EA Konfirmasi Rencana Untuk Menghadirkan Apex Legends di Perangkat Bergerak

Demam battle royale tiba setelah era keemasan MOBA dan game-game sandbox survival berlalu. Saat genre ini dibahas, beberapa judul akan langsung muncul di benak. Dan kita tahu, kepopuleran PUBG dan Fortnite turut mendorong sejumlah pemilik franchise raksasa untuk turut membubuhkan mode last man standing di kreasi mereka. Namun battle royale boleh dibilang baru benar-benar merakyat sejak publisher menyediakan versi mobile-nya.

Menyusul rumor yang beredar beberapa waktu lalu, Electronic Arts akhirnya mengonfirmasi rencananya buat menghadirkan Apex Legends di perangkat bergerak, membuntuti langkah PUBG Corporation dan Epic Games. Kabar ini diungkap langsung oleh CEO Andrew Wilson di presentasi pemasukan perusahaan pada tanggal 7 Mei kemarin, dan statusnya sudah dalam masa pengembangan. Boleh jadi ini adalah bentuk strategi sang publisher membalikkan keadaan terkait pendapatan perusahaan yang kurang memuaskan.

Andrew Wilson menyampaikan bahwa mereka sangat bersemangat menyambut segala hal yang menanti Apex Legends di masa depan. Komunitas pemain sangat aktif, dan sebagai responsnya, EA menyiapkan sejumlah ‘agenda besar untuk memperkaya dunia game‘. Beberapa langkah yang mereka lakukan meliputi penggarapan versi mobile serta melangsungkan perundingan buat meluncurkan Apex Legends di Tiongkok.

Tapi ketika EA harus berkolaborasi bersama perusahaan Tiongkok demi merilis Apex Legends di wilayah tersebut, publisher diberi keleleluasaan buat memasarkan game di Korea Selatan tanpa perlu melakukan kemitraan. Korea Selatan merupakan salah satu pasar gaming terbesar di dunia, dan bagi Wilson, Apex Legends memberikan mereka kesempatan untuk membangun koneksi dengan para pemain di sana. Ia juga berharap, kesuksesan serupa diikuti oleh game-game EA lainnya.

Bagi Electronic Arts, Apex Legends ialah permainan dengan pertumbuhan tercepat yang mereka miliki. Hanya butuh waktu kurang dari sebulan bagi game battle royale ini untuk merangkul 50 juta pemain lebih. Wilson juga mengabarkan bahwa sekitar 30 persen gamer Apex Legends ternyata merupakan ‘pengguna baru EA’. Hal ini bisa memberikan kita gambaran soal besarnya jasa permainan dalam menggaet konsumen ke layanan Electronic Arts.

Seperti yang sempat EA ungkapkan, fokus mereka saat ini adalah mengokohkan rencana jangka panjang, misalnya lewat updateseason‘ dan konten Battle Pass, pengenalan tokoh-tokoh legend baru dan pembaruan berkala pada ekosistem game. Selain itu, kita juga tahu bagaimana Respawn dan EA terus menyempurnakan aspek teknis permainan dan tanpa lelah berperang melawan cheater dan hacker. Belum lama ini developer dikabarkan sukses menjaring lebih dari 700 ribu pemain curang.

Sumber: Gamespot.

Penulis Kawakan Chris Avellone Turut Menggarap Star Wars: Jedi Fallen Order

Disney terlihat berusaha agar film Star Wars tayang setidaknya setahun sekali, namun sejak akuisisi perusahaan hiburan itu terhadap Lucasfilm, kita belum mendapatkan permainan Star Wars yang betul-betul memuaskan. Gamer mengeluhkan reboot Battlefront karena kurangnya konten, lalu sekuelnya dikritisi akibat praktek loot box yang merusak keseimbangan gameplay.

Setelah pembatalan pengembangan Star Wars 1313, kini harapan berada di pundak Respawn Entertainment. Tim pencipta Titanfall dan Apex Legends itu saat ini tengah fokus menggarap permainan petualang third-person berjudul Star Wars Jedi: Fallen Order. Sejak resmi diumumkan oleh CEO Vince Zampella di E3 2018, detail mengenai permainan pelan-pelan terkuak. Rangkuman segala informasi terkait Fallen Order bisa Anda simak di artikel ini.

Mungkin Anda sudah tahu, pembuatan Star Wars Jedi: Fallen Order dipimpin oleh Stig Asmussen, mantan staf Sony Santa Monica yang turut bertanggung jawab menggarap trilogi God of War. Asmussen ialah seorang developer papan atas – pernah jadi lead environment artist, art director, hingga game director. Menariknya, Asmussen bukan satu-satunya talenta berpengalaman yang ikut mengembangkan Fallen Order. Via Twitter-nya, Chris Avellone membenarkan keikut-sertaan dirinya dalam proyek tersebut.

Chris Avellone adalah seorang desainer sekaligus penulis kawakan. Ia masuk ke industri ini lebih dari dua dekade silam, dan telah berpartisipasi dalam pengerjaan lusinan permainan dalam beragam genre – dari mulai shooter, action adventure sampai role-playing. Kreasi-kreasinya meliputi Star Trek: Starfleet Academy (1997), Fallout 2, seri Icewind Dale, Neverwinter Nights, hingga sejumlah game baru semisal Pillars of Eternity, Torment: Tides of Numenera, Prey (versi reboot), serta Divinity: Original Sin 2.

Avellone belum menjelaskan apa perannya di Fallen Order karena ada NDA yang harus dipenuhi. Namun melihat dari keterlibatannya di sejumlah permainan baru dan bagaimana ia bilang ‘telah merampungkan Fallen order’, ada dugaan kuat Avellone dipekerjakan Respawn sebagai penulis lepas. Sejak tahun 2015, ia memang sudah tak lagi bekerja untuk Obsidian Entertainment.

Game-game kreasi Avellone terkenal dengan cerita yang sulit diduga dan sering kali menggelitik nalar. Jedi: Fallen Order sendiri bukanlah proyek Star Wars pertama sang penulis. Sebelumnya, ia sempat menjadi lead designer serta writer Knights of the Old Republic II: The Sith Lords. Banyak orang setuju, dari sisi twist serta alur, The Sith Lords lebih superior dibandingkan game pertamanya.

Via GameSpot.

Segala Hal yang Sudah Diketahui Tentang Game Respawn Selanjutnya, Star Wars Jedi: Fallen Order

Siapa sangka Apex Legends yang diluncurkan secara mendadak berhasil mencuri perhatian pecinta shooter dalam waktu singkat. Sebelumnya, banyak orang hanya mengenal Respawn sebagai studio pencipta Titanfall yang didirikan oleh mantan penggagas Call of Duty. Namun kini, mereka menjadi salah satu tim developer terseksi pemegang franchise battle royale favorit jutaan gamer.

Tentu saja, kesuksesan itu bukan sekadar hasil kerja satu dua tahun. Jauh sebelum Respawn berdiri, para talenta yang ada di belakangnya telah berkiprah di ranah pengembangan game  selama belasan tahun. Dan beberapa bulan sebelum eksistensi Apex Legends diketahui, khalayak tengah menanti update terkait game besar mereka selanjutnya yang tak berhubungan dengan Titanfall. Anda mungkin sudah tahu, proyek tersebut ialah permainan bertajuk Star Wars Jedi: Fallen Order.

Gerak-gerik penggarapan game Star Wars sudah terdengar sejak 2014, ketika mantan staf Sony Santa Monica Stig Asmussen memutuskan untuk bergabung dengan Respawn. Asmussen adalah developer yang punya andil besar dalam pembuatan trilogi God of War, punya pengalaman sebagai lead environment artist, art director dan menjadi creative director di God of War III.

Baru dua tahun setelahnya, tepatnya ketika Star Wars Day berlangsung, Asmussen mengonfirmasi bahwa ia dan rekan-rekannya tengah mengerjakan permainan petualangan single-player berperspektif orang ketiga di jagat Star Wars. Judulnya sendiri diungkap langsung oleh CEO Respawn Vince Zampella secara santai dari bangku penonton di tengah-tengah presentasi E3 2018. Pengumuman tak terduga itu membuat fans Star Wars berteriak girang.

Kabar baiknya tak berhenti sampai di sana karena Star Wars Jedi: Fallen Order akan mendarat tak lama lagi. Electronic Arts dan Respawn Entertainment telah membenarkan agenda peluncuran game di musim gugur tahun ini. Berdasarkan info dari Lucasfilm di The Star Wars Show episode tanggal 28 Februari kemarin, developer berencana untuk mengungkap segala detail mengenai Fallen Order di acara Star Wars Celebration yang diadakan di kota Chicago tanggal 11 April nanti – termasuk tanggal rilisnya.

Di Fallen Order, Anda akan bermain sebagai seorang Padawan yang berhasil menyelamatkan diri dari perintah pembantaian para Jedi dari Kaisar Palpatine, Order 66. Itu artinya, game mengusung latar belakang era pasca Revenge of the Sith. Nama sang Padawan belum diketahui, tapi gelar tersebut mengindikasikan tokoh utama yang belum berpengalaman. Dalam perjuangannya, ia akan pergi ‘menjelajahi galaksi’.

Dalam pengerjannya, Stig Asmussen diberi tanggung jawab memimpin tim baru yang difokuskan pada proyek Fallen Order. Perlu diketahui bahwa permainan telah mulai dikembangkan sebelum EA mengakuisisi Respawn, dan ada peluang di negosiasi tersebut, Respawn meminta Electronic Arts untuk memberikan mereka keleluasaan dan kebebasan…

Via VentureBeat.

Dari Medal of Honor Sampai Apex Legends, Bagaimana 2 Desainer Game Legendaris Merevolusi FPS

Satu fakta tak terbantahkan: battle royale merombak jalannya industri gaming. Demam yang dicetus oleh PUBG itu diteruskan Fornite. Dalam waktu singkat, para publisher dan developer ternama segera mengadopsi formula populer ini ke seri shooter kebanggaan mereka, misalnya Call of Duty dan Battlefield. Langkah serupa juga diambil oleh Respawn Entertainment melalui Apex Legends.

Apex Legends adalah game terbaru dari studio pimpinan Vince Zampella yang digarap untuk memuaskan dahaga akan battle royale. Menariknya, game sengaja diracik sebagai ekstensi franchise andalan Respawn. Pada dasarnya, Apex Legends mengambil latar belakang dunia yang sama dengan Titanfall. Kabar gembira bagi Respawn, game FPS tersebut sukses besar, berhasil menghimpun 25 juta pemain hanya dalam waktu seminggu.

Media dan gamer memuji banyak aspek di Apex Legends, dari mulai betapa mudah diaksesnya permainan (bahkan buat orang yang tadinya kurang menggemari battle royale) hingga sistem ping revolusioner yang memungkinkan kita berkomunikasi tanpa perlu bicara langsung. Banyak orang juga terkejut pada kualitasnya. Dengan begitu kayanya konten serta nilai produksi tinggi, sebetulnya dapat dimaklumi jika Apex Legends disuguhkan sebagai produk berbayar. Nyatanya, ia adalah game free-to-play.

LF 36

Keberhasilan Apex Legends menyegarkan kembali ranah battle royale yang mulai terasa jenuh adalah buah dari pengalaman sang studio dalam menggarap game. Bagi khalayak umum, Respawn Entertainment terkenal karena dua game Titanfall. Namun sebetulnya, kemahiran tim meramu shooter datang dari reputasi sang nahkoda, Vince Zampella yang telah berkiprah di industri sejak lebih dari 15 tahun silam. Nama Zampella sendiri sulit dipisahkan dari rekan seperjuangannya, Jason West.

Jason West (kiri) dan Vince Zampella (kanan) | Eurogamer
Jason West (kiri) dan Vince Zampella (kanan) | Eurogamer

Untuk mengetahui besarnya jasa Jason West dan Vince Zampella, kita harus mundur mengarungi lorong waktu lebih dari dua dekade ke belakang. Siapkan secangkir kopi jika perlu, karena ini akan jadi satu cerita yang panjang.

 

Awal mula

Saat itu tahun 1997. Sutradara Steven Spielberg baru saja merampungkan pengerjaan film Saving Private Ryan. Di rumah, ia melihat putranya sibuk menikmati GoldenEye 007 di Nintendo 64. Tema Perang Dunia kedua masih membekas di benaknya. Dan hal tersebut memberi sang sutradara ide: bagaimana jika latar belakang PD2 dituangkan dalam permainan video? Inilah momen lahirnya seri Medal of Honor.

LF 7

Dalam melakukannya, didirikanlah sebuah studio bernama DreamWorks Interactive yang merupakan joint venture antara DreamWorks and Microsoft. Pengembangan Medal of Honor dilakukan selama kurang lebih dua tahun bersama produser Peter Hirschmann dan dibantu oleh Dale Dye sebagai penasehat militer. Di tahun 1999, Medal of Honor pertama dilepas untuk PlayStation, dipublikasikan oleh Electronic Arts.

LF 6

Medal of Honor ternyata berahasil memukau gamer dan media. Penjualannya pun terbilang tinggi, sehingga memberi kepercayaan diri serta modal bagi DreamWorks Interactive untuk mengerjakan sekuelnya. Melihat adanya potensi besar menunggu di balik IP ini, EA membeli DreamWorks Interactive beberapa bulan sebelum permainan kedua di seri ini – Medal of Honor: Undergrounds – dilepas.

LF 9

Untuk game ketiganya, Electronic Arts punya ambisi yang lebih besar. Mereka ingin meluncurkannya di lebih banyak sistem. Dalam penggarapannya, sang publisher menunjuk studio asal Amerika, 2015, Inc., mengandalkan Steven Spielberg buat menulis cerita dan mempercayakan dua orang developer sebagai ujung tombak proyek ini. Kedua talenta itu adalah para pahlawan kita, Vince Zampella dan Jason West.

LF 2

Medal of Honor: Allied Assault merupakan game dengan skor tertinggi di franchise ini, mencetak angka 91 di situs agregat Metacritic, 91,05 persen di Game Rangkings, dan memenangkan beberapa penghargaan Game of the Year 2002. Dalam enam bulan selepas pendaratannya, permainan terjual lebih dari 900 ribu kopi dan menghasilkan pemasukan senilai US$ 34.2 juta. Jumlah yang tergolong banyak waktu itu.

LF 5

Allied Assault ialah salah satu permainan shooter yang paling berkesan buat saya. Selain menyajikan perlengkapan dan kendaraan perang paling autentik di masanya, di sebuah level, untuk pertama kalinya sebuah game mampu mensimulasikan kacau dan mengerikannya pendaratan pasukan infantri Amerika di sektor Omaha, pantai Normandia, Perancis. Pengalamannya mirip seperti adegan pembuka di film Saving Private Ryan.

LF 4

 

‘Panggilan tugas’ baru

Tapi cuma sampai di sana saja perjalanan Vince Zampella dan Jason West bersama Electronic Arts (setidaknya buat sementara waktu). Di tahun perilisan Medal of Honor: Allied Assult, kedua sahabat ini memutuskan untuk mendirikan studio baru bernama Infinity Ward. Di awal kelahirannya, Infinity Ward hanya diisi oleh 21 orang developer. Meski jumlah talentanya tidak banyak, mayoritas dari mereka ialah project lead Allied Assault.

LF 10

Semangat PD2 masih bergelora di hati West dan Zampella. Mereka berambisi buat menggarap game shooter bertema perang dengan skala yang lebih besar serta lebih dramatis. Dibantu oleh Activision di sisi pendanaan, terperciklah konsep pembuatan Call of Duty. Game ini dirancang untuk membawa pemain merasakan versi virtual di sejumlah medan tempur di kawasan Atlantik dan melihat konflik dari perspektif berbeda lewat tiga opsi campaign; yaitu Amerika, Inggris dan Soviet.

LF 11

Call of Duty dibangun menggunakan engine id Tech 3 yang menjadi basis Quake III: Arena. Tentu saja Infinity Ward juga manfaatkan beragam teknologi baru agar game lebih realistis, misalnya lewat sistem animasi skeletal ‘Ares’ agar gerakan tokoh-tokoh game terlihat nyata, serta melalui penerapan AI paling revolusioner saat itu. Kecerdasan buatan di sana mampu beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya serta dibekali oleh teknologi pathfinding mutakhir.

LF 12

Kombinasi dari semua itu memungkinkan para NPC yang jadi rekan Anda beraksi layaknya prajurit sejati. Mereka bisa membantu pemain dengan tembakan perlindungan, melompat melewati jendela, menyingkirkan penghalang, menyelinap mendekati lawan, hingga menghindari granat. Semuanya diintegrasikan dalam mode single-player. Ketika mayoritas shooter saat itu masih bersandar pada momen-momen ‘scripted‘, Call of Duty dapat memberikan pengalaman berbeda ketika Anda mengulang sebuah level.

LF 13

Berbekal terobosan canggih ini, Call of Duty sukses menyabet berbagai penghargaan, termasuk memenangkan sejumlah gelar Game of the Year di 2003. Tapi, inovasi teknologi hanyalah satu dari banyak aspek yang diapresiasi gamer. Banyak pula di antara kritikus yang memuji komposisi musik serta desain suaranya.

Sehari setelah Call of Duty dirilis, Activision membeli seluruh aset Infinity Ward.

 

Bersama Activision

Activision melihat potensi besar bersembunyi di balik Call of Duty. Bermaksud memperluas konten game ini, sang publisher memerintahkan studio Gray Matter Interactive (waktu itu juga baru diakuisisi) buat mengerjakan expansion pack United Offensive. Di saat yang hampir bersamaan, mulai bermunculan rumor yang menyatakan bahwa Infinity Ward tengah menggarap sekuelnya.

LF 14

Barulah pada bulan April 2005, Infinity Ward resmi mengumumkan Call of Duty 2. Zampella menjadi produser, lalu rekannya West diberi tanggung jawab sebagai sutradara. Di game kedua itu, mereka ingin perang terasa lebih autentik lagi, caranya ialah dengan mempertahankan elemen-elemen terbaik di Call of Duty serta memoles hal-hal yang dikeluhkan pemain. Tim bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi lokasi pertempuran bersejarah untuk mendapatkan bayangan langsung mengenai konflik yang pernah terjadi di sana.

LF 15

Detail merupakan aspek yang jadi perhatian utama Infinity Ward, mendorong studio untuk mengusung teknologi-teknologi paling mutakhir – baik dari sisi engine, visual maupun suara. Developer mengandalkan engine IW 2.0 buatan sendiri agar permainan mampu menampilkan efek partikel detail dan cuaca (badai pasir serta salju), lalu memberikan dukungan audio 5.1. Selanjutnya, tim mengembangkan efek post-war, sehingga meski kontak senjata telah berakhir, kita masih bisa melihat dampaknya pada medan tempur – seperti puing-puing yang berserakan hingga asap yang terus mengepul.

LF 16

Gameplay-nya pun mendapat upgrade besar-besaran. Peta permainan dirancang lebih luas, dan pemain diperkenankan untuk mengerjakan misi dengan urutan yang mereka inginkan. AI juga bertambah canggih. Musuh dirancang agar aktif mengejar Anda, dan mampu bereaksi terhadap kehadiran karakter pemain secara berbeda saat letupan senjata pertama kali terdengar. Lawan yang berada jauh akan mencoba mengecek keadaan, sedangkan musuh yang mengetahui keberadaan Anda segera mencari perlindungan.

LF 17

Bukan cuma lawan, tapi rekan-rekan Anda juga didesain agar beraksi secara cerdas. Setiap prajurit NPC yang bertempur di sisi Anda mampu memberi tahu di mana posisi lawan, dan akan berteriak panik jika mereka mengetahui ada musuh yang mencoba mengendap-endap ke tempat perlindungan Anda. Walaupun sedang menikmati mode single-player, Call of Duty 2 tidak membiarkan kita bermain ‘sendirian’.

Oh, sedikit trivia: Call of Duty 2 ialah salah satu game yang mempopulerkan pemakaian sistem regenerasi health, sehingga pemain tak perlu mengandalkan health pack untuk bertahan hidup.

 

Medan tempur modern

Kesuksesan Medal of Honor: Allied Assault dan Call of Duty mencetus kehadiran rentetan game berlatar Perang Dunia kedua. Activision sendiri tak mau buru-buru mengucapkan selamat tinggal pada konflik yang berlangsung antara tahun 1939 sampai 1945 itu, dan menugaskan Treyarch (studio yang mereka akuisisi di 2001) buat meracik Call of Duty 3. Berbeda dari dua game sebelumnya, Call of Duty 3 cuma disediakan untuk console.

LF 18

Namun Infinity Ward menyadari, orang sudah mulai penat dengan PD2. Karena itulah, Jason West dan kawan-kawan tergelitik untuk membawa para pemain ke era baru: medan tempur modern. Dibantu tim berformasi seratus orang, dimulailah pengerjaan Call of Duty 4: Modern Warfare di tahun 2005, berlangsung sampai 2007.

LF 19

Dalam prosesnya, developer bekerja sama dengan pihak Marinis AS untuk memberikan nasehat serta bantuan motion capture. Infinity Ward bahkan menghadiri sesi latihan Marinir di 29 Palms, buat membantu mereka memahami seperti apa rasanya berada di dekat tank M1 Abrams ketika sedang menembakkan peluru sabot. Tapi walaupun developer mengeker tingkat realisme tinggi, mereka tak mau narasi permainan punya kaitan dengan konflik di dunia nyata. Berbeda dari Call of Duty sebelumnya, Modern Warfare menyuguhkan kisah fiktif.

LF 20

Selain single-player yang mengesankan, Modern Warfare turut dipuji karena mode multiplayer super-adiktif. Entah bagaimana caranya, Infinity Ward menemukan titik keseimbangan agar game bersahabat dengan para pemula tapi juga tetap sanggup memuaskan para veteran. Di sana, developer meminimalkan hal yang mengurangi keasikan ber-multiplayer, misalnya lewat menyajikan pilihan beragam senjata dari awal, sehingga waktu gamer tak terbuang hanya untuk mencari tipe pistol atau senapan tertentu.

LF 21

Demi mendorong pemain buat meningkatkan kemampuannya, Modern Warfare memperkenalkan sistem kill streak: semakin banyak lawan yang Anda tumbangkan (tanpa gugur, tentu saja), maka kian tinggi pula penghargaan untuk Anda.

LF 22

Lagi-lagi, karya Infinity Ward yang begitu inovatif ini memperoleh respons sangat positif dari khalayak. Kesuksesannya melahiran dua sekuel Modern Warfare serta menyulut demam ‘game perang modern’. Sejumlah publisher besar lain bahkan turut terbawa arus. Misalnya EA yang termotivasi untuk meramu spin-off Battlefield: Bad Company serta me-reboot franchise Medal of Honor di tahun 2010 – kali ini menyeret pemain ke perang Afganistan.

LF 23

Tiga game Call of Duty: Modern Warfare boleh dikatakan sebagai trilogi game shooter tersukses sepanjang masa. Berdasarkan perhitungan kasar yang saya lakukan, jumlah penjualan ketiga permainan itu (per tahun 2013) minimal mencapai 64,9 juta kopi.

(Sebelum melanjutkan, saya berikan Anda kesempatan untuk membuat secangkir kopi lagi karena petualangan West dan Zampella masih cukup panjang.)

 

Perseteruan dengan Activision dan kelahiran Respawn Entertainment

Sayangnya, bahkan sebelum Modern Warfare 3 dirilis, semua orang sudah mengetahui gejolak di tubuh Infinity Ward. Di bulan Maret 2010, Activision melaporkan pemecatan dua developer seniornya, Vince Zampella dan Jason West, dengan alasan ‘pelanggaran kontrak dan pembangkangan perintah’. Agar Modern Warfare 3 bisa selesai tepat waktu, sang publisher menurunkan Sledgehammer Games dan Raven Software untuk membantu pengembangannya.

LF 24

Sejak saat itu, dimulailah periode perseteruan yang berkepanjangan. Atas pemutusan hubungan kerja sepihak, Zampella dan West menggugat Activision, meminta mereka membayarkan uang senilai US$ 36 juta sebagai ganti rugi bonus yang tak pernah cair. Pihak Activision pun menuntut balik keduanya atas alasan percobaan ‘pembajakan’ tim Infinity Ward. Tidak jelas siapa yang akhirnya memenangkan perkara tersebut, atau apakah masalah ini benar-benar selesai, tapi kejadian itu menandai sebuah era baru bagi kedua pihak.

LF 25

Tak lama setelah pemecatan itu, Zampella dan West segera mendirikan studio baru: Respawn Entertainment. Karena terbatasnya dana, keduanya mencoba menghimpun modal lewat program EA Partners. Kesepakatannya ialah sebagai berikut: Respawn berhak memegang franchise game yang mereka ciptakan di waktu ke depan, dengan syarat permainan dirilis di platform pilihan Electronic Arts.

Di pertengahan tahun 2010, 38 dari 46 mantan staf Infinity Ward memilih untuk bergabung ke Respawn.

 

Titanfall

Eksistensi Titanfall sempat di-tease oleh presiden EA Games Label Frank Gibeau di tahun 2011. Waktu itu, ia bilang bahwa Respawn sedang mengerjakan permainan shooter bertema fiksi ilmiah yang memungkinkan studio berkompetisi dengan seri Gears of War dan Halo. Namun baru di E3 2013 Titanfall resmi diumumkan. Dan di sana, gamer menjadi saksi bagaimana Respawn mencoba menggabungkan gameplay ala Call of Duty dengan pertempuran berbasis robot raksasa.

LF 29

Hingga kini, hampir tidak ada yang bisa menandingi keunikan Titanfall. Game menghidangkan aksi tembak menembak bertempo cepat, dipadu parkour dan kejar-kejaran seru, serta partisipasi mecha ala MechWarrior. Hal paling brilian dari Titanfall adalah, para ‘pilot’ tidak pernah tak berdaya ketika berhadapan dengan robot raksasa. Berbekal manuver lincah, kerja sama, serta taktik yang tepat, sangat mungkin bagi pilot tanpa Titan menundukkan mecha lawan.

LF 26

Sayang sekali, minimnya modal memang memengaruhi konten. Respawn pada akhirnya tak pernah berkesempatan untuk membubuhkan mode single-player. Sebagai jalan keluarnya, mereka mengintegrasikan campaign di multiplayer. Narasi disajikan lewat sesi intro sebelum pertandingan dimulai, serta melalui cutscene via jendela kecil saat match masih berlangsung. Tentu saja metode ini tidak optimal buat menyampaikan cerita, dan tak semua orang menyukainya. Saya baru benar-benar paham soal apa yang terjadi setelah menamatkannya sebanyak enam kali.

LF 27

Walaupun gamer mengapresiasi keputusan Respawn untuk tidak menyertakan microtransaction, developer salah langkah dalam menyajikan add-on serta season pass. Akibat dari sulitnya membeli DLC dan hanya sejumput orang yang memiliki Deluxe Edition, komunitas jadi terbagi dua. Masalah ini menggerus populasi pemain, dan Respawn akhirnya tergerak buat menggratiskan seluruh konten tambahan yang pernah mereka rilis. Sebuah langkah yang dipuji gamer, tapi juga mengesalkan para pemilik Deluxe Edition. Kata mereka, “Buat apa kami beli versi deluxe mahal-mahal?”

LF 28

Terlepas dari sejumlah kekurangannya, mayoritas media dan gamer tetap mengakui bahwa Titanfall merupakan sebuah terobosan di segmen first-person shooter. Fitur seperti wall-running (kemampuan pilot untuk berlari di tembok) bahkan diadopsi oleh Treyarch di Call of Duty: Black Ops III serta studio lama Zampella dan West, Infinity Ward di Call of Duty: Infinite Warfare. Berdasarkan data IGN, Respawn berhasil menjual 10 juta kopi permainan di bulan Oktober 2015 – meski informasinya tak pernah dikonfirmasi oleh pihak EA.

LF 30

Respawn banyak belajar dari pengalaman itu, dan mereka terlihat bersemangat untuk terus mengekspansi franchise Titanfall ke lebih banyak platform hiburan. Setelah mengonfirmasi pengembangan sekuelnya, developer juga mengabarkan kolaborasi bersama Nexon buat menciptakan sejumlah spin-off, di antaranya permainan card battle mobile bertajuk Titanfall: Frontline dan Titanfall Online yang disajikan secara gratis khusus di wilayah Asia.

Namun karena alasan berubahnya iklim industri game online, pengerjaan dua spin-off itu dibatalkan. Berita baiknya, waktu yang dihabiskan Respawn bermitra dengan studio dan publisher lain tidak sepenuhnya terbuang sia-sia. Developer sempat meluncurkan permainan real-time strategy Titanfall: Assault di Android serta iOS.

 

Kepergian Jason West

Setiap cerita pasti ada akhirnya, dan begitu pula kolaborasi dua developer shooter legendaris ini. Pada bulan Maret 2013 – di bulan yang sama Titanfall meluncur – Zampella membenarkan pengunduran diri rekan seperjuangannya itu. Menurut keterangannya, Jason West pensiun dari ranah pengembangan permainan video karena ingin mengurus keluarga. Mereka berpisah tanpa masalah, meski ada desas-desus yang menyatakan sebaliknya.

Terkait hal ini, saya memilih untuk membayangkan kedua sahabat itu mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan, dengan Zampella menyaksikan West berjalan ke arah matahari terbenam.

 

Titanfall 2 dan berakhirnya status ‘indie’ Respawn

Belajar banyak dari pengalaman sebelumnya, Respawn bersungguh-sungguh untuk menambal segala kekurangan di Titanfall dan menyuguhkan game keduanya sesempurna mungkin. Titanfall yang cukup sukses secara finansial memberikan studio modal serta kemampuan untuk menyewa tenaga kerja lebih banyak. Vince Zampella menyerahkan pucuk kepemimpinan proyek pada sutradara Steve Fukuda. Ia bertanggung jawab atas tim berisi 90 orang.

LF 31

Pengerjaan Titanfall 2 dimulai tahun 2014. Dengan menargetkan jendela rilis antara 2016 sampai 2017, Respawn  bertekad menghidangkannya sebagai ‘game kelas blockbuster tulen’ yang dilengkapi campaign single-player dan mode multiplayer terpisah. Fukuda membebaskan tim untuk bereksperimen serta menciptakan beberapa purwarupa sebelum masuk pada tahap pembuatan cerita. Penyusunan ceritanya sendiri terinspirasi dari film-film bertema buddy cop seperti Lethal Weapon dan Beverly Hills Cop, serta anime Gargantia on the Verdurous Planet.

LF 32

Hampir semua orang memuji campaign Titanfall 2. Walaupun durasinya tidak terlalu lama, petualangan di sana terasa beragam dan tak membosankan. Permainan menyuguhkan aksi baku tembak, pertempuran robot, puzzle, dan momen-momen hening yang esensial untuk penyampaian cerita secara seimbang. Variasi dan pengalaman berbeda di sana membuat para gamer veteran membanding-bandingkannya dengan Half-Life. Level favorit saya pribadi bernama Effect and Cause, melibatkan aksi di dua garis waktu berbeda.

LF 33

Lagi-lagi waktunya trivia! Huruf BT di nama robot BT-7274, yang jadi rekan seperjuangan pilot Jack Cooper merupakan singkatan dari ‘Buddy Titan’. Nama ini dicemooh oleh tim, tapi Steve Fukuda bersikeras untuk mempertahankannya.

Untuk multiplayer, studio telah mengidentifikasi dua masalah besar di Titanfall pertama: game terasa terlalu kacau, kemudian kontennya belum cukup banyak untuk memuaskan pemain. Sebagai jalan keluar kendala pertama, Respawn memperlambat tempo permainan demi memberikan waktu lebih banyak pada gamer dalam membuat keputusan sehingga mereka tak hanya sekadar mengandalkan refleks. Solusi problem kedua ialah dengan melepas seluruh konten pasca rilis secara gratis.

LF 34

Saat meluncur, Titanfall 2 mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak – baik gamer, sesama developer serta media. Ia masuk dalam sejumlah daftar nominasi Game of the Year, serta membawa pulang banyak sekali penghargaan ‘game shooter terbaik’ di 2016. Tetapi Dewi Fortuna ternyata belum berpihak pada Zampella, Fukuda dan rekan-rekan. Karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualan Titanfall 2 tidak sebaik yang Respawn harapkan.

LF 35

Walaupun sama sekali belum bisa dibuktikan, banyak orang menduga langkah ini merupakan kesengajaan dari pihak EA selaku publisher. Para fans menuduh Electronic Arts ‘menyabotase’ peluncuran Titanfall 2 untuk melemahkan Respawn dari sisi keuangan, sehingga dapat lebih mudah diambil alih. Dan yang ditakutkan akhirnya terjadi. Di bulan November 2017, EA mengakuisisi Respawn senilai US$ 400 juta.

Berbicara kepada VentureBeat, Zampella menjelaskan alasan mereka setuju untuk jadi bagian dari EA: karena studio membutuhkan sumber daya lebih banyak demi menciptakan permainan yang lebih besar.

 

Respawn masa kini dan masa depan

Ada keheningan panjang yang cukup mengkhawatirkan sesudah pengambil-alihan oleh EA. Sejak momen itu, tim berhenti memberikan update buat Titanfall 2, menyebabkan populasi pemainnya menyusut. Lalu status proyek lain yang tengah mereka kerjakan – contohnya game shooter VR untuk Oculus Rift serta permainan petualangan di jagat Star Wars – juga lama tak terdengar. Baru di E3 2018, ketika Zampella duduk di tengah kerumunan penonton, sang CEO mengungkap judul game Star Wars anyar tersebut, Jedi: Fallen Order.

LF 40

Kira-kira tujuh bulan selepas pengumuman Star Wars Jedi: Fallen Order, Respawn Entertainment kembali menyingkap kejutan. Setelah menjaga ketat status pengembangannya, developer secara tiba-tiba mengumumkan dan meluncurkan Apex Legends. Respawn mengakui, ide penggarapannya disulut oleh PUBG yang sukses mengangkat ketenaran genre battle royale. Sejak saat itu, tim mulai berdiskusi serta melakukan pengujian buat menggabungkan konsep Titanfall dan struktur last man standing.

LF 39

Respawn menyadari, gagasan ini ternyata sangat menarik, tetapi tentu saja developer tidak bisa menyertakan Titan di sana karena akan sangat merugikan pemain yang tak memilikinya. Selain itu, studio ingin agar permainan tersebut dalam waktu singkat mampu merangkul gamer sebanyak-banyaknya dan memanfaatkan sistem monetisasi yang menguntungkan developer di waktu ke depan tanpa merusak keseimbangan. Akhirnya, dipilihlah penyajian free-to-play dengan in-app purchase yang menawarkan item-item kosmetik.

LF 38

Apex Legends merupakan spin-off sekaligus ekspansi dunia Titanfall. Game di-setting 30 tahun setelah kejadian di Titanfall 2 usai. Kata Apex diambil dari nama faksi tentara bayaran di game keduanya, Apex Predators. Dan jika Anda teliti, sesi intro permainan dinarasikan oleh Blisk, tokoh antagonis pemimpin Apex Predators asal Afrika Selatan yang berhasil melarikan diri di akhir Titanfall 2.

LF 42

Lalu bagaimana dengan Titanfall 3? Inilah pertanyaan yang banyak diajukan para penggemarnya. Mereka cemas kesuksesan Apex Legends akan menunda atau malah menghentikan pengerjaan permainan ketiga seri shooter tersebut. Tak usah galau. Via tweet di tanggal 5 Februari kemarin, Vince Zampella menyampaikan bahwa timnya sedang menggodok proyek lain terkait jagat Titanfall, akan disingkap di tahun ini juga.

Mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing agar proyek itu adalah Titanfall 3…

Catatan: Gambar-gambar diambil dari material promo dan sumber resmi lain, di antaranya situs official game, Steam dan EA Origin. Foto Vince Zampella dan Jason West berasal dari artikel Eurogamer.

Kesuksesan Apex Legends Kalahkan Fortnite, Kenyataan atau Cuma Ilusi?

Belakangan game battle royale terbaru besutan EA, Apex Legends, menyebar seperti virus di internet. Game ini dengan cepatnya jadi pusat perhatian baru. Gameplay Apex Legends mungkin tidak bisa dibilang segitu istimewa, hanya saja ia menggabungkan yang terbaik dari berbagai game.

Banyak yang klaim game ini seperti gabungan dari gunplay tempo cepat nan seru dari Call of Duty, elemen battle royale dengan map super jumbo dari PUBG, elemen skill dan spesialisasi karakter dari Overwatch, dan tentunya mekanik pergerakan karakter yang bisa fleksibel ke berbagai tempat dari Titanfall.

Dalam sesaat, game ini langsung jadi fenomena. Dalam waktu 3 hari, Apex Legends berhasil mengumpulkan 10 juta pemain dalam satu waktu. Angka ini juga pernah didapatkan oleh Fortnite ataupun PUBG, namun kedua game tersebut butuh waktu lebih lama untuk mendapatkannya. PUBG butuh enam bulan, sementara Fortnite butuh dua pekan untuk bisa mencapai angka tersebut.

Sumber:
Sumber: EA Official Media

Jika kita melihat secara skeptis, kemenangan Apex Legends bisa jadi disebabkan karena genre Battle Royale yang memang sudah populer saat ini. Dahulu Fortnite dan PUBG bekerja keras memahat jalur, demi membuat genre ini bisa diterima dan dinikmati oleh banyak gamers. Jadi mungkin kesuksesan Apex bisa jadi karena EA yang start belakangan namun berhasil memanfaatkan berbagai riset mereka terhadap fenomena battle royale.

Apex Legends sampai saat ini masih jadi fenomena massa, ia berkali-kali mengalahkan Fortnite terutama dari segi jumlah penonton di platform stream game ternama Twitch. Namun pertanyaan sesungguhnya dari hal ini adalah, apakah popularitas Apex di Twitch ini sebuah kenyataan atau hanya ilusi belaka.

Sebagai latar belakang, mengutip data dari esports observer, konten Apex Legends sudah ditonton selama total 31.73  juta jam dalam satu pekan (4-10 Februari 2019). Sebagai perbandingan, pada rentang waktu yang sama konten Fortnite berada di posisi ketiga yang ditonton 13.21 juta jam, lalu ada League of Legends di posisi kedua yang ditonton selama total 20.50 jam dalam sepekan.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Lalu apa penyebab begitu populernya Apex Legends selain dari soal gameplay. Jawabannya ada beberapa faktor, pertama karena banyaknya tokoh berpengaruh memainkan game ini, kebosanan terhadap Fortnite, dan nama besar EA di belakang dari Apex Legends. Namun apakah popularitas ini bisa bertahan lama nantinya karena faktor faktor tersebut?

Sebelum Apex Legends, sudah ada Call of Duty Black Ops IV mode Blackout yang juga mencoba menjejakkan kaki di dunia genre battle royale. Seperti Apex Legends, game tersebut segera menjadi pusat perhatian dan sempat mengalahkan jumlah penonton Fortnite di Twitch untuk beberapa waktu namun tak berhasil bertahan lama.

Sumber:
Streamer Twitch seperti Ninja yang main Apex Legends jadi salah satu faktor utama melesatnya jumlah pemain Apex Legends. Sumber: Dexerto

Hal ini disebabkan oleh kerjasama sang pengembang dengan streamer-streamer kondang di Twitch. Pada kasus Apex Legends, EA melakukan strategi yang kurang lebih mirip; meminta streamer kondang seperti Shroud, Dr.Disrespect, Summit1G, dan Ninja untuk mainkan Apex. Bedanya dulu para streamer tersebut membagi waktu antara streaming CoD dengan game utama mereka, sementara kini para streamer tersebut full-time bermain Apex; yang menyebabkan game ini bisa viral dengan cepat.

Apalagi ditambah dengan event Twitch Rivals, yang segera menyedot perhatian dari gamers seluruh dunia untuk melihat para streamer jago nan kondang bertemu di dalam satu kompetisi. Namun kembali lagi, apakah popularitas ini merupakan kenyataan yang bisa bertahan lama atau hanya tren sesaat?

Menurut opini saya, kini bola panas berada di tangan EA. Apex Legends berhasil memberi impresi pertama yang sangat kuat di kalangan gamers, bahkan membuat salah satu penulis Hybrid, yang bukan penggemar battle royale, jadi begadang main game ini sampai pagi. Langkah masuk akal selanjutnya dari EA adalah mempertahankan agar para pemain Apex Legends tetap terus bermain. Entah itu lewat konten-konten menarik, perubahan-perubahan dinamis, atau mungkin menyajikan tayangan esports dari game ini.

Game Battle Royale Baru Respawn Akan Jadi Hidangan Pembuka Sebelum Titanfall 3 Meluncur?

Sejak E3 2018 berlangsung, studio pencipta Titanfall tak malu-malu lagi mengungkap apa yang tengah mereka kerjakan. Sang CEO Vince Zampella telah mengonfirmasi eksistensi dari Star Wars Jedi: Fallen Order. Kemudian di bulan Desember kemarin, mereka membuka lowongan pekerjaan di posisi Senior Technical Animator untuk proyek yang berkaitan dengan franchise Titanfall.

Ketika itu, saya sempat mempertanyakan apakah dalam menggarap sekuelnya, Respawn akan mempertahankan tradisi game shooter tersebut atau mereka malah bereksperiman dengan mode multiplayer populer – misalnya battle royale. Jawabannya ternyata adalah iya dan tidak. Di akhir minggu kemarin, mulai beredar rumor di Twitter mengenai permainan anyar Respawn yang akan tersedia sebelum Titanfall 3 tiba. Tak lama, Zampella dan Geoff Keighley (host sekaligus produser acara The Game Awards) mengumumkan judulnya: Apex Legends.

Berdasarkan info dari bocoran-bocoran itu, Apex Legends merupakan game battle royale free-to-play yang menyajikan arena tempur untuk 60 pemain. Aspek unik dari Apex Legends adalah, kemungkinan game akan mengusung latar belakang dunia Titanfall tanpa menyertai robot-robot mecha Titan. Langkah tersebut tampaknya ialah realisasi dari keinginan Respawn buat memperluas jagat Titanfall (meski kita belum mendengar soal kelanjutan pengembangan serial TV-nya).

Kepada Kotaku, seorang informan menyampaikan bahwa gameplay Apex Legends bisa diibaratkan seperti perpaduan antara Titanfall, Overwatch dan mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4. Pemain disodorkan pilihan karakter berbeda, masing-masing memiliki kemampuan ‘super. Anda dapat berpartisipasi di medan tempur seorang diri, atau dalam tim berisi tiga pemain.

Developer berencana untuk melepas Apex Legends di tiga platform, yaitu PC, Xbox One dan PlayStation. Segala detail mengenainya akan disingkap dalam acara live stream via channel Play Apex di Twitch setelah Super Bowl berakhir, tepatnya pada tanggal 4 Februari jam 8:00 pagi waktu Pasifik, atau pukul 23:00 malam WIB. Channel Play Apex sendiri baru Respawn luncurkan, dan walaupun saat artikel ini ditulis statusnya masih offline, belasan ribu gamer sudah mulai mengawasinya.

Tingginya minat terhadap Apex Legends terbilang menarik. Titanfall 2 memang berhasil memenangkan sejumlah penghargaan di 2016 berkat kombinasi aspek  multiplayer adiktif dan single-player unik, tapi karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualannya tidak setinggi harapan Respawn. Update buat permainan berakhir pada Desember 2017, sebulan sesudah developer diketahui diakuisisi oleh Electronic Arts.

Via GamesRadar & PC Gamer.

Indikasi Dikembangkannya Game Titanfall Baru Semakin Kuat

Meski penjualannya kurang memuaskan karena momen perilisannya berdempetan dengan Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, banyak gamer setuju Titanfall 2 merupakan salah satu permainan terbaik di tahun 2016. Kreasi terakhir Respawn ini menyajikan pengalaman single-player unik ala Half-Life dan multiplayer adiktif bertempo cepat yang didukung beragam konten serta opsi kustomisasi.

Titanfall 2 terus mendapatkan update gratis secara konsisten. Tetapi tambahan-tambahan konten pasca rilis berakhir saat tim diakuisisi oleh Electronic Arts. Kabar gembiranya, komunitas game tetap solid dan Respawn terus mengelola serta mengawasi porsi multiplayer-nya. Proyek besar Respawn selanjutnya adalah game Star Wars Jedi: Fallen Order, namun ternyata developer juga punya agenda buat menggarap penerus game shooter andalannya itu.

Setelah CEO Electronic Arts Andrew Wilson sempat menyampaikan bahwa Respawn tengah mengembangkan dua permainan anyar, mulai jelas terlihat salah satunya adalah sekuel Titanfall 2. Informasi tersebut terungkap lewat dibukanya lowongan pekerjaan baru di studio Respawn Entertainment. Di sana, hanya ada dua IP yang disebutkan, Titanfall dan Star Wars. Silakan lihat sendiri dan Anda akan menyadari betapa banyaknya staf baru yang mereka butuhkan.

Respawn (dan EA sebagai perusahaan induk) sedang membutuhkan beragam talenta, dari mulai Environment Artist, Build & Release Manager, VFX Artist sampai Project Manager. Bidang pekerjaannya bervariasi mulai dari bagian art, audio, software, verifikasi kualitas, desain serta produksi. Lowongan terkininya, di-update pada tanggal 15 Desember kemarin, adalah Senior Technical Animator. Mereka semua akan bergabung dengan tim yang berada di Los Angeles.

Sejauh ