Industri “Gaming”: Digemari Tapi Sulit Dimodali

Industri game masih dianggap menjadi barang asing di mata pemain jasa keuangan, mulai dari perbankan hingga modal ventura. Jangan heran jika jumlah pembiayaan modal kerja bagi industri ini masih minim. Kalaupun ada, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Gaming Industry harus mengandalkan modal dari pihak asing untuk terus mengembangkan usahanya.

Bisnis game yang memiliki faktor X (faktor ketidakpastian) dianggap menjadi titik lemah bagi pemain jasa keuangan lokal. Ketidakpastian yang dimaksud adalah meski produk sudah dibuat sesuai riset pasar dan memakai talenta berbakat, masih ada kemungkinan besar untuk gagal.

Keunikan dan ketidakpastian pasar dan keuntungan membuat hanya sedikit pemodal yang berani terjun. Beberapa nama perusahaan modal ventura lokal yang sudah berinvestasi di perusahaan game adalah Ideosource dan Maloekoe Ventures. Untuk modal ventura asing ada Discovery Nusantara Capital (DNC).

Berbeda dengan perbankan, pembiayaan melalui Modal Ventura dilakukan melalui penyertaan saham. Jadi, modal tunai disuntikkan dan ditukar dengan sejumlah saham kepemilikan.

Kisah investasi di startup gaming

Ideosource pernah berinvestasi putaran seri A untuk perusahaan game lokal Touchten dengan nilai yang dirahasiakan di 2011. Investasi tersebut adalah kick off Ideosource sejak pertama kali berdiri. Meski nilai investasi tidak disebutkan, namun kisaran nilai investasi seri A US$1 juta-US$4 juta (Rp13 miliar-Rp52 miliar). Seluruh sumber dana investasi yang digunakan Ideosource berasal dari dana keluarga lokal dengan nama dirahasiakan.

Touchten Games dapatkan pendanaan untuk kembangkan industri

Managing Director Ideosource Andi S Budiman menuturkan pihaknya memilih Touchten sebagai investasi perdana karena pada saat itu baru Touchten satu-satunya yang memiliki mobile game dengan jumlah unduhan lebih dari 1 juta kali. Hal ini melatarbelakangi Ideosource untuk berkeyakinan bahwa Touchten memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnisnya lebih besar.

Founder Touchten punya trik tersendiri untuk membuat perusahaan mampu bertahan. Salah satunya berkolaborasi dengan brand terkenal, dengan menggabungkan variasi game dari digital sampai kartu berbentuk fisik. Lalu dipasarkan dengan penggabungan online dan offline (O2O).

“Dari situ kami berkeputusan bahwa perusahaan ini punya up side bisnis yang tinggi. Benar kejadian tiga tahun kemudian, saat mereka berhasil mendapat investor dengan nilai valuasi 7 kali lipat dari saat kami masuk,” kata Andi.

Touchten terhitung menjadi perusahaan game lokal teraktif yang mendapatkan pendanaan dari investor. Namun seluruhnya berasal dari asing, yakni perusahaan teknologi konglomerat Jepang Cyber Agent Ventures, perusahaan animasi Jepang TMS Entertainment, private equity UOB Venture Management, perusahaan mobile game Jepang Gree, modal ventura Amerika Serikat 500 Startups, dan DNC.

Modal ventura asing yang terhitung menjadi investor teraktif berinvestasi di perusahaan game lokal adalah DNC. Ada tiga perusahaan game lokal yang masuk ke dalam portofolio DNC, yaitu Touchten, Toge Productions, dan Arsanesia.

DNC fokus ke investasi tahap awal (seed stage). Biasanya besaran nilai investasi dalam tahap ini US$50 ribu-US$1 juta (Rp650 juta-Rp13 miliar). DNC adalah perusahaan patungan antara Hangzhou Zhexin IT Co., Ltd. (Zhe Xin IT) dengan Project Discovery Ltd. dan Qomolangma Ltd. yang didirikan September 2016.

DNC didirikan khusus berinvestasi di sektor game di Asia Tenggara, dengan fokus utama di Indonesia.

Tim DNC / DNC
Tim DNC / DNC

Zhe Xin IT adalah anak usaha dari Zhejiang Jinke Entertainment Culture Co., Ltd. Pada awalnya Zhe Xin IT adalah perusahaan game yang berdiri pada tahun 2010. Seluruh dana investasi DNC berasal dari kombinasi antara Limited Partner dan Angel investor.

Sebagai modal ventura yang paham dengan siklus perusahaan game, Managing Partner DNC Irene Umar menjelaskan alasan DNC terjun ke sektor ini. Ia menjelaskan, selain karena ada hubungan dengan afiliasi perusahaan game, juga karena tidak ada modal ventura yang mau fokus investasi ke industri game. Yang terakhir ini, menurut DNC justru sebuah peluang.

Dia menilai DNC memiliki kemampuan transfer pengetahuan dari jaringan investor yang mereka miliki ke para talenta lokal. Hal ini ditambah bonus demografi dan potensi bisnis yang besar. Oiya, yang juga penting adalah para personil DNC gemar bermain game.

“Ketika kami memutuskan bahwa DNC khusus investasi ke game, banyak yang bilang kami itu gila. Sebab pada saat itu, banyak perusahaan game yang tidak tahu bagaimana cara kerja VC [Venture Capital – Red] dan sebagainya. Kami harus melakukan edukasi bahwa VC adalah elemen penting yang sempat hilang pada tahun lalu dalam ekosistem game. Kami pun bangga dapat masuk mengisi kekosongan gap tersebut,” terang Irene.

Dalam mengukur portofolio perusahaan yang akan diinvestasi, ada beberapa parameter keuangan yang dipakai DNC. Di antaranya pendapatan, operating expenditure (opex), arus kas, dan laba bersih. Semua parameter ini dilihat secara historis maupun proyeksi yang harus sesuai dengan rencana bisnisnya.

Intinya, sambung Irene, arah perusahaan harus didorong oleh visi founder yang kemudian diterjemahkan ke dalam rencana bisnis. Tujuannya untuk menentukan langkah apa yang diambil selanjutnya dan sesuai tujuan mereka. “Semuanya akan berakhir ke keuangan mereka. Kuncinya, ada di founder itu sendiri.”

Menurutnya, perusahaan hanyalah kendaraan dan motor penggeraknya berasal dari orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu, DNC cenderung melihat secara dekat karakter founder dan mencoba untuk memahami visi mereka, menilai kemampuannya untuk mengeksekusi, dan tingkat kemampuan yang dapat mereka hadapi dalam kesuksesan.

Jadi ide itu sesuatu yang murah karena yang terpenting adalah eksekusi. Menaiki tangga menuju kesuksesan lebih mudah daripada mempertahankannya.

“DNC bercita-cita ingin mendukung perusahaan portofolio kami ke puncak. Tapi akan terserah mereka apakah bersedia untuk tetap melangkah atau tetap di posisi puncak.”

Industri gaming di kacamata perbankan

Pelaku jasa keuangan di Indonesia, baik perbankan maupun modal ventura lokal, masih enggan mempercayakan uangnya di perusahaan game. Alasannya klasik, karena bank menyalurkan dana masyarakat, sehingga perlu rekam jejak perusahaan dan sudah memiliki cash flow yang lancar sebagai jaminan keberlangsungan usaha. Tak ketinggalan, perlu aset fisik sebagai jaminan utamanya.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengaku belum memberikan kredit untuk perusahaan game. Menurutnya, kredit itu prinsipnya adalah menggunakan dana masyarakat untuk membantu masyarakat yang mau berbisnis. Untuk itu perlu ada prinsip bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki pengalaman di bisnis tersebut, ada jaminan cukup, referensi bisnis dari temannya.

“Jadi memang ketat [persyaratannya]. Kalau industri kreatif tersebut memenuhi persyaratan akan kita berikan. Sayangnya belum banyak,” tutur Jahja.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Meski bukan bergerak di ekonomi kreatif, salah satu perusahaan digital yang pernah ‘lulus’ dan mendapatkan kredit dari BCA adalah Tiket.com. Jahja menuturkan Tiket mendapat kredit sebesar Rp100 miliar dengan mengagunkan laporan keuangan yang diakumulasi selama tiga tahun.

“Tiket.com pakai agunan kok laporan keuangan dan account. Mereka dapat kredit bukan untuk jangka panjang. Mereka itu agak unik karena 80% penjualan mereka melalui channel BCA, untuk kartu kredit, transfer dan lainnya. Fasilitasnya juga lebih banyak sebagai overdraft untuk weekend dan hari libur.”

Bank Mandiri juga berpendapat sama. Perusahaan game dianggap memiliki risiko dan ketidakpastian yang tinggi. Kendati demikian, perseroan terus membuka kemungkinan untuk menjadikan perusahaan game sebagai debitur. Asalkan perusahaan tersebut memiliki kejelasan bisnis, pasar, dan domisili usaha. Malah, perseroan membuka kesempatan kolaborasi B2B untuk para perusahaan game dalam hal sistem pembayaran. Misalnya, co-branding kartu, pembayaran dengan mesin EDC, atau lainnya.

“Bank Mandiri apabila diposisikan sebagai technical aqcuiring, kami bisa bantu. Tidak harus selalu bentuk loan, jadinya ini saling win win,” kata Senior Vice Presiden Bank Mandiri Rahmat Broto Triaji.

Senada dengan Bank Mandiri, Bank Permata berkeyakinan bahwa industri kreatif, terutama digital adalah industri yang mempunyai prospek baik di masa yang akan datang.

“Kami terus mempelajari industri semacam ini dari waktu ke waktu. Bila dipandang layak, maka kemungkinan akan dibiayai,” ucap Direktur Ritel Bank Permata Bianto Surodjo.

Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock
Usaha Kuliner, Salah Satu Subsektor Ekonomi Kreatif yang Sudah Mendapat Fasilitas Kredit dari Bank / Shutterstock

Sedikit berbeda dengan BNI. Kendati belum terjun ke perusahaan game untuk memberikan kredit, namun perseroan mengaku akan perlahan-lahan masuk ke sektor industri kreatif. Sejauh ini sektor yang sudah masuk dalam portofolio BNI didominasi oleh kuliner, kerajinan, dan fesyen. Total kredit yang telah disalurkan BNI untuk sektor tersebut sebesar Rp3,5 triliun per Juni 2017 dengan total debitur 5 ribu orang.

“BNI sudah bekerja sama dengan beberapa startup berbasis digital untuk membiayai kegiatan usahanya, antara lain TaniHub dan membiayai penjual yang tergabung dalam [layanan] e-commerce Tokopedia dan Lazada. Skema unik yang akan kami kembangkan ke subsektor lainnya adalah perfilman, desain, dan lainnya,” terang Direktur Perencanaan & Operasional BNI Bob Tyasika Ananta.

Dari data terakhir yang dihimpun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), realisasi penyaluran kredit dari perbankan untuk ekonomi kreatif sebesar Rp121 triliun atau 2,87% terhadap total kredit perbankan Rp4.213 triliun sepanjang September 2016.

SUMBER: BEKRAF
SUMBER: BEKRAF

Bagi modal ventura lokal, industri game belum begitu menarik karena bisnisnya yang unik, cenderung riskan untuk dimasuki karena perlu orang yang benar-benar paham dengan industri tersebut.

Wakil Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Donald Wihardja mengatakan tidak banyak investor lokal yang paham dengan siklus bisnis dari perusahaan game. Hal ini yang mengakibatkan banyak perusahaan game lokal akhirnya melarikan diri ke modal ventura asing untuk mendapatkan bantuan pendanaan.

“Karena untuk investasi ke sektor manapun butuh ahli yang paham, sehingga tidak banyak perusahaan game yang menerima funding dari ventura lokal. Buat game itu sama seperti artis yang produksi film, jadi lebih unsur gambling-nya kalau enggak ngerti,” ujar Donald.

Dia menambahkan, di Indonesia itu lebih banyak perusahaan game yang bertindak sebagai publisher, membawa game dari luar untuk dipasarkan di Indonesia. Bagi investor itu bukan sesuatu yang bernilai tinggi karena posisinya mereka hanya menjadi penyokong dana untuk kegiatan pemasaran.

Amvesindo melihat tren modal ventura saat ini lebih banyak yang fokus pendanaan untuk sektor financial technology (fintech) dan layanan e-commerce.

Langkah Bekraf

Untuk menstimulasi industri kreatif, sejak pertengahan tahun ini Bekraf mendapat persetujuan dari pemerintah untuk memberikan dana hibah bersumber dari kantong Bekraf sendiri lewat program Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Bekraf mengalokasikan dana hibah senilai Rp10,8 miliar untuk pelaku usaha yang bergerak di bidang kuliner, aplikasi dan developer game (AGD).

Dreadout Cover
Dreadout Cover

BIP adalah skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi Bekraf. Besaran dana hibah yang diberikan berkisar antara Rp90 juta sampai Rp200 juta tergantung hasil penilaian.

Dari total applicant yang masuk, Bekraf menyaringnya dan memutuskan ada 34 perusahaan yang menerima dana hibah. Rinciannya terdiri dari 19 perusahaan dari kuliner dan 15 perusahaan dari aplikasi dan developer game. Rata-rata berlokasi di Pulau Jawa, Makassar, dan Balikpapan. Beberapa nama perusahaan game yang mendapat BIP adalah Ekuator Games (kreator game PC Celestian Tales), Digital Semantika Indonesia (kreator game PC DreadOut).

“Kita bayarkan 40% dari nilai assesment, lalu dievaluasi untuk kemudian ditentukan pencairan berikutnya. Evaluasi itu dilakukan pada November 2017,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Tak berhenti di sini, Bekraf akan melanjutkan program ini pada tahun depan. Hanya saja Hari enggan menyebutkan nominal dana hibah yang diajukan ke pemerintah. Lewat inisiasi nyata lewat BIP ini diharapkan bisa menimbulkan efek domino di industri jasa keuangan dan membuka mata tentang nyatanya potensi industri game di Indonesia. Kita tunggu kabar-kabar baik ke depannya.

Kolaborasi Startup Penopang Perekonomian di Hari Mendatang

Sesuatu yang besar berawal dari hal-hal kecil. Mari kita ambil startup dan perekonomian sebuah negara sebagai contoh untuk menggambarkannya. Startup memang bisnis usaha dengan skala kecil dan menengah, namun kemampuannya menjadi tulang punggung keuangan negara tidak perlu diragukan lagi seharusnya. Lihatlah bagaimana startup membuka lebih banyak lapangan pekerjaan yang secara langsung jelas memberi imbas pada peningkatan ekonomi negara, di tengah tren jumlah pengangguran yang menurun dari semester pertama dan kedua di tahun 2015 dan 2016.

Kendati besar dampaknya, langkah itu ‘hanya’ satu dari sekian kontribusi yang dibagi oleh startup kepada masyarakat. Dengan usia usaha dan industri yang tergolong hijau, spirit saling berbagi mestinya memang menjadi prinsip dari startupstartup ini. Ingat, kuncinya adalah berbagi dan kerja sama, atau yang awam kita dengar dengan “sharing is caring”.

Membuka jalan untuk implementasi dari ide tersebut, Mandiri Capital Indonesia (MCI), Metra Digital Innovation (MDI), dan DailySocial.id menjalin sebuah kolaborasi melalui program DigiTalks yang kini bertajuk How Digital Innovations Contribute to Indonesian Economy.

Diskusi panel yang diselenggarakan pada Rabu, 14 Desember 2016 ini rencananya akan melibatkan tiga pakar dunia digital Indonesia dalam memperbincangkan bagaimana inovasi digital mendorong perekonomian sebuah negara dan memberi kontribusi langsung bagi masyarakat luas. Tiga orang tersebut adalah Donald Wihardja (Partner Convergence Ventures) dan Muhamad Fajrin Rasyid (Co-founder dan CFO Bukalapak), dengan Rama Mamuaya (CEO DailySocial.id) sebagai moderatornya.

Selain talkshow, DigiTalks yang bertempat di Rumah Mandiri Inkubator Bisnis ini akan menghadirkan launching dari program yang diinisiasi Mandiri Capital Indonesia bernama StartupBerbagi, suatu platform yang dapat menjembatani startup Indonesia untuk berkolaborasi dan berbagi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat dengan menawarkan sebuah solusi.

Misi StartupBerbagi adalah untuk membantu UMKM, pengusaha pemula dan berbagai elemen masyarakat di indonesia dengan menyediakan solusi-solusi digital secara gratis yang disediakan oleh startup company Indonesia yang sama-sama memiliki keinginan untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia.

Sehingga, rekan-rekan startup owner di sini bukan mendapatkan ilmu saja, namun juga bisa mendapat manfaat dari sesama pebisnis startup dengan solusi-solusi yang ditawarkan, yang dapat Anda pilih sendiri di Startupberbagi.com.

Oh iya, jangan lupa, event ini gratis untukmu para startup owner dan digital enthusiast lho! Daftar sekarang di sini!


Disclosure: DailySocial adalah bagian dari kolaborasi untuk DigiTalks bersama Mandiri Capital Indonesia dan Metra Digital Innovation.

Convergence Ventures Siapkan Dana Baru 391 Miliar Rupiah untuk Berinvestasi di Startup Indonesia

Convergence Ventures yang berbasis di Indonesia mengumumkan putaran dana baru yang bernilai total $30 juta atau sekitar 391 miliar Rupiah. Dana itu disebutkan melebihi ekspektasi awal dengan investor pendukung (limited partner) mencakup VC global dan institusi Asia, termasuk Garena dan EMTEK. Dana tersebut bakal dialokasikan untuk pendanaan tahap awal 30 startup Indonesia di sektor digital. Partner Y Combinator Justin Kan dan Pendiri IDG Ventures India Manik Arora bergabung dalam dewan penasihat perusahaan.

Dua tahun lalu, perusahaan investasi yang digawangi Adrian Li dan Donald Wihardja ini menyediakan $25 juta yang akhirnya dibagikan ke 17 startup. Beberapa di antaranya telah mendapatkan dana lanjutan, misalnya Qraved dan Paktor.

Adrian, dalam rilisnya, mengatakan, “Convergence Ventures bertujuan untuk mengembangkan dan membantu entrepreneur lebih dari hanya sekedar modal yang kami investasikan untuk menjadikan perusahaan tersebut pemimpin di pasar Indonesia dan juga pasar ASEAN. Contohnya, tahun ini saja tim rekrutmen kami telah menempatkan 15 posisi penting di perusahaan portfolio.”

“Sebagai pasar yang paling besar di ASEAN, kami percaya bahwa Indonesia akan perlahan menjadi titik perhatian dari peluang internet dan mobile di tingkat regional. Dengan perencanaan dukungan pemerintah dan inisiatif pengusaha dan investor, kami percaya perkembangan industri ini akan terus melejit,” tambah Donald.

Kepada DailySocial, pihak Convergence Ventures siap menggunakan pendanaan baru ini berinvestasi ke 3 startup lagi tahun ini dan menggenapkan angkanya menjadi 20 startup.

Convergence Ventures Siap Danai Tiga Startup Lagi Hingga Akhir Tahun

Pada bulan Juni 2016 lalu Convergence Ventures menggagas acara pertemuan antara investor Tiongkok dengan beberapa pelaku startup di Indonesia. Acara yang diinisiasi venture capital yang dipimpin oleh Adrian Li dan Donald Wihardja ini mengundang investor Tiongkok untuk datang dan berinvestasi di Indonesia.

Investor Tiongkok yang datang ke Indonesia adalah Victor Yuan (Founder of Horizon-China & Feimalv Capital), Bob Xu (Founder of ZhenFund), Wensheng Cai (Founder of Longling Capital & Chairman of Meitu), Kai-Fu Lee (Chairman & CEO of Innovation Works), Zhengdong Ni (Founder, Chairman, CEO of Zero2IPO Group), Xiangyang Yang (Founder of Shenzhen Resource Investment), dan Charles Xue (angel investor).

“Dalam rangkaian kegiatan tersebut kami menjadwalkan mengunjungi kantor startup seperti Tokopedia dan Go-Jek. Para tamu dari Tiongkok tersebut mendapat kesempatan bertemu langsung dengan William Tanuwidjaya dan Nadiem Makarim. Kami juga menjadwalkan sesi presentasi dengan startup Indonesia lainnya di hadapan angel investor dengan tujuan untuk memahami lebih mendalam pasar Indonesia,” kata Senior Investment Analyst Convergence Ventures Faiz A. Rahman kepada DailySocial.

Faiz menambahkan kunjungan beberapa investor asal Tiongkok tersebut merupakan hasil hubungan baik yang sebelumnya telah dibina Adrian saat berada di Tiongkok selama 6 tahun sebagai entrepreneur, termasuk relasi yang baik dan terus terjaga dengan Bob Xu (Founder of ZhenFund).

“Kunjungan para investor asal Tiongkok tersebut berawal dari pertemuan antara Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li dengan Bob Xu dan mengkombinasikan pertemuan rutin angel investor Tiongkok dengan perjalanan ke Indonesia,” kata Faiz.

Dengan digelarnya sesi kunjungan tersebut diharapkan bisa membuka lebih banyak kesempatan startup asal Indonesia untuk mendapatkan investasi dari para investor asal negara Tiongkok, dan tentunya bermanfaat bagi kedua pihak.

Berencana berinvestasi di tiga startup lagi

Sebagai salah satu venture capital asing di Indonesia, Convergence Ventures hingga kini telah berinvestasi di berbagai startup, di antaranya adalah YesBoss, Money Smart, Adskom, Ematic, Nida Rooms, Seekmi, Xfers, Black Garlic, Moka Pos, E27, Paktor, MalesBanget.com, Indo Trading, Qraved, Female Daily, Xendit, dan Laku6.com. Untuk melengkapi jumlah startup yang didanai menjadi 20, dalam waktu dekat Convergence Ventures akan berinvestasi di 3 startup lokal.

“Hingga akhir tahun 2016 kami berencana untuk mendanai 3 startup lokal. Convergence Ventures selalu melihat peluang baru serta potensi lebih dari startup dengan beragam industri dan vertikal. Kami pun memiliki beberapa sektor favorit untuk diinvestasikan,” kata Faiz.

Selain memberikan investasi kepada 3 startup lokal, dalam waktu dekat Convergence Ventures juga akan menambah tim, di antaranya business development, operation dan investment untuk mendukung portofolio perusahaan.

Menyikapi Pembentukan Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia

Akhir pekan lalu, 12 VC teknologi, sejumlah VC konvensional, dan sejumlah startup bergabung membentuk Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo). Presiden Direktur Astra Mitra Ventura Jefri R. Sirait terpilih menjadi Ketua, sedangkan Managing Partner Mountain Kejora Ventures Sebastian Togelang menjadi Sekretaris Jenderal.

Disebutkan Amvesindo dibentuk untuk menghimpun para pelaku industri modal ventura dan membantu pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menyusun kebijakan dan program pemerintah terutama yang berkaitan dengan industri modal ventura di Indonesia.

Bergabungnya sejumlah VC teknologi di dalam asosiasi ini bukan tanpa maksud. Mereka sedang bekerja sama dengan OJK untuk menggolkan peraturan yang memudahkan pendirian VC, dengan modal awal hanya 1 miliar Rupiah, untuk fokus berinvestasi di bidang teknologi.

Wakil Ketua Amvesindo Donald Wihardja, yang juga Partner Convergence Ventures, dalam rilisnya mengatakan, “OJK, dengan input dari kami, sedang menggodok POJK [Peraturan OJK] PMV [Perusahaan Modal Ventura] Micro yang fokus untuk Tech Start-up. Seperti Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawasan IKNB II Pak Dumoly Pardede ceritakan sebelumnya, PMV Tech Startup ini rencananya bisa didirikan dengan hanya 1 miliar [Rupiah] saja sehingga dapat mengundang lebih banyak manager VC dan investor-investor lokal dan internasional untuk mau menyalurkan dana mereka untuk mendukung Tech Start-up di Indonesia. Beliau mengharapkan 20% dari 1000 sampai 2000 triliun Rupiah dana hasil program amnesti dapat disalurkan ke Tech Startup menggunakan skema PMV Tech Startup ini.”

Tercatat Alpha JWC Ventures, Convergence Ventures, CyberAgent Ventures, East Ventures, Fenox Venture Capital, Ideosource, Kejora Ventures, MDI Ventures, Skystar Capital, SMDV, Sovereign’s Capital, dan Venturra menjadi VC teknologi yang bergabung dalam asosiasi ini.

Pertentangan dua kubu

Sebelumnya sudah ada Asosiasi Modal Ventura Indonesia (AMVI) yang menaungi lembaga modal ventura Indonesia. Perbedaan konsep antara modal ventura konvensional dan VC teknologi membuat keduanya seperti tak bisa jalan bersama.

Ketua AMVI Andi Buchari, yang juga CEO Bahana Ventura, di suatu kesempatan wawancara menyebutkan modal ventura belum siap mendanai startup. Ia menyebutkan modal ventura (konvensional) lebih menyukai skema bagi hasil, tidak memiliki nafas panjang (untuk menunggu hasil investasi membuahkan), dan mayoritas sumber pendanaan berasal dari perbankan.

Tiga hal di atas jelas bertentangan dengan semangat VC teknologi yang berkiblat pada Silicon Valley. Dengan sumber pendanaan dari investor perorangan dan institusi, VC teknologi harus memiliki nafas panjang, karena startup tidak bisa langsung memberikan hasil (pendapatan). Oleh karena itu skema kepemilikan saham adalah hal yang paling logis dan umum diterapkan.

Amvesindo tidak melulu soal investor. Kehadiran startup, baik fintech maupun non-fintech, dalam keanggotaan Amvesindo disebutkan Jefri kepada DailySocial untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kebutuhan startup dan bagaimana investor modal ventura mampu membantu memenuhi kebutuhan ini. Sedikit banyak ada irisan antara Amvesindo dan FinTech Indonesia, terutama dalam hal keanggotaan dan kemitraan dengan regulator seperti OJK, tetapi FinTech Indonesia jelas hanya fokus di satu sektor sedangkan Amvesindo lebih luas.

Amvesindo, dengan dukungan OJK, kini cukup di atas angin karena OJK kini terus-menerus memberi sorotan untuk startup teknologi. Meskipun demikian, kami berharap pendirian Amvesindo tidak hanya lahir karena pertentangan pendapat dan ideologi, tetapi benar-benar karena semangat bersama-sama membangun ekosistem startup di Indonesia.

IPO adalah Penilaian Sebenarnya Perusahaan Teknologi yang “Disruptive”

Kamis (28/4), Indonesia E-Commerce Summit & Expo (IESE) 2016 yang digelar pertama kalinya oleh Indonesia E-Commerce Associaton (idEA) bekerja sama dengan Dyandra memasuki hari kedua. Di hari keduanya, sesi Summit IESE 2016 membahas mengenai lanskap mobile commerce, pendanaan, logistik, hingga perlindungan konsumen di lanskap e-commerce Indonesia.

Dinamika pendanaan startup di Indonesia

Managing Partner Ideosoursce Andi S. Boediman dalam seisi Money In, Money Out di IESE 2016 hari kedua
Managing Partner Ideosoursce Andy S. Boediman dalam seisi Money In, Money Out di IESE 2016 hari kedua

Industri digital di Indonesia kini sedang tumbuh dan e-commerce mencuat menjadi salah satu sektor yang paling dilirik. Potensi pasar yang besar, membuat Indonesia seolah-olah menjadi tambang emas baru bagi para stakeholder di industri digital. Pelaku startup digital mulai menjamur, investor mulai menanam modal, dan pemerintah pun dibuat sibuk menata semua perubahan yang terjadi begitu cepat.

Indonesia masih belum beranjak jauh dari garis mulai. Untuk mendorong agar bisa melaju lebih jauh, ekosistem yang sehat perlu dibentuk. Salah satu elemen ekosistem yang selalu disuarakan adalah pendanaan atau penanaman modal, baik itu dari asing maupun dalam negeri.

Bisnis menanam modal sendiri bukan bisnis jangka pendek, butuh waktu untuk mendapatkan keuntungan. Strategi exit pun biasanya sudah direncanakan ketika menanam modal di startup, seperti Merger & Acquisition (M&A)  atau penawaran saham publik (IPO).

[Baca juga: Masa Depan “Exit” Startup di Asia Tenggara adalah Merger dan Akuisisi, Bukan IPO]

Di Indonesia sendiri diprediksikan akan lebih banyak terjadi M&A dalam dua atau tiga tahun ke depan dibanding IPO. Pun demikian, Managing Partner TAS – Ernst & Young David Rimbo dalam sesi panel diskusinya di IESE 2016 menyebutkan bahwa IPO adalah penilaian sesungguhnya sebuah startup dalam hal menciptakan ‘gangguan’ dan nilai.

David mengatakan:

“Penakaran sebenarnya nilai [startup] itu munculnya dari saat IPO. In between, seperti fundraising, itu hanya intangible valuation play istilah teknisnya. Tapi benar-benar real value add daripada [startup] teknologi, diri sisi disruption dan value creation, itu divalidasi saat investor publik percaya nilainya sebesar itu. Itu menurut saya acuan [exit] yang seharunya ke sana.”

“Tahun ini, […] kalau dari sudut pandang aktivitas VC, itu agak melambat […] karena tahun ini kita [Indonesia] belum lihat ada tech listing yang carry the value. Kalau dilihat pada masa awal, di saat perusahaan-perusahaan ini tumbuh dan masih ‘merah’, dari sisi persepsi investor publik khususnya di capital market konvensional itu tidak menarik. Makanya hanya menarik bagi VC yang melihat masih ada delta yang bisa di-capture. Tujuannya tetap ada exit di IPO, atau trade sale dengan strategic” lanjut David.

[Baca juga: Moxy dan Bilna Merger Membentuk MoxyBilna (Sekarang Orami)]

Menurut Partner Convergence Ventures Donald Wihardja, ada alasannya sendiri untuk masing-masing industri dalam melakukan trade sale. Memang market acquisition itu mahal tetapi di Indonesia, khususnya industri e-commerce, sudah kelihatan ke depannya mengarah ke arah sana. M&A ini akan menurut Donald akan rapid dalam 2-3 tahun ke depan, sehingga saat ini adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi.

Startup yang ingin mendapatkan modal dari VC pun terkadang memiliki keraguan untuk pitching. Alasannya berbagai macam hal, salah satunya takut ide startup-nya kurang menarik. Dalam hal ini, Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengingatkan bahwa eksekusi idelah yang paling penting.

“Jangan khawatir dengan ide Anda [para pelaku startup]. Your idea is cheap. Setiap orang dalam ruangan [Summit] ini punya banyak ide. Masalah sebenarnya adalah bagaimana mengeksekusi itu. Jangan datang ke VC dan meminta menandatangani ‘my non disclosure agreement’, mereka akan bilang ‘I don’t care about your idea’. Jangan berlaku seperti punya mimpi besar. Your dream is not that valuable [di mata VC],” ujar Andy.

Lanskap mobile commerce dan dinamika hambatan e-commerce lainnya di Indonesia

Suasana pameran IESE 2016 hari kedua
Suasana pameran IESE 2016 hari kedua

Selain pendanaan, hari kedua IESE 2016 juga membawakan topik-topik menarik lainnya. Seperti state of mobile commerce di Indonesia, solving logistic, national payment gateway, perpajakan, hingga perlindungan konsumen.

Indonesia saat ini sering disebut sebagai negara mobile first, namun ini masih berada di tahap awal. Menurut CEO Shopee Chris Feng, konteksnya di Indonesia saat ini adalah mengenai maturity of market. Sangat bijak bila pilihan yang ada disederhanakan, bukan memberikan banyak pilihan. Seiring dengan waktu, pasar akan belajar, dari sana pilihan akan bisa ditambah lebih banyak.

CEO Indosat Alexander Rusli, CEO Alfaonline Cathrine Hindra Sutjahyo, dan Head of Indonesian Market UC Web Donald Ru yang turut hadir dalam sesi State of Mobile Commerce di Indonesia percaya bahwa meski tren mobile first di Indonesia masih berkembang, namun arahnya pasti ke sana.

Kualitas aplikasi mobile akan semakin dioptimalkan berbagai industi, beriringan dengan kualitas telekomunikasi dan infrastruktur dan penyedia konten yang turut membaik. Selanjutnya, Indonesia akan menjadi negara mobile first yang sesungguhnya.

Dengan lebih dari 17 ribu pulau, menjadikan Indonesia sebagai negara yang unik untuk industri e-commerce, khusunya dari sektor logistik. Tak ada yang memungkiri bahwa butuh kolaborasi dari berbaagai provider logistik di Indonesia untuk memecahkan masalah ini.

Tapi, itupun akan butuh waktu karena masing-masing provider logistik memiliki standarisasi pengiriman, first dan last mile, yang berbeda-beda. Sistem standar seperti kode pos yang sudah sangat baik disusun pun dirasa harus dioptimalkan kembali agar para pelaku terkait dapat memanfaatkannya secara optimal. Itu adalah kesimpulan yang bisa ditarik dalam sesi Solving Logistik in Indonesia.

Di sesi tersebut, ada CEO aCommerce Indonesia Hadi Kuncoro yang hadir sebagai moderator. Selain itu Interim CEO PT Pos Logistics Indonesia Yan Hendry Jauwena, VP Marketing elevenia Madeline Ong de Guzman, dan Presiden Direktur JNE Mohamad Feriadi juga turut hadir sebagi pembicara.

Pembicara lain yang turut hadir di hari kedua ini adalah, CEO Redmart Roger Egan yang berbagi kisahnya mendirikan dan menjalankan Redmart dengan strategy O2O dan Assistant Minister of Finance for Tax Oversight Puspita Wulandari yang kembali menekankan kembali bahwa aturan pajak untuk e-commerce tak berbeda dengan bisnis konvensional perdangan.

Di samping itu masih ada Founder dan Principal Doku Budi Syahbudin, Director Digital Banking & Teknologi Mandiri Rico Usthavia Frans, Busines Director Artajasa Anthoni Morris dan Ketua Tim Bidang National Payment Gateway Bank Indonesia Dananto dalam sesi yang membahas mengenai National Payment Gateway (NPG). Saat ini NPG sendiri masih dalam digodok oleh BI dari sisi regulasi.

IESE 2016 hari kedua dibuka oleh Chairman Inacham Liky Sutikno yang menyebutkan bahwa ada peluang besar bagi UKM untuk memasarkan produknya ke China. Kemudian ditutup dengan diskusi mengenai perlindungan konsumen yang dibawakan oleh Head of Legal & Government Relation Lazada Sari Kacaribu dan Sekjen Kemendag Srie Agustina.

IESE 2016 akan berlangsung tiga hari, dari 27 April – 29 April 2016 dengan mengambil tempat di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang.

Menilik Inovasi Digital Payment Bersama Donald Wihardja di Echelon Indonesia 2016

Pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia telah berhasil merangsang berbagai sektor digital lain untuk ikut tumbuh, salah satunya dari sektor finansial yang berkaitan dengan metode pembayaran. Di ajang Echelon Indonesia 2016, yang didukung Bekraf, yang akan digelar 5-6 April 2016, Partner Convergence Ventures Donald Wihardja akan berbagi pandangannya tentang dunia digital payment di Indonesia.

Donald memiliki riwayat karier yang cukup panjang dalam dunia digital, khusunya yang bersinggungan dengan sektor finansial. Sebelum bergabung sebagi Partner di Convergence Ventures, Donald pernah berkarir sebagi Country Manager di perusahaan e-commerce payment gateway 2C2P. Donald juga pernah mencicipi pengalaman di perusahaan yang fokus sebagai game paymenet solution Indomog.

Donald mengatakan, “Di duna teknologi secara umum, khususnya e-commerce, semua effort ditujukkan kepada optimasi conversion rate dari visitor menjadi customer dan menjadi transaksi yang terbayar dan terkirim. […] Metode payment yangg paling ‘licin’ adalah e-wallet dan credit card. Tapi penetrasi itu tidak baik di Indonesia. Karena itu, masih banyak pekerjaan yg harus diselesaikan di payment. Pertama, membawa lebih banyak orang supaya bisa pakai credit card maupun e-wallet atau menyediakan metode pembayaran lain yang ‘selicin’ itu.”

Menurut Donald, ajang konferensi Echelon memiliki peranan penting dalam ekosistem startup di Indonesia. Salah satu alasannya, melalui ajang seperti Echelon, startup dan investor dapat bertemu secara efisien.

“Kami di Convergence melirik lebih dari 1000 startup per tahun untuk menemukan 14 yang sudah kami berikan investasi. 500-an dari startup tersebut kami dari acara seperti Echelon. Tanpa acara seperti Echelon, kerjaan kami akan dua kali lipat lebih susah,” ujarnya.

Donald menambahkan, “Yang terakhir, pemerintah Indonesia dari Kominfo, Perdagangan, Bekraf, dan BKPM sekarang sangat mendukung e-commerce dan tech startup. Mereka sudah banyak mengeluarkan paket kebijakan untuk mendukung upaya semuanya. Tapi, […] informasi kebijakan yang dikeluarkan masih lebih banyak gossip dibanding fakta. Di Echelon, saya sudah mendorong tim untuk menyediakan tempat bagi instansi pemerintah agar bisa buka booth dan menyebar luaskan penjelasan tentang kebijakan tersebut.”

Sebagai ajang konferensi internasional, Echelon Indonesia 2016 dapat menjadi platform bagi startup, SME, dan perusahaan berbasis teknologi untuk membawa bisnis ke level selanjutnya. Innovate – Developer – Empower adalah tiga kata kunci yang diterjemahkan dalam gelaran acara dua hari ini.

Echelon Indonesia 2016 akan digelar pada tanggal 5-6 April 2016 di Balai Kartini, Jakarta. Penjualan tiket saat ini telah dibuka dan tersedia diskon 20 persen dalam waktu terbatas dengan menggunakan kode “EMPOWER20”.

Tahun 2020 Ditargetkan Akan Lahir Seribu Startup Baru di Indonesia

Diharapkan dengan program ini sesuai dengan rencana jangka panjang Presiden Joko Widodo dalam hal membuat roadmap e-commerce dan industry digital lainnya yang solid / Shutterstock

Terinspirasi dari perkembangan startup yang ada saat kunjungan ke Silicon Valley pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo bersemangat untuk membuat sebuah gebrakan untuk meningkatkan potensi tersebut. Dalam sebuah kesempatan, Menkominfo Rudiantara bersama Chief Executive Kibar Kreasi Yansen Kamto dan Partner Convergence Ventures Donald Wihardja menginisiasi gerakan 1.000 startup di Indonesia. Gerakan tersebut ditargetkan akan terselesaikan di tahun 2020. Continue reading Tahun 2020 Ditargetkan Akan Lahir Seribu Startup Baru di Indonesia

Do We Still Need Foreign VCs?

It’s not a secret that many tech industry practitioners wish for a conducive ecosystem under the newly established government. All this time, the trend of foreign investors’ (VC) expansion in Indonesia has failed to effectively draw the government’s attention, while their presence here keeps growing stronger. Continue reading Do We Still Need Foreign VCs?

Jakarta-Based Convergence Accel Setups $25 Million Fund for Startup Investment in Indonesia

Convergence Accel

Convergence Accel is the new Jakarta-based investment company to focus on funding Indonesian startups. Founded and led by Adrian Li and Donald Wihardja, the investment company has setup $25 million (more than Rp 300 billion) fund for 25-30 startups in the next five years, with collective experience, network,  and capital from group of US and China venture capitalists.

Continue reading Jakarta-Based Convergence Accel Setups $25 Million Fund for Startup Investment in Indonesia