Platform Manajemen Jejak Karbon Jejakin Dikabarkan Tutup Pendanaan Awal

Startup climate-tech Jejakin dikabarkan telah membukukan pendanaan awal (seed). Menurut data yang telah disetorkan ke regulator, seperti dikutip dari Alternative.pe, nilainya mencapai $2,7 juta atau setara 43,7 miliar Rupiah. Sejumlah investor berpartisipasi di putaran ini, termasuk ITM Group, Indogen Capital, Asia Ventura, Aurum Ventures, SMDV, East Ventures, dan sejumlah perusahaan lokal.

Jejakin telah berdiri sejak tahun 2018, dinakhodai sejumlah co-founder meliputi Arfan Arlanda (CEO), Sudono Salim (Chief Growth), Andreas Djingga (COO), dan Haris Iskandar (Chief Sustainability & Climate Change).

Layanan utama Jejakin adalah platform manajemen karbon. Mereka memiliki tiga produk utama, CarbonIQ sebagai platform penghitungan dan pengelolaan emisi karbon memudahkan pengumpulan data yang diperlukan untuk perjalanan net-zero perusahaan.

CarbonAtlas, sistem pemantauan yang memberi data menyeluruh tentang pengukuran dampak dan analisis lingkungan dari proyek. Dan CarbonSpace, sebuah platform marketplace yang memungkinkan pengguna memilih proyek reboisasi dan karbon terbaik lainnya dari mitra Jejakin.

Di pengujung tahun 2023, Jejakin juga telah menjadi Certified B Corporation™️ untuk mempercepat upaya dekarbonisasi.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030, sebagaimana dinyatakan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Perjanjian Paris. Atas dasar ini, pemerintah juga mendorong sektor swasta berpartisipasi aktif – sehingga memaksa setiap perusahaan untuk melakukan pengukuran dan efisiensi jejak karbon.

Ini menjadi kesempatan bagi Jejakin dan pemain serupa untuk menghadirkan solusi – terlebih dengan memanfaatkan teknologi, prosesnya bisa menjadi lebih cepat dan terukur. Selain Jejakin, di Indonesia sudah ada beberapa pemain serupa, misalnya Fairatmos, Envmission, dan beberapa lainnya.

Faritamos sendiri pada akhir 2022 mengumumkan pendanaan $4,5 juta dipimpin Go-Ventures dan anak usaha Toba Bara Sejahtera, didukung Vertex Ventures dan sejumlah angel investor.

WasteX Kantongi Pendanaan Rp7 Miliar dari P4G Partnerships

Startup climate tech WasteX mengantongi pendanaan sebesar $450 ribu (sekitar Rp7,1 miliar) dari P4G Partnerships, inisiatif yang berfokus pada solusi mitigasi dan adaptasi iklim di sektor pangan, air, dan energi.

Pendanaan ini akan digunakan untuk mengembangkan dan mengoperasikan fasilitas produksi biochar di berbagai lokasi strategis di Indonesia melalui Kemitraan WasteX-Bina Tani pada fasilitas pengolahan padi, jagung, kayu, serta peternakan ayam. Sementara, mitranya akan memasok biomassa (limbah organik) yang akan digunakan sebagai bahan baku produksi biochar.

WasteX baru memiliki dua fasilitas produksi biochar, yakni berlokasi di Tarlac, Filipina (2023), dan Pasuruan, Indonesia (2024). Saat ini, WasteX sedang memproduksi carbonizer untuk berbagai klien lokal dan internasional.

Founder dan CEO WasteX Pawel Kuznicki mengatakan, “Ini adalah pendanaan katalitik paling efektif yang ada, mengingat P4G tidak hanya menyediakan modal cukup untuk startup climate tech, tetapi juga mendukung penuh penerima funding untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan nasional dan pengembangan pasar. Tujuannya adalah mendorong kondisi pasar dan regulasi yang mendukung pertumbuhan dan adopsi inovasi.”

WasteX merupakan portofolio pertama Wavemaker Impact (WMi), venture builder yang fokus pada solusi berdampak milik Wavemaker Partners. WasteX kini beroperasi di Indonesia dan Filipina. Misinya adalah mendukung petani memanfaatkan limbah pertanian menjadi produk bernilai tambah (biochar), meningkatkan pendapatan, dan mengurangi emisi karbon.

Solusi penggunaan biochar / WasteX

Penggunaan biochar diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada pupuk yang harganya tengah meroket di tengah kondisi menurunnya hasil panen. Biochar diyakini dapat membantu tanaman tumbuh lebih subur dan kuat.

Adapun, WasteX mengembangkan solusi untuk memudahkan penggunaan biochar di dunia pertanian dengan memanfaatkan carbonizer, aplikasi mobile, hingga insentif kredit karbon untuk petani. Teknologi yang dikembangkan WasteX bertumpu pada mesin carbonizer semi-otomatis skala kecil yang dilengkapi dengan burner berbahan bakar ganda.

Pihaknya menyebut telah melakukan percobaan penggunaan biochar pada tanaman jagung. Klaimnya, biochar telah meningkatkan hasil panen sebesar 95% dan mengurangi penggunaan pupuk hingga 50% dibandingkan tanpa pemakaian biochar. Pada percobaan tanaman padi, pihaknya mengklaim telah meningkatkan hasil panen sebesar 38% dan penggunaan pupuk 25%-50%.

“Perusahaan skala kecil dan menengah adalah mesin pertumbuhan perekonomian yang butuh modal katalitik untuk mengatasi risiko kegagalan bisnis/kebangkrutan. Kami berkomitmen mendukung bisnis seperti WasteX yang memberikan dampak positif jangka panjang bagi petani kecil dan berkontribusi dalam peningkatan ketahanan pangan dan pengurangan emisi karbon,” ujar Robyn McGuckin, Executive Director P4G dalam keterangan resminya.

East Ventures dan Kadin Indonesia Luncurkan “ECOVISEA”, Bantu Bisnis Hitung Emisi Gas Rumah Kaca

East Ventures dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), hari ini (06/2) resmi meluncurkan portal ECOVISEA, yang merupakan singkatan dari Emission Calculator & Visualization Southeast Asia (Kalkulator Emisi & Visualisasi Asia Tenggara).

ECOVISEA adalah platform kalkulator emisi gas rumah kaca (GRK) global berbasis web dan dapat digunakan secara gratis oleh perusahaan untuk menghitung dan mengukur dampak lingkungannya. Dalam pengembangan layanan ini, turut menggandeng WRI Indonesia sebagai knowledge partner dan Climatiq sebagai penyedia data faktor emisi berstandar global.

“Keberlanjutan telah menjadi bagian dari DNA East Ventures sejak awal berdiri. Kami senang bisa memperkenalkan ECOVISEA, alat penghitung (kalkulator) GRK berbasis web dan gratis yang dirancang untuk bisnis dan UMKM di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Diluncurkan sebagai hasil kolaborasi nyata dengan KADIN Indonesia dan WRI Indonesia, ECOVISEA merupakan bukti upaya kolaboratif dalam memanfaatkan teknologi digital, keahlian spesifik industri, dan wawasan lapangan,” ujar Partner East Ventures Avina Sugiarto.

Avina melanjutkan, “Platform inovatif ini menyederhanakan proses perhitungan karbon yang sebelumnya dilakukan secara manual sekaligus memberdayakan dunia usaha untuk mendapatkan visualisasi sumber emisi GRK mereka. Para pengguna pada akhirnya dapat mengidentifikasi strategi pengurangan emisi dengan lebih baik. Bersama-sama, kami bersemangat untuk membuka jalan menuju masa depan yang berkelanjutan, memanfaatkan kekuatan teknologi, dan secara aktif berkontribusi terhadap visi net zero yang dicanangkan pemerintah.”

Diketahui, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil emisi terbesar dengan kontribusi ~1,48 GtCO2e (gigaton karbon dioksida ekuivalen) terhadap emisi GRK setiap tahunnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya ekstra untuk memastikan kemajuan progresif dalam mencapai target Perjanjian Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050.

Penghitungan emisi oleh perusahaan terkait dampak lingkungan yang dihasilkan menjadi langkah krusial dan mendasar. Dengan melakukan hal tersebut, mereka dapat mengurangi dampak lingkungan atau membuat keputusan yang tepat untuk mencapai target keberlanjutan. Meskipun penghitungan emisi GRK bersifat krusial, banyak perusahaan di Indonesia, mulai dari usaha besar, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga startup, belum menghitung jejak karbonnya. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pengetahuan dan keahlian dalam menghitung emisi GRK.

“Inisiatif ini mencerminkan komitmen kami melalui Kadin Net Zero Hub untuk membantu perusahaan-perusahaan nasional dalam transisi menuju Net Zero Company. ECOVISEA merupakan platform yang esensial bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mengukur dan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Kami yakin bahwa ECOVISEA akan memainkan peran penting dalam memungkinkan perusahaan-perusahaan nasional secara kolektif mencapai target pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai Emisi Nol Bersih pada tahun 2060,” sambut Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta W. Kamdani.

Cara kerja ECOVISEA

ECOVISEA dirancang untuk menghitung emisi yang dihasilkan perusahaan berdasarkan tiga cakupan berikut:

  • Emisi langsung dari sumber yang dimiliki atau dikuasai perusahaan, seperti pembakaran stasioner, emisi fugitive, pembakaran bergerak, emisi proses, dll.
  • Emisi tidak langsung dari pembangkitan energi yang dibeli, seperti pembelian listrik, panas atau uap, dll.
  • Semua emisi tidak langsung lainnya dari rantai nilai perusahaan, baik dari rantai nilai hulu maupun hilir.

Dua faktor emisi di atas disediakan Climatiq, mesin penghitung karbon berstandar global dan mematuhi GHG Protocol dan ISO 14067. Untuk versi saat ini, ECOVISEA dapat mendukung para perusahaan dalam menghitung cakupan 1, 2, dan beberapa bagian dari cakupan 3. Versi lengkap akan diluncurkan pada paruh pertama tahun 2024.

ECOVISEA didesain untuk memprioritaskan kebijakan privasi data perusahaan yang diunggah ke dalam platform ini; hanya akan digunakan untuk menghitung emisi GRK perusahaan. Platform ini akan menyimpan data yang diunggah pengguna secara sementara untuk pembuatan dasbor sebagai hasil penghitungan emisi GRK perusahaan.

“Kami percaya bahwa demokratisasi pengetahuan tentang penghitungan emisi yang akurat dapat memberikan kontribusi yang signifikan  terhadap upaya dekarbonisasi industri di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyederhanakan proses input data guna membantu perusahaan mengatasi tantangan dalam memperkirakan emisi mereka secara tepat karena penyajian data dan prosedur entri data sering kali rumit,” ujar Country Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi.

Investor dan Startup “Climate Tech” Bicara Tantangan Industri

Dalam beberapa tahun terakhir, solusi di ranah hijau yang digarap oleh perusahaan rintisan terus berkembang. Terlepas tingginya investasi VC mengalir, sektor climate tech masih terbilang baru.

Founder mungkin masih terbentur isu pendanaan dan bagaimana menyeimbangkan dampak yang dihasilkan sembari menjalankan bisnis. Sementara, VC mungkin perlu mencari cara untuk memahami penilaian investasinya.

Dalam sesi “Opportunities in climate tech investing: Bridging gap between ambition and action” terungkap bagaimana startup Arkadiah, serta East Ventures dan British International Investment menghadapi isu-isu di atas.

Memanfaatkan pendanaan campuran

Panel diskusi Indonesia PE-VC Summit 2024 terkait investasi “climate tech” / DealStreetAsia

Co-Founder & CEO Arkadiah Reuben Lai menyebut, jika tidak punya bisnis yang solid, semua yang dikerjakan selama ini akan jadi sekadar amal. Dalam perjalanan membangun bisnisnya, ia menemukan sumber pendanaan yang menjadi tantangan signifikan alih-alih bicara pengembangan teknologi baru. Justru pendanaan ini diperlukan agar startup dapat meningkatkan skalanya.

Sekadar informasi, Arkadiah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menghidupkan kembali lahan terdegradasi untuk mengatasi isu penggundulan hutan.

Ia mengakui pendanaan eksternal dan opsi blended finance sangat diperlukan. Tidak ada satu formula yang pakem untuk memanfaatkan keduanya. Maka itu, ia memakai dua pendekatan saat mencari investor, yakni segmen korporat dan segmen yang fokus pada proyek tertentu.

Ia mencontohkan investor berdampak fokus pada dampak lingkungan, sedangkan investor lain fokus pada imbal hasil–misalnya dari penjualan kredit karbon. Kedua pendekatan secara sinergis ini dinilai dapat menguntungkan baik startup maupun investor.

“Menyatukan kedua sumber modal ini memungkinkan kami untuk mendanai proyek-proyek dalam skala besar dan memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan. Kami melihat blended finance terjadi, memang diperlukan lebih banyak pendanaan.”

Menilai investasi berdampak

Partner East Ventures Avina Sugiarto mengomentari tentang bagaimana investor melakukan penilaian pada investasi startup climate tech mengingat sektor ini mungkin masih terbilang baru dibandingkan sektor e-commerce atau fintech.

Ia menggarisbawahi perihal langkah mitigasi yang dapat terukur, seperti pengurangan gas rumah kaca. Memang, metrik pengukuran ini di lapangan tidak semudah yang dikatakan, tetapi ia menilai hal itu masih tetap menarik minat investor, terutama startup yang mengakomodasi kebutuhan petani kecil dengan tool untuk prediksi cuaca atau potensi gagal panen karena cuaca

Terlepas dengan itu semua, ia menekankan profitabilitas tetap menjadi faktor kunci investasi climate tech, tak ada bedanya dengan sektor-sektor lain. “Saya pikir saat ini banyak pemodal ventura berbicara tentang profitabilitas, bagian dari profitabilitas dan unit ekonomi. Hal yang sama juga berlaku pada climate tech.”

Dampak dulu atau keuntungan?

Sementara itu, Rohit Anand, Regional Head (SE Asia) & Head of Infrastructure Equity Asia di British International Investment, menekankan pentingnya punya keuangan yang stabil bagi startup climate tech. Tak masalah jika itu berarti pertumbuhan perusahaan bakal melambat, atau target berdampak yang ingin dicapai kurang tercapai (contoh: pengurangan emisi).

Ia berargumen, apapun dampak lingkungan yang ingin diciptakan, bisnis harus layak dulu secara komersial agar dapat memikat investor ke depannya. Dengan begitu, bisnisnya dapat berkelanjutan dalam jangka waktu lama. Penciptaan dampak tak boleh menjadi satu-satunya alasan eksistensi mereka.

Kebijakan dan insentif terhadap kelangsungan bisnis juga sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang industri ini. Ia mencontohkan, penjualan kendaraan listrik dapat berhasil karena didukung oleh kebijakan pemerintah.

“Mungkin saja, Anda dapat pendanaan berkat sebuah ide cemerlang, tetapi Anda tidak bisa menciptakan bisnis yang berkelanjutan dari situ. Dampak pengurangan emisi karbon adalah implikasinya, tetapi tidak bisa jadi satu-satunya alasan bisnis Anda ada.”

New Energy Nexus Suntik Investasi Tambahan Rp484 Miliar ke Tiga Startup Climate Tech

New Energy Nexus (NEX) Ventures mengumumkan pendanaan tambahan pada tiga startup climate tech Indonesia dengan total akumulasi sebesar $31 juta (sekitar Rp484,7 miliar). Ketiga startup ini antara lain SolarKita, Swap Energy, dan Synergy Efficiency Solutions.

“Terlepas adanya penurunan investasi di sektor climate tech secara global tahun lalu, ketiga startup ini telah menunjukkan resiliensi mereka dengan menutup pendanaan baru,” ungkap Managing Director NEX Ventures Yeni Tjiunardi dalam keterangan resminya.

Sekilas mengenai ketiga portoflio tersebut:

  1. SolarKita mengembangkan solusi energi surya untuk kawasan residensial sehingga memungkinkan mereka membangun basis pasar pengguna panel surya di Indonesia.
  2. Swap Energy mengembangkan teknologi tukar baterai dan memungkinkan pengendara untuk mengganti baterai yang habis. Swap Energy tercatat memiliki lebih dari 1.300 titik penukaran baterai.
  3. Synergy Efficiency Solutions (SES) menawarkan efisiensi energi di Asia Tenggara lewat berbagai solusi, seperti desain, pembiayaan, dan instalasi.

NEX Ventures melalui dana kelolaan Indonesia 1 Fund telah menyuntik pendanaan ke 7 perusahaan climate tech dan mengalokasikan 4 investasi lanjutan sejak 2020. Selain itu, Indonesia 1 Fund juga telah melakukan investasi bersama dengan Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) di
SolarKita dan dengan Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF) di SES.

Menurut laporan NEX, portofolionya telah menghasilkan kinerja baik dan berhasil menarik total $70 juta dari berbagai investor sejak disuntik dana kelolaan ini. Pihaknya mengklaim seluruh portofolio Indonesia 1 Fund telah mengurangi lebih dari 165 ribu ton emisi karbon, atau setara dengan penanaman delapan juta pohon.

Salah satu portofolionya menyatakan bahwa pendanaan tersebut akan dimanfaatkan untuk memperkuat fundamental bisnis perusahaan, mendorong kualitas produk, serta memperluas jaringan instalasi dan mitra penjualannya di Indonesia.

“Pendanaan yang kami terima dari Indonesia 1 fund dan SEEAA mendorong penetrasi kami di kawasan residensial secara signifikan. Milestone ini menandai langkah awal SolarKita pada rencana ekspansi mencapai 18MWp setara dengan instalasi PV solar 6000 rumah dalam tiga tahun ke depan,” ungkap Founder & CEO SolarKita Amarangga Lubis.

Tren global dan domestik

PwC dalam “State of Climate Tech 2023” melaporkan pendanaan climate tech dari VC dan firma ekuitas swasta mengalami penurunan hingga 40% tahun lalu. Faktor ketidakpastian ekonomi dan konflik geopolitik disebut menurunkan kepercayaan investor untuk berinvestasi.

Adapun, laporan ini dibuat berdasarkan hasil analisis pada lebih dari 8000 startup climate tech di dunia dan lebih dari 32.000 transaksi pendanaan dengan total nilai $490 miliar.

Sementara, laporan yang disusun DSInnovate lewat “Indonesia’s Startup Handbook: Funding Updates (Q1-Q3 2023)” menyoroti tren pendanaan di sektor hijau, terutama pada startup kendaraan listrik. Selama tiga kuartal di 2023, EV menjadi sektor yang memperoleh pendanaan tertinggi kedua di Indonesia.

Tiga startup pengembang ekosistem EV, yakni Swap Energy, Alva, dan Charged tercatat memperoleh pendanaan dalam beberapa tahun terakhir. Sementara, VC dan perusahaan investasi yang aktif menyalurkan modal ke sektor EV di antaranya New Energy Nexus Indonesia, Eas Ventures, AC Ventures, hingga Kejora-SBI Orbit Fund.

Mandiri Capital dan Investible Umumkan Dana Kelolaan Khusus Climate Tech

Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Investible telah menandatangani term sheet untuk membentuk dana kelolaan yang dikhususkan untuk teknologi dan inovasi iklim (climate tech).

Mandiri Investible Global Climate Tech Fund akan memanfaatkan keahlian dan sumber daya dari kedua perusahaan modal ventura tersebut untuk mengidentifikasi, berinvestasi, dan memberikan dukungan kepada startup, dalam mengatasi permasalahan mendesak perubahan iklim di Asia Tenggara dan wilayah Oseania.

Secara signifikan, hingga 30% porsi investasi dari dana kelolaan tersebut akan dialokasikan untuk Indonesia.

Dana kelolaan ini menawarkan peluang penting bagi investor yang tertarik memerangi perubahan iklim. Sejalan dengan pentingnya mengatasi masalah lingkungan dan memanfaatkan prospek pertumbuhan besar dalam sektor teknologi iklim.

Sektor investasi yang akan diincar berasal dari daftar UNEP, seperti energi, transportasi, bangunan dan kota, industri, pangan, dan pertanian, serta hutan dan tata guna lahan.

Dana ini merupakan kelanjutan mandat Indonesia Impact Fund (IIF) untuk menciptakan dampak yang lebih besar dalam mendukung Inisiatif Emisi Nol Bersih, secara bersama-sama dengan Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) dan UNDP untuk berkontribusi secara signifikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sejak diluncurkan pada 2021, IIF telah mendanai Cakap dan Greenhope.

Dalam keterangan resmi, Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha menyampaikan antusiasmenya terhadap kemitraan bersama Investible karena sejalan dengan visi bersama dalam memajukan teknologi iklim. Potensi kolaborasi ini tidak hanya menyoroti komitmen Mandiri Group terhadap perekonomian Indonesia yang dinamis dan ESG yang terus berkembang, namun juga menunjukkan dedikasinya dalam mencari dan memelihara terobosan iklim inovasi.

“Hubungan kami yang mendalam dengan investor di seluruh Indonesia akan menjadi hal yang bermanfaat landasan bagi usaha ini, dengan tujuan untuk meningkatkan dan mendukung teknologi iklim perusahaan ke kancah global,” kata Dennis, Jumat (27/10).

Dia melanjutkan, dana kelolaan ini merupakan pionir yang menawarkan alternatif investasi berkelanjutan di wilayah yang menghadapi tantangan lingkungan hidup yang signifikan. Sejalan pula dengan permintaan pasar dalam memajukan keberlanjutan regional.

“Tujuan utama dana ini adalah untuk memanfaatkan kekuatan Indonesia yang saling melengkapi, Asia Tenggara, dan Australia. Indonesia, pasar yang sedang berkembang dengan pertumbuhan yang signifikan potensinya, menawarkan lanskap startup yang beragam dan dinamis, sementara Australia menawarkan lanskap startup yang matang ekosistem dengan keahlian teknologi yang mendalam.”

Investible telah meluncurkan Climate Tech Strategy sejak 2021. Dalam kiprahnya, telah meninjau lebih dari 3.200 peluang di 20 negara yang menerapkan 19 investasi hingga saat ini. Keselarasan antara organisasi-organisasi terkemuka ini bertujuan untuk berkontribusi secara signifikan terhadap masa depan yang rendah karbon dan berketahanan.

CEO Investible Rod Bristow menyakini dana ini akan memberikan kombinasi unik antara hasil net zero dan manfaat finansial bagi investor. “MCI menyadari peluang unik yang dihadirkan oleh proses investasi tahap awal, metodologi, jaringan global, dan pengalaman milik Investible sebagai investor teknologi iklim tahap awal,” tandasnya.

Dukungan juga diberikan Dewan Penasihat Bisnis APEC (ABAC) yang diwakili oleh Chairman Anindya Bakrie. Ia mengatakan, dana kelolaan ini memungkinkan landasan yang diletakkan oleh Indonesia Impact Fund untuk memperluas portofolionya ke pasar Indo-wilayah Pasifik.

“Dengan dimulainya inisiatif yang berfokus pada iklim ini, kami bersemangat untuk melanjutkannya upaya berdampak yang dimulai oleh Indonesia Impact Fund (IIF) yang memperkuat upaya kolektif kami menuju masa depan yang berkelanjutan dan berketahanan,” ujarnya.

Koltiva Umumkan Pendanaan Seri A Dipimpin oleh AC Ventures

Startup agritech Koltiva mengumumkan pendanaan seri A dipimpin oleh AC Ventures. Tidak disebutkan spesifik nilai pendanaan yang diterima, namun dalam putaran ini sejumlah investor turut terlibat, di antaranya Silverstrand Capital, Planet Rise, Development Finance Asia, dan Blue 7, serta investor  sebelumnya The Meloy Fund.

Dana segar akan dimanfaatkan Koltiva untuk mengembangkan SaaS yang memungkinkan perusahaan multinasional untuk memiliki sistem pelacakan rantai pasokan dari benih hingga ke tangan konsumen (from seed to table). Sebelumnya Koltiva telah mengantongi pendanaan awal pada September 2022 lalu dipimpin Silverstrand Capital.

Sejak didirikan tahun 2013, Koltiva menghadirkan beberapa solusi, seperti pemetaan lahan dan profil produsen, ketertelusuran benih hingga ke tangan konsumen, serta pelatihan dan bimbingan ke petani. Kini layanan mereka turut diperluas ke solusi climatetech. Koltiva mengembangkan produk yang dapat membantu dalam pengukuran dan penilaian gas rumah kaca (greenhouse gas/GHG).

Melalui platform digitalnya, Koltiva menawarkan aplikasi web dan mobile untuk mengurus berbagai aktivitas pertanian, seperti pendaftaran produsen, survei, pemantauan transaksi pertanian, pemetaan deforestasi, hingga pengukuran emisi gas rumah kaca di perkebunan. Dengan basis di Indonesia, Koltiva kini tim mereka bekerja dengan produsen di 52 negara, dan hampir setengah dari mereka adalah petani kecil di Indonesia.

“Saat bisnis multinasional semakin menuju keberlanjutan, Koltiva yang berbasis di Indonesia siap menjadi pemain utama dalam memastikan rantai pasok yang transparan. Dengan meningkatkan kesejahteraan petani skala kecil di pasar negara berkembang, dan membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim, Koltiva adalah bukti nyata tentang bagaimana teknologi modern dapat membentuk ulang industri konvensional, memberikan dampak global, dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan secara lingkungan untuk generasi mendatang,” sambut Managing Partner AC Ventures Helen Wong.

Terobosan baru Koltiva

Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva
Koltiva turut memberikan pelatihan dan pendampingan kepada petani mitra / Koltiva

Koltiva tengah mengembangkan perangkat lunak yang menyediakan pelacakan dari benih hingga ke tangan konsumen. Perusahaan ingin memastikan bahwa perjalanan produk pertanian dari bahan baku, menuju ke operasi pertanian dan distribusi, hingga ke tangan konsumen dilakukan secara transparan. Inovasi ini membantu perusahaan multinasional dapat melacak asal-usul pasokan produk mereka yang sebagian besar berasal dari produsen kecil di Indonesia, dan negara-negara lain tempat Koltiva beroperasi.

Model bisnis ini dinilai semakin relevan, apalagi dengan adanya regulasi seperti Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang diamanatkan oleh Dewan Uni Eropa. Peraturan ini mewajibkan perusahaan membuktikan ketiadaan deforestasi dalam produk mereka dan mematuhi standar hukum tertentu. Akibatnya, lebih dari 50.000 perusahaan berbasis Uni Eropa sekarang wajib mematuhi regulasi ini, dan perusahaan non-UE yang terlibat secara signifikan dalam aktivitas di UE juga harus memastikan kepatuhan mereka.

“Kami membantu korporasi multinasional menavigasi secara bijak lanskap yang dinamis serta regulasi yang terus berkembang akan kepatuhan praktik pertanian berkelanjutan, serta meningkatkan kehidupan para petani dan produsen kecil. Bisnis kami bertujuan untuk membentuk ekosistem yang memberikan manfaat kepada merek global, serta turut meningkatkan dan memperbaiki kondisi penghidupan dan kesejahteraan dari tingkat paling dasar di proses rantai pasok. Kami membayangkan dunia di mana perdagangan yang transparan dan berkelanjutan menjadi sebuah standar,” Co-Founder & CEO Koltiva Manfred Borer.

Application Information Will Show Up Here

Wavemaker Impact Siap Tambah Portofolio di Asia Tenggara

US Development Finance Corporation (DFC), sebuah lembaga keuangan pembangunan pemerintah AS, telah menginvestasikan US$15 juta di Wavemaker Impact.

Wavemaker Impact sendiri merupakan modal ventura teknologi iklim berbasis di Singapura yang mencakup Asia Tenggara. Wavemaker Impact berinvestasi pada startup yang berfokus pada sustainability.

Dikutip dari The Business Time, VC ini telah berinvestasi pada enam perusahaan, antara lain di bidang biochar untuk penyimpanan karbon, pertanian regeneratif, dan bahan bakar yang berkelanjutan.

Dengan dana ini Wavemaker Impact disebutkan akan menambah portofolionya menjadi 10 perusahaan pada akhir 2023 dan 16 perusahaan pada akhir 2024.

Baca selengkapnya di Solum.id, portal media yang membahas sektor keberlanjutan.

Disclosure: Solum.id merupakan bagian dari DailySocial.id

Rekosistem Raih Pendanaan Senilai 75 Miliar Rupiah Dipimpin Skystar Capital [UPDATED]

Startup climate-tech Rekosistem mengumumkan perolehan pendanaan senilai US$5 juta atau lebih dari Rp75 miliar yang dipimpin oleh Skystar Capital, diikuti oleh East Ventures, Provident, dan investor lainnya. Rencananya, dana segar ini akan difokuskan untuk meningkatkan sistem pengelolaan sampah Rekosistem hingga lebih dari 20 ribu ton metrik sampah per bulan dalam 2 tahun ke depan.

Untuk mewujudkan target ini, Rekosistem menggencarkan serangkaian langkah strategis, mulai dari pengembangan sistem pengelolaan sampah, juga memperluas penerapan teknologi Internet of Things (IoT) dan Machine Learning. Selain itu Rekosistem juga akan mengembangkan teknologi daur ulang dan meningkatkan fasilitas pemulihan material, yaitu Reko Waste Station dan Hub.

Melalui langkah strategis ini, Rekosistem akan memproses lebih dari 70% jenis sampah, menjadi bahan baku daur ulang dan energi baru terbarukan, ekspansi ke lebih banyak kota, dan menyediakan program Extended Producer Responsibility yang mendorong pengusaha bertanggung jawab atas dampak bisnisnya terhadap lingkungan.

Selain menargetkan untuk meningkatkan sistem pengelolaan sampahnya, Rekosistem juga berencanan melibatkan lebih dari 5 ribu pekerja dan mitra bisnis ke dalam ekosistem digitalnya.

Didirikan pada 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentino, Rekosistem mendorong penerapan ekonomi sirkular dalam rantai pasokan sampah dengan sistem pengelolaan sampah terintegrasi menggunakan Internet of Things (IoT) dan Machine Learning. Melalui solusi ini, perusahaan ingin menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi pengumpulan sampah sebesar 49%.

Co-Founder dan CEO Rekosistem Ernest Layman dalam keterangan resmi mengungkapkan tekadnya untuk membangun bisnis yang mampu menghadapi tiga tantangan terbesar di bisnis generasi saat ini terkait 3P, yaitu profit (keuntungan), people (manusia), dan planet.

“Melalui penerapan ekonomi sirkular di rantai pasok pengelolaan sampah, produk dan layanan yang kami tawarkan bertujuan membuat produksi dan konsumsi bertanggung jawab dapat diterapkan oleh bisnis dan semua orang,” ungkapnya.

Dalam menjangkau bisnis dan konsumen akhir, Rekosistem menggunakan model bisnis B2B dan B2B2C melalui aplikasi mobile dan web. Ada dua isu yang ingin diselesaikan oleh Rekosistem, yakni proses pengelolaan sampah yang masih nonformal, dan meningkatkan nilai di rantai pasok sampah.

Lima tahun beroperasi, Rekosistem telah berhasil meningkatkan produktivitas sampah menjadi material sebesar 523% untuk daur ulang, daur naik, dan sumber energi berbasis sampah. Di samping itu, sekaligus meningkatkan pendapatan pekerja sampah sebesar 117%.

Saat ini, ekosistem Rekosistem terdiri dari 300 pekerja sampah dan mitra bisnis, 10 Reko Hub, dan 33 Reko Waste Station. Perusahaan juga berhasil menggaet 100 pelanggan bisnis dan 20 ribu pelanggan rumah tangga, menjangkau lebih dari 100 ribu irang dan sudah mengelola lebih dari 2.500 ton metrik sampah per bulan.

Startup waste management di Indonesia

Isu pengelolaan sampah masih menjadi topik yang hangat dibicarakan di tengah masyarakat. Mulai dari proses yang masih nonformal, minimnya penegakan hukum untuk tindakan ilegal yang merusak lingkungan, serta anggaran untuk pembangunan hijau punya tingkat kegentingan masing-masing.

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 19,45 juta ton timbulan sampah sepanjang 2022. Hal ini mendorong kehadiran sejumlah startup yang fokus untuk menggarap isu pengelolaa sampah.

Selain Rekosistem, ada juga Duitin, sebuah pengembang layanan digital yang memfasilitasi daur ulang, memungkinkan masyarakat dapat meminta pengambilan sampah di rumahnya dan mendapatkan reward. Startup ini juga masuk sebagai salah satu lulusan Google for Startup Accelerator, program akselerator Google pertama yang diadakan di Indonesia.

Di samping itu, Waste4Change yang didirikan sejak 2014, mengadopsi pengelolaan sampah berwawasan lingkungan dan bertanggung jawab. Misinya adalah meningkatkan tingkat daur ulang dengan menetapkan standardisasi dalam pengumpulan dan prosedur daur ulang sampah, serta meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan operator.

Perusahaan telah mendapat pendanaan seri A dipimpin oleh AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama senilai lebih dari Rp76 miliar. Belum lama ini, aktris ternama Indonesia Luna Maya juga bergabung dalam jajaran investor.  Waste4Change juga menggencarkan kerja sama investasi dengan berbagai pihak untuk mendorong proyek pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Satu lagi startup greentech yang menerapkan ekonomi sirkular berbasis teknologi adalah OCTOPUS, platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Perusahaan diketahui telah bekerja sama dengan lebih dari 1700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi.

Semakin banyak pemain yang menyasar isu pengelolaan sampah mendorong keterlibatan banyak pihak untuk gencar mengatasi isu ini. Selain itu, solusi pengelolaan sampah juga bisa dikembangkan menjadi banyak hal, seperti yang dilakukan Rebricks dengan mengolah sampah plastik menjadi bahan bangunan.

Waste4Change Teken Proyek Pengelolaan Sampah Senilai Rp250 miliar

Startup waste management Waste4Change menggencarkan kerja sama investasi dengan berbagai pihak untuk mendorong proyek pengelolaan sampah berbasis teknologi. Maka itu, Waste4Change mengumumkan kerja sama pengelolaan sampah dengan tujuh perusahaan dengan estimasi nilai proyek sebesar Rp250 miliar.

Kerja sama ini diteken melalui penandatangan MoU dengan PT Samudera Indonesia Tbk, PT Alam Bersih Indonesia, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Sinar Mas Land, Basra Corporation, rePurpose Global, dan Freepoint Commodities.

“Dana ini akan berguna untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah di berbagai area. Harapan saya, Waste4Change bisa terus bertumbuh dan menjadi partner yang tepat untuk mengembangkan investasi hijau di bidang persampahan,” ujar Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano dalam peresmian RPM Waste4Change Bekasi 2.0, Rabu (8/3).

Sano, sapaan akrab dari Junerosano, menuturkan penanganan masalah sampah perlu kolaborasi dan kontribusi dari semua pihak. Stakeholder yang hadir di sini adalah bagian dari solusi untuk bekerja sama menangani sampah dari hulu ke hilir. Oleh karenanya, perlu membuka diri sebesar-besarnya untuk investasi yang lebih hijau demi mereformasi bidang persampahan di Indonesia.

Ia menuturkan, perusahaan telah membuat rencana sepuluh tahun untuk mengeksplorasi opsi potensial lainnya di masa depan. Di usia yang ke-8 ini, Waste4Change akan memantau gelombang baru e-waste, yang bersumber dari limbah kendaraan elektrik, seperti baterai yang adopsinya sudah mulai terasa.

“Tiap sepuluh tahun, kami membuat diferensiasi opsi. Selain e-waste, kami lihat pengelolaan sampah yang spesifik, misalnya furnitur yang sebenarnya ada aturannya. Pengelolaan limbah biodiesel mulai kami riset bersama SinarMas. Sekarang kami masih matangkan sampah rumah tangga di tahun ke-8 ini.”

Seremonial Peresmian RPM Waste4Change Bekasi oleh Perwakilan AC Ventures, Pemerintahan kota Bekasi, dan Deputi Kementerian Investasi / Waste4Change

Tak mengumumkan MoU, dalam kesempatan yang sama, Waste4Change juga meresmikan Rumah Pemulihan Material (RPM) Waste4Change 2.0 yang sudah disertai dengan teknologi terbaru: mesin pemilahan sampah dan pengintegrasian teknologi digital untuk memantau dan merekam aliran pengolahan sampah. Saat ini Waste4Change memiliki lima RPM yang tersebar di Bogor, Bekasi, Sidoarjo, Bali, dan Bandung.

Inovasi ini merupakan salah satu realisasi usai merampungkan pendanaan Seri A dari AC Ventures, PT Barito Mitra Investama, dan sederet investor lainnya pada akhir tahun lalu. Dengan inovasi baru, di lokasi RPM ini diklaim mampu mengurangi residu sampah dari 65% menjadi 10%. Kapasitas pengelolaan sampah pun juga naik dari 18 ton menjadi 22 ton per harinya.

Berikut daftar mesin pemilahan sampah otomatis milik Waste4Change:

  1. Conveyor untuk memindahkan material agar lebih mudah dipilah (anorganik dan residu benda keras dan berserat)
  2. Gibrig untuk memisahkan material plastik daunan dan bubur organik (untuk bsf)
  3. Centris untuk plastik daunan dari gibrig masuk ke centris. Fungsinya sebagai pengering (output kering dan organik yang masih menempel)
  4. Blower untuk menyedot material plastik output dari sentris ke stage
  5. Mesin cacah plastik dari stage menjadi fluff

“Kami akan terus tambah lokasi dan kerja sama dengan berbagai titik, di antaranya ke Cilegon, Tangerang, dan perluas Sidoarjo. Walau kecil-kecil titiknya ini sesuai dengan target kami Waste4Change untuk mengolah 5% sampah di Indonesia, atau 10 ribu ton per hari. Angka itu sama saja dengan total sampah di lima kota besar.”

Investasi hijau

Pengelolaan sampah termasuk ke dalam daftar prioritas investasi hijau yang ditetapkan Kementerian Keuangan, dengan target penerapan blended finance menyasar pembangunan infrastruktur sektor-sektor dengan angka multiplier effect terbesar. Diharapkan target ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan adopsi teknologi hijau.

Sayangnya, sebesar 40%-50% pembangunan TPST dan TPS3R tidak terawat dan sanitary landfill kembali menjadi tempat pembuangan sampah akibat skema pembiayaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, dibutuhkan reformasi dalam retribusi persampahan yang memungkinkan penanaman modal secara berkelanjutan dan juga regulasi yang memastikan investasi di infrastruktur pengelolaan sampah menjadi lebih optimal.

Direktur Perencanaan Infrastruktur, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal Moris Nuaimi menuturkan Kementerian investasi masih menyempurnakan regulasi mengenai investasi persampahan dan ini butuh pertimbangan yang matang. Di satu sisi kesempatan investasi hijau dan kesiapan pihak penerima menjalankan kepercayaan tersebut sudah terbentuk dengan baik. Inisiasi mandiri dan upaya dari pihak swasta, salah satunya Waste4Change, dapat menguatkan sumber pendanaan dari banyak aliran.

“Terlebih, jika kita ketahui, pemerintah daerah dan investor sudah bersedia memfasilitasi. Ini adalah contoh yang bisa ditiru oleh pihak pemerintah daerah lain dan penyedia layanan pengelolaan sampah lainnya untuk bergerak lebih gesit dalam menggali lebih banyak investasi hijau untuk dapat mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih berkelanjutan,” katanya.

Investasi hijau untuk sektor persampahan dapat dilakukan untuk membantu penanganan sampah. Caranya, melalui peningkatan infrastruktur atau fasilitas dan peralihan sumber daya serta mewujudkan penyelenggaraan ekonomi melingkar yang difokuskan untuk mengurangi timbulan sampah sedari awal.

Survei Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) pada 2021 menyebut, aset investasi hijau di negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan hingga $30,7 triliun. Dibutuhkan total investasi sebesar $18 miliar di bidang teknologi, dan $22 miliar di bidang jasa pada rentang tahun 2017 hingga 2040 untuk mengatasi tantangan dalam mengubah praktik business-as-usual menuju Skenario Perubahan Sistem pada pengelolaan sampah dan daur ulang yang efektif berdasarkan laporan NPAP.

Angka tersebut memungkinkan harapan untuk dapat menangani masalah sampah yang ada. Peran aktif investor dan pemilik modal sangat penting dalam mengarahkan pelaku bisnis untuk lebih tanggap dalam melihat peluang bisnis hijau yang selaras dengan alam, salah satunya persampahan.

Tur RPM 2.0 bersama bersama perwakilan Kementerian Investasi / Waste4Change

Faktanya, menurut data Systemiq & Delterra di tahun 2022, 97% pendanaan sampah di Indonesia masih mengandalkan iuran sampah dari rumah ke rumah (door-to-door fee collection). Sedangkan negara yang lebih maju sudah meninggalkan metode tersebut dan beralih pada iuran sampah sebagai pajak dan iuran sampah yang termasuk pada biaya langganan utilitas.

Beberapa hal terkait dukungan pengelolaan sampah tentu perlu ditingkatkan, baik dari segi teknis maupun pembiayaan. Mengurangi aktivitas membakar dan mengubur sampah, menjalankan TPS 3R dan fasilitas pengelolaan sampah lainnya secara cermat dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya retribusi sampah, adalah hal yang bisa mulai ditingkatkan. Dalam hal ini pemerataan fasilitas bukan lagi masalah utama, tapi bagaimana memastikan fasilitas pengelolaan sampah berjalan optimal.

“Iuran sampah di area perumahan itu baru bisa comply di harga Rp60 ribu per bulan, tapi karena regulasinya enggak ketemu, biasanya ditawar hingga Rp25 ribu. Perumahan elit di Jakarta Selatan dengan harga Rp3 miliar saya rasa sanggup bayar iuran segitu. Tapi ini tidak masuk karena jadi sulit bagi kami untuk menyejahterakan para pekerja informal.”

Untuk mengimbangkan dari sisi sosial dengan bisnis, Waste4Change kini mengimplementasikan strategi inovative waste credit dan blended financing. Waste credit adalah upaya mendukuung usaha produsen dalam mendaur lebih banyak sampah di Indonesia. Konsepnya persis sama dengan carbon credit, yang mana karbon dioksida yang dihasilkan dari suatu kegiatan harus dibayar dengan menyerap kembali karbon tersebut.

Untuk sampah, bisa diproses menjadi RDF yang berguna sebagai energi pada pabrik pembuatan semen. Salah satu material sampah yang diolah adalah multilayer plastic (MPL) packaging atau sering disebut saset.

Adapun untuk blended finance merupakan penggunaan strategis keuangan pembangunan untuk mobilisasi keuangan tambahan terhadap pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Blended finance menarik modal komersial ke arah proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sambil memberikan pengembalian hasil kepada investor.