Panasonic Lumix TZ100 Adalah Rival Sepadan untuk Sony RX100 IV

Tahun kemarin, Sony RX100 IV semakin membuktikan dirinya sebagai salah satu kamera pocket terbaik yang pernah ada; performanya di kondisi minim cahaya luar biasa, diimbuhi dengan kemampuannya merekam video 4K yang amat tajam. Namun Sony harus awas, karena Panasonic baru-baru ini menghadirkan kamera baru yang siap menandingi RX100 IV.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix TZ100. Seperti milik Sony, dirinya juga mengemas sensor berukuran 1 inci yang jauh lebih besar ketimbang standar kamera saku, dengan rentang ISO berkisar antara 80 sampai 25.600. Ukuran penampang sensor yang lebih luas ini sudah terbukti sanggup menghasilkan gambar yang lebih jernih dan mendetail di kondisi remang-remang.

Tak cuma itu, sensor 20,1 megapixel ini juga siap merekam video dalam resolusi 3840 x 2160, baik di kecepatan 24 maupun 30 fps. Satu-satunya kelemahan ZS100 dibanding Sony RX100 IV adalah, ia tak punya mode perekaman slow-motion dalam kecepatan yang sangat tinggi; opsi perekaman full-HD miliknya cuma terbatas di kecepatan 60 fps saja.

Panasonic Lumix TZ100

Namun kelemahan itu rupanya masih bisa ditutupi oleh dua fitur lain yang unik buatnya sendiri: hybrid optical image stabilization 5-axis serta lensa zoom f/2.8-5.9 dengan jangkauan yang amat jauh, yakni 25-200 mm (10x zoom) – bandingkan dengan milik RX100 IV yang cuma 24-70 mm. Soal optiknya, kalau Sony mengandalkan rancangan Carl Zeiss, Panasonic masih setia dengan buatan Leica.

Di sisi lain, performa TZ100 juga tak bisa dibilang lamban. Dalam mode burst, ia dapat menjepret foto secara kontinyu dalam kecepatan 10 fps, atau 5 fps dengan autofocus. Panasonic turut membekalinya dengan fitur Post Focus yang inovatif sekaligus sangat bermanfaat.

Dari segi fisik, ukurannya memang sedikit lebih besar daripada RX100 IV, tepatnya di angka 110,5 x 64,5 x 44,3 mm – masih cukup kecil untuk disimpan di dalam saku. Selain layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot, panel belakangnya juga dilengkapi oleh electronic viewfinder (EVF) beresolusi 1,17 juta dot.

Panasonic Lumix TZ80

Bersamaan dengan itu, Panasonic juga memperkenalkan kamera Lumix TZ80, yang merupakan versi lebih terjangkau dari TZ100. Model ini juga bisa merekam video 4K, tapi ukuran sensornya jauh lebih kecil, yakni standar 1/2,3 inci dengan resolusi 18 megapixel. Kendati demikian, jangkauan lensa f/3.3-6.4 miliknya justru lebih jauh, tepatnya 24-720 mm, atau sekitar 30x zoom.

Kedua kamera ini rencananya bakal segera meluncur ke pasaran mulai Maret mendatang. Panasonic Lumix TZ100 dihargai $700, sedangkan TZ80 $450.

Sumber: Panasonic dan Gizmag.

Gelang Pintar Ini Diklaim Bisa Memahami Perasaan Anda

Kedengarannya sulit dipercaya? Well, itulah yang dibawa oleh startup asal New York, Sentio Solutions, ke panggung CES 2016. Dijuluki Feel Wristband, perangkat ini diyakini mampu memonitor kadar stres maupun seberapa emosional penggunanya, sekaligus tentu saja berusaha memperbaiki mood penggunanya.

Feel tampak seperti gelang pintar pada umumnya. Ia mengemas empat sensor khusus untuk merekam berbagai data biometrik sepanjang hari, mulai dari denyut nadi, suhu kulit sampai respon kulit galvanik (respon listrik yang muncul pada kulit akibat kegelisahan atau stres). Berbekal data-data ini, Feel akan mencoba untuk memahami perasaan Anda sebaik mungkin.

Namun bukan berarti dengan mengenakan Feel Anda bisa langsung ceria begitu saja. Semuanya tetap kembali pada pengguna. Feel hanya akan memberikan penjelasan terkait apa yang menyebabkan suasana hati Anda jadi kurang kondusif seperti itu. Bisa jadi dikarenakan Anda habis menjalani rapat berturut-turut, atau mungkin karena sudah terlalu lama terjebak macet.

Evaluasi semacam ini akan ditampilkan pada aplikasi pendamping Feel di smartphone. Selanjutnya, Feel juga akan memberikan kiat-kiat mengatasi stres berdasarkan situasinya, yang disampaikan dalam wujud notifikasi singkat seperti “ayo lebih banyak senyum”, “waktunya tarik nafas dalam-dalam”, dan sebagainya.

Dalam situasi dimana Anda sudah stres berat, Feel akan bergetar dan aplikasinya akan menampilkan panduan latihan pernafasan maupun meditasi secara bertahap sehingga Anda bisa merasa sedikit lebih baik, dan Anda pun terhindar dari resiko dipecat karena telah memaki atasan secara frontal.

Feel Wristband rencananya bakal mulai dipasarkan pada bulan Desember tahun ini juga, dengan pilihan warna antara putih, turquoise, merah dan hitam. Banderol harganya belum bisa dipastikan. Kalau ternyata cukup terjangkau, mungkin ia bisa jadi alternatif yang cukup menarik dari smart band kelas mainstream.

Sumber: Wareable.

Lenovo Jadi yang Pertama Garap Smartphone Project Tango

Masih ingat dengan Google Project Tango? Ide tentang sebuah smartphone yang dapat mempelajari konsep ruang dan gerakan ini Google perkenalkan hampir dua tahun yang lalu, dan sekarang tampaknya kerja keras tim pengembangnya sudah menemukan titik terang.

Memang tidak dijelaskan secara merinci perkembangan signifikan apa yang dilalui Project Tango sejauh ini. Akan tetapi salah satu pabrikan hardware, yaitu Lenovo, telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang mengembangkan smartphone yang dibekali teknologi tersebut. Lenovo tidak sendirian, mereka bekerja sama langsung dengan Google dan Qualcomm guna mengoptimalkan kinerja hardware dan software-nya.

Ide dasarnya sebenarnya tidak berubah. Smartphone ini nantinya sanggup mengenali ruangan beserta objek di dalamnya, lalu menampilkannya di layar secara tiga dimensi. Tak cuma itu, ia juga mampu membaca gerakan pengguna secara akurat, membuka potensinya menjadi jendela menuju dunia virtual yang hanya akan terbatasi oleh kreativitas para developer.

Bicara soal developer, Lenovo dan Google pun mengajak para developer untuk merancang aplikasi yang dioptimalkan buat Project Tango. Seperti yang kita tahu, teknologi canggih macam ini bakal terasa percuma apabila tidak ada konten yang cukup untuk dinikmati pengguna. Nantinya, aplikasi yang dinilai terbaik bakal disematkan ke smartphone Project Tango dari Lenovo secara default.

Sejauh ini juga belum ada rincian spesifikasi sama sekali terkait smartphone Project Tango besutan Lenovo ini. Satu hal yang bisa dipastikan, ia bakal ditenagai oleh prosesor Qualcomm Snapdragon yang cukup bertenaga mengingat prototipenya saja perlu melakukan sebanyak 250 ribu kalkulasi per detik.

Kalau melihat gambar teaser-nya, desainnya juga jauh lebih menarik ketimbang prototipe dua tahun silam. Pada bagian belakangnya, bisa kita lihat bahwa tak cuma kamera standar yang ada di sana, tapi komponen yang sepertinya merupakan kamera motion tracking sekaligus sensor kedalaman (depth) – sekaligus komponen yang berada di bawah kamera yang menurut saya adalah sebuah sensor sidik jari.

Project Tango sepertinya dapat mengubah persepsi negatif kita tentang kompetisi smartphone yang semakin lama semakin terasa seperti sekedar adu spesifikasi belaka. Kita nantikan saja kehadirannya pada musim panas tahun ini.

Sumber: Business Wire.

Withings Luncurkan Fitness Tracker Baru dan Termometer Pintar

Perusahaan asal Perancis, Withings, tak mau ketinggalan dari para pesaingnya dalam meramaikan panggung CES 2016 dengan sederet fitness tracker baru. Di sana, mereka langsung memperkenalkan dua produk baru sekaligus; satu merupakan fitness tracker berharga terjangkau, sedangkan satunya adalah sebuah termometer pintar.

Fitness tracker anyar itu mereka beri nama Withings Go. Wujudnya begitu minimalis. Ia tak memiliki tombol sama sekali, sedangkan layarnya sendiri memanfaatkan teknologi e-ink yang amat irit daya. Pada layar ini, progress pengguna akan ditampilkan berupa garis-garis yang akan memenuhi layar ketika target harian telah tercapai.

Go dapat dipakai untuk memonitor berbagai aktivitas: jalan kaki, berlari, berenang sampai mendengkur di atas kasur. Karena tak ada tombol apa-apa untuk ditekan, yang perlu pengguna lakukan hanyalah memakainya, dan Go akan mulai memonitor secara otomatis saat aktivitas dimulai. Data-datanya kemudian akan diteruskan menuju aplikasi Withings Health Mate di smartphone.

Withings Go

Cara memakai Go pun bervariasi. Pengguna bisa menjepitkannya ke saku celana atau ikat pinggang. Go juga bisa dikenakan seperti sebuah jam tangan dengan memanfaatkan casing pelindung yang berbeda. Konsep ini sangat mirip seperti yang ditawarkan perangkat sekelas dari brand lain, yakni Jawbone UP Move dan Misfit Flash.

Secara keseluruhan, Withings Go terdengar amat menarik buat yang tengah mengincar sebuah fitness tracker serba bisa tapi berharga terjangkau. Go dihargai $70 saja, dan akan dipasarkan mulai kuartal pertama tahun ini juga. Oh ya, ia juga tahan air hingga kedalaman 50 meter, dan baterai kancingnya bisa bertahan sampai 8 bulan sebelum perlu diganti baru.

Withings Thermo

Withings Thermo

Saya yakin Anda sudah penasaran dengan yang dimaksud termometer pintar. Namanya Withings Thermo, dan sepertinya ia merupakan termometer paling canggih yang tersedia untuk umum saat ini. Cara menggunakannya pun jauh lebih mudah daripada termometer tradisional.

Untuk memakainya, pengguna hanya perlu menempelkan Thermo ke pelipis, tekan tombolnya, lalu tunggu selama dua detik. Thermo dibekali 16 sensor inframerah yang akan melakukan sebanyak 4.000 pengukuran pada pembuluh arteri, mencari titik terpanas, lalu menampilkan berapa suhunya secara akurat. Sekali lagi, semuanya berlangsung dalam waktu dua detik saja.

Keunikan Thermo tak berhenti sampai di situ saja. Ia juga mengemas koneksi Wi-Fi dan Bluetooth, memungkinkannya untuk meneruskan data menuju aplikasi di smartphone. Di situ Anda dapat memantau analisis sederhana terkait fluktuasi suhu tubuh setiap harinya, yang bisa saja dikaitkan dengan gejala penyakit tertentu yang tiba-tiba muncul.

Lebih lanjut, data ini juga bisa dikombinasikan dengan data yang dikumpulkan perangkat kesehatan lain besutan Withings, yang pada akhirnya dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang kesehatan penggunanya.

Withings Thermo dibanderol seharga $100, dan juga akan dipasarkan mulai kuartal pertama tahun 2016. Ia ditenagai oleh sepasang baterai AAA sehingga Anda tak perlu repot-repot mengisi ulang baterainya setiap malam.

Sumber: Wareable dan TechCrunch.

Drone Yuneec Typhoon H Siap Menghindari Rintangan dengan Sendirinya

Berada di bayang-bayang rival yang lebih sukses itu pasti terasa tidak enak. Kira-kira mungkin seperti itu perasaan yang dialami Yuneec, pabrikan drone yang masih satu kampung dengan DJI. Sampai saat ini, drone buatannya masih kalah pamor kalau dibandingkan dengan lini drone besutan DJI.

Tapi semua itu bisa berubah tahun ini. Memanfaatkan kemeriahan acara CES 2016, Yuneec memperkenalkan drone terbaru sekaligus tercanggihnya, Typhoon H. Mengapa Typhoon H bisa mengubah kondisi persaingan antara kedua pabrikan drone tersebut? Karena ada kebesaran Intel di belakangnya.

Yuneec Typhoon H merupakan drone versi konsumen pertama yang ditenagai oleh teknologi Intel RealSense. Sederhananya, teknologi ini memanfaatkan kamera inframerah untuk memindai beragam objek yang ada di hadapannya. Hal itu berarti Typhoon H dapat mendeteksi sekaligus menghindari rintangan yang ia temui selagi mengudara.

Yuneec Typhoon H

Lalu apa nilai praktis dari kemampuan menghindari rintangan ini? Well, seperti drone lainnya, Typhoon H juga mengemas fitur penerbangan otomatis yang dibagi menjadi beberapa mode yang berbeda. Jadi semisal Anda mengaktifkan mode “Follow” dimana drone akan bergerak dengan sendirinya mengikuti pemegang controller, ia tak akan menabrak pohon, tembok atau objek lain yang menghalangi rutenya.

DJI sendiri sebenarnya juga punya drone yang dibekali ‘penglihatan’ macam ini, yaitu Matrice 100. Akan tetapi drone tersebut sejauh ini baru ditujukan untuk kalangan developer saja, sedangkan Typhoon H ini benar-benar menyasar konsumen secara massal.

Menilik fisiknya, ada yang berbeda dari Typhoon H. Ia dilengkapi enam baling-baling ketimbang empat, membuatnya tak bisa disebut sebagai quadcopter. Penambahan dua baling-baling ekstra ini ditujukan supaya drone bisa tetap mengudara dengan stabil sekaligus mendarat meski ada satu atau dua baling-baling yang tiba-tiba berhenti bekerja.

Lebih lanjut, tiap baling-baling ini bisa dilipat ke bawah ketika sedang tidak digunakan, sekaligus memudahkannya untuk dibawa berpergian. Apalagi mengingat Typhoon H banyak melibatkan material serat karbon guna menekan bobot keseluruhan secara drastis.

Yuneec Typhoon H

Soal kualitas gambar, Typhoon H siap merekam video dalam resolusi 4K maupun mengambil foto dalam resolusi 12 megapixel. Tapi yang lebih menarik untuk diperhatikan adalah controller unik milik Typhoon H. Controller ini ukurannya cukup besar, karena tepat di tengahnya Anda akan menjumpai sebuah layar 7 inci, dan Yuneec telah menanamkan sistem operasi Android ke dalamnya.

Dengan demikian, pengguna tak perlu lagi mengandalkan smartphone atau tablet-nya guna menampilkan hasil rekaman secara real-time, seperti yang kita jumpai pada mayoritas drone lain yang mendukung fitur ini. Typhoon H sendiri siap meneruskan hasil rekamannya ke layar controller dalam resolusi 720p.

Menimbang segala kelebihannya, pantas saja apabila Yuneec memosisikan Typhoon H sebagai penantang DJI Inspire 1. Yuneec bahkan tidak segan untuk mematok harga yang lebih agresif untuk Typhoon H, yakni $1.799, atau kurang lebih $800 lebih murah ketimbang Inspire 1.

Sumber: The Verge dan PR Newswire.

MSI Perkenalkan PC Gaming AiO Bertenaga GPU Desktop, 27XT

Ada satu tren yang tampak menonjol di ajang CES tahun ini: PC all-in-one gaming bersenjata GPU desktop. Beberapa waktu lalu, Origin Omni membuat banyak orang berdecak kagum dengan komponen high-end dan layar curved beresolusi tinggi. Tak mau ketinggalan dari rival asal Amerika itu, MSI juga memperkenalkan iterasi baru dari produk AiO gaming mereka.

Micro-Star International mengumumkan PC all-in-one gaming pertama mereka yang ditenagai kartu grafis desktop, diberi nama MSI Gaming 27XT. Tentu saja penyingkapan produk ini bukan sekedar langkah ‘ikut-ikutan’, sang produsen Taiwan meramunya dengan pendekatan berbeda. Ketika Omni menyatukan rangkaian hardware – termasuk sistem pendingin – ke layar; MSI memisahkan kartu grafis dari tubuh utama.

Dengan cara ini, pengguna tidak perlu membuka seluruh panel untuk mengakses GPU. Menurut MSI, rancangan tersebut merupakan jalan keluar dari kendala terbesar pada PC jenis all-in-one. Tapi bagaimana soal kompatibilitasnya? 27XT mendukung tipe-tipe kartu grafis berukuran ‘normal’, termasuk varian papan atas seperti Nvidia GTX Titan atau GTX 980Ti, menyediakan tenaga maksimal 330-watt.

MSI 27XT 03

MSI tidak mencoba membuat 27XT agar terlihat ramping, tapi desain yang diusungnya memang unik. PC all-in-one tersebut seolah-olah mengenakan tas. Dari depan, wujudnya hampir identik dengan AiO seri gaming mereka: frame hitam, garis merah di bawah layar, logo naga di tengah speaker, serta struktur stand transparan.

Di sisi belakang, modul GPU ditambatkan di area kiri. Warna merah mendominasi lebih dari separuh permukaan modul, dipadu zona hitam di tengah. Melalui bagian transparan, Anda bisa melihat kartu grafis bekerja. Di sebelah kanan, terdapat konektivitas fisik berupa port HDMI, USB 3.0 dan 2.0, serta port LAN.

MSI 27XT 02

Untuk resolusi display, MSI menyediakan sejumlah opsi konfigurasi. Anda dapat memilih panel full-HD 1920×1080 atau QHD 2560×1440 dengan refresh rate 144Hz, sampai tipe UHD 3840×2160 (4K) 60Hz. Angka 27 pada nama modelnya mengacu pada ukuran layar, yaitu sebesar 27-inci. Di website, MSI cuma bilang bahwa gaming PC all-in-one ini dipersenjatai ‘komponen dan teknologi high-end‘, namun belum menjabarkan spesifikasinya lebih rinci.

Dari laporan Tom’s Hardware, MSI Gaming 27XT memanfaatkan setup RAID 0 dengan dua buah SSD, sehingga kecepatan akses ke penyimpanan mencapai 3,3GB per detik. Fitur-fitur khas MSI lain juga hadir di sana, misalnya Nahimic Audio Enhancer dan networking Killer LAN.

Soal harga dan ketersediaan, MSI sama sekali belum mengungkapnya.

Via Tom’s Hardware & MSI.com.

Berbekal Body Berkilau, BLU Vivo 5 dan Vivo XL Siap Pukau Pasar Mobile

Tak mau hanya jadi penonton, BLU ikut meramaikan ajang bergensi CES 2016 dengan memperkenalkan dua varian smartphone baru. Mereka adalah Vivo 5 dan Vivo XL yang memiliki spesifikasi serupa tapi tak sama. Tampak luar, keduanya hampir tak berbeda, namun di sejumlah bagian sejatinya kedua ponsel pintar ini punya kelas yang sedikit berbeda.

Kita awali pembahasan keduanya dari spesifikasi BLU Vivo 5. Vivo 5 datang dengan amunisi yang cukup baik, di depan ia menampilkan desain apik yang diperkuat dengan material metal di seluruh bagian. Secara keseluruhan Vivo 5 memiliki garis desain yang tegas dan tajam, membalut layar 5,5 inci tipe Super AMOLED yang kemudian diakhiri dengan lapisan Corning Gorilla Glass 3.

BLU-Vivo-5-and-Vivo-XL_2

Performa yang dijanjikan oleh Vivo 5 merupakan hasil dari daya gedor komponen chipset MediaTek MT6753 yang mengemas prosesor octa-core bersama dengan RAM 3GB. Di ruang penyimpanan ia punya memori seluas 32GB yang masih dapat ditingkatkan dengan tambahan microSD.

Sementara itu BLU Vivo XL ada di level yang lebih rendah, kendati frame utama perangkat tetap diperkuat oleh metal. Tetapi bagian belakang Vivo XL dibuat dari material yang berbeda. Pun demikian, hal itu tak mengurangi sisi estetika perangkat yang menonjolkan pola unik berkilau.

Soal spesifikasi, Vivo XL masih mengemas layar dan chipset yang sama dengan Vivo 5, hanya saja varian ini mengalami penurunan di bagian kapasitas RAM-nya yang hanya 2GB dan memori internal 16GB. Beruntung perbedaan keduanya tak berlanjut, karena di bagian kamera baik Vivo 5 maupun Vivo XL masih mengemas kamera utama 13MP dan kamera depan 5MP wide-angle. Baterai keduanya pun sama-sama 3.150mAh.

BLU Vivo 5 dan Vivo XL bakal dipasarkan melalui Amazon dan sejumlah toko online populer di Amerika Serikat dengan banderol masing-masing $199 dan $149.

Sumber berita BLU Vivo 5 dan Vivo XL.

Kodak Hidupkan Kembali Kamera Legendaris Kodak Super 8

Meski popularitasnya sudah tidak setenar dulu, generasi saya tahu betul kebesaran nama Kodak di era pra-kamera digital. Lebih jauh ke belakang lagi, generasi orang tua saya pun paham bagaimana Kodak sempat merevolusi industri perfilman lewat kamera Super 8 yang legendaris.

Kini digital sudah mengambil alih, tapi itu bukan berarti analog dan film sudah ditinggalkan begitu saja. Buktinya, film-film blockbuster macam Star Wars: The Force Awakens maupun Interstellar masih direkam menggunakan film besutan Kodak. Ya, Kodak memang belum menyerah memproduksi film, dan mereka justru bermisi untuk ‘menghidupkannya’ kembali.

Caranya adalah dengan mendatangkan kembali kamera Kodak Super 8. Sudah 50 tahun berselang sejak Super 8 orisinil diperkenalkan pertama kalinya, dan Kodak sekarang tengah bersiap untuk meluncurkan versi baru Super 8 dengan teknologi yang disesuaikan untuk generasi modern.

Menurut Kodak, kalau tren di industri musik ternyata mengacu pada kembalinya popularitas vinyl, mengapa di industri film tidak bisa demikian? Digital memang punya kelebihan tersendiri, begitu juga dengan analog. Jadi, kenapa tidak menyatukan keduanya saja?

Kodak Super 8

Itulah ide mendasar yang melahirkan Kodak Super 8 baru ini. Wujudnya masih serupa dengan yang lawas, ada grip berlapis kulit di atas, tapi ada juga grip di bawah untuk digenggam layaknya sebuah pistol. Kamera ini pun juga masih menggunakan cartridge film Super 8 seperti yang dulu.

Kendati demikian, Kodak Super 8 baru ini telah dibentuk menggunakan material-material berkualitas tinggi. Kodak tak mau main-main, mereka menunjuk desainer kenamaan Yves Behar guna menciptakan sebuah produk yang di satu sisi tampak retro, tapi di saat yang sama juga terasa amat modern.

Lalu apa wujud digitalisasi Kodak Super 8 yang bisa kita lihat? Yang pertama adalah sebuah viewfinder 3,5 inci yang bisa dimiring-miringkan untuk membantu pengguna mengatur komposisi. Kemudian pada bagian atasnya tertanam sebuah mikrofon yang menghadap ke depan seperti lensa Ricoh 6 mm miliknya – atau lensa zoom 6-48 mm yang opsional.

Kodak Super 8

Konektivitas digital pun turut mendapat perhatian penting bagi Kodak. Di belakang Super 8, Anda akan menjumpai slot SD card, port HDMI maupun USB. Super 8 generasi modern ini bisa Anda charge menggunakan kabel USB dan adapter seperti smartphone atau tablet.

Namun yang tak kalah menarik adalah bagaimana Kodak menginginkan seluruh kalangan, baik kaum profesional maupun konsumen secara umum, bisa sama-sama berkreasi menggunakan Super 8. Setiap kali pengguna selesai merekam, mereka bisa mengirimkan cartridge filmnya kembali ke Kodak. Selanjutnya, Kodak akan mengolahnya menjadi sebuah kopi digital beserta rol film 8 mm standar, dan mengirimkannya kembali kepada pengguna.

Inkarnasi terbaru Kodak Super 8 ini rencananya akan mulai dipasarkan pada musim gugur tahun ini juga. Belum ada kepastian soal harganya, kemungkinan berkisar antara $400 sampai $750, sedangkan proses digitalisasi cartridge filmnya dihargai sekitar $50 sampai $75.

Sumber: PetaPixel. Sumber gambar: Kodak.

Carl Zeiss Ungkap Aksesori Lensa Smartphone Perdananya

Perusahaan pembuat aksesori lensa smartphone macam Olloclip harus berhati-hati. Pasalnya, tidak cuma persaingan di ranah ini semakin panas, tetapi nama-nama besar seperti Carl Zeiss kini juga ikut turun tangan dan memberikan penawarannya sendiri.

Di depan pengunjung CES 2016, Zeiss mengumumkan kemitraannya bersama Fellowes Brands. Fellowes sendiri merupakan otak di balik ExoLens, dan pengumuman ini berarti mereka bakal mendesain dan mengembangkan lensa smartphone secara langsung bersama dedengkot lensa kamera yang sudah berkiprah sejak tahun 1890 tersebut.

Sebanyak tiga lensa sekaligus sudah direncanakan, yakni lensa wide-angle, telephoto dan macro. Ketiganya tentu saja akan mengemas optik berkualitas rancangan Zeiss, termasuk halnya lapisan anti-reflektif T* yang sudah menjadi senjata andalan lini lensa kamera Zeiss selama beberapa tahun.

Khusus untuk model macro, lensa ini punya satu fitur yang tak dimiliki lensa dari brand lain yang sejenis, yaitu fungsi zoom. Zeiss mengklaim mereka adalah yang pertama kali berhasil menyematkan fungsi zoom ke dalam sebuah aksesori lensa untuk smartphone. Hal ini jelas akan meningkatkan fleksibilitasnya dalam berbagai kondisi.

ExoLens with Zeiss Optics

Ketiga lensa ini kompatibel dengan iPhone 6S maupun 6S Plus, dengan bantuan sebuah mount khusus yang dijepitkan ke smartphone. Mount ini juga dilengkapi lubang tripod standar, sekaligus dapat dipasangi aksesori lain yang kompatibel.

Tiga lensa ExoLens dengan optik rancangan Zeiss ini rencananya baru akan dipasarkan pada kuartal kedua tahun 2016. Banderol harganya masih belum dirincikan, tetapi sudah ada rencana untuk merilis model yang kompatibel dengan perangkat lain selain iPhone.

Untuk sementara, Anda bisa melihat sampel-sampel foto yang bisa dihasilkan oleh lensa smartphone buatan Zeiss ini. Lebih lengkapnya bisa Anda lihat langsung di situs resmi Zeiss.

ExoLens with Zeiss Optics sample photo

ExoLens with Zeiss Optics sample photo

ExoLens with Zeiss Optics sample photo

Sumber: PetaPixel dan Zeiss.

Fitbit Perkenalkan Smartwatch Perdananya, Fitbit Blaze

Sebagai salah satu brand yang amat dominan di dunia wearable, Fitbit sejauh ini punya lini produk yang cukup bervariasi. Produk-produknya yang populer mencakup Fitbit Flex, Charge, Charge HR maupun Surge. Tapi keempat perangkat itu hanyalah sebuah gelang, sehingga otomatis konsumen yang menginginkan smartwatch kemungkinan tak akan melirik Fitbit sama sekali.

Untuk itulah Fitbit datang meramaikan event CES 2016 di kota Las Vegas. Di situ mereka memperkenalkan smartwatch perdananya, Fitbit Blaze. Dilihat dari sudut manapun, Blaze memang tampak seperti jam tangan, tapi tentu saja dengan sejumlah fitur pintar ala smartwatch sekaligus fungsi fitness tracking yang lengkap yang membuat nama Fitbit melambung hingga seperti sekarang.

Desain Blaze agak sedikit kaku kalau dibandingkan smartwatch lain. Rangka stainless steel membungkus layar sentuhnya, dan ia secara total memiliki tiga tombol di bagian sisinya. Blaze tahan air, tapi sekedar cipratan air hujan saja, bukan untuk dipakai selagi mandi atau malah saat berenang.

Fitbit Blaze

Sebagai sebuah smartwatch, fiturnya masih kalah lengkap jika dibandingkan dengan smartwatch Android Wear. Utamanya adalah tidak adanya app store untuk mengunduh aplikasi pihak ketiga, serta absennya dukungan perintah suara. Kendati demikian, Blaze masih bisa meneruskan notifikasi panggilan telepon, pesan teks maupun entry kalender, dan ia juga bisa dipakai untuk mengontrol musik pada smartphone.

Tidak mengejutkan dari Fitbit, yang membuat Blaze istimewa justru adalah fungsi fitness tracking-nya. Mulai dari yang super simpel seperti memonitor jumlah langkah kaki atau pola tidur, sampai yang lebih kompleks seperti aktivitas berlari dan bersepeda. Blaze juga punya sensor laju jantung dan GPS, memungkinkan pengguna untuk memantau rute, kecepatan maupun durasi selagi beraktivitas.

Terlepas dari itu, cukup menarik untuk melihat Fitbit yang akhirnya ikut menembus pasar smartwatch. Blaze dijajakan seharga $200 saja, menjadikannya alternatif yang lebih terjangkau dari smartwatch Android Wear atau malah Apple Watch.

Sumber: Gizmag.