Bank Jago Siapkan Layanan Syariah dan Pembiayaan UMKM Tahun Ini

Selain integrasi bertahap dengan ekosistem Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) juga bersiap menambah cakupan layanan perbankan digital di 2021.

Segmen pasar yang dibidik Bank Jago di tahun ini antara lain middle income dan mass market, termasuk dalamnya UMKM dan retail (consumer), baik konvensional maupun syariah.

President Director Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar mengungkap ada dua fokus utama yang dipersiapkan, yaitu layanan syariah berbasis digital dan penyaluran pinjaman melalui platform digital untuk UMKM.

Berikut ini adalah kelanjutan wawancara ekskusif DailySocial dengan Kharim Indra Gupta Siregar dan Komisaris Bank Jago Anika Faisal.

Perbankan syariah digital

Saat ini, Bank Jago tengah mengeksplorasi apakah syariah digital ini akan hadir dalam aplikasi baru atau hanya layanan tambahan di aplikasi yang sudah ada, yakni Jago App. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan terkait pengembangan ini.

Menurut Kharim, selama ini produk perbankan syariah di Indonesia cenderung diasosiasikan sebagai produk berbeda dengan induk usahanya yang notabene merupakan bank konvensional. Faktor ini membuat pengembangan layanan syariah baru juga ikut-ikutan memakai cara konvensional.

Peluang pasar bank syariah juga sangat besar mengingat penetrasinya di Indonesia masih rendah. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.

Di samping itu, selama ini layanan perbankan mobile syariah kebanyakan memanfaatkan menu USSD mengingat ekosistem digital saat itu belum siap, smartphone dan airtime masih terbilang mahal.

Ia menilai posisi Bank Jago sebagai tech-based bank memberi ruang bagi perusahaan untuk memanfaatkan 100% kapabilitas yang sama dalam mengembangkan platform perbankan syariah. Jika memang hadir dalam bentuk aplikasi, pihaknya bakal menduplikasi fitur Pocket (Kantong) Jago App ke platform syariah.

“Saat ini, kami sedang melalui berbagai proses, seperti approval dan lainnya. We will have it soon. Kami lihat ada peluang bagus di mana pengguna syariah bisa mendapatkan layanan serupa di Jago App. Kami sediakan semua capabilities di situ,” ujar Kharim.

Sementara itu, Anika Faisal menganggap saat ini belum ada produk perbankan syariah di Indonesia yang mampu memberikan user experience yang bagus. Menurutnya, berbagai pertimbangan ini untuk memastikan perusahaan dapat memberikan product proposition yang sama bagusnya dengan Jago App.

“Saya memiliki preferensi sendiri untuk layanan syariah, bukan konteksnya [preferensi layanan] golongan riba atau tidak. Sayangnya, mobile banking syariah di Indonesia saat belum bisa kasih convenience. Makanya, saya challenge apakah Bank Jago bisa produk yang punya convenience yang bagus. Produk [syariah] pada dasarnya sama, tetapi yang penting adalah layanannya,” jelasnya.

Digital lending untuk UMKM

Pada 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontrobusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.

Laporan Bain & Company di 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta jiwa atau 50% dari total populasi yang belum mendapatkan akses ke layanan perbankan (unbanked). 25% atau 47 juta jiwa di antaranya belum punya akses memadai ke layanan perbankan (underbanked).

Bank Jago melihat ada potensi menjanjikan pada kedua segmen ini. Dalam laporan keuangan 2020, Bank Jago menyebut akan membangun bisnis pembiayaan dengan ekosistem digital yang dikelola lewat Partnership Lending (Business Finance Solution). Sejak tahun lalu, Bank Jago telah menggandeng platform fintech untuk menyalurkan pembiayaan.

Beberapa yang sudah diumumkan antara lain Akseleran, Akulaku Finance, dan AdaKami.

Kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat proses akuisisi customer yang didefinisikan Bank Jago sebagai segmen pra sejahtera produktif. Segmen ini dinilai sudah melewati tingkat kemiskinan, tetapi tetap membutuhkan pembiayaan. Pihaknya menargetkan lending ini akan terdistribusi secara signifikan ke segmen tersebut.

Kami akan menyiapkan produk/layanan untuk segmen wirausaha karena kami melihat ada potensi besar dari segmen pelaku usaha yang belum sepenuhnya formal ini. We are going to announce and it’s in progress. Setelah right issue kedua, kami dapat modal kuat untuk pursue pertumbuhan lending karena legacy produk lending kami tidak banyak. Jadi kami bisa lebih fokus ke partnership. Saat ini, kami sudah bermitra dengan sepuluh lending sites,” papar Kharim

Secara keseluruhan, ungkapnya, Bank Jago menutup pertumbuhan apik pada penyaluran pinjaman. Menurut catatannya, per akhir 2020 hingga kuartal pertama 2021, Bank Jago telah menyalurkan pinjaman dari sekitar Rp900 miliar ke Rp1,3 triliun dengan kenaikan 40%.

Kharim mengungkap, pihaknya akan berkolaborasi dengan mitra untuk menyediakan produk lending di Jago App demi mendukung proses underwriting dan menentukan apakah calon customer layak diberikan pinjaman.

“Saat ini, nasabah Gojek sudah ditawarkan produk PayLater. Artinya, ada analitik di belakang untuk menyediakan lending ke customer. Untuk model ini, kami ingin perluas apa yang bisa diberikan lewat produk lending. Ini juga tergantung ekosistem, seperti Gojek punya ekosistem pengguna, mitra driver, dan mitra merchant. Masing-masing punya pendekatan berbeda. We can do this setelah integrasi Jago App dan Gojek berjalan,” jelasnya.

Application Information Will Show Up Here

Bank Neo Commerce Bidik Lima Besar “Top of Mind” Bank Digital Indonesia

Aksi transformasi sejumlah bank konvensional menjadi bank digital ramai mewarnai industri perbankan Indonesia di 2020. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) merupakan salah satu yang berganti identitas baru dari nama sebelumnya, PT Bank Yudha Bhakti Tbk.

Menilik singkat perjalanannya, rebranding ini dilakukan satu tahun usai perusahaan dicaplok oleh PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menggenggam mayoritas sahamnya sebesar 24,98%. Perkembangan dan adopsi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari menjadi alasan utama rebranding ini.

Bank Neo Commerce akhirnya merealisasikan salah satu produk transformasinya, yakni aplikasi mobile banking Neo+. Meski belum diluncurkan secara resmi, aplikasi ini sudah dapat diunduh secara terbatas di Android dan iOS pada akhir Maret 2021. Saat ini, Neo+ mengantongi rating 3.7 dengan lebih dari 1 juta unduhan di Play Store dan 4.1 di App Store.

Menjelang paruh kedua 2021 ini, Bank Neo Commerce mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru demi menyempurnakan pengalaman perbankan yang fully digital kepada nasabah.

DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Neo Commerce Tjandra Gunawan untuk memahami strategi perusahaan lebih lanjut.

Bidik lima besar bank digital Indonesia

Sejak akhir 2020, perusahaan mulai menggenjot pengembangan produk dan fitur baru serta kemitraan strategis dengan ekosistem digital. Menurut Tjandra, ini semua untuk memberikan pengalaman perbankan digital yang baru kepada nasabah. Secara jangka panjang, Bank Neo Commerce menargetkan dapat menjadi bank digital yang punya cakupan layanan dan produk yang lengkap.

Saat ini, Bank Neo Commerce masih membidik segmen mass market, terutama anak muda yang mendominasi jumlah populasi Indonesia. Mengacu data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS, generasi Z di Indonesia mencapai 74,49 juta jiwa atau 27,9%, sedangkan generasi milenial tercatat sebanyak 69,38 juta jiwa atau 25,8% terhadap total populasi.

“Kami belum dapat mengungkap target pengguna di tahun ini. Namun tahun ini kami menargetkan dapat masuk lima besar bank digital secara top of mind di Indonesia. Fokus kami tetap melayani perorangan dan korporasi untuk mempercepat pertumbuhan Bank Neo Commerce,” paparnya.

Untuk mendukung pemerataan akses finansial, Bank Neo Commerce juga akan melayani kalangan unbanked dan underbanked di daerah sub-urban maupun luar pulau Jawa, termasuk pelaku UMKM yang belum memanfaatkan layanan digital banking.

Per 31 April 2021, Bank Neo Commerce memiliki total aset sebesar Rp5,91 triliun, total penyaluran kredit Rp3,76 triliun, dan total ekuitas Rp1,07 triliun. Adapun, komposisi pemegang saham per 27 Mei 2021 adalah PT Akulaku Silvrr Indonesia (24,98%), PT Gozco Capital (20,13%), PT Asabri (16,3%), Yellow Brick Enterprise Ltd. (11,1%), dan publik (27,49%).

Sinergi dengan Akulaku

Keterlibatan startup teknologi menjadi strategi kunci yang banyak diadopsi  bank yang bertransformasi menjadi bank digital. Beberapa di antaranya hanya sebatas berkolaborasi, tetapi ada juga yang masuk sebagai pemegang saham. Selain kawin silang teknologi, bank akan mudah mengakselerasi pertumbuhan dengan ekosistem layanan terbuka, termasuk Akulaku masuk ke dalam ekosistem Bank Neo Commerce dan sebaliknya.

Tjandra menyebut, Akulaku memiliki ekosistem digital yang mapan, dan perannya sangat signifikan dalam membantu transformasi perusahaan menjadi bank digital.

Saat ini Akulaku menawarkan produk P2P, marketplace, dan pembiayaan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Di Indonesia, Akulaku telah bekerja sama dengan sejumlah merchant online dan offline, juga dengan 120 ribu UMKM.

Pada sinergi tahap awal, Bank Neo Commerce akan merealisasikan pembukaan rekening Neo+ melalui platform Akulaku. Kemudian, perusahaan juga akan memanfaatkan ekosistem Akulaku untuk menyalurkan pinjaman ke pengguna.

Keduanya tengah mengembangkan loan origination system dan online financing yang ditargetkan komersial pada semester II 2021. Loan origination system merupakan sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

“Kami sedang menunggu persetujuan OJK, tetapi direct loan ini sudah masuk proses pengembangan tahap akhir. Untuk tahap awal, direct loan ini akan terhubung dengan marketplace Akulaku,” ungkapnya.

Dengan mengadopsi model sinergi dengan ekosistem terbuka, pihaknya tak menutup kemungkinan untuk menambah kemitraan strategis di luar ekosistem Akulaku, baik itu fintech, ecommerce, dan lini bisnis digital lainnya.

Pengembangan produk dan fitur baru

Selain sinergi Akulaku, perusahaan tengah mempersiapkan sejumlah produk dan fitur baru untuk memperkuat pengalaman perbankan digital di Neo+. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, direct loan akan tersedia di platform Neo+ dan terintegrasi di ekosistem marketplace di luar Akulaku.

Kedua, Bank Neo Commerce akan terus menambah kemitraan P2P untuk penyaluran pinjaman dengan skema channeling. Di 2021, Bank Neo Commerce menargetkan penyaluran sebesar Rp500 miliar yang didistribusikan ke 20 fintech. Saat ini, pihaknya baru menggandeng lima platform P2P dengan ticket size berkisar Rp20-50 miliar.

“Saat ini kami sudah bekerja sama dengan Crowdo, Danamart, Eska Kapital, Modal Rakyat, dan Restock.id. Kami sedang berdiskusi dengan beberapa fintech yang akan kami umumkan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Startup Nilai Pembiayaan
Crowdo Rp30 miliar
Danamart Undisclosed
Eska Kapital Rp20 miliar
Modal Rakyat Rp50 miliar
Restock.id Rp20 miliar

Sumber: Kontan

Ketiga, Bank Neo Commerce akan melengkapi produk dan fitur di Neo+ secara bertahap, seperti proses onboarding secara fully digital dan e-KYC dengan biometric. Rencananya, semua ini akan komersial setelah pihaknya mengantongi persetujuan dari Otoritas Jasa keuangan (OJK). Neo+ juga nantinya bisa digunakan untuk melayani pembayaran, seperti Payment Point Online Bank (PPOB).

“Secara bertahap kami akan bertransformasi sepenuhnya digital. Ini semua sesuai dengan tujuan kami menjadi sebuah neobank, tidak hanya secara produk, tetapi juga dari back-end sampai front-end,” tuturnya.

Sementara untuk melayani kebutuhan transaksi tunai, pihaknya telah bekerja sama dengan jaringan ATM Bersama dan Alto di seluruh Indonesia. Cakupan ini akan ditambah lagi melalui berbagai convenience store atau minimarket untuk transaksi tarik tunai di kasir.

Memperkuat aspek keamanan

Teknologi dan keamanan menjadi aspek penting ketika bertransformasi menjadi bank digital. Ini juga menjadi salah satu alasan utama mengapa OJK mengatur kebijakan modal inti minimal Rp10 triliun untuk mendirikan bank digital. Komitmen investasi sangat penting dalam menunjang pengembangan teknologi.

Tjandra mengungkap, pihaknya telah bekerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi untuk memperkuat sistem keamanan di server serta jaringan perangkatnya, antara lain Tencent Cloud, Huawei, dan Sunline.

Dari aspek keamanan dan privasi nabasah, perusahaan memanfaatkan teknologi berbasis database management system alias Tencent Distributed Database (TDSQL) dari Tencent Cloud. Bank Neo Commerce juga menggandeng Sangfor untuk melindungi keamanan dari tindak kejahatan akibat social engineering.

“Kami pastikan untuk mengedukasi pentingnya menjaga keamanan data pribadi kepada para nasabah. Kebiasaan cyber-hygiene mulai harus dikenalkan lebih umum kepada masyarakat luas Indonesia, yaitu menggunakan two-authentication factor atau biometric login untuk masuk ke aplikasi mobile banking miliknya.”

Application Information Will Show Up Here

DBS Indonesia Siapkan Sejumlah Fitur Baru Digibank di Paruh Kedua 2021

Bicara bank digital tentu tak dapat dipisahkan oleh kemunculan digibank milik Bank DBS Indonesia. Sebagai salah satu pelopor bank digital, digibank hadir dengan model perbankan yang dilakukan secara paperless, branchless, dan signatureless.

Menurut Managing Director, Head of Digital Banking, PT Bank DBS Indonesia Leonardo Koesmanto, perkembangan teknologi secara perlahan membuat layanan perbankan menjadi invisible. Belajar dari industri yang terdampak disrupsi, seperti musik dan video, pihaknya meyakini bahwa hal ini juga berlaku untuk perbankan.

Artinya, produk perbankan akan tetap sama meskipun delivery method-nya berbeda mengikuti perkembangan teknologi. Dengan situasi saat ini, DBS Indonesia mengaku optimistis melihat tantangan ke depan untuk mentransformasikan layanan perbankannya.

Sejak berdiri di 2017, perusahaan menyebut telah mengantongi pertumbuhan layanan secara signifikan, yang salah satunya disumbang oleh platform digital banking digibank. Kepada DailySocial, Leo berbicara lebih dalam mengenai dampak pandemi terhadap digitalisasi perbankan hingga kelanjutan pengembangan digibank di 2021.

Arti pandemi bagi digibank

Leo mengaku, pandemi Covid-19 memiliki andil besar dalam mengubah preferensi masyarakat dalam melakukan transaksi perbankan. Masyarakat yang tadinya belum terbiasa menggunakan platform digital mau tak mau harus beradaptasi dengan situasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Berdasarkan data perusahaan, DBS Indonesia mencatat pertumbuhan transaksi online selama masa PSBB sebesar 75% untuk layanan Bayar & Beli dan kartu debit. Kemudian, jumlah pengguna consumer DBS Indonesia tercatat naik lima kali lipat dalam 3,5 tahun terakhir.

Menariknya, perusahaan juga melihat adanya peningkatan pada layanan wealth management di platform digibank sebesar enam kali lipat di 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Secara volume, pertumbuhan transaksi naik lebih dari 500% dengan jumlah nasabah yang bertransaksi naik 580%.

Meski belum mau membeberkan data pencapaian lainnya, Leo menilai awareness nasabah terhadap pengelolaan keuangan terus meningkat. Inipun terlepas dari kondisi perlambatan ekonomi akibat Covid-19 di Indonesia.

“Kenaikan ini juga tak lepas dari rangkaian kampanye dan peluncuran produk untuk wealth management, yaitu Rekening Valas dan Obligasi Pasar Sekunder di aplikasi digibank pada 2020. Kami menerapkan transformasi digital secara menyeluruh dan memastikan seluruh produk kami dapat tersedia secara digital,” ungkapnya.

Fitur baru di 2021

Leo menilai pertumbuhan pasar perbankan retail di Indonesia termasuk yang paling agresif di Asia Tenggara. Pertumbuhan ini turut didukung dengan beragam inovasi dan produk yang dikembangkan industri demi menarik calon nasabah baru.

Pada tahun ini, DBS Indonesia menargetkan pertumbuhan dua digit yang akan berpusat pada pengembangan produk digital untuk nasabah di semua segmen bisnis. Misinya tetap sama, yakni mendemokratisasi keuangan sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati layanan perbankan yang terjangkau.

Untuk meningkatkan pengalaman nasabah, ada beberapa produk baru yang akan dihadirkan secara digital. Leo mengungkap, layanan reksa dana akan tersedia di platform digibank pada semester kedua 2021. Reksa dana ini akan melengkapi rangkaian produk investasi digibank.

Saat ini, pengguna digibank dapat memilih produk investasi dengan minimal penempatan sebesar Rp1 juta. Ke depan, pengguna dapat memilih produk reksa dana dengan minimal Rp100 ribu. Leo juga menyebut akan meluncurkan kartu kredit online di paruh kedua tahun ini.

“Tak hanya produk keuangan saja, digibank juga akan meningkatkan proses pembukaan rekening baru dengan Face Biometric. Teknologi ini akan mempercepat proses Electronic Know Your Customer (e-KYC) pada calon nasabah,” tutur Leo.

Digibank melayani segmen mass hingga affluent market (menengah ke atas). Untuk segmen korporasi, Bank DBS Indonesia masuk lewat Real Time Application Programming Interface (IDEAL RAPID) yang mengintegrasikan pemrosesan pembayaran, piutang, dan pencairan informasi tentang alur kerja bisnis nasabah secara real-time, dan memfasilitasi transaksi bisnis di jaringan ekosistem nasabah.

Menurut Leo, saat ini pihaknya masih fokus menggarap segmen banked di Indonesia. Namun, pihaknya mengklaim terus meningkatkan literasi keuangan kepada segmen DBS sembari merealisasikan komitmennya untuk menjadi full fledge digital banking.

Pengembangan ekosistem layanan

Sejak dua tahun terakhir, realisasi bank digital di Indonesia semakin banyak. Sejumlah bank mulai mentransformasikan infrastruktur dan layanannya untuk menjadi bank digital. Untuk mengakomodasi hal ini, pemerintah juga tengah bersiap menggodok aturan baru.

Beberapa di antaranya yang sudah berganti identitas menjadi bank digital, menggunakan model bisnis ekosistem terbuka, ketika bank berkolaborasi dengan platform digital.

Bagi Leo, dinamika tersebut menandakan bahwa semakin banyak sektor perbankan yang menyadari pentingnya digitalisasi. Ini juga berarti akan membuka peluang kolaborasi dan mempercepat cita-cita pemerintah mewujudkan transformasi digital di sektor perbankan.

Salah satu upaya DBS Indonesia untuk mendorong transformasi digital ini adalah melalui pengembangan open banking dengan Standar Open API, di mana bank dapat saling terhubung dengan pemain di ekosistem digital.

“Salah satu strategi yang kami lakukan dan kami nilai efektif adalah menggunakan model bisnis ekosistem untuk memudahkan nasabah bertransaksi digital. Kami senantiasa mendukung kebijakan Bank Indonesia dalam mewujudkan Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) di 2025,” paparnya.

Dalam realisasinya, ungkap Leo, DBS Indonesia telah berkolaborasi dengan sejumlah platform. Perusahaan bermitra dengan marketplace untuk menghadirkan pembukaan rekening pinjaman. Selain itu, DBS Indonesia juga telah tersedia sebagai pilihan pembayaran isi ulang e-money dan e-wallet.

Kemudian, perusahaan juga menggandeng Home Credit dan Kredivo untuk menyalurkan pembiayaan bersama kepada pengguna dengan skema joint financing.

“Kita tidak bisa melakukan segala sesuatu sendiri, jadi perlu menggandeng berbagai mitra untuk mengembangkan ekosistem. Sesuai dengan strategi kami, kolaborasi ini hadir untuk menyasar pangsa digibank, baik dari ekosistem fintech, transportasi, marketplace, atau travel,” katanya.

Line Bank Is Officially Available in Indonesia, in Collaboration with Bank Hana

KEB Hana Bank Indonesia (Hana Bank) and LINE Corporation officially launched LINE Bank by Hana Bank (LINE Bank) in Indonesia yesterday (10/6) which was marked by the launch of its application for public. Indonesia is LINE Bank’s third market, following Thailand (LINE BK) and Taiwan (LINE Bank).

Collaboration between the two companies started in October 2018, when LINE Financial Asia acquired 20% stake in Hana Bank through an equity participation agreement. This was the beginning of the first foreign digital banking service, between banks and technology companies.

LINE Bank will be available in the Indonesian financial industry to provide digital banking services that are convenient and easy to use. [..] LINE Bank will provide various financial products and fintech services that are tailored to the needs and interests of our customers,” Hana Bank’s President Director, Jong Jin Park said in an official statement, Friday (11/6).

LINE Financial Asia’s COO, Young Eun Kim added, “We will do our best through the collaboration of LINE and Hana Bank, therefore, Indonesian people can use LINE Bank and enjoy more convenient financial services.”

LINE Bank will provide financial services to a wider customer segment, including Generation Z as the majority of LINE users. The entire registration process of a new Hana Bank customer who want to create a LINE Bank account is done through the application, a debit card will be sent after the process is complete.

LINE Bank focuses on providing retail banking services, including deposits, savings and transfers. For savings, LINE Bank offers free transfer fees, cash withdrawals, and monthly admin fees. The balance currently available to be used to pay electricity and credit bills.

All LINE Bank transaction notifications are connected to the LINE Messenger application. Meanwhile, for deposit products, LINE Bank offers savings starting from IDR 1 million with competitive yields.

In Thailand, for example, LINE collaborated with Kasikornbank (KBank) to offer special rate account openings with interest rates up to 1.5% per year and debit card applications. This whole process is done through the LINE app, therefore, users don’t have to switch apps or remember another account numbers.

In addition, the Credit LINE personal loan product can be applied at any time, the approval process is faster, therefore, the money can be immediately disbursed. In the future, LINE BK will offer a wider variety of financial solutions, such as insurance products and financial investments.

It is said that LINE BK is able to reach more than 2 million users in February 2021, four months after its debut. As many as 50 thousand new savings accounts are opened every day and the number of transactions has exceeded 21 billion Bath (approximately 9.8 trillion Rupiah).

After Indonesia, Thailand, and Taiwan, LINE Bank’s next step is to enter Japan, as one of the largest LINE user base countries.

More banks are offering fully digital services to attract new digital savvy and mass market customers. The ability to mix financial products that are in line with target consumers is considered an effective move.

OJK reports that there are currently seven banks in the process of licensing to become digital banks. Those are Bank BCA Digital, BRI Agro, Bank Neo Commerce, Bank Capita, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, and Bank Hana.

In addition, there are five banks that already established as digital banks. Those are Bank BTPN, Wokee from Bank KB Bukopin, Digibank owned by DBS Bank, TMRW from Bank UOB, and Jago owned by Bank Jago.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gaet Bank Hana, LINE Bank Resmi Hadir di Indonesia

Bank KEB Hana Indonesia (Bank Hana) dan LINE Corporation resmi meluncurkan LINE Bank by Hana Bank (LINE Bank) di Indonesia kemarin (10/6) yang ditandai dengan peluncuran aplikasi untuk publik. Indonesia menjadi pasar ketiga LINE Bank, menyusul Thailand (LINE BK) dan Taiwan (LINE Bank).

Kerja sama antara kedua perusahaan dimulai sejak Oktober 2018, ketika LINE Financial Asia mengakuisisi 20% saham Bank Hana melalui perjanjian penyertaan modal. Hal tersebut menjadi awal terbentuknya layanan perbankan digital asing pertama, antara bank dengan perusahaan teknologi.

LINE Bank hadir di industri keuangan Indonesia untuk menyediakan layanan perbankan digital yang nyaman dan mudah digunakan. [..] LINE Bank akan menyediakan berbagai produk keuangan dan layanan fintech yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan nasabah kami,” ujar Direktur Utama Bank Hana Jong Jin Park dalam keterangan resmi, Jumat (11/6).

COO LINE Financial Asia Young Eun Kim, menambahkan “Kami akan melakukan yang terbaik melalui kerja sama LINE dan Bank Hana, agar masyarakat Indonesia dapat menggunakan LINE Bank dan menikmati layanan keuangan yang lebih nyaman.”

LINE Bank akan memberikan layanan keuangan kepada segmen pelanggan nasabah yang lebih luas, termasuk generasi Z yang merupakan mayoritas pengguna LINE. Seluruh proses registrasi nasabah baru Bank Hana yang membuka rekening LINE Bank dilakukan lewat aplikasi, kartu debit akan dikirim setelah proses selesai.

LINE Bank fokus menyediakan layanan perbankan ritel, termasuk deposito, tabungan, dan transfer. Untuk tabungan, LINE Bank menawarkan bebas biaya transfer, tarik tunai, dan biaya admin bulanan. Saldo dapat digunakan untuk membayar tagihan listrik dan pulsa pada saat ini.

Seluruh notifikasi transaksi LINE Bank terhubung dengan aplikasi LINE Messenger. Sementara untuk produk deposito, LINE Bank menawarkan tabungan mulai dari Rp1 juta dengan imbal hasil yang kompetitif.

Di Thailand misalnya, LINE berkolaborasi dengan Kasikornbank (KBank) menawarkan pembukaan rekening bertarif khusus dengan suku bunga hingga 1,5% per tahun dan pengajuan kartu debit. Seluruh proses ini dilakukan dalam aplikasi LINE sehingga pengguna tidak perlu berpindah aplikasi atau mengingat nomor rekening.

Selain itu, produk pinjaman pribadi Credit LINE yang dapat diajukan kapan pun, proses persetujuan lebih cepat sehingga dana yang dibutuhkan bisa langsung cair. Pada masa mendatang, LINE BK akan menawarkan lebih banyak variasi solusi keuangan, seperti produk asuransi dan investasi keuangan.

Diklaim LINE BK mampu menjari lebih dari 2 juta pengguna pada Februari 2021, selang empat bulan sejak pertama kali dioperasikan. Sebanyak 50 ribu akun tabungan baru dibuka setiap hari dan jumlah transaksi telah melampaui 21 miliar Bath (sekitar 9,8 triliun Rupiah).

Setelah Indonesia, Thailand, dan Taiwan, langkah LINE Bank berikutnya adalah masuk ke Jepang, sebagai salah satu negara basis pengguna LINE terbesarnya.

Semakin banyak perbankan yang menawarkan layanan sepenuhnya digital untuk menarik nasabah baru yang digital savvy dan mass market. Kemampuan untuk meracik produk keuangan yang sesuai dengan target konsumen menjadi suatu resep manjur.

OJK melaporkan ada tujuh bank yang sedang dalam proses perizinan menjadi bank digital. Ketujuh bank tersebut adalah Bank BCA Digital, BRI Agro, Bank Neo Commerce, Bank Capita, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, dan Bank Hana.

Selain itu, sudah ada lima bank yang sudah menobatkan diri sebagai bank digital. Mereka adalah Bank BTPN, Wokee dari Bank KB Bukopin, Digibank milik Bank DBS, TMRW dari Bank UOB, dan Jago milik Bank Jago.

Application Information Will Show Up Here

Induk Kredivo Caplok Saham Bank Bisnis Internasional Senilai 551,3 Miliar Rupiah

PT FinAccel Teknologi Indonesia yang menaungi platform paylater Kredivo, resmi mencaplok 24% saham milik PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI). Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), FinAccel membeli sebanyak 726.367.057 lembar saham Bank Bisnis Internasional (IDX:BBSI) senilai $38,4 juta atau setara 551,2 miliar rupiah.

Belum ada informasi resmi yang dirilis oleh kedua belah pihak. Namun, dapat dipastikan bahwa aksi korporasi ini menjadi upaya perusahaan mencari permodalan yang cepat untuk bertransformasi menjadi bank digital. Terlebih, Bank Bisnis Internasional hanya menjual sahamnya senilai Rp759 per lembar saham, lebih rendah dari harga di pasar kisaran Rp3.000 per lembar saham.

Sekadar informasi, Bank Bisnis Internasional berdiri pada 1957 dan membidik segmen ritel. Sementara, FinAccel mengelola platform fintech paylater Kredivo  dan fintech lending Kredifazz. Mengutip Bisnis.com, pengguna Kredivo telah mencapai 2 juta pengguna atau 25 persen dari total pengguna kartu kredit di Indonesia.

Baru-baru ini, Kredivo juga dikabarkan tengah mempertimbangkan opsi IPO di bursa New York melalui jalur SPAC. Platform paylater tersebut rencananya menggandeng salah satu unit Victory Park Capital, perusahaan investasi yang memberikan fasilitas debt funding senilai $100 juta pada November 2020 lalu.

Platform digital masuk ke bank

Masuknya induk Kredivo ke Bank Bisnis Internasional menambah deretan sejumlah platform teknologi menjadi pemegang saham di sektor perbankan. Beberapa aksi korporasi serupa di Indonesia antara lain Akulaku Silvrr Indonesia ke Bank Neo Commerce (BNC), Gojek Group ke Bank Jago, dan induk usaha Shopee Sea Group ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Dalam konteks ini, keterlibatan induk Kredivo di Bank Bisnis Internasional memberikan sinyal adanya upaya bertransformasi menuju bank digital. Platform teknologi tersebut rata-rata masuk ke bank yang tidak memiliki legacy besar seperti bank BUKU III dan IV. Bank Bisnis Internasional tercatat hanya memiliki 1 kantor pusat, 1 kantor cabang, dan 3 kantor cabang pembantu.

Artinya, ada kemungkinan Bank Bisnis Internasional berganti branding dengan identitas baru dan memperluas segmen pasarnya dengan me-leverage teknologi dan basis pengguna yang sudah dimiliki Kredivo dengan produk yang lebih luas.

Tesis serupa juga disampaikan Jerry Ng, bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago ketika mencaplok Bank Artos dan mengganti identitasnya menjadi Bank Jago. Hal ini juga dilakukan oleh Bank Neo Commerce yang sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Platform Teknologi Vertical Bank
Akulaku Silvrr Indonesia Fintech Bank Neo Commerce
Gojek Group Ride hailing Bank Jago
Sea Group Internet company Seabank
FinAccel Teknologi Indonesia Fintech Bank Bisnis Internasional

Hal ini juga diperkuat dari regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di mana pendirian bank baru harus memiliki modal minimum sebesar Rp10 triliun, dengan catatan bukan merupakan bagian dari ekosistem perbankan yang lebih besar.

Berdasarkan hasil penelitian, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan bank dapat dikatakan beroperasi secara efisien, menghasilkan laba, dan berkontribusi ke perekonomian nasional apabila memiliki modal Rp10-11 triliun.

Sementara POJK sebelumnya yang hanya mengatur modal pendirian Rp3-4 triliun dinilai hanya mampu menghasilkan laba saja, tetapi tidak efisien dan berkontribusi ke perekonomian Indonesia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan aturan terkait bank umum akan dirilis di semester I 2021. POJK tersebut juga akan mengatur tentang digital banking, mulai dari aspek tata kelola teknologi, perlindungan data, hingga kolaborasi platform.

Application Information Will Show Up Here

Bank Jago Aims for Ecosystem Collaboration to Accelerate Growth

The public is currently waiting for the commercialization of mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) to be launched in late March. Quoting Bloomberg, this application will offer some financial services, including loans. This service will be available in the Gojek application, therefore, millions of users can open accounts and manage their finances automatically.

When announcing Gojek’s arrival as a shareholder, Bank Jago emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Gradually, this vision has begun to be reflected in Bank Jago’s efforts to embrace digital platforms from various business verticals to enter its ecosystem.

Prior to Gojek, Bank Jago had collaborated with Akulaku to launch digital-based financing in November 2020. Another partnership followed, such as Smart Credit and Akseleran. This number will continue to grow from other business verticals, including e-commerce retailers, travel, entertainment, and insurance.

By embracing ecosystem partners, Bank Jago is showing a full picture in building a digital bank. This is also reinforced by the statement of senior banker and founder of Bank Jago, Jerry Ng, who highlighted collaboration as one of the keys to the development of a digital bank.

Organic vs Collaboration

In the 2021 Indonesia Data and Economic Conference session by Katadata, Jerry said that it would be difficult for banks to grow if they did not have a unique business model. Especially in the digital era, all services will eventually collaborate with other lines. One of the goals is to accommodate the emergence of a new digital literate generation. Unlike the situation 5-10 years ago, there was no digital service ecosystem such as Gojek, Tokopedia, and Traveloka.

Jerry said this collaboration can be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. For instance, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboration, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.

This has proven Bank Jago’s various strategic partnership actions of several verticals since 2020. Also, he said this model is different from digital banks in Europe and the United States which focus on developing life-centric services.

“We have to create a unique value proposition. What we are doing is combining the two as they both have advantages. The bank is no longer the center of the ecosystem, but it is part of the ecosystem made by consumers, in the end it is all about payment,” Jerry said.

This strategy is different from Jenius, he said, which is oriented towards organic development. Therefore, he rejects the notion that Bank Jago is a continuation of Jenius development. This assumption is often carried away as he used to be the President Director of BTPN, and also the brains behind Jenius development.

Looking at the competitive map, it seems that Bank Jago is the one which aggressively expanding its collaboration partners. However, this strategy is up for other banks that have transformed digitally. For example, the Bank Neo Commerce (BNC). In addition to Akulaku’s entry as a shareholder, BNC also collaborates with the fintech platform Crowdo for SME financing.

Challenges of tech-based bank

In terms of technology, Bank Jago claims that all of its service infrastructures is digital-based. Even Jerry dared to claim to be the first tech-based bank in the region. In becoming a digital bank, Jerry admitted to have several criteria in selecting a bank.

Bank Artos (before Bank Jago) was considered to meet the criteria as it did not have a legacy and only had few human resources. Based on the condition, his team can develop technology from scratch. This criteria indeed will fail if they use bank with big legacy. For example, a bank with thousands of branch offices.

“We consider Bank Artos fit as it is yet to develop the technology with only few human resources. In the case of Covid-19, all banks considered digitalization. We [Artos Bank] have no problem because the balance sheet is small. This makes it easier for us to make strategic decisions and the Bank Artos fit the criteria,” he explained.

He considered post-pandemic conditions could make the banking industry in Indonesia aware, banks have built too many branch offices. “Branches is not really necessary. I closed 600 branches once and it was not easy. Hence, changing the existing technology will be more difficult,” he added.

The above hypothesis is relevant as its competitor used the same strategy, acquiring BUKU I and II as Sea Group, the parent company of Shopee did with Bank Kesejahteraan Ekonomi and Akulaku towards BNC (formerly Bank Yudha Bhakti).

With a collaboration-based business model, Jerry said that the challenges are quite difficult in harmonizing visions. Moreover, the collaboration partners are digital platforms from various business verticals that bring their respective technologies or innovations.

“Banks are synonymous with slow processes, strong bureaucracy, and always refer to risk management or compliance. Meanwhile, startups innovate quickly and as in a hurry. However, we learn a lot to solve problems and get the latest technology. It has to be at the expense of carelessness, we can achieve both. To date, we feel pretty good doing it at Jago Bank.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Bank Jago Berkiblat pada Kolaborasi Ekosistem untuk Akselerasi Pertumbuhan

Saat ini, publik tengah menanti komersialisasi mobile banking PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang ditargetkan meluncur akhir Maret ini. Mengutip Bloomberg, aplikasi ini akan menawarkan sejumlah layanan keuangan, termasuk pinjaman. Layanan ini juga akan hadir di aplikasi Gojek, sehingga puluhan juta pengguna bisa otomatis membuka rekening dan mengelola keuangannya.

Saat mengumumkan masuknya Gojek sebagai pemegang saham, Bank Jago sempat menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Secara bertahap, visi ini mulai tercermin dari upaya Bank Jago merangkul platform digital dari berbagai vertikal bisnis agar masuk ke dalam ekosistemnya.

Sebelum Gojek, Bank Jago telah berkolaborasi dengan Akulaku untuk menghadirkan pembiayaan berbasis digital pada November 2020. Kemudian menyusul kemitraan strategis lainnya, seperti Kredit Pintar dan Akseleran. Jumlah ini tentu akan terus bertambah dari vertikal bisnis lainnya, antara lain e-commerce retailer, travel, entertainment, hingga asuransi.

Dengan merangkul mitra ekosistem satu demi satu, Bank Jago semakin memperlihatkan full picture dalam membangun bank digital. Hal ini turut diperkuat dari pernyataan bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng yang menyoroti kolaborasi sebagai salah satu kunci pengembangan bank digital.

Organik versus kolaborasi

Dalam sesi Indonesia Data and Economic Conference 2021 oleh Katadata, Jerry menilai perbankan akan sulit bertumbuh apabila tidak memiliki model bisnis yang unik. Apalagi di era digital, semua layanan pada akhirnya saling berkolaborasi. Salah satu tujuannya adalah mengakomodasi kemunculan generasi baru yang melek digital. Berbeda dengan situasi di 5-10 tahun lalu, saat itu belum ada ekosistem layanan digital seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka.

Menurut Jerry, kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.

Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Di sisi lain, model ini menurutnya berbeda dengan bank digital di Eropa dan Amerika Serikat yang fokus pada pengembangan layanan bersifat life centric.

We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.

Strategi ini menurutnya berbeda dengan Jenius yang berkiblat pada pengembangan organik. Maka itu, ia menampik anggapan bahwa Bank Jago adalah kelanjutan pengembangan dari Jenius. Anggapan ini kerap terbawa mengingat Jerry sebelumnya merupakan Presiden Direktur BTPN, yang juga merupakan otak di balik pengembangan Jenius.

Jika melihat peta persaingannya, saat ini tampaknya baru Bank Jago yang agresif memperbanyak mitra kolaborasi. Namun, strategi ini juga dapat dilakukan oleh bank-bank lain yang baru bertransformasi digital. Misalnya, Bank Neo Commerce (BNC). Selain masuknya Akulaku sebagai pemegang saham, BNC juga berkolaborasi dengan platform fintech Crowdo untuk pembiayaan UKM.

Tantangan menjadi tech-based bank

Dari sisi teknologi, Bank Jago mengklaim bahwa seluruh infrastruktur layanannya berbasis digital. Bahkan Jerry berani mengklaim sebagai tech-based bank pertama di regional. Untuk menjadi bank digital, Jerry mengaku menggunakan beberapa kriteria dalam pemilihan bank.

Bank Artos (sebelum berganti nama menjadi Bank Jago) dinilai memenuhi kriteria saat itu karena tidak memiliki legacy dan SDM-nya sedikit. Dengan kondisi itu, pihaknya dapat leluasa mengembangkan teknologi dari scratch. Tentu kriteria ini akan patah apabila yang dicaplok adalah bank-bank besar dengan legacy lama. Misalnya, bank yang sudah memiliki ribuan kantor cabang.

“Kami lihat Bank Artos belum memiliki teknologi dan SDM-nya sedikit. Kalau kasusnya saat Covid-19, semua bank bicara digitalisasi. Kami [Bank Artos] tidak ada masalah karena balance sheet-nya kecil. Ini memudahkan kami untuk membuat strategic decision dan Bank Artos memenuhi kriteria yang kami cari,” paparnya.

Ia menilai, kondisi pasca-pandemi nanti dapat membuka mata industri perbankan di Indonesia bahwa selama ini bank terlalu banyak membangun kantor cabang. “Kebutuhan cabang itu tidak perlu. Saya pernah tutup 600 cabang dan itu tidak mudah. Makanya, mengubah teknologi yang sudah ada itu akan lebih sulit,” tambahnya.

Hipotesis di atas menjadi relevan karena dilakukan oleh kompetitor, yakni mencaplok bank BUKU I dan II sebagaimana dilakukan Sea Group, induk usaha Shopee, terhadap Bank Kesejahteraan Ekonomi dan Akulaku terhadap BNC (sebelumnya Bank Yudha Bhakti).

Dengan memilih model bisnis berbasis kolaborasi, Jerry mengungkapkan bahwa tantangannya cukup sulit dalam menyamakan visi. Apalagi, mitra kolaborasinya merupakan platform digital dari berbagai vertikal bisnis yang membawa teknologi atau inovasi masing-masing.

“Bank itu identik dengan proses lambat, birokrasi kuat, dan selalu mengacu pada risk management atau compliance. Sementara, startup itu berinovasi dengan cepat dan seperti tergesa-gesa. Tapi, kami banyak belajar solve problem dan mendapat teknologi baru mereka. Inovasi dan speed tidak harus di expense of ceroboh, we can achieve both. Sejauh ini, kami merasa cukup baik melakukannya di Bank Jago.”

Masa Depan Neobank di Indonesia

Indonesia adalah negeri dengan populasi 270 juta penduduk yang adoptif dengan teknologi. Meskipun demikian, solusi keuangan digital di Indonesia belum diimplementasikan secara maksimal. Dengan pengguna internet hampir 197 juta orang atau 73.7% dari seluruh populasi, Indonesia adalah salah satu negara di Asia Pasifik dengan pasar digital yang belum terlayani secara keseluruhan.

Saat ini, 66% dari total populasi Indonesia tidak memiliki akses keuangan. Neobank dan bank digital mempunyai potensi untuk memberikan solusi keuangan kepada mereka yang membutuhkan akses pada kredit dan pinjaman. Neobank memiliki layanan yang berbeda dari bank biasa/tradisional untuk para pelanggan: bunga rendah dan tanpa biaya biaya yang besar, juga metode transaksi yang berbeda.

Berdasarkan riset, 63% nasabah perbankan di negara negara APAC diperkirakan akan mengadopsi layanan neobank pada tahun 2025, dan menjadikannya sebagai solusi pilihan untuk bertransaksi secara digital. Dengan angka penetrasi digital dan jumlah investasi ramah digital (digital friendly investment) yang tinggi, apakah Indonesia akan menjadi negara dengan pertumbuhan neobank tertinggi?

Tentu saja neobank bisa didirikan dari perusahaan non-bank dan saat ini pasar fintech tersebut sedang berkembang di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar dan ancaman kepada perbankan tradisional untuk segera mempercepat proses mereka di bidang teknologi dan melayani pelanggan secara digital.

Apakah ekosistem keuangan Indonesia siap untuk digitalisasi?

Menurut INDEF, 40 dari total 110 bank di Indonesia berpotensi menjadi neobank di masa mendatang. Beberapa dari 40 bank ini telah menciptakan ekosistem digital, sehingga mereka akan lebih mudah beralih menjadi neobank. Namun, hal ini juga perlu didukung kemampuan teknologi di bidang solusi pinjaman kredit dan optimalisasi pertukaran informasi. Pertumbuhannya dinilai masih belum maksimal.

Perusahaan fintech seperti CredoLab, satu-satunya perusahaan penilaian skor kredit alternatif digital berdasarkan metadata smartphone, sangat berperan untuk menjembatani kekurangan ini. Pandemi juga telah membantu percepatan adopsi solusi fintech, keuangan dan transaksi digital, e-commerce, e-wallet, dan e-money di Indonesia.

Secara populasi, sebagian masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada metode perbankan tradisional dan terbiasa mengunjungi fasilitas fisik untuk melakukan transaksi.

Beberapa bank ternama telah membuat solusi perbankan digital seperti Bank BTPN dengan Jenius, Bank Permata dengan PermataMe, Bank UOB dengan TMRW dan yang terbaru adalah Bank Jago dan Bank BCA dengan Bank Royal. Meskipun begitu, akses ke pinjaman yang mudah dan tidak berbelit-belit akan mendorong orang Indonesia untuk memilih layanan digital di kemudian hari.

Layanan perbankan digital dipercepat di era pandemi ini dan membuat masyarakat terbiasa menggunakan layanan digital. Ada tiga karakteristik neobank atau digital bank yang harus dimiliki oleh layanan tersebut di dalam ekosistem perbankan digital: pertama, bank atau perusahaan tersebut harus beroperasi penuh secara digital dan tidak ada cabang fisik, kedua, memanfaatkan aplikasi dan teknologi dan yang ketiga adalah memiliki penetrasi pasar dalam ekosistem bisnis yang digital secara tinggi.

Fintech menjembatani kekurangan teknologi

Salah satu dampak dari pandemi ini adalah bank tradisional mengalami kesulitan untuk memberikan kredit ke pelanggan. Tetapi hal ini justru mendorong neobanks dan perbankan digital untuk mendapat keuntungan dari transaksi digital mereka. Riset yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai nilai transaksi ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar $44 miliar.

Di negara seperti Indonesia, ketika penetrasi internet dan seluler sangat tinggi, teknik penilaian kredit alternatif mampu menghasilkan skor kredit yang baik dan akan memungkinkan masyarakat Indonesia untuk mengakses pinjaman perbankan yang berkualitas, yang biasanya tidak mungkin mereka dapatkan karena ketiadaan skor kredit tradisional untuk mereka.

Teknik penilaian kredit alternatif CredoLab melibatkan penggunaan Artificial Intelligence dan algoritma Machine Learning untuk mengumpulkan jutaan faktor penentu yang tertanam dalam jejak digital calon peminjam. Faktor-faktor penentu ini kemudian akan diubah menjadi sebuah skor kredit yang akan mengidentifikasi seseorang sebagai peminjam yang baik atau buruk.

Masalah regulasi dan perkembangan perbankan digital di Indonesia

Dengan inklusi keuangan dan penggunaan layanan digital yang tinggi, neobank berpotensi menjadi layanan perbankan digital yang dipilih masyarakat Indonesia. Saat ini, neobank masih membutuhkan regulasi lebih lanjut dari OJK.

Regulasi yang mendukung di bidang neobank dan digital bank akan meningkatkan potensi industri perbankan di Indonesia untuk dapat berkompetisi dengan neobank dari luar negeri.

Digitalisasi layanan keuangan tidak hanya akan terbukti berhasil bagi masyarakat tetapi juga akan menguntungkan stakeholder internal dan investor. Biaya overhead dan operasional akan berkurang secara signifikan dibandingkan dengan bank tradisional dengan cabang fisik.

Membuka masa depan digital di Indonesia

Seamless digital journey adalah inti dan proposisi unik yang mendefinisikan neobank dan bank digital. Selain itu, kemampuan untuk mendiversifikasikan hubungan perbankan, kemudahan akses informasi di tangan pelanggan, mengakomodasi pelanggan yang aktif secara digital, dan memperbaiki tingkat penerimaan pelanggan untuk memilih layanan digital akan mengakselerasi industri perbankan dan keuangan Indonesia.

Kerja sama antara bank dan pelaku keuangan lain dengan fintech adalah kunci utama dalam menentukan kesuksesan Indonesia dalam mengidentifikasi calon peminjam dengan tetap memperhatikan faktor risiko yang terkendali. Peran dari pemerintah, baik dari sisi upaya maupun kebijakan, sangat diperlukan untuk mendukung dan mengasah industri keuangan.

Indonesia adalah negara dengan potensi pertumbuhan di bidang teknologi yang tinggi. Adopsi dan implementasi layanan perbankan digital dan neobank akan menguntungkan perekonomian negara. Kemampuan untuk memperluas layanan keuangan kepada keluarga berpenghasilan rendah dan mereka yang belum pernah mendapatkan layanan keuangan akan membuka pintu keuangan baru di era transformasi digital ini.


Disclosure: Tulisan ini dibuat oleh Paramita Wikansari, Country Sales Director, Indonesia, CredoLab, the leader in alternative credit scoring

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian