Rosé All Day Siap Lebarkan Bisnis ke Global Usai Capai Profitabilitas

Seiring meningkatnya belanja produk online, pemilik merek kosmetik D2C memainkan peran signifikan dalam mendorong industri kecantikan di Indonesia. Dengan fokus pada inovasi, transparansi, dan keterlibatan konsumen, platform D2C siap mengubah standar industri kecantikan.

Rosé All Day Cosmetics (RADC) merupakan merek kecantikan Indonesia yang menghadirkan produk -produk yang disesuaikan dengan target pengguna. RADC mendapatkan suntikan pendanaan dari AC Ventures pada 2020.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial.id,  para pendiri RADC mengungkap rencana ekspansinya usai bisnisnya mencapai profitabilitas pada tahun lalu.

Eskpansi mancanegara

RADC didirikan di 2017 oleh Cindy Nyoto Gunawan, Tiffany Danielle, dan Samantha Wijaya. RADC mengklaim telah mencapai profitabilitas dengan pertumbuhan tahunan yang signifikan sejak 2021.

Pendapatannya mengalami peningkatan tahunan sebesar 4 kali lipat pada 2022, dan berada di jalur untuk mencapai pertumbuhan sebesar 6 kali lipat pada 2023. Pertumbuhan ini disebut menjadi kombinasi dari traksi produk, peningkatan jalus distribusi online dan offline, serta retensi pelanggan yang baik.

“Kami memulai dengan modal awal sebesar $10.000 (sekitar Rp148 juta). Selama tiga tahun pertama, RADC mengalami pertumbuhan organik dengan pengeluaran pemasaran yang minimal. Bahkan selama pandemi di 2020-2022, RADC mengalami pertumbuhan pesat dengan menjaga pengeluaran pemasaran di bawah 20% dari pendapatan,” kata CEO dan Co-Founder RADC Cindy Nyoto Gunawan.

Selanjutnya, RADC berencana memperluas distribusi ke seluruh Indonesia dan kehadiran omnichannel, serta melakukan rebranding pada koleksi perawatan kulitnya sebagai bagian dari strategi ekspansi. Untuk rencana jangka panjang, perusahaan berharap bisa membawa RADC ke tingkat global.

RADC juga akan melakukan perekrutan di berbagai bidang, termasuk pemasaran, media sosial, operasi, keuangan, supply chain, pengembangan produk, membangun komunitas, dan pengembangan kreatif. Saat ini, jumlah karyawannya sebanyak 50 orang.

“Kami percaya ada potensi besar yang belum dimanfaatkan dalam menempatkan brand Indonesia, seperti milik kami, di peta dunia. Ini bukan hanya tentang melebarkan sayap, tetapi membuktikan bahwa kami sebagai brand Indonesia, dapat berdiri tegak di samping nama-nama besar di global. Ini bukan hanya sekadar ide, tetapi juga menjadi bahan bakar yang mendorong setiap keputusan kami menuju ambisi kami,” kata Co-Founder, CMO & Head of Product Development RADC Tiffany Danielle.

Produk terjangkau dan berkualitas

Sumber: Rosé All Day Cosmetics

Dalam beberapa tahun terakhir, perilaku konsumen kecantikan telah mengalami pergeseran yang signifikan dengan munculnya platform Direct-to-Consumer (D2C). Pendekatan inovatif ini mendisrupsi jalur distribusi tradisional dengan memberdayakan akses yang mudah ke produk kecantikan berkualitas tinggi. Indonesia, dengan pasar kecantikannya yang beragam dan populasi tech-savvy yang ada saat ini, telah memberikan peluang bagi pertumbuhan kosmetik D2C.

Sejak awal, RADC telah mengidentifikasi kenaikan permintaan untuk produk kecantikan yang terjangkau dan berkualitas tinggi, yang belum terpenuhi di Indonesia. Terinspirasi oleh kesuksesan merek internasional, para pendirinya memutuskan untuk menciptakan Rosé All Day Cosmetics (RADC), merek kecantikan premium yang mudah diakses untuk wanita modern. Saat ini RADC telah memiliki sertifikasi halal sebagai merek kecantikan di Indonesia.

“Meskipun gaya hidup kami berbeda-beda, kami semua mengakui serangkaian ‘kebutuhan sehari-hari’ dalam rutinitas makeup kami. Wawasan ini mendorong kami untuk menciptakan produk-produk serba guna yang dapat menyederhanakan dan meningkatkan rutinitas kecantikan harian setiap wanita,” ujar Tiffany.

RADC meluncurkan lip and cheek duo, produk perawatan kulit yang multifungsi, mendukung tren lipstik matte yang tahan lama. Tujuan perusahaan adalah mendorong tampilan “no makeup” yang mendukung kecantikan alami. RADC kemudian mulai memperluas produk untuk perawatan kulit, memimpin tren skincare-infused makeup di Indonesia.

“Kami selalu mengutamakan transparansi, clean beauty, dan formulasi vegan, dengan komitmen yang kuat terhadap keterlibatan pelanggan. Tujuan kami adalah menawarkan produk inovatif, user-friendly yang dapat menjadi produk kecantikan sehari-hari bagi semua orang,” kata Tiffany.

Menurut Tiffany, yang membedakan RADC dari pemain lainnya adalah, komitmen mereka terhadap inklusivitas, transparansi, kesederhanaan, kemudahan, dan harga terjangkau. Terkait dengan warna kulit masyarakat Indonesia, inovasi produk dan kualitas RADC diklaim tercermin dalam penawaran, seperti realest lightweight skin tint, skin tint vegan pertama di Indonesia yang juga melindungi dari polusi.

“Kami menawarkan kemudahan belanja online melalui berbagai platform dan saat ini sedang memperluas keberadaan offline kami di seluruh Indonesia. Kami menjaga harga terjangkau dengan memastikan produk berkualitas tinggi,” Tutupnya.

Tercatat saat ini sudah ada beberapa merek kosmetik hingga perawatan kulit wajah dan rambut lokal yang menawarkan pendekatan serupa. Di antaranya adalah NAMA Beauty, pemilik merek D2C produk perawatan kulit dan kecantikan.

Diri Care juga hadir menawarkan solusi perawatan kesehatan pribadi sesuai permintaan (on-demand) serta terjangkau kepada para pelanggan di seluruh Indonesia, Base dikenal sebagai brand skincare yang menawarkan personalisasi rekomendasi perawatan kulit dengan teknologi eksklusif .

What Pandemic Means to The Future of Indonesian Beauty Tech

In 2019, the former Minister of Communication and Information, Rudiantara, mentioned that the beauty tech industry would be one of the prima donna in the Indonesian digital economy market.

This is partly due to the beauty and personal care industry that has captured a lot of attention from startups in the last few years. The power of e-commerce in Indonesia opens up opportunities in various new business verticals and this is one of those.

Based on the Euromonitor report, the beauty market value in Indonesia was estimated to reach $8.46 billion in 2022, up from the estimated value in 2019 of $6.03 billion. However, will this forecast remain valid given the unexpected health crisis that emerged in early 2020?

DailySocial interviewed some beauty tech players and VC actors to find out about future trends in the beauty industry.

The rise of beauty tech in Indonesia

Beauty tech is defined as a new model for the beauty industry players in reaching consumers. Its business model is no longer focused on conventional distribution channels but combines the strengths of technology and digital.

In Indonesia, the term beauty tech cannot be separated from the emergence of Sociolla in 2015. Its founders, namely John Rasjid, Christopher Madiam, and Chrisanti Indiana, developed a platform that can connect consumers with various kinds of beauty brands. Sociolla may be the only beauty e-commerce platform that has been able to survive and develop until now.

Long before this term became popular, the Female Daily Network (FDN) had appeared and can be said to be the pioneer of the Indonesian beauty tech industry. FDN started as a personal blog about beauty content founded by Hanifa Ambadar and Affi Assegaf in 2005. At that time the penetration of the internet and technology was not as massive as it is now.

Over the past 15 years, FDN has transformed into a platform for beauty junkies to gather. FDN has a strong community base in Indonesia thanks to a rating system that allows anyone to review products from various brands. In fact, FDN is now starting to monetize its business through the Beauty Studio e-commerce platform.

For Co-founder and CEO of Female Daily Network Hanifa Ambadar, the development of beauty tech can accelerate the dissemination of information on beauty products. This means that beauty brands have the opportunity to get the spotlight from a wider audience. Technology actually makes it easier for them to understand the needs of consumers for their products.

“The voice of consumers can not only be used for the next product development, but also to read the tastes and maneuvers of competitors, and to design marketing campaigns,” Hanifa said in the #SelasaStartup session some time ago.

FDN and Sociolla are two clear examples of how technology is changing the beauty industry and becoming a promising business for Indonesia’s digital industry. FDN has received investment injections from several well-known venture capitals (VC), namely Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, and Convergence Ventures. Now, FDN has been acquired by CT Corp, which oversees Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, and CNBC Indonesia).

Last July, Sociolla secured $58 million in Series E funding from Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. Meanwhile, East Ventures was also involved in funding the previous series. Crunchbase data records that the total funding raised by Sociolla from 2015 to date has reached $110 million.

The growth of the beauty industry doesn’t stop there. Ease of access to technology and digital platforms in Indonesia also contributes to the birth of new beauty brands in the country. Some of them, such as Rose All Day and Base, use a Direct-To-Consumer (DTC) approach to reach consumers.

Their appearance marks the positive market enthusiasm for beauty products. Market behavior changes. Information dissemination and product marketing are easier to do with the support of digital platforms.

Pandemic changes consumer behavior

The digital economy is predicted to be a sector that will contribute greatly to the Indonesian economy. However, with the current Covid-19 pandemic situation, what does this mean for the beauty tech industry in Indonesia?

According to Sociolla’s Co-founder and CMO Chrisanti Indiana, the pandemic will certainly change the trend of the beauty industry. Over the past six months, Sociolla discovered three new trends. First, the pandemic is driving an increasing trend of online shopping for beauty and personal care products.

Second, users inevitably take advantage of digital channels to buy beauty products. Third, the Work From Home (WFH) policies in many companies motivate people to take care of themselves.

Quoting Analytic Data Advertising (ADA), online shopping activities in Indonesia skyrocketed to 400 percent due to the pandemic in March 2020. Bank Indonesia said the number of e-commerce transactions since March 2020 reached 98.3 million transactions. Meanwhile, the total value of e-commerce transactions increased by 9.9 percent to IDR 20.7 trillion in the same period compared to February 2020.

Referring to the three findings above, Chrisanti said that the beauty sector still has stable growth going forward. In fact, she said that this sector has been a sector that has survived the pandemic era for the past six months.

“There are indeed changes in behavior and consumption, trends in make-up, and health protocols. However, [changes in behavior] actually strengthen the beauty industry in today’s difficult situation. Please note, self-care is a basic human need. We are optimistic that the beauty industry has great potential to grow.” in the future,” she told DailySocial.

Pandemic encourages local brands with DTC approach

As mentioned earlier, the development of the digital ecosystem has also contributed to the growth of new businesses in Indonesia. A number of domestic beauty brands are using the DTC approach to reach consumers easily and efficiently.

In terms of Base, for example, the brand was founded in 2019 and currently relying only on product marketing through the website. Meanwhile, the Rose All Day brand only relies on the marketplace as the front-end of online sales, such as Tokopedia and Shopee.

Generation Z and the millennial segment who are increasingly attached to the seamless lifestyle are considered to be reasons for some of the local brands to adopt this model. Moreover, physical stores are considered no longer relevant for this segment, considering that information and product availability can be accessed anytime and anywhere.

In a time of pandemic, the mushrooming trend of new brands is predicted to continue. The pandemic has indeed limited all kinds of offline activities. However, this can be an opportunity for the emergence of other new brands that apply a similar business model.

“Currently, marketing activities not only owned by big brands and existing players but also young and aspiring brands. For us, new trends will exist and are built on the presence of new brands that are established because of the digital ecosystem. This will continue to shape the beauty industry in Indonesia,” Chrisanti said.

Base’s CEO, Yaumi Fauziah Sugiharta assessed that Indonesia has a great opportunity to push the domestic beauty market. Especially if you look at the fact that Indonesian consumers are one of the big markets for beauty products in Asia, such as South Korea and Japan.

“Indonesia is one of the largest markets for beauty products in East Asia, for K-Beauty and J-Beauty. About 15 years ago, not many people used these types of products for several reasons; availability and distribution. Therefore, we see that Indonesia has the opportunity to boost penetration of local brands in the region. We have many international standard cosmetic manufacturers,” she explained.

Although this trend will trigger fierce competition, Yaumi believes that it will open up opportunities for consumers that local brands have the ability to create good quality products.

Challenges in the beauty tech

Behind the optimism of local brand growth, Hanifa emphasized that this is also a challenge. He acknowledged that the online platform provides wider access to information on beauty products.

However, consumers have the potential to be easily “distracted” and switch to another brand if they do not have a strong differentiating factor.

“Without it, people will no longer stay only on one website because there are more sources of ‘distraction’. Reflecting on this, we want to become an integrated ecosystem for beauty products,” she added.

Meanwhile, Yaumi sees her business model is having a competitive advantage during the pandemic. Base is positioned as a digitally native vertical brand (DNVB) whose main sales channel is online. Furthermore, a seamless shopping experience becomes big homework for the company.

“Because most consumers are currently not fully mobilized, this has triggered a shift in consumer behavior to shop online. For DNVB like Base, we must ensure that we can provide a seamless shopping experience on all channels, not only the website but also the communication channel,” he said.

Beauty tech optimism in the eye of investors

 

From an investor’s point of view, East Ventures (EV) Partner Melisa Irene sees several findings to validate the optimism of Indonesia’s beauty tech business in the pandemic era.

Based on its track record, EV is one of the VCs with great interest in this sector. Sociolla is the first EV portfolio in the beauty tech sector. In line with Sociolla’s growth and strong position in this sector, EV continues to invest in new DTC brands, namely Base (2019) and Nusantics (2020).

Returning to the matter of findings, Melisa believes her DTC portfolio will grow in the pandemic era. According to him, e-commerce is beneficial for DTC players due to the increasing trend of user screen time during WFH. A number of businesses have also started shifting sales from offline to online. This opens up opportunities for brands to reach receptive consumers.

“In addition, another opportunity is for many brands to diversify their products to meet consumer’s demand during a pandemic. Beauty products are easy to consume. As the industry matures, they have the opportunity to provide a strong shopping experience, especially from wellness/health products,” she said to DailySocial.

No wonder some of the existing and local brands are busy releasing sanitizer and mask products, two health products that have been highly sought after during the pandemic in the last few months.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Arti Pandemi Bagi Masa Depan Industri “Beauty Tech” Indonesia

Pada 2019, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sempat menyebutkan bahwa industri beauty tech bakal menjadi salah satu primadona di pasar ekonomi digital Indonesia.

Pasalnya industri kecantikan dan perawatan diri (beauty and personal care) banyak dilirik oleh pelaku startup dalam beberapa tahun terakhir. Kekuatan e-commerce di Indonesia membuka peluang di berbagai vertikal bisnis baru dan ini adalah salah satunya.

Berdasarkan laporan Euromonitor, nilai pasar kecantikan di Indonesia sempat ditaksir bakal mencapai $8,46 miliar di 2022, naik dari estimasi nilai di 2019 yang sebesar $6,03 miliar. Namun, apakah perkiraan ini akan tetap valid dengan situasi krisis kesehatan tak terduga yang muncul di awal 2020 ini?

DailySocial mewawancarai sejumlah pelaku beauty tech dan VC untuk mengetahui tren industri kecantikan di masa depan.

Beauty tech dan kebangkitannya di Indonesia

Beauty tech didefinisikan sebagai model baru bagi pelaku di industri kecantikan dalam menjangkau konsumen. Model bisnisnya tak lagi berkutat pada jalur distribusi konvensional, tetapi mengombinasikan kekuatan teknologi dan digital.

Di Indonesia, istilah beauty tech tak lepas dari kemunculan Sociolla di 2015. Para pendirinya, yakni John Rasjid, Christopher Madiam, dan Chrisanti Indiana, mengembangkan platform yang dapat menghubungkan konsumen dengan berbagai macam brand kecantikan. Sociolla mungkin jadi satu-satunya platform e-commerce kecantikan yang mampu bertahan dan berkembang hinggai saat ini.

Jauh sebelum istilah ini populer, Female Daily Network (FDN) sudah lebih dulu muncul dan dapat dikatakan sebagai cikal bakal pelopor industri beauty tech Indonesia. FDN bermula dari blog pribadi seputar konten kecantikan yang didirikan oleh Hanifa Ambadar dan Affi Assegaf di 2005. Saat itu penetrasi internet dan teknologi saat itu belum semasif sekarang.

Selama 15 tahun terakhir, FDN telah bertransformasi menjadi platform berkumpulnya para beauty junkie. FDN memiliki basis komunitas kuat di Indonesia berkat rating system yang memampukan siapapun untuk mengulas produk dari berbagai brand. Bahkan, FDN kini mulai memonetisasi bisnisnya melalui platform e-commerce Beauty Studio.

Bagi Co-founder dan CEO Female Daily Network Hanifa Ambadar, perkembangan beauty tech dapat mempercepat penyebaran informasi produk kecantikan. Artinya, brand kecantikan memiliki kesempatan untuk mendapat sorotan dari audiensi yang lebih luas. Teknologi justru memudahkan mereka memahami kebutuhan konsumen terhadap produknya.

“Suara konsumen tak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk berikutnya, tetapi juga membaca selera dan manuver kompetitor, serta merancang kampanye pemasaran,” papar Hanifa di sesi #SelasaStartup beberapa waktu lalu.

FDN dan Sociolla menjadi dua contoh nyata bagaimana teknologi mengubah industri kecantikan dan menjadi bisnis menjanjikan bagi industri digital Indonesia. FDN pernah mendapat suntikan investasi dari beberapa venture capital (VC) ternama, yaitu Ideosource, Sinar Mas Digital Ventures, dan Convergence Ventures. Kini, FDN telah diakuisisi CT Corp yang menaungi Trans Media (Detikcom, CNN Indonesia, dan CNBC Indonesia).

Sociolla sendiri Juli lalu mengantongi pendanaan Seri E sebesar $58 juta dari Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Adapun, East Ventures juga terlibat pada pendanaan seri sebelumnya. Data Crunchbase mencatat total pendanaan yang dihimpun Sociolla sejak 2015 hingga saat ini sudah mencapai $110 juta.

Pertumbuhan industri kecantikan tidak berhenti sampai di situ. Kemudahan akses terhadap platform teknologi dan digital di Indonesia turut berkontribusi terhadap kelahiran brand kecantikan baru dalam negeri. Beberapa di antaranya, seperti Rose All Day dan Base, menggunakan pendekatan Direct-To-Consumer (DTC) untuk menjangkau konsumen.

Kemunculan mereka menandai adanya antusiasme positif pasar terhadap produk kecantikan. Perilaku pasar berubah. Penyebaran informasi dan pemasaran produk semakin mudah dilakukan dengan dukungan platform digital.

Pandemi ubah tren perilaku konsumen

Ekonomi digital digadang menjadi sektor yang bakal berkontribusi besar terhadap perekenomian Indonesia. Namun, dengan situasi pandemi Covid-19 saat ini, apa artinya bagi industri beauty tech di Indonesia?

Menurut Co-founder dan CMO Sociolla Chrisanti Indiana, pandemi tentu akan mengubah tren industri kecantikan. Selama enam bulan terakhir, Sociolla menemukan tiga tren baru. Pertama, pandemi mendorong peningkatan tren belanja online untuk produk kecantikan dan perawatan diri.

Kedua, pengguna mau tak mau memanfaatkan channel digital untuk membeli produk kecantikan. Ketiga, kebijakan Work From Home (WFH) di banyak perusahaan memotivasi masyarakat untuk melakukan perawatan diri.

Mengutip Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online di Indonesia meroket hingga 400 persen akibat pandemi pada Maret 2020. Bank Indonesia menyebutkan jumlah transaksi e-commmerce sejak Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Sementara, total nilai transaksi e-commerce naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun pada periode sama dibandingkan Februari 2020.

Mengacu pada tiga temuan di atas, Chrisanti menilai bahwa sektor kecantikan masih memiliki pertumbuhan stabil ke depan. Bahkan ia menyebut sektor ini menjadi sektor yang bertahan di era pandemi selama enam bulan terakhir.

“Memang ada perubahan perilaku dan konsumsi, tren make up, dan protokol kesehatan. Namun [perubahan perilaku] justru memperkuat industri kecantikan di situasi sulit saat ini. Perlu diketahui, self care adalah kebutuhan dasar orang. Kami optimistis industri kecantikan punya potensi besar untuk tumbuh di masa depan,” paparnya kepada DailySocial.

Pandemi dorong brand lokal dengan pendekatan DTC

Sebagaimana disebutkan di awal, perkembangan ekosistem digital turut mendorong pertumbuhan bisnis-bisnis baru di Indonesia. Sejumlah brand kecantikan dalam negeri menggunakan pendekatan DTC untuk menjangkau konsumen secara mudah dan efisien.

Pada contoh kasus Base, misalnya, brand yang berdiri pada 2019 tersebut saat ini baru mengandalkan pemasaran produk melalui website. Sementara, brand Rose All Day hanya mengandalkan marketplace sebagai front-end penjualan online, yaitu melalui Tokopedia dan Shopee.

Generasi Z dan segmen milenial yang semakin lekat dengan gaya hidup seamless dinilai menjadi alasan bagi sejumlah brand lokal untuk menerapkan model ini. Terlebih toko fisik dinilai sudah tidak lagi relevan bagi segmen tersebut mengingat informasi dan ketersediaan produk dapat diakses kapanpun dan di manapun.

Dalam konteks pandemi, tren menjamurnya brand baru diprediksi terus berlanjut. Pandemi memang membatasi segala macam aktivitas offline. Akan tetapi, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi kemunculan brand baru lainnya yang menerapkan model bisnis serupa.

“Sekarang kegiatan marketing tidak hanya dimiliki oleh big brand dan pemain existing, tetapi juga young and aspiring brand. Bagi kami, tren baru akan ada dan dibangun dari kehadiran brand baru yang berdiri karena ekosistem digital. Ini akan terus membentuk industri kecantikan di Indonesia,” papar Chrisanti.

Kepada DailySocial, CEO Base Yaumi Fauziah Sugiharta menilai Indonesia punya peluang besar untuk mendorong pasar kecantikan dalam negeri. Apalagi jika melihat fakta bahwa konsumen Indonesia termasuk salah satu pasar besar bagi kiblat produk kecantikan di Asia, yakni Korea Selatan dan Jepang.

“Indonesia adalah salah satu pasar terbesar produk kecantikan di Asia Timur, yaitu K-Beauty dan J-Beauty. 15 tahun lalu belum banyak orang yang pakai jenis produk itu karena beberapa hal; ketersediaan dan distribusi. Maka itu, kami lihat Indonesia punya peluang untuk dongkrak penetrasi brand lokal ke regional. Kita punya banyak manufaktur kosmetik berstandar interasional,” jelasnya.

Meski tren tersebut akan memicu persaingan ketat, Yaumi menilai bahwa hal tersebut justru akan membuka kesempatan bagi konsumen bahwa brand lokal memiliki kemampuan dalam menciptakan produk berkualitas baik.

Tantangan bagi industri kecantikan

Di balik optimisme pertumbuhan brand lokal, Hanifa menekankan bahwa hal tersebut juga menjadi tantangan. Ia mengakui bahwa platform online memberikan akses lebih luas terhadap informasi produk kecantikan.

Akan tetapi, konsumen berpotensi mudah “terdistraksi” dan berpindah ke brand lain apabila tidak memiliki faktor pembeda yang kuat.

“Tanpa itu, orang tidak bisa lagi berlama-lama di satu situs karena sumber ‘distraksi’ semakin banyak. Berkaca dari hal ini, kami ingin menjadi satu ekosistem terpadu untuk produk kecantikan,” tambahnya.

Sementara Yaumi melihat model bisnisnya justru memiliki keuntungan kompetitif selama masa pandemi. Base diposisikan sebagai digitally native vertical brands (DNVB) yang channel penjualan utamanya adalah online. Maka itu, pengalaman belanja yang seamless menjadi PR besar bagi perusahaan.

“Karena sebagian besar konsumen saat ini belum sepenuhnya mobilisasi, ini memicu pergeseran perilaku konsumen untuk berbelanja online. Bagi DNVB seperti Base, kami harus memastikan dapat memberikan pengalaman belanja yang seamless di semua channel, tidak hanya website tetapi juga communication channel,” tuturnya.

Optimisme bisnis beauty tech di mata investor

Dari kacamata investor, Partner East Ventures (EV) Melisa Irene melihat ada beberapa temuan yang dapat memvalidasi optimisme bisnis beauty tech Indonesia di era pandemi.

Berdasarkan rekam jejaknya, EV merupakan salah satu VC yang memiliki ketertarikan besar di sektor ini. Sociolla merupakan portofolio pertama EV di sektor beauty tech. Sejalan dengan pertumbuhan dan posisi kuat Sociolla di sektor ini, EV melanjutkan investasinya ke brand DTC baru, yakni Base (2019) dan Nusantics (2020).

Kembali ke soal temuan, Melisa meyakini portofolio DTC-nya akan tumbuh di era pandemi. Menurutnya, e-commerce menjadi beneficial bagi pelaku DTC karena tren screen time pengguna semakin meningkat selama WFH. Sejumlah bisnis juga sudah mulai shifting penjualan dari offline ke online. Ini membuka peluang bagi brand untuk menjangkau receptive consumer. 

“Selain itu, peluang lainnya adalah banyak brand melakukan diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen di masa pandemi. Produk kecantikan itu mudah dikonsumsi. Dengan semakin matangnya industri, mereka punya peluang untuk memberikan pengalaman belanja yang kuat, terutama dari produk wellness/kesehatan,” ungkapnya kepada DailySocial.

Tak heran sejumlah brand lokal existing maupun ramai-ramai mengeluarkan produk sanitizer dan masker, dua produk kesehatan yang sangat dicari selama pandemi beberapa bulan terakhir.

Terapkan AI dan Deep Learning, Lyke Hadirkan Fitur Image Search

Setelah mendapatkan pendanaan Seri A beberapa waktu lalu, aplikasi mobile fashion Lyke menghadirkan inovasi baru memanfaatkan Artificial intelligence (AI) dan Deeep Learning bernama Image Search. Fitur yang tampak serupa dengan milik Pinterest ini memungkinkan pengguna untuk mendapatkan produk fesyen, aksesoris dan beauty product hanya dengan mengunggah foto atau screen capture dari smartphone ke aplikasi Lyke.

Sesuai dengan visi dan komitmen dari Lyke yaitu mengedepankan teknologi, inovasi ini bukan hanya mempermudah pengguna mendapatkan barang yang diinginkan secara cepat dan hampir serupa, namun juga membuka kesempatan untuk penjual memperluas layanannya.

“Sebagai satu-satunya aplikasi yang menghadirkan produk fesyen berkualitas, Lyke berharap dengan fitur terbaru ini, bisa membuat kegiatan belanja online lebih menyenangkan dan sesuai dengan harapan pengguna,” kata CEO Lyke Bastian Purrer.

Teknologi yang sepenuhnya memanfaatkan AI dan deep learning tersebut, mampu melakukan automatic object recognition hanya dalam waktu 10 detik, gambar yang diunggah oleh pengguna selanjutnya akan memberikan rekomendasi produk yang hampir serupa dengan yang diinginkan oleh pengguna. Bukan hanya untuk produk lokal, namun pencarian gambar tersebut juga bisa dilakukan untuk produk mancanegara.

“Meskipun rekomendasi gambar tersebut tidak 100% sama, namun Lyke mampu memberikan rekomendasi produk lokal yang hampir mirip secara cepat dengan harga istimewa,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah memiliki 300 toko pilihan yang tersebar di Indonesia mengombinasikan inventori produk berjumlah lebih dari 150 ribu jenis produk yang dapat langsung dibeli melalui aplikasi. Bukan hanya Jabodetabek saja, namun layanan Lyke saat ini juga sudah bisa dinikmati di seluruh Indonesia.

“Saat ini aplikasi Lyke telah diunduh oleh 2 juta orang, sementara untuk pemesanan Lyke sudah menerima 2 ribu order per harinya,” kata Bastian.

Fitur personalisasi Lyke

Inovasi lain yang saat ini sudah bisa dinikmati oleh pengguna Lyke adalah fitur personalisasi tampilan di halaman depan aplikasi Lyke. Tersedia tiga kategori yang bisa dipilih sesuai selera, yaitu Premium, Affordable dan Pretty Cheap. Fitur personalisasi ini bisa dimanfaatkan untuk pengguna yang hanya ingin mendapatkan produk premium dan enggan untuk melihat pilihan produk di luar dari kategori yang diinginkan.

“Dengan demikian pengguna bisa memilih sesuai dengan selera yang relevan. Untuk soal harga bisa dipastikan harga yang ditawarkan oleh Lyke jauh lebih murah dari harga toko sebenarnya,” kata Bastian.

Saat ini Lyke telah menjalin kemitraan dengan berbagai brand fesyen lokal hingga asing juga layanan e-commerce dan marketplace di Indonesia. Disinggung tentang strategi agar bisa tampil lebih unggul dengan layanan serupa, Bastian menyebutkan perbedaan bisnis model yang dimiliki serta fokus Lyke yang mengedepankan teknologi, merupakan keunggulan dari aplikasi Lyke.

“Sebagai platform fesyen dan kecantikan yang memanfaatkan teknologi, ke depannya Lyke berharap bisa tampil seperti GO-JEK dan UBER. Dari sisi teknologi kami akan terus melakukan inovasi menghadirkan fitur terkini dan layanan lebih untuk pengguna.”

Application Information Will Show Up Here

Pembaruan Fitnesia Hadirkan Fitur One-Click Pay

Startup pengusung bisnis O2O (Online to Offline) untuk segmentasi gaya hidup Fitnesia kian mematangkan debutnya. Baru-baru ini fitur one-click pay dihadirkan untuk memudahkan pengguna dalam melakukan pembayaran booking tempat fitnes, salon, spa atau make-up, termasuk opsi pembayaran yang lebih bervariasi.

Sekarang pengguna aplikasi Fintesia sudah bisa menggunakan kartu kredit untuk media pembayaran, dan menyimpan data kartu tersebut secara aman di aplikasi, sehingga ketika melakukan pemesanan di lain waktu menjadi lebih ringkas.

Sedari awal layanan Fitensia berdiri, konsep O2O menjadi yang diunggulkan dalam proses bisnis, sehingga pihaknya tidak begitu merasa khawatir dengan kehadiran dan gerusan layanan on-demand yang makin diminati masyarakat.

“Konsep utama Fitnesia adalah O2O, sehingga kami tidak bersaing langsung dengan pemain on-demand lainnya. Meskipun demikian, kami tetap tidak henti-hentinya melakukan inovasi-inovasi terbaru. Saat ini, sudah ada lebih dari 400 merchant yang sudah bekerja sama dengan Fitnesia,” ujar CEO dan Founder Fitnesia Bobby Simon.

Dalam wawancara sebelumnya, Bobby pernah menyampaikan bahwa visi besar Fitnesia akan menciptakan layanan O2O secara lebih luas. Kala itu dicontohkan, untuk segemntasi kuliner akan ada Foodnesia, segementasi karya seni dan hiburan ada Arnesia dan segmentasi komunitas dan hiburan ada Clubnesia. Namun tampaknya tahun 2017 ini realisasinya belum akan digalakkan.

“Untuk saat ini, Fitnesia masih fokus untuk fitness, beauty dan spa. Kami memiliki banyak rencana dan ide untuk ke depannya, yang rasanya mampu untuk menciptakan tren baru, namun masih perlu dikembangkan dan diolah lebih mendalam,” ujar Bobby.

Fokus Fitnesia di tahun ini ialah terus mengembangkan jaringan merchant hingga mencakup daerah yang semakin luas. Selain itu, tim engineer juga masih terus dioptimalkan untuk berusaha menyempurnakan kapabilitas aplikasi sesuai dengan feedback masuk dari konsumen yang sudah terhimpun saat ini.

“Baru-baru ini kami juga berhasil menjadi salah satu startup terpilih untuk mengikuti GnB Accelerator Batch 2. Kami senantiasa berusaha menjadi yang lebih baik lagi dan tidak pernah berhenti belajar hal-hal baru,” pungkas Bobby.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Tantangan Terbesar yang Dihadapi Startup Fashion dan Beauty

Memiliki jumlah pengikut di akun media sosial ternyata tidak cukup untuk memperpanjang jalannya bisnis bagi startup yang menyediakan produk kecantikan dan busana. Untuk promosi dan branding, jumlah pengikut yang banyak di media sosial memang dapat membantu memperkenalkan perusahaan, namun jika perusahaan tidak bisa menghadirkan produk yang baik dengan layanan yang cepat dan aman, akan menyulitkan perusahaan untuk berkembang.

Yang perlu diperhatikan adalah dalam hal menjalankan bisnis yang mengedepankan layanan kecantikan dan busana diperlukan trik yang cerdas yang bisa mendongkrak penjualan. Artikel berikut ini akan membahas tantangan terbesar yang kerap dialami oleh startup beauty dan fashion, dan bagaimana mengubah tantangan tersebut menjadi hal yang positif dan membantu startup menuju proses skalabilitas dan monetisasi.

Monetisasi di awal

Pastinya akan menjadi kebanggaan dan prestasi tersendiri jika startup Anda telah berhasil mengumpulkan jumlah pengikut yang banyak di media sosial, namun demikian penting untuk tidak terlalu memfokuskan kepada hal tersebut yang merupakan hal umum dan banyak dilakukan oleh perusahaan lainnya. Cobalah untuk memfokuskan kepada rencana monetisasi dengan mengenal lebih jauh bagaimana consumer behaviour dari pelanggan Anda. Upayakan untuk melakukan monetisasi sejak awal hingga bisnis Anda sudah mendapatkan keuntungan yang stabil, hal ini bisa membantu Anda mengenali pelanggan setia sejak dini.

Kurasi semua calon konsumen potensial Anda sejak awal, lakukan pendekatan yang intens dengan mereka mulai dari jumlah kecil hingga jumlah yang besar. Coba cermati metrik bisnis Anda terkait dengan target pasar, nantinya ketika Anda mulai fokus kepada produk dan penjualan Anda telah mengetahui seperti apa hal-hal yang disukai oleh pelanggan setia sejak awal.

Kualitas produk yang utama

Meskipun saat ini sudah banyak e-commerce dan online shopping yang beredar di kalangan masyarakat, namun masih banyak masyarakat yang menyukai untuk mengunjungi toko atau gerai butik secara langsung untuk melihat, merasakan dan membeli produk kecantikan dan busana. Di sinilah yang kemudian menjadi tantangan Anda pelaku startup fashion dan beauty, bagaimana produk dan layanan yang Anda tawarkan dapat “mengganggu” bisnis yang sudah ada sejak dulu.

Tidak berbeda jauh dengan perusahaan teknologi lainnya, startup yang melayani produk kecantikan dan busana juga wajib memiliki teknologi yang terdepan. Pilihannya tentu ada pada Anda, apakah ingin memperkerjakan tim engineer sendiri atau memiliki untuk menyewa tenaga outsource. Apa pun pilihan Anda pastikan untuk dapat mengolah semua feedback dari pelanggan dan berikanlah produk dan fitur yang disukai oleh semua.

Fokuskan kepada produk kecantikan dan busana yang unik dan terbaik, dengan demikian ketika pelanggan akan mencoba membeli produk yang Anda tawarkan bisa mendapatkan pengalaman yang lebih dan positif yang secara otomatis akan langsung menjadi pelanggan setia Anda.

Gaya pertumbuhan

Sekilas startup yang menjual ragam produk kecantikan dan busana tampak mudah dan menarik dibandingkan dengan startup lainnya, hanya mengandalkan media sosial, foto yang menarik serta produk yang beragam dengan cepat akan mendapatkan pelanggan dengan segala kemudahan yang ditawarkan.

Faktanya adalah menjalankan bisnis fashion dan beauty berbasis teknologi merupakan bisnis yang sulit dan penuh dengan tantangan. Hanya mereka yang berambisi dan cerdas yang mampu unggul dan dengan sukses melewati semua tantangan yang ada.

Beberapa perusahaan dapat tumbuh karena keunggulan yang kompetitif, tapi keindahan dari startup kecantikan dan busana perlu untuk menggabungkan efisiensi struktural dengan keuletan dan kegigihan usaha yang diharapkan oleh pelanggan. Mereka harus memahami dalam ukuran yang sama dua hal yang tidak bisa jauh terpisah adalah logika yang terkesan sulit untuk mencapai pertumbuhan non-linear dan keinginan emosional yang mendorong fashion dan beauty kepada konsumen.

Denny Santoso Bergabung Dengan Layanan Kotak Kecantikan BeautyTreats Indonesia

Layanan langganan kotak kecantikan BeautyTreats baru saja mengumumkan bergabungnya seorang digital entrepreneur sekaligus founder dari duniafitness dan sixreps, Denny Santoso sebagai pemegang saham dan strategist. Kemitraan yang baru dijalin ini diharapkan memicu inovasi dan meningkatkan kekuatan core business dari BeautyTreats ini sendiri.

(null)