Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Pentingnya Diversifikasi dan Inovasi di Tengah Pandemi

Pada akhirnya, agar bisnis bisa bertahan, cara terbaik adalah beradaptasi terhadap perubahan. Ketika pandemi berlangsung berkepanjangan dan mengganggu jalannya bisnis, ada baiknya startup melakukan penyesuaian dan diversifikasi.

Dengan semakin sulitnya menggalang dana, startup dituntut menghasilkan peluang bisnis baru, yang tidak hanya membantu meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjadi added value agar bisa bertahan selama pandemi.

Di sebuah tulisan, perusahaan modal ventura terkemuka Sequoia menyebutkan, kondisi saat ini merupakan black swan. Saat kondisi sedang mengalami penurunan, pendapatan dan uang tunai menjadi fokus utama ketimbang pengeluaran.

“Seperti yang dirangkum Darwin, mereka yang selamat bukan yang terkuat atau paling cerdas, tetapi paling mudah beradaptasi dengan perubahan.”

Menerapkan survival mode

DailySocial mencatat, perlahan tapi pasti, berbagai startup menambah jenis layanan yang dirasa relevan saat ini.

  • Titipku, startup asal Yogyakarta yang awalnya fokus pada pemberdayaan UMKM, kini memperkenalkan fitur layanan berbasis lokasi. Layanan ini dikembangkan untuk memudahkan pengguna mencari pedagang untuk berbelanja.
  • Startup logistik Deliveree meluncurkan platform belanja sembako online yang langsung bisa diakses di aplikasi. Fitur ini dilengkapi live chat atau panggilan untuk bisa langsung terhubung dengan toko.
  • Platform periklanan bergerak Ubiklan yang menjajaki bisnis baru bernama UbiFresh. Mereka menawarkan belanja grocery secara online melalui aplikasi.
  • Platform property management Travelio menghadirkan beberapa inovasi baru, termasuk meluncurkan TravelioMart sebagai platform penjualan bahan pangan segar, seperti sayur, buah, berbagai variasi daging, dan produk kebutuhan dasar rumah tangga lainnya untuk tenant perusahaan.
  • Platform fotografer on-demand SweetEscape menawarkan solusi baru yang diharapkan menjadi tren, yaitu Virtual Photoshoot dan Terrace Photoshoot.
  • Halodoc juga menambah fitur baru yang bertujuan membantu pengguna berkonsultasi seputar kesehatan mental dan jiwa mereka. Melalui fitur Konsultasi Jiwa, Halodoc mencoba untuk membantu mereka yang membutuhkan.
  • Zalora, yang selama ini fokus ke layanan fashion commerce, menghadirkan kategori baru, yaitu produk kesehatan dan rumah tangga, untuk memudahkan keluarga melengkapi berbagai kebutuhan. Langkah strategis ini diambil menyesuaikan kebutuhan masyarakat saat pandemi.

Inovasi menarik investasi

Ketika pandemi Covid-19 menjadi gangguan, perusahaan modal ventura memperketat penilaian investasi dan mengidentifikasi prioritas. Untuk perusahaan tahap awal, rencana melanjutkan pendanaan ke tahapan lanjutan menjadi lebih sulit.

Di sisi lain, pandemi ini telah memberikan akselerasi positif bagi adopsi beberapa sektor teknologi. Sektor-sektor seperti e-commerce, healthtech, edtech, dan logistik secara umum justru mengalami peningkatan.

“Kami juga melihat tingginya jumlah transaksi e-commerce di masa Idul Fitri, terlepas dari adanya pandemi. Masyarakat kini juga lebih terbuka dengan tele-konsultasi medis via Zoom [..] Dengan interaksi fisik yang terbatas, solusi yang diberikan perusahaan teknologi menjadi sebuah kebutuhan agar pola hidup masyarakat bisa kembali berjalan normal,” kata Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi.

Adopsi teknologi membantu mempercepat digitalisasi di industri tradisional. Ke depannya perubahan ini akan terus menyebar ke industri lain, termasuk FMCG, F&B, keuangan, agrikultur, dan hiburan.

