Pintarnya Umumkan Pendanaan Awal 93 Miliar Rupiah Dipimpin Sequoia India dan General Catalyst

Pintarnya adalah platform job marketplace yang menyasar kalangan pekerja kerah biru. Hari ini (19/5) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal yang dipimpin oleh Sequoia Capital India dan General Catalyst. Nilai investasi yang dapat dibukukan $6,3 juta atau setara 93 miliar Rupiah.

Startup tersebut didirikan oleh Nelly Nurmalasari, Henry Hendrawan, dan Ghirish Pokardas. Nelly dan Henry sebelumnya dikenal sebagai eksekutif senior di Traveloka, khususnya di divisi produk keuangan dan teknologi. Sementara Ghirish sebelumnya bekerja menjadi eksekutif senior di KKR yang juga fokus di layanan finansial.

Nelly sendiri juga menjadi bagian dari kohort pertama program mentoring Sequoia Spark — yang secara spesifik didesain Sequoia untuk calon pengusaha perempuan potensial di Asia Tenggara dan India.

Dengan pendanaan ini, Pintarnya akan mengakselerasi pertumbuhan bisnis dengan melakukan perekrutan tim di bidang pengembangan, produk, desain, pemasaran, operasional, dan bisnis di Jakarta.

Latar belakang pendirian Pintarnya

Di segmen kerah biru, untuk mencari pekerjaan biasanya seseorang akan bergantung dari informasi yang tersebar dari mulut ke mulut. Kanal online yang ada pun juga menyajikan banyak informasi lowongan, hanya saja banyak yang tidak terverifikasi — bahkan tidak sedikit yang berujung pada penipuan terhadap pencari kerja.

Namun, di sisi lain pemberi kerja juga memiliki gap yang cukup serius untuk menjangkau calon tenaga kerja. Mereka membutuhkan platform yang dapat diandalkan dalam mengidentifikasi, memverifikasi, hingga memperkerjakan pekerja. Demikian diceritakan oleh Nelly (CEO). Permasalahan tersebut dialami secara langsung.

“Dulu saya mempekerjakan staf salon kecantikan melalui platform iklan baris online atau referensi para pekerja lain. Sangat sulit untuk menyaring dan memverifikasi kandidat dan pengalaman kerjanya dengan cepat. Di sisi lain, saya juga menyadari bahwa untuk para pencari kerja, sangat menjengkelkan untuk mencari dan melamar pekerjaan, lalu mereka menjadi korban penipuan dalam prosesnya,” ujar Nelly.

Ia melanjutkan, “Pintarnya bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut untuk kedua belah pihak. Lalu, 80% dari populasi memiliki smartphone, jadi ini saat yang tepat untuk meluncurkan sebuah platform digital. Perubahan perilaku yang dipicu oleh pandemi COVID-19 baru-baru ini dan bangkitnya Open Finance di Indonesia juga memberikan dorongan pada misi kami.”

Solusi yang dihadirkan Pintarnya

Pintarnya menyuguhkan layanan melalui situs web dan aplikasi mobile. Untuk saat ini layanan mereka baru bisa digunakan secara efektif untuk pengguna di Jabodetabek dan Bandung.

Dalam cara kerjanya, setelah pencari kerja mendaftar dan membuat profil, Pintarnya akan menggunakan informasi yang diberikan untuk merekomendasikan peluang pekerjaan yang relevan. Termasuk mempertimbangkan berbagai parameter termasuk namun tidak terbatas pada persyaratan pekerjaan, lokasi, dan keahlian. Pendekatan ini dinilai bisa memberikan akses tidak hanya ke prospek yang diverifikasi dan dikurasi.

Setelah itu Pintarnya akan bekerja sama dengan mitra pemberi kerja untuk mengkualifikasi dan merekrut pekerja kerah biru terkait.

“Misi dari Pintarnya tidak hanya membantu para pekerja mendapatkan pekerjaan. Dengan identitas digital dan riwayat pekerjaan yang terverifikasi, kami akan membuka akses untuk layanan finansial yang lebih baik untuk mereka dengan kemitraan bersama institusi keuangan, memungkinkan pekerja kerah biru meraih mimpi mereka untuk hidup yang lebih layak,” imbuh Henry.

Kendati tidak dijabarkan detailnya, dengan mekanisme berbasis data dan memanfaatkan platform Open Finance, Pintarnya juga berkomitmen untuk menyuguhkan layanan finansial formal bagi para pekerja tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dengan memperjuangkan literasi dan inklusi finansial.

Potensi platform job marketplace kerah biru

Tidak dimungkiri juga, potensi nilai ekonomi pekerja kerah biru sangat besar, namun sangat kompleks dan terfragmentasi. Di Indonesia, 60 juta pekerja kerah biru mencakup lebih dari 70% pekerja berbayar dan menyumbangkan 20% pada PDB.

Hal ini turut disampaikan oleh Alex Tran dari General Catalyst. Ia berujar, “Indonesia memiliki salah satu populasi termuda di dunia, yang merupakan hal langka dan potensi bonus demografi jika orang diberi kesempatan untuk menjadi produktif dan stabil secara finansial. Hal Ini adalah tantangan dan peluang besar yang dapat dipecahkan oleh teknologi.”

Alex melanjutkan, “Kami senang dapat mendukung tim di Pintarnya saat mereka memulai misi untuk membantu pekerja kerah biru menyesuaikan diri dengan pemberi kerja, membangun komunitas, dan meningkatkan keterampilan. Kami juga senang dengan peluang fintech yang dapat muncul dari sini. Pekerjaan mengarah ke pendapatan mengarah ke akses pada layanan keuangan, jadi kami pikir masuk akal bahwa satu platform harus memiliki seluruh hubungan ini.”

Sejumlah platform untuk pekerja kerah biru sebelumnya juga sudah banyak bermunculan. Sebut saja AdaKerja, Sampingan, MyRobin, Lumina, sampai yang terbaru ada Atma. Atma juga baru-baru ini mengumumkan pendanaan pre-seed untuk mendukung debutnya senilai $5 juta — mereka hadir dengan pendekatan berbeda, yakni dengan pemberdayaan komunitas.

Application Information Will Show Up Here

Lumina Receives Funding from Y Combinator and Alpha JWC Ventures

The working community platform Lumina received funding from Y Combinator (YC) and Alpha JWC Ventures with an undisclosed amount. Through this funding, Lumina is to facilitate around 80-120 million blue-collar workers in Indonesia with limited access and decent opportunities to find work and develop careers.

Lumina claims to be the first platform that provides professional community features for blue collar workers in Indonesia. This platform provides a community based recruitment and benefits system.

In the official statement, Lumina’s Co-founder & CEO, Aswin Andrison said, his team seeks not only to provide access to employers, but also to self-development, and opportunities to improve the economy .

“By leveraging the power of our exclusive community and artificial intelligence-based job recommendations, we want to democratize hiring and automate quality matching between blue-collar workers and employers,” said Aswin.

Lumina was founded in September 2021 by Aswin Andrison, a serial entrepreneur focusing on blue-collar workers, FMCG, wholesalers, and MSMEs for the past 16 years. Aside from Aswin, former Twitter developer Tri Ahmad Irfan also co-founded Lumina.

Aswin himself previously founded Stoqo in 2017, the business was eventually shut down in April 2020.

In the last two months, Lumina has facilitated 100 thousand job seekers, of which 20 thousand job vacancies have been occupied. Lumina also recorded 1,000 new registrants and additional 3,000 new workers every day.

Y Combinator’s Group Partner, Gustaf Alstromer said this funding will help  Lumina to unlock its potential in order to change the Indonesian workforce. “We have seen startups in other countries take this labor market online and Lumina  is the right team to face this challenge,” he said.

Meanwhile, Co-Founder & General Partner of Alpha JWC Ventures, Jefrey Joe, said that Lumina will play an important role in maximizing workforce, individual and business potential.

An effort to accomodate blue-collar workers

Blue collar is defined as people who do menial work for an organization and are paid hourly wages. Workers in this category are often identified as workers who do not require higher education and only need physical strength. Generally, blue-collar workers cover the fields of manufacturing, mining, to constructions.

According to a research, the turnover rate of blue-collar workers has reached 20%. This can be burdensome for the company because according to the same survey, the cost to overcome turnover can reach $4,569. According to BPS data in 2019, low-skill workers dominate the informal sector with a 57.27% rate.

Startup players in Indonesia have started to look for opportunities to overcome various problems among blue-collar workers since the last few years. Some startups that provide blue-collar jobs include MyRobin, Sampingan, and Workmate. There are applications based platforms or job marketplaces.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lumina Dapat Pendanaan dari Y Combinator dan Alpha JWC Ventures

Startup platform komunitas kerja Lumina mendapat pendanaan dari Y Combinator (YC) dan Alpha JWC Ventures dengan nominal yang dirahasiakan. Melalui pendanaan ini, Lumina memiliki misi untuk membantu sebanyak 80-120 juta pekerja kerah biru di Indonesia yang punya keterbatasan akses dan kesempatan layak mencari pekerjaan dan mengembangkan karier.

Lumina mengklaim sebagai platform pertama yang menyediakan fitur komunitas profesional untuk pekerja kerah biru (blue collar) di Indonesia. Platform ini menyediakan sistem rekrutmen dan benefits berbasis komunitas.

Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Lumina Aswin Andrison mengatakan, pihaknya berupaya tak hanya memberikan akses terhadap pemberi kerja, tetapi juga terhadap pengembangan diri, dan peluang untuk meningkatkan ekonomi lebih baik.

“Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas eksklusif kami dan rekomendasi pekerjaan berbasis kecerdasan buatan, kami ingin mendemokratisasikan perekrutan dan mengautomasi pencocokan kualitas antara pekerja kerah biru dan pemberi kerja,” ujar Aswin.

Lumina didirikan pada September 2021 oleh Aswin Andrison, seorang serial entrepreneur yang memiliki fokus pada pekerja kerah biru, FMCG, grosir, dan UMKM selama 16 tahun terakhir. Selain Aswin, mantan developer Twitter Tri Ahmad Irfan ikut mendirikan Lumina.

Aswin sendiri sebelumnya sempat mendirikan Stoqo pada tahun 2017, lalu bisnis tersebut ditutup pada April 2020.

Dalam dua bulan terakhir, Lumina memiliki lebih dari 100 ribu pencari kerja, di mana sebanyak 20 ribu lowongan pekerjaan telah terisi. Lumina juga mencatat 1.000 pendaftar baru dan penambahan 3.000 pekerja baru setiap harinya.

Group Partner Y Combinator Gustaf Alstromer mengungkap, pendanaan ini akan membantu membuka potensi Lumina untuk membawa perubahan kepada tenaga kerja Indonesia. “Kami telah melihat startup di negara lain menghadirkan pasar tenaga kerja ini secara online dan tim Lumina adalah tim yang tepat untuk menghadapi tantangan ini,” tuturnya.

Sementara itu Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe menambahkan bahwa Lumina akan memegang peran penting dalam memaksimalkan tenaga kerja, potensi individu, dan bisnis.

Upaya mengakomodasi pekerjaan kerah biru

Pekerja blue collar didefinisikan sebagai orang-orang yang melakukan kerja kasar untuk suatu organisasi dan upahnya dibayarkan setiap jam. Pekerja di kategori ini sering diidentikkan sebagai pekerja yang tidak memerlukan pendidikan tinggi dan hanya membutuhkan kekuatan fisik. Umumnya, pekerja kerah biru mencakup bidang manufaktur, penambangan, hingga konstruksi.

Berdasarkan sebuah riset, tingkat turnover alias pergantian/perputaran pekerja kerah biru di mencapai 20%. Kondisi ini dapat memberatkan perusahaan karena mengacu survei yang sama, biaya untuk mengatasi turnover bisa mencapai $4.569. Menurut data BPS di 2019, kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Pelaku startup di Indonesia mulai melirik peluang untuk mengatasi berbagai masalah di kalangan pekerja kerah biru sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa startup yang menyediakan pekerjaan kerah biru antara lain MyRobin, Sampingan, dan Workmate. Platform ini ada yang berbasis aplikasi keagenan atau job marketplace.

Upaya Sampingan Agar Tetap Relevan untuk Pekerja Kerah Biru

Pekerja kerah biru menjadi lapis pertama yang paling terkena imbas semenjak pandemi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, ada 29,4 juta orang yang terdampak langsung dari pandemi. Jumlah tersebut termasuk mereka yang terkena PHK dan dirumahkan tanpa upah.

Alhasil platform manajemen tenaga kerja seperti Sampingan banyak dibutuhkan oleh para pekerja. Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder dan CEO Sampingan Wisnu Nugrahadi mengatakan jumlah pekerja yang mendaftar di Sampingan naik hingga tiga kali lipat sejak pandemi tahun lalu. Kenaikan ini terjadi secara alami tanpa upaya pemasaran yang maksimal dari perusahaan.

Disebutkan saat ini Sampingan memiliki lebih dari 1 juta mitra pekerja (disebut Kawan Sampingan) yang tersebar di 80 kota dan 150 perusahaan yang memanfaatkan solusi dari Sampingan.

“Selama pandemi menyebabkan pertumbuhan bisnis melambat di berbagai sektor. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, nah para pekerja ini salah satunya adalah kerah biru yang kita serve. Kita lihat tren kenaikan job seeker yang mendaftar naik tiga kali lipat,” tutur dia.

(ki-ka) Para Co-Founder Sampingan: Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya Putra / Sampingan

Memformalkan manajemen yang administratif

Sejak Sampingan dirintis pada 2018, Sampingan didesain untuk merevolusi manajemen kerah biru yang serba manual jadi lebih formal dengan memanfaatkan teknologi. Wisnu menjelaskan, dari sisi pencari kerja, yang dibutuhkan saat ini lebih dari sekadar sistem pencocokan kerja (job match maker).

Sampingan berupaya untuk memformalkan para pekerja biru dengan proses pekerjaan yang lebih mudah, seperti rekrutmen, pelatihan di tempat kerja, proses penggajian, hingga asuransi kesehatan.

Pun dari sisi perusahaan juga turut menghadapi tantangan, di antaranya efisiensi waktu untuk menentukan kandidat yang cocok, kurangnya tenaga dan waktu untuk mengawasi kinerja pekerja, dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk proses staffing terutama dalam jumlah besar.

Solusi yang disediakan Sampingan saat ini ada tiga jenis; Sampingan Systems berupa SaaS yang memudahkan rekan bisnis dalam mencari/mengelola tenaga kerja mereka; Sampingan Manpower ialah layanan perekrutan dan staffing pekerja untuk memudahkan rekan bisnis untuk memenuhi kebutuhan SDM.

Terakhir, Sampingan Solutions ialah solusi menyeluruh yang dapat dimanfaatkan rekan bisnis, Sampingan akan mengatur seluruh proses dari staffing pekerja, mengatur laju performa pekerja hingga memberikan pelaporan kinerja secara agregat.

“Dari day one, kami fokus menciptakan unit economy di industri yang bisa kita improve dan otomatiskan prosesnya di masing-masing part dengan bantuan teknologi. Jadi kita changing the game of most of these process jadi lebih efisien.”

Pada akhirnya, bagi perusahaan yang ingin mengeskalasi bisnisnya dalam waktu cepat dan butuh pekerja kerah biru dapat memanfaatkan solusi Sampingan.

Dengan seluruh struktur bisnis B2B ini, Wisnu ingin menjadikan Sampingan sebagai perusahaan yang sustainable agar dapat menciptakan lebih banyak dampak untuk pekerja kerah biru.

“Kita selalu melihat objektif bagaimana caranya Sampingan bisa automate proses yang administratif ini, sehingga perusahaan itu tetap fokus pada human approach karena unsur tersebut juga dibutuhkan.”

Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial

Perkembangan bisnis

Dari 150 perusahaan yang menggunakan solusi Sampingan, mayoritas bergerak di logistik dan pergudangan yang mencari pekerjaan untuk kurir, forklift, dan sebagainya; pemasaran lapangan untuk pekerjaan canvasser; riset untuk pekerjaan surveyor dan data collection; layanan pelanggan (customer service); pemasaran berbasis komunitas (crowdsourcing marketing); dan administrasi (back office).

“Semua kandidat ini kita test berdasarkan kebutuhan si perusahaan, ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa match dengan kandidat yang tepat. Untuk pekerjaan yang butuh di-interview semua aktivitas bisa dilakukan secara remote di 80 kota. Kami pun enggak ada kantor cabang di sana.”

Wisnu ingin terus menambah jumlah mitra perusahaan yang dapat memanfaatkan solusi Sampingan. Pasalnya, bicara potensi pasar di industri logistik dan pergudangan saja kebutuhan untuk mencari kurir dan tenaga kerja pendukungnya begitu besar, di tengah pesatnya perkembangan e-commerce.

“Banyak dari mitra perusahaan ini mencari minimal dua sampai empat lapangan pekerjaan untuk kerah biru. Misalnya, last mile logistik pasti butuh warehousing dan kurir, juga butuh layanan pelanggan dan administrasi. Kami berdiri sebagai one stop platform karena kita bisa menyediakan full visibility dan transparansi untuk payroll dan sebagainya.”

Demi meningkatkan stickiness, kini Sampingan turut melengkapi fitur untuk pekerja berupa early wage access (EWA) dan asuransi kesehatan (bersama Gigacover). Dengan fitur EWA ini, pekerja dapat mengakses gajinya lebih awal untuk membayar kebutuhan mendadak. Terkait mitra untuk penyediaan EWA ini, Wisnu belum bersedia mengungkapkan identitasnya.

“Karena kami pegang data day to day performance-nya juga, kami bisa meyakinkan perusahaan bahwa kandidat tersebut layak mendapatkan fitur EWA ini. Kami akan terus menambah program tambahan agar tidak hanya perusahaan, tapi juga pekerja yang mendapat benefit yang maksimal.”

Inovasi teranyar lainnya yang sedang dikembangkan perusahaan adalah fitur e-learning untuk membantu pekerja meningkatkan soft skill. Menariknya, Sampingan menghadirkan fitur ini berupa audio. Dalam suatu survei yang diselenggarakan perusahaan, mayoritas pekerja kerah biru ini ada di lapangan dan berpindah-pindah tempat sehingga sulit untuk menyiapkan waktu kosong untuk belajar bila dengan audio visual.

Tema-tema yang disampaikan dalam e-learning, sejauh ini masih bersifat dasar namun penting untuk diketahui. Seperti, syarat-syarat yang dibutuhkan bila ingin menjadi kurir, atau cara menyampaikan informasi yang lebih baik jika ingin menjadi orang pemasar.

“Kami bekerja sama dengan salah satu audio company untuk menyediakan e-learning via audio. Selain karena mereka selalu commuting, platform audio ini jauh lebih ramah kuota,” pungkasnya.

Problematika industri

Menurut sebuah riset, turnover pekerja kerah biru cukup tinggi. Rata-rata di perusahaan mencapai 20%. Turnover mengacu pada keluar masuknya pegawai yang mengisi posisi tertentu. Kondisi ini sebenarnya memberatkan perusahaan, karena dari survei yang sama dikemukakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi turnover ini tidak murah, bisa mencapai $4,569.

Pekerja kerah biru identik dengan “pekerjaan kasar”. Jenis pekerjaan ini nyaris ada dan dibutuhkan di setiap lingkungan bisnis – ada yang sifatnya temporer, outsource, hingga pekerja tetap. Kecenderungan segmen ini dipenuhi kalangan low skill worker, orang-orang yang memiliki kompetensi minim – umumnya disebabkan karena akses ke pendidikan yang kurang baik. Menurut data BPS, per tahun 2019 kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge
Application Information Will Show Up Here

MyRobin Mudahkan Perusahaan Mengelola Pekerja Kerah Biru

Besarnya permintaan pekerja kerah biru (blue collar) di Indonesia ternyata tidak dibarengi dengan manajemen dan platform digital yang relevan untuk keperluan bisnis. Melihat peluang tersebut, platform MyRobin mencoba untuk memberikan solusi kepada pelaku bisnis, dalam hal merekrut tenaga kerja dari kalangan tersebut.

Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO MyRobin Siddharth Kumar mengungkapkan, hingga saat ini masih banyak perusahaan yang kesulitan merekrut pekerja kerah biru. Ketika lowongan pekerjaan dibuka, kebanyakan para perusahaan tersebut merasa kewalahan ketika harus menyaring kandidat yang tepat.

“Dalam hal ini misalnya saat membuka sebuah lowongan kerja, mereka akan mendapatkan ratusan CV kertas, serta sulit untuk menilai kemampuan pekerja. Lalu pekerja yang diharapkan untuk hadir wawancara juga tidak datang. Di saat acara tertentu seperti Harbolnas dan Lebaran, mereka membutuhkan pekerja dalam jumlah yang sangat banyak. Selain itu turn-over rate juga sangat tinggi.”

Hingga kini masih banyak pekerja yang tidak dibayar dengan adil, tidak memiliki asuransi, dan juga ditipu oleh pihak outsourcing bodong. Melihat permasalahan tersebut, MyRobin kemudian mencoba untuk mempelajari bagaimana negara seperti India dan Tiongkok menyelesaikan masalah tersebut. MyRobin hadir untuk menyediakan tenaga kerja berkualitas at scale dan memberikan berbagai benefit yang menunjang kinerja mereka.

“Model bisnis dan strategi monetisasi yang kami lancarkan adalah menagih perusahaan management fee. Dihitung di atas total biaya tenaga kerja. Tidak ada yang dipotong dari upah mitra kami,” kata Siddharth.

Saat ini MyRobin telah memiliki komunitas pekerja yang berjumlah sekitar 2,4 juta orang yang tersebar di 100 kota di Indonesia. Mereka mencatat, 95% di antaranya berada dalam grup usia 18-35 tahun dan lulusan SMA/SMK serta pekerja yang memiliki skill. Secara keseluruhan sudah lebih dari 100 perusahaan yang telah dilayani oleh MyRobin.

Siapkan penggalangan dana

Saat ini MyRobin telah menerima pendanaan dari beberapa investor, di antaranya Antler, SOSV, Prasetia Dwidharma, dan beberapa angel investor. Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, saat ini MyRobin tengah melakukan pengalangan dana untuk tahap selanjutnya.

“Untuk tetap efisien di era new normal, perusahaan membutuhkan fleksibilitas. Kami telah membantu ribuan pekerja mendapatkan pekerja di saat pandemi ini. Tim kami mengalami pertumbuhan hingga 5x saat pandemi ini,” kata Siddharth.

Saat ini mereka telah melayani bisnis di kota tier 1 dan 2 seperti Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan dan beberapa kota lainnya di Kalimantan, Sumatera dan Pulau Jawa. MyRobin juga ingin terus memperluas wilayah layanan mereka secara pesat hingga ke kota-kota yang lebih kecil.

Flexible workforce saat ini menjadi tren yang populer di Asia Tenggara. Pandemi semakin mempercepat proses perusahaan mengadopsi hal ini,” kata Siddharth.

Selain MyRobin, platform serupa yang juga menyasar pekerja kerah biru di antaranya adalah Sampingan, Job2Go, Heikaku, Workmate, BigAgent, dan AdaKerja. Kecenderungan segmen ini dipenuhi kalangan low skill worker, orang-orang yang memiliki kompetensi minim – umumnya disebabkan karena akses ke pendidikan yang kurang baik. Menurut data BPS, per tahun 2019 kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Hadirnya platform digital juga berusaha menghadirkan disrupsi di siklus ketenagakerjaan kerah biru. Adanya platform seperti marketplace memungkinkan pemberi pekerjaan terhubung langsung dengan para calon pekerja, karena sejauh ini masih banyak ditemui agen atau biro penyalur tenaga kerja di segmen ini.

Sampingan Announces Series A Funding of 71 Billion Rupiah

Sampingan announces the closing of $5 million Series A funding or equivalent to 71 billion Rupiah. This round was led by Altara Ventures, with the participation of Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, and two investors in the previous round, Golden Gate Ventures and Antler. Currently, the startup founded by Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, and Dimas Pramudya has managed to raise up to $7.1 million in funds.

Fresh funds will be focused on strengthening the technology, product, and sales teams. Since their launch in 2019, they have served around 150 corporate clients with 850 thousand workers. Its services allow business partners to connect with blue-collar workers to perform various types of work, such as making sales, creating product reviews, conducting surveys, installing applications, etc.

In Indonesia, there are several platforms that specifically target blue-collar workers (informal workers). In general, it consists of two forms. First, there is a job marketplace that allows companies to recruit prospective workers with a more formal recruitment process. While agency services usually provide certain jobs on the platform, registered workers can take on and do the task directly, and get a commission after successful submission.

Platform Pekerja Kerah Biru di Indonesia

The presence of these services is based on a fairly large niche market. Based on BPS data in 2019, these workers dominate the informal sector with a rate of 57.27%. Sampingan’s internal data also recorded an increase during the pandemic. From March to December 2020, the number of Sampingan applications downloads exceeding 1 million, increased by 4 times. The number of partners also increased significantly during this period, without announcing a detailed number.

Previously, in an interview with DailySocial, the founders said that Sampingan was inspired by an outsourcing business model that applies daily or monthly targets to workers. In the process, Sampingan uses a similar approach to that model, providing pay based on performance results (pay per performance).

Sampingan was started as Antler startup generator’s first batch program in Singapore. In 2020, the program finally arrived in Indonesia to provide mentorship and investment programs to prospective founders. Apart from Sampingan, there are also local startups generated from this program, including Bubays and Cooklab.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Sampingan Umumkan Pendanaan Seri A 71 Miliar Rupiah

Sampingan mengumumkan telah menutup pendanaan seri A senilai $5 juta atau setara 71 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Altara Ventures, dengan partisipasi Access Ventures, XA Network, iSeed SEA, serta dua investor di putaran sebelumnya yakni Golden Gate Ventures dan Antler. Sejauh ini, startup yang didirikan Wisnu Nugrahadi, Margana Mohamad, dan Dimas Pramudya ini berhasil mengumpulkan dana hingga $7,1 juta.

Dana segar akan difokuskan untuk penguatan tim teknologi, produk, dan penjualan. Sejak diluncurkan pada 2019, mereka telah melayani sekitar 150 klien perusahaan dengan 850 ribu pekerja. Layanannya memungkinkan mitra bisnis terhubung dengan pekerja “blue collar” untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan, seperti melakukan penjualan, membuat ulasan produk, melakukan survei, pemasangan aplikasi, dll.

Di Indonesia, saat ini sudah ada beberapa platform yang khusus menyasar pekerja kerah biru (pekerja informal). Secara umum terdiri dari dua bentuk, pertama ada job marketplace memungkinkan perusahaan untuk memperoleh calon pekerja dengan proses perekrutan yang lebih formal. Sementara layanan keagenan bisanya menyuguhkan pekerjaan tertentu di platform, lalu pekerja terdaftar dapat mengambil dan mengerjakan tugas tersebut secara langsung, dan mendapatkan komisi setelah berhasil melakukan submisi.

Platform Pekerja Kerah Biru di Indonesia

Hadirnya layanan tersebut didasari adanya ceruk pasar yang cukup besar. Berdasarkan data BPS, per tahun 2019 kalangan pekerja tersebut mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%. Data internal Sampingan bahkan mencatat adanya kenaikan di masa pandemi. Selama Maret s/d Desember 2020, jumlah unduhan aplikasi Sampingan naik 4x lipat, melebihi 1 juta unduhan. Jumlah mitra pun juga bertambah cukup signifikan di masa tersebut kendati tidak disebutkan angkanya.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial, para founder mengatakan pengembangan Sampingan terinspirasi dari model bisnis outsourcing yang mengenakan target harian atau bulanan ke pekerja. Dalam proses kerjanya, Sampingan menggunakan pendekatan mirip dengan model tersebut, memberikan bayaran berdasarkan hasil kinerja (pay per performance).

Sampingan lahir dari program startup generator Antler batch pertama di Singapura. Tahun 2020 lalu, program tersebut akhirnya bersinggah di Indonesia untuk memberikan program mentorship dan investasi ke calon founder. Selain Sampingan, ada startup lokal yang lahir berkat program tersebut, di antaranya Bubays dan Cooklab.

Application Information Will Show Up Here

AdaKerja’s Target After Securing 14.7 Billion Rupiah in a Follow-on Funding

On Friday (30/10), job marketplace platform AdaKerja announced the follow-on funding from Beenext worth $1 million or 14.7 billion Rupiah. The seed funding has opened since last year when the company debuted, Beenext also became their first investor. Thanks to the participation of several angel investors (including the leadership of LinkedIn, DBS, ICAP, and the Tolaram Group), the total funding raised was $1.4 million.

The additional capital obtained will be prioritized in product and technology development resulting in AdaKerja’s service more capable of accommodating blue-collar workers in Indonesia.

In fact, a similar platform is also being prepared to be replicated in Singapore under the name AskSteve. However, to DailySocial, Founder & CEO Ashwin Tiwari said that currently they only focus on business in Indonesia. While the unit in Singapore is only in the beta stage – functionally the same as AdaKerja already operating in Indonesia.

Was founded in 2019, AdaKerja claims to have reached around 600 thousand job seekers and 10 thousand businesses involved on its platform. This achievement made Ashwin and his team quite optimistic about 2020, even though the business climate was badly hit by a slowdown due to the pandemic.

Targeting blue-collar workers (in the informal sector), AdaKerja is not solely on this sector, there are already several platforms that provide similar services. There are Job2Go, Heikaku, or Workmate. However, Ashwin is quite optimistic, because there is a value proposition they offer.

“Yes, I can imagine. But after you open [AdaKerja], there are major differences. And the most important thing, we are not a digital staffing agency. The model [agency] is widely adopted by other players, they charge up to 20% commission to workers, those who should get the whole [wages] income,” Ashwin said.

Ashwin Tiwari
AdaKerja’s Founder & CEO, Ashwin Tiwari / AdaKerja

In terms of features, AdaKerja provides a personalized job search experience for job seekers by chatting using the WhatsApp or Messenger bot. Meanwhile, business partners (UKM), they are presented with an application to manage the recruitment process more efficiently. Embracing blue collar circles, most of AdaKerja’s partners come from SMEs. Because it is considered that these businessmen absorb more informal workers.

As for his business model, Ashwin explained, “Our service is completely free for job seekers. Employers buy interview credits at an affordable cost, then use them to invite candidates.”

Building a job marketplace business in Indonesia is not without challenges. “Frankly, the challenge is to build a fast-growing business, regardless of whether the company is based in Indonesia or not. Building a strong team and corporate culture is also not easy.”

“Our mission in Indonesia is to digitize job search and payrolls for 100 million blue-collar workers and 60 million MSMEs. According to projections, SMEs absorb about 95% of the workforce and record $ 300 billion in the annual payroll; serving them is our focus,” concluded Ashwin.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fokus AdaKerja Setelah Kantongi 14,7 Miliar Rupiah dalam Pendanaan Lanjutan

Jumat (30/10) platform job marketplace AdaKerja mengumumkan perolehan pendanaan lanjutan dari Beenext senilai $1 juta atau setara 14,7 miliar Rupiah. Pendanaan awal sebenarnya sudah dibuka sejak tahun lalu, saat perusahaan debut, Beenext turut jadi investor pertama mereka. Berkat partisipasi dari beberapa angel investor (termasuk pimpinan LinkedIn, DBS, ICAP, dan Tolaram Group), total dana yang berhasil dikumpulkan senilai $1,4 juta.

Modal tambahan yang didapat akan diprioritaskan dalam pengembangan produk dan teknologi, sehingga membuat layanan AdaKerja lebih mumpuni dalam mengakomodasi pekerja kerah biru di Indonesia.

Sebenarnya platform serupa juga tengah disiapkan untuk direplikasi di Singapura dengan nama AskSteve. Namun kepada DailySocial, Founder & CEO Ashwin Tiwari mengatakan bahwa secara bisnis saat ini mereka baru fokus di Indonesia. Sementara unitnya di Singapura baru di tahap beta — secara fungsional bakal sama dengan AdaKerja yang sudah beroperasi di Indonesia.

Sejak diluncurkan tahun 2019, AdaKerja mengklaim telah merangkul sekitar 600 ribu pencari kerja dan 10 ribu bisnis yang terlibat di platformnya. Capaian tersebut membuat Ashwin dan tim cukup optimis mengarungi tahun 2020, meski iklim bisnis tengah dilanda perlambatan akibat pandemi.

Menyasar kalangan pekerja kerah biru (biasanya pekerja di sektor informal), AdaKerja tidak sendirian karena sudah ada beberapa platform yang sajikan layanan serupa. Sebut saja Job2Go, Heikaku, atau Workmate. Namun Ashwin cukup optimis, karena ada value proposition yang mereka unggulkan.

“Ya, saya dapat membayangkan. Tapi setelah Anda membuka [AdaKerja], ada perbedaan utama. Dan satu hal yang terpenting, kami bukan agen kepegawaian digital. Model tersebut [agen] banyak diadopsi oleh pemain lain, mereka mengenakan komisi sampai 20% kepada pekerja, orang-orang yang harusnya mendapatkan keseluruhan dari [upah] yang diperoleh,” ujar Ashwin.

Ashwin Tiwari
Founder & CEO AdaKerja Ashwin Tiwari / AdaKerja

Terkait fitur, untuk pencari kerja AdaKerja menghadirkan pengalaman pencarian pekerjaan yang dipersonalisasi dengan mengobrol menggunakan bot WhatsApp atau Messenger. Sementara bagi mitra bisnis (UKM), mereka disuguhkan sebuah aplikasi untuk mengelola proses perekrutan secara lebih efisien. Merangkul kalangan kerah biru, menjadikan sebagian besar mitra AdaKerja datang dari kalangan UKM. Karena dinilai pebisnis tersebut yang lebih banyak menyerap tenaga kerja informal.

Untuk model bisnisnya Ashwin menjelaskan, “Layanan kami sepenuhnya gratis untuk pencari kerja. Perusahaan membeli kredit wawancara dengan biaya terjangkau, kemudian mereka gunakan untuk mengundang kandidat.”

Membangun bisnis job marketplace di Indonesia bukan tanpa tantangan, “Terus terang, tantangannya adalah membangun bisnis yang berkembang pesat, terlepas dari apakah perusahaan itu berbasis di Indonesia atau tidak. Membangun tim dan budaya perusahaan yang kuat juga hal yang tidak mudah.”

“Misi kami di Indonesia adalah mendigitalkan pencarian kerja dan penggajian untuk 100 juta pekerja kerah biru dan 60 juta UMKM. Menurut proyeksi, UMKM menyerap sekitar 95% tenaga kerja dan membukukan $300 miliar dalam daftar gaji tahunan; melayani mereka adalah fokus kami,” tutup Ashwin.

Application Information Will Show Up Here

Digital Platform for Blue Collar Workers

Blue-collar workers are identical to “rough jobs”. This type of work is quite very available and required in every business environment – some are temporary, outsourced, also permanent. The tendency of this segment is filled with low skill workers, people who have minimal competence – generally due to poor access to education. According to 2019’s BPS data, low-skilled workers dominate the informal sector by 57.27%.

As of the BPS survey, in August 2019, the average informal worker raised 1.4 million for income per month. In some cities, the number is equivalent to the UMR, but in big cities like Jakarta or Surabaya, it is figured far lower the UMR. In fact, the economic gap is indeed a rooted issue in the country.

During the Covid-19 pandemic, they also became one of the most affected groups, especially in the labor-intensive sector or who needed human movements to carry out duties.

International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO
International Labour Organization compared Sakernas data of 2006 and 2016 / ILO

Digital startup spots an opportunity

The DNA of digital startups is to produce solutions to specific problems in society. Some founders took the initiative to streamline the gap in blue-collar workers. The innovations are quite diverse, from bridging access between businesses (which require labor) with workers to helping provide instant education that can support their efforts.

Kurniawan Santoso is one of them. He is the Founder & CEO of Job2Go, a job marketplace portal/application that focuses on blue-collar jobs. He said the blue-collar market share which refers to the group of workers with limited and informal skills is the largest segment of the entire workforce population in Indonesia, almost all business sectors. This segment will continue to be the backbone of the economic revival, including driving the post-pandemic economy.

Job2GO service is represented in a marketplace platform based on websites and mobile applications. Employers and prospective workers can meet on the platform. The latest data revealed, they already accommodate 15 thousand users, with 500 companies offering various vacancies. The types of work offered include salespeople, merchandising, SPG, marketing staff, administrative staff, and others.

Steven Chu, Detin Melati, and Komala Surya also realize this opportunity. With a platform called Heikaku, they present a job portal that connects SMEs with workers. Until the first quarter of 2020, they have helped 2 thousand SMEs with more than 8 thousand job advertisements. In the release, Heikaku team said, “The wider opportunity lies in vacancies such as admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG and others. About 87% of applicants in Heikaku are high school / vocational high school graduates.”

Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial
Some startup services for blue collar workers in Indonesia / DailySocial

In addition to both marketplaces above, there are other startups with different approaches. There are also Sampingan application and Big Agent. They try to empower day-to-day workers with a variety of outsourcing job opportunities or limited contract work. For example, a work to market something or do a survey to a place. The workers are paid based on the results of performance or called pay per performance.

Challenges to go

Trying to cover this market share with a technological approach is quite reasonable, it does not mean impossible. To date, smartphone penetration has reached the grassroots. Points such as simplification of user experience and user interfaces are crucial in the application development process – in addition to more effort that must be taken by platform managers to find the maximum potential of the workers.

Kurniawan said, “We are trying to educate users to register with the platform by filling in good data. This information is very important to facilitate the process of job search and self-development. And of course, this will facilitate the industry to find out their potential and recruit effectively. This effort is not easy, apart from low awareness, there are also structural constraints such as inadequate devices or poor internet access.”

Other players choose to bring appropriate innovations to help with administrative matters. For example, the AdaKerja platform presents chatbots on the Facebook Messenger platform to help users create a comprehensive CV. CV becomes one of the important aspects for companies to identify potential prospective workers and a sheet to promote themselves through experiences.

It’s an industrial issue

According to a research, the turnover of blue-collar workers is quite high. The average of such companies reached 20%. Turnover refers to the entry and exit of employees who fill certain positions. This is actually burdensome to some companies because from the same survey, it was stated that the costs to overcome this turnover are not cheap, it can reach $4,569.

Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge
An average turnover of blue collar workers / EmployBridge

The presence of digital platforms is quite an effort to disrupt the blue-collar employment cycle. The existence of a platform such as a marketplace allows employers to connect directly with prospective workers, there are actually many agencies or labor distribution agencies in this segment.

Using a bureau means there are more budget to spend, or sacrificing the potential for more revenue from the side of its workers.

“The average UMR for the Jakarta area is 3 million Rupiah, indicating that the majority of workers are the blue-collar sector. However, there is no medium that connects companies or employers directly with skilled workers. We hope that AdaKerja’s presence will be able to provide easy access for both SMEs and the company is recruiting the workforce, “said AdaKerja Founder Ashwin Tiwari.

Kurniawan added, some players are trying to add more value to the job search platform. For example, what Job2Go did by providing access to training material. “The excellent feature that will be soon coming out is that we want to provide access to financial services, such as account opening, salary management, financial management, access to investment or bill payments, and purchase of other digital products. […] This financial health is one of the things that we actually think matter in this segment.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian