Female Daily Rambah Layanan E-commerce Melalui “Beauty Studio”

Platform komunitas online untuk perempuan Female Daily merilis situs e-commerce khusus produk kecantikan Beauty Studio sejak Mei 2020, bertepatan dengan hari jadi perusahaan yang ke-13. Layanan ini sudah bisa diakses melalui aplikasi utama Female Daily atau mengunjungi langsung ke situsnya.

Co-Founder dan CEO Female Daily Hanifa Ambadar menjelaskan, sementara ini katalog produk yang tersedia masih berasal dari produk kecantikan lokal. Alasannya, selain punya misi untuk memajukan produk lokal yang tak kalah saing dengan brand luar, perusahaan punya hubungan yang dekat karena pernah terlibat secara langsung dari sebelum mereka dirilis resmi ke publik.

We have a very close relationship with them. [..] dan tentunya kami punya misi untuk memajukan local beauty industry dan menonjolkan local beauty entrepreneurs karena sekarang produknya udah keren-keren banget. Target berikutnya menambah international brands di e-commerce kami,” jelas Hanifa kepada DailySocial.

Tampilan situs e-commerce Female Daily
Tampilan situs e-commerce Female Daily

Menurutnya, meski sudah banyak pemain e-commerce dan marketplace yang fokus ke produk kecantikan, Studio Beauty punya proposisi yang beda. Situs ini memberikan pengalaman belanja yang lebih spesial, personal, dan seamless untuk semua anggota Female Daily karena semua perjalanan tentang kecantikannya ada di Female Daily.

Kendati belum semua fitur yang diinginkan sudah bisa dinikmati, sehingga perlu waktu supaya platformnya bisa sesuai dengan target. Terlebih, Female Daily sebagai platform komunitas memiliki keunggulan yang kuat dari sisi konten. Alhasil telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari konsumen untuk mendapatkan informasi yang edukatif dan akurat.

“Jadi kami juga ingin meng-extend service itu [Female Daily] dengan menjual produk-produk kecantikan secara langsung.”

Sebagai platform komunitas, basis pengguna Female Daily bisa dikatakan cukup kuat. Hanifa mengatakan penggunanya mencapai 50 juta dalam setahun terakhir. Dari angka tersebut, 4 juta di antaranya adalah unique users per bulannya.

Yang menarik adalah rentang usia pengguna Female Daily terbesar datang dari kelompok 18-24 tahun. “Sebelumnya lebih dewasa, ini menandakan bahwa semakin banyak anak muda yang tertarik dengan beauty.”

Tim Beauty Studio / Female Daily
Tim Beauty Studio / Female Daily

Pasca bergabung dengan CT Corp

Hanifa melanjutkan akuisisi terhadap J-Tech pada 2016 sebenarnya lebih ditujukan untuk urgensi merilis aplikasi Female Daily karena belum ada. Sehingga pengembangan untuk mengembangkan layanan e-commerce belum terbersit.

“Saat itu kami belum ada app dan belum ada tech team yang kuat. Akhirnya diputuskan jalan paling cepat untuk bangun tech team adalah mengakuisisi. Dua bulan setelah akuisisi, kami launch app lalu banyak sekali menambah beragam fitur yang memudahkan konsumen mencari produk kecantikan dan me-review.”

Selain aplikasi, tim teknologi di Female Daily juga membuat platform lainnya seperti user dashboard, brand dashboard, FD Talk, GirlsBeyond, dan lainnya.

Mengenai dampak pandemi, dia menuturkan dari sisi konsumsi konten terkait kecantikan terjadi penurunan trafik pada bulan pertama. Kondisi tersebut dianggap wajar karena prioritas pengguna adalah informasi seputar kesehatan dan sedang sibuk beradaptasi dengan keadaan.

Tim akhirnya mulai geser fokus dengan memperkaya konten terkait kesehatan baik fisik maupun mental dan semua yang berhubungan dengan work from home. “Misalnya, makeup untuk video call, alat-alat yang dibutuhkan untuk work from home, dan sebagainya.”

Masuk ke bulan kedua, ada kenaikan momentum untuk konten terkait kecantikan dan sekarang mencapai rekor tertingginya. Kecenderungan konten yang paling banyak dinikmati adalah seputar perawatan kulit (skincare) dibandingkan makeup.

Selain itu, seluruh kegiatan rutin offline tahunan Female Daily juga harus dibatalkan. Baik di Jakarta, maupun kota lainnya juga bernasib sama, seperti di Surabaya dan Medan. Sebelum ada pandemi, Jakarta x Beauty mampu menarik 25 ribu pengunjung.

Hanifa melanjutkan pasca diakuisisi oleh CT Corp pada tahun lalu, dia mengaku belum ada perubahan dari internal maupun eksternal. Akan tetapi, bicara tentang rencana ke depannya akan ada banyak hal yang bisa disinergikan dengan ekosistem CT Corp. Mereka memiliki entitas usaha yang bergerak di industri media, ritel, dan unit bisnis lainnya yang bisa mengakselerasi pertumbuhan Female Daily.

“Sayangnya beberapa jadi tertunda karena pandemi. Semoga setelah ini kami bisa berlari kencang bersama,” tukasnya.

Application Information Will Show Up Here

Perjalanan Bhinneka Pertajam Bisnis B2B2B

Bhinneka terus memperkuat posisinya sebagai pemimpin pasar e-commerce B2B di Indonesia lewat transformasinya sebagai business super ecosystem (b2b2b). Kontribusi bisnis yang didapatkan perusahaan dari segmen ini disebutkan tembus 90%, ketimbang B2C pada tahun lalu.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin menjelaskan, transformasi ini sebenarnya sudah diumumkan sejak akhir tahun lalu lewat sejumlah rangkaian persiapan. Di antaranya, meluncurkan Bhinneka Smart Procurement, mengembangkan omnichannel O2O, dan memiliki selected merchant.

“Dan tahun ini titik untuk bertransformasi menjadi business super ecosystem. Kami ingin mengokohkan leadership kami di segmen B2B karena di situlah expertise kami, dari soal produk/jasa/solusi yang dibutuhkan untuk bisnis tetap berjalan secara efektif, hingga proses bisnis yang transparan,” jelasnya kepada DailySocial.

Posisi yang kini ditempati Vensia adalah nomenklatur baru untuk mempersiapkan model bisnis Bhinneka tersebut. Sebelum Februari 2020, ia menjabat sebagai Chief of Platform & Omnichannel.

Business super ecosystem ini secara konsep adalah ekosistem yang menghubungkan para pelaku bisnis enabler mulai dari para penghasil barang, penyedia jasa, fintech, logistik, dengan para pelanggan yang terdiri dari usaha mikro, UKM, dan enterprise.

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin / Bhinneka
Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin / Bhinneka

Perusahaan mengklaim telah memiliki 1,5 juta pelanggan yang datang dari berbagai kelas usaha, termasuk institusi dan pemerintah. Di dalam platform tersebut, perusahaan mempertemukan semua kebutuhan bisnis dan memberi 1,5 juta peluang bisnis semuanya di ranah B2B2B/G.

“Para pelaku usaha dapat bergabung ke dalam Bhinneka, smart procurement yang telah kami luncurkan beberapa waktu lalu, semua ada dalam Bhinneka.com.”

Kategori produk telah ditambah, tidak hanya menjual produk IT; tapi ekstensi ke penyediaan produk MRO, solusi bisnis, dan jasa profesional yang dibutuhkan pelanggan. Beberapa pelaku usaha yang telah bergabung di antaranya adalah Markplus, Omnicom Media Group, SF Consulting, Ideoworks, dan BATS International.

Penyedia jasa lainnya akan ditambah, terutama dari segmen perpajakan, pengelolaan SDM, konsultasi marketing, riset komersial, dan lainnya.

Melalui model ini, pelaku bisnis dari beragam skala usaha dapat terhubung dengan penyedia jasa dan memanfaatkan layanan bisnis yang ditawarkan. Misalnya, melakukan konsultasi dan pelayanan pajak sejak awal bisnis; memperluas branding dan exposure; atau mendapatkan market insight melalui riset pasar yang penting dalam menyusun strategi bisnis.

Bhinneka telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 10 ribu merchant, vendor/principal, menawarkan lebih dari 1 juta SKU di platform-nya.

Sejak memproklamirkan model bisnis ini pada akhir tahun lalu, Vensia mengklaim saat ini kontribusi bisnis terbesar buat perusahaan adalah belanja korporasi dan pemerintah tembus 90%. Sisanya datang dari bisnis konsumer (B2C).

Meski kontribusi bisnis konsumer minim, Vensia mengaku bahwa segmen ini tidak akan ditutup. Pihaknya melihat justru menjadi pelengkap posisi perusahaan sebagai pemimpin pasar e-commerce B2B.

“Bhinneka melayani konsumsi perorangan, para entrepreneurs yang belanja untuk startup, termasuk para individual, pebisnis yang ingin berjualan di Bhinneka dapat menggarap segmen konsumer dan korporasi sekaligus.”

Dia melanjutkan, “Jadi peluang-peluang usaha yang bergabung dalam ekosistem platform Bhinneka, membuka peluang untuk scale up bisnis. Apalagi kami sudah 27 tahun melayani korporasi dan institusi pemerintah, jadi compliance dalam berbisnis itu kami transform juga ke pemain UMKM.”

Dampak pandemi Covid-19

Vensia menambahkan perusahaan turut berdampak semenjak pemberlakuan PSBB hingga menjelang akhir paruh pertama tahun ini. Pandemi yang berlangsung sejak Maret menyebabkan perlambatan pertumbuhan revenue dibandingkan setahun sebelumnya (yoy). Akan tetapi, disebutkan ada pergeseran kategori produk yang mengimbangi kategori yang sebelumnya populer sebelum pandemi.

“Bhinneka dengan eksistensi produk yang disediakan via platform, kini selain IT, growth tertinggi disumbang dari MRO/perkakas dan alat kesehatan. Sementara itu, di marketplace kami mencatat lonjakan pada produk makanan dan kebutuhan harian. Jadi kami melihat ada balancing process dari kedua segmentasi.”

Perusahaan berupaya mengejar pertumbuhan bisnis dengan gencar menambah variasi pada kategori kesehatan dan perawatan. Sejak awal tahun, kategori ini tumbuh lebih dari 100% berdasarkan variasinya.

Dalam merespons kondisi normal baru, perusahaan mengembangkan produk kesehatan lainnya bersama para vendor. Misalnya, perbanyak mitra layanan kesehatan seperti test Covid-19 untuk perusahaan, menawarkan produk ThermoNex untuk mendeteksi suhu tubuh secara otomatis, terhubung dengan cloud, dan dilengkapi dengan fitur face recognition sebagai data dan terhubung dengan panel absensi.

Bermitra dengan mitra healthtech seperti Triasse dan Prixa untuk menyediakan layanan kesehatan, membuat produk Digital Classroom untuk sekolah yang ingin memaksimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tanpa tim IT sendiri, dan produk Crinoid yakni multichannel management untuk bantu mengatur penjualan di beberapa marketplace sekaligus.

“Kecepatan dan agility menjadi kunci dalam menghadapi masa yang penuh uncertainties ini, kami melakukan berbagai aktivitas dan perubahan dengan menangkap peluang-peluang yang dapat segera dilakukan,” tutup Vensia.

Application Information Will Show Up Here

Sociolla Bags 841 Billion Rupiah Fresh Funding

Social Bella, the brand owner of the beauty e-commerce service Sociolla, announced US$ 58 million (more than 841 billion Rupiah) funding from global investors, including three previous investors, Temasek, Pavilion Capital, and Jungle Ventures. This round happened amid crisis in the overall business environment due to the Covid-19 pandemic.

Funding is to be used to improve technology infrastructure. Investor support is aligned with the company’s target to bring its position in unlocking growth potential with a sustainable business model and comprehensive ecosystem.

Previously, the three investors participated in the Series D round in September 2019 for $ 40 million. Also in that round was EV Growth.

Social Bella’s Co-Founder and President Christopher Madiam said the pandemic was a challenge for the entire global business. However, he claimed the company was able to adapt quickly to serve the needs of consumers.

As seen from a significant increase in organic traffic on the platform during quarantine and recorded the highest shopping basket rate online. Although, it is not followed by detailed numbers.

“We are proud that both existing and new investors see the extraordinary potential of our ecosystem and strongly support our business plan,” he said in an official statement, Monday (6/7).

Jungle Ventures’ Managing Partner, David Gowdey added, his investment in Social Bella was the company’s important milestone in Indonesia. Social Bella is the first beauty company that presents a holistic ecosystem.

“This additional investment will strengthen our partnership with Social Bella and enable Jungle Ventures to expand regional cooperation,” said Gowdey.

Lilla by Sociolla

Social Bella’s Co-Founder and CEO, John Rasyid explained, with strong support from the technological aspect of daily routine, the company wanted to provide a better shopping experience for its consumers.

“We recently launched a new line of business, Lilla by Sociolla, designed for moms with the best product curation for children and themselves. We see an increasing need for quality products in this consumer segment and we are trying to provide the best,” he said.

Besides Lilla, Social Bella has continued to expand its services since it’s debut in 2015. First, SOCO, an online consumer review platform for beauty and personal care products. Second, Beauty Journal, which is an online beauty and lifestyle media with O2O marketing services from upstream to downstream.

Third, Sociolla, beauty e-commerce with six offline stores and an omnichannel concept. Finally, Brand Development, a business unit that offers end-to-end distributor services for beauty and personal care brands to leading international manufacturers.

All of these business units is believed can reach around 30 million users this year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ula dan Sejumlah Startup Upayakan Disrupsi Rantai Pasokan FMCG

Pendanaan tahap awal $10 juta yang diterima Ula cukup ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Nilainya bisa dibilang sangat besar untuk sebuah startup yang baru diinisiasi sejak awal tahun ini dan produknya sedang dalam fase Minimum Viable Product (MVP). Yang jelas, kapasitas dan latar belakang founder menjadi salah satu faktor yang membuat para investor percaya; namun di lain sisi prospek bisnis pasti turut menjadi salah satu variabel dalam kalkulasi dan hipotesis investasi mereka.

Solusi yang ditawarkan Ula adalah mendisrupsi rantai pasokan bisnis FMCG (Fast-moving Consumer Goods). Mereka mengembangkan aplikasi yang memungkinkan pelaku UKM (khususnya pemilik warung) untuk mendapat beragam produk dagangan secara efisien dengan harga yang diklaim lebih terjangkau, karena memungkinkan terhubung langsung dengan brand. Sehingga mereka mengakomodasi beberapa proses sekaligus: pemesanan, logistik, pembayaran, dan pembiayaan.

Tidak hanya Ula

Jauh sebelum ini, di tahun 2014, Kudo (kini bernama GrabKios by Kudo) debut dengan layanan yang memungkinkan warung tradisional melakukan lebih banyak hal, seperti melakukan berbagai pembayaran, transfer dana, hingga menjembatani masyarakat untuk membeli produk di layanan e-commerce. Startup yang telah diakuisisi Grab tersebut sudah merangkul 2,8 juta mitra di 505 kota dan kabupaten di Indonesia. Menghasilkan nilai transaksi hingga 2,7 triliun Rupiah.

Warung menjadi aspek penting dalam perekonomian di Indonesia. Keberhasilan Kudo menjadi legitimasi yang memvalidasi bahwa “pendekatan warung” sangat relevan untuk menjangkau pangsa pasar di kancah nasional – khususnya di kalangan menengah ke bawah. Konsep tersebut akhirnya direplikasi oleh beberapa pemain digital, tak terkecuali para unicorn di sektor e-commerce, seperti program Mitra Tokopedia, Mitra Bukalapak, hingga yang terbaru Mitra Shoppe.

Tahun 2018 GudangAda diluncurkan, menjadi marketplace B2B khusus produk FMCG. Fokusnya memberdayakan seluruh rantai pasokan, sehingga memudahkan bisnis mengakses berbagai produk secara efisien. Awal tahun ini mereka mendapatkan pendanaan awal dari sejumlah investor untuk akselerasi bisnis. Sasaran mereka adalah ritel tradisional, termasuk warung atau toko kelontong di berbagai daerah.

Potensi yang ada

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau mereka – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain, karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil.”

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana. Semua upaya peningkatan pengalaman peritel yang dilakukan Ula sepenuhnya mengutamakan pemanfaatan teknologi. “Kami menjaga pengalaman pengguna tetap sesederhana mungkin dan teknologi dihadirkan untuk menghilangkan kerumitan yang ada.”

Nipun menambahkan, “Pengiriman tepat waktu adalah salah satu alasan terkuat mengapa para mitra memilih melakukan transaksi di Ula. Kami dapat melakukan itu karena semua pemrosesan otomatis dan didorong oleh data.”

Di tahap awal ini Ula melakukan pilot project untuk MVP-nya di area Jawa Timur.

Co-Founder & CEO GudangAda Stevensang kepada DailySocial mengungkapkan, di era digital ini semakin banyak tantangan yang harus dialami oleh pemilik toko tradisional, seperti semakin sulitnya mendapatkan salesman, meningkatnya risiko bisnis, ancaman dari e-commerce besar yang langsung menghubungkan principal dengan retailers, generasi berikutnya dari pemilik toko yang enggan meneruskan bisnis keluarga yang masih konvensional, dan lain-lain; yang akan menyebabkan penurunan bisnis dan laba di kemudian hari.

“GudangAda didirikan karena adanya keprihatinan terhadap kelangsungan bisnis toko tradisional di era digital. Konsep bisnis GudangAda adalah untuk memberdayakan semua pihak yang terlibat dalam ekosistem sehingga bisa mendapatkan manfaat yang optimal dari platform. Dengan ikut dalam platform GudangAda, toko bisa berperan sebagai penjual dan/atau pembeli.”

Model bisnis

Membahas startup yang mencoba menghadirkan platform “new retail” untuk bisnis tradisional, ada satu pertanyaan yang muncul: alih-alih membuat layanan e-commerce untuk pemenuhan stok warung, kenapa tidak memilih pendekatan direct-to-consumer dengan menjual produk tersebut langsung ke konsumen akhir?

Menanggapi ini, Nipun mengatakan, “Warung sangat hemat biaya. Mereka adalah wirausaha mikro yang menjalankan toko mereka di sekitar rumah. Kebanyakan mempekerjakan keluarga dan sebagian besar bebas pajak. Mereka melayani cash-flow sensitive market. Rata-rata orang Indonesia masih lebih suka berbelanja offline. Mereka membeli dalam jumlah kecil dan dengan frekuensi tinggi.”

“Model e-commerce B2C tidak dapat mengakomodasi pesanan dengan nilai keranjang kecil karena biaya pengiriman sangat tinggi. Hal ini memungkinkan hanya produk tertentu saja yang dapat bertahan di toko offline. Misalnya, sampo sachet sangat sulit dijual di platform B2C tetapi berfungsi baik di toko offline. Karena itu, tidak mengherankan, bahwa setelah miliaran dolar produk masuk ke e-commerce B2C, pangsa pasar yang dirangkul tetap di bawah 10%.”

new retail

Banyak aspek bisnis yang bisa diakomodasi. Pemain yang ada setidaknya bisa dipetakan jadi lima komponen di atas. Misalnya Kudo, mereka menghadirkan poin pembayaran, pembiayaan, dan produk digital. Beda lagi dengan GudangAda yang banyak fokus di rantai pasokan. Sementara Ula debut dengan sistem yang mengakomodasi rantai pasokan dan pembiayaan. Masing-masing punya masalah spesifik yang hendak diselesaikan.

Ambil contoh soal pembiayaan. Ada budaya “utang” di kalangan pelanggan warung. Karena sifatnya lebih personal, kadang tidak ada model penagihan khusus yang mengakibatkan arus kas pemilik warung terganggu. Sstem pembiayaan memungkinkan warung untuk mendapatkan stok produk terlebih dulu dan membayarnya kemudian saat jualan sudah laku.

“Ya, saat ini Ula bermitra dengan beberapa lembaga penyedia pinjaman. Tugas kami memastikan pembiayaan sampai kepada pemilik toko. Kami senang memainkan peran sebagai mitra bagi perusahaan fintech yang dapat memanfaatkan data dan platform Ula untuk mengucurkan kredit modal kerja,” pungkas Nipun.

Sociolla Kantongi Pendanaan Baru Senilai 841 Miliar Rupiah

Social Bella, pemilik brand dari layanan e-commerce kecantikan Sociolla, mengumumkan pendanaan senilai US$58 juta (lebih dari 841 miliar Rupiah) dari investor global, termasuk tiga investor sebelumnya, yakni Temasek, Pavilion Capital, dan Jungle Ventures. Investasi ini didapatkan di tengah turbulensi dalam lingkungan bisnis secara keseluruhan karena pandemi Covid-19.

Disebutkan, pendanaan akan digunakan untuk meningkatkan infrastruktur teknologi. Dukungan investor selaras dengan target perusahaan untuk membawa posisinya dalam membuka potensi pertumbuhan dengan model bisnis yang berkelanjutan dan ekosistem yang komprehensif.

Sebelumnya, ketiga investor ini berpartisipasi dalam putaran Seri D pada September 2019 sebesar $40 juta. Dalam putaran itu diikuti pula oleh EV Growth.

Co-Founder dan Presiden Social Bella Christopher Madiam mengatakan, pandemi menjadi tantangan tersendiri bagi keseluruhan bisnis secara global. Namun dia mengklaim, pihaknya mampu beradaptasi dengan cepat untuk melayani kebutuhan konsumen.

Terlihat dari peningkatan organic traffic secara signifikan pada platform selama periode karantina dan mencatat rekor ukuran keranjang belanja tertinggi secara online. Kendati, klaim tersebut tidak disertai angka oleh Christopher.

“Kami bangga bahwa baik investor yang ada maupun yang baru melihat potensi luar biasa dari ekosistem kami dan sangat mendukung rencana bisnis kami,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (6/7).

Managing Partner Jungle Ventures David Gowdey menambahkan, investasinya di Social Bella merupakan tonggak penting bagi kiprah perusahaan di Indonesia. Social Bella merupakan perusahaan kecantikan yang menyajikan ekosistem holistik yang belum pernah ada sebelumnya.

“Investasi tambahan ini akan memperkuat kemitraan kami dengan Social Bella dan memungkinkan Jungle Ventures untuk memperluas kerja sama secara regional,” ujar Gowdey.

Lilla by Sociolla

Co-Founder dan CEO Social Bella John Rasyid menerangkan, dengan dukungan yang kuat dari aspek teknologi dalam rutinitas sehari-hari, perusahaan ingin memberikan pengalaman berbelanja lebih baik untuk konsumennya.

“Baru-baru ini kami meluncurkan lini bisnis baru, Lilla by Sociolla yang dikhususkan untuk ibu-ibu mencari kurasi produk terbaik bagi anak-anak dan diri mereka sendiri. Kami melihat ada peningkatan kebutuhan akan produk berkualitas pada segmen konsumen ini dan kami berusaha memberikan yang terbaik,” kata dia.

Selain Lilla, Social Bella terus memperluas layanannya sejak pertama kali dirilis pada 2015. Pertama, adalah SOCO, platform online ulasan konsumen untuk produk kecantikan dan perawatan diri. Kedua, Beauty Journal, yakni media online kecantikan dan gaya hidup dengan layanan pemasaran O2O dari hulu ke hilir.

Ketiga, Sociolla, situs e-commerce kecantikan yang kini memiliki enam toko offline dengan konsep omnichannel. Terakhir, Brand Development, unit bisnis yang menawarkan layanan distributor end-to-end untuk merek kecantikan dan perawatan diri untuk produsen internasional terkemuka.

Diyakini seluruh unit bisnis ini dapat menjangkau sekitar 30 juta pengguna pada tahun ini.

Application Information Will Show Up Here

Optimisme BorongBareng Usung Konsep “E-commerce Sosial”

BorongBareng, e-commerce yang berada di bawah naungan PT Digital Imagination Space meresmikan kehadirannya di Indonesia pada Juni 2020. Mereka usung konsep e-commerce sosial, mengoptimalkan keterlibatan banyak pengguna di beberapa fitur/programnya. Dalam debutnya, dihadirkan sejumlah program menarik untuk akuisisi pengguna seperti Slash-it (program game menurunkan harga), Super Deal (program diskon), dan Group-Buy (program beli rame-rame).

BorongBareng dari awal memfokuskan diri menyasar pengguna mobile. Hal ini terlihat dari mereka yang langsung menyuguhkan interface khas mobile pada situs webnya. Aplikasi BorongBareng sendiri sedang dalam proses pengembangan, segera diluncurkan dalam waktu dekat.

Sebagai pemain baru di industri e-commerce, tampaknya founder cukup optimis dengan konsep dan strategi yang diagendakan. Fitur Slash-It misalnya, merupakan salah satu fitur yang diharapkan bisa mengundang banyak pengguna, karena semakin banyak pengguna lain yang diundang maka harga produk bisa semakin murah.

“Tiga minggu setelah soft launching, kami memiliki 50 ribu pengguna yang sudah terdaftar di platform. Ini adalah prestasi luar biasa dan kami bersemangat untuk melayani pelanggan di Indonesia dengan layanan dan kualitas produk yang baik dan harga yang terjangkau,” terang CEO BorongBareng Peter Zhou.

Optimisme di tengah pandemi

Industri e-commerce menjadi penggerak ekonomi terbesar di Indonesia, dengan dinamika dan persaingan bisnis yang cukup ketat. Beberapa pemain muncul dan menghilang, beberapa masih berusaha bertahan dengan susah payah. Tugas semakin berat bagi BorongBareng mengingat kondisi pandemi seperti sekarang ini. Daya beli masyarakat menurun, arah konsumsinya pun berubah ke arah makanan pokok, kesehatan, dan sejenisnya. Kendati demikian, mereka mengklaim cukup optimis untuk berkembang.

“Meskipun menghadapi kuartal yang sulit karena pandemi, hari ini kami dengan bangga memperkenalkan BorongBareng ke masyarakat Indonesia. BorongBareng hadir di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan pandangan yang berfokus pada pertumbuhan populasi digital. Kami ingin semua orang memiliki akses ke produk yang lebih baik, dengan harga terbaik dan memiliki kekuatan untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik,” terang Peter.

BorongBareng di awal kemunculannya menawarkan berbagai macam jenis kategori produk. Produk-produk ini merupakan hasil kerja sama atau kemitraan dengan beberapa produsen. Seperti untuk buah dan sayuran segar mereka bermitra dengan Eden Farm. Kerja sama in diklaim akan terus dijajaki terutama untuk mengembangkan pertumbuhan bisnis lokal di Indonesia.

Tim juga menjelaskan bahwa semua barang yang dijual di dikirim langsung oleh BorongBareng untuk memastikan harga barangnya sudah cukup terjangkau untuk para pelanggannya.

Untuk saat ini BorongBareng tengah fokus pada pertumbuhan bisnisnya. Dengan modal dari beberapa angle investor mereka menargetkan setidaknya bisa mendapatkan 300 ribu pengguna di penghujung tahun ini, juga merampungkan pendanaan pra seri A.

Menanti Tuah Normal Baru Bagi Layanan E-Commerce B2B

Pandemi membuat segala lini bisnis terdampak. Tidak hanya ritel, bisnis b2b dan bahkan anggaran belanja pemerintah pun ikut terpengaruh. Bisnis e-commerce b2b, pada khususnya, tidak luput dari pelemahan ini. Meski bisnis sempat turun, ada harapan untuk rebound mempersiapkan normal baru.

Sejumlah pemain e-commerce b2b yang DailySocial hubungi kompak menjawab bisnis turun selama dua bulan belakangan. Namun mereka meyakini ini bersifat sementara, karena sejak Juni, tepat normal baru diumumkan pemerintah, bisnis kembali bergeliat.

Di sisi lain, pandemi berhasil mengubah perspektif korporat bahwa proses pengadaan dapat dilakukan secara digital. Tak hanya transparan, mereka bisa mendapat harga lebih ekonomis dengan proses yang lebih cepat.

“Dengan adanya Covid-19, para mitra bisnis semakin terdorong untuk menggunakan layanan b2b untuk memenuhi kebutuhan IT dan operasional mereka. Ini dikarenakan saat krisis, mitra bisnis membutuhkan solusi cepat dan tepat, dengan harga ekonomis,” ucap EVP Corporate B2B Corporate Solutions Blibli Heriyadi Janwar.

Sepakat dengan Heriyadi, Co-Founder dan CEO Mbiz Rizal Paramarta mengatakan, pandemi berhasil memperlihatkan fundamental dari bisnis e-commerce b2b itu sendiri. Bahwa mereka mampu bertahan karena punya bisnis inti di bidang pengadaan barang dan jasa yang terdigitalisasi. Tujuannya untuk mempersingkat proses dan lebih transparan daripada metode manual.

Pengaruh bisnis

Rizal memaparkan, pada kuartal kedua tahun ini, penurunannya mencapai sepertiga hingga separuh dari total target bulanan. Digambarkan dalam setahun, setidaknya volume transaksi di Mbiz mencapai Rp1 triliun.

“Kita melihat ada dampak short term, pas April sebelum Lebaran ada penurunan belanja korporat terutama yang sifatnya non esensial. Overall spending capex korporat turun, tapi ada kenaikan drastis untuk kategori kesehatan sampai 2000%.”

Ia menyebut kondisi ini hanya sementara, karena pada bulan Juni mulai terjadi pemulihan, bersamaan dengan dimulainya kegiatan normal baru. “Kita menyiapkan kategori baru di bidang kesehatan dan kenaikan dari situ adalah kompensasi atas penurunan kemarin.”

Chief of Commercial & Omni Channel Bhinneka Vensia Tjhin menambahkan, perusahaan turut berdampak semenjak pemberlakuan PSBB hingga menjelang akhir paruh pertama tahun ini. Namun, diklaim perusahaan mencatat kenaikan hingga 30%.

Ini terjadi karena perusahaan tetap bermanuver perluas produk dan jasa, sehingga ada pergeseran kategori produk yang mengimbangi kategori yang sebelumnya populer sebelum pandemi.

“Bhinneka dengan eksistensi produk yang disediakan via platform, kini selain IT, growth tertinggi disumbang dari MRO/perkakas dan alat kesehatan. Sementara itu, di marketplace kami mencatat lonjakan pada produk makanan dan kebutuhan harian. Jadi kami melihat ada balancing process dari kedua segmentasi.”

Heriyadi tidak merinci penurunan seperti apa yang terjadi di Blibli. Menurutnya, Covid-19 telah memicu adopsi teknologi oleh pelaku bisnis, termasuk mitra b2b yang memerlukan solusi efisien dengan harga terjangkau agar mereka bisa menjaga keberlangsungan bisnis mereka.

Ia hanya menyatakan jumlah transaksi b2b pada bulan ini telah menyamai total transaksi yang tercatat selama keseluruhan 2019. “Ini adalah sinyal positif bagi pertumbuhan b2b untuk tahun ini.”

Sokong kategori baru

Dalam mendorong kinerja bisnis, juga mendukung kegiatan normal baru, peluang produk pendukung kesehatan paling dicari oleh semua konsumen, tidak terkecuali klien korporasi. Pemain e-commerce pun berlomba-lomba perbanyak mitra penjual alat kesehatan untuk melayani konsumen mereka.

Direktur BukaPengadaan Bukalapak Hita Supranjaya menerangkan, mereka menambah jumlah principal atau UMKM untuk menawarkan persiapan normal baru, seperti rapid test, program bundle APD, customize APD (masker dan hazmat), face recognition terminal, dan customized hand wash station.

“Kami telah menyiapkan strategi untuk terus memonitor perkembangan dan beradaptasi dengan permintaan melalui inovasi maupun kerja sama yang membantu user terpenuhi kebutuhannya,” papar Hita.

Saat ini BukaPengadaan telah terhubung dengan hampir enam juta penjual yang memiliki lebih dari 80 juta produk. Beberapa kategori diklaim menunjukkan peningkatan lebih dari dua kali lipat secara month-to-month sejak awal dimulainya pandemi ini.

Sebelum pandemi, BukaPengadaan diklaim mencatat profitabilias sebesar 500% year-on-year seiring dengan pertumbuhan jumlah konsumen b2b dan penjualan. Kategori yang paling diminati saat itu adalah gadget dan barang-barang procurement, seperti spare part mesin dan pabrik.

Semenjak pandemi, Bhinneka makin gencar menambah variasi pada kategori kesehatan dan perawatan. Sejak awal tahun, kategori ini tumbuh lebih dari 100% berdasarkan variasinya.

Dalam merespons kondisi normal baru, perusahaan mengembangkan produk kesehatan lainnya bersama para vendor. Misalnya, memperbanyak mitra layanan kesehatan, seperti test Covid-19 untuk perusahaan, menawarkan produk ThermoNex untuk mendeteksi suhu tubuh secara otomatis, terhubung dengan cloud, dan dilengkapi dengan fitur face recognition sebagai data dan terhubung dengan panel absensi.

Bhinneka bermitra dengan mitra healthtech seperti Triasse dan Prixa untuk menyediakan layanan kesehatan, membuat produk Digital Classroom untuk sekolah yang ingin memaksimalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tanpa tim IT sendiri, dan produk Crinoid yakni multichannel management untuk bantu mengatur penjualan di beberapa marketplace sekaligus.

“Kecepatan dan agility menjadi kunci dalam menghadapi masa yang penuh uncertainties ini, kami melakukan berbagai aktivitas dan perubahan dengan menangkap peluang-peluang yang dapat segera dilakukan.”

Sejak perusahaan mendeklarasikan tranformasi sebagai business super ecosystem akhir tahun lalu, kontribusi terbesar datang dari konsumen korporasi dan belanja pemerintah yang mencapai hingga 90%, naik dari tahun sebelumnya sebesar 80%.

Total pelanggan Bhinneka kini mencapai 1,5 juta dari level UMKM, korporasi, dan pemerintah. Ada lebih dari 10 ribu merchant, vendor/principal yang menawarkan lebih dari 1 juta SKU di dalam platformnya.

Blibli sendiri memprediksi permintaan terhadap layanan b2b akan meningkat. Perusahaan sudah menyiapkan berbagai strategi untuk mengoptimalkan layanan pada mitra bisnis. Perusahaan membuat virtual gathering bersama mitra bisnis, asosiasi-asosiasi industri, dan komunitas profesional untuk mengukur dan memahami lebih lanjut mengenai kebutuhan mereka dalam meneruskan usaha di normal baru.

“Kami menggunakan pemahaman tersebut untuk semakin meningkatkan layanan yang kami sediakan, contohnya dengan memberikan promosi khusus.”

Heriyadi mengatakan, perusahaan merancang rencana hingga akhir tahun untuk meningkatkan strategic business value dari b2b, termasuk kolaborasi dengan mitra bisnis pada transaksi offline dan online, seperti membangun microsite, memperluas varian produk, menyediakan produk bersama garansi asli. memperluas cakupan pengiriman nasional, dan menawarkan asuransi logistik.

Blibli melayani 19 mitra bisnis b2b yang bergerak di tujuh sektor, seperti layanan keuangan, perhotelan, distribusi & manufaktur, teknologi, teknologi dan IT.

Produk dan solusi yang disediakan untuk mitra bisnis tersebut dibagi menjadi dua kategori, yakni TI & pemeliharaan, dan reparasi & operasional. Di antaranya produk dan solusi mencakup client tools seperti tablet, notebook, server network seperti UPS, alat perkantoran, dan piranti lunak.

Untuk kategori operasional, Blibli menawarkan material handling, laboratorium & kimia, keamanan, alat pembersih, alat ukur dan pengetasan, dan alat berat.

Sumber : Unsplash
Produk kesehatan juga menjadi primadona belanja konsumen korporasi / Unsplash

Masuk ke pemerintah

Di sisi lain, Mbiz mengambil peluang dari pandemi dengan gencar menggaet konsumen dari kalangan pemerintah karena di sana masih dibutuhkan solusi pengadaan yang transparan. Kehadiran pemain e-procurement menjadi dorongan buat pemerintah untuk go digital.

Dari peraturan pun Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ditentukan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara elektronik dengan memanfaatkan e-marketplace yang menyediakan infrastruktur teknis dan layanan dukungan transaksi berupa katalog elektronik, toko daring, dan pemilihan penyedia.

“Perpres ini menguntungkan pemain e-procurement. Selama ini pengadaan ada problem. Misalnya tidak transparan dan harus pakai cash. Yang kita lakukan adalah digitalisasi, semua transaksi harus digital, jadinya transparan.”

Debut Mbiz untuk melirik prospek di sektor ini sebenarnya dimulai sejak awal tahun ini. Perusahaan terpilih sebagai penyedia pengadaan untuk Pemprov Jawa Barat. Perjalanan dilanjutkan dengan Pemprov Bali baru-baru ini.

“Kita sedang dalam proses lagi untuk dua pemrov lainnya di Jawa. Bila ini berhasil, kita bisa lebih percaya diri untuk masuk ke pemprov lainnya di Indonesia.”

Keuntungan ini sebenarnya tidak hanya dirasakan buat Mbiz, tapi buat merchant, atau vendor skala UMKM memperluas cakupan penjualannya ke mana saja ke seluruh segmen konsumen Mbiz di Indonesia. Sebelum masuk ke platform, umumnya penjualan vendor hanya mencakup sekitar wilayah terdekatnya saja.

Para vendor tersebut juga bisa mengakses fasilitas layanan keuangan untuk membantu bisnis mereka melalui Mbiz. Perusahaan didukung platform pembiayaan Investree setelah mengantongi pendanaan pada akhir tahun lalu.

Pertumbuhan Marketplace Furnitur Selama Pandemi

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil pemerintah disikapi banyak perusahaan atau instansi dengan keputusan WFH atau bekerja dari rumah. Kondisi ini berimbas positif pada permintaan furnitur atau perlengkapan rumah di layanan marketplace furnitur. Pertama, karena banyak orang merasa harus mulai mempercantik rumah atau membuat rumah senyaman kantor dan, yang kedua, harus belanja dari rumah atau online.

Sebelumnya, industri marketplace furnitur terbilang cukup jauh dari sorotan. Sejumlah nama pada akhirnya menutup layanan, seperti Livaza, Decadeco, Vurnisio, dan beberapa lainnya. Di sisi lain, beberapa startup masih tetap bertahan dan bahkan mulai merancang inovasi bisnis mereka.

Fabelio tahun ini genap berusia 5 tahun. Klaim mereka, ada beberapa pertumbuhan yang cukup signifikan pada penjualan furnitur ritel dan jasa design & build. Jangkauan pengiriman yang lebih luas, mencakup 750 kecamatan di seluruh pulau Jawa dan ketersediaan showroom yang lebih banyak membuka peluang ke lebih banyak pelanggan. Saat ini, secara total, ada 20 showroom Fabelio di Jabodetabek dan Bandung.

“Untuk pertumbuhan, kami mencapai angka yang signifikan yaitu berupa kenaikan sebesar lebih dari 450% semenjak 2017. Hingga kini, sudah ada lebih dari 1000 projects yang ditangani oleh Fabelio Projects, mulai dari hunian seperti rumah dan apartemen, kantor hingga retail,” terang Co-Founder Fabelio Christian Sutardi.

Hal serupa juga dialami Ruparupa. Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo menjelaskan bahwa mereka mengalami pertumbuhan selama empat tahun beroperasi.

“Kami senang dengan pencapaian yang kami dapatkan selama 4 tahun terakhir. itu menunjukkan tren penjualan yang sehat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Terutama ketika pandemi Covid-19 dimulai, kehadiran online Ruparupa diuji lebih lanjut karena hanya dalam beberapa hari, penjualan lebih dari tiga kali lipat,” terang Teresa.

Kondisi pertumbuhan juga dialami Dekoruma. Empat tahun beroperasi, mereka mengklaim sudah mampu menyuguhkan layanan end to end untuk mendapatkan rumah atau hunian idaman ke pelanggan. Tidak hanya jasa ritel dan design & build, tetapi juga membantu property developer memasarkan apartemen atau rumah.

“[..] Dengan produk yang kita buat sekarang, kita bisa menjalankan project dengan baik tanpa terpengaruh corona dan PSBB. Meeting masih bisa diselenggarakan, diskusi dengan ribuan kontraktor dengan digital,” cerita Co-Founder Dekoruma Dimas Harry Priawan.

Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan
Co-Founder & CEO Dekoruma Dimas Harry Priawan

Cerita tentang pertumbuhan dan tantangan

Layanan marketplace furnitur di Indonesia sedikit berbeda dengan barang-barang kebanyakan. Ukuran atau dimensi yang cukup besar menjadi permasalahan serius membuat pengirimannya terbatas ke jarak atau jangkauan tertentu. Belum lagi pengalaman membeli perabotan online dan offline cukup berbeda karena banyak yang kurang puas hanya melihat display dalam bentuk gambar. Pandemi dan PSBB memaksa masyarakat untuk terbiasa berbelanja dari rumah, termasuk untuk urusan perabotan. Hal ini yang pada akhirnya meningkatkan adopsi pelanggan pertama.

“Penjualan secara online pun mengalami kenaikan sebesar hampir dua kali lipat dibandingkan dengan penjualan sebelum masa pandemi. Selain itu, kami juga menerapkan protokol kesehatan dan kebersihan yang menyeluruh untuk semua titik interaksi mulai dari warehouse, showroom, hingga pengantaran produk sampai ke rumah customer. Seluruh langkah keselamatan ini kami lakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan dari seluruh stakeholders Fabelio; baik untuk customer ataupun karyawan kami,” terang Christian.

Demikian juga dengan Dekoruma. Dimas menyampaikan,”Untuk pandemi kita mengalami peningkatan dari segi retail. Untuk misalnya untuk perabot rumah tangga. Mengalami peningkatan yang cukup baik, selama tiga bulan terakhir masih growing month-of-month. PSBB mencerminkan potensi [layanan] e-commerce sebagai sebuah industri.”

Lonjakan pertumbuhan juga dialami Ruparupa. Di masa pandemi ini mereka meningkat hingga 3 kali lipat dalam kurun waktu dua hari. Sempat merasa kewalahan di awal lonjakan kini Ruparupa sudah mulai mampu mengantisipasi lonjakan.

“Melalui pengalaman inilah kami menyadari bahwa kami tidak dapat berhemat untuk terus membangun infrastruktur dan berinvestasi kembali di dalamnya. Platform omnichannel kami sangat teruji selama periode ini karena lebih dari sebelumnya pelanggan kami berbelanja dengan cara omnichannel. Mereka tidak lagi berlama-lama di store untuk browsing. Browsing dilakukan di website dan bahkan mengirimkan link-link produk yang tersedia ke toko terdekat untuk mengecek kesediaannya (jika itu adalah produk Ace / Informa, barang tersebut dapat diambil di toko),” terang Teresa.

Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo
Chief of Many Things Ruparupa Teresa Wibowo

Meskipun demikian, pertumbuhan tidak dialami semua pemain di industri. Andoleto, layanan marketplace yang sudah beroperasi sejak tahun 2016 mengklaim penurunan di tengah pandemi.

“Kami telah lama menerapkan online business, maka pada praktiknya bekerja secara remote sudah menjadi hal biasa bagi kami. Kami tentunya merasakan daya beli yang menurun di pandemi ini. Namun kami optimis dengan mulainya new normal, semua akan bangkit kembali secara perlahan,” papar CEO Andoleto Aty Samadikun.

Mengenai tantangan untuk  bertahan di industri semuanya sepakat. Fabelio, Dekoruma, maupun Andoleto menilai kepercayaan, pengalaman, dan pengiriman masih menjadi tantangan yang dihadapi, setidaknya untuk bisa tetap bertahan.

Dimas misalnya, melihat isu logistik di luar Jabodetabek dan kota-kota besar lainnya, seperti Bandung dan Surabaya, cukup berat dan menjadi tantangan. Selain itu masih ada masalah kepercayaan dari pelanggan.

“Kembali ke empat tahun lalu, orang tidak membayangkan bagaimana membeli sofa tanpa melihat barangnya. Kendala ini yang dialami semuanya dan menurut saya itu kendala yang wajar. Butuh waktu, butuh edukasi. Jadi with or without pandemi, itu masalah yang dialami,” papar Dimas.

Sementara Christian menceritakan, “Kebutuhan customer untuk touch and feel [menjadi tantangan], di mana customer masih perlu untuk melihat langsung dan merasakan furnitur yang akan dibeli. Namun tantangan ini bisa kami overcome lewat fitur virtual assistant. Kami berusaha mengedukasi customer dengan layanan yang lebih personalized lewat layanan ini. Tantangan lainnya yang kami miliki adalah distribusi. Dengan ukuran barang yang lebih besar, kami harus mempersiapkan distribusi yang baik untuk menjangkau lebih banyak pelanggan.”

Co-founder Fabelio Christian Sutardi
Co-Founder Fabelio Christian Sutardi

Pendanaan

Tidak banyak yang diceritakan Aty tentang rencana Andoleto selanjutnya. Ia mencoba mengenalkan Andoleto ke lebih banyak masyarakat untuk calon pengguna. Sementara Rupapa berusaha terus untuk meningkatkan pengalaman pengguna dan sistem omnichannel mereka. Sedangkan untuk Fabelio dan Dekoruma. tahun ini keduanya sama-sama berhasil mengamankan pendanaan baru.

Dekoruma mengamankan pendanaan Seri C dari InterVest Star SEA Growth Fund 1, Foundamental, OCBC NISP Ventura, dan Skystar Ventures. Investor di putaran sebelumnya juga turut berpartisipasi. Sementara Fabelio menerima pendanaan Seri C sebesar US$20 juta atau setara 283,4 miliar Rupiah yang dipimpin oleh AppWorks, Endeavour Catalyst, dan MDI Ventures, dengan keterlibatan investor sebelumnya, Aavishkaar Capital.

Dekoruma mulai mengembangkan platform baru untuk memudahkan pelanggannya mendesain rumah idaman, termasuk platform untuk mempromosikan hunian, baik itu rumah maupun apartemen. Sementara Fabelio sudah merencanakan untuk ekspansi untuk bisa menjangkau lebih banyak daerah, agar bisa hadir ke lebih banyak orang.

Update: Penambahan informasi dari Ruparupa

Fabelio Secures New Funding in Series C First Round, Raising 283 Billion Rupiah (UPDATED)

Fabelio, an e-commerce company focused on marketing furniture, today (17/6) announced US $ 9 million worth of Series C1 funding or equivalent to 127.5 billion Rupiah. Therefore, as calculated with the previous round, they reached US$20 million or equivalent to 283.4 billion Rupiah.

This investment round was led by AppWorks, Endeavor Catalyst, and MDI Ventures, with the participation of previous investors Aavishkaar Capital.

Series C funding will continue, targeted to close by the end of 2020. The company expects participation from investors in Southeast Asia and China.

The funds raised will be focused on accelerating the logistics network and Fabelio’s experience center. This step was taken in line with the company’s mission for domestic expansion in some of the major cities in Java and Bali, the target is until November 2020.

Fabelio’s Co-Founder & CEO Marshall Tegar Utoyo said, after five years of increasing business and instilling the value of the ‘new retail’ strategy, Fabelio is ready to accelerate growth with this funding. “Our main focus is to increase product categories and delivery times. Beyond that, we will expand our business throughout Indonesia.”

Meanwhile, Fabelio’s Co-Founder Christian Sutardi added, “A significant number of this funding will be invested in technology, which includes improving our current technology team of 40 engineers,” Sutardi added.

In Indonesia, Fabelio is not the only one, there are several online platforms that specifically engaged in online furniture service. Two of those are Rupa Rupa and Dekoruma. Ruparupa is affiliated with Kawan Lama Group, which also operates Informa and Ace Hardware retail companies in Indonesia, both of which are closely related to furniture products and home furnishings.

While Dekoruma also market the similar product. In addition to e-commerce that sells goods, they also come as an online platform for interior design service, connecting thousands of designers with prospective customers. The company has obtained pre-series C funding in May 2020.

Targeting profitability by 2022

Christian Sutardi and Marshall Tegar Utoyo
Fabelio’s Co-founders, Christian Sutardi and Marshall Tegar Utoyo / Fabelio

Previously, the company managed to close the Series B funding worth of US$6.5 million in 2018. It results in expanding service coverage in Jabodetabek and Bandung, through 3 offices and 20 experience centers, and employing 430 staff. The company claims, they’ve succeeded in increasing customer growth by 82% with 1000 B2B projects – including full-furnishing of residential furniture, apartments, and offices.

Along with the current trends, Fabelio is quite optimistic to achieve profitability in 2022.

Christian said, in recent years the contribution of online sales in every vertical industry in Indonesia clearly experienced a significant increase, both for electronic products, fashion, food ingredients, and furniture.

“In April 2020 for example, we recorded our highest online sales on 12/12 with a number that exceeded sales with Indonesia’s most popular online shopping day (Harbolnas). The future of e-commerce is now much brighter, and its development will continue to be positive along with the improvements of support in terms of infrastructure and payment system,” he said.

Jessica Liu as AppWorks’ partner who has joined Fabelio’s Board of Directors said, “Their customer-first values ​​shape a better shopping experience and become a business category that drives transformation. We are happy to join Fabelio with its mission to change the future of the furniture industry in Indonesia.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Dapat Dana Baru dalam Babak Pertama Pendanaan Seri C, Fabelio Berhasil Kumpulkan 283 Miliar Rupiah (UPDATED)

Fabelio, e-commerce yang fokus menjual kebutuhan furnitur, hari ini (17/6) mengumumkan perolehan dana baru untuk penutupan pertama pendanaan seri C senilai US$9 juta atau setara 127,5 miliar Rupiah. Sehingga jika ditotal dengan nominal yang didapat sebelumnya, Fabelio telah meraup total pendanaan mencapai US$20 juta atau setara 283,4 miliar Rupiah.

Adapun investor yang memimpin investasi ini adalah AppWorks, Endeavour Catalyst, dan MDI Ventures, dengan keterlibatan investor sebelumnya Aavishkaar Capital.

Pendanaan seri C masih akan berlanjut, ditargetkan akan ditutup pada akhir tahun 2020. Perusahaan mengharapkan partisipasi dari investor di Asia Tenggara dan Tiongkok.

Dana yang didapat akan difokuskan untuk mempercepat jaringan rantai pasokan logistik dan experience center Fabelio. Langkah ini diambil sejalan dengan misi perusahaan lakukan ekspansi domestik di sejumlah kota di Jawa dan Bali, targetnya sampai November 2020.

Co-Founder & CEO Fabelio Marshall Tegar Utoyo mengatakan, setelah lima tahun meningkatkan bisnis dan menanamkan nilai dasar strategi ‘new retail’, Fabelio siap untuk mempercepat pertumbuhan dengan pendanaan ini. “Fokus utama kami adalah meningkatkan kategori produk dan waktu pengiriman. Di luar itu, kami akan memperluas bisnis kami di seluruh Indonesia.”

Sementara itu Co-Founder Fabelio Christian Sutardi menambahkan, “Porsi signifikan dari pendanaan ini akan diinvestasikan ke teknologi, yang meliputi peningkatan tim teknologi kami saat ini yang terdiri dari 40 engineer,” tambah Christian.

Di Indonesia Fabelio tidak sendiri, terdapat beberapa platform online yang secara spesifik menjajakan furnitur secara online. Dua di antaranya RupaRupa dan Dekoruma. Ruparupa sendiri terafiliasi dengan Kawan Lama Group, yang juga mengoperasikan perusahaan ritel Informa dan Ace Hardware di Indonesia, keduanya berhubungan erat dengan produk furnitur dan kebutuhan perlengkapan rumah.

Sementara Dekoruma juga jajakan produk yang sama. Tidak hanya sebagai e-commerce yang menjual barang, mereka turut hadir sebagai platform online untuk kebutuhan desain interior, menghubungkan ribuan desainer dengan calon konsumennya. Perusahaan telah mendapatkan pendanaan pra-seri C pada Mei 2020 kemarin.

Targetkan profitable di tahun 2022

Christian Sutardi dan Marshall Tegar Utoyo
Co-Founder Fabelio Christian Sutardi dan Marshall Tegar Utoyo / Fabelio

Sebelumnya perusahaan berhasil menutup pendanaan seri B senilai US$6,5 juta pada tahun 2018 lalu. Membawa perluasan jangkauan layanan di Jabodetabek dan Bandung, melalui 3 kantor dan 20 experience center yang dimiliki, serta memperkerjakan 430 staf. Perusahaan mengklaim, hingga saat ini mereka telah berhasil meningkatkan pertumbuhan akuisisi pelanggan hingga 82% dengan 1000 proyek B2B yang dikerjakan — termasuk pemenuhan furnitur perumahan, apartemen, hingga perkantoran.

Dengan tren tersebut, Fabelio cukup optimis bisa mencapai profitabilitas di tahun 2022 mendatang.

Christian mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir kontribusi penjualan online di setiap industri vertikal di Indonesia jelas mengalami peningkatan yang signifikan, baik untuk produk elektronik, fesyen, bahan makanan, maupun furnitur.

“Pada April 2020 misalnya, kami mencatatkan penjualan online tertinggi kami dengan angka yang melebihi penjualan ketika hari belanja online terpopuler Indonesia (Harbolnas) pada 12/12. Masa depan e-commerce kini jauh lebih terang, dan perkembangannya akan terus positif seiring dukungan dalam hal peningkatan infrastruktur dan sistem pembayaran,” ujarnya.

Jessica Liu selaku Partner dari AppWorks yang kini bergabung sebagai Dewan Direktur Fabelio berujar, “Nilai customer-first mereka membentuk pengalaman berbelanja yang lebih baik dan menjadi sebuah kategori bisnis yang mendorong transformasi. Kami senang bergabung bersama Fabelio dengan misi mereka untuk mengubah masa depan industri furnitur Indonesia.”