Menggali Peluang Monetisasi di Perusahaan E-commerce

Perusahaan e-commerce identik dengan kesan gemar bakar duit untuk mencetak GMV setinggi-tingginya sebagai metrik. Jauh dari itu, pada khitahnya perusahaan apa pun itu bisnisnya dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Di sinilah tugas business development mencari peluang-peluang bisnis apa saja yang bisa dihasilkan.

Dalam membahas topik ini, #SelasaStartup mengundang Vice President of Business Development & Project Lead Blibli Histeria Cindy Kalensang sebagai pembicara. Cindy akan membahas lebih lanjut mengenai apa saja tugas business development, kaitannya dalam mencari peluang bisnis untuk layanan e-commerce, dan bagaimana implementasinya di Blibli.

VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli
VP Of BizDev Blibli Cindy R Kalensang / Blibli

Mengembangkan model bisnis

Cindy menerangkan, tugas dasar dari seorang business development adalah mengembangkan bisnis agar lebih baik pertumbuhannya, dengan cara eksplorasi kerja sama bisnis baru dengan partner dan sebagainya. Oleh karena itu, ia bekerja dengan berbagai tim Blibli dari divisi lain untuk koordinasinya.

Dalam mengembangkan model bisnis baru, tim business development mengidentifikasi underserved consumer needs agar dapat memberikan solusi yang tepat, disebut product market fit. “Product market fit inilah yang harus diiterasi sebab konsumen itu looking for value, enggak cuma orisinalitas.”

Pada awal Blibli beroperasi pada 2011 menggunakan model bisnis B2C, karena ingin menjamin keaslian barang sampai ke tangan konsumen. Untuk itu, Blibli banyak bekerja sama dengan brand partner. Dalam menjalankan bisnis ini, cara Blibli monetisasi adalah mengambil komisi.

Perusahaan memiliki pergudangan yang tersebar di berbagai titik di Indonesia untuk mendukung model bisnisnya tersebut, terlebih agar barang cepat sampai ke konsumen. Seiring berjalannya waktu, kondisi semakin berkembang alhasil Blilli mengembangkan model bisnis lainnya ke B2B2C.

“Jadi prosesnya kita beli barang dalam jumlah banyak, lalu taruh dan didistribusikan ke warehouse kita. Jadi kalau B2B2C itu revenue-nya dari margin, sementara B2C itu dari komisi,” terangnya.

Dari model bisnis yang sekarang, masih menyisakan masalah yang dihadapi oleh semua perusahaan e-commerce yakni proses distribusi yang tidak merata. Lantaran, produsen dan distributor itu mayoritas terletak di Pulau Jawa. Akhirnya diputuskan untuk membuka model bisnis baru, yakni C2C agar semua pihak bisa berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah tersebut.

“Kita buka C2C, open untuk seller, tapi tetap kita kurasi [proses onbording] jangan sampai mereka jual barang yang enggak ori.”

Mengaplikasikan model bisnis baru

Cindy melanjutkan, persaingan layanan e-commerce saat ini di Indonesia sudah sengit. Bisa dilihat dari berapa banyak perusahaan e-commerce yang mengambil strategi “bakar duit” dengan beriklan di televisi demi akuisisi konsumen baru.

“Sebenarnya kita hadir enggak hanya untuk sprint tapi marathon, Blibli berdiri untuk tetap sustain. Makanya kita harus tetap setia dengan unique value proposition. Promo bakar-bakar duit itu normal karena kita mau acquire konsumen, yang terpenting adalah proses delivery value berjalan bahwa Blibli itu berbeda dengan pemain lainnya.”

Model bisnis Blibli kini terus berkembang, dari awalnya murni B2C, kini sudah B2B2C dan sudah menyentuh C2C. Menurut Cindy, perusahaan terus adaptif dengan perusahaan. Salah satu model bisnis baru yang sedang dicoba oleh Blibli adalah berlangganan (subscription).

Ini sudah berjalan untuk layanan grocery BlibliMart. Cindy menjelaskan model bisnis berlangganan sangat menarik dan menjadi kunci sukses di Spotify. Awalnya dalam menikmati musik orang dibiasakan untuk membeli kaset atau CD yang berbentuk fisik. Lalu masuk Apple yang menawarkan pembelian digital per lagu.

“Spotify lihat orang punya masa jenuh dengan musik, akhirnya ditawarkan streaming lagu secara gratis, namun ada iklan. Mereka profit sharing dengan pengiklan. Lalu mereka berinovasi dengan model subscription. Ini model yang sedang kita explore, Amazon sukses dengan model ini, menawarkan free shipping selama satu tahun.”

Menurut Cindy, percobaan model berlangganan di BlibliMart cukup tepat karena memudahkan konsumen untuk membeli kebutuhan yang sudah pasti dengan harga yang jauh lebih murah. “Daripada belinya pas sudah habis, lebih baik sudah diatur pembeliannya. Barang dikirim setiap dua minggu sekali. Itu value proposition kita dengan membuat budget sehingga pengeluaran lebih hemat,” pungkasnya.

Gambar header: Depositphotos.com

Menentukan Business Model yang Tepat di Awal Perjalanan Startup

Memiliki ide bisnis yang tervalidasi dengan baik memang dapat menjadi bekal yang bagi suatu startup untuk menjalankan bisnisnya. Akan tetapi, ide bisnis tersebut akan menjadi sia-sia bila tidak dieksekusi dengan business model yang tepat. Business model merupakan aspek yang menjelaskan bagaimana startup dapat mengoperasikan dan menghasilkan value dan revenue pada bisnisnya.

Menyusun business model yang tepat di awal perjalanan startup bukan lah hal yang mudah.  Founder tidak hanya perlu memikirkan bagaimana solusinya sesuai dengan kebutuhan pengguna, tetapi juga harus memikirkan bagaimana solusi tersebut juga dapat menghasilkan pemasukan untuk keberlangsungan dan pengembangan bisnisnya. Demi mencapai hal tersebut, founder harus terus bereksperimen untuk menemukan komposisi business model yang tepat bagi startupnya.

Untuk itu, penyusunan business model ini menjadi topik dalam kegiatan mentoring program akselerasi DSLaunchpad 2.0 yang berkolaborasi dengan Amazon Web Services (AWS). Melalui topik ini, para peserta mendapatkan kesempatan untuk mempelajari pembuatan business model yang tepat bagi bisnisnya bersama Edy Sulistyo (CEO of Go-Play), Markus Liman Rahardja (VP of Investor Relation & Strategy BRI Ventures), dan Steve Patuwo (Business Development Manager of AWS).

Menyusun dan Memvisualisasikan Business Model Canvas (BMC)

Dalam membuat sebuah business model, kerangka umum yang cukup banyak digunakan oleh startup adalah business model canvas (BMC). Melalui kanvas ini, startup dapat menyusun, memvisualisasikan, serta menjelaskan elemen-elemen bisnis yang saling memiliki keterkaitan.

Founder dapat menggunakan BMC untuk mengembangkan ide atau membuat sebuah business model baru. Menyusun business model canvas dengan baik juga dapat memperlihatkan kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan kekurangan yang perlu diperbaiki dari sebuah bisnis. “Business model itu menunjukkan kemampuan kalian (startup) berelasi dengan customer dan juga bagaimana Anda mendatangkan revenue untuk bisnis Anda.” jelas Markus Liman Rahardja.

Ada sembilan elemen yang perlu dicantumkan dalam BMC, yaitu: Key Activities, Key Partners, Key Resources, Channels, Value Proposition, Customer Segments, Customer Relationships,  Revenue Streams, dan Cost Structure. “This structure enables you to basically set out what elements needed to operationalize your business, elemen-elemen ini yang penting untuk diperhatikan sebelum Anda mengeksekusi your startup.” ujar Steve Patuwo terkait penggunaan BMC.

business model startup
Business Model Canvas (strategyzer)

Business Model juga Harus Divalidasi

Di awal perjalanan bisnisnya, bukan hanya ide bisnis yang harus divalidasi oleh para startup, melainkan juga business model yang mereka usung. Pada awalnya, founder mungkin perlu sedikit melakukan eksperimen untuk berhasil menemukan formula yang tepat terkait ide dan business model startupnya. “Business model itu sebetulnya harus divalidasi juga, gak bisa kita asal asumsi karena just because competitor doing it, berarti artinya kita bisa doing it, belum tentu juga.” terang Edy Sulistyo.

Pada proses validasi ini, penting bagi startup untuk dapat melibatkan pengguna secara langsung. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh user ketika mereka menggunakan produk yang dimiliki.

“Bagaimana kita mau get our hands dirty, trying to understand from the customer directly, trying to understand apa yang benar-benar mereka butuhkan atau problem apa yang mereka punya instead of apa yang kita pikirkan mereka punya problem.” tambah Edy Sulistyo.

Terkait validasi ide dan model bisnis ini, Edy menjabarkan bahwa salah satu indikator yang dapat dilihat apabila problem yang disasar benar-benar ada dan dirasakan pengguna adalah adanya pengguna yang mau membayar untuk produk ataupun jasa yang disediakan oleh startup kita. “If the customer is actually willing to pay, then we know there is a real problem.” ujarnya.

Menerka Business Model yang Baik untuk Startup

Saat ditanya terkait seperti apa business model yang dikatakan baik untuk suatu startup, Steve Patuwo mengatakan bahwa apabila business model tersebut selaras dengan apa yang ingin dicapai oleh para founder melalui startupnya. “The one that is true to your heart, what you really want to solve, what you passionate about.” jelas Steve.

Menurut Edy, tidak ada sebuah business model yang benar dan salah, namun apakah business model tersebut tepat atau tidak untuk startup kita. Baginya, business model terbaik adalah yang memberikan keuntungan bagi setiap pihak yang terlibat. “There is no such thing as right or wrong business model, tapi sebetulnya yang jelas business model yang baik pastinya customer berasa happy, dari bisnis kita merasa customer willing to pay, and the same time secara market juga growing, I think that is the best Business Model, everybody win-win.” tutup Edy.

Dari sudut pandang investor, Markus menilai business model yang baik juga bisa dilihat dari profitabilitasnya. Hal ini juga bisa menjadi indikator apakah suatu startup dapat dikatakan gagal atau tidak, bukan dari apakah startup tersebut dapat menghadirkan produk atau tidak. “Buat saya startup yang fail itu bukan berarti startup yang tidak berhasil menciptakan produk, tapi startup yang tidak bisa menciptakan business model yang baik untuk mencapai profitability. Sehingga perlu dipikirkan masak-masak, sebelum kita mempersiapkan startup kita kepada customer.” ujar Markus.

Membuat business model memang hal yang menantang bagi para founder baru. Namun, bila seorang founder dapat menyusun dan menjelaskan business model yang dimiliki dengan baik, nantinya tidak hanya berguna untuk perkembangan perusahaan, tetapi juga dapat menarik hati para investor saat melihat startup Anda.

Burn Less Money, Bukalapak Is on The Right Track to Profitability

Bukalapak sets foot in the right position as a sustainable company and towards profitability as a local unicorn compared to its competitors. The company’s business sources are said to be dominated by outside first-tier cities, through its business units, Buka Procurement, Bukalapak Partners, and virtual products.

In Bukalapak’s performance review for the second quarter of this year, Bukalapak’s President, Teddy Oetomo, explained the total processing value (TPV) growth for almost 400% compared to the first quarter of 2018. It is claimed that more than 50% came from transactions outside the first-tier cities.

Related to EBITDA, it was said to increase by more than 60% compared to the fourth quarter of 2018. The company’s burn rate is still in a rational rate. This means that the company continues to make efforts to acquire new users by providing promotions, but in rational numbers. In terms of growth, market share is said to remain stable even during the pandemic.

“Our main key is healthy growth that is in line with the industry and what we have done for 18 months is to continue to increase monetization, rationalize spending so that our income can be more robust,” he explained during a virtual press conference, Friday (11/9).

In terms of the burn-money strategy, Teddy mentioned that promotion is not a bad thing. All newly opened stores must use this strategy. The thing is, too much promotion can be an issue. He said a business considered successful when it can provide the services that users need.

“The key is in added value. Promotions can accelerate growth, but if you are not disciplined you will definitely get headaches. [..] There are our peers who maybe what they spent in that month, is enough for us for a year. ”

Bukalapak CEO Rachmat Kaimuddin also emphasized, “Not all businesses only focused on growth. The solution is to provide added value to encourage the company’s sustainability. ”

Teddy continued, with the company’s focus on Mitra Bukalapak – in line with the plan for the next five years – is in accordance with the current conditions. That e-commerce services are really needed by consumers who are in lower-tier cities, not in the first tier.

“Since 3-4 years ago, we started to make partners in Bukalapak because they need financial inclusion. People just come to the shop to pay for virtual products. In Indonesia alone, there are 5 million stalls. ”

Bukalapak’s main business contributor

On this occasion, also participated in the officials of each Bukalapak’s main business. Regarding Mitra Bukalapak, in the last year, the number of stalls and individuals joining has tripled to a total of around 5 million partners.

The majority of them are still concentrated in Java with 4.5 million partners, then Sumatra (550 thousand partners), East Indonesia (226 thousand partners), and Kalimantan (128 thousand partners). This expansion is supported by additional wholesale stock distribution coverage to more than 50 cities, working with national and local distributors to ensure the availability of goods for partners.

In terms of payment innovation, transactions at Mitra stalls using the QRIS payment method increased by more than 50%. “We have also launched products based on financial inclusion, therefore, our hope goes with product diversification in the shop partners can get more turnover and become agents of change,” Howard Gani, SVP of Mitra Bukalapak said.

Virtual products are the second flagship product at Bukalapak. During the pandemic, the average growth of virtual products reached more than 60% compared to before the pandemic period. This increase occurred for pulses and data packages, bill payments, streaming vouchers, study vouchers for online courses, and gift card purchases.

The company alone provides more than 30 types of digital products, which are available on the marketplace platform or the Bukalapak Partners application. This virtual product category includes investment products; bill payments, credit cards, and BPJS; travel, purchase of credit and electricity tokens; and credit loans.

“There are various kinds of virtual products, some have dropped due to the impact of the pandemic, such as travel tickets, events, and transportation,” Bukalapak’s Director of Payment, Fintech & Virtual Products, Victor Putra Lesmana said.

Moreover, there is BukaPengadaan product that has been released since 2017. The director of BukaPengadaan Hita Supranjaya said that the growth in the number of customers was more than 48% and more than 32% of sellers who joined from the beginning of the year to August 2020. The most sought-after products were MRO tools. , masks, disinfectants, PPE & rapid tests, electricity vouchers, pulses, shopping vouchers, smartphones, and laptops.

“As well as supporting products for lifestyle such as bicycles and medical devices are the list of top corporate or government needs that are fulfilled by SME players,” he explained.

Eventually, the marketplace becomes the oldest service at Bukalapak. VP of Marketplace at Bukalapak. Kurnia Rosyada said, during this pandemic, the company was recorded as receiving around 20 thousand new traders who registered every week. Now it is noted that Bukalapak has around 6 million pelapak and users of more than 90 million people. The platform has also been integrated with 26 financial institutions and 12 logistics partners.

Regarding shopping trends, Kurnia explained that there is currently a shift in online shopping time activity. Before the pandemic, the biggest increase was at night when I came home from work, now it is evenly distributed every day. Even the products that are widely purchased are also more dynamic, the beginning of a pandemic, the most sought-after products are health-related.

“The currently rising products are in the category of bicycles, sports equipment, games for children, such as tents, swimming pools, and gardening tools. This cycle of market changes is much faster than before the pandemic,” he concluded.

Competitor’s performance

Bukalapak’s enthusiasm is quite different from its competitors. Shopee is the closest, considering that the company also boasted of its achievements in the second quarter of 2020.

In the performance exposure of Shopee’s parent company, SEA, it is said that the company’s adjusted revenue growth was $ 510.6 million, up 187.7% YoY from the same period in the previous year.

Indonesia is Shopee’s biggest source of business, recording more than 260 million transactions during the second quarter. On average, Shopee manages to record more than 2.8 million transactions a day. Compared to the second quarter of 2019, Shopee recorded an increase of more than 130%.

However, the company is yet to be profitable. It is due to the adjusted loss at $305.5 million or greater than the previous year’s $248.3 million. However, the company is making progress towards profitability, adjusted EBITDA loss per order from $1.01 to $ 0.5.

Looking at the GMV number, there was a drastic growth of 109.9% or $ 8 billion, compared to the previous quarter in the first quarter with an increase of 74.3% YoY.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Kurangi Bakar Uang, Bukalapak Dalam Posisi Tepat Menuju Profitabilitas

Bukalapak membuktikan posisinya dalam posisi yang tepat sebagai perusahaan berkelanjutan dan menuju arah profitabilitas sebagai unicorn lokal dibandingkan kompetitornya. Sumber bisnis perusahaan dikatakan didominasi dari kota-kota di luar tier 1, melalui unit-unit bisnisnya yakni Buka Pengadaan, Mitra Bukalapak, dan produk virtual.

Dalam paparan kinerja Bukalapak untuk periode kuartal II tahun ini, President Bukalapak Teddy Oetomo menerangkan pertumbuhan total processing value (TPV) hampir 400% dibandingkan dari kuartal pertama 2018. Diklaim pertumbuhan TPV ini mayoritas lebih dari 50% datang dari transaksi yang berasal di luar kota tier 1.

Berikutnya, terkait EBITDA tercatat naik hingga lebih dari 60% dibandingkan kuartal IV 2018. Burn rate perusahaan berada dalam posisi yang masih rasional. Artinya, perusahaan tetap melakukan upaya akuisisi pengguna baru dengan memberikan promosi, akan tetapi dalam angka yang rasional. Dari sisi pertumbuhan marketshare dikatakan tetap stabil walau di masa pandemi.

“Kunci utama kami adalah pertumbuhan sehat yang selaras dengan industri dan yang kita lakukan selama 18 bulan adalah terus meningkatkan monetisasi, merasionalkan pengeluaran sehingga penghasilan kita bisa lebih robust,” terangnya saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/9).

Terkait strategi bakar uang, Teddy bilang bahwa memberikan promosi itu bukanlah hal yang salah. Semua toko yang baru buka pasti menggunakan strategi tersebut. Hanya saja, promosi yang kebablasan tersebut bisa menjadi masalah. Menurutnya, bisnis yang berhasil itu kalau kita bisa memberikan layanan yang dibutuhkan pengguna.

“Kuncinya ada di value added. Untuk percepat pertumbuhan bisa dengan promosi, tapi kalau enggak disiplin pasti akan pusing kepala. [..] Ada peers kita yang mungkin apa yang mereka spent dalam sebulan itu, cukup buat kita selama setahun.”

CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin turut menegaskan, “Enggak selalu bisnis berharap ke growth semata. Solusinya adalah memberikan nilai tambah yang bisa membuat perusahaan dapat sustain.”

Teddy melanjutkan, dengan fokusnya perusahaan ke Mitra Bukalapak -sesuai dengan rencana sampai lima tahun mendatang- telah sesuai dengan kondisi apa yang paling dibutuhkan konsumen. Bahwa sejatinya layanan e-commerce ini sangat dibutuhkan konsumen yang berada di kota lapis bawah, bukan di tier 1.

“Sejak 3-4 tahun lalu kita mulai bergerak dengan membuat Mitra Bukalapak karena mereka butuh inklusi keuangan. Masyarakat tinggal datang ke warung untuk bayar produk virtual. Di Indonesia sendiri ada 5 juta warung.”

Kontributor bisnis utama Bukalapak

Dalam kesempatan ini turut hadir dalam paparan tersebut oleh petinggi di masing-masing bisnis utama Bukalapak. Untuk Mitra Bukalapak, dalam setahun terakhir jumlah warung dan individu yang bergabung naik hingga tiga kali lipat dengan total sekitar 5 juta mitra.

Lokasinya mayoritas masih terpusat di Jawa dengan angka 4,5 juta mitra, lalu Sumatera (550 ribu mitra), Indonesia Timur (226 ribu mitra), dan Kalimantan (128 ribu mitra). Perluasan ini didukung oleh tambahan cakupan distribusi stok grosir ke lebih dari 50 kota, bekerja sama dengan distributor nasional dan lokal untuk memastikan ketersediaan barang untuk para mitra.

Dari sisi inovasi pembayaran, transaksi di warung Mitra yang menggunakan metode pembayaran QRIS naik lebih dari 50%. “Kami juga meluncurkan produk-produk berbasis inklusi keuangan, sehingga harapan kami dengan adanya diversifikasi produk di warung, mitra bisa mendapatkan omzet lebih banyak dan jadi agen perubahan,” kata SVP of Mitra Bukalapak Howard Gani.

Produk virtual menjadi produk andalan kedua di Bukalapak. Selama pandemi berlangsung, pertumbuhan rata-rata produk virtual mencapai lebih dari 60% dibandingkan sebelum masa pandemi. Kenaikan ini terjadi untuk produk pulsa dan paket data, pembayaran tagihan, voucher streaming, voucher belajar untuk kursus online, dan pembelian gift card.

Perusahaan sendiri menyediakan lebih dari 30 jenis produk digital, yang tersedia di platform marketplace ataupun aplikasi Mitra Bukalapak. Kategori produk virtual ini mencakup produk investasi; pembayaran tagihan, kartu kredit, dan BPJS; perjalanan, pembelian pulsa dan token listrik; dan pinjaman kredit.

“Produk virtual ini beraneka macam, ada juga yang turun karena berdampak pada pandemi, seperti tiket perjalanan, event, dan transportasi,” tutur Director of Payment, Fintech & Virtual Products Bukalapak Victor Putra Lesmana.

Berikutnya adalah produk BukaPengadaan yang telah dirilis sejak 2017. Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya mengatakan, pertumbuhan jumlah pelanggan lebih dari 48% dan lebih dari 32% penjual yang bergabung dari awal tahun hingga Agustus 2020. Produk-produk yang paling banyak dicari adalah alat-alat MRO, masker, desinfektan, APD & rapid test, voucher listrik, pulsa, voucher belanja, smartphone dan laptop.

“Serta pendukung gaya hidup seperti sepeda dan alat-alat kesehatan menjadi daftar kebutuhan teratas korporasi atau pemerintah yang dipenuhi oleh para pelaku UMKM,” terangnya.

Terakhir untuk produk marketplace yang menjadi produk tertua di Bukalapak. VP of Marketplace Bukalapak Kurnia Rosyada mengatakan, hingga pandemi ini tercatat perusahaan menerima sekitar 20 ribu pelapak baru yang mendaftar setiap minggunya. Kini tercatat Bukalapak memiliki sekitar 6 juta pelapak dan pengguna lebih dari 90 juta orang. Platformnya juga telah terintegrasi dengan 26 institusi keuangan dan 12 mitra logistik.

Terkait tren belanja, Kurnia memaparkan bahwa saat ini terjadi pergeseran waktu belanja online. Sebelum pandemi, kenaikan terbesar adalah saat malam hari ketika pulang kerja, sekarang justru lebih merata setiap harinya. Pun dari produk yang banyak dibeli juga lebih dinamis, awal pandemi produk yang paling banyak dicari berkaitan dengan kesehatan.

“Sekarang yang naik justru kategori sepeda, alat-alat olahraga, permainan untuk anak, seperti tenda, kolam renang, dan alat berkebun banyak dicari. Siklus perubahan pasar ini jauh lebih cepat daripada sebelum pandemi,” tutup dia.

Kinerja kompetitor

Semangat yang digelorakan Bukalapak memang berbeda dengan apa yang terjadi di kompetitornya. Shopee menjadi yang terdekat, mengingat perusahaan tersebut juga sempat sesumbar dengan pencapaiannya di kuartal II 2020.

Dalam paparan kinerja induk Shopee, Sea, dikatakan pertumbuhan pendapatan yang disesuaikan (adjusted revenue) perusahaan sebesar $510,6 juta atau naik 187,7% secara yoy dari periode yang sama di tahun sebelumnya.

Indonesia menjadi sumber bisnis terbesar Shopee, mencatatkan pencapaian transaksi lebih dari 260 juta transaksi selama kuartal II. Jika di rata-rata dalam sehari Shopee berhasil mencatatkan lebih dari 2,8 juta transaksi. Dibandingkan dari kuartal II 2019, Shopee mencatat adanya peningkatan lebih dari 130%.

Kendati demikian, perusahaan ini masih mencatat rugi. Lantaran, kerugian yang disesuaikan (adjusted loss) sebesar $305,5 juta atau lebih besar dari tahun sebelumnya $248,3 juta. Tetapi perusahaan membuat ada kemajuan untuk menuju profitabilitas, kerugian EBITDA yang disesuaikan per pesanan dari $1,01 menjadi $0,5.

Melihat dari angka GMV, tercatat terjadi pertumbuhan yang drastis mencapai 109,9% atau senilai $8 miliar, dibandingkan sebelumnya pada kuartal pertama dengan kenaikan 74,3% secara yoy.

Application Information Will Show Up Here

[Founders Library] Model Bisnis dan Pendapatan

Bagian yang tak kalah penting dari menjalankan bisnis startup adalah menentukan model bisnis yang tepat. Analisis peluang akan menjadi sia-sia jika tidak diikuti dengan bentuk atau model bisnis yang tepat, karena model bisnis bersinggungan langsung dengan pendapatan.

Kami merangkum beberapa artikel, video, dan podcast yang mungkin bisa menjadi referensi untuk belajar bagaimana menentukan model bisnis agar bisa mendapatkan pendapatan yang terukur.

Artikel

Video & Podcast

DSLaunchpad: Meet the Startups

Setelah melalui rangkaian seleksi dan meloloskan 107 startup terbaik di Indonesia, kini program inkubasi startup terbesar di Indonesia, DSLaunchpad telah memasuki minggu kedua. Startup yang berhasil lolos juga telah dipertemukan dengan mentor-mentor terbaik yang akan membantu mereka selama program inkubasi ini.

Pada minggu pertama, para peserta telah diberikan tugas untuk menyelesaikan Idea and Validation startup masing-masing dan mulai menyusun dan menyelesaikan business model canvas mereka. Tugas-tugas yang diberikan ini dapat membantu peserta belajar serta memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam mengembangkan startup dengan bimbingan mentor-mentor terbaik.

Terbantu Pengalaman Mentor

Seperti yang kita ketahui, salah satu keuntungan mengikuti program DSLaunchpad adalah peserta yang berhasil lolos dapat dipertemukan dengan mentor-mentor yang sarat dengan pengalaman. Hal ini juga dirasakan oleh startup penyedia aplikasi pencarian teman bermain sepak bola asal Bandung, Sportigo. Melalui co-founder mereka, Bimo Priambudi, Sportigo merasa mentor-mentor yang dihadirkan oleh DSLaunchpad adalah mentor-mentor yang sangat capable dan penuh dengan pengalaman. Mereka juga merasa sangat terbantu karena mulai diberi arahan mengenai business model yang tepat karena pada tahap awal ini mereka masih merasa memiliki terlalu banyak jenis business model yang ingin diterapkan. Selain itu para pengalaman para mentor juga membantu mereka dalam penyusunan strategi scale-up untuk startup.

Menemukan Cara Validasi ke User

Jawaban senada juga kami temukan dari startup penyedia platform berbagi cerita dan informasi untuk pecinta kopi, coffespace. Menurut sang founder, Rizky Beny, sebelum mengikuti program DSLaunchpad Ia mengalami cukup banyak kendala dan tidak tahu harus konsultasi ke siapa mengenai kendala tersebut. Namun, setelah mengikuti program inkubasi online ini, Ia merasa mendapatkan banyak bantuan dari mentor dalam mengatasi kendala yang ditemui sebagai seorang founder, terutama tentang bagaimana cara melakukan validasi ke user. Selain itu, Ia juga merasa penjelasan dari mentor sangat mudah untuk dipahami.

Mendapat Kesempatan Networking

Bagi startup pemula, keuntungan lain yang dapat dimaksimalkan selama mengikuti rangkaian program ini adalah kesempatan untuk berkenalan dengan para mentor dan perusahaan modal ventura ternama yang bekerja sama dengan DSLaunchpad. Hal ini juga diutarakan oleh co-founder gonigoni, Firza Maulana Nasution. Menurutnya, program DSLaunchpad juga dapat  membantu startup pemula yang membutuhkan banyak networking dalam mengembangkan bisnisnya. Selain dengan para mentor dan ventura, kesempatan networking ini juga dapat dimanfaatkan untuk berkenalan dengan sesama founder startup lainnya. Hal ini sendiri juga membuka kesempatan mereka untuk saling berkolaborasi dalam menciptakan inovasi baru setelah mengikuti program ini.

Selain pengalaman-pengalaman yang telah diceritakan di atas, tentunya masih banyak lagi keseruan dan pengalaman yang didapatkan oleh para peserta untuk memenuhi motivasi mereka dalam mengikuti program ini. Bagi Firza sendiri, motivasi dalam mengikuti program DSLaunchpad ini adalah keinginan untuk belajar lebih dalam tentang startup dan mendapat bimbingan terkait validasi sekaligus bagaimana mewujudkan ide-ide yang dimiliki. Masa pandemi yang membuat para peserta tidak bisa melakukan mentoring secara face to face pun dirasa tidak terlalu berpengaruh karena para mentor dapat membimbing dan cukup friendly dalam menjelaskan sehingga mereka merasa lebih leluasa untuk bercerita dan bertanya kepada mentor.

Memilih Business Model yang Tepat

Selain mendapatkan bimbingan dari mentor masing-masing, para peserta DSLaunchpad juga mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari super mentor tiap minggunya. Minggu ini, Super Mentor Session yang diselenggarakan oleh DSLaunchpad mendatangkan CEO JAS Kapital, Izak Jenie, untuk membahas topik business model secara lebih lanjut.

Tentunya sebagai seorang founder kita harus hati-hati dalam memilih business model yang tepat dan sesuai dengan bisnis yang dijalani. Menurut Izak, ada empat hal yang harus diketahui oleh founder sebelum menentukan business model untuk startupnya. Pertama, berapa besar market size yang dimiliki. Bila setelah dikerucutkan secara spesifik market size tetap besar, maka kemungkinan business model tersebut worthed. Kedua, apakah bisnis kita susah ditiru oleh orang lain. Kita harus dapat membayangkan apakah dalam waktu satu bulan akan ada bisnis yang sama muncul di permukaan. Semakin susah ditiru, maka business model semakin bagus. Ketiga, apakah produk bisnis ini dapat digunakan berulang-ulang. Bila konsumen memang membutuhkan produk sehingga melakukan penggunaan berulang, maka business model tersebut dapat bertahan dan berkembang. Yang terakhir, seorang founder juga harus dapat mengukur apakah unit economy-nya profitable atau tidakBila hal-hal tersebut dapat dijawab dengan baik, maka dapat dikatakan startup tersebut memiliki business model yang baik.

Pengalaman-pengalaman dan keseruan lain dalam mengembangkan startup melalui DSLaunchpad ini sendiri akan terus bertambah seiring dengan masa mentoring yang dilakukan oleh para peserta. DSLaunchpad sendiri akan berlangsung selama empat minggu hingga tanggal 15 Mei 2020 nanti. Saat ini, program inkubasi online terbesar di Indonesia ini telah memasuki minggu keduanya.  Rangkaian program DSLaunchpad ini juga diharapkan dapat terus membantu para peserta dalam mengembangkan startupnya dengan dibantu oleh mentor-mentor yang siap membagikan pengalaman dan pengetahuan mereka seputar dunia startup.

Perjalanan Model Bisnis Media Digital di Indonesia

Pekan lalu, Asumsi.co, sebuah perusahaan media digital yang membahas isu politik dan budaya untuk kalangan muda, meluncurkan YourMedia. Yakni sebuah platform yang mengizinkan audiensnya berdonasi terhadap sajian konten pilihan mereka – atau akrab disebut crowdfunding. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mendapatkan dana hibah dari Google News Initiative.

“Pada dasarnya, kami membuat YourMedia karena percaya pembaca dan penonton bisa dilibatkan lebih dalam proses pembuatan konten. Banyak audiens kami yang merasa konten yang disajikan informatif dan berguna. YourMedia adalah langkah pertama kami,” tutur Founder & CEO Asumsi.co Pangeran Siahaan.

Prakarsa tersebut merupakan bagian dari visi jangka panjang perusahaan yang menempatkan audiens sebagai salah satu stakeholder utama dalam ekosistem medianya.

Model bisnis berita online

Konsep serupa dengan YourMedia milik Asumsi.co sebenarnya sudah diterapkan media di luar negeri. Salah satunya pemain besar asal Inggris, The Guardian. Mereka membuka kanal yang memungkinkan pembaca mendonasikan nominal tertentu untuk mendukung jurnalisme independen yang mereka kerjakan, kendati mereka juga menawarkan model berlangganan untuk mendapatkan konten premium.

Sebenarnya ada justifikasi yang cukup mendasar kenapa crowdfunding untuk media layak dijalankan, yakni metode pembayaran yang semakin mudah. Seperti yang dilakukan Asumsi.co, mereka menerapkan integrasi dengan GoPay agar penikmat kontennya bisa memberikan donasi mulai dari 10 ribu Rupiah secara mudah.

Asumsi yang sama juga tengah divalidasi platform monetisasi kreator yang akhir-akhir ini mulai bertumbuh di Indonesia – seperti kehadiran KaryaKarsa, Trakteer, dan Socialbuzz Tribe.

Crowdfunding dapat memberikan donasi sesuka pengguna, karena pada dasarnya konten yang disajikan bisa diakses gratis. Di sisi lain, model berlangganan membutuhkan komitmen dalam jangka waktu tertentu.

Model bisnis media digital yang sudah tenar sebelumnya adalah berlangganan untuk konten premium. Di Indonesia beberapa perusahaan sudah mengaplikasikan, seperti The Jakarta Post atau Kompas.id. Ditinjau dari sisi harga, Kompas.id mengenakan biaya Rp50.000 akses penuh ke platform digital atau Rp19.900 untuk tiga rubrik favorit.

Untuk model bisnis berbasis iklan sendiri, arahnya juga sudah mulai dengan personalisasi. Fitur ads targeting yang banyak disajikan startup adtech memberikan keleluasaan kepada pemilik media untuk menghadirkan iklan secara native, dengan konten yang relevan dengan preferensi pembacanya.

Berbagai kanal mainstream masih memanfaatkan model ini untuk tetap menghadirkan publikasi yang dikonsumsi cuma-cuma. Untuk bisa untung, syaratnya memang harus punya trafik yang besar. Implikasinya mereka mengejar dengan model pemberitaan clickbait.

Sementara untuk model berlangganan atau crowdfunding, kualitas jurnalisme menjadi kunci utama. Orang akan membayar demi kepuasan terhadap konten yang dihasilkan. Media tersebut biasanya memiliki ceruk pasar spesifik – jumlahnya kecil namun potensial menghasilkan keuntungan lebih dengan mau membayar.

Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson
Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson

Gambaran data

Menurut data yang dikompilasi Statista, tahun ini pendapatan bisnis media digital (termasuk video games dan video-on-demand) di Indonesia diproyeksikan mencapai lebih dari $1,6 miliar, dengan sepersepuluhnya ada di ranah publikasi online. Trennya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2024.

Pertumbuhan keuntungan bisnis media digital di Indonesia / Statista
Proyeksi pertumbuhan pendapatan bisnis media digital di Indonesia / Statista

Menurut data Dewan Pers, saat ini (24/2) ada 1226 media pemberitaan yang terdaftar di asosiasi, baik yang cakupannya nasional maupun daerah, dengan pemberitaan umum maupun spesifik. Di luar itu masih banyak media yang berdiri secara independen – kebanyakan perusahaan media yang menyasar pangsa pembaca dari kalangan tertentu (niche).

Selama sekitar dua dekade terakhir, bisnis media di Indonesia dikuasai oleh televisi. Kendati beberapa pihak dan lembaga penelitian menilai mulai ada transisi ke media digital, namun ikatan siaran on-air melalu sambungan satelit tersebut masih sangat kuat.

Riset Nielsen Indonesia tahun 2017 menyebutkan jumlah penikmat berita online Indonesia mencapai 50,6 juta orang. Angka ini naik 35,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut terus diproyeksikan meningkat seiring dengan penetrasi broadband dan penggunaan smartphone yang lebih luas.

Peningkatan tersebut diiringi dengan makin kuatnya cengkeraman media digital, baik yang berbentuk kanal teks, video on-demad, hingga yang terbaru podcast. Terlebih ada yang tidak bisa dihadirkan televisi dan kini diakomodasi media digital: personalisasi.

Transisi

Saat ini memang masih masa transisi menuju konsumsi media yang sepenuhnya online. Belum ada pengukuran pasti tentang efektivitas dari model bisnis terkait di Indonesia. Masih perlu banyak validasi dengan beragam skenario.

Beberapa masih mencoba model bisnis tersebut di atas dan masih bertahan sampai sekarang, beberapa lagi mencoba bereksperimen dengan strategi revenue lainnya yang terus bermunculan seperti melalui kemitraan, komunitas, hingga penyelenggaraan acara dengan mengedepankan kredibilitas merek yang dimiliki.

Fragmentasi kanal dapat menjadi hambatan tersendiri untuk pebisnis media digital. Orang mengonsumsi informasi melalui media sosial, memproduksi kabar lewat YouTube, dan lain-lain. Untuk tetap kokoh, fondasi utama jurnalisme harus tetap menjadi pegangan agar menjadi diferensiasi dengan publikasi yang beredar di luar sana, seperti akurasi, objektivitas, dan kualitas.

B2B as The Most Suitable Business Scheme for Hardware Startups in Indonesia

Iglohome is a Singapore-based startup. The smart access system product developer, it’s a door lock and key equipped with the technology component. They are currently implementing the solution with proptech and OTA partners, such as Airbnb, BookingSync, Zip Rent, and others. Objectively, it’s to provide property owners with easy tracking of their “locking” access to their customers in a digital way.

In Indonesia, there is Sugar Technology, a startup that develops similar devices. It is named “smart padlock”, the user can open a padlock using a registered fingerprint. Up until now, the target market revolves around common users’ lifestyles, although it is possible to perform B2B partnerships.

The recent one is Zulu, a startup (originally non-tech), a helmet developer about a year ago received funding from Gojek’s decacorn. As a manifestation of product innovation, the helmet is equipped with Bluetooth to connect with smartphones. This smart helmet can be utilized for connectivity, such as calling, receiving voice notifications, and giving orders to Google Assistance.

Struggling to acquire users

Running a hardware business is not an easy peasy for startups in may regions. In July 2017, a headset developer, Jawbone hardware developer for headset, fitness tracker, and the wireless speaker has collapsed after 10 years operation, although having secured US$930 million funding. The shutdown is due to the limited market share of its products. They offer the products directly to consumers, with gimmick as a modern lifestyle support.

There are several reasons supposing this failure. From lack of consumer demand, high burning rates, decreasing enthusiasm after the initial fundraising process (for startups debut with crowdfunding), to the product strategy mistakes.

Unfortunately, several other well-funded startups experienced the same thing. From CB Insight’s notes, below are the seven startups in the hardware vertical that did not succeed in sustaining business growth:

cbinsight

CB Insight also noted over 400 failed hardware startups, most of which are targeting direct consumers.

On the other side, investment for the hardware startups is actually well-distributed. Aside from investors, startups can raise fund through the crowdfunding platforms such as Kickstarter or IndieGogo, targeting cash from direct consumers while acquiring the user base. High participation in these programs helped increase the enthusiasm of hardware startup founders counting their luck.

Based on the current trend, software-based products are considered to have faster scalability, with a more dynamic lifecycle, compared to hardware products. However, it’s not impossible for handset developers to be successful. In fact, some of the big business achievements involve hardware manufacturers in the growth stage.

Beats, Nest, Oculus Rift, and several other producers’ names were able to “exit” through the acquisition or share listings. Even though in small numbers, there have been 17 hardware startups that have succeeded in IPO for the decade. While there are dozens of startups per year that have been successfully acquired or have the support of larger technology companies.

B2B as the ideal business scheme

Recently, there are some primary business models run by hardware-manufacture startups. First, B2C, marketing his products to consumers in general. Second, the B2B, working together – both partially and fully – in manufacturing products for partner companies. However, many are also doing a B2B2C approach, with different product variants.

In the midst of startup’s high failure rate of selling their products directly to consumers – in the context of new (technology-based) startups – the B2B business model is becoming more interesting. From the strategic partnership, hardware products can be juxtaposed with a potential market share in the growing business vertical of digital startups, including in Indonesia.

The property sector, for example. Based on the H1 Affordability Sentiment Index 2019 data, the very high prices encouraged more Indonesians to live in rental homes. In fact, according to the Indonesia Property Watch 2018 survey, almost half of millennials in Jakarta choose to live in a boarding house.

Considering the opportunity, Igloohome invited YukStay in the strategic partnership in Indonesia to apply its products in several of its managed properties. YukStay is known to offer hospitality services for apartment rentals and boarding. Not only listings, but they also help property owners do management. The service is currently cover the Greater Jakarta and Surabaya.

As for ride-hailing, according to Gojek’s internal data, per semester 1/2019 they already have 2 million driver-partners. This was a blessing for Zulu, who became a strategic partner to accommodate partners’ main driving equipment – consisting of helmets and protective jackets.

Other companies that started out as B2C eventually adopted the B2B model through acquisition by the big players. The Oculus Rift handset for example, which is now an exclusive Facebook product, Nest is now optimized and marketed with Google technology, or Beats that has become Apple’s endorsed product.

More players to come

UMG Idealab has become one of the active venture capitalists in supporting hardware startups, either investing or acting as a venture builder. Two hardware products being prepared are the Widya Wicara smart speaker and the passenger drone named Frogs. They’re ambitious enough to make a drone as a passenger taxi, the product is to be further developed at one of the R&D centers in Yogyakarta.

A drone-passanger developed by UMG Idealab in Yogyakarta / UMG Idealab
A drone-passanger developed by UMG Idealab in Yogyakarta / UMG Idealab

Widya Wicara itself was designed to be a lifestyle device. Equipped with voice-based commands, it is expected to be a personal assistant device in performing several tasks, such as reminders. The speaker-based smart assistant is indeed a lifestyle device that deserves to be taken into account. Its popularity has increased since 2018, followed by the maturity of Natural Language Processing (NLP) technology which has become smarter in recognizing human language.

With the increasing popularity of some products, for example, eFishery. It’s using IoT to help shrimp and fishpond businesses in sowing feed automatically. There is also Jala, targeting the fisheries sector with IoT-based products. Both apply the B2B business model and for now, it appears to be well-received by consumers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

B2B Jadi Skema Bisnis Paling Ideal untuk Startup Hardware di Indonesia

Igloohome adalah startup asal Singapura. Pengembang produk “smart access system”, yakni pengunci pintu dan gembok yang dilengkapi dengan komponen teknologi. Saat ini mereka telah terapkan solusinya bersama mitra proptech dan OTA seperti Airbnb, BookingSync, Zip Rent dan lain-lain. Tujuannya memudahkan pemilik properti mengelola akses “kunci” ke pelanggannya secara digital.

Di Indonesia ada Sugar Technology, startup yang kembangkan perangkat serupa. Disebut dengan “smart padlock”, pengguna dapat membuka gembok pintu menggunakan sidik jari yang sudah didaftarkan. Sejauh ini target pasarnya masih untuk kebutuhan gaya hidup pengguna umum, kendati tidak menutup kemungkinan jalinan kemitraan B2B.

Yang terbaru ada Zulu, startup (yang awalnya non-teknologi) pengembang helm yang sekitar setahun lalu mendapatkan pendanaan dari decacorn Gojek. Sebagai perwujudan inovasi produk, helm besutannya dilengkapi konektivitas bluetooth untuk terhubung dengan ponsel pintar. Helm pintar ini bisa diutilisasikan untuk kebutuhan menelepon, menerima notifikasi suara, hingga memberikan perintah ke Google Assistance.

Perjuangan sulit merangkul konsumen

Menjalani bisnis hardware bukan perkara mudah yang diamini startup-startup dari berbagai negara. Pada Juli 2017 lalu, Jawbone pengembang perangkat headset, fitness tracker dan wireless speaker kolaps setelah 10 tahun beroperasi, padahal sebelumnya berhasil membukukan pendanaan US$930 juta. Kegagalannya ditopang minimnya market share dari produk-produk yang dijual. Mereka memasarkan produk secara langsung ke konsumen, dengan gimmick sebagai perangkat penunjang gaya hidup masa kini.

Terdapat beberapa alasan terkait kegagalan tersebut. Dari kurangnya permintaan konsumen, burning rate yang tinggi, menurunnya antusiasme setelah proses penggalangan dana awal (untuk startup yang debut dengan crowdfunding), hingga kesalahan strategi produk.

Sayangnya hal senada juga dialami beberapa well-funded startup lain. Dari catatan CB Insight, berikut tujuh startup di vertikal hardware yang tidak berhasil mempertahankan pertumbuhan bisnis:

Startup Hardware Gagal

CB Insight juga mendata ada lebih dari 400 startup hardware gagal, sebagian besar menyasar kalangan konsumer.

Di lain sisi, investasi untuk startup hardware sebenarnya masih mengalir dengan baik. Selain dari investor, startup juga bisa melakukan penggalangan dana melalui platform crowdfunding seperti Kickstarter atau IndieGogo, menjaring dana langsung dari konsumen sekaligus mendapatkan pengguna awal. Partisipasi yang tinggi dalam program-program tersebut turut meningkatkan antusiasme founder startup hardware mencoba peruntungan.

Berbekal pada tren yang ada, diakui produk berbasis software memiliki skalabilitas yang lebih cepat, dengan lifecycle yang lebih dinamis pula, dibandingkan dengan produk hardware. Namun bukan berarti mustahil bagi pengembang handset untuk bisa meraup sukses. Faktanya beberapa prestasi bisnis besar melibatkan produsen hardware yang tengah dalam tahap pertumbuhan.

Beats, Nest, Oculus Rift dan beberapa nama produsen lainnya berhasil “exit” melalui akuisisi atau pencatatan saham. Kendati jumlahnya tidak banyak, satu dekade terakhir baru sekitar 17 startup hardware yang berhasil IPO. Sementara ada puluhan startup per tahun yang berhasil diakuisisi atau mendapatkan dukungan dari perusahaan teknologi yang lebih besar.

B2B jadi skema bisnis ideal

Sejauh ini ada beberapa model bisnis utama yang dilakoni startup yang menghasilkan produk hardware. Pertama B2C, menjajakan hasil kreasinya ke kalangan konsumen secara umum. Kemudian yang kedua ada B2B, bekerja sama –baik secara parsial maupun penuh—memproduksi produk untuk perusahaan mitra. Namun tak sedikit juga yang melakukan pendekatan B2B2C, dengan varian produk yang berbeda-beda.

Di tengah tingginya tingkat kegagalan startup yang menjual produknya ke konsumen –dalam konteks startup (berbasis teknologi) baru—model bisnis B2B menjadi menarik untuk didalami. Dari kemitraan strategis tersebut, produk hardware dapat disandingkan dengan potensi pangsa pasar pada vertikal bisnis startup digital yang tengah berkembang, tak terkecuali di Indonesia.

Misalnya untuk sektor properti. Berdasarkan data Property Affordability Sentiment Index H1 2019, harga yang sangat mahal menjadikan masyarakat Indonesia lebih banyak yang memilih tinggal di rumah sewa. Bahkan menurut survei Indonesia Property Watch 2018, hampir separuh dari milenial di Jakarta memilih tinggal di indekos.

Melihat peluang tersebut, YukStay digandeng jadi mitra strategis Igloohome di Indonesia untuk mengaplikasikan produknya di beberapa properti kelolaannya. Seperti diketahui, YukStay sajikan layanan hospitality untuk penyewaan apartemen dan indekos. Tidak hanya sajikan listing, mereka turut bantu pemilik properti lakukan manajemen. Saat ini telah mencakup Jabodetabek dan Surabaya.

Sementara untuk ride hailing, menurut data internal Gojek, per semester 1/2019 mereka telah memiliki 2 juta mitra pengemudi. Hal ini menjadi berkah bagi Zulu yang dipinang jadi rekanan strategis untuk mengakomodasi kebutuhan perlengkapan mengemudi utama para mitra – terdiri dari helm dan jaket pelindung.

Perusahaan-perusahaan lain yang awalnya B2C pun akhirnya mengadopsi B2B melalui akuisisinya oleh pemain besar. Sebut saja handset Oculus Rift yang kini jadi produk eksklusif Facebook, Nest yang dioptimalkan dan dipasarkan dengan teknologi Google, atau Beats yang jadi produk yang di-endorse Apple.

Masih terus bermunculan

UMG Idealab jadi salah satu pemodal ventura yang cukup aktif mendukung startup hardware, baik berinvestasi atau bertindak sebagai venture builder. Dua produk hardware yang tengah disiapkan adalah speaker pintar Widya Wicara dan drone passenger bernama Frogs. Cukup ambisius ingin menjadikan drone sebagai kendaraan taksi penumpang, kini produk tersebut terus dimatangkan di salah satu pusat R&D yang terdapat di Yogyakarta.

Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab
Drone-Passanger yang dikembangkan tim UMG Idealab di Yogyakarta / UMG Idealab

Widya Wicara sendiri didesain menjadi perangkat gaya hidup. Dibekali dengan perintah berbasis suara, diharapkan perangkat ini bisa menjadi asisten personal untuk melakukan beberapa tugas, seperti sebagai pengingat. Asisten pintar berbasis speaker ini memang jadi perangkat gaya hidup yang layak diperhitungkan. Popularitasnya meningkat sejak tahun 2018, dibarengi kematangan teknologi Natural Language Processing (NLP) yang makin pintar mengenali bahasa manusia.

Sementara produk yang sudah mulai populer contohnya eFishery, manfaatkan IoT untuk membantu pebisnis tambak udang dan ikan dalam menabur pakan secara otomatis. Ada juga Jala yang juga sasar sektor perikanan dengan produk berbasis IoT. Keduanya menerapkan model bisnis B2B dan sejauh ini tampak diterima konsumennya dengan baik.

Menciptakan Model Pendapatan yang Tepat Bagi Startup

Startup tidak semata-mata berfokus pada pengembangan produk dan talenta saja. Sama seperti korporasi, startup punya tujuan sama dalam membangun sebuah bisnis, yakni meraup pendapatan.

Perusahaan perlu revenue model yang tepat sebagai strategi untuk memperoleh pendapatan dari bisnisnya. Ada banyak revenue model yang dapat dijadikan acuan. Misalnya, revenue model berbasis transaksi, komisi, dan berlangganan. Semua bergantung pada target pasar yang dituju.

Apa saja yang kita dapat kita ketahui tentang revenue model? Apakah sekadar menentukan model bisnisnya saja? Pada sesi #SelasaStartup pekan ini, Founder & CEO Wahyoo Peter Shearer berbagi ilmu kepada khalayak tentang revenue model untuk startup.

Tentu topik ini menjadi sangat menarik jika melihat cita-cita Wahyoo yang ingin mendigitalisasikan warung makan di Indonesia. Selengkapnya, simak pembahasan Peter berikut ini.

Tiga hal sebagai fondasi dasar

Pendapatan adalah fondasi utama dalam membangun sebuah bisnis. Pada akhirnya, setiap bisnis menginginkan pendapatan sebagai kunci keberlangsungan perusahaan di masa depan.

Peter menyebutkan ada tiga pertanyaan dasar yang perlu dijawab saat ingin membangun startup. Pertama, siapa target pasarnya, masalah yang ingin diselesaikan beserta solusinya, dan apakah solusi ini dapat menghasilkan uang.

Jika ketiga hal ini mampu dijawab, pelaku startup dapat menciptakan revenue model-nya. Selain itu, ketiga hal ini dapat menentukan apakah sebuah bisnis patut dicoba atau tidak. Menurutnya, pelaku startup dapat menghindari bisnis yang sejak awal kita tahu tidak mampu menghasilkan pendapatan.

“Percuma bangun bisnis yang tidak bisa menghasilkan revenue karena effort yang dikeluarkan banyak dan [bisnis] tidak akan sustain. Bisnis yang sederhana bukan berarti scalable. Lebih baik menciptakan sesuatu sampai customer tahu [produk] ini bernilai,” ungkap Peter.

Revenue model sejalan dengan SDM

Peter menceritakan bagaimana Wahyoo memanfaatkan banyak stakeholder sebagai salah satu revenue model-nya. Sebagai startup penyedia solusi digitalisasi dan modernisasi warung, Wahyoo melakukan pendekatan dengan komunitas dan proyek tertentu sebagai target pasar produknya.

Wahyoo memiliki beberapa revenue model untuk bisnisnya, mulai dari transaksi, iklan, komisi, project based, franchise, hingga licensing. Peter sadar tidak semua revenue model dapat berjalan seluruhnya. Maka itu penting melakukan evaluasi untuk mengetahui revenue model yang cocok dengan bisnis yang dijalankan.

Di samping itu, semakin banyak revenue model akan sejalan dengan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) agar pengelolaannya lebih fokus. “Bagaimanapun juga, manusia cuma punya dua tangan. Tentu perlu dilihat apakah menambah orang atau tidak worth it dengan semakin banyaknya revenue model,” ujarnya.

Kolaborasi jadi potensi pemasukan

Menciptakan revenue model bagi bisnis tidak harus berjalan sendiri. Pelaku startup dapat berkolaborasi dengan banyak pihak untuk membuka peluang pemasukan lain.

Sebagai contoh, warteg yang menjadi mitra Wahyoo dapat menjadi double agent yang mana pemiliknya bisa mengantongi komisi dari iklan yang dipasang di warung tersebut.

“Banyak startup yang terlalu fokus pada satu hal [untuk menciptakan revenue]. Padahal, sebetulnya banyak sekali touch point yang dapat dikolaborasikan,” tutur Peter.

Belajar dari kompetitor

Satu hal yang tak kalah penting apabila pelaku startup telah menemukan revenue model yang tepat untuk bisnisnya, yakni mencari tahu tentang kompetitornya.

Peter menilai tidak ada salahnya mengetahui produk dan revenue model pesaing. Justru berbagai informasi yang didapatkan dari pesaing dapat menjadi learning process bagi pelaku startup untuk belajar tentang revenue model.