Mengenal Kalbu, Platform yang Menawarkan Berbagai Layanan Terkait Kesehatan Mental

Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian dari masyarakat di Indonesia. Didukung dengan kehadiran platform teknologi yang fokus mengembangkan solusi terkait layanan kesehatan mental, salah satunya adalah Kalbu. Diluncurkan pada bulan Agustus 2021 lalu, Kalbu menyediakan platform yang menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.

Kalbu melihat adanya peningkatan isu kesehatan mental, terlebih sejak hadirnya pandemi Covid-19 di Indonesia yang menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan interaksi sosial, serta ketidakpastian Berdasarkan keterangan dari beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, satu psikolog biasanya menangani 1-2 pasien per hari, namun setelah pandemi meningkat jadi 8-10 pasien.

Hal ini pun diakui oleh Iman Hanggautomo, selaku Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu. Ia sendiri sudah merasakan manfaat luar biasa dari konsultasi dengan praktisi kesehatan mental selama kurang lebih dua tahun. Meskipun tanpa background yang kuat di dunia psikologi, Iman berharap dengan pengalamannya di dunia startup serta antusiasmenya terhadap kesehatan mental, Kalbu bisa menghadirkan solusi menyeluruh yang memfasilitasi berbagai kebutuhan terkait kesehatan mental.

Layanan yang ditawarkan Kalbu cukup beragam seperti online counseling dan online workshop dengan psikolog yang terbiasa menangani beragam isu kesehatan mental, seperti anak & keluarga, pendidikan, institusi, dan olahraga. Selain itu, platform ini juga bisa digunakan untuk tes minat dan bakat, IQ, kesiapan sekolah, juga psychotherapy untuk adiksi obat-obatan tertentu.

Menjaga kesehatan mental tidak hanya dengan konseling serta pemulihan jiwa, namun juga diiringi dengan pemeliharaan raga. Dalam platformnya, Kalbu juga menyediakan kelas-kelas pemulihan diri (self-healing) seperti meditasi dan hypnotherapy, juga pengembangan diri (self-development) dengan praktisi yang bersertifikasi.

Saat ini, Kalbu juga menawarkan model bisnis B2B yang menyasar institusi dan komunitas. Salah satu yang ditawarkan adalah Employee Assistance Program untuk setiap karyawan dapat menikmati sesi konseling kesehatan mental. Dari sisi komunitas, perusahaan juga telah bekerja sama dengan beberapa komunitas, salah satunya di bidang olahraga untuk pemeliharaan kesehatan mental atlet. Sejauh ini, sudah ada 15 psikolog profesional yang terdaftar dalam platform Kalbu dengan pengalaman lebih dari 5 tahun.

Selain bisnis model B2B, Kalbu menerapkan sistem monetisasi dengan memotong fee dari biaya per konseling sesuai kesepakatan dengan praktisi.

Layaknya konsultasi ke dokter spesialis pada umumnya, tarif konseling kesehatan mental sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, literasi yang masih kurang terkait pentingnya kesehatan mental membuat orang enggan merogoh kocek untuk konsultasi. Kalbu memasang tarif sekitar 300-350 ribu untuk satu sesi selama kurang lebih satu jam. Namun, timnya sedang mengusahakan untuk membuatnya lebih terjangkau di harga 150-200 ribu saja.

“Tantangannya adalah literasi kesehatan mental di masyarakat. Kami ingin membuat konsultasi dengan psikolog itu bisa jadi rutin seperti konsultasi ke dokter gigi. Kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar. Setiap bulan, kami juga mengadakan talkshow online membahas masalah yang terjadi di kehidupan sehari-hari,” jelas Iman.

Potensi pasar dan target ke depan

Iman juga mengungkapkan bahwa industri ini masih memiliki potensi yang sangat besar. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sementara Indonesia baru punya sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, negara ini diharapkan bisa mengoptimalkan jasa praktisi yang ada.

Di Indonesia, beberapa platform yang juga menawarkan konsep serupa dengan Kalbu adalah Riliv, Kalm, dan Bicarakan.id. Beberapa platform tersebut memiliki satu visi yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Layanan yang ditawarkan juga beragam dengan konseling sebagai core nya.

Dari sisi pendanaan, Kalbu telah mendapatkan dukungan modal dari salah satu perusahaan ternama Indonesia yang bergerak di bidang tambang. Meskipun secara bisnis terlihat tidak terkait, namun peran kuat perusahaan diharapkan dapat membantu memberi pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat.

Ke depannya, Kalbu berencana untuk menggunakan pendanaan ini untuk mengembangkan layanan kesehatan mental, memperkuat kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dan internasional, menghadirkan kembali suicide hotline, serta mendorong peran pemerintah juga berpartisipasi dalam pengembangan solusi mental health di Indonesia.

“Kami juga berencana meluncurkan aplikasi sendiri di semester 2 tahun 2022. Namun, kami juga harus memastikan bahwa layanan yang kami tawarkan sudah cukup kuat. Targetnya tidak muluk, 450-500 pasien per bulan untuk individu dan perbanyak klien B2B,” ujar Iman.

FishLog Ingin Jadi “Platform Enabler” untuk Industri Perikanan

Sektor industri perikanan menjadi salah satu sektor yang mendapatkan perhatian khusus dari ekosistem startup teknologi Indonesia. Tercatat setidaknya ada 20+ platform berbasis teknologi yang ingin memperkuat ekosistem aquaculture di Indonesia. FishLog hadir sebagai platform marketplace B2B yang menawarkan jaringan cold chain perikanan melalui komunitas dan engagement di seluruh Indonesia.

Kepada DailySocial, Co-Founder dan CEO FishLog Bayu Anggara mengungkapkan, FishLog hadir dari sisi logistik dan mendukung supply chain perikanan di Indonesia. FishLog juga dilengkapi aplikasi yang bisa membantu mitra untuk pencatatan operasional gudang, akses bahan baku, dan akses pasar.

“Kita masuk ke ekosistem perikanan, tapi narasi dari kita lebih kepada infrastruktur, konektivitas antar stakeholders. Karena ikan masuk dalam kategori perishable food, jika tidak disimpan di cold chain akan rusak. Artinya dibutuhkan konektivitas yang lebih robust dan lebih baik,” kata Bayu.

Serupa dengan layanan logistik lainnya, seperti Ritase hingga Shipper, FishLog ingin fokus di middle chain logistik. Saat ini FishLog telah menjalin kemitraan dengan 25+ penyimpan sisi pasokan di daerah pesisir. Mereka telah melayani 10+ kota, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 100 nelayan yang diklaim sudah terbantu layanan yang ditawarkan FishLog.

Konsep “zero asset” FishLog

Yang diklaim membedakan FishLog dengan platform sejenis adalah sebagai platform enabler FishLog tidak memiliki aset. 

“Di FishLog sendiri kita seminimal mungkin zero asset. Jadi aset yang dibutuhkan dalam mendistribusikan ikan itu: cold storage, truk, cold chain, dan infrastruktur lainnya semua kita outsource bermitra dengan para distributor,” kata Bayu.

Selain sebagai mitra strategis, distributor tersebut juga menjadi target pengguna layanan mereka. Distributor adalah mereka yang berinvestasi ke infrastruktur, memiliki sistem logistik, memiliki alat transportasi untuk pengantaran, dan memiliki gudang sendiri.

FishLog mengklaim hampir 80% pasar mereka adalah pasar tradisional. Namun demikian, FishLog tidak menjual langsung ke pasar tradisional. Semua dilakukan langsung oleh mitra distributor.

“Mitra strategis kita adalah distributor, artinya kita tidak menawarkan layanan langsung ke ke nelayan atau end consumer. Yang kita lakukan adalah digitalisasi middle chain dulu, nanti jika volume sudah dapat ke depannya bisa ekspansi di supply and demand,” kata Bayu.

Rencana penggalangan dana

FishLog sempat mengikuti sejumlah kompetisi dan program akselerasi, termasuk DSLaunchpad ULTRA. Hadiah yang diperoleh digunakan perusahaan untuk menjalankan bisnis.

Saat ini FishLog mengaku masih dalam proses finalisasi penggalangan dana tahap awal.

“Selama ini FishLog telah mengalami pertumbuhan bisnis yang positif. Tahun 2022 mendatang FishLog ingin mendapatkan revenue lebih baik lagi,” kata Bayu.

Ke depannya FishLog juga ingin menjadi platform inventori serupa Bulog tapi untuk komoditas ikan. Dengan demikian, kebutuhan dan kondisi pasar bisa di-monitor agar tetap stabil dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas.

“Kita ingin menjadi seperti Bulog, tapi di ikan. Hal ini sangat memungkinkan karena semua ikan disimpan di cold storage dan mampu bertahan untuk dikonsumsi hingga 1,5 tahun. Bedanya dengan Bulog adalah kami tidak memiliki aset seperti gudang dan lainnya,” kata Bayu.

Application Information Will Show Up Here

Business Super Ecosystem, Inovasi Bhinneka dalam Mempercepat Transformasi Ekonomi Digital

Industri perekonomian digital sejatinya merangkul seluruh sektor usaha dan bisnis di masyarakat. Tak terkecuali bagi sektor ekonomi perdagangan. Sejak digitalisasi bergulir di Indonesia, tidak butuh waktu lama bagi sektor ini untuk segera bertransformasi menjadi e-commerce, baik dalam model bisnis B2C maupun B2B.

Hampir tiga dekade lalu, atau tepatnya pada 1993, salah satu entitas teknologi yang bergerak di industri e-commerce yakni Bhinneka berdiri hingga saat ini menjadi pionir industri e-commerce di Indonesia. Perusahaan yang terkenal sebagai penyedia produk 3C (Computer, Communications, Consumer Electronics) terus menjelma menjadi market leader B2B e-commerce di Indonesia dengan menggarap berbagai layanan.

Tidak berhenti mengembangkan bisnisnya, saat ini Bhinneka sudah mempunyai 6 sektor bisnis, yaitu produk Teknologi Informasi (TI) dan Maintenance, Repair & Operational (MRO), digital printing solution, offline store dan service center, business solution, B2B2B platform marketplace, hingga digital products.

Business Super Ecosystem Bhinneka hadirkan layanan marketplace dan e-Procurement

28 tahun telah melayani Indonesia, Bhinneka terus perkokoh layanan B2B nya dengan menghadirkan inovasi baru, Business Super Ecosystem. Strategi Bhinneka menjadi pemain e-commerce B2B terdepan di Indonesia.

Ekosistem bisnis yang dibangun Bhinneka sejak akhir tahun 2019 ini membantu percepatan transformasi ekonomi digital melalui penyediaan teknologi untuk semua pelaku bisnis di segala sektor dan skala.

Konsep Business Super Ecosystem  Bhinneka adalah menghadirkan solusi bisnis dari hulu (bahan baku, barang setengah jadi) hingga ke hilir (end-products). Yakni menghubungkan para pelaku bisnis enabler mulai dari para penghasil barang, penyedia jasa, fintech dan logistik, dengan para pelanggan yang terdiri dari usaha mikro, UKM, dan enterprise. Menjadikannya ekosistem yang lebih luas dan tidak terbatas.

Business Super Ecosystem ini menghadirkan dua layanan solusi digital yakni marketplace dan e-Procurement marketplace . Kedua transformasi digital ini menyasar berbagai segmen mulai dari pemerintah daerah, swasta, akademisi/universitas hingga organisasi profesi.

Seperti contohnya Bhinneka dipercaya mengadakan marketplace di beberapa universitas dan pemerintah kota di Indonesia. Hingga saat ini, Bhinneka telah bekerja sama dengan tiga universitas dan tiga pemerintah kota. Dalam pendiriannya, dikenakan investasi 0% untuk pembuatan mini marketplace ini. Sehingga memungkinkan banyak komunitas, organisasi, lembaga, dan pemerintah menciptakan aliran pendapatan (revenue stream) baru dalam payung transformasi digital.

Beberapa hasil dari kerja sama Bhinneka dengan universitas pada bagian marketplace, akhirnya menghadirkan “SetSail BizAccel” yaitu campus marketplace President University, “Biemersshop” milik Universitas Bunda Mulia, dan “UII Gerai” milik UII Yogyakarta.

Bhinneka-Pelatihan-UMKM-Campus-Marketplace-scaled
Bhinneka bersama tim inkubator bisnis President University kepada para pelaku UMKM dari Desa Karangraharja, Cikarang, pertengahan November lalu dalam upaya pembinaan dan percepatan transformasi digital UMKM Tanah Air. (Sumber : Bhinneka.com)

Konsep pembangunan campus marketplace ini adalah menyediakan fasilitas yang dapat diakses oleh seluruh civitas akademika hingga alumni civitas akademika melakukan jual-beli. Semua juga berkesempatan menjadi merchant. Sebuah inovasi menarik yang bisa menjadi ruang belajar dan praktek langsung berbisnis karena secara tidak langsung Bhinneka menyediakan pangsa pasar untuk pelaku usaha di ranah kampus. Bahkan, sesuai komitmennya, merchant kampus pun juga masuk dalam kurasi Bhinneka untuk melayani pengadaan di program Bela Pengadaan pemerintah yang bernilai hingga Rp50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) per transaksi.

Di lain sisi, pemerintah kota juga menjalin kerjasama dengan e-marketplace Bhinneka yang diwujudkan dalam digitalisasi pelaku UMKM lokal guna memaksimalkan pelayanan publik dan menggenjot kebutuhan belanja daerah.

Sebab, berdasarkan catatan LKPP dalam transaksi pengadaan barang/jasa tertinggi melalui e-Katalog periode Januari 2020-Mei 2021, penyerapan anggaran belanja untuk barang/jasa dari produk impor tampak lebih tinggi, yaitu Rp31,3 triliun.

Beberapa pemerintah kota yang telah bekerja sama dengan Bhinneka guna menjawab permasalahan ini yaitu, Pemerintah Kota Mojokerto, Pemerintah Kota Ternate, dan Pemerintah Kota Surakarta.

Dalam pengembangan bisnisnya, seperti dikatakan di awal, Bhinneka juga melebarkan sayapnya dengan menawarkan layanan e-Procurement Marketplace. Layanan ini dirancang untuk memusatkan interaksi antara organisasi, pelanggan, dan vendor untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi proses procurement bagi segmen korporat, UKM, dan instansi pemerintah.

Dilansir dari Kontan.co.id, untuk layanan e-Procurement, Bhinneka menawarkan efisiensi biaya hingga 25% per tahun melalui platform Bhinneka Bisnis (business-to-business/B2B), dan bekerja sama dengan LKPP untuk pengadaan pemerintah dengan menawarkan 150.000 SKU dari 9.000 suppliers. Penetapan ini berlandaskan pada data Kinerja Pengadaan LKPP Per 17 Mei 2021, tentang anggaran belanja pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) pemerintah daerah TA 2021 adalah sebesar Rp 606,6 triliun.

Business Super Ecosystem seperti milik Bhinneka akan jadi “The Next Big Thing”?

Melihat berbagai praktik yang telah dibangun oleh Bhinneka di atas, rasanya membuka lebar peluang bisnis yang dapat dipersonalisasi dengan mudah.

Ditambah lagi pada tahun 2020, Indonesia menjadi negara dengan skor Global Entrepreneurship Monitor’s National Entrepreneurship Context Index (GEM NECI) tertinggi. Ini berarti Indonesia merupakan negara yang sangat konduktif bagi pertumbuhan semua jenis entrepreneur. Sehingga, hal ini bisa menjadi peluang Bhinneka untuk mengembangkan bisnis nya dengan lancar.

Model B2B e-commerce seperti Bhinneka diperkirakan akan terus tumbuh besar. Menteri Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi digital akan tumbuh delapan kali lipat, dari Rp632 triliun menjadi Rp4.531 triliun. Dalam hal ini, e-commerce turut andil dan memiliki peran yang sangat besar, yaitu 34% atau setara dengan Rp1.900 triliun. Diperkirakan, sektor B2B atau business-to-business juga akan tumbuh dengan besaran 13% atau setara dengan Rp763 triliun di tahun 2030.

Tingginya pengguna e-commerce di Indonesia dapat diarahkan untuk melakukan transaksi offline. Konsep Online-to-Offline (O2O) diharapkan dapat diterapkan dengan baik, sebab Online-to-offline (O2O) commerce merupakan strategi bisnis yang dapat menarik pelanggan potensial dari saluran online untuk melakukan pembelian di toko fisik. O2O dapat mengidentifikasi pelanggan di ruang online, seperti melalui email dan iklan Internet, dan kemudian menggunakan berbagai alat dan pendekatan untuk menarik pelanggan meninggalkan ruang online dan dapat melakukan transaksi offline.

Jauh sebelum bermunculan e-commerce baru yang mengimplementasi konsep O2O (online-to-offline), Bhinneka menjadi e-commerce pertama yang menawarkan konsep omnichannel dengan kanal penjualan yang terintegrasi (platform & physical store) yang diperkuat dengan 10.000+ vendors & merchants, 2.500.000 SKUs, dan total 1.500.000+ MSMEs, corporate customers, instansi pemerintah.

Seperti sebelumnya yang sukses menjadi pelopor perdagangan online, dua program pembangunan marketplace dan e-Procurement marketplace tadi menjadi upaya Bhinneka mengokohkan posisinya untuk selalu jadi yang terdepan dengan membangun Business Super Ecosystem (Ekosistem B2B2B) yang akan menjadi masa depan industri e-commerce B2B.

Dengan ini diharapkan inovasi yang dilakukan oleh Bhinneka benar dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, serta dapat mengarahkan para pelaku UMKM melakukan digitalisasi. Pada era masyarakat digital ini sepatutnya kita memanfaatkan teknologi digital dengan maksimal.

The B2B2B Segment Proves Bhinneka as the Pioneer of B2B E-commerce

More than two decades Bhinneka has been able to solidify its position as the top of mind for B2B e-commerce brands, especially in the 3C category (Computer, Communications, Consumer Electronics). This is reflected through DSInnovate survey for “B2B Commerce Services in Indonesia 2018“, as many as 32.7% of respondents chose Bhinneka as the most popular platform, followed by Ralali, Bizzy (now a Warung Pintar Group), Mbiz, and others.

It’s not easy to maintain this position. It takes continuous innovation to stay relevant to the market. In an interview with DailySocial.id, Bhinneka’s Chief of Commercial & Omnichannel Vensia Tjhin explained, the company has a strong presence as a B2B e-commerce brand as it has consistently worked on this market.

In fact, while expanding outside of its segment, such as B2C, the platform still pays attention to its main advantage, entering the campaign as a masculine brand.

“In assortment, we slowly entered with products that are identical to the men’s choices, which are the same as the needs of corporations. Then, we enter the everything store like a marketplace in general.”

Tjhin continued, “As a B2B market leader, being strong and top of mind gives added value in providing peace of mind while shopping because Bhinneka is also a trusted marketplace.”

The industry, citing a 2018 Frost and Sullivan report, is estimated to grow by $56.3 billion globally by 2022. In Indonesia, according to the Trade Minister Muh. Lutfi is estimated to reach IDR 1,900 trillion in 2030 or more than 34% of the Indonesian digital market. In further detail, the B2B segment is predicted to contribute Rp763 trillion, including logistics and supply chain activities.

In general, Tjhin continued, Indonesia’s e-commerce industry has grown very rapidly, especially in the last 10 years, to respond to various challenges and needs of society through technology. Therefore, Indonesian e-commerce is currently divided into various segments. Since the beginning, it was known as the retail (B2C) realm, expanding to corporations (B2B), and government (B2G).

“Again, everything is possible because of technology, but the implementation characteristics indeed vary between B2C, B2B, and B2G.”

She said, the role of e-commerce is actually not just a downstream role, aka being a marketing channel for finished goods for later to end-users. As a B2B e-commerce player, he sees that with the accelerated digital transformation through the pandemic, the educational process also needs proper, transparent, and guaranteed support. Thus, in parallel the company will also get a high demand for raw materials.

Tjhin admits, the huge potential of this segment has helped Bhinneka, as a pioneer of B2B e-commerce, become a factory that spawns many talented people, therefore, they can work further into other B2B e-commerce startup models. The company continued with this step by participating in the Merdeka Campus program.

“Several projects by campus internals are products that target the B2B market. This concrete step is to educate about the different segments, as well as efforts to create ready-to-use talent in the industry.

E-procurement marketplace, best practice for B2B

Over time, the 3C category succeeded in establishing Bhinneka as a dominant player in the market since the Bhinneka.com website was first launched in 1999 until the end of 2018. It did not stop there, the company expanded into other categories, such as MRO (tools), and customized product solutions according to the business needs of customers from various sectors.

In Bhinneka’s journey since 2019, the company is focusing on serving the B2B2B marketplace segment with six business lines. It’s IT and MRO products, digital printing solutions (DPS), offline stores and service centers, business solutions, B2B2B marketplace platforms, and digital products.

In this regard, the company has developed several products, including an e-procurement marketplace, which is an open-platform and provided free of charge for all business players to process the procurement of goods/services by certain suppliers using the site/application as an interface.

The e-procurement marketplace is here to help customers sell and to do business with a complied procurement system and good governance, aimed at the corporate segment, SMEs, and government agencies. Tjhin said, this approach is actually accepted as a solution for B2B consumers that usually seed as a sector that is resistant to adapting technology.

“We first divided the B2B segment, for the large-mid with business processes exposed to the system, it tends to be easier to adapt the digital purchasing process, especially corporations that already using ERP. The adoption of this open market e-procurement is actually accepted as a solution. For the MSME market, this is very interesting, those who serve corporations are automatically in a procurement system.”

Currently, there are around 9 thousand merchants in close groups have joined the e-procurement marketplace offering more than 150 thousand SKUs. Outside the Bhinneka.com base, there are around 2 thousand individual merchants have also joined and ready to serve B2B client requests through the initial verification process.

“When on-boarding in e-procurement, they must have consistency to carry out procurement, that’s why we verify. This is to create  more satisfying customer journey and avoid problems in fulfilling requests.”

The next initiative is to encourage an innovative business ecosystem through a B2B mini marketplace by providing a Bhinneka marketplace platform to all parties in need. Whether it’s universities, communities, governments, to build economic activities from an ecosystem.

Tjhin said, Bhinneka has collaborated with a number of institutions, such as President University (Campus Marketplace), Bunda Mulia University (Biemers Shop), Mojokerto City Government (Mojokerto Marketplace), Ternate City Government (Ternate), and Solo City Government, to creation of mini marketplaces.

In the pipeline, nearly 30 educational institutions and communities are currently processing the mini marketplace through Bhinneka, two of which have officially launched. “The mature Bhinneka platform can be used easily, saving initial capital costs (the cost of creating your own platform) for campus businesses, MSMEs, including the City Government and Local Governments.”

Business contribution and future plans

Although all of the company’s products and services target all business scales, in percentage, Bhinneka’s largest business comes from B2B/G clients by 80%, and the rest comes from B2C clients. The product category that contributed the largest revenue is 3C, followed by MRO or tools.

“In terms of procurement, when the 2020 pandemic started, the business did experience an impact and there was a decline in several sectors. However, this is accompanied by an increase in other sectors, such as medical devices included in the MRO category. Masks, hand sanitizers, firing thermometers, are widely purchased until mid-2021.”

Tjhin was reluctant to explain further detail about the company’s performance using numbers. He only explained that the company continues to perform various leaning processes to be more agile and pay attention to productivity in various aspects. “With these various operations excellence activities, we are optimistic that the company can continue to grow and make profits.”

In the near future, the company will also announce several plans and strategies to firmly strengthen its position as a pioneer of e-commerce in Indonesia. “We remain focused on achieving the things we had planned, but were delayed due to the pandemic. We also have to make changes to some plans and strategies,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Segmen B2B2B Jadi Pembuktian Bhinneka sebagai Pionir E-commerce B2B Terdepan

Lebih dari dua dasawarsa Bhinneka mampu mengukuhkan posisinya sebagai top of mind untuk brand e-commerce B2B, khususnya pada kategori 3C (Computer, Communications, Consumer Electronics). Hal tersebut terefleksi lewat survei DSInnovate untuk “B2B Commerce Services in Indonesia 2018”, sebanyak 32,7% responden memilih Bhinneka sebagai platform yang paling populer. Kemudian disusul, Ralali, Bizzy (kini menjadi Warung Pintar Group), Mbiz, dan lainnya.

Mempertahankan posisi ini tentu bukan hal yang mudah. Dibutuhkan inovasi terus menerus agar tetap relevan dengan pasar. Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Chief of Commercial & Omnichannel Bhinneka Vensia Tjhin menjelaskan, perusahaan punya kehadiran yang kuat sebagai brand e-commerce B2B karena selama ini konsisten menggarap pasar tersebut.

Alhasil, ketika ekspansi ke luar segmennya, seperti B2C, tetap memperhatikan keuntungan utama tersebut, yakni masuk dengan kampanye sebagai masculine brand.

Assortment pun kami masuk perlahan dengan produk yang identik dengan pilihan para cowok, yang sama dengan kebutuhan korporasi. Dari sini kami masuk ke everything store layaknya marketplace pada umumnya.”

Vensia melanjutkan, “Sebagai B2B market leader, justru strong dan top of mind memberi nilai tambah dalam memberikan peace of mind saat berbelanja karena Bhinneka juga marketplace yang dipercaya.”

Industri ini, mengutip dari laporan Frost and Sullivan pada 2018, ditaksir bakal tumbuh sebesar $56,3 miliar secara global pada 2022. Di Indonesia saja, menurut Menteri Perdagangan Muh. Lutfi, ditaksir dapat mencapai Rp1.900 triliun di 2030 atau lebih dari 34% dari pasar digital Indonesia. Dirinci lebih detail, segmen B2B diprediksi berkontribusi sebesar Rp763 triliun, mencakup kegiatan logistik dan supply chain.

Secara umum, lanjut Vensia, industri e-commerce Indonesia tumbuh sangat pesat, terutama dalam kurun 10 tahun terakhir, untuk menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan masyarakat lewat teknologi. Karena itu pula e-commerce Indonesia saat ini terbagi dalam berbagai segmen. Dari awalnya hanya dikenal ranah ritel (B2C), berkembang ke korporasi (B2B), dan pemerintah (B2G).

“Sekali lagi, semuanya menjadi mungkin karena teknologi, tetapi memang karakteristik implementasinya berbeda-beda antara B2C, B2B, dan B2G.”

Menurutnya, peran e-commerce ini sesungguhnya tidak hanya sekadar peran di hilir alias menjadi kanal pemasaran barang jadi untuk selanjutnya ke end-user. Sebagai pemain e-commerce B2B, ia melihat dengan transformasi digital yang dipercepat lewat pandemi, proses edukasi pun perlu dukungan yang tepat, transparan, dan terjamin. Dengan demikian, secara paralel perusahaan juga akan mendapat permintaan yang tinggi akan bahan baku.

Vensia mengakui, besarnya potensi segmen ini turut membuat Bhinneka, sebagai pionir e-commerce B2B, menjadi pabrik yang menelurkan banyak talenta berbakat agar dapat berkarya lebih jauh ke startup e-commerce model B2B lainnya. Langkah tersebut terus dilanjutkan perusahaan dengan turut berpartisipasi dalam program Kampus Merdeka.

“Beberapa project yang dikerjakan para intern kampus adalah produk yang menyasar market B2B. Langkah nyata ini untuk melakukan edukasi tentang perbedaan segmen, serta upaya mencetak talenta yang siap pakai di industri.

E-procurement marketplace, pendekatan terbaik untuk B2B

Seiring berjalannya waktu, kategori 3C berhasil mengukuhkan Bhinneka sebagai pemain yang dominan di pasar sejak situs Bhinneka.com pertama kali diluncurkan pada 1999 hingga akhir 2018. Tidak berhenti di situ, perusahaan memperluas ke kategori lainnya, seperti MRO (alat perkakas), dan juga solusi produk yang kustom sesuai kebutuhan bisnis pelanggan dari beragam sektor.

Dalam perjalanan Bhinneka sejak 2019, perusahaan sedang fokus melayani segmen B2B2B marketplace dengan enam lini bisnis. Yakni produk IT dan MRO, digital printing solution (DPS), offline store dan service center, business solution, B2B2B platform marketplace, dan digital products.

Berkaitan dengan hal tersebut, perusahaan mengembangkan beberapa produk, antara lain e-procurement marketplace, bersifat open-platform dan disediakan secara gratis untuk seluruh pelaku usaha memroses pengadaan barang/jasa oleh supplier tertentu dengan menggunakan situs/aplikasi sebagai antarmuka.

E-procurement marketplace hadir untuk membantu pelanggan dan menjual melakukan bisnis dengan sistem pembelian (procurement) yang comply dan good governance, ditujukan untuk segmen korporat, UKM, dan instansi pemerintah. Menurut Vensia, dengan pendekatan seperti ini, justru diterima sebagai solusi bagi konsumen B2B yang biasanya mendapat persepsi sebagai sektor yang resistan dalam mengadaptasi teknologi.

“Kita bagi dulu segmen B2B ini, untuk large-mid sudah memiliki bisnis proses yang ter-exposed dengan sistem, cenderung lebih mudah adaptasi proses pembelian secara digital, terutama korporasi yang sudah menggunakan ERP. Adopsi untuk e-procurement open market ini justru diterima sebagai solusi. Untuk market UMKM, ini sangat menarik, mereka yang melayani korporasi otomatis berada dalam sebuah sistem procurement.”

Tercatat saat ini ada sekitar 9 ribu merchant secara close group yang telah bergabung di e-procurement marketplace menawarkan lebih dari 150 ribu SKU. Di luar basis Bhinneka.com, terdapat sekitar 2 ribu merchant individu yang juga bergabung dan siap melayani permintaan klien B2B melalui proses verifikasi di awal.

“Saat on-boarding di e-procurement mereka harus punya konsisten untuk melakukan pengadaan, makanya kami melakukan verifikasi. Hal ini agar customer journey semakin memuaskan dan tidak ada masalah dalam pemenuhan permintaan.”

Inisiasi berikutnya adalah mendorong ekosistem bisnis yang inovatif melalui mini marketplace B2B dengan menyediakan platform marketplace Bhinneka kepada seluruh pihak yang membutuhkan. Entah itu universitas, komunitas, pemerintah, untuk membangun kegiatan ekonomi dari suatu ekosistem.

Menurut Vensia, hingga saat ini, Bhinneka telah bekerja sama dengan sejumlah institusi, seperti President University (Campus Marketplace), Universitas Bunda Mulia (Biemers Shop), Pemkot Mojokerto (Mojokerto Marketplace), Pemkot Ternate (Milik Ternate), dan Pemkot Solo, untuk pembuatan mini marketplace.

Dalam pipeline, sebanyak hampir 30 lembaga pendidikan dan komunitas sedang memroses mini marketplace melalui Bhinneka, dua di antaranya sudah resmi meluncur. “Platform Bhinneka yang sudah matang bisa digunakan dengan mudah, menghemat biaya modal awal (biaya pembuatan platform sendiri) untuk usaha kampus, UMKM, termasuk Pemkot dan Pemda.”

Kontribusi bisnis dan rencana berikutnya

Meski seluruh produk dan layanan perusahaan menyasar seluruh skala bisnis, namun secara persentase bisnis terbesar Bhinneka datang dari klien B2B/G sebesar 80%, dan sisanya datang dari klien B2C. Adapun kategori produk yang menyumbang pendapatan terbesar masih datang dari 3C masih memberikan kontribusi terbesar, diikuti MRO atau alat perkakas.

“Untuk pengadaan saat tahun 2020 pandemi dimulai bisnis memang terasa berdampak dan terjadi penurunan di beberapa sektor. Namun hal ini diiringi peningkatan di sektor lain, seperti perangkat kesehatan yang masuk kategori MRO semakin meningkat. Masker, hand sanitizer, termometer tembak, banyak dibeli hingga pertengahan 2021.”

Vensia enggan menjelaskan lebih detail terkait kinerja perusahaan dengan menggunakan angka. Ia hanya menjelaskan perusahaan terus melakukan berbagai proses leaning agar lebih gesit dan memperhatikan produktivitas dalam berbagai aspek. “Dengan berbagai kegiatan operation excellence ini, kami optimis perusahaan tetap dapat bertumbuh dan mencetak laba.”

Dalam waktu dekat, perusahaan juga akan mengumumkan beberapa rencana dan strategi sebagai untuk mengukuhkan secara tegas posisinya sebagai pionir e-commerce di Indonesia. “Kami tetap fokus dalam pencapaian hal-hal yang sudah sempat kami rencanakan, namun tertunda karena pandemi. Kami juga harus melakukan perubahan pada beberapa rencana dan strategi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

OttoPoint Introduces Coalition Loyalty Platform

Was founded in 2019, OttoPoint aims to help business owners increase customer loyalty while attracting new customers. The platform offers a variety of loyalty program services aimed at companies in improving marketing programs.

OttoPoint and OttoPay are part of the fintech division under OttoDigital Group.

OttoPoint CEO James Hamdani revealed to DailySocial, in Indonesia, loyalty programs is rapidly growing. In the past few years, many brands started to offer discounts to keep consumers using their products or services.

“However, companies have started to apply various forms of other loyalty programs, such as cashback, points, stamps, gamification, etc. This means that business competition is getting tougher to attract consumers in Indonesia,” James said.

To begin with, OttoPoint focused on coalition-based customer loyalty programs by cooperating with various brands and companies to be in a more efficient and profitable ecosystem.

This program is applied in the form of points and reward catalogs. It provides brands with advantage, as they don’t have to build a loyalty system from scratch. You don’t even need to acquire partners one by one to bring rewards to consumers.

“For approximately a year in Indonesia, on average, our issuer partners have succeeded in increasing transaction frequency by 25% and transaction volume by 35% within three months. In addition, more than 300 thousand users have experienced the benefits of OttoPoint until June 2021,” James added.

Leading features

One of the loyalty programs that is considered to be the right type for the brand is coalition. Several brands join the same loyalty ecosystem. Business players can make integration and no longer have to bother building a system from scratch.

“In general, all types of business definitely need consumers to support the continuity of its company. Of the various types of consumers, the most potential and profitable type for companies is loyal consumers. It is not only because they will regularly contribute to sales. However, as they also the ones who will potentially recommend the company’s brand to their closest circle,” James said.

As a one-stop solution for loyalty program service providers in Indonesia, OttoPoint claims to have a significant difference with other platforms. Other providers will usually focus on only one type of service, such as reward points or stamps only. OttoPoint provides a variety of service solutions, ranging from coalition loyalty programs, OttoStamp, to OttoGifts.

“In addition, OttoPoint also provides a choice of loyalty program services that can be customized (white label). For large corporate groups who want to implement a loyalty program and align it with the specific needs of the various brands in the group. This service can be the best answer to help companies to apply point rewards with a close-loop,” James explained.

Loyalty program

As a form of marketing strategy that is sustainable and long-term oriented, it is predicted that loyalty programs will grow even more in the future. One of the reasons is that, as long as there is a commercial business going on, they will need a loyalty program to build loyal customer base that are profitable for the company. On the other hand, through the loyalty program, the company can also find out more in-depth customer insights.

In a research released by Wirecard revealed, 75% of customers finally decide to make a repurchase, after getting a reward from a certain brand. For James, it indicates that the potential for rewards from the loyalty program is highly effective.

“Especially in the current pandemic situation and with regulations to reduce the number of consumers who can come to the store. In order for the business to continue, companies must maximize their loyal customer database to support the company’s income,” James said.

The research also revealed that the rewards will trigger them to make more purchases. Almost all respondents said that after having a good loyalty program experience, they are more willing to receive offers and notifications from the brand. They are also willing to follow the brand’s social media accounts, after receiving positive rewards from the brand.

An interesting note found in the research is that most customers use apps and web apps for incentives, and many say that apps can help simplify the way they manage rewards. It is crucial, indeed, for the platform to have tools that function well and work seamlessly, therefore, customers can manage and monitor reward points.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OttoPoint Suguhkan Platform “Coalition Loyalty”

Didirikan sejak tahun 2019, OttoPoint bertujuan membantu pemilik usaha meningkatkan kesetiaan pelanggan sekaligus menjaring konsumen baru. Platform tersebut menawarkan beragam layanan program loyalitas yang ditujukan untuk perusahaan dalam meningkatkan program pemasaran.

OttoPoint dan OttoPay merupakan bagian dari divisi fintech di bawah naungan OttoDigital Group.

Kepada DailySocial, CEO OttoPoint James Hamdani mengungkapkan, di Indonesia pertumbuhan program loyalitas bisa dibilang cukup pesat. Bisa dilihat, beberapa tahun silam kebanyakan brand mengaplikasikan bentuk potongan harga atau diskon untuk menjaga konsumen tetap menggunakan produk atau jasanya.

“Tetapi beberapa waktu terakhir, perusahaan sudah mulai mengaplikasikan beragam bentuk program loyalitas lainnya, seperti cashback, point, stamp, gamification. dan lain sebagainya. Ini berarti persaingan bisnis semakin ketat untuk bisa menjaring konsumen yang ada di Indonesia,” kata James.

Di awal pendiriannya, OttoPoint berfokus pada program loyalitas pelanggan berbasis koalisi dengan menggandeng beragam brand maupun perusahaan untuk berada di satu ekosistem yang lebih efisien dan menguntungkan.

Program ini diaplikasikan dalam bentuk point dan katalog reward. Hal ini memberikan keuntungan untuk brand, karena mereka tidak perlu membangun sistem loyalitas dari nol. Bahkan tidak perlu mengakuisisi rekanan satu per satu untuk menghadirkan reward ke konsumen.

“Selama kurang lebih satu tahun ada di Indonesia, rata-rata mitra issuer kami telah berhasil menaikkan frekuensi transaksi sebanyak 25% dan volume transaksi 35% dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Selain itu, lebih dari 300 ribu pengguna telah merasakan manfaat OttoPoint hingga periode Juni 2021,” kata James.

Fitur pilihan

Salah satu jenis program loyalitas yang dinilai dapat menjadi yang tepat bagi brand adalah coalition loyalty. Di sini beberapa brand bergabung pada satu ekosistem loyalitas yang sama. Pebisnis tinggal melakukan integrasi sistem dan tidak harus repot membangun sistem dari nol.

“Secara umum, semua jenis bisnis pasti membutuhkan konsumen untuk mendukung kelangsungan perusahaannya. Dari beragam jenis konsumen, tipe yang paling potensial dan menguntungkan bagi perusahaan adalah kategori konsumen loyal. Hal ini bukan hanya karena mereka yang akan secara berkala berkontribusi untuk penjualan. Tetapi karena mereka jugalah yang akan secara potensial merekomendasikan brand perusahaan tersebut ke circle terdekat mereka,” kata James.

Sebagai one-stop solution untuk penyedia layanan program loyalitas di Indonesia, OttoPoint mengklaim memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan platform lainnya. Penyedia yang lain biasanya akan terfokus pada satu jenis layanan saja, misalnya point reward saja atau stamp saja. OttoPoint memberikan solusi layanan yang beragam, mulai dari coalition loyalty program, OttoStamp, hingga OttoGifts.

“Yang tidak kalah menarik, OttoPoint juga memberikan pilihan layanan program loyalitas yang bisa disesuaikan (white label). Bagi grup perusahaan besar yang ingin mengimplementasikan loyalty program dan diselaraskan dengan kebutuhan spesifik dari beragam brand di grup tersebut. Layanan ini bisa menjadi jawaban terbaik untuk membantu perusahaan yang ingin mengaplikasikan point rewards dengan close-loop,” kata James.

Pertumbuhan loyalty program

Sebagai salah satu bentuk strategi pemasaran yang berkelanjutan dan berorientasi jangka panjang, ke depannya diprediksi program loyalitas akan semakin bersinar. Salah satu alasannya adalah, selama ada bisnis komersial yang berjalan, mereka akan membutuhkan program loyalitas untuk menggaet pelanggan setia yang memberikan keuntungan bagi perusahaan. Di lain sisi, melalui program loyalitas perusahaan dapat mengetahui juga customer insight yang lebih mendalam.

Dalam sebuah riset yang dirilis oleh wirecard terungkap, 75% pelanggan akhirnya memutuskan untuk melakukan pembelian kembali, setelah mendapatkan reward dari brand tertentu. Menurut James hal ini mengindikasikan, berarti potensi reward dari program loyalitas itu tinggi untuk diterapkan.

“Apalagi sekarang ini pandemi dan terdapat regulasi pengurangan jumlah konsumen yang bisa datang ke toko. Supaya bisnis tetap berjalan, perusahaan harus memaksimalkan database pelanggan setia mereka untuk menyokong pemasukan perusahaan,” kata James.

Dalam riset tersebut juga terungkap, reward yang telah diterima, memicu mereka untuk kemudian melakukan pembelian lebih banyak lagi. Hampir semua responden mengatakan bahwa setelah mendapatkan pengalaman program loyalitas yang baik, mereka lebih bersedia untuk menerima penawaran dan notifikasi dari brand tersebut. Mereka juga selanjutnya bersedia untuk mengikuti akun media sosial brand, usai mendapatkan reward yang positif dari brand tersebut.

Catatan menarik yang juga terungkap dalam riset tersebut adalah, sebagian besar pelanggan menggunakan aplikasi dan aplikasi web untuk insentif, dan banyak yang menyatakan bahwa aplikasi dapat membantu menyederhanakan cara mereka mengelola reward. Menjadi krusial tentunya untuk platform memiliki tools yang berfungsi dengan baik dan bekerja secara seamless agar pelanggan dapat mengelola dan memonitor point reward.

Indotrading Seriusi Bisnis E-procurement

Berawal sebagai aplikasi direktori bisnis, Indotrading kini telah bertransformasi menjadi platform B2B yang menyediakan sistem e-procurement menyeluruh untuk perusahaan. Awalnya mereka hanya memberikan informasi seputar supplier untuk kebutuhan bisnis, juga membantu dari hal promosi dan pengiklanan — hanya saja waktu itu belum termasuk hal-hal berkaitan dengan transaksi.

“Menjelang pandemi karena banyaknya permintaan dari pembeli, Indotrading membuka divisi unit baru untuk pengadaan dari perusahaan besar karena banyaknya supplier kami mengalami masalah di cashflow. Kemudian kami membangun sistem e-procurement untuk perusahaan,” ujar CEO Indotrading Handy Chang.

Dengan menggunakan sistem tersebut, Indotrading membantu dari sisi pembayaran terms of payment dan mencarikan supplier yang berkualitas sehingga proses pembelian dari perusahaan menjadi lebih efisien dan hemat biaya. Perusahaan kemudian bisa memangkas tenaga purchasing dengan beralih ke sistem digital.

Sejauh ini Indotrading mempunyai sekitar 80 ribu supplier terdaftar. Perusahaan juga sudah memiliki 3 kantor cabang yang berada di Surabaya, Yogyakarta, dan Medan.

Selama pandemi perusahaan mengaju mengalami penurunan jumlah pelanggan. Banyak perusahaan yang harus menunda pembayaran untuk biaya keanggotaan. Namun demikian dari sektor kesehatan dan keamanan, Indotrading mengklaim mengalami pertumbuhan. Hal tersebut yang menjadikan perusahaan bisa berjalan secara stabil.

“Indotrading meluncurkan sistem pembayaran bulanan untuk membantu cashflow dari sisi perusahaan yang terkena efek. Dari sisi procurement, Indotrading mengalami peningkatan terutama untuk sektor safety. Kami membeli barang dari supplier yang bergabung dan membantu dari sisi pendanaan pembelian,” kata Handy.

Di fitur e-commerce B2B, Indotrading memiliki alur transaksi yang berbeda dengan platform B2C pada umumnya. Yaitu dengan menerapkan proses add to shopping cart dan buy now. Sistem B2B yang dimiliki juga terbilang sangat fleksibel. Dimulai dari permintaan penawaran, pembeli kemudian bebas mengisi produk apa pun yang diinginkan meskipun barang tersebut tidak tersedia di katalog.

Supplier kami nantinya akan mengirimkan penawaran resmi dan pembeli agar kemudian bisa melakukan PO secara tunai maupun payment terms 30, 45, dan 90 hari. Biaya shipping juga fleksibel dan ditentukan secara manual melalui penawaran,” kata Handy.

Indotrading juga memiliki kapabilitas untuk menghubungkan katalog produk dengan situs atau aplikasi yang dimiliki perusahaan. Integrasi ini diharapkan memudahkan proses pengadaan di internal klien.

Layanan pembayaran Indotradingpay

Untuk memudahkan proses pembayaran, Indotrading meluncurkan fitur payment dan quotation. Memungkinkan perusahaan mengirimkan penawaran dan menerima pembayaran secara langsung di luar platform Indotrading. Proses ini dinilai memudahkan perusahaan menagih pembayaran dari konsumen secara real time. Tidak perlu menggunakan payment gateway, karena pembayaran didukung Indotradingpay.

Sementara untuk fitur quotation, saat ini masih terbatas untuk permintaan melalui Indotrading. Sistem ini nantinya bisa membantu supplier memonitor jumlah quotation yang dikirim setiap bulannya beserta laporan. Pembayaran dari quotation itu juga bisa dengan mudah menggunakan Indotradingpay.

Untuk meningkatkan eskalasi bisnis, Indotrading juga tengah aktif berbincang dengan investor untuk penggalangan dana. Dana akan dimanfaatkan untuk ekspansi di bidang transaksi B2B. Sebelumnya Indotrading telah memperoleh pendanaan seri A senilai $1,5 juta dari sejumlah investor yang dipimpin oleh OPT SEA, perusahaan investasi OPT Group Jepang untuk kawasan Asia Tenggara tahun 2015 lalu.

“Saat ini transformasi besar sedang terjadi di sektor B2B. Sektor B2C sudah sangat teredukasi secara online. Tapi B2B masih banyak yang masih dijalankan secara manual. Kami berharap transformasi akan terjadi di sektor B2B mengingat pandemi telah mempercepat digitalisasi sektor B2B,” kata Handy.

Application Information Will Show Up Here

Pomelo Masuk ke Layanan B2B Melalui “Prism.”, Solusi Menyeluruh untuk Brand

Platform fesyen omnichannel Pomelo merilis layanan B2B bernama “Prism.”, sebuah layanan end-to-end yang terintegrasi bagi brand fesyen untuk meningkatkan skala bisnis mereka. Platform ini pertama kali hadir di kantor pusat Pomelo, Thailand, dan segera hadir di negara lainnya di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia dalam waktu dekat.

Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan perusahaan hari ini (24/6), CEO Pomelo David Jou menuturkan sejak Pomelo didirikan pada 2013, kini telah menjelma jadi powerhouse fesyen regional yang memiliki banyak kapasitas dan teknologi yang dapat disalurkan untuk brand agar dapat tumbuh lebih cepat.

“Pandemi telah berdampak seismik pada industri. Tujuan kami dengan Prism. adalah mengubah krisis ini menjadi peluang,” ujar Jou.

Mengutip dari laporan e-Conomy, meskipun di masa pandemi, industri fesyen digital ASEAN tumbuh 22% (GMV) dan bernilai $25 miliar pada tahun lalu. Angka tersebut tumbuh terbesar kedua di semua ritel online. Diproyeksikan angka tersebut akan tumbuh secara eksponensial hingga enam kali lipat dari nilai saat ini.

Prism. mendukung pertumbuhan ritel dengan memberikan brand akses terhadap keahlian core commerce, data analytics, logistik global, trading & merchandising, pemasaran, dan kreatif. Pada akhirnya seluruh solusi tersebut dapat membantu brand mendapatkan pengalaman yang jauh lebih personal di platform maupun dengan audiens, serta memberikan dampak yang lebih besar di industri fesyen.

Dijelaskan lebih jauh, untuk solusi core commerce, Prism. telah dilengkapi dengan cakupan komersial online-to-offline yang modern, mencakup personalisasi, manajemen konten, omnichannel, dan pemahaman Tap.Try.Buy milik Pomelo, serta akses ke platform e-commerce dan toko fisik. Brand pun akan mendapat arahan strategi yang sesuai dengan misi mereka.

Selanjutnya untuk area trading dan merchandising, Prism. menawarkan layanan desain, manufaktur, fabric-sourcing yang terbaik. Hal ini memungkinkan brand mendapat wawasan industri yang bernilai mengenai perkiraan tren, pengembangan produk, desain teknis, ukuran dan produksi.

Terakhir, untuk kemampuan pemasaran, brand dapat memperoleh akses 360 marketing platform Pomelo yang menggabungkan konsultasi brand, layanan lengkap studio kreatif untuk memproduksi konten terbaik, menciptakan konten media sosial multi-channel yang dilokalisasi sesuai target audiens, jaringan influencer dan KOL, serta solusi pemasaran berdasarkan data.

“Jika brand hanya membutuhkan solusi kreatif karena tidak ada tim kreatif, bisa datang ke kami. Berikutnya untuk launching itu dibebaskan, boleh tidak dieksekusi melalui platform kami, jadi kami hanya bantu di proses awalnya saja.”

Hingga saat ini Prism. telah menggandeng brand global, seperti Urban Revivo dan Levi’s sebagai kliennya. Ditargetkan pada setahun ini dapat menggaet hingga ribuan brand. Tak hanya fesyen, Prism. akan mengincar brand skincare, make up, dan kosmetik.

“Kami akan mengincar ribuan brand ke dalam platform dalam 12 bulan ke depan. Kami meyakini Prism. akan memberikan kontribusi hingga dua kali lipat karena Prism. akan menjadi perspektif baru dalam bisnis fesyen pada masa mendatang,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

BukaPengadaan Perluas Layanan Pemesanan Tiket Perjalanan Dinas

BukaPengadaan, salah satu unit bisnis Bukalapak untuk segmen B2B, mengumumkan kolaborasi dengan Golden Nusa untuk pengadaan layanan pemesanan tiket perjalanan dinas. Penambahan fitur ini diharapkan dapat memperkuat posisi BukaPengadaan sebagai one stop solution e-Procurement platform.

Kerja sama ini akan memberikan kemudahan bagi pelanggan korporasi serta instansi pemerintah dalam melakukan pengadaan perjalanan dinas, seperti pemesanan tiket pesawat, kereta api, dan hotel. Dengan demikian, pengadaan perjalanan dinas jadi semakin mudah, transparan, dan efisien.

Head of Operation & Marketing Analytics BukaPengadaan Andry Jachja menyampaikan, “BukaPengadaan selalu berupaya untuk terus melakukan inovasi dan kolaborasi berbasis teknologi dengan banyak pihak, kali ini bersama Golden Nusa. Melalui kolaborasi ini kami ingin turut mendukung upaya pemerintah dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia, khususnya dalam penghematan anggaran dalam melakukan pengadaan tiket perjalanan dinas [..],” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (17/6).

Head of Business Development Golden Nusa Travel Services Christian Simamora menambahkan, pihaknya bangga telah menjadi bagian dari kolaborasi bersama BukaPengadaan dengan memberikan pengalaman online kepada korporasi swasta dan instansi pemerintah dalam pengadaan perjalanan dinas.

Sebelumnya, Tiket sudah merambah segmen pengadaan tiket perjalanan untuk pasar korporat pada awal 2019 dan Bhinneka yang menggaet Loket untuk penjualan tiket hiburan, theme park, dan MICE.

Sejak dirilis pada 2016, BukaPengadaan telah terintegrasi dengan marketplace Bukalapak yang menghubungkan layanan ini dengan 6,5 juta pelapak yang menawarkan ratusan juta produk.

Dalam wawancara bersama DailySocial pada tahun lalu, BukaPengadaan telah merangkul lebih dari 1500 pengguna, sekitar 80% adalah perusahaan dan sisanya adalah UKM dan instansi pemerintah. Pada 2019, BukaPengadaan mencatat ada 500 pembeli, 5 ribu purchase order dengan rata-rata nilai per transaksi Rp150 juta.

Produk yang disediakan BukaPengadaan tidak hanya ritel dan bahan baku saja, tetap sudah menyentuh produk virtual yang dikelola menggunakan satu pintu platform.

Ini sekaligus menjadi salah satu proposisi nilai yang ingin diberikan perusahaan. Pasalnya para kompetitornya, seperti Tokopedia atau Shopee, sejauh ini belum menunjukkan keinginan untuk masuk ke pangsa pasar ini.

Berdasarkan laporan riset dari EigenRe, proyeksi market size B2B Commerce di mencapai $21,3 miliar pada 2023 mendatang. Para pemain juga cukup optimis, bahwa Covid-19 akan menghasilkan rebound untuk bisnis ini, menghasilkan transaksi yang lebih besar dari sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here