Pandemi telah menciptakan peluang bagi konsumen yang lebih konservatif untuk mencoba produk teknologi yang menawarkan kemudahan. Meskipun demikian, seberapa lama momentum ini akan berlanjut sangat tergantung pada kemampuan pelaku bisnis menciptakan ketergantungan atas produk atau layanan mereka.

Menurut Partner Kolibra Capital Teezar Firmansyah, startup bisa memberikan respons positif saat pandemi berlangsung dan bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Kolibra melihat saat ini menjadi saat yang krusial bagi startup menunjukkan jati diri mereka. Apakah mereka bisa bersaing dan menawarkan inovasi baru kepada pelanggan.

“Pandemi Covid-19 saat ini memang cukup mengubah lanskap dari bisnis startup. [..] Ini merupakan ujian survival of the fittest, di mana startup yang bisa beradaptasi dengan changing trend dari pasar akan bisa bertahan,” kata Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital Indonesia.

Mendiskusikan Strategi “Exit” Startup Bersama Pemodal Ventura

Selain mendapatkan profit dari startup yang mereka danai, pada akhirnya tujuan akhir dari sebuah venture capital adalah exit. Meskipun IPO bukan menjadi satu-satunya pilihan, namun bagi kebanyakan startup langkah ini menjadi tujuan utama.

Di Indonesia sendiri kebanyakan proses merger and acquisition (M&A) banyak dilakukan korporasi hingga startup. Namun di luar negeri seperti Jepang misalnya, IPO lebih banyak dipilih oleh startup.

Menurut Ryu Hirota dari Spiral Ventures, jika seorang founder tidak memiliki rencana exit strategy yang tepat, sulit bagi investor untuk kemudian memberikan dukungan kepada mereka. Ada baiknya ketika proses fundraising dilakukan, mereka sudah memiliki strategi tersebut.

“Sebagai VC kami tentunya ingin mendukung startup secara finansial hingga added value lainnya. Namun berbeda dengan startup di Jepang yang didukung oleh pihak terkait untuk melakukan IPO, di Indonesia belum banyak startup yang kemudian melakukan IPO dengan pertimbangan yang ada,” kata Ryu.

Secara umum dengan dana hasil IPO, sebuah startup dapat ekspansi ke level lebih tinggi. Namun di samping potensi mengantongi uang yang sangat besar, IPO juga punya tantangan lain meski perjalanan menuju lantai bursa tidaklah mudah.

“Kami melihat banyak startup berbasis teknologi yang terbilang masih belia usianya sudah mengajukan proses IPO di Jepang. Hal ini bisa terjadi karena Tokyo Stock Exchange memiliki dedicated team yang bisa membantu startup melancarkan rencana IPO mereka,” kata Elsia Kwee dari Genesia Ventures.

Merger dan akuisisi pilihan startup Indonesia

Dalam artikel sebelumnya DailySocial mencatat, startup yang mengambil aksi M&A masih lebih besar ketimbang mereka yang memilih melantai di bursa saham. Startup Report 2018 dari DailySocial menunjukkan sepanjang tahun 2018 startup yang melakukan M&A sebanyak 12 perusahaan, sedangkan mereka yang mengambil IPO 4 perusahaan saja. Salah satu manfaat dari M&A, yang kadang juga jadi motivasi, adalah mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan.

Menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, proses IPO merupakan proses yang sepenuhnya mengandalkan angka. Pastikan startup telah memiliki profit dan pertumbuhan bisnis yang positif sebelum proses IPO dilakukan. Namun jika memang belum siap, proses M&A memang menjadi pilihan terbaik dan ternyata paling banyak dilakukan oleh startup di Asia Tenggara.

Bagi mereka yang memiliki rencana untuk melakukan merger dan akuisisi, pastikan perusahaan yang diincar bisa memberikan keuntungan untuk bisnis startup. Dan tentunya jangan ragu untuk mencari dukungan lebih dari venture capital yang telah memberikan funding kepada startup.

“Untuk kami sendiri selain jaringan lokal kami juga memberikan peluang kepada startup yang masuk dalam portofolio kami untuk diakuisisi oleh perusahaan Jepang yang relevan dengan bisnis startup. Dengan demikian peluang untuk melakukan proses merger dan akuisisi menjadi lebih terbuka secara global,” kata Elsa.

Investor’s Perspective on “Femtech” Startup Potential

DailySocial observed around 12 startups with female founders or consists of female C-levels bagged funding during 2019. It is not only startups with female-oriented products but also those engaged in SaaS technology, healthtech, and social commerce.

“The fact shows two interesting points, that more women are setting up startups and more investors are looking for and investing in female-founded companies. I expect this trend to continue increasing as these two points become highlighted,” GK Plug and Play’s Director Aaron Nio said.

Although investments are usually have looked at no gender and depend on the capabilities and qualities of the founder and execution of the business model, many advantages are claimed only by female leaders.

In the Kartini Day edition, DailySocial aims to find out investor’s interests and expectations towards female startup leaders / femtech in Indonesia.

Providing social impact

femtech1

The highlight of female-founded startups is that most of them build businesses based on a social impact. Starting from a marketplace to embrace more women towards beauty services businesses and products that empower women for partners.

“We have found and have had several dialogues with female-founded startups of various categories. From social commerce, healthtech in specific areas such as genetic startups and consumer wearables to aquaculture. We looked at more women taking leadership roles to solve Indonesia’s health and social problems,” Pegasus Tech Ventures SEA Manager, Justin Jackson said.

Pegasus Tech Ventures has invested in several female-founded startups in  Indonesia. Among them are Populix (Eileen Kamtawijoyo), AwanTunai (Windy Natriavi), Hijup (Diajeng Lestari), and Infradigital (Indah Maryani).

In general, female-founded startups usually have a more organized, structured, and empathic culture.

East Ventures fully understands this potential. This venture capital company has invested in Base (Yaumi Fauziah), Greenly (Liana Gonta Widjaja), Nusantics (Sharlini Eriza Putri), Fore (Elisa Suteja), and Sociolla (Chrisanti Indiana), Nalagenetics (Astrid Irwanto & Levana Sani).

“To date, we have had around 10% of female founders in our network and we are grateful to have worked with them and expected to increase representation. They are indeed extraordinary individuals whose work deserving full respect,” East Ventures’ Partner Melisa Irene said.

Some VCs have a bias towards startups with social impact orientation due to the market is lacking or the founder is not sufficiently focused on shareholders’ demand. However, as startups with social impacts are getting successful, more and more VCs are interested to invest in a kind of startup profile.

“Female leaders are proven to be able to build a more collaborative team, transparent, produce faster with more creative solutions. They can create a more reliable and trustworthy work environment,” Karissa Adelaide from Jungle Ventures Investment Team said.

Challenge for the female leaders

Although opportunities for women leaders are increasingly diverse, there are still some difficulties to avoid, including not yet the lack of female founders or the limited access to capital obtained. On the other hand, the income earned by female leaders tends to be less than male leaders.

“Women entrepreneurs are often encountered obstacles, not only in Indonesia but also to other countries in Southeast Asia. Currently, there are still many of them who struggle to get support and capital. As a result, in the technology sector women are still underrepresented and underpaid,” Adelaide added.

Another challenge remains is the lack of government support to create opportunities for entrepreneurs and women leaders to build businesses. In a way, to encourage more young women to build a venture that targets the technology industry, not just the creative industry.

“Female founders are great role models, both in terms of new ideas, also how they create and grow their teams. We have seen strong friendships and extraordinary partnerships among women entrepreneurs. One of the most amazing features of a female founder is meeting and talking with other founders to share tips for success,” Surge and Sequoia Capital India’s Managing Director, Rajan Anandan said.

The names included in the East Ventures portfolio such as Grace Tahir (Medico), Amanda Cole (CEO of Sayurbox), Marianne Rumantir (Co-Founder Member), Cynthia Tenggara (Parenting Head Orami), and Gita Sjahrir (Co-founder Ride) have risen as a mentor and role model of female entrepreneurs in Indonesia. In fact, female leadership is not limited to the role of a high profile mentor.

“As Digitaraya observed more female founders in the community. Our portfolio consists of more than 100 beginner alumni, 54.95% have female founders or co-founders. This is truly an extraordinary achievement for women entrepreneurs, and we only expect the number to grow continuously,” Digitaraya’s Managing Director, Nicole Yap said.

Startups with at least one female founder are usually considered offering a higher level of trust and the ability to gather and manage teams to deliver results. They also tend to provide more projections based on data, accuracy, and are more open to new ideas.

Investor’s support for female leaders

Indonesia has become one of the countries in Southeast Asia that encourages many investors to invest. Various programs and activities are carried out by related parties to support the startup ecosystem. Investors claim to support and welcome the growth of female-founded startups.

“In Jungle Ventures, we realize that we can and must be able to be a catalyst. We are proud to have started and invested in several strong and innovative companies led by female founders in our portfolio, but who are we to get complacent. We have a view to empowering the entrepreneurial generation women’s technology that is innovative, motivated and has great determination in Southeast Asia and Indonesia,” Adelaide said.

Another support provided by investors is connections and communities that can help female leaders to meet and share experiences. It is considered the most ideal way to foster confidence and a strong ecosystem for women leaders.

“In Sequoia India and Surge, we intend to create a safe community for women founders to connect, work and support each other through their entrepreneurial journey. Through Sequoia Spark, we hope to help other founders gain access to the right people and care about their success. “And of course willing to invest,” Rajan said.

CyberAgent Capital Indonesia‘s Investment Analyst and Office Representative, Kevin Wijaya agreed on this. They often hold casual discussion with the local startup community. In this activity, female founders or prospective women entrepreneurs can ask about the right way to obtain funding from VC.

“To encourage more women in the technology industry, the team often suggests startups, including CyberAgent’s portfolio, to recruit more women into the organization. This act is for diversity in startups can occur positively,” Kevin added.

Activities such as competitions and partnerships with related parties can also bring up new potential innovations in the ecosystem, which is expected to be embraced by female founders. The move was carried out by Pegasus Tech Ventures to see first hand the potential for startups.

“We held a Startup World Cup Indonesia competition in partnership with Wild Digital in November 2019, and 30% of the top finalists came from female-founded startups. This number is projected to increase every year. In addition, we also see more companies actively innovate in our pipeline comes from startups female-founded startups,” Justin said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Potensi Startup “Femtech” di Mata Investor

DailySocial mencatat sedikitnya terdapat 12 startup yang memiliki pendiri perempuan atau jajaran C-Level perempuan yang telah mengantongi pendanaan sepanjang tahun 2019. Tidak hanya startup dengan produk yang menyasar perempuan, tetapi juga yang menyediakan teknologi SaaS, healthtech, hingga social commerce.

“Fakta tersebut menunjukkan dua hal menarik, bahwa semakin banyak perempuan yang mendirikan startup dan bahwa makin banyak investor yang mencari dan berinvestasi di perusahaan yang dipimpin perempuan. Saya berharap tren ini akan terus meningkat karena kedua faktor ini menjadi lebih jelas,” kata Director GK Plug and Play Aaron Nio.

Meskipun keputusan berinvestasi biasanya tidak melihat gender dan bergantung pada kapabilitas dan kualitas pendiri dan eksekusi model bisnis, banyak kelebihan yang diklaim hanya dimiliki pemimpin perempuan.

Di edisi Hari Kartini, DailySocial mencoba untuk mencari tahu minat dan harapan dari para investor terkait para pemimpin startup perempuan (female startup / femtech) di Indonesia.

Memberi dampak sosial

Hal menarik di startup yang didirikan perempuan adalah kebanyakan membangun bisnis yang memberikan dampak sosial. Mulai dari marketplace yang merangkul lebih banyak perempuan untuk memiliki usaha hingga layanan dan produk kecantikan yang memberdayakan perempuan untuk menjadi mitra.

“Kami telah menemukan dan telah melakukan beberapa dialog dengan startup yang dipimpin oleh perempuan dari berbagai kategori yang berbeda. Mulai dari social commerce, healthtech di area yang spesifik seperti genetic startups dan consumer wearables hingga aquaculture. Kami melihat jelas lebih banyak perempuan mengambil peran kepemimpinan untuk memecahkan masalah kesehatan dan sosial Indonesia,” kata SEA Manager Pegasus Tech Ventures Justin Jackson.

Pegasus Tech Ventures telah berinvestasi di beberapa startup Indonesia yang didirikan oleh perempuan. Di antaranya adalah Populix (Eileen Kamtawijoyo), AwanTunai (Windy Natriavi), Hijup (Diajeng Lestari), dan Infradigital (Indah Maryani).

Secara umum, startup yang dipimpin perempuan biasanya memiliki budaya yang lebih terorganisir, terstruktur, dan empatik.

East Ventures memahami benar potensi tersebut. Perusahaan modal ventura ini telah berinvestasi ke Base (Yaumi Fauziah), Greenly (Liana Gonta Widjaja), Nusantics (Sharlini Eriza Putri), Fore (Elisa Suteja), dan Sociolla (Chrisanti Indiana), Nalagenetics (Astrid Irwanto & Levana Sani).

“Sampai saat ini kami telah memiliki sekitar 10% pendiri perempuan di jaringan kami dan kami bersyukur telah bekerja sama dengan mereka dan berharap untuk peningkatan representasi. Mereka tentu saja adalah individu-individu yang luar biasa, yang karyanya patut untuk dihormati,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Beberapa VC memiliki bias terhadap startup yang ingin memiliki dampak sosial positif secara terbuka dengan alasan masih kecilnya pasar atau pendiri tidak cukup fokus pada kebutuhan pemegang saham. Meskipun demikian, dilihat dari keberhasilan startup yang memiliki dampak sosial positif, makin banyak VC yang tertarik berinvestasi ke profil startup seperti ini.

“Pemimpin perempuan terbukti bisa membangun tim yang lebih kolaboratif, transparan, menghasilkan solusi yang lebih cepat dan lebih kreatif. Mereka dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih bisa diandalkan dan dipercaya,” kata Jungle Ventures Investment Team Karissa Adelaide.

Tantangan pemimpin startup perempuan

Meskipun peluang yang didapatkan para pemimpin perempuan makin beragam, masih ada beberapa tantangan yang sulit dihindari, termasuk belum banyaknya jumlah pendiri perempuan atau keterbatasan akses permodalan yang bisa didapat. Di sisi lain, pendapatan yang diperoleh pemimpin perempuan cenderung lebih sedikit dibanding pemimpin laki-laki.

“Para pengusaha perempuan masih kerap menemui kendala, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi negara lain di Asia Tenggara. Hingga kini masih banyak di antara mereka yang berjuang untuk mendapatkan dukungan dan modal. Akibatnya di sektor teknologi perempuan masih kurang terwakili dan dibayar rendah,” kata Karissa.

Tantangan lain yang juga masih banyak terjadi adalah masih belum maksimalnya dukungan pemerintah membuka jalan para pengusaha dan pimpinan perempuan membangun bisnis. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mendorong lebih banyak perempuan generasi muda memiliki keinginan memiliki bisnis yang menyasar industri teknologi, tidak hanya industri kreatif.

“Pendiri perempuan adalah panutan yang hebat, baik dalam hal ide-ide baru, maupun bagaimana mereka menciptakan dan menumbuhkan tim mereka. Kami telah melihat persahabatan yang kuat dan kemitraan yang luar biasa di antara pengusaha perempuan. Salah satu ciri paling mengagumkan dari seorang pendiri perempuan adalah bertemu dan berbicara dengan pendiri lain untuk berbagi kiat sukses,” kata Managing Director Surge and Sequoia Capital India Rajan Anandan.

Nama-nama yang masuk dalam portofolio East Ventures seperti Grace Tahir (Medico), Amanda Cole (CEO Sayurbox), Marianne Rumantir (Co-Founder Member), Cynthia Tenggara (Parenting Head Orami), dan Gita Sjahrir (Co-founder Ride) telah muncul menjadi mentor dan panutan wirausahawan perempuan di Indonesia. Tentu saja kepemimpinan perempuan tidak terbatas pada peran sebagai mentor high profile.

“Di Digitaraya kami melihat semakin banyak pendiri perempuan di komunitas kami. Portofolio kami terdiri lebih dari 100 alumni pemula, 54,95% memiliki founder atau co-founder perempuan. Ini benar-benar prestasi luar biasa bagi wirausahawan perempuan, dan kami hanya berharap jumlah tersebut terus bertambah,” kata Managing Director Digitaraya Nicole Yap.

Startup yang memiliki setidaknya satu pendiri perempuan disebut biasanya menawarkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dan kemampuan untuk mengumpulkan dan mengelola tim untuk memberikan hasil. Mereka juga cenderung memberikan lebih banyak proyeksi berdasarkan data, akurasi, dan lebih terbuka terhadap ide-ide baru.

Dukungan investor untuk pemimpin perempuan

Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang banyak dilirik investor untuk berinvestasi. Berbagai program dan kegiatan dilancarkan pihak terkait untuk mendukung ekosistem startup. Para investor mengklaim turut mendukung dan menyambut baik pertumbuhan bisnis startup yang didirikan oleh perempuan.

“Di Jungle Ventures kami menyadari bahwa kami dapat dan harus bisa menjadi katalis. Kami bangga telah memulai dan memiliki beberapa perusahaan yang kuat dan inovatif yang dipimpin oleh para pendiri perempuan dalam portofolio kami, tetapi kami tidak berpuas diri. Kami memiliki pandangan untuk memberdayakan generasi wirausaha teknologi perempuan yang inovatif, bermotivasi dan memiliki tekad yang besar di Asia Tenggara dan Indonesia,” kata Karissa.

Dukungan lain yang diberikan investor adalah koneksi dan komunitas yang bisa membantu para pimpinan perempuan bertemu dan berbagi pengalaman. Hal tersebut dinilai paling ideal untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan ekosistem yang kuat bagi para pemimpin perempuan.

“Di Sequoia India dan Surge, kami ingin menciptakan komunitas yang aman bagi pendiri perempuan untuk terhubung, bekerja, dan saling mendukung melalui perjalanan kewirausahaan mereka. Melalui Sequoia Spark, kami berharap dapat membantu pendiri lain mendapatkan akses ke pihak yang tepat dan peduli dengan kesuksesan mereka, dan tentunya bersedia untuk berinvestasi,” kata Rajan.

Hal senada juga disampaikan Investment Analyst and Office Representative CyberAgent Capital Indonesia Kevin Wijaya. Mereka kerap mengadakan diskusi obrolan santai dengan komunitas startup lokal. Di kegiatan ini, pendiri perempuan atau calon wirausahawan perempuan bisa bertanya tentang cara tepat memperoleh pendanaan dari VC.

“Untuk mendukung lebih banyak perempuan masuk ke dalam industri teknologi, tim juga kerap menyarankan startup, termasuk di dalamnya portofolio milik CyberAgent, untuk merekrut lebih banyak perempuan ke dalam organisasi. Hal tersebut dilakukan agar keragaman dalam startup bisa terjadi secara positif,” kata Kevin.

Kegiatan seperti kompetisi dan kemitraan dengan pihak terkait juga bisa memunculkan potensi baru di ekosistem, yang diharapkan bisa diramaikan  pendiri perempuan. Langkah tersebut dilakukan Pegasus Tech Ventures untuk melihat langsung potensi startup.

“Kami mengadakan kompetisi Startup World Cup Indonesia bermitra dengan Wild Digital pada November 2019 lalu, dan 30% top finalis berasal dari startup yang dipimpin oleh perempuan. Kami melihat angka ini akan semakin bertambah jumlahnya setiap tahun. Selain itu, kami juga melihat semakin banyak perusahaan yang aktif dalam pipeline kami berasal dari startup yang dipimpin oleh perempuan,” kata Justin.