Studi Komparasi antara Olimpiade dan Kompetisi Esports: Mana yang Lebih Menguntungkan?

Dalam beberapa tahun belakangan, esports memang jadi kian populer. Meskipun begitu, tetap ada stigma negatif yang melekat pada industri competitive gaming. Keikutsertaan esports dalam event olahraga besar — seperti SEA Games atau Asian Games — bisa membantu untuk menghapuskan stigma tersebut. Tak hanya itu, kemunculan esports di kompetisi olahraga, seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) atau Piala Presiden, juga bisa membuat masyarakat menjadi semakin tahu akan keberadaan esports.

Dari semua event olahraga, Olimpiade merupakan event yang paling bergengsi. Sebelum ini, Hybrid.co.id pernah membahas tentang apakah esports pantas untuk masuk ke Olimpiade. Kali ini, saya akan membandingkan proses penyelenggaraan Olimpiade dengan esports events kelas dunia seperti The International dan League of Legends Worlds. Tujuannya adalah untuk melihat apakah Olimpiade dan world class esports events memang pantas untuk disandingkan dengan satu sama lain.

Persiapan Olimpiade

Olimpiade hanya dilangsungkan selama 16 hari. Meskipun begitu, persiapan untuk menggelar event tersebut memakan waktu hingga bertahun-tahun. Persiapan dimulai dengan memilih kota untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Pengajuan untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020 (yang digelar pada 2021 karena pandemi COVID-19) telah dimulai sejak Mei 2011. Ketika itu, International Olympic Committee (IOC) menginformasikan National Olympic Committee (NOCs) bahwa mereka bisa mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2020.

Pada Juni 2011, Gubernur Tokyo mengajukan kotanya sebagai tuan rumah. Selain Tokyo, ada beberapa kota lain yang juga mengajukan diri, seperti Istanbul, Madrid, Baku, Doha, dan Roma. Namun, pada akhirnya, Tokyo terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2021. Tokyo menandatangani kontrak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2021 pada September 2013.

Jangan heran jika waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan Olimpiade sangat lama. Kota yang hendak menjadi tuan rumah Olimpiade memang biasanya dpilih 7-12 tahun sebelum Olimpiade digelar. Misalnya, untuk Olimpiade Musim Dingin 2022, Beijing telah ditetapkan sebagai tuan rumah pada Juli 2015. Dan Paris dipilih untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2024 sejak September 2017. Alasan mengapa kota tuan rumah Olimpiade dipilih selama bertahun-tahun sebelumnya adalah karena menjadi tuan rumah Olimpiade memerlukan banyak persiapan.

Sebagai tuan rumah Olimpiade, sebuah kota tidak hanya harus membangun desa atlet untuk menampung para peserta Olimpiade, tapi juga membangun atau memperbaiki stadion yang akan digunakan di event bergengsi itu. Tak berhenti sampai di situ, pemerintah kota juga harus memperbaiki infrastruktur kota, memastikan bahwa kota mereka siap untuk menerima kedatangan banyak orang selama Olimpiade berlangsung.

Contohnya, sebagai tuan rumah Olimpiade 2021, Tokyo harus menyiapkan lebih dari 41 ribu kamar hotel untuk media, eksekutif IOC, representatif NOC, serta representatif International Sports Federations (ISF). Tak hanya itu, mereka juga harus memastikan bahwa para turis yang datang akan kebagian hotel. Sebelum pandemi, pemerintah Tokyo berencana untuk menyiapkan kapal pesiar di pelabuhan Tokyo sebagai hotel sementara. Namun, rencana itu dibatalkan karena tidak banyak penonton yang hadir untuk menonton Olimpiade tahun ini secara langsung.

Untuk para atlet, Tokyo harus membangun desa atlet. Mereka tidak bisa sembarangan membangun desa atlet. Ada berbagai ketentuan yang harus mereka penuhi, seperti lokasi desa atlet harus dekat dengan stadion atau lokasi tempat perlombaan. Paling jauh, jarak desa atlet dengan tempat lomba adalah 50 kilometer atau 1 jam berkendara menggunakan mobil. Jika ada tempat kompetisi yang jauh dari desa atlet, maka tuan rumah harus membangun desa atlet lain yang dekat dengan lokasi perlombaan tersebut. Sebagai contoh, pada Olimpiade Musim Dingin 2014, Rusia membuat dua desa atlet. Pertama, desa atlet utama yang terletak di Sochi. Kedua, desa atlet yang ada di Roza Khutor, untuk atlet ski dan snowboard.

Persiapan Esports Events

Sekarang, mari kita bandingkan persiapan Olimpiade dengan persiapan yang tournament organizer (TO) harus lakukan untuk menggelar kompetisi esports, mulai dari turnamen di level nasional sampai tingkat internasional. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan kompetisi esports, Hybrid.co.id menghubungi Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia dan Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. Kedua pria ini jelas punya pengalaman dalam mengadakan esports events tingkat nasional dan internasional.

Selain Herry dan Irli, Hybrid.co.id juga menghubungi ESL, yang merupakan salah satu penyelenggara kompetisi esports paling konsisten dalam menggelar esports events skala besar. Turnamen-turnamen esports tingkat internasional terbesar dan terpopuler sudah biasa jadi garapan ESL. Kali ini, SVP, Managing Director, ESL Asia Pacific Japan, Nick Vanzetti yang akan mewakili ESL memberikan insight-nya.

Herry mengatakan, untuk mengadakan kompetisi esports tingkat nasional, biasanya diperlukan waktu persiapan selama 3-6 bulan. Sementara untuk mengadakan kompetisi level internasional, waktu yang diperlukan akan bertambah menjadi dua kali lipat, sekitar 6-12 bulan. Sementara itu, Irli menyebutkan bahwa persiapan untuk mengadakan esports events sekelas The International atau LOL Worlds akan memakan waktu sekitar 8-12 bulan.

“Idealnya, waktu persiapan itu sekitar 8-12 bulan. Planning phase dan concepting butuh waktu sekitar 3-4 bulan, detailing perlu waktu 2-3 bulan, promosi akan dimulai pada 2-3 bulan sebelum event berjalan,” kata Irli melalui pesan singkat. “Setelah itu, eksekusi dan post event.” Dia menambahkan, “World class event, it is all about capturing the moments, about the experience untuk orang-orang yang nonton, baik di venue ataupun secara online. Tugasnya organizer? Membuat kesempatan sebanyak mungkin agar para stakeholder bisa mendapatkan momen tersebut.”

“Momen seperti apa? Untuk audiens biasa, stage yang ‘wah’ dan konten yang menghibur. Buat audiens hardcore, final match yang caster-nya sangat iconic. Buat yang punya pengalaman EO, event yang jalannya rapi, dan buat yang suka musik, soundtrack yang benar-benar nyangkut di hati,” ungkap Irli.

Ketika hendak menggelar esports events, Irli menjelaskan, secara umum, ada empat stakeholders yang harus diperhatikan. Keempat stakeholders itu adalah pemain/talent, audiens, sponsor, serta developers atau IP owners. Kru juga menjadi stakeholder lain yang harus dipertimbangkan oleh pihak organizer. Irli menambahkan, tergantung pada skala sebuah kompetisi, kemungkinan, ada stakeholders lain yang harus diperhaikan, seperti pemerintah atau perusahaan pesaing.

“Yang penting, kita sebagai organizer harus memikirkan banget semua hal-hal di atas: apa yang bisa membuat event menjadi memorable (dalam arti positif) untuk semua stakeholders. Untuk membuat event menjadi memorable bagi semua stakeholder, kebutuhannya beda-beda,” kata Irli. “Hotel bagus untuk kru dan makanan yang enak. LO talent yang bagus serta fasilitas pendukung supaya ketika mereka tampil di panggung nggak pakai ribet, dan audiens mendapatkan tontontan yang tidak ngaret serta production value-nya bagus; untuk sponsor, KPI-nya terpenuhi dan lain-lain.”

Ketika ditanya soal persiapan yang harus dilakukan oleh organizer, Herry memberikan rincian tentang segala sesuatu yang harus disiapkan oleh organizer, seperti:

1. Venue dan mandatory
2. Hard production and soft production
3. Properti
4. Peralatan produksi
5. Hospitality
6. Talents
7. Internet dan komunikasi
8. Miscellanous things, seperti alat tulis atau hard disk jika diperlukan

“Yang dimaksud dengan mandatory adalah segala sesuatu yang harus disiapkan ketika kita menggunakan sebuah venue,” ujar Herry ketika dihubungi melalui telepon. “Misalnya, jika kita ingin menggunakan Tennis Indoor Senayan, kita harus menyediakan pemadam kebakaran dan ambulans, sesuai dengan standar dari mereka. Tak hanya itu, kami juga harus menyiapkan izin keramaian.” Lebih lanjut, dia menjelaskan, hard production mencakup stage, booth, gate, dan segala sesuatu yang bersifat fisik, sementara soft production mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk membuat konten digital, seperti aset digital. Sementara hospitality mencakup hotel, makanan, serta transportasi.

LAN Events. | Sumber: ESL Gaming

Tidak jarang, kompetisi esports akan disponsori oleh merek endemik, seperti perusahaan smartphone untuk kompetisi esports mobile atau perusahaan pembuat hardware untuk turnamen esports PC. Terkait produk dari sponsor, terkadang, sponsor akan memberikan produk mereka dan kadang kali, mereka hanya akan meminjamkan produk tersebut. Hal itu akan tergantung pada kontrak yang sudah ditandatangani.

“Ada sponsorship dalam bentuk barang. Kita boleh untuk menjual lagi barang ini,” kata Herry. “Tapi, juga ada sponsor yang memberikan dalam bentuk pinjaman. Jadi, yang penting, presence produk mereka ada selama kompetisi.”

Senada dengan Herry dan Irli, Nick mengungkap bahwa ESL membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk mengadakan world class esports events. Dia menambahkan, semakin dekat dengan hari H, maka semakin besar pula beban kerja ESL.

“Ada banyak persiapan yang harus dilakukan untuk menggelar event internasional,” ujar Vanzetti. “Pertama, kami harus mencari venue yang sesuai dengan kebutuhan kami. Hal ini biasanya tergantung pada seberapa besar event yang hendak kami adakan.” Dia mengungkap, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan ESL sebelum memilih sebuah venue, yaitu kapasitas, ketersediaan internet, dan lokasi dari venue tersebut, apakah ia mudah dijangkau atau tidak.

“Kami juga akan memastikan agar pemain, talents, karyawan ESL, dan semua pihak yang harus pergi ke kota tempat kompetisi diadakan, bisa mendapatkan akomodasi yang memadai, seperti visa, tiket penerbangan, hotel, dan lain sebaganya,” ungkap Vanzetti. Dia menekankan, salah satu prioritas ESL sebagai organizer adalah memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kompetisi esports mendapatkan pengalaman yang memuaskan, mulai dari ketika mereka berangkat, sepanjang acara, sampai mereka kembali ke rumah masing-masing.

LOL Worlds 2020 digelar di Shanghai. | Sumber: LOL Esports

Lalu, bagaimana organizer menentukan kota yang menjadi tuan rumah untuk kompetisi esports internasional? Herry menyebutkan, ketika hendak memilih kota tuan rumah, biasanya mereka akan menyesuaikan dengan keinginan klien. Jika tujuan klien adalah untuk memberikan fans service pada pecinta game mereka, maka Mineski akan menggelar kompetisi di kota yang masyarakatnya sudah mengenal game tersebut. Sebaliknya, jika klien ingin membangun pasar baru dan memperkenalkan game mereka ke pontesial konsumer, maka Mineski akan mengadakan kompetisi di kota yang masyarakatnya justru tak terlalu mengenal game milik klien.

Vanzetti juga menyebutkan, besar pasar di sebuah kota atau negara memang jadi salah satu tolok ukur ESL dalam memilih kota/negara tuan rumah dari sebuah kompetisi esports. Selain itu, hal lain yang menjadi pertimbangan mereka adalah ketertarikan pemerintah akan esports.

“Kota yang terpilih sebagai tuan rumah bisa memberikan dukungan dalam berbagai cara. Misalnya, mereka bisa membantu kita untuk mendapatkan visa bagi pemain dan staf. Mereka juga bisa mendukung bagian marketing atau membantu biaya sewa venue atau akomodasi,” ungkap Vanzetti. “Melalui sistem bidding, TO akan bisa bekerja sama dengan kota yang menawarkan keuntungan strategis sehingga mereka bisa mengadakan esports event kelas dunia yang memuaskan.”

Namun, seperti yang disebutkan oleh Irli, saat ini, satu-satunya publisher yang menggunakan sistem bidding dalam memilih kota untuk menggelar kompetisi esports adalah Valve. Dia menjelaskan, Valve memberikan kesempatan pada para event organizer untuk mengajukan proposal dalam menggelar turnamen Major. Para organizer tersebutlah yang akan mengajukan kota yang menjadi tuan rumah dari sebuah kompetisi.

“Dari pengalaman gue handle event-event skala nasional dan internasional, beberapa faktor yang dipertimbangkan adalah fasilitas di kota tersebut, jumlah pemain di kota itu, jumlah pemain di kota-kota sekitar, accessibility ke kota itu, seperti bandara, hotel, jarak dengan venue,” kata Irli. “Support produk dari sponsor di kota itu, kondisi politik di kota tersebut, dan antusiasme dari warga lokal.”

Dalam mengadakan kompetisi esports, organizer juga harus bisa mengatur manpower alias sumber daya manusia (SDM). Herry menyebutkan, untuk mengadakan kompetisi online, diperlukan sekitar 40-60 orang. Angka ini bisa menggelembung menjadi 80-12 orang jika turnamen diselenggarakan secara offline. Sementara untuk mengadakan kompetisi offline level internasional, dia menyebutkan, akan diperlukan sekitar 150-170 orang. Namun, tidak semua kru tersebut merupakan pekerja dari Mineski. Sebagian merupakan bagian dari “familia”, yaitu freelancer yang memang terus bekerja untuk Mineski.

Soal jumlah SDM yang diperlukan dalam menggelar world class esports events, Vanzetti menyebutkan, ESL biasanya akan membutuhkan sekitar 200 staf dan pekerja kontrak. “Selain mempekerjakan staf ESL, kami juga menjalin kontrak dengan supplier dan perusahaan lokal untuk membantu kami mengadakan event,” ujarnya. Menurut estimasi Irli, menggelar world class esports event layaknya The International atau LOL Worlds akan membutuhkan sekitar 200-300 staf di segala posisi. Jumlah staf yang diperlukan akan berbanding lurus dengan besar lokasi turnamen digelar.

“Semakin besar event dan venue-nya, lebih banyak orang yang dibutuhkan untuk handle floor, bisa sampai 500-600 orang,” ujarnya. “Tapi, biaya untuk bagian ini bisa ditekan, karena bisa menggunakan volunteer atau freelancer yang dibayar per jam atau per hari.” Dia menjadikan Djakarta Warehouse Project (DWP) sebagai perbandingan. Dia menyebutkan, festival musik terbesar Indonesia itu membutuhkan sekitar seribu kru. Namun, tim intinya hanya berisi 50-100 orang. Sementara ratusan orang sisanya merupakan freelancer atau volunteer.

Tren Viewership Olimpiade dan Kompetisi Esports

Viewership bisa menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan dari sebuah event. Sayangnya, viewership Olimpiade tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan kompetisi esports, bahkan dengan event seperti The International atau LOL Worlds sekalipun. Alasannya sederhana: karena metrik yang digunakan berbeda. Biasanya, jumlah penonton TV menjadi salah satu cara untuk mengukur kesuksesan Olimpiade.

Sementara itu, banyak kompetisi esports yang tidak disiarkan di TV. Kebanyakan konten esports disiarkan di platform streaming, seperti Twitch dan YouTube. Alhasil, metrik yang digunakan pun biasanya bukan rating, tapi hours watched serta jumlah penonton rata-rata dan jumlah peak viewers. Karena itu, untuk membandingkan viewership Olimpiade dengan TI dan LOL Worlds, saya memilih untuk membandingkan tren viewership dari keduanya: apakah tren viewership menunjukkan tren naik atau turun.

Di Amerika Serikat, Olimpiade biasanya disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,9 juta orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penonton pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penonton tahun ini mencetak rekor sebagai jumlah penonton paling sedikit, menurut data dari Nielsen. Tak hanya itu, selama Olimpiade Tokyo berlangsung, jumlah penonton di NBC hanya mencapai setengah dari jumlah penonton Olimpiade Rio de Janeiro pada 2016. Padahal, NBC telah menghabiskan US$7,65 miliar untuk memperpanjang kontrak hak siar Olimpiade di AS hingga 2032.

Berikut jumlah penonton Olimpiade Tokyo jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio selama lima hari:

Selasa, 27 Juli 2021, jumlah penonton turun 58%
Rabu, 28 Juli 2021, jumlah penonton turun 53%
Kamis, 29 Juli 2021, jumlah penonton turun 43%
Sabtu, 31 Juli 2021, jumlah penonton turun 57%
Minggu, 1 Agustus 2021, jumlah penonton turun 51%

Jumlah penonton Olimpiade di NBC pada hari Minggu, 1 Agustus 2021, hanya mencapai 13 juta orang. Padahal, pada Olimpiade Rio, jumlah penonton mencapai 26,7 juta orang. Menurut laporan AP News, peak viewers dari siaran Olimpiade di NBC terjadi pada Kamis, 29 Juli 2021. Ketika itu, itu, jumlah penonton mencapai 16,2 juta orang. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan jumlah penonton Olimpiade Rio, jumlah penonton saat itu masih 43% lebih rendah.

CEO NBC Universal, Jeff Shell menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan rating siaran Olimpiade pada tahun ini terjun bebas. Salah satunya adalah karena Olimpide harus diundur satu tahun akibat pandemi. Tahun ini, masyarakat juga tidak disarankan untuk datang dan menonton Olimpiade secara langsung. Bagi perusahaan broadcast asal AS, mereka juga harus menyesuaikan jam tayang. Pasalnya, jeda waktu antara Tokyo dan Washington DC mencapai 13 jam. Untuk mengakali hal tersebut, NBC serta perusahaan media lain berusaha untuk menawarkan siaran Olimpiade melalui berbagai platform pada jam yang berbeda-beda. Namun, Reuters menyebutkan, hal ini justru membuat para penonton kebingungan.

Sekarang, mari kita beralih ke viewership dari The International dan LOL Worlds. Ada tiga metrik yang saya gunakan sebagai tolok ukur, yaitu hours watched, jumlah penonton rata-rata, dan jumlah  peak viewers. Saya menggunakan data dari Esports Charts. Sebagai catatan, penyelenggaraan The International 2020 harus ditunda karena pandemi COVID-19. Karena itu, jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari kompetisi itu pada 2020 tertulis 0.

Jumlah hours watched, peak viewers, dan average viewers dari TI dan LOL Worlds. | Sumber: Esports Charts

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, dari tahun ke tahun, viewership The International terus menunjukkan tren naik di semua metrik. Untuk LOL Worlds, jumlah penonton rata-rata juga terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, mencapai 60%. Namun, dari segi peak viewers dan hours watched, viewership LOL Worlds tidak selalu menunjukkan tren naik. Sesekali, jumlah hours watched dan peak viewers dari LOL Worlds stagnan atau menunjukkan sedikit penurunan.

Anda juga bisa melihat viewership untuk LOL Worlds 2020 dan The International 2019 pada grafik di bawah.

Viewership LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Charts
Viewership dari The International 2019. | Sumber: Esports Charts

Jika Anda membandingkan jumlah penonton Olimpiade dengan jumlah peak viewers dari esports events, kompetisi esports memang masih kalah. Namun, esports punya satu keunggulan lain dari Olimpiade, yaitu umur rata-rata penonton yang lebih muda. Per 2016, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 53 tahun. Sementara itu, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang masalah ini, saya pernah membahasnya di sini.

Money, Money, Money~

Selain viewership, metrik lain yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah sebuah event sukses atau tidak adalah uang. Karena itu, saya akan membahas soal biaya yang diperlukan untuk mengadakan Olimpiade serta esports events dan juga keuntungan/kerugian yang didapat oleh kota tuan rumah.

Besar biaya yang disiapkan oleh kota tuan rumah untuk mengadakan Olimpiade berbeda-beda. Satu hal yang pasti, dana yang dialokasikan bisa mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar dollar. Misalnya, Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang membutuhkan biaya sebesar US$12,9 miliar dan biaya untuk Olimpide Musim Dingin 2010 di Vancouver mencapai US$6,4 miliar. Sementara untuk menjadi tuan rumah dari Olimpiade dan Paralimpiade 2012, London mengeluarkan sekitar mencapai US$14,6 miliar. Untuk menggelar Olimpiade 2008, Beijing menghabiskan US$42 miliar.

Tentu saja, dana tersebut tidak hanya dihabiskan untuk infrastruktur olahraga, seperti stadion. Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah Olimpiade biasanya juga akan memperbaiki infrastruktur dasar, dengan membangun jalan atau memperbaiki bandar udara. Selain itu, kota tuan rumah juga biasanya membangun infrastruktur lain yang dibutuhkan untuk mengakomodasi lonjakan populasi selama Olimpiade, seperti hotel.

Sebagai contoh, untuk menyambut Olimpiade 2016, Rio membangun 15 ribu kamar hotel baru untuk mengakomodasi turis. Sementara Sochi mengeluarkan US$42,5 miliar untuk membangun infrastruktur non-olahraga demi Olimpiade 2014. Dari puluhan miliar dollar yang Beijing keluarkan untuk Olimpiade 2008, sebanyak US$22,5 miliar mereka habiskan untuk membangun jalan, bandar udara, kereta bawah tanah, dan kereta api. Mereka juga menghabiskan US$11,25 miliar untuk membersihkan lingkungan.

Karena pemerintah mendadak membuat banyak program infrastruktur, maka muncul banyak lowongan pekerjaan baru. Hal ini menjadi salah satu keuntungan yang didapat oleh kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade. Selain itu, pemerintah kota juga bisa mendapatkan pemasukan ekstra karena selama enam bulan sebelum dan sesudah Olimpiade, ribuan sponsor, media, atlet, dan penonton akan hadir ke kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade.

Selain turis, Olimpiade juga punya beberapa sumber pemasukan lain. Salah satunya adalah penjualan lisensi. Sayangnya, sejak Olimpiade 2008, harga lisensi Olimpiade terus turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Statista.

Pemasukan Olimpiade dari lisensi. | Sumber: Statista

Marketing menjadi sumber pemasukan lain untuk Olimpiade. Kabar baiknya, dari tahun ke tahun, pemasukan Olimpiade dari marketing menunjukkan tren naik. Pada periode 2013-2016, pemasukan dari marketing memang sempat turun. Namun, penurunan itu tidak besar, hanya 3%, dari dari US$8 miliar pada periode 2009-2012, menjadi US$7,8 miliar pada periode 2013-2016.

Pemasukan Olimpiade dari marketing. | Sumber: Statista

Sayangnya, menjadi tuan rumah Olimpiade juga menimbulkan masalah tersendiri. Salah satu masalah yang paling utama adalah kerugian finansial. Alasannya, pemasukan yang didapat dari Olimpiade biasanya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai contoh, London hanya mendapatkan US$5,2 miliar. Sementara itu, untuk mengadakan Olimpiade Musim Dingin 2010, Vancouver mengeluarkan US$7,6 miliar dan hanya mendapatkan US$2,8 miliar.

Selain itu, terkadang, jumlah lowongan pekerjaan baru yang muncul juga tidak sebanyak perkiraan. Misalnya, Salt Lake City (tuan rumah Olimpiade 2002) hanya mendapatkan 7 ribu lowongan pekerjaan baru, padahal, diperkirakan, jumlah lowongan baru yang muncul akan mencapai 10 kali lipat dari itu. Seolah itu tidak cukup buruk, kebanyakan lowongan pekerjaan baru yang muncul justru ditujukan untuk orang-orang yang memang sudah punya pekerjaan. Alhasil, jumlah pengangguran di kota tuan rumah tetap sama.

Peluang bisnis yang muncul berkat Olimpiade juga biasanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan internasional, seperti perusahaan konstruksi atau restoran. Dengan kata lain, penyelenggaraan Olimpiade tidak selalu menguntungkan pelaku bisnis lokal di kota tuan rumah. Terakhir, masalah yang mungkin dihadapi pemerintah kota tuan rumah Olimpiade adalah terbengkalainya infrstruktur yang dibangun untuk Olimpiade — seperti desa atlet dan stadion olahraga — setelah Olimpiade berakhir. Dalam beberapa dekade belakangan, muncul certa “horor” akan infrastruktur bekas Olimpiade yang menjadi terbengkalai. Hal ini pernah terjadi di Turin, Italia, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade 2006.

Desa atlet di Turin. | Sumber: Olympics

Oke, sekarang, mari kita bandingkan biaya yang diperlukan untuk mengadakan esports event, mulai dari kompetisi nasional, sampai kompetisi kelas dunia seperti The International atau LOL Worlds.

Untuk masalah biaya, Vanzetti menyebutkan bahwa esports events kelas dunia akan memakan biaya sekitar jutaan dollar. Sementara itu, Herry memperkirakan, turnamen esports tingkat nasional akan memakan biaya sekitar US$500 ribu sampai US$1 juta. Untuk kompetisi esports international, maka biaya itu akan menggelembung menjadi dua kali lipat. Dan untuk mengadakan event seperti The International atau LOL Worlds, Herry menduga, biaya yang diperlukan akan mencapai sekitar US$5-10 juta. Senada dengan Herry, Irli juga menyebutkan bahwa dana minimal yang diperlukan untuk menggelar TI atau LOL Worlds adalah US$5 juta.

“Rinciannya, produksi 50%, hospitality dan manpowers 20%, promosi 20%, dan laiin-lain 10%,” ujar Irli. “Gambaran kasarnya seperti itu. Tapi, tergantung pada kebutuhan klien. Production value apa yang mereka mau tingkatkan. Biayanya nanti scale up dari sana. Kalau Valve, mereka itu fokus ke story, aftermovie, dan gimmick yang ada hubungannya dengan game. Sementara Riot lebih suka fokus ke opening ceremony yang mewah, teknologi broadcasting canggih, dan lain-lain.”

Salah satu konten yang Valve sediakan untuk mendukung The International adalah True Sight. True Sight merupakan seri dokumenter yang menunjukkan behind the scene dari para pemain profesional Dota 2 selama TI. Sementara itu, Riot Games lebih memilih untuk mengadakan opening ceremony yang megah.  Pada LOL Worlds 2017, Riot menerbangkan naga virtual di Beijing National Stadium. Sementara pada 2018, mereka menampilkan grup K-Pop virtual dengan menggunakan teknologi augmented reality. Satu tahun kemudian, Riot kembali menampilkan grup hip-hop virtual. Hanya saja, pada 2019, mereka menggunakan teknologi hologram, yang membuat garis batas antara dunia nyata dan dunia virtual menjadi semakin mengabur.


Lalu, apakah kompetisi esports menghasilkan untung?

Pada 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events, Riot Games mengungkap bahwa Riot menghabiskan lebih dari US$100 juta per tahun untuk program esports mereka dan mereka masih jauh dari balik modal. Padahal, League of Legends merupakan salah satu game dengan ekosistem esports terbaik. Kompetisi esports League of Legends tak hanya menarik banyak penonton, Riot pun serius untuk mengembangkan liga-liga internasional untuk game mereka itu. Walau belum mendapat untung secara finansial, Riot tetap mendapatkan keuntungan dari membangun ekosistem esports League of Legends. Keberadaan skena esports League of Legends membuat game yang berumur lebih dari 10 tahun itu tetap populer. Dengan begitu, pemasukan Riot dari penjualan konten dan item dalam game tetap bisa berjalan.

Jika dibandingkan dengan Olimpiade kompetisi olahraga tradisional, kompetisi esports juga punya model mometisasi yang berbeda. Event olahraga biasanya mendapatkan pemasukan sebesar 40% dari sponsorship, 40% dari broadcasting, dan 20% dari penjualan tiket serta merchandise. Sementara untuk esports,  sebanyak 80% pemasukan berasal dari sponsorship, 15% dari broadcasting, dan 5% dari penjualan tiket dan merchandise, menurut Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“Kami memang bisa menjual hak siar secara eksklusif untuk meningkatkan pemasukan,” kata Dechelotte pada GamesIndustry, “Tapi, walau pemasukan kami naik, viewership kami akan turun. Padahal, viewership juga penting. Karena, pada akhirnya, esports adalah alat marketing untuk game kami. Dengan begitu, sponsorship jadi prioritas nomor satu kami. Karena, dari segi persentase pemasukan, kontribusi sponsorship di pemasukan esports dua kali lipat dari pemasukan dari kegiatan olahraga tradisional.”

Senada dengan Asideu, Irli juga menyebutkan, sekitar 80% pemasukan untuk esports events memang berasal dari sponsorship. Sementara 20% lainnya berasal dari penjualan tiket, merchandise, dan lain sebagainya. “Karena itulah, kebanyakan esports event itu diadakan oleh developer/publisher game tersebut,” ungkapnya. “Esports belum memasuki tahap bisa membuat revenue stream dari penjualan tiket saja. Fungsinya masih menjadi marketing tools dari para publisher dan output utama dari esports event adalah eksposur. Event seperti The International dan LOL Worlds bisa mendorong pemasukan dari penjualan merchandise dan tiket sampai 30-40%, tapi sisanya tetap dari sponsor.”

BOOM Esports ketika menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Kabar baiknya, penyelenggaraan kompetisi esports skala internasional juga bisa menguntungkan perusahaan lokal. Vanzetti menyebutkan, ESL memang punya peralatan sendiri demi memastikan event yang hendak mereka adakan bisa dieksekusi dengan baik. Namun, mereka juga bekerja sama dengan supplier lokal untuk pengadaan panggung, seperti sounds, lights, dan LED.

“Untuk beberapa bagian lain, kami juga bekerja sama dengan perusahaan lokal, seperti untuk pengadaan furniture, security barrier, dan kamera,” ujar Vanzetti. “Di bagian ini, perusahaan lokal bisa mendapatkan untung besar berkat diselenggarakannya kompetisi esports kelas dunia di negara mereka.”

Kesimpulan

Persiapan untuk menggelar Olimpiade jauh lebih rumit dan memakan waktu yang jauh lebih lama daripada mengadakan esports events, bahkan untuk turnamen sekelas The International ataupun LOL Worlds. Tak hanya itu, dari segi biaya, mengadakan Olimpiade juga memakan biaya yang lebih besar, hingga miliaran dollar, sementara kompetisi esports “hanya” memerlukan biaya sebesar jutaan dollar. Meskipun begitu, Olimpiade tetap menarik jutaan penonton televisi. Memang, jumlah penonton Olimpiade menunjukkan tren turun. Tapi, bisa jadi hal ini terjadi karena perubahan kebiasaan menonton masyarakat, dari menonton TV menjadi menonton via aplikasi streaming.

Sementara dari segi pemasukan, baik Olimpiade maupun esports events pun tak melulu memberikan untung. Bedanya, sejak awal, esports memang digunakan sebagai alat marketing bagi publisher game. Sementara sumber pemasukan utama dari publisher itu ya tetap dari menjual game atau item dalam game. Dan esports terbukti efektif sebagai alat marketing. Buktinya, jumlah pemain Rainbow Six justru naik seiring dengan bertambahnya umur. League of Legends, Dota 2, dan Counter-Strike: Global Offensive, yang merupakan game-game tua pun masih dimainkan hingga saat ini.

Perubahan Kebiasaan Menonton Masyarakat: Jumlah Penonton Olimpiade di TV Turun dan di Aplikasi Naik

Ketika disiarkan di NBC Universal, upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,7 juta orang. Dengan ini, jumlah penonton upacara pembukaan Olimpiade Tokyo menjadi yang paling kecil dalam 33 tahun terakhir. Sebagai perbandingan, jumlah penonton Olimpiade Rio De Janeiro 2016 mencapai 26,5 juta dan Olimpiade London 2012 mencapai 40,7 juta. Hal itu berarti, jumlah penonton Olimpiade Tokyo menurun 37% jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio dan turun 59% dari jumlah penonton Olimpiade London.

Kabar baiknya, NBC tidak hanya menayangkan acara pembukaan Olimpiade Tokyo di channel televisi mereka, tapi juga di platform mereka yang lain, seperti NBCOlympics.com dan aplikasi NBC Sports. Menariknya, walau jumlah penonton TV turun, jumlah penonton streaming di platform lain justru naik, seperti yang disebutkan oleh Kontan. Jumlah penonton Olimpiade Tokyo di platform streaming NBC naik 76% dari jumlah penonton Olimpiade PyeongChang 2018 dan naik 72% dari jumlah penonton Olimpiade Rio.

Naiknya Jumlah Downloads Aplikasi Olimpiade Tokyo 

Setelah ditunda karena pandemi, Olimpiade Tokyo akhirnya dimulai pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, larangan untuk berkerumun masih berlaku. Alhasil, tidak banyak orang yang bisa menonton pertandingan Olimpiade secara langsung. Hal ini berujung pada meningkatnya jumlah download aplikasi terkait Olimpiade, seperti IOC Olympics dan Peacock. Dalam waktu dua bulan menjelang Olimpiade Tokyo, jumlah downloads dari aplikasi IOC Olympics menunjukkan tren naik. Pada puncaknya, di 25 Juli 2021, aplikasi itu diunduh sebanyak 325 ribu kali dalam sehari.

Besar pertumbuhan jumlah download aplikasi Olimpiade selama 23-25 Juli 2021. | Sumber: App Annie

Menurut data dari App Annie, Tiongkok menjadi negara dengan pertumbuhan jumlah downloads paling besar. Peak downloads dari aplikasi terkait Olimpiade  terjadi pada 23-25 Juli 2021. Ketika itu, total downloads aplikasi Olimpiade di Tiongkok naik 2270% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata pada satu minggu sebelumnya. Korea Selatan menjadi negara dengan pertumbuhan downloads aplikasi Olimpiade Tokyo terbesar kedua, mencapai 1750% dan India di posisi ketiga dengan pertumbuhan 940%.

Selain aplikasi terkait Olimpiade, aplikasi streaming pertandingan Olimpiade Tokyo juga mengalami kenaikan. Di Rusia, aplikasi Олимпиада Токио alias Olimpiade Tokyo, dirilis pada 16 Juli 2021. Pada puncaknya, di 23-25 Juli 2021, total downloads dari aplikasi itu naik 1305% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata harian pada satu minggu setelah aplikasi diluncurkan.

Pertumbuhan download aplikasi Olimpiade di masing-masing negara. | Sumber: App Annie

Di Eropa, jumlah downloads dari aplikasi Eurosport naik 1040% sejak upacara pembukaan Olimpiade Tokyo digelar. Sementara di Jepang, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade Tokyo, aplikasi NHKプラス mengalami pertumbuhan jumlah downloads sebesar 510%. Pada 23-25 Juli 2021, aplikasi itu duduk di peringkat 11 dalam daftar aplikasi dengan jumlah downloads terbanyak . Padahal, 3 hari sebelumnya, aplikasi tersebut ada di peringkat 79.

Game Kasual Tingkatkan Jumlah Downloads

Selain tren terkait total downloads aplikasi Olimpiade Tokyo, App Annie juga membahas tentang tren downloads game dan aplikasi streaming di laporan terbaru mereka. Pada 2021, total belanja mobile gamers diperkirakan akan mencapai US$120 miliar. Angka ini lebih besar 1,5 lipat dari total belanja oleh gamers di platform lain.

Tahun lalu, core gamers memberikan kontribusi terbesar dalam hal spending. Dari total belanja mobile gamers, core gamers memberikan kontribusi sebesar 66%. Sementara itu, kasual gamers hanya memberikan kontribusi sebesar 23% dari total belanja mobile gamers, dan casino gamers sebesar 11%. Jika dibandingkan dengan gamers kasual dan pemain game kasino, core gamers juga menghabiskan waktu paling banyak untuk bermain game. Namun, dari segi jumlah downloads, gamers kasual menjadi kontributor terbesar. Dari total downloads pada 2020, sebanyak 78% berasal dari gamers kasual, 20% dari core gamers, dan 2% dari casino gamers.

Dalam laporannya, App Annie membagi mobile game ke dalam 112 subgenre. Dari semua subgenre ittu, subgenre kasual, simulasi, dan sandbox mendapatkan market share paling besar pada 2020. Secara total, pangsa pasar dari ketiga subgenre itu hampir mencapai 7%, naik 1,9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, kasual, arcade, dan other arcade jadi subgenre dengan pertumbuhan waktu main paling besar. Pada 2020, total hours spent dari ketiga subgenre tersebut mencapai 4,5 miliar jam, naik 300% dari tahun 2019.

Pertumbuhan total hours spent dari masing-masing subgenre pada 2020. | Sumber: App Annie

Pada 2020, salah satu hal yang mendorong para mobile gamers untuk berbelanja dalam game adalah keberadaan events. Secara global, total pemasukan dari events yang didapat oleh industri mobile game mencapai US$53 miliar. Fitur lain yang membuat gamers terdorong untuk menghabiskan uang dalam game adalah fitur kustomisasi dan leaderboards. Total spending berkat fitur kustomisasi mencapai US$47,1 miliar dan total belanja dari fitur leaderboards mencapai US$46,8 miliar.

Fitur events, leaderboards, dan kustomisasi sangat populer di kalangan mobile gamers Amerika Utara dan Eropa. Meskipun begitu, fitur-fitur tersebut justru tidak terlalu populer di kalangan mobile gamers di Asia Pasifik. Misalnya, di Tiongkok, dua fitur yang mendorong jumlah belanja para gamers adalah fitur chat serta klan dan guild. Di Jepang, daily & logins menjadi salah satu fitur dalam game yang bisa mendorong para pemain untuk menghabiskan uang. Dan di Korea Selatan, competitive multiplayer menjadi fitur yang meningkatkan total belanja para gamers.

Kebiasaan Menonton Aplikasi Streaming Video

Selama pandemi, banyak orang yang menjadi lebih sering bermain mobile game. Selain bermain game itu, mereka juga menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk menonton konten di platform streaming. Buktinya, pada 2020, total jam yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten streaming naik 40%.

Di Asia Pasifik, negara yang menghabiskan paling banyak waktu untuk menonton konten streaming adalah Tiongkok, diikuti dengan India dan Indonesia di posisi ketiga. Pada Q4 2020, total jam yang dihabiskan masyarakat Tiongkok untuk menonton aplikasi streaming mencapai 90,82 miliar jam. Sementara di India, total hours spent menonton konten streaming mencapai 47,21 miliar jam, dan di Indonesia 8,33 miliar jam. Secara global, total waktu yang dihabiskan untuk menonton konten streaming adalah 239,1 miliar jam.

Jumlah rata-rata waktu yang dihabiskan untuk menonton aplikasi streaming di Indonesia. | Sumber: App Annie

Dengan Tiongkok sebagai pengecualian, YouTube menjadi aplikasi streaming paling populer di semua negara yang App Annie survei. Selain YouTube, Twitch juga cukup populer. Hal ini menunjukkan, konten esports dan livestreaming kini semakin digemari.

Pada 2020, durasi menonton rata-rata dari pengguna YouTube Indonesia mencapai 25,9 jam setiap bulan, naik dari 21,8 jam per bulan pada 2019. Selain itu, lama waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk menonton konten di YouTube Go juga mengalami kenaikan: dari 12,7 jam per bulan pada 2019 menjadi 15,5 jam per bulan pada 2020. Selain YouTube dan YouTube Go, tiga aplikasi streaming video lain yang populer di Indonesia adalah MX Player, Netflix, dan Viu.

54% dari Total Pemasukan Industri Esports Global Datang dari Asia

Asia menjadi rumah bagi banyak pemain profesional. Benua tersebut juga punya jumlah penonton paling banyak dari benua-benua lain. Tak hanya itu, banyak tren esports yang muncul dari Asia seperti mobile esports. Walau mobile esports tak terlalu digemari di Amerika Utara atau Eropa, mobile game berhasil membangun ekosistem esports yang besar di negara-negara Asia, seperti di Indonesia dan Tiongkok. Menurut Niko Partners, industri esports di Asia akan merefleksikan pertumbuhan industri tersebut di masa depan.

Kontribusi Asia di Industri Esports Global

Pada 2020, nilai industri esports diperkirakan hampir mencapai US$1 miliar. Asia memberikan kontribusi sebesar US$543,8 juta atau sekitar 54% dari total pemasukan industri esports tersebut. Menariknya, di tengah pandemi virus corona, pemasukan industri esports di Asia pada tahun lalu tetap naik dari tahun sebelumnya, walau hanya sebesar 4,9%. Memang, pandemi COVID-19 pada tahun lalu punya dampak positif dan negatif pada industri esports secara keseluruhan.

Di satu sisi, kebijakan lockdown yang ditetapkan oleh banyak negara berarti kompetisi esports tidak bisa diselenggarakan secara offline. Dan hal ini membuat pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise menurun. Di sisi lain, sepanjang pandemi, jumlah penonton siaran esports meroket. Pasalnya, pandemi membuat banyak kompetisi olahraga tradisional dibatalkan. Alhasil, banyak penggemar olahraga yang beralih menonton kompetisi esports, yang masih bisa diselenggarakan online.

54% dari total pemasukan industri esports berasal dari Asia. | Sumber: Niko Partners

Menurut Niko Partners, jumlah penonton esports di Asia meningkat tajam pada 2020. Tahun lalu, jumlah penonton esports di Asia mencapai 618,4 juta orang, naik 21% dari tahun 2019, yang hanya mencapai 510 juta orang. Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton, nilai hak siar dan lisensi kompetisi esports pun naik pada 2020.

Dampak Pandemi di Industri Esports Pada 2020

Pada awal 2020, pandemi memunculkan berbagai tantangan baru bagi pelaku industri esports. Untungnya, dalam waktu beberapa bulan, para pelaku industri esports bisa menyesuaikan diri sehingga industri esports bisa kembali pulih, seperti yang disebutkan oleh Lisa Hanson, President of Niko Partners. Di 2020, kebanyakan kompetisi esports memang hanya bisa diadakan secara online. Walau pemasukan dari penjualan tiket dan merchandise turun, nilai hak siar kompetisi esports justru naik. Selain itu, semakin banyak perusahaan yang menjadi sponsor di dunia esports. Alasannya, esports adalah salah satu cabang olahraga yang masih bisa diadakan di tengah pandemi.

Walau kebanyakan kompetisi esports digelar online, pada semester dua 2020, ada beberapa turnamen esports yang sudah diadakan secara offline. Salah satunya adalah League of Legends World Championship, yang diselenggarakan di Shanghai, Tiongkok. Untuk bisa mengadakan LWC secara offline, Riot menggunakan Bubble System, yang berfungsi untuk membatasi interaksi antar peserta, panitia, dan semua kru yang bertugas. Keputusan Riot Games untuk mengadakan LWC 2020 secara offline didukung oleh pemerintah Shanghai.

LPL 2021 telah diadakan secara offline. | Sumber: Sports Pro Media

Sementara itu, pada 2021, TJ Esports — perusahaan joint venture antara Riot Games dan Tencent — juga telah mencoba untuk mengadakan League of Legends Pro League (LPL) secara offline. Mereka sempat harus membatalkan rencana itu pada Q1 2021 dan melakukan refund dari tiket yang telah terjual. Namun, sekarang, LPL telah bisa digelar secara offline karena keadaan di Tiongkok sekarang sudah berangsur kembali normal. Artinya, berbagai events — seperti kompetisi olahraga, konferensi atau acara hiburan — sudah bisa diadakan secara offline.

Industri Esports di Asia Pasca-Pandemi

Tiongkok memang telah mulai pulih dari pandemi virus corona. Sayangnya, tidak begitu dengan negara-negara lain di Asia. Alexander Champlin, Director of Esports Research, Niko Partners menyebutkan, negara-negara lain di Asia membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa pulih dan kembali mengadakan kompetisi esports secara offline.

Dota 2 ONE Esports Singapore Major adalah salah satu kompetisi esports offline terbesar yang diadakan di Asia Tenggara pada 2021. Namun, diselenggarakannya kompetisi tersebut bukan bukti bahwa negara-negara di Asia Tenggara telah pulih dari pandemi virus corona,” kata Champlin pada GamesBeat. Kabar baiknya, para pelaku industri esports telah menyesuaikan diri dengan keadaan selama pandemi. Sekarang, kompetisi esports offline tak lagi menjadi pilar utama bagi industri competitive gaming di Asia.

Dota 2 ONE Esports Major Singapore diadakan secara offline. | Sumber: Win.gg

“Ketika industri esports hanya bisa berkutat di dunia online, kerja sama dengan brand dan kontrak streaming kini menjadi fokus dari pelaku industri esports,” ujar Champlin. “Kolaborasi dengan brand dan streaming merupakan dua faktor yang mendorong pertumbuhan industri esports pada 2020. Kami memperkirakan, bahkan setelah kompetisi esports bisa diadakan secara offline, kolaborasi dengan brands dan kontrak streaming masih akan menjadi pendorong pertumbuhan industri esports.”

Champlin juga menyebutkan, pada 2022, ketika semakin banyak negara yang pulih dari pandemi virus corona, kompetisi esports akan mulai kembali diadakan secara offline. Meskipun begitu, kemungkinan besar, turnamen esports online juga masih akan diselenggarakan. Alasannya sederhana: karena menggelar kompetisi esports secara online punya beberapa keuntungan. Salah satunya adalah biaya yang lebih murah. Selain itu, ketika mengadakan kompetisi online, penyelenggara turnamen juga bisa mengadakan turnamen dalam skala yang lebih besar. Proses pengadaan kompetisi online juga relatif lebih sederhana.

“Jumlah platform turnamen esports online terus bertambah. Selain itu, para sponsor dan pengiklan juga telah menjadi familier dengan turnamen online. Dua hal ini menunjukkan, kembali mengadakan kompetisi esports secara offline tidak sevital yang diperkirakan pada awal 2020,” kata Champlin. Dia menambahkan, beberapa negara mungkin akan memprioritaskan pengadaan kompetisi esports offline. Sementara sebagian yang lainnya tetap merasa tidak keberatan dengan penyelenggaraan kompetisi esports online.

“Kami memperkirakan, industri esports akan mengadopsi model hibrida dan tetap mengadakan kompetisi secara online dan offline. Negara-negara di Asia Tenggara, yang mendapatkan untung dari pariwisata esports, akan lebih cepat dalam kembali beralih ke events offline ketika keadaan sudah memungkinkan,” kata Champlin. “Sementara itu, negara-negara dengan ekosistem livestreaming yang kuat, seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan India, mereka tidak akan terlalu tergesa-gesa untuk kembali mengadakan kompetisi offline.”

Sumber header: Inven Global

The Increasing Complexity and Impact of Mobile Gaming In the Last 10 Years

Back in 1997, popular mobile games (or the only mobile games that exist) such as Snake in the Nokia phones were relatively simple in design. However, as mobile technology continues to develop, game devs continue to create more complex and interesting games. In 2002, X-Forge 3D was released. With this game engine, many games with 3D graphics or elements were created. And since then, mobile games have continued to evolve, not only in terms of visuals but also in gameplay mechanics.

The Growing Impact of the Mobile Platform in the Gaming Industry

The contribution and effects of mobile gaming on the gaming industry continue to rise every year. In 2020, almost half of the total revenue of the gaming industry came from the mobile platform. This year, mobile games contributed $90.7 billion USD — or about 52% — of the total game industry revenue, which is expected to reach $175.8 billion USD. Furthermore, when compared to the console and PC game industry, the mobile game industry also has the fastest growth rate. In the 2018-2021 period, the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the mobile game industry reached 13.1%, which is 5% greater than the average CAGR of the gaming industry.

The gaming industry in 2021. | Source: Newzoo

Mobile gaming is not only superior in terms of generating revenue but also in terms of player numbers. According to Newzoo, the estimated number of gamers in the world in 2021 is 3.22 billion. 94% of these gamers, surprisingly, play games on mobile. Furthermore, there are approximately only 1.4 billion PC gamers and 900 million console gamers in the entire world. Therefore, the population of the gaming community is extensively dominated by mobile gamers. 

If we observe how each region contributes to the growth of the overall gaming industry, Asia Pacific is still the region with the largest contribution. More specifically, the region contributed to 50% (or around $88.2 billion USD) of the total game industry revenue. However, China and the United States are the two countries with the biggest gaming industries as around 48% of the gaming industry income originates from these two countries. The gaming industry in China and the US is worth $45.6 billion USD and $39.1 billion USD, respectively.

Trends in Mobile Gaming

Due to the influx of people entering the world of mobile gaming, more and more developers are becoming interested in creating mobile games themselves. Even giant gaming companies that have solely focused on PC or consoles begin to dive into the mobile gaming scene. We can take Riot Games as an example. For 10 years, they put almost all of their focus on developing and perfecting League of Legends, their primary PC game franchise. Riot even had some disagreement with Tencent in the past since they didn’t want to launch League of Legends on mobile. Ironically, however, Riot decided to finally launch League of Legends: Wild Rift for mobile in 2020.

Blizzard Entertainment and Nintendo have also attempted to publish their own mobile game franchises. Electronic Arts have also acquired Glu Mobile, showing their interest in jumping into the mobile gaming genre. There are also some reports that EA will release a mobile version of Apex Legends next year. Besides Apex Legends, several popular game franchises, such as Devil May Cry and Final Fantasy, now also have their own mobile version. Currently, more and more popular PC and console games are also being released in mobile as game developers continue to find ingenious ways to accommodate the gaming experience into a smartphone.

Popular mobile game genres in the US, UK, China, India and Saudi Arabia. | Source: Newzoo

Mobile games are also highly popular in developing countries, including China and India, due to their relatively low entry barrier. Thus, developers who want to target the gaming market in these countries can do so by publishing a mobile game. However, it should be noted that mobile gamers in these developing countries usually prefer the more complex and competitive mobile games. In China, for instance, most gamers love the MOBA genre, followed by puzzle, shooter, and battle royale. Indian gamers, similarly, mostly play racing, puzzle, sports, and shooter games. In Saudi Arabia, the top popular gaming genres are puzzle, sports, racing, and adventure. 

In contrast, the favorite genres of mobile gamers in the US are puzzle, match, traditional card games, and arcade. Mobile gamers in the UK also seem to have a similar taste as that of the US. Perhaps the only popular competitive genre in the US is strategy, which is why games like Clash of Clans and Clash Royale from Supercell are quite trendy there. Furthermore, the 4X strategy games created by a handful of Chinese developers has also sold well in the US, making it into the list of the most popular mobile games in the country.

Mobile gamer personas in the US, UK, China, India, and Saudi Arabia. | Source: Newzoo

In its report, Newzoo categorizes mobile gamers into seven groups: Ultimate Gamer, All-Round Enthusiast, Subscriber, Conventional Player, Hardware Enthusiast, Popcorn Gamer, and Time Filler. The two most popular gamer personas are Time Fillers (24%) and Subscribers (23%). Time Fillers generally only play games in their spare time or at social events. Subscribers, on the other hand, love to play high-quality games, especially the free-to-play ones. They will also only purchase the necessary gaming hardware to be able to run the game.

Most mobile gamers in China fit into the Ultimate Gamer persona who spend most of their time and money on games. In Saudi Arabia, the US, and India, the Subscriber group are most prevalent, while UK mobile gamers generally fall into the Time Fillers group.

The Development of China’s Mobile Gaming Industry

Currently, China is the country with the largest number of core mobile gamers. The reason why this came to be was interestingly tied to the Chinese’s government decision to ban console games up to 2015. As a result, PCs became the primary gaming platform in the country. The popular PC games in China mostly come from the competitive genre such as FPS (Counter-Strike) or MMORPGs (World of Warcraft and Fantasy Westward).

It was only in 2010 that gamers in China were introduced to mobile games through the likes of Angry Birds and Fruit Ninja. Concurrently, local smartphone companies such as Xiaomi, OPPO, Vivo, and Huawei, began to shift their target market into lower and middle-class users. Slowly but surely, they began to dominate the smartphone market in China, and almost everyone in the country now has access to a smartphone. 

Seizing the growth of the smartphone market, several game developers begin creating games on the mobile platform. In 2012, Shenxiandao Mobile was launched. This release also inspired game developers to recreate mobile games that were based off popular browser games. One year later, Locojoy released I AM MT, a mobile game that successfully integrated PC game mechanics into mobile.

The increasing revenue share of complex mobile games in China. | Source: Newzoo

Game developers continue to optimize the mobile gaming mechanics to reach the standards of the PC gaming experience. Honor of Kings, released in 2015, was one of the games that had major breakthroughs in this regard. Fantasy Westward Journey and CrossFire Mobile are also prime examples of successful PC-adapted mobile games. These two games still holds the record of one of the best-selling games in China.

Trends in the PC gaming world are also often copied in mobile gaming. For instance, when the Battle Royale genre was becoming a craze in the PC gaming community, Tencent soon released PUBG Mobile, which was later re-released under the name Peacekeeper Elite.

The boom of mobile gaming in China has undoubtedly driven the emergence of mobile esports. The first-ever global mobile esports tournament was held in China back in 2019. Today, many Chinese game developers are experimenting and trending toward cross-platform games. Not so recently, miHoYo launched one of the hottest and most successful games in 2020 called Genshin Impact. And after the release of Revelation Mobile in January, it is safe to say that the trend of cross-platform games will continue for the near future. 

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Jatuh Bangun Industri Konsol Handheld: Dulu, Sekarang, dan Nanti

Mobile gaming dianggap sebagai salah satu alasan mengapa PlayStation Vita gagal ketika Sony meluncurkan handheld tersebut pada akhir 2011/awal 2012. Sejak saat itu, muncul diskusi bahwa mobile gaming akan mematikan industri konsol, khususnya handheld. Meskipun begitu, Nintendo Switch, yang dirilis pada 2017, sukses besar. Perusahaan Jepang itu bahkan berencana untuk meluncurkan versi baru dari Switch, bernama Switch OLED, pada Oktober 2021. Tak hanya Nintendo, Valve juga akan merilis handheld, yang dinamai Steam Deck, pada Desember 2021. Dua hal ini menunjukkan, industri konsol handheld masih belum mati.

Awal Mula Konsol Handheld

Tak bisa dipungkiri, Nintendo punya peran besar dalam industri konsol handheld. Empat dari lima konsol handheld terpopuler sepanjang masa merupakan konsol buatan perusahaan Jepang tersebut. Baca sejarah Nintendo di tautan ini.

Selain itu, Nintendo juga dianggap sebagai perusahaan yang berhasil mempopulerkan konsol handheld. Meskipun begitu, Nintendo bukan perusahaan pertama yang membuat konsol handheld. Perusahaan pertama yang membuat handheld adalah Mattel, yang meluncurkan Auto Race pada 1976. Walau disebut “konsol”, Auto Race hanya bisa digunakan untuk memainkan satu game balapan.

Setelah peluncuran Auto Race, ada beberapa perusahaan yang mencoba untuk mengikuti jejak Mattel, seperti Coleco dan Milton Bradley. Sama seperti Mattel, dua perusahaan itu juga membuat handheld yang hanya bisa memainkan satu game saja. Salah satu konsol handheld generasi pertama yang laku keras adalah Merlin. Konsol yang dirilis pada 1978 itu berhasil terjual sebanyak lebih dari empat juta unit.

Microvision mengawali era kedua dari konsol handheld. Konsol buatan Milton Bradley itu juga menjadi handheld pertama yang menggunakan cartridge. Dengan begitu, Microvision bisa memainkan lebih dari satu game. Namun, sejak diluncurkan, Microvision punya banyak masalah, seperti yang disebutkan oleh Engadget. Salah satunya, jumlah game yang terbatas. Selain itu, layar LCD pada Microvision juga sering mengalami masalah “screen rot” karena proses manufaktur yang primitif. Keypad pada Microvision juga mudah rusak.

Microvision dari Milton Bradley. | Sumber: Wikimedia

Konsol handheld pertama buatan Nintendo adalah Game & Watch, yang dirilis pada 1980. Sejak 1980 sampai 1991, Nintendo akan merilis beberapa versi dari Game & Watch. Pada awalnya, desain Game & Watch sangat sederhana. Di konsol ini, Anda hanya akan menemukan d-pad dan sebuah tombol. Daya tarik utama dari handheld ini adalah karena ia bisa memainkan sejumlah game yang populer ketika itu, seperti Donkey Kong, Mario Bros, dan Balloon Fight.

Pada 1984, Epoch meluncurkan handheld yang dinamai Game Pocket Computer. Konsol handheld tersebut memiliki layar LCD berukuran 75×64 pixels. Jika dibandingkan dengan Microvision, Game Pocket Computer memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Hanya saja, konsol yang hanya bisa memainkan lima game itu tetap tidak populer.

Nintendo meluncurkan Game Boy pada 1989. Game Boy bisa dibilang sebagai salah satu konsol paling sukses sepanjang sejarah. Harga yang terjangkau menjadi salah satu alasan mengapa Game Boy bisa sukses. Faktor lain di balik kesuksesan Game Boy adalah game-game yang bisa dimainkan di handheld tersebut. Ketika diluncurkan, Game Boy sudah dilengkapi dengan Tetris, yang dianggap sebagai salah satu game terbaik dari konsol ini.

Pada tahun yang sama Nintendo meluncurkan Game Boy, Atari merilis Lynx. Handheld tersebut dikembangkan oleh Atari bersama dengan Epyx. Jika dibandingkan dengan Game Boy, Lynx punya grafik yang lebih baik. Hanya saja,  Lynx juga punya harga yang lebih mahal. Atari merombak desain Lynx pada 1991. Sayangnya, hal itu tidak membuat Lynx menjadi lebih populer dan Nintendo tetap menguasai pasar konsol handheld.

Atari Lynx. | Sumber: Engadget

Selain Atari, NEC juga mencoba untuk bersaing dengan Nintendo di pasar handheld dengan meluncurkan Turbo Express dari NEC. Dari segi ukuran, Turbo Express tidak jauh berbeda dengan Game Boy. Tak hanya itu, konsol ini juga sudah punya layar warna. Anda bahkan bisa menggunakannya sebagai TV. Namun, harganya yang lebih mahal — Game Boy dihargai US$109 dan Turbo Express US$300 — membuatnya tak populer.

Pada 1990, Sega merilis Game Gear. Konsol handheld itu terbilang cukup sukses pada eranya. Sama seperti Lynx dan Turbo Express, Game Gear juga sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Sega juga berhasil menekan harga dari Game Gear, menjadi US$149. Jika dibandingkan dengan Lynx dari Atari, Game Gear juga punya pilihan game yang lebih beragam. Namun, kesuksesan Sega dengan Game Gear tetap tak bisa menggoyahkan Nintendo sebagai penguasa pasar konsol handheld.

Sega kembali menantang dominasi Nintendo dengan merilis Nomad pada 1995. Pada dasarnya, Nomad merupakan versi portable dari Genesis, home console buatan Sega. Genesis sendiri cukup populer, dengan total penjualan mencapai 30,75 juta unit. Sayangnya, baterai Nomad tidak dapat bertahan lama. Selain itu, ukuran Nomad juga cukup besar. Alhasil, handheld tersebut pun gagal.

Game.com jadi handheld pertama yang bisa terhubung ke internet. | Sumber: Wikipedia

Game.com dari Tiger Electronics menjadi konsol handheld pertama yang dilengkapi dengan internet. Handheld tersebut juga dilengkapi dengan fitur Personal Digital Assistant (PDA). Sayangnya, jumlah game yang bisa dimainkan di konsol itu tidak banyak. Selain itu, fungsi internet di konsol tersebut juga sangat terbatas. Anda hanya bisa menggunakan internet untuk membuka email atau menjelajah internet dalam bentuk teks.

Neo-Geo, yang dikenal berkat game arcade mereka, meluncurkan konsol handheld bernama Neo-Geo Pocket pada 1998. Ketika itu, Pocket masih menggunakan layar hitam putih. Sejak awal peluncuran, Pocket memang sudah menemui masalah. Satu tahun setelah Pocket diluncurkan, Neo-Geo merilis Pocket Color. Mereka juga berhasil membawa beberapa game yang menjanjikan ke konsol tersebut. Sayangnya, mereka gagal mendapatkan dukungan dari developer pihak ketiga.

Nintendo merilis Game Boy Color pada 1998. Sesuai namanya, handheld tersebut sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Selain itu, ia juga dilengkapi dengan fitur backward compatibility. Artinya, konsol itu bisa memainkan game-game di Game Boy. Hanya saja, grafik Game Boy Color lebih baik dari pendahulunya. Pada 1999, Bandai merilis WonderSwan, yang digantikan oleh WonderSwan Color satu tahun kemudian. Salah satu daya jual dari konsol buatan Bandai tersebut adalah karena ia merupakan satu-satunya handheld yang bisa memainkan game-game Final Fantasy. Hal ini membuat konsol itu cukup sukses di Jepang. Namun, hubungan Nintendo dan Squaresoft — developer dari Final Fantasy — membaik. Dengan begitu, pemilik Game Boy Advance dapat memainkan game Final Fantasy, yang merupakan kabar buruk untuk Bandai.

Game Boy Advance, yang Nintendo rilis pada 2001, juga punya dampak besar pada industri konsol handheld. Sama seperti pendahulunya, salah satu keunggulan GBA adalah pilihan game yang beragam. Di GBA, Anda bisa memainkan game-game yang di-porting dari home console Super Nintendo. Selain itu, GBA juga punya beberapa game orisinal, seperti Advance Wars. Pada 2003, Nintendo merilis versi baru dari GBA yang disebut GBA SP. Versi terbaru tersebut sudah dilengkapi dengan frontlit display.

Game Boy Advance. | Sumber: Wikipedia

Nokia mencoba untuk menarik perhatian gamers ketika mereka meluncurkan N-Gage pada 2003. Dari segi komputasi, N-Gage memang cukup mumpuni. Hanya saja, ketika itu, mobile gaming masih belum booming seperti sekarang. Orang-orang belum terbiasa dengan ide memainkan game di ponsel. Alhasil, Nokia hanya menjual 3 juta unit N-Gage. Masih pada 2003, Nintendo memperkenalkan Nintendo DS. Ketika desain DS diunggah ke internet, banyak gamers yang mereka skeptis. Namun, perlahan tapi pasti, Nintendo berhasil memenangkan hati para gamers dengan meluncurkan game-game berkualitas untuk DS.

PlayStation Portable, yang diluncurkan pada 2004, menjadi konsol handheld pertama dari Sony. Ketika diluncurkan, PSP merupakan handheld dengan daya komputasi terbaik. Selain itu, PSP juga bisa dihubungkan ke PlayStation 2 dan 3, PC, PSP lain, dan bahkan internet. Tak hanya untuk bermain game, PSP juga bisa digunakan untuk menonton film. PSP adalah satu-satunya handheld yang menggunakan Universal Media Disc (UMD) sebagai storage. Konsol handheld Sony ini cukup sukses. Buktinya, total penjualan PSP mencapai lebih dari 80 juta unit.

Tiger Telematics merilis Gizmondo pada 2005. Handheld ini punya daya komputasi yang cukup mumpuni dan punya berbagai fitur unik, seperti GPS dan kamera. Sayangnya, harga yang mahal dan kurangnya game yang menarik membuat handheld itu menjadi tidak populer. Handheld ini hanya terjual sebanyak kurang dari 25 ribu unit, menjadikannya sebagai salah satu konsol handheld terburuk. Sejak peluncuran Gizmondo, ada sejumlah handheld yang diluncurkan, seperti GP2X — yang memungkinkan untuk memainkan game dari banyak konsol lain dengan bantuan simulator — digiBlast, V.Smile Pocket, VideoNow XP, Didj, Pandora, iXL, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak ada handheld yang berhasil meraih sukses layaknya konsol buatan Nintendo.

Gizmondo dianggap sebagai salah satu handheld dengan penjualan terburuk. | Sumber: CNET

Pada 2011, Nintendo merilis 3DS. Sama seperti pendahulunya, 3DS punya dua layar. Handheld tersebut juga punya toko digital sendiri dan bisa digunakan untuk memainkan game-game DS. Sayangnya, 3DS tidak sesukses DS. Menurut GeekWire, salah satu alasan mengapa 3DS kurang populer adalah harganya yang cukup mahal, yaitu US$250 saat diluncurkan. Untuk mengatasi masalah ini, Nintendo memotong harga 3DS US$170. Sayangnya, strategi ini gagal untuk mendorong penjualan 3DS.

Di tahun yang sama, untuk lebih tepatnya pada Desember 2011, Sony juga meluncurkan handheld baru, yaitu PlayStation Vita. Walau Nintendo gagal untuk mendominasi pasar dengan 3DS, Sony juga tak bisa menggantikan posisi Nintendo dengan Vita. Sama seperti 3DS, Vita juga dianggap sebagai proyek gagal Sony. Kegagalan Vita dan 3DS bukan akhir dari indusstri konsol handheld. Masih ada sejumlah konsol handheld yang diluncurkan, seperti Kids Pad dari LG, Neo Geo X, GWC Zero, Shield Portable dari NVIDIA, GPD XD dan GPD Win, serta Arduboy. Namun, pasar konsol handheld baru kembali bergairah setelah Nintendo meluncurkan Switch, yang merupakan konsol hibrida.

Kegagalan PS Vita dan Kesuksesan Nintendo Switch

Apa yang membuat PS Vita gagal? Dan kenapa Nintendo bisa sukses dengan Switch? Sebelum membahas jawaban dari dua pertanyaan itu, coba Anda perhatikan daftar konsol handheld terpopuler di bawah ini. Daftar ini dibuat berdasarkan total penjualan dari masing-masing konsol:

1. Nintendo DS, terjual sebanyak 154 juta unit
2. Game Boy & Game Boy Color, terjual sebanyak 118,69 juta unit
3. Nintendo Switch, terjual sebanyak 84,59 juta unit
4. Game Boy Advance, terjual sebanyak 81,51 juta unit
5. PlayStation Portable, terjual sekitar 80-82 juta unit

Seperti yang bisa lihat pada daftar di atas, empat dari lima konsol handheld terlaris merupakan buatan Nintendo. Faktanya, Nintendo DS merupakan konsol paling laku nomor dua, hanya kalah dari PlayStation 2, yang merupakan konsol terpopuler sepanjang masa.

Jika dibandingkan dengan home console — seperti PlayStation dan Xbox — konsol handheld punya kelebihan sendiri. Salah satunya adalah mobilitas. Handheld tak hanya punya desain yang lebih ringkas dari home console, ia juga bisa dimainkan tanpa TV. Dengan begitu, Anda bisa membawa handheld ketika Anda sedang berpergian. Selain itu, dari segi harga, handheld juga cenderung lebih murah. Saat diluncurkan pada Maret 2017, Nintendo Switch dihargai US$300. Sebagai perbandingan, PlayStation 4 dihargai US$399 ia diluncurkan. Padahal, PS4 diluncurkan pada 2013. Tentu saja, handheld juga punya kekurangan, seperti daya komputasi yang kurang mumpuni dari home console.

Oke, sekarang, mari kita membahas tentang alasan mengapa PS Vita gagal dan Nintendo Switch sukses.

Sony meluncurkan PlayStation Vita pada Desember 2011, pada tahun yang sama ketika Nintendo merilis 3DS. Namun, seperti yang sudah dibahas di atas, 3DS tidak sesukses pendahulunya. Sayangnya, 3DS bukanlah satu-satunya pesaing yang harus PS Vita hadapi. Ketika itu, PS Vita juga harus bersaing dengan Android dan iPhone. Memang, jika dibandingkan dengan 3DS atau Vita, daya komputasi smartphone masih lebih cupu. Meskipun begitu, smartphone punya keunggulan sendiri, yaitu ia bisa digunakan untuk hal lain selain bermain game, seperti mengakses email, menonton video, dan lain sebagainya.

PS Vita punya beberapa fitur unik. | Sumber: The Verge

Untuk memenangkan hati para gamers, Sony merilis sejumlah game eksklusif untuk PS Vita, seperti Uncharted: Golden Abyss. Game itu mendapatkan skor 80% di Metacritic dan 8,5/10 di IGN, yang berarti, game itu tidak buruk sama sekali. Hanya saja, Golden Abyss — atau game-game eksklusif untuk Vita lainnya, seperti Persona 4 Golden — kurang menarik di mata gamers kasual. Pasalnya, kebanyakan game eksklusif Vita punya cerita yang berbobot. Artinya, game-game itu tidak bisa dimainkan dalam waktu sebentar, tidak cocok untuk dimainkan di sela-sela waktu luang. Sementara itu, di smartphone, Anda akan bisa menemukan banyak game kasual, seperti Candy Crush.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa Vita gagal adalah ketiadaan dukungan dari developer pihak ketiga. Game-game dari franchise populer — seperti Monster Hunter, Kingdom Hearts, Metal Gear Solid, dan Tekken — tak pernah diluncurkan untuk Vita, seperti yang disebutkan oleh The Gamer. Harga juga punya peran di balik kegagalan PS Vita. Saat diluncurkan, harga Vita cukup mahal, yaitu US$249. Bersamaan dengan Vita, Anda juga harus membeli memory cards untuk menyimpan game. Ketika itu, harga memory card belum semurah sekarang. Memory card dengan kapasitas 4GB saja dihargai US$20, sementara memory card dengan kapasitas 32GB dihargai US$100. Sekarang, Anda bisa menemukan memory card 32GB dengan harga di bawah Rp100 ribu.

Walau dianggap gagal, Vita sebenarnya punya beberapa fitur menarik, seperti cross-play. Ketika Anda memainkan game yang sama di PS3 dan Vita, Anda bisa melanjutkan game Anda dari save point yang sama. Hanya saja, fitur cross-play ini cukup merepotkan, tidak semudah fitur cross-platform di game-game modern. Untuk menggunakan fitur cross-play, Anda harus mengunggah data dari PS3 ke cloud dan mengunduhnya di PS Vita. Pada akhirnya, Sony diperkirakan hanya dapat menjual 16 juta unit PS Vita.

Switch merupakan konsol hibrida.

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Ketika itu, mobile game sudah menjadi industri dengan nilai US$46,1 miliar. Menurut perkiraan Newzoo, industri game pada 2017 bernilai US$108,9 miliar. Hal itu berarti, mobile game memberikan kontribusi sekitar 42% dari total pemasukan industri game. Namun, Nintendo Switch tetap dapat bertahan dan justru menjadi salah satu konsol handheld terpopuler. Gamasutra menyebutkan, salah satu daya tarik Switch adalah game-game eksklusif dari Nintendo, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild dan Mario Odyssey. Selain membuat game sendiri, Nintendo juga menggandeng developer pihak ketiga untuk membuat game di Switch. Berkat usaha Nintendo ini, para pemilik Switch bisa memainkan game dari berbagai franchise populer, termasuk Monster Hunter, BioShock, dan Dark Souls.

Game berbobot layaknya hukuman mati bagi Vita. Namun, hal ini justru menjadi daya jual Switch. Mengapa begitu? Alasannya sederhana: karena pada 2017, mobile gamers sudah mulai tertarik dengan game-game “serius”. Vainglory, yang merupakan game MOBA, dirilis pada November 2014. Pada 2015, Tencent merilis Honor of Kings, alias Arena of Valor. Setelah itu, Tencent juga mengembangkan ekosistem esports dari Honor of Kings. Alhasil, mobile game pun mulai dianggap serius. Pada 2016, Vulkan API dirilis. API tersebut memungkinkan smartphone untuk menampilkan grafik game yang lebih baik dan menghemat daya baterai smartphone. Dan pada 2017, Razer merilis smartphone khusus gaming, yang menjadi bukti keberadaan hardcore mobile gamers.

Selain jajaran game yang menarik, keunggulan lain dari Switch adalah desainnya yang eye-catching. Walau Switch bisa masuk dalam kategori konsol handheld, tapi ia juga bisa dianggap sebagai home console. Ketika terpasang pada dock, Switch bisa dimainkan layaknya home console biasa. Dan keunikan ini menjadi salah satu daya jual Switch.

Steam Deck: Dapatkah Membuat Industri Handheld Kembali Bergairah?

Kesuksesan Nintendo dengan Switch menjadi bukti bahwa industri handheld belum mati. Dan Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik untuk membuat konsol handheld. Pada akhir 2020, GPD, perusahaan asal Tiongkok memperkenalkan konsol handheld yang bisa digunakan untuk memainkan game PC, dinamai GPD Win 3. Sementara pada Maret 2021, Aya Neo, perusahaan asal Tiongkok lainnya, mengadakan kampanye crowdfunding di Indiegogo untuk membuat konsol handheld berbasis Windows yang bisa digunakan untuk bermain game PC.

Belum lama ini, Valve juga mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Steam Deck pada Desember 2021. Sama seperti GPD Win 3 dan Aya Neo, Steam Deck juga merupakan konsol handheld yang bisa memainkan game PC. Pengumuman akan Steam Deck disambut dengan hangat. Buktinya, hanya dalam sehari, daftar pre-order dari konsol itu langsung penuh. Keberadaan konsol-konsol handheld gaming PC ini menunjukkan bahwa masih ada tempat untuk konsol handheld di masa depan. Memang, jika dibandingkan dengan smartphone, konsol handheld sebenarnya punya kelebihan tersendiri.

Salah satu keunggulan konsol handheld adalah pilihan game yang lebih menarik. Game eksklusif merupakan strategi yang biasa digunakan oleh perusahaan  pembuat konsol seperti Sony dan Nintendo untuk mendorong penjualan konsol mereka. Sementara dalam kasus Steam Deck, konsol itu bahkan bisa mengakses ribuan game yang tersedia di Steam. Selain itu, keberadaan konsol handheld juga bisa membantu Anda untuk menghemat baterai smartphone. Pasalnya, bermain game di ponsel — apalagi game yang berat — bisa menghabiskan baterai dengan cepat. Padahal, sekarang ini, kita semakin tergantung pada smartphone. Jadi, walau smartphone bisa digunakan untuk bermain game, sebagian gamers mungkin lebih memilih untuk bermain di konsol handheld, apalagi ketika mereka sedang berpergian dan jauh dari colokan.

Steam Deck merupakan handheld yang bisa memainkan game PC. | Sumber: PC Mag

Seperti yang disebutkan oleh Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners, konsep handheld gaming PC bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, untuk mempopulerkan konsol handheld yang bisa memainkan game PC, konsol itu harus bisa memenuhi dua persyaratan. Pertama, konsol itu punya daya komputasi yang cukup mumpuni untuk memainkan game-game PC. Kedua, harga konsol tersebut cukup terjangkau bagi kebanyakan orang.

Steam Deck menggunakan AMD Zen 2. PC Gamer menyebutkan, APU yang digunakan pada Steam Deck didasarkan pada arsitektur Zen 2 — yang juga digunakan pada prosesor Ryzen 3000 — dan RDNA 2, yang bertanggung jawab atas pemprosesan grafik. Dari segi jumlah Compute Unit, Steam Deck memang masih kalah dari Xbox Series X — Steam Deck punya 8 Compute Unit dan Xbox Series X punya 20. Meskipun begitu, Valve mengklaim bahwa Steam Deck cukup kuat untuk memainkan semua game yang ada di Steam.

“Kami ingin agar Steam Deck bisa memainkan semua game yang ada di Steam,” kata Pierre-Loup Griffais, developer Valve, dikutip dari PC Gamer. “Dan kami belum menemukan game yang tidak bisa dimainkan oleh konsol ini.”

Masalah kedua yang harus bisa diselesaikan oleh Steam Deck dan konsol handheld untuk game PC lainnya adalah harga. Kepada IGN, Gabe Newell mengaku, harga yang Valve tetapkan untuk Steam Deck itu “menyakitkan”.  Namun, dia sadar, jika Valve ingin Steam Deck sukses, mereka harus rela memasang harga yang terjangkau. Berikut daftar harga Steam Deck, berdasarkan besar memori:

  • Versi 64GB, seharga US$399
  • Versi 256GB, seharga US$529
  • Versi 512GB, seharga US$649

Sebagai perbandingan, Aya Neo dihargai sekitar US$700-900, sementara GPD Win 3 dihargai US$1.60 di Amazon. Valve berani untuk menekan harga Steam Deck karena mereka masih bisa mendapatkan untung dari penjualan game di Steam. Jadi, secara teori, Steam Deck berpotensi untuk menjadi handheld yang populer. Dan hal ini bisa mendorong pertumbuhan pasar konsol handheld. Sekalipun penjualan Steam Deck tidak terlalu sukses, keberadaannya akan tetap menarik bagi sebagian gamers, khususnya fans Valve.

Penutup

Setelah mempopulerkan konsep handheld, Nintendo menguasari pasari konsol handheld selama beberapa dekade. Walau sempat gagal dengan 3DS, Nintendo kembali mendulang sukses ketika mereka merilis Switch. Kesuksesan Nintendo dengan konsol handheld mendorong banyak perusahaan lain untuk membuat handheld. Namun, tidak ada konsol yang dapat menggoyahkan posisi Nintendo. Dalam daftar konsol handheld terlaris sepanjang masa, PSP jadi satu-satunya konsol yang tidak dibuat oleh Nintendo.

Meskipun begitu, saat ini, muncul beberapa perusahaan yang mencoba untuk merealisasikan konsep handheld gaming PC, seperti Valve, GPD dan Aya Neo. Dari ketiga perusahaan itu, Valve menjadi satu-satunya perusahaan yang berani menekan harga dari konsol mereka. Tidak heran, mengingat Valve memang lebih besar dari GPD dan Aya Neo. Selain itu, walau Valve hanya mendapatkan untung kecil dari penjualan Steam Deck — atau justru tidak mengambil untung sama sekali — mereka masih bisa mendapatkan untung dari Steam.

Terlepas dari itu, jika konsep handheld gaming PC berhasil direalisasikan, hal itu akan mengubah lanskap industri gaming, membuat konsol handheld kembali relevan dalam industri game saat ini.

Sumber header: Tom’s Guide

Industri Mobile Game Tumbuh Pesat, Amerika Latin Menarik Perhatian Publisher

Pada akhir Juni 2021, Moonton mengungkap bahwa mereka bakal menggelar Mobile Legends Professional League (MPL) di Brazil, yang merupakan MPL pertama di luar Asia tenggara. Tak lama kemudian, Riot Games juga mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan kompetisi Wild Rift di Brazil. Hal ini sebenarnya tidak aneh, mengingat Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya memang memiliki industri mobile game yang cukup besar. Berikut data terbaru tentang industri mobile game di Amerika Latin.

Industri Mobile Game Amerika Latin

Sama seperti Asia Tenggara, di Amerika Latin, mobile game merupakan segmen industri game yang paling besar. Sebanyak 273,4 juta orang (sekitar 58% dari total populasi Amerika Latin) bermain mobile game. Dari segi pemasukan, pendapatan industri mobile game di Amerika Latin diperkirakan akan mencapai US$3,5 miliar pada 2021, menurut data dari Newzoo. Angka itu diduga akan naik menjadi US$5,1 miliar pada 2024.

Brazil merupakan negara dengan industri mobile game terbesar di kawasan Amerika Latin, baik dari segi jumlah gamers maupun total belanja para gamers. Pada 2021, 88,4 juta mobile gamers yang ada di Brazil menghabiskan lebih dari US$1 miliar. Sementara itu, negara dengan industri mobile game terbesar kedua di Amerika Latin adalah Meksiko. Industri mobile game di Meksiko bernilai hampir US$900 juta.

Pengelompokan gamers di Amerika Latin berdasarkan umur. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin ada di rentang umur 21-35 tahun. Dari segi gender, jumlah mobile gamers perempuan hampir sama dengan jumlah gamers laki-laki. Karena kebanyakan mobile gamers di Amerika Latin berumur di atas 20 tahun, mereka sudah punya pekerjaan. Faktanya, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin punya pemasukan yang cukup besar. Karena itu, mereka tidak keberatan untuk menghabiskan sebagian uangnya untuk game.

Karakteristik Pemain Mobile Game di Amerika Latin

Kebanyakan mobile game bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, tidak semua mobile gamers rela menghabiskan uang untuk membeli item dalam game. Di Asia Tenggara, total spending para gamers dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dari negara tempat gamers tinggal. Semakin tinggi pendapatan per kapita sebuah negara, semakin besar pula besar spending dari para gamers. Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah tiga negara dengan Average Revenue Per User (ARPU) terbesar di Asia Tenggara, mencapai sekitar US$25-60.

Di Amerika Latin, total belanja rata-rata dari seorang gamer di 2021 adalah US$27,3, naik dari US$26,1 pada 2020. Sementara itu, dari 273,4 juta pemain di Amerika Latin, sebanyak 128,5 juta orang — atau sekitar 47% — merupakan pemain berbayar. Jumlah pemain berbayar di kawasan Amerika Latin juga menunjukkan tren naik. Pada 2020, jumlah pemain berbayar hanya mencapai 46% dari total mobile gamers di kawasan tersebut.

Jumlah mobile gamers dan spenders di Amerika Latin. | Sumber: Newzoo

Google Play Store memberikan kontribusi terbesar pada total pemasukan mobile game di Amerika Latin. Faktanya, 68% dari total pemasukan toko aplikasi berasal dari Google Play. Sementara App Store hanya berkontribusi 29,9% dan toko aplikasi lain 1,5%. Google Play menjadi platform favorit para mobile gamers di Amerika Latin untuk berbelanja karena jumlah pengguna Android di Amerika Latin memang lebih banyak dari jumlah pengguna iPhone. Pasalnya, dengan spesifikasi serupa, harga Android cenderung lebih murah dari iPhone. Tak hanya itu, Android juga menawarkan lebih banyak pilihan untuk smartphone kelas menengah dan bawah.

Faktor Pendorong Pertumbuhan Industri Mobile Game di Amerika Latin 

Salah satu hal yang membuat industri mobile game di Amerika Latin tumbuh pesat adalah entry barrier mobile game yang cenderung rendah. Negara-negara Amerika Latin punya peraturan yang ketat terkait impor. Alhasil, harga konsol dan PC gaming di sana melambung. Jika dibandingkan dengan konsol atau PC gaming, smartphone memiliki harga yang jauh lebih terjangkau. Hal ini membuat penetrasi smartphone di kawasan Amerika Latin cukup tinggi. Pada akhir 2021, diperkirakan, 53% dari total populasi Amerika Latin (sekitar 351,9 juta orang) memiliki smartphone. Dan pada 2023, jumlah pengguna smartphone di Amerika Latin diduga akan naik hingga lebih dari 400 juta orang.

Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri mobile game di Amerika Latin adalah pesatnya pembangunan infrastruktur internet di kawasan tersebut. Seiring dengan semakin luasnya jangkauan internet di Amerika Latin, industri mobile game pun akan semakin berkembang. Ke depan, penggelaran jaringan 5G juga akan mendorong pertumbuhan pengguna internet. Pada akhir 2021, jumlah smartphone yang sudah dapat menggunakan jaringan 5G diduga akan mencapai 20 juta unit. Angka itu diperkirakan akan naik 5 kali lipat pada akhir 2023. Sayangnya, perkembangan jaringan internet di negara-negara Amerika Latin tidak merata. Tingkat penetrasi internet di negara Amerika Latin tergantung pada beberapa faktor, yaitu politik, keuangan, regulasi, dan topologi dari masing-masing negara.

Tema favorit para mobile gamers di Amerika Latin. | Sumber: Newzoo

Pembangunan jaringan internet memang akan membuat industri mobile game menjadi semakin maju. Hanya saja, dampak pembangunan infrastruktur internet pada industri mobile game tidak selalu sama untuk setiap negara. Di negara-negara dengan industri mobile game yang tidak terlalu besar — seperti Chili, Kolombia, dan Peru — jaringan internet yang lebih baik akan menguntungkan developer indie, karena jumlah pengguna smartphone dan internet akan meningkat.

Sementara di negara-negara dengan industri mobile game besar — seperti Argentina, Brazil, dan Meksiko — keberadaan jaringan 5G justru akan mendorong kemunculan mobile game dengan grafik yang lebih baik dan gameplay yang lebih kompleks. Tak hanya itu, jaringan internet yang lebih stabil dengan kecepatan lebih tinggi juga akan membuat pengalaman bermain multiplayer mobile game menjadi lebih baik. Dan hal ini akan mendorong pertumbuhan industri mobile esports di negara-negara tersebut.

Skena Mobile Esports di Amerika Latin

Sama seperti di Asia Tenggara, mobile esports juga tumbuh pesat di Amerika Latin. Beberapa mobile esports yang populer di sana antara lain Free Fire, Arena of Valor, dan Mobile Legends: Bang Bang. Mobile esports khususnya populer di kalangan gamers muda karena harga smartphone yang lebih murah dari konsol atau PC gaming. Para gamers muda yang tidak bisa membeli PC atau konsol bisa menjajaki dunia esports melalui mobile esports.

Karakteristik mobile gamers di Amerika Latin menjadi salah satu alasan mengapa skena mobile esports di sana bisa tumbuh. Mengingat mobile merupakan platform gaming utama bagi sebagian besar gamers di Amerika Latin, banyak mobile gamers di sana yang menyukai game-game kompetitif. Tren ini berbeda dengan tren di Amerika Utara, yang kebanyakan mobile gamers-nya lebih senang memainkan game kasual. Di Amerika Latin, sebanyak 35% gamers mengaku bahwa strategi menjadi genre favorit mereka. Genre favorit kedua bagi mobile gamers Amerika Latin adalah shooter (32%), diikuti oleh racing (30%). Sementara itu, dari segi pemasukan, battle royale menjadi genre dengan pemasukan terbesar, diikuti oleh strategi, puzzle, shooter, dan adventure.

Soal tema, sebanyak 47% mobile gamers di Amerika Latin mengaku paling suka dengan game bertema science fiction, sementara 43% lainnya sangat menyukai game bertema fantasi. Bagi 30% mobile gamers di Amerika Latin, open world merupakan fitur yang paling menarik dari sebuah game. Sementara 29% mobile gamers memprioritaskan aspek naratif dari sebuah game. Sekali lagi, dua hal ini menunjukkan bahwa mobile gamers di Amerika Latin memang merupakan core gamers.

Sumber header: TechRadar

Accenture Report: 84% of Gamers Use Gaming as a Socializing Tool

Gamers are often seen by the public as antisocial, which may be true to a certain degree. However, today, games are not simply used as a means of personal entertainment but also as a medium of communication. Especially in midst of a lockdown due to the COVID-19 pandemic, games have become the bridge that connects friends and people alike around the world.

The Growth of the Gaming Industry

According to Accenture, the gaming industry is estimated to be worth $200 billion. Today, approximately 2.7 billion people in the world play games. China, the United States, and Japan are the three countries with the largest gaming industries. China is estimated to have a population of 929 million gamers, and its gaming industry is valued over $51 billion USD. On the other hand, the US gaming industry is worth around $48 billion USD while housing over 219 million gamers.

In terms of population size, Japan will never come close to China or the United States. However, pound for pound, the game industry in Japan is incredibly massive. Despite its minuscule population, there are around 75 million gamers in Japan. Its gaming industry is also estimated to be worth over $24 billion USD. Apart from China, the US, and Japan, there are 17 other countries with gaming industries valued at over $1 billion USD. UK, Italy, Germany, Canada, South Korea, France, and Spain are some examples.

Gender proportions among gamers. | Source: Accenture

There is a strong belief within the gaming community that the gamer population is dominated by males. This assumption, however, is totally wrong. According to Accenture, 46% of the gamer population are female, 52% are male, and the remaining 2% fall into the non-binary category or people who do not want to mention their gender. Indeed, there are almost as many female gamers as there are male gamers. The rise in the number of females playing games is assumed to be the product of mobile gaming, which makes games far more accessible in general. 

In terms of experience at gaming, Accenture divides its four thousand respondents into two categories: gamers with more than five years of playing experience and gamers who have only played for the past one to four years. Interestingly, newer gamers have different characteristics from the more experienced gamers. In terms of age, new gamers are, of course, generally younger. The average age of less experienced gamers is 32 years old, while the average age of the more experienced gamers is 35 years old. The percentage of new and experienced gamers below the age of 25 is 30% and 25%, respectively. Most of the new gamers, 60% to be exact, are also women. On the other hand, females only populate around 39% of the experienced gamers group.

Industries That Have Benefitted from the Gaming Industry

The rapid growth of the gaming industry has also catalyzed the emergence of other related industries such as esports. Currently, these newborn industries are estimated to have a value of $100 billion USD. Here some examples of these industries and their respective net worth:

  • Esports, $1.3 billion USD
  • Gaming accessories for PC, $12 billion USD
  • PC gaming hardware, $39.3 billion USD
  • Mobile devices, $39.7 billion USD
  • Gaming content creation, $9.3 billion USD
Various industries that have benefited from the development of the gaming industry. | Source: Accenture

The rising popularity of gaming has also undoubtedly impacted mainstream culture. In the film industry, for example, there are a number of films that were based on video games, such as Angry Birds and War of Warcraft. Unfortunately, I must admit that most of these video game adaptation movies have drawn more criticism than praise from its fanbase. In addition to the film industry, gaming also had an impact on the toy and esports industry. Innovations in the gaming industry have also been translated into other fields ranging from education, health, and even the military. For example, education is one of the fastest-growing categories on Roblox.

The concept of gamification is also widely used by people outside gaming. As an illustration, many teachers today implement a point or ranking system in their classes to introduce competitive spirits between students. Games, nowadays, are also used as a place to hang out or socialize instead of just being a tool of personal entertainment. As proof, Travis Scott’s virtual concert at Fortnite was “attended” by 12 million players around the world. Due to the current pandemic lockdown, people also celebrate important moments, such as birthdays and weddings, in video games.

The Social Aspects of Gaming Drives the Growth of Its Industry

One of the driving factors behind the growth of the gaming industry is the development of mobile devices. For one, smartphones are usually much cheaper and accessible than gaming PCs or consoles. Furthermore, a majority of mobile games are free-to-play. Interestingly, however, the emergence of mobile games does not cannibalize the console and PC game market and instead encourages game developers to focus more on the social aspects of gaming. Therefore, don’t be surprised that more and more people today use gaming as a socializing tool.

According to data from Accenture, 84% of gamers say that they use games as a means of socializing with people with similar interests. Many gamers also play to find new friends online. This trend is further reinforced by the current COVID-19 pandemic. 74% of the respondents admitted that the pandemic has pushed them to socialize more through games. Furthermore, as many as 75% of gamers mentioned that a majority of their social interactions occur in games or gaming-related platforms such as Discord.

The importance of social aspects in games. | Source:Accenture

For most gamers, the gaming world plays an important role in their social life. Accenture’s data also shows that gamers spend about 16 hours every week playing games. On average, gamers also spend 8 hours a week watching gaming content and 6 hours on socializing in gaming communities or forums.

Unfortunately, the gaming community is also often known for its bizarre toxicity. Therefore, it is imperative that gamers always try to find suitable friends or communities that can mesh well with their personality. In fact, 84% of the respondents in Accenture’s survey admitted that having the right group of friends is key to an enjoyable online gaming experience. 

Finding a suitable group of friends while playing games is incredibly important. | Source: Accenture

All these data above show that the social aspects of gaming are becoming the main attraction for many gamers today. Thus, creating interesting games from popular franchises will simply no longer cut it. Instead, game developers must always think out of the box to innovate and optimize the social interactions and experiences between the players.

Featured Image: Team17. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

DS/innovate Rilis Laporan Singkat Tentang Esports

Dalam perkembangan ekosistem esports yang terus tumbuh, terutama di Indonesia, menjadi menarik untuk melihat dan menganalisa, potensi apa saja yang bisa baik dari sisi model bisnis atau dari sisi pelakunya sendiri.

Ekosistem esports cukup luas, mulai dari publisher game, event organizer, organisasi esports, wasit, broadcast company, brand, media dan masih banyak lagi turunan dari masing-masing elemen.

DS/innovate sebagai sebuah firma riset baru-baru ini merilis laporan singkat terkait esports berjudul Esports Report: Market Overview 2021. Dalam laporan singkat ini ditampilkan berbagai data global, regional dan lokal untuk memberikan perspektif akan ekosistem esports yang kini masih terus berkembang.

Laporan bersifat singkat dan merangkum data dari berbagai sumber, data yang dihadirkan meliputi paparan sejarah singkat perkembangan esports, informasi singkat tentang ekosistem yang ada di esports sampai dengan data tentang pangsa pasar dan tren di esports. Data juga mencakup data global dan regional.

Untuk pasar Indonesia, laporan ini juga mengumpulkan data-data menarik, termasuk game yang paling sering ditonton, pertumbuhan pasar di Indonesia untuk gaming dan esports, platform populer untuk menonton esports sampai dengan data singkat tentang key player untuk esports di Indonesia.

Beberapa data menarik

Dari laporan singkat ini ada beberapa data menarik antara lain tentang layanan populer untuk streaming di Indonesia dan perangkat apa yang populer untuk menonton serta topik terkait item di game.

Tiga layanan untuk streaming yang paling populer di Indonesia menurut data bulan Januari 2021 adalah Youtube, Nimo TV dan Gox. Youtube memang menjadi salah satu channel atau saluran utama pagi penikmat esports di Indonesia dalam menikmati konten, baik itu live streaming turnamen atau konten lain dari para konten kreator termasuk organisasi esports. Popularitas Youtube di ranah game juga terbantu oleh penggunaan platform ini sebagai layanan utama untuk menikmati konten di luar gaming seperti musik, teknologi dan lainnya.

Dua layanan lain, Nimo TV dan Gox sering menjalankan program termasuk kerja sama dengan turnamen esports untuk mengajak audiense menikmati konten live streaming di layanan mereka. Nimo TV juga bekerja sama dengan organisasi esports untuk menghadirkan koten di platform mereka. Sedangkan GOX merupakan pendatang baru yang di awal kehadirannya cukup agresif dalam mengajak penikmat game untuk beraktivitas di platform mereka.

Untuk 3 perangkat smartphone yang paling populer digunakan dalam menonton tayangan terkait esports adalah Samsung, Xiaomi dan OPPO. Tiga perangkat ini merupakan brand yang populer di Indonesia. Samsung dan OPPO juga aktif mendukung kegiatan esports. Sedangkan Xiaomi merupakan perangkat yang cukup populer dengan harga terjangkau tetapi spesifikasi cukup tinggi.

Selain data tentang platform streaming ada pula data tentang item apa yang paling sering dibeli oleh gamers tanah air. Dari data yang tersedia item yang paling sering dibeli antara lain diamond atau currency di game, character items dan characer skin.

Sedangkan alat bayar yang paling pupuler di gunakan adalah Gopay, OVO dan DANA. Tiga layanan bayar ini memang telah menjadi alat pembayaran digital di tanah air, digunakan pula untuk berbagai keperluan seperti membeli makanan atau alat transportasi, integrasi dengan berbagai layanan voucher atau game juga menjadikannya semakin populer untuk membeli item di game.

Esports Report: Market Overview 2021 merupakan laporan singkat terbaru yang dirilis DS/innovate dan bisa Anda dapatkan secara gratis. Dua informasi singkat di atas hanya sebagian kecil dari keseluruhan laporan.

Anda bisa mengunduh Esports Report: Market Overview 2021 lewat tautan ini.
Esports Report: Market Overview 2021.

App Annie & IDC: A Year after the Pandemic Started, Gamers Still Love Spending Money

The COVID-19 pandemic has highly benefited the growth of the gaming industry. In addition to the boost in sales of games, consoles, and gaming hardware, the pandemic has also increased the average playing time of most gamers. Although citizens of some countries have been freed from the COVID-19 calamity and went back to living life normally, the trends that emerged due to the pandemic — such as playing more games and watching more gaming streams — are surprisingly persisting.

The Driving Force of the Game Industry’s Growth: Mobile Gaming

Currently, mobile gaming seems to have the largest contribution in terms of consumer spending growth in digital games. According to the report published by App Annie and IDC, the total expenditure of mobile gamers around the world was over $120 billion USD, 2.9 times as much as the total spending of PC gamers, which only reached $41 billion USD. Console and handheld console players, on the other hand, had a total expenditure of $39 billion USD and $4 billion USD, respectively.

In the case of mobile gaming, Asia Pacific is still the region with the largest contribution to gamer’s total spendings, 50% to be exact. Interestingly, this figure actually plateaued throughout the pandemic. Instead, gamers in other regions, like NA and Western Europe, experienced an increase in gaming expenditure. Although the Asia Pacific region had massive spending in mobile games, expenses from PC/Mac gamers in the region declined marginally by 4%. This trend can be explained perhaps by the unfortunate closing of many internet cafes in the pandemic.

Gamers’ Spending in each platform. | Source: App Annie

On the other hand, the total worldwide expenditure in the realm of console gaming is expected to rise due to the launch of PlayStation 5 and Xbox Series X/S at the end of 2020. App Annie and IDC also mentioned that the console gaming audience has the potential to grow exponentially in the Asia Pacific region. With the recent launch of Xbox Series X in China on June 10, 2021, and PlayStation 5 on May 15, 2021, we should expect to see a surge in the console player population in Asia. In terms of handheld consoles, Nintendo Switch Lite is currently the only console that incentivizes consumption growth. As of September 2020, Nintendo has discontinued the production of the 3DS. Fortunately, the e-shop of the 3DS is still accessible.

In the United States, console sales increased rapidly in April 2020 after the US government announced the country’s lockdown. As console sales increase, more and more people subsequently download companion apps — such as Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, and Xbox — that allow their PC/console game accounts to be accessible through their smartphones. Additionally, these companion apps also has chatting features so users can interact with their friends. Some apps also offer cloud gaming features that allows gamers to play their console games via smartphones.

Cross-Platform Games

One of the gaming trends that persisted after the COVID-19 pandemic is the rate of mobile game downloads. In the first quarter of 2021, there were over 1 billion mobile game downloads globally. This figure is 30% greater compared to Q4 of 2019. Expenditures on mobile games also increased in the same period. In Q1 2021, the total spending of mobile gamers around the world reached $1.7 billion USD per week, an astounding increase of 40% from the pre-pandemic period. Many game publishers, as a result, began placing their interest in launching games on the mobile platform.

Global weekly game downloads and consumer spendings. | Source: App Annie

Just like the mobile game segment, PC gaming also experienced some degree of growth during the pandemic. We can find this trend in the rise of Steam’s concurrent users and players. From October 2019 to April 2020, the number of daily concurrent users on Steam increased by 46% to a staggering 24.5 million users. Steam’s daily concurrent players also surged by 61% to 8.2 million. However, if we extend the period to March 2021, Steam’s daily users and player numbers reached 26.85 million (46% increase) and 7.4 million (60% increase), respectively. As we see from the statistics above, Steam’s player and user count did not decline but, instead, persisted after the pandemic.

What makes games so popular in the pandemic? According to App Annie and IDC, online real-time features — such as PvP — are highly common in today’s popular games, regardless of the gaming platform. In other words, most gamers want to play and interact with each other. After all, games can help cope with the loneliness of the pandemic isolation by providing a medium to connect with friends. Another feature that is rising in popularity is cross-play: a feature that allows gamers to play one game on multiple platforms. For example, players can start a game on PC and continue playing it on mobile or vice versa.

Steam’s daily concurrent users and players. | Source: IDC

An example of a game that, by far, has implemented the best cross-play feature is Genshin Impact. Since its launch in September 2020, miHoYo (the game dev of Genshin Impact) immediately released the game on several platforms at once: PC, console, and mobile. miHoYo’s decision to prioritize cross-play features — such as cross-save and co-op modes across platforms — is one of the reasons why Genshin Impact has successfully become a phenomenon in the gaming world.

Another popular cross-platform game is Among Us. In the span of just a few months in 2020, the player count of Among Us skyrocketed. In January 2020, the number of concurrent players in Among Us was less than a thousand. However, in September 2020, over 400 thousand people around the world were playing the game. Among Us is also incredibly popular on the mobile platform. At some point, Among Us download numbers in mobile were able to peak in the US, UK, and South Korea.

Gaming Stream Watch Times

The pandemic has also increased the amount of time people spend watching gaming content broadcasts. Up until April 2021, user engagement rates from Twitch and Discord continue to rise. In China, the watch times of game streaming platforms such as bilibili, Huya, and DouyuTV, have also gone up. The largest increase, uncoincidentally, occurred in the first half of 2020, which is when the COVID-19 pandemic started to emerge and forced people into quarantining in their homes.

 

The average time users spend watching gaming streams per month in different streaming platforms. | Source: App Annie

Viewers also become less hesitant in spending money on these platforms as they become more invested in them. Recently, there has been a steady rise in the total expenditure of Twitch and Discord users. In Q4 2020, Twitch managed to enter the list of 10 non-gaming applications with the largest total revenue. Twitch even climbed to 8th place on the list during the first quarter of 2021.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Niko Partners: The Growing Esports Viewership in Southeast Asia

The gaming industry in the Greater Southeast Asia region — including Southeast Asia and Taiwan — is estimated to be worth$8.3 billion USD by 2023. One of the primary driving factors behind the growth of the gaming industry at GSEA is esports. This is not a surprise considering that most gamers in Asia are also esports enthusiasts. According to data from Niko Partners, around 95% of PC gamers and 90% of mobile players in Asia are, to a certain extent, active or interested in the esports world. In a previous article, we already discussed the state of the gaming industry at GSEA in 2020. This time, we will dive deeper into the esports world in Asia, especially SEA.

The Esports Audience in Southeast Asia

According to Niko Partners’ data, the number of esports viewers in East Asia and Southeast Asia reaches 510 million people. Furthermore, around 350 million of these esports fans came from China, and the remaining 160 million are from Southeast Asia, Japan, and South Korea.

“There are approximately 100 million esports viewers throughout Southeast Asia. The number of viewers and players in each specific country, more or less, is directly proportional to the population size and internet quality in the country,” said Darang S. Candra, Director of Asia’s Gaming Market Research Company, Niko Partners. “In SEA, Indonesia has the largest number of viewers and esports players, followed by the Philippines, Vietnam, Thailand, Malaysia, and Singapore.” If you want more details regarding the statistics of the esports audience in SEA, you can refer to Niko Partner’s premium report.

The population size and internet speeds in Southeast Asian Countries.

The five countries in Southeast Asia with the largest population are Indonesia, the Philippines, Vietnam, Thailand, and Myanmar. In terms of internet speed, Singapore comes on top not only in the SEA region but also throughout the world. According to data from Speedtest, the average speed of a fixed broadband network in Singapore reaches 245.5 Mbps. As you can see in the table above, although Indonesia has the largest population, the country’s internet quality is relatively subpar when compared to the other countries in Southeast Asia.

The Philippines, by far, is the country in SEA that has racked up the most top-tier esports achievements. For instance, the Philippines managed to bring home the most medals (3 gold, 1 silver, 1 bronze medal) from the esports section at the 2019 SEA Games. As a comparison, Indonesia’s esports team only managed to win two silver medals.

The Philippines won three gold medals in three different games: Dota 2, StarCraft II, and Mobile Legends: Bang Bang. Last January, Bren Esports, a Filipino team, also won the M2 World Championship. The StarCraft II player who won the gold medal for the Philippines was Caviar “EnDerr” Acampado, a pro StarCraft II player since 2011. EnDerr is still active in the StarCraft II esports scene until this very day. In 2021, he has even won two minor tournaments called PSISTORM StarCraft League – Season 1 and Season 2. Last 2020, he also won a major Starcraft II tournament, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

The Philippines also houses many talented Dota 2 players and teams. In addition to successfully bringing home a gold medal at the 2019 SEA Games, the Philippines also has a formidable Dota 2 team called TNC Predator. Not long ago, TNC won the Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. In 2020, they also placed first in both the BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia and ESL One Thailand 2020: Asia. Furthermore, they also won the MDL Chengdu Major and ESL One Hamburg in 2019. TNC is also one of the few SEA teams that consistently made it into The International, qualifying for four consecutive years from 2016 to 2019.

TNC Predator is regarded by many to be the best Dota 2 team in SEA. | Source: IGN

Another member of the Philippines’ esports arsenal is Alexandre “AK” Laverez. He is a professional Filipino Tekken player who brought home the silver medal at the 2019 SEA Games. AK is incredibly well-known in the global Tekken esports scene since 2013. At that time, he managed to place third in the Tekken Tag Tournament 2 Global Championship despite being only 13 years old. In addition, he also won the runner-up position at the WEGL Super Fight Invitational and EVO Japan 2019.

However, Indonesian esports teams also do have their own set of accomplishments. When compared to most esports organizations in other Southeast Asian countries, the Indonesian esports team is incredibly popular. In fact, the three most popular esports teams in Southeast Asia (EVOS Esports, Aura Esports, and RRQ) are all based in Indonesia.

Esports Tournament Ecosystem in Southeast Asia

The number of esports players and viewers in a region can only grow if its ecosystem is healthy and thriving. Fortunately, the esports industry in Southeast Asia has a lot of potential. Lisa Cosmas Hanson, President of Niko Partners, even said that it is incredibly likely that SEA will become a global esports center in the future. To test this prediction, we can take a look at the number of esports tournaments held in the region.

“In 2020, there were over 350 major tournaments held in the Southeast Asian region. This figure does not even include amateur or small-scale tournaments,” said Darang.

Phoenix Force from Thailand won FFWS 2021. | Source: The Strait Times

The esports tournament prize pools in SEA are also quite large. Free Fire World Series (FFWS) 2021 is, by far, the esports tournament with the largest total prize pool in the region, reaching $2 million USD. Furthermore, this tournament broke the record for the largest viewing numbers in all of esports. During its peak, FFWS 2021 managed to accumulate viewership numbers of 5.4 million people. In comparison, the 2019 League of Legends World Championship — the previous title holder of the largest audience in an esports tournament — only had a peak of 3.9 million viewers.

Besides FFWS 2021, another esports tournament that offers a massive prize pool is the ONE Esports Singapore Major, which has a hefty $1 million USD prize pool. In 2018, another Dota 2 tournament held in SEA, the Dota 2 Kuala Lumpur Major, also had a $1 million USD prize pool.

Currently, many esports leagues in Southeast Asia implement the franchise model, which is predicted to be the trend in the future. An example of these leagues is Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). There is also a rumor that MPL Philippines will be adopting the franchise model in Season 8. The Free Fire Master League has also used a league system similar to the franchise system. Each team is required to pay a certain amount of money if they wish to participate in the FFML. Esports organizations also have the choice to include more than one team to participate in the league. This contract between esports teams and the tournament organizers usually only lasts for the duration of one season.

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo