Apakah Industri Healthcare di Indonesia Akan Booming Seperti Tiongkok?

Bukan jadi rahasia umum bahwa kondisi ekonomi internet di Indonesia pada saat ini adalah cerminan dari lima tahun sebelumnya di Tiongkok. Selain dikarenakan geopolitik, hubungan ekonomi, budaya, hingga historis di Tiongkok juga banyak mempengaruhi Indonesia.

Contoh terdekatnya, bisa dilihat dari perkembangan tren industri internet, mulai dari e-commerce dan fintech. Keduanya kini sudah jadi industri yang besar, dan industri lain akan mengikutinya. Salah satu industri yang kian besar di negara Tirai Bambu tersebut adalah healthcare, pemicu besarnya sejak pandemi tiga tahun lalu.

Industri terhangat ini menjadi salah satu dari tiga topik besar yang diangkat dalam pameran dan konferensi teknologi BEYOND Expo 2023, Macau, setelah sustainability dan consumer tech. Berbagai diskusi pun digelar untuk melihat semasif apa industri ini di Tiongkok dan bagaimana tren ke depannya. Berikut rangkumannya:

Didukung populasi besar

Dalam diskusi panel berjudul “International Market Opportunities for Chinese Healthcare Companies,” menghadirkan EVP Fosun International Li Haifeng dan CFO Livzon Zhang Wenze sebagai panelis, pada hari kedua gelaran BEYOND Expo 2023.

Li menjelaskan, Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dengan populasi 1,4 miliar orang, menawarkan pasar yang sangat besar bagi industri farmasi. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah terus menekankan penduduknya pada peningkatan mata pencaharian dan harapan hidup masyarakat yang sangat berdampak besar bagi industri ini.

Sumber: BEYOND Expo 2023

Menurutnya, perusahaan Tiongkok cenderung mendapatkan pasar yang lebih besar jika mereka mengadopsi pendekatan global dengan menanamkan teknologi terdepan yang dikombinasikan dengan etika kerja lokal. Didukung pula dengan fasilitas R&D, sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengeksplorasi pertumbuhan pasar yang lebih besar dan juga memperluas peluang pasar.

Fosun itu sendiri merupakan perusahaan farmasi dengan empat produk unggulannya: Artesun, obat malaria yang ditemukan oleh pemenang Nobel Tu Youyou; vaksin mRNA Comirnaty untuk COVID-19 yang diproduksi bersama dengan perusahaan Jerman BioNTech; Axicabtagene Ciloleucel Injection, produk terapi sel CAR-T yang dikembangkan untuk pengobatan limfoma stadium akhir; dan Azvudine, obat antivirus yang digunakan untuk mengobati COVID-19.

Zhang menambahkan, dari pengalamannya selama 20 tahun bekerja di industri ini, disimpulkan bahwa industri farmasi seperti manufaktur, pangan, dan pertanian, karena punya siklus. Namun industri farmasi dapat melampaui siklus pasar.

“Namun, selama tiga tahun pandemi, kami telah mengamati beberapa perubahan baru. Hukum biofarmasi yang melampaui siklus pasar tampaknya telah gagal, dan kini memasuki siklus yang aneh, yang mana ini dibutuhkan waktu yang sangat lama dan banyak investasi modal untuk mengkomersialkan teknologi baru, seperti obat molekul kecil, terapi sel, dan imunoterapi.”

Dia melanjutkan, “Saat ini, pasar modal lebih berfokus pada jalur khusus, dan tren berubah setiap tahun: dari perangkat ke mRNA hingga manufaktur AI, dan masing-masing cenderung menarik gelombang pendanaan.”

Hal ini menyebabkan munculnya beberapa proyek yang hanya melayani investor VC dan PE, meskipun banyak dari mereka tidak dapat menjelaskan model bisnis dasar mereka dan hanya mengandalkan konsep tersebut untuk mengamankan pembiayaan.

Ada kecenderungan ketidaksabaran di bidang medis karena pengusaha dan investor menuntut pengembalian yang melebihi proyeksi perkembangan alami industri. Alhasil mengakibatkan fenomena mencoba mendapatkan hasil yang cepat dan menghambat pertumbuhan jangka panjang.

Zhang juga menunjukkan bahwa AI kemungkinan akan menjadi kekuatan yang signifikan dalam mendisrupsi sistem healthcare dan akan menjadi faktor yang berpengaruh besar dalam pengembangan biofarmasi selama 10 tahun ke depan.

“Banyak teknologi yang masih dalam tahap belum diverifikasi atau dipalsukan, sehingga investor dan pelaku industri perlu waspada dan fokus pada teknologi yang benar-benar dapat diimplementasikan dan membantu pasien menyelesaikan masalah segera, bukan hanya gimmick yang menjanjikan,” ujarnya.

Sudut pandang konsumen

Sumber: BEYOND Expo 2023

Kemudian, dalam diskusi panel sebelumnya yang mengangkat judul “Emerging Trends and Opportunities in Biotechnology” mengundang GM AstraZeneca Hong Kong Wu Shan dan GM Lianblo APAC Raphael Ho sebagai panelis. Dalam kesempatan tersebut, Shan menjelaskan pasca pandemi membuat perusahaan farmasi semakin giat melakukan R&D karena variasi penyakitnya, mulai dari asma dan gangguan pernapasan, makin beragam.

“Kondisi sekarang sama sekali berbeda dari 10 tahun yang lalu. Faktanya, kami sukses dalam beberapa tahun terakhir, melalui penelitian mandiri, kerja sama, dan memperkenalkan semua pekerjaan yang baik ini dalam memperluas obat inovatif kami,” kata dia.

Hanya saja yang terpenting bagi perusahaan farmasi dalam membuat strategi dan keputusan, selalu memulai dari sudut pandang konsumen. Kognisi tersebut ia nilai sangat baik, karena sudah sangat jelas bahwa perusahaan farmasi tidak mungkin bisa membantu pasien menyelesaikan semua masalah yang ada di dalam tubuh mereka.

“Jadi inilah mengapa kami terus bekerja sama dengan berbagai mitra di seluruh ekosistem.”

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Indeks Keamanan Kesehatan Global 2021, yang dirilis oleh John Hopkins Center for Health Security, Nuclear Threat Initiative, dan Economist Intelligence Unit, Indonesia menempati peringkat 45 dari 195 total negara, jauh tertinggal dari negara terdekatnya, Singapura (24) dan Malaysia (27). Indeks tersebut mengukur kapasitas 195 negara untuk bersiap menghadapi epidemi dan pandemi.

Artinya, pandemi COVID-19 menjadi peringatan bagi Indonesia untuk mereformasi sistem kesehatannya. Pemerintah pun merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI) pada 2021 dengan membuka peluang bagi investor asing di sebagian besar lini vertikal sektor kesehatan, khususnya layanan penunjang kesehatan.

Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menginisiasi Strategi Transformasi Digital Bidang Kesehatan 2020-2024, yang bertujuan untuk mengubah sistem pelayanan kesehatan menjadi model yang lebih efisien, efektif, dan berpusat pada pasien. Salah satu inisiatif utama dari strategi ini adalah platform SATUSEHAT (sebelumnya PeduliLindungi).

Seperti diketahui, kekurangan tenaga medis menjadi salah satu kendala utama dalam mencapai pemerataan akses pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas kesehatan juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa hingga 2021, menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Dengan infrastruktur kesehatan yang tidak memadai, negara ini memiliki pengeluaran kesehatan per kapita yang lebih tinggi di daerah dengan jumlah fasilitas kesehatan yang lebih sedikit karena memerlukan biaya yang lebih tinggi untuk mobilisasi pasien.

“Kami memiliki keyakinan kuat bahwa inovasi biotek dapat membantu mengatasi masalah kesehatan yang telah ada di Indonesia selama bertahun-tahun. Nalagenetics dan Nusantics merupakan startup biotek yang memiliki metodologi berbeda dalam menyelesaikan permasalahannya. Kedua pendiri startup ini memiliki latar belakang yang kuat di bidang sains dan industri biotek, yang merupakan aset integral bagi perusahaan,” kata Venture Partner East Ventures Avina Sugiarto dalam situs resmi East Ventures. Kedua startup biotek ini didukung oleh East Ventures.

Disclosure: DailySocial.id adalah media partner dari BEYOND Expo 2023

LoL World Championship 2021 will be Hosted in Europe instead of China

Previously, according to a report by Upcomer, League of Legends developer Riot Games is preparing to announce the relocation of the League of Legends 2021 World Championship from China to Europe, making a return to the other side of the world that has not hosted the Worlds championship since 2019.

Now, it’s confirmed by Riot’s John Needham that Worlds 2021 will be moved to Europe. Although, there is no exact location so far.

According to sources close to Riot Games, the move was made because Riot had problems arranging travel for production teams to China, albeit the decision was made recently. League Championship Series teams competing for a place at Worlds were still attempting to obtain permits to enter China as of Friday, league sources said.

This is the second year in a row that Worlds will be impacted by the COVID-19 pandemic. Originally, the 2021 competition was scheduled to take place in North America, but owing to the global problem, Riot decided last year to offer China the opportunity to host again with fans.

Originally, the League of Legends 2021 World Championship was intended to be a multi-city event in China, with tournament stages spread throughout Shanghai, Qingdao, Wuhan, Chengdu, and Shenzen, with the finals hosted in the latter city.

Worlds will return to Europe after a one-year hiatus. As of now, nine teams have qualified for the 2021 World Championship. DWG KIA, Gen.G, and T1 will take three of the four places representing League of Legends Champions Korea. Team Liquid, 100 Thieves, and Cloud9 will represent the LCS. The LEC’s three teams will be MAD Lions, Rogue, and Fnatic.

The last time Europe hosted Worlds was in 2019, when G2 was defeated in the grand finals by FunPlus Phoenix. This was the last international tournament to be held in front of a live audience.

Ninjas in Pyjamas Dilaporkan Segera Merger dengan Tim Tiongkok

Kejutan datang dari salah satu organisasi esports legendaris asal Swedia Ninjas in Pyjamas yang dilaporkan telah melakukan merger dengan sebuah entitas Tiongkok. Merger ini akan menghasilkan sebuah entitas baru dalam usaha mereka go-public di Amerika Serikat pada akhir tahun ini.

Ninjas in Pyjamas, atau yang sering disingkat NiP, merupakan salah satu organisasi esports terbesar dunia yang dikenal dengan tim Counter-Strike: Global Offensive-nya. Mereka dilaporkan telah teken kontrak dengan entitas Tiongkok bernama ESV5. Entitas tersebut adalah perusahaan patungan milik dua organisasi esports besar Tiongkok, eStar Gaming dan Victory Five.

Pertama dilaporkan oleh Reuters, merger ini akan menghasilkan penghasilan gabungan sebesar RMB400 miliar, atau mendekati angka Rp900 triliun. Mereka juga akan memiliki agenda untuk membentuk perusahaan publik di Amerika Serikat pada akhir tahun ini.

ESV5 adalah perusahaan patungan dari organisasi esports Tiongkok eStar Gaming (ES) dan Victory Five (V5) yang berbasis di Wuhan. KPL Wuhan merupakan home venue dari eStar Gaming sedangkan LPL Shenzhen adalah home venue milik Victory Five.

CEO Victory Five, He Youjun (kiri) saat mendapatkan Series A funding lebih dari US$14 miliar di akhir tahun 2019. Image via: Victory Five

eStar Gaming berkompetisi di LPL dari 2019-2020. Pada tahun 2020, Nenking Group, pemilik tim Liga Overwatch Guangzhou Charge, mengakuisisi waralaba eStar Gaming LPL dan berganti nama menjadi Ultra Prime (UP).

Seperti yang kita tahu, Tiongkok adalah pasar game terbesar di dunia hingga saat ini, dan rumah bagi perusahaan video game top dunia seperti Tencent dan NetEase. Negara ini memiliki 388 juta penonton esports pada akhir 2020, naik 21,3 persen dari tahun sebelumnya, menurut Niko Partners, sebuah konsultan video game.

Hingga saat ini, kedua belah pihak belum melakukan pengumuman resminya. Namun diperkirakan mereka akan segera mengumumkan merger ini dalam waktu dekat.

Niko Partners: The Growing Esports Viewership in Southeast Asia

The gaming industry in the Greater Southeast Asia region — including Southeast Asia and Taiwan — is estimated to be worth$8.3 billion USD by 2023. One of the primary driving factors behind the growth of the gaming industry at GSEA is esports. This is not a surprise considering that most gamers in Asia are also esports enthusiasts. According to data from Niko Partners, around 95% of PC gamers and 90% of mobile players in Asia are, to a certain extent, active or interested in the esports world. In a previous article, we already discussed the state of the gaming industry at GSEA in 2020. This time, we will dive deeper into the esports world in Asia, especially SEA.

The Esports Audience in Southeast Asia

According to Niko Partners’ data, the number of esports viewers in East Asia and Southeast Asia reaches 510 million people. Furthermore, around 350 million of these esports fans came from China, and the remaining 160 million are from Southeast Asia, Japan, and South Korea.

“There are approximately 100 million esports viewers throughout Southeast Asia. The number of viewers and players in each specific country, more or less, is directly proportional to the population size and internet quality in the country,” said Darang S. Candra, Director of Asia’s Gaming Market Research Company, Niko Partners. “In SEA, Indonesia has the largest number of viewers and esports players, followed by the Philippines, Vietnam, Thailand, Malaysia, and Singapore.” If you want more details regarding the statistics of the esports audience in SEA, you can refer to Niko Partner’s premium report.

The population size and internet speeds in Southeast Asian Countries.

The five countries in Southeast Asia with the largest population are Indonesia, the Philippines, Vietnam, Thailand, and Myanmar. In terms of internet speed, Singapore comes on top not only in the SEA region but also throughout the world. According to data from Speedtest, the average speed of a fixed broadband network in Singapore reaches 245.5 Mbps. As you can see in the table above, although Indonesia has the largest population, the country’s internet quality is relatively subpar when compared to the other countries in Southeast Asia.

The Philippines, by far, is the country in SEA that has racked up the most top-tier esports achievements. For instance, the Philippines managed to bring home the most medals (3 gold, 1 silver, 1 bronze medal) from the esports section at the 2019 SEA Games. As a comparison, Indonesia’s esports team only managed to win two silver medals.

The Philippines won three gold medals in three different games: Dota 2, StarCraft II, and Mobile Legends: Bang Bang. Last January, Bren Esports, a Filipino team, also won the M2 World Championship. The StarCraft II player who won the gold medal for the Philippines was Caviar “EnDerr” Acampado, a pro StarCraft II player since 2011. EnDerr is still active in the StarCraft II esports scene until this very day. In 2021, he has even won two minor tournaments called PSISTORM StarCraft League – Season 1 and Season 2. Last 2020, he also won a major Starcraft II tournament, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

The Philippines also houses many talented Dota 2 players and teams. In addition to successfully bringing home a gold medal at the 2019 SEA Games, the Philippines also has a formidable Dota 2 team called TNC Predator. Not long ago, TNC won the Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. In 2020, they also placed first in both the BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia and ESL One Thailand 2020: Asia. Furthermore, they also won the MDL Chengdu Major and ESL One Hamburg in 2019. TNC is also one of the few SEA teams that consistently made it into The International, qualifying for four consecutive years from 2016 to 2019.

TNC Predator is regarded by many to be the best Dota 2 team in SEA. | Source: IGN

Another member of the Philippines’ esports arsenal is Alexandre “AK” Laverez. He is a professional Filipino Tekken player who brought home the silver medal at the 2019 SEA Games. AK is incredibly well-known in the global Tekken esports scene since 2013. At that time, he managed to place third in the Tekken Tag Tournament 2 Global Championship despite being only 13 years old. In addition, he also won the runner-up position at the WEGL Super Fight Invitational and EVO Japan 2019.

However, Indonesian esports teams also do have their own set of accomplishments. When compared to most esports organizations in other Southeast Asian countries, the Indonesian esports team is incredibly popular. In fact, the three most popular esports teams in Southeast Asia (EVOS Esports, Aura Esports, and RRQ) are all based in Indonesia.

Esports Tournament Ecosystem in Southeast Asia

The number of esports players and viewers in a region can only grow if its ecosystem is healthy and thriving. Fortunately, the esports industry in Southeast Asia has a lot of potential. Lisa Cosmas Hanson, President of Niko Partners, even said that it is incredibly likely that SEA will become a global esports center in the future. To test this prediction, we can take a look at the number of esports tournaments held in the region.

“In 2020, there were over 350 major tournaments held in the Southeast Asian region. This figure does not even include amateur or small-scale tournaments,” said Darang.

Phoenix Force from Thailand won FFWS 2021. | Source: The Strait Times

The esports tournament prize pools in SEA are also quite large. Free Fire World Series (FFWS) 2021 is, by far, the esports tournament with the largest total prize pool in the region, reaching $2 million USD. Furthermore, this tournament broke the record for the largest viewing numbers in all of esports. During its peak, FFWS 2021 managed to accumulate viewership numbers of 5.4 million people. In comparison, the 2019 League of Legends World Championship — the previous title holder of the largest audience in an esports tournament — only had a peak of 3.9 million viewers.

Besides FFWS 2021, another esports tournament that offers a massive prize pool is the ONE Esports Singapore Major, which has a hefty $1 million USD prize pool. In 2018, another Dota 2 tournament held in SEA, the Dota 2 Kuala Lumpur Major, also had a $1 million USD prize pool.

Currently, many esports leagues in Southeast Asia implement the franchise model, which is predicted to be the trend in the future. An example of these leagues is Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). There is also a rumor that MPL Philippines will be adopting the franchise model in Season 8. The Free Fire Master League has also used a league system similar to the franchise system. Each team is required to pay a certain amount of money if they wish to participate in the FFML. Esports organizations also have the choice to include more than one team to participate in the league. This contract between esports teams and the tournament organizers usually only lasts for the duration of one season.

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Esports in China: The History, Turning Point Moment, and Future

China’s love and hate relationship with gaming and esports can be tracked all the way to the ’90s when gaming and esports are not a thing and still considered taboo at times. Today, China as a nation played a significant role in the realm of esports.

In fact, China is now recognized as the most prominent nation in the video game industry globally and the most potent challenger to the previously dominant market, the United States. They are currently the largest market by revenues, with total revenues of US$385,1 million in 2020, followed by North America, with total revenues of US$252,8 million.

In the past six months, we saw the Chinese esports industry emerging from the pandemic’s abyss to stage the year’s largest esports competition – the League of Legends World Championship – in Shanghai, as well as a US$100 million Series B investment in a Chinese esports company. But how did it all begin? Was the path to where they are now straightforward?

 

Gaming Before 2009: Massive number of negativity around the industry

Most people were unaware that before 2009, gaming and esports were viewed mainly negatively. It was often regarded as obscene, abusive, ineffective, and deficient in cultural refinement. To “protect the ideological thinking and morality of young people”, strict laws and regulations were in effect all over the place.

Censorship has been a source of contention since the 1980s when the first arcade games were introduced into the Chinese market. The general perception of gaming as a disruptive activity and a danger to addictive lifestyles prompted the development of policies in the 1990s, namely “Government Notice Strengthening the Regulation of Billiards and Video Games” by the State Administration of Radio, Film and Television of People’s Republic of China, and various other policies in the future years.

Image Credit: WIRED

Many international games were prohibited and could not be brought into China during this period, while domestic games received official warnings, forcing developers to change game material linked to the portrayal of violence and sex.

Chinese news outlets, primarily state-owned publications, stoke the fires by spreading negativity about gaming and esports. The term “gaming” is often associated with societal taboos, crime, brutality, illiteracy, and gambling.

The peak was The Lanjisu Fire accident — a 2002 internet cafe fire in Beijing that killed 25 young people — has been part of China’s collective memory. It was a watershed moment in China’s internet cafe period. The Lanjisu Fire elevated the issue of China’s internet cafes to a national level. Not only were the unhealthy conditions concerning, but so was the effect of internet cafes on China’s youth, with students spending days on end playing video games in these smoky halls, contributing to an increase in school absenteeism and internet addiction.

The accident provided an opportunity for the party-state to react to a moral outrage sparked by the media and backed up by concerned parents over the risks of internet cafes frequented by alleged teen-hooligans.

The fire prompted a massive ban on illegal internet cafes. The Beijing authorities initiated a drive to halt the construction of new internet cafes and screen all established internet cafes one by one and shutter all unlicensed enterprises and confiscate their operating tools effectively. Approximately 400,000 internet cafes were closed across the nation.

 

Moral Panic: The dark era of immoral practice

Negative public discourse on gaming in Chinese culture resulted in a state of moral panic, which Stanley Cohen defines as an exaggerated collective response to something that described as a threat to cultural values and interests.

We investigated a plethora of news stories about gaming and esports that seemed negative, especially those from 2009 or earlier. It was easy to find one thanks to Google Time Machine Feature.

These were some of the findings, which did not contain television broadcasts that citizens viewed on a regular basis. There were also a lot of questions raised on Baidu, China’s Quora-like website, about the effects and concerns of gaming addiction, which was very widespread. But the point is that gaming was seen negatively by Chinese parents.

At one point, the moral panic became so intense that Yang Yongxin, a Chinese clinical psychiatrist who advocated and practised electroconvulsive therapy (ECT) as a cure for alleged internet addiction in adolescents. He operated the Internet Addiction Treatment Center at a hospital, which has been closed since August 2016.

According to media reports, families of adolescent patients admitted to the hospital were charged CN¥5,500 (US$854) a month for therapy with a mixture of psychological drugs and ECT, nicknamed “brain-waking treatment” by Yang.

He treated 3000 children before the practice was prohibited by the Chinese Ministry of Health. Yang claimed that 96% of his patients had shown signs of improvement, a figure that was questioned by the Chinese media. Since the ban, Yang had used “low-frequency pulse therapy”, a treatment of his own devising alleged by former patients to be more painful than ECT. In 2016, the practice claimed to have treated more than 6000 adolescents.

 

The Turning Point: The Presence of Esports

2009 was a watershed moment for China, and thus likely for the rest of Asia as well. It was the year that the government softened its policies and controls by granting approval for the distribution of many games, including League of Legends and Dota 2. However, the agreement was non-Chinese developers were only allowed to distribute their games only through vendors affiliated with one of the China-based gaming publishers.

NetEase, Tencent, and Perfect World were three dominant forces in this matter. The former has the distribution rights to Minecraft, World of Warcraft, StarCraft II, Overwatch, and several other games. Meanwhile, in China, the latter is the sole distributor of Valve’s games Dota 2 and Counter-Strike: Global Offensive.

Photo collection of six city landmarks on CS:GO launch in China. Image Credit: Perfect World

This strategy aimed to improve China’s soft power by encouraging the creation of more domestic games with funds collected by vendors and gaming agency commissioning and taxation. This has aided the accelerated development of local gaming companies, strengthened societal perceptions of interest in the game industry, and significantly raised total domestic revenues by a lot.

 

Today: China’s Gaming Industry Overlap the United States, which opened up new possibilities for esports

According to Statista, in 2021, China is expected to account for 32% of all global game industry sales.

The gross sales of China’s games industry rose by 20% year on year to US$43 billion in 2020. Global game sales are forecasted to reach US$154 billion in 2021, with China accounting for US$49 billion of that total. It was also revealed that the mobile games industry had increased eightfold in six years, rising from US$4.2 billion in 2014 to US$32.4 billion in 2020.

Image Credit: Newzoo

The Future: China’s Strategic Plan for Esports in Public Sectors

No country has made this big of a commitment to the development of esports as the Chinese. The government encourages domestic esports development as a source of national pride, and unlike soccer or other common consumer sports, China dominates esports.

China’s desire to become the centre of esports can be seen in its efforts to align with and be more welcoming to esports. Regulations have been eased, and government investment and funding have also played a significant role. Even cities in China are vying to be China’s esports capital.

In eastern China’s Zhejiang Province, Hangzhou unveiled the country’s first esports town in November 2018. The Chinese government built and will oversee the plant, which spans approximately 17,000 square meters and is estimated to have cost roughly CN¥2 billion (US$310 million) to construct.

Peacekeeper Elite League 2020, which was hosted in Xi’an, China. Image Credit: VSPN

Chongqing, based in Western China, has already hosted various large-scale tournaments, including The Chongqing Major Dota 2 and StarLadder & ImbaTV Invitational Chongqing CS:GO 2018. The number of events organized in these cities is expected to increase after the pandemic.

Meanwhile, Shanghai has planned to open The Shanghai International New Cultural and Creative Esports Center, which would cost CN¥5,8 billion (US$900 million) and cover an area of 500,000 square meters. It is intended to serve as a centre for esports teams and businesses and will have a hotel.

 

The Future: Private Sector Go Hand in Hand with The Government

Besides the public sector, China has urged domestic technology behemoths, most prominently Tencent and Alibaba, to increase their funding and investment in gaming and esports.

Tencent, China’s most valuable gaming company, operates a number of game studios, including Riot Games, creators of League of Legends, VALORANT, and stakes in Activision Blizzard Ubisoft, Supercell, and many others.

Tencent Establishes a Tencent Esports Technology Union together with Intel, Qualcomm, Nvidia, China Union, Tencent Cloud, Razer, and Yesee Tech. Image Credit: Tencent

Additionally, the growth has expanded to the root, as Chinese universities have launched esports modules and majors to regenerate more esports players in the future. Peking University and Communication University of China are some of the prominent educational institutions that have introduced esports programs.

 

Closing: China’s Circle of Success in Esports

With China’s strength and the funding of both the public and private sectors, it will not be long before China achieves its goal of being the center of esports. 2020 has already shown to be a spark for established phenomena and esports in China can only continue to grow and spread through all sectors in the midst of a global pandemic.

Every week, large tournaments are held, brands want to be a part of it, youth interest in esports is higher than ever, and governmental support would back them all up to continue esports’ smooth and ever-growing trajectory in this country. This circle represents China’s greatest strength in achieving its ambition in esports in the coming years.

Feat Image Credit: ESL

Laporan KrASIA: Perkembangan Industri Vaksin di Tiongkok

Dengan berbagai kekacauan yang disebabkan karena Covid-19, harapan baru mulai muncul dengan mulai didistribusikannya vaksin ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Sejauh ini beberapa negara sudah meneliti dan mengambangkan vaksin yang didistribusikan tersebut, salah satunya Tiongkok dengan produknya seperti Sinovac dan Sinopharm.

Untuk memberikan gambaran tentang kondisi industri vaksin di Tiongkok, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “The Vaccine Industry”. Di dalamnya berisi lima bahasan utama, sebagai berikut:

  • Pasokan dan permintaan industri vaksin.
  • Kesenjangan antara pengembangan industri vaksin di Tiongkok dan seluruh dunia.
  • Tantangan di Tiongkok.
  • Startup vaksin yang muncul dan sub-vertikal yang menjanjikan di Tiongkok pasca-pandemi.
  • Prospek makro untuk tren yang membentuk masa depan bisnis vaksin global.

Hasil riset ini menjadi menarik untuk disimak, karena berdasarkan tren yang ditangkap, industri vaksin di Tiongkok akan melalui periode perkembangan pesat dalam waktu dekat. Ada beberapa faktor yang mendukung, di antaranya kebijakan domestik dan investasi.

Untuk ulasan selengkapnya, unduh laporannya melalui tautan berikut ini: The Vaccine Industry in China.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

Laporan KrASIA: Mendalami Peran Startup Unicorn di Pasar Tiongkok

Tidak dimungkiri, unicorn menjadi salah satu pendorong utama bisnis digital di banyak negara. Dampaknya mampu menggerakkan banyak sektor riil, melibatkan pengguna atau mitra dari berbagai kalangan.

Berbicara tentang bisnis digital global, perkembangan di Tiongkok sering dijadikan salah satu kiblat oleh pelaku industri. Pendekatan bisnis dan inovasi yang digulirkan banyak dijadikan percontohan oleh berbagai startup di negara lain.

Guna melihat sejauh mana perkembangan ekosistem digital yang terbentuk, KrASIA merilis sebuah laporan bertajuk “China Market Intel: A deep dive into China’s Top 100 Unicorns”. Menurut data yang dirangkum, saat ini sekurangnya ada 586 unicorn yang tersebar di 29 negara, kemudian 34,8% di antaranya dari Tiongkok.

Laporan tersebut secara spesifik mengulas tentang beberapa studi kasus unicorn yang paling signifikan, masuk ke dalam top 100 unicorn global, meliputi:

  1. ByteDance
  2. DiDi Chuxing
  3. Yuanfudao
  4. SenseTime
  5. Perfect Diary

Di dalamnya turut dibahas tentang aspek-aspek kekuatan bisnis, perjalanan bisnis, model bisnis, investor, hingga pemimpin bisnis yang terlibat mendukung. Selengkapnya, unduh laporan tersebut melalui tautan berikut ini: China Market Intel.

Disclosure: KrASIA bekerja sama dengan DS/innovate untuk mendistribusikan laporan ini.

CGA dan 5EPlay akan Menghelat Turnamen CS:GO FunSpark ULTI 2020 di Tiongkok

Baru-baru ini 2 esports organizer asal negeri tirai bambu mengumumkan kerja sama dan akan menghelat turnamen CS:GO berskala global bertajuk FunSpark ULTI 2020. CGA dan 5eplay adalah dua esports organizer kenamaan yang sudah berpengalaman menjalankan turnamen CS:GO berskala besar di region Tiongkok.

FunSpark ULTI 2020 akan menjadi salah satu proyek ambisius Tiongkok dan  membuka diri kembali bagi kompetisi CS:GO berskala global. Adapun gelaran turnamen FunSpark ULTI 2020 akan menawarkan hadiah sebesar 300.000 Dolar Amerika.

Sekalipun direncanakan akan dihelat secara offline di tanggal 1-6 Desember tahun ini, kemungkinan besar gelaran turnamen akan mengalami pernundaan ke awal tahun 2021. Berdasarkan arahan dari otoritas pemerintah Tiongkok, segala bentuk turnamen olahraga, termasuk juga esports yang dijadwalkan sampai akhir tahun 2020 terancam diundur atau harus dibatalkan. Kemungkinan besar akan ada pergantian format turnamen dan pertandingan akan dilangsungkan secara online sepenuhnya.

via: HLTV
via: HLTV

Perwakilan CGA memberikan pernyataannya kepada HLTV “kami akan melangsungkan event LAN kembali jika Tiongkok sudah aman dan bisa kedatangan pemain dari luar negeri.”

Babak utama turnamen FunSpark ULTI 2020 akan terdiri dari 8 slot. Dari 4 tim yang akan mendapatkan direct invitation, tim FURIA asal Brazil dan tim TYLOO dari Tiongkok adalah 2 tim pertama yang dikonfirmasi menerima direct invite.

Secara berturut-turut closed qualifier di region Amerika dan Asia akan saling memperebutkan hanya 1 slot dari masing-masing region. Hanya closed qualifier di region Eropa saja yang bisa mengirimkan 2 tim. Nantinya masih akan menyusul 2 tim lagi yang akan diumumkan mendapatkan direct invitation.

Berikut adalah daftar tim region Asia yang akan berlaga di fase closed qualifier FunSpark ULTI 2020:

BTRG
Invictus
Beyond
D13
Zero.TSG
Bren
HZ
Mazaalai
JiJieHao
TIGER
OneThree
JMT
Lynn Vision
ViCi
Open qualifier

Berdasarkan daftar tim di atas, masih bisa kita saksikan permainan dari pro player CS:GO Indonesia yang tersebar di beberapa tim di region Asia. Tercatat sampai saat ini ada Kevin “xccurate” Susanto dan Kevin “Eeyore” Gunawan yang bermain di bawah bendera tim BTRG. Tidak lupa juga akan pro player berbakat Jason “f0rsakeN Susanto dari tim JMT yang namanya baru terdengar di skena CS:GO Asia.

 

Meneropong Sepak Terjang Investor Tiongkok untuk Indonesia dan ASEAN

Tiongkok tidak hanya jadi negara ekonomi terkuat kedua di dunia, kini mereka juga menjadi pemimpin perlombaan inovasi teknologi di berbagai aspek lewat perusahaan-perusahaan internet raksasanya.

Padahal dulu negara Tirai Bambu ini dijuluki negara peniru karena menciptakan produk kloning perusahaan-perusahaan di negara Barat. Anggapan tersebut kini sudah kuno, malah trennya sekarang terbalik.

Dalam laporan yang dibuat South China Morning Post bertajuk China Internet Report 2019, contoh yang paling mudah adalah bagaimana Tiongkok mempelopori model super app. Keberhasilannya berhasil menarik pengembang lokal di negara lain untuk mengikuti, seperti Gojek, Line, Facebook, hingga Uber.

Tiongkok juga memimpin untuk social commerce dan video pendek. Pelopornya adalah ByteDance. Aplikasi kelolaannya, TikTok, berhasil menggeser Facebook di Amerika Serikat dengan jumlah unduhan tertinggi.

Penetrasi Tiongkok di Asia Tenggara

Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), di ASEAN dengan estimasi total populasi 651 juta, rata-rata pendapatan per kapita sekitar $4.600 pada 2018. Angka tersebut setara dengan pendapatan riil Tiongkok pada 2007, mewakili kesenjangan 11 tahun antara kedua negara.

Ada kondisi dan situasi yang membuat kebiasaan orang Indonesia dan negara ASEAN lainnya kurang lebih mirip dengan Tiongkok. Contoh terdekat adalah pertumbuhan penetrasi internet dan smartphone yang masif.

Profesor Nanyang Business Boh Wai Fong menjelaskan, Tiongkok sukses karena ekonomi digital yang dilahirkan lewat aplikasi untuk smartphone. Masyarakat Tiongkok bereaksi dengan sangat positif terhadap itu, misalnya menggunakan smartphone-nya untuk belanja online.

“Orang-orang [investor] mengharapkan tren yang sama berlaku di Asia Tenggara,” ucapnya dikutip dari South China Morning Post.

Laporan e-Conomy SEA 2019 menunjukkan 90% populasi di ASEAN menggunakan smartphone untuk belanja online. Padahal hampir satu dekade yang lalu, rasionya ada hanya satu dari lima orang yang bisa mengakses internet.

Diprediksi pula ekonomi digital akan tembus ke angka $300 miliar pada 2025. Artinya ASEAN adalah peluang pasar baru dengan pertumbuhan PDB yang kuat dan faktor makro yang tepat.

Pertimbangan tersebut menawarkan investor Tiongkok sebuah keyakinan baru bahwa mereka dapat membawa pengalaman dan model bisnis ala Tiongkok yang bisa direplikasi.

Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia
Daftar VC teraktif di ASEAN sepanjang Januari-Juli 2019 / DealStreetAsia

Dikutip dari Financial Times, nominal investasi dari VC Tiongkok di ASEAN naik lebih dari empat kali lipat menjadi $667 juta pada semester pertama tahun ini, dari sebelumnya $148 juta pada periode yang sama di 2018. Secara keseluruhan total investasi startup di ASEAN mencapai $3,4 miliar, naik 300 persen untuk periode yang sama.

Sebaliknya, investasi dari VC lokal untuk startup Tiongkok pada periode yang sama nominalnya jatuh hingga 60%, menjadi $9 miliar.

Dua VC terbesarnya, Qiming Ventures dan GGV Capital, telah membuat kantor perwakilan di Singapura. Keduanya merupakan investor awal untuk Alibaba, Xiaomi, dan Meituan-Dianping. Bila digabung keduanya sudah mengelola dana sebesar $10,2 miliar.

Larinya investor Tiongkok ke ASEAN, didukung oleh banyak faktor. Dari dalam negara itu sendiri, pertumbuhan ekonomi digitalnya melambat karena sudah mencapai titik dewasa.

Menurut Qiming Venture Partners, investasi di startup Tiongkok yang bergerak di telekomunikasi, media, dan teknologi sudah terlalu mahal harga sahamnya. Makanya mereka lari ke startup dengan segmen sejenis di ASEAN.

Dua perusahaan internet raksasa Tiongkok, Tencent dan Alibaba, sudah melakukannya secara tekun lewat aktivitas in-house M&A selama bertahun-tahun untuk mencetak unicorn berikutnya.

Lambang Alibaba Group / DailySocial
Lambang Alibaba Group / DailySocial

Pihak Tencent memaparkan portofolionya ada lebih dari 700 perusahaan. Sementara kompetitornya, Alibaba sekitar 350 perusahaan. Portofolio mereka yang terbukti menjadi unicorn Indonesia adalah Gojek dan Tokopedia.

“Jika Anda melihat orang Tiongkok, mereka tidak puas hanya menjadi orang nomor satu di sana. Alibaba dan Tencent, mereka semua berkembang (ke kawasan lain),” ujar Managing Partner Gobi Southeast Asia Kay-Mok Ku.

Di sisi lain, perusahaan unicorn di sana sedang dalam masa suram, investasi yang menarik senilai lebih dari $100 juta jauh lebih sedikit pada paruh pertama tahun ini. Penyebabnya karena valuasi dari IPO yang merosot dan sentimen pasar yang buruk.

Perlambatan ini dirasakan oleh perusahaan late stage dengan model bisnis yang terbukti, mencapai titik impas (break-even) dan bisa IPO. Investor khawatir ketika IPO, imbal hasil yang didapat tidak seperti yang diharapkan. Beberapa contohnya terjadi di Tiongkok.

Oleh karenanya, para investor tersebut jauh lebih hati-hati ketika ingin berinvestasi ke perusahaan baru.

Masuknya masa “Winter is Coming” ini tak lain karena dampak perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat. Akhirnya memengaruhi investor untuk pesimis terhadap outlook perusahaan Tiongkok dan semakin meyakini untuk masuk ke negara yang aman investasi.

Asia Tenggara adalah pemberhentian pertama

Kay-Mok Ku melanjutkan, ada tiga jenis investor Tiongkok. Pertama, perusahaan raksasa teknologi yang sudah punya arm CVC sendiri. Kedua, perusahaan kapitalis ventura dengan mitra Asia Tenggara. Terakhir, mantan karyawan raksasa teknologi yang mendirikan VC mereka sendiri.

“Mereka semua melihat ‘gambaran lebih besar’ dan pindah ke pasar negara berkembang ‘adalah jalur terlogis’ untuk sekarang,” kata Ku.

Menurutnya, ASEAN adalah pemberhentian pertama karena investor akan menyasar negara potensial lainnya seperti Timur Tengah dan Afrika. Bahkan ke negara berkembang lainnya, India.

Ant Financial, misalnya, baru-baru ini membuka fund khusus sebesar $1 miliar untuk mendanai startup di ASEAN dan India.

Masuknya mereka ke ASEAN adalah bentuk mitigasi risiko. Di Tiongkok, startup yang dianggap mature, adalah e-commerce, ride hailing, dan p2p lending. Oleh karenanya, pola investasinya ketika masuk ke ASEAN kurang lebih akan mirip bahwa investor Tiongkok lebih tertarik pada segmen yang consumer oriented.

“Jika kamu memosisikan diri sebagai orang Tiongkok yang buat startup di ASEAN, ada model referensinya, lebih mudah (bagi investor Tiongkok) untuk memahaminya.”

Beda dengan preferensi startup yang dicari investor dari negara barat. Mereka lebih mencari startup yang fokus pada deep tech, inovasi rekayasa teknologi tinggi yang membutuhkan waktu riset dan pengembangan yang panjang.

Perbedaan preferensi ini, menandakan bahwa tidak persaingan langsung antara kedua investor tersebut. Bisa dikatakan, investor barat hanya kehilangan kesempatan emas saja.

Kemiripan Indonesia dengan Tiongkok

Kesamaan yang lekat antara Indonesia dengan Tiongkok adalah serumpun, sama-sama terletak di Asia. Kedekatan lokasi secara geografis, menjadi keuntungan terpenting buat Indonesia ketika dianugerahi sebagai 10 tahun lalunya Tiongkok. Tapi bisa bukan itu yang dipikirkan buat negara dengan ekonomi terbesar kedua tersebut.

Secara historis kedua negara punya hubungan diplomatik sejak awal terbentuknya Tiongkok. Sempat naik turun, tapi menguat sejak kepemimpinan Joko Widodo pada periode pertama hingga sekarang.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Arah pemerintahan Presiden Jokowi sedari awal adalah mengubah orientasi perekonomian ke arah digital, persis seperti apa yang dilakukan Tiongkok. Berbagai literatur yang memantapkan visi Jokowi semakin sering bermunculan. Investor Tiongkok pun ramai-ramai muncul dengan segudang pundi-pundi yang siap disalurkan buat startup.

Namun, menurut Financial Times, kedatangan mereka sedikit lebih telat karena investor lokal lebih dahulu catch up dengan prospek dalam negeri. Contohnya adalah Alpha JWC Ventures dengan Funding Societies (induk Modalku) dan OnlinePajak.

Pada 2015, saat kedua founder-nya masih sekolah di Harvard Business School, Alpha JWC mendanai Funding Societies pada tahap awal dengan nominal $1 juta. SoftBank baru masuk saat startup tersebut menggalang putaran Seri B. Kondisi yang sama juga terjadi untuk OnlinePajak yang akhirnya menarik Sequoia dan Warburg Pincus untuk berinvestasi.

Kondisi di atas kontras dengan yang terjadi di India. Di sana hampir tiap startup di-backing investor Amerika Serikat atau Tiongkok.

Jejak rekam investasi dari Tiongkok terbesar adalah lewat Alibaba yang berinvestasi ke Tokopedia pada 2017. Investasi itu mengantarkan Tokopedia sebagai unicorn, menyusul Gojek pada tahun yang sama.

Kemiripan lainnya juga bisa dilihat dari fase pergerakan startup pun juga mirip seperti yang diterangkan sebelumnya oleh Kay-Mok Ku. Tak heran, bila unicorn yang lahir di Indonesia berasal dari segmen yang paling familiar di mata investor Tiongkok.

Tren tahun depan melihat pola dari Tiongkok

Masih dikutip dari China Internet Report 2019, laporan ini juga menyoroti ambisi Tiongkok untuk memimpin jaringan teknologi 5G. Tercatat negara ini mengantongi paling banyak paten 5G, proyek percontohan 5G di 50 kota dengan populasi 167 juta.

Di samping itu, Tiongkok ingin menjadi negara terdepan untuk tiga sektor teknologi, fintech, AI, dan blockchain. Tren tersebut punya korelasi erat dengan kondisi di Indonesia.

Di sini, perkembangan fintech mulai menyebar ke vertikal berikutnya, tidak hanya terpaku di pembayaran dan lending saja. Mulai menyebar ke insurtech, wealth management, credit scoring, bahkan mulai menyeruak digital banking. Bisa dipastikan fintech tetap akan tetap menjadi topik menarik.

Sementara di Tiongkok, para incumbent, Alipay dan WeChat Pay, terus mengembangkan inovasinya dan memperluas kehadirannya di kancah internasional untuk melayani masyarakatnya saat melancong. Indonesia kebagian jatah konsentrasi, bank BUKU IV ramai-ramai gaet kedua pemain ini agar dapat melayani para turis Tiongkok.

Pun demikian untuk AI, perkembangan produk dari para pemain startupnya (seperti Qlue, Nodeflux, Kata.ai, Bahasa.ai, Snapcart) makin berkembang, berkolaborasi dengan lintas sektor industri. Fungsi AI kini makin disadari bahwa adopsi AI dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas manusia dalam menganalisis suatu arah bisnis dengan lebih baik lewat kolaborasi bersama mesin.

Sebagai selingan, Tiongkok bisa berkembang pesat karena kombinasi dari tiga faktor, yaitu populasi masyarakat ekonomi menengah ke atas yang berkembang pesat, kemampuan teknologi canggih, dan dukungan pemerintah yang kuat. Didukung pula dengan penetrasi internet dan smartphone yang tinggi.

Faktor di atas tidak sepenuhnya ada di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Oleh karena itu, kembali ke premis awal: Tren di Tiongkok tidak bisa 100% direplikasi di Asia Tenggara. Alasannya singkat: ada perbedaan kebiasaan masyarakat.

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Sama halnya ketika Uber atau perusahaan teknologi asal Amerika Serikat yang hendak masuk ke Tiongkok, tapi ujung-ujungnya harus menelan ludah karena banyak sisi yang sulit ditembus.

Mari tengok startup yang menyentuh unsur grassroot, yakni agritech, healthtech, dan edtech. Banyak yang meyakini ketiganya akan semakin bersinar sebab faktor pemicunya datang dari agenda pemerintah Indonesia itu sendiri yang ingin fokus ke sektor tersebut.

Pemilihan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Andi Taufan (CEO Amartha) dan Belva Devara (CEO Ruangguru) sebagai Staf Khusus Presiden, punya kaitan dengan itu semua.

Di agritech misalnya, membandingkan Tanihub dengan Meicai. Keduanya sama-sama menghubungkan petani dengan pembeli B2B, tapi kondisi di Indonesia masih berbeda saat dihadapi dengan transaksi pembayaran.

Petani di sini masih lebih suka menerima uang tunai untuk mengurangi waktu yang dihabiskan jika harus ke bank. Dalam suatu diskusi, Co-Founder dan Presiden TaniHub Pamitra Wineka mengamini bahwa kunci yang membuat Meicai bisa tumbuh karena sistem pembayaran digital yang efisien dan terintegrasi.

Dia percaya kondisi di Indonesia akan berubah ke depannya ketika ekosistem pembayaran digital sudah makin matang dan e-wallet sudah masuk ke pedesaan.

Indonesia masih tetap bergantung investor luar

Sumber : Pixabay
Sumber : Pixabay

Replikasi solusi di ranah grassroot antara Tiongkok dan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Lalu pertanyaan berikutnya apakah investor Tiongkok masih punya ruang untuk membesarkan gurita bisnisnya? Tentu masih ada.

Indonesia mengalami kekurangan investasi dari dalam negeri. Pemerintah berupaya mendorong investor luar untuk masuk, makanya menempatkan tugas tersebut ke kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.

Tanggapan Pendiri Lippo Group Mochtar Riady terkait strategi bakar uang yang dilakukan Ovo menjadi sorotan yang menarik. Bagaimana persepsi bangun perusahaan cara lama masih begitu melekat di Indonesia.

Agar perusahaan dapat berjalan secara berkelanjutan itu memang harus punya fondasi yang kuat agar kuat ditahan berbagai goncangan. Namun, di era teknologi cara itu kurang sejalan, yang ditekankan dalam mindset yang baru adalah mengejar pertumbuhan, lalu profitabilitas.

Selama bakar duit dengan penuh perhitungan bagaimana outcome yang ingin didapat, tentu tidak akan jadi masalah untuk menuju profitibilitas. Investor luar dengan mindset yang terbuka, bisa membantu itu.

Kesalahan yang dilakukan SoftBank dan WeWork seharusnya jadi tamparan serius untuk tidak sembarang investasi saja. Terlebih, lesunya kondisi investasi dalam negeri di Tiongkok, sekaligus sebagai tambahan catatan agar tidak melakukan kesalahan yang sama.

Berbagai kondisi ini menjadi pertanda baik, buat Indonesia dan ASEAN karena akan lebih sedikit permainan momentum. Penilaian startup di sini akan lebih realistis dan founder akan lebih membumi dan fokus pada produk yang baik.

Partners with WeWork and Softbank Telecom China, Alibaba Cloud Is to Help Business Expansion in China

Starts from the previous collaboration, Alibaba Cloud, WeWork and Softbank Telecom China, form a strategic partnership to help more companies and startups from various countries to expand business in China. This program is to complete the “China Gateway” project first initiated by Alibaba Cloud.

Through the launch of this strategic partnership, either WeWork, or Softbank, can support business from SME to corporate using Alicloud technology and infrastructure, WeWork office space and network community, also business consulting with Softbank Telecom China.

At the Alibaba Cloud Summit in Singapore some times ago, Alibaba Group’s Vice President and Alibaba Cloud Intelligence’s General Manager of Strategy & Marketing, Lancelot Guo confirmed, this program aims to empower global companies in creating and expanding business opportunity amidst the growing market in China.

“This is the first time there is an opportunity for business players focusing on the Chinese market to take advantage of local talents, vertical experience, and innovation from the three most visionary companies in the world in one package. Together we make a commitment to support global companies to connect with customers in China,” he said.

For interested businessmen, the registration is available on the website, and the online consulting session is open. If the preparation has completed and the product’s ready, with a relevant target market, the next step can be accessed directly in China.

In addition to the regulars, those in this program can also get special offers, such as technology training, marketing, discount for Alibaba Cloud products and services, including business registration, travel booking on WeWork Service Store.

Support all businesses and global companies

Being mentioned about the ideal company or startup to attract China’s population, Guo said there’s no specific category for those in using this program’s facilities. All businesses ready and confident enough to expand to China are welcome.

WeWork selected as Alibaba Cloud’s partner is considered a benefit for startups and the company. They’ve been operated in China since 2016 and currently, they have some branches all around the country. It’s claimed that they know better on what culture and approach to apply should you plan to develop business in China.

“The partnership is very significant for WeWork because we’ve been through so much in building and scaling up the business in China. We started in 2016 and have to adopt a local approach to run business in the unique market,” WeWork Asia’s Vice Chairman, Christian Lee said.

The regulation and relation issues related to the regulator should also be noticed by those who want to expand to China. Therefore, if necessary, Aircloud also offer consulting session and specific information regarding legal terms and regulation to obey should you plan to expand business to China.

“Using Alibaba Cloud’s innovative technology and Alibaba ecosystem’s support, we should capable to solve the problem faced by multinational companies to enter and develop in China, support them to discover various opportunities in the market and stand competitive,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian