yang masuk ke dalam museum harus dapat info sebanyak-banyaknya. Makanya kami menyediakan iPad yang terkoneksi dengan sistem navigasi museum, mereka bisa mengetahui objek terdekat dan memberikan feedback-nya secara real-time.”

Whyte menjelaskan The O ini bisa bekerja karena perusahaan melakukan manajemen database yang dikumpulkan dari berbagai sumber, mengambil gambar objek, dan mulai membangun sistemnya. Dari situ data diterjemahkan ke dalam bentuk visual yang mudah dimengerti.

Selain The O, ArtProcessors juga membuat solusi suara untuk engagement yang lebih tinggi di Hermitage dan John Russell Audio Experiences berlokasi di Art Gallery of New South Wales (AGNSW). Kemudian dengan Universitas Melbourne untuk museum Awaken.

Perusahaan bekerja sama dengan Universitas Melbourne untuk eksibisi ‘Awaken’ dengan teknologi AR/VR. Hal ini dimaksudkan agar para mahasiswa semakin familiar untuk datang ke museum.

Selain ketiga perusahaan di atas, ArtProcessors bermitra dengan Zoos Australia, State Library New South Wales, NSW Government, Australian War Memorial, dan Kebun Binatang Melbourne.

Di Indonesia, perusahaan sejenis ArtProcessors sebenarnya sudah ada yaitu Siji AR, binaan dari Telkom. Teknolgi yang disajikan ini telah hadir di Museum Naskah Proklamasi, Museum Kebangkinan Nasional, Museum sumpah pemuda, dan Diorama Telkomsel.

Coworking Space “The 11th” Beri Kesempatan Startup Indonesia Masuki Pasar Australia

Tingginya geliat startup di Indonesia mendorong Ivan Tandyo, pengusaha lokal yang berkarier di Australia, untuk mendirikan coworking space “The 11th” di kawasan Collins Street, Melbourne. Tempat ini akan dijadikan sebagai jembatan untuk startup lokal yang ingin masuk ke Australia, begitupun sebaliknya.

Coworking secara bisnis dimiliki oleh Navanti Holdings, perusahaan investasi yang memiliki berbagai anak usaha di bidang properti, manufaktur, jasa, kreatif, dan startup digital. Pangsa pasar terbesarnya di Australia dan sebagian di Indonesia.

Nama-nama anak usahanya, seperti Print Agency (solusi cetak digital), XDG (pengembang properti premium), Silikal, Navanti Finance, Im Home (dekorasi dan renovasi rumah), Xynergy (agen properti), Sanitized (jasa kebersihan), Encore, dan Kirana. The 11th menjadi anggota terbaru dalam induk usaha mereka.

“Kami menyediakan layanan end-to-end untuk startup dengan memanfaatkan jaringan yang sudah dibangun. Jadi untuk startup Indonesia yang mau scale up di Australia bisa masuk ke sini,” terang Ivan, Selasa (27/11).

Di dalam coworking space, akan diisi oleh beberapa anak usaha Navanti Holdings dan startup lainnya yang mau bergabung. Namun startup akan dikurasi, memastikan sesuai kriteria yang telah ditentukan. Sebab setiap startup yang bergabung akan dihubungkan dengan seluruh jaringan grup perusahaan sehingga memudahkan startup saat terjun langsung ke lapangan.

Startup yang hendak bergabung atau terpilih tidak harus bergerak di bidang digital dalam model bisnisnya. Jika dinilai prospektif, startup bisa mendapatkan pendanaan awal atau seri A. Navanti akan ikut mengambil kontrol manajemen untuk setiap startup yang didanai.

Saat ini sudah ada sekitar 40 startup, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri, termasuk dari Australia itu sendiri, yang mengajukan diri untuk masuk ke coworking space.

Hampir 80% di antaranya bergerak di bidang non-digital. Menurutnya, ada startup digital dari Indonesia yang menyatakan minatnya, kendati tidak disebutkan jumlahnya oleh Ivan.

“Nanti tim kami akan menyeleksi mana yang akan didanai, ada ratings yang sudah ditetapkan tim. Kalau buat dapat funding dan jadi subsidiary kami, tentu seleksinya akan lebih ketat.”

Dukungan penuh dari dua pemerintah

Kehadiran The 11th, menurut Ivan, adalah bagian dari komitmen antara pemerintah Australia dan Indonesia dalam meningkatkan hubungan bisnis lintas negara.

Pemerintah Australia ingin mendorong pemilik startup di negaranya untuk masuk ke Indonesia, begitupun sebaliknya. Jaringan Navanti Holdings akan dimanfaatkan secara penuh untuk dukung setiap startup.

Saat ini The 11th masih dalam proses persiapan, sehingga belum resmi dibuka untuk publik. Peresmian diperkirakan akan digelar pada Januari 2019.

Menggunakan ruangan seluas kurang lebih 1000 meter persegi, tempat tersebut mampu menampung sekitar 120 orang di dalamnya, termasuk meja hot desk. Dilengkapi pula tambahan fasilitas untuk menunjang kerja, seperti mesin pembuat kopi, ruang rapat yang luas, ruang demo produk, pantry dan lainnya.

Nama The 11th itu sendiri, diambil dari usia Navanti Holdings yang kini sudah memasuki usia ke 11 sekaligus menandakan dimulainya fokus Navanti untuk masuk ke startup digital.

“Kita enggak mau sok tahu tiba-tiba terjun ke sini [coworking space]. Tapi karena kita sudah menjalani bisnis selama 11 tahun, kami ingin bantu startup bisa scale up sampai ke level 11, tanpa harus lewati level 1 dan sebagainya, karena kami sudah lewati itu semua,” pungkasnya.

Bagaimana Australia Melatih Anak Muda Merintis Startup dari Bangku Kuliah

Jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) bukanlah talenta yang sudah ada sejak lahir. Hal ini adalah sesuatu yang perlu dibangun sejak awal. Begitupun saat merintis startup, pengusaha perlu kesabaran dan keuletan yang ekstra agar perusahaan bisa tetap berkembang lebih jauh.

Kehadiran banyaknya startup di Indonesia bisa dikatakan sebagai suatu kelebihan yang patut dibanggakan. Namun yang perlu dipertanyakan apakah sebagian besar startup founder tersebut memiliki jiwa entrepreneurship yang bisa membuka lapangan pekerjaan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita semua bisa berkaca dengan apa yang dilakukan Universitas Melbourne, Australia. Kampus ini membuat program Master of Entrepreneurship sebagai bagian dari program pascasarjana untuk Melbourne Business School dan Melbourne School of Engineering.

DailySocial dan beberapa media lain yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit. Kami mendatangi kampus tersebut dan bertemu dengan Program Director Master of Entrepreneurship Colin McLead. Dia banyak menjelaskan perihal program ini dan bagaimana kondisi jiwa entrepreneurship terkini di Australia.

Kaya inovasi, minim jiwa entrepreneurship

Sebelum membuat program ini, McLead bercerita bahwa Australia memiliki inovasi yang termutakhir di dunia, di antaranya adalah Wi-Fi, Penicilin, Google Maps, mesin ultrasound, dan sebagainya. Dari berbagai survei yang digelar banyak lembaga, seperti World Economic Forum (WEF), menobatkan kampus di Australia menduduki peringkat keenam paling diminati sedunia pada 2014-2015.

Di saat yang bersamaan, Australia sedikit terbelakang dari segi komersialisasi bisnis. Bisa dilihat dari database The Global Entrepreneurship Monitor menyebut aktivitas entrepreneur menempatkan Australia ada di peringkat ke 44.

Ini menjadi masalah, karena menurut McLead, dari total pekerja, hanya 20% orang yang memiliki jiwa entrepreneurship. Dalam artian, hanya mereka yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru untuk orang lain. Sementara 80% lainnya adalah self employment (wirausaha), mereka menciptakan bisnis baru dengan meniru usaha yang sudah ada.

Self employment itu tidak bagus karena hanya bisa copy model bisnis yang sudah ada, jadi jiwa inovasinya dan entrepreneurship-nya sangat kurang di Australia,” ucapnya, Senin (26/11).

Dalam membangun perusahaan itu butuh kemampuan soft skill dan hard skill yang semuanya tidak datang secara instan atau talenta yang ada sejak lahir. Menurut hasil survei yang ia kutip, melihat dari faktor pemicu, jiwa entrepreneurship itu lahir karena ada peluang pasar (17,7%), sumber daya manusia (14,1%), produk (13,6%), pemasaran (10,9%), dan R&D (7,8%).

Aada masalah klasik yang sering dihadapi, yakni dari sumber daya manusia (25,6%), peluang pasar (13,1%), likuiditas (10,7%), operasional manajerial (9,5%), dan manajerial C-level (7,7%).

Masalah tersebut memicu terjadinya lima ketakutan yang enggan dihadapi para pengusaha. Urutan pertama ditempati oleh likuiditas (16,4%), peluang pasar (14,4%), lingkungan kerja (14,4%), manajerial C-level (12,5%), dan SDM (11,5%).

Seluruh survei di atas bermuara pada isu manajerial yang sebenarnya adalah esensi jiwa entrepreneurship saat membangun startup. Mengacu pada sistem manajemen startup tahap awal di Amerika Serikat, manajerial itu mengikat pada setiap unsur perusahaan, mulai dari perencanaan finansial, evaluasi finansial, SDM, perencanaan strategis, dan manajemen pengembangan produk.

Entrepreneurship itu bukan talenta unik, tapi adalah set keterampilan yang bisa diajarkan.”

Membiasakan diri menerima kegagalan

McLead menjelaskan program pascasarjana Master of Entrepreneurship ini lebih menitikberatkan pada unsur praktek daripada sisi teori saja. Ada 12 mata kuliah yang harus mereka ikuti.

Di semester pertama, mahasiswa akan mendapat lima seminar kuliah selama lima hari dalam seminggu. Belajar segala sesuatu tentang merintis startup, kemudian bertemu dengan para enterpreneur, pebisnis, dan investor.

McLead memastikan program pascasarjana ini berbeda dengan apa yang diterima apabila mengikuti inkubator atau akselerator. Pada dasarnya kedua program tersebut hanya bersifat jangka pendek dan memiliki fokus yang lebih spesifik.

Setiap mahasiswa akan memiliki mentor yang akan mendampingi setiap kegiatan mereka. Dalam satu tahun masa pendidikan, mahasiswa akan diajarkan belajar dari kegagalan dari setiap praktek yang mereka kerjakan.

Mmereka diwajibkan untuk membuat tiga startup dan belajar merintis dari ide awal hingga mapan. Bila satu gagal, belajar lagi untuk bentuk baru entah harus dari awal atau melakukan pivot bisnis. Sebab bagian tersusah adalah bagaimana meyakini orang untuk membeli produk yang dibuat.

“Tidak hanya itu dalam sesekali kami membuat mereka untuk memakai kostum yang tidak sesuai dengan pribadi masing-masing buat mencerminkan bahwa dunia startup itu penuh dengan ketidakpastian dan mereka harus terbiasa dengan itu.”

Kalau semua startup yang dibangun gagal, mahasiswa tetap bisa lulus dengan persyaratan dia belajar dari kesalahan. Sebab esensi yang ingin disampaikan, kampus adalah tempat untuk membangun keterampilan, bukan membangun startup yang sukses.

Jika startup yang dibangun sukses bisa menjadi titik lompatan untuk ditekuni lebih dalam agar bisa memberikan dampak buat masyarakat luas. Tentunya ada peluang mendapatkan investasi dari para VC atau angel investor yang tertarik.

“Sehingga ketika mereka masuk ke lapangan, ada harapan untuk merintis karir lebih cepat dan tidak melakukan kesalahan saat menghadapi masalah yang sama saat duduk di bangku kuliah.”

Program ini sudah berjalan sejak 2016 dan fokus mendidik kurang dari 40 orang tiap tahunnya. Salah satu startup jebolan Universitas Melbourne adalah MimicTec, bergerak di agritech membantu produktivitas hewan unggas dan kesejahteraan hewan di Australia.

MimicTec sudah beberapa kali mendapatkan pendanaan, terakhir senilai AU$200 ribu dari Accelerating Commercialisation and AusIndustries pada November 2017. Perusahaan kini bergabung dalam program Wade Inc dan masuk co-working studio di Wade Institute yang ada di dalam alumni Master of Entrepreneurship.

Untuk angkatan tahun ini, ada sebanyak 25 orang yang bergabung. Satu di antaranya adalah orang Indonesia. Dari situ mereka membuat 16 startup, namun hanya setengahnya yang memutuskan untuk menyeriusinya ke tahap lebih lanjut.

Squline Enters Australian Market

Squline is officially available as education startup in Australia. As a developed country in Asia Pacific region, Australia’s population have learned Bahasa Indonesia in general since high school. This interest has created an opportunity to introduce Bahasa Indonesia class through an online medium.

In Australia, Bahasa Indonesia has been one of the preferred languages. It’s one of the most popular foreign languages in school, besides Japan and Mandarin.

Squline focuses on preparing Bahasa Indonesia online course for those who want to learn Bahasa Indonesia in fastest way with flexible scheduling, not restricted by time or space, by the experts. It fits the target market characteristics, the busy population.

In this platform, foreign language enthusiasts will be able to follow the placement test to know the ability of language interest.

In providing foreign language curriculum and graduation certificate for students who have completing the lessons, Squline has partnered up with language institutions.

Currently, Squline has more than 3,500 students all over Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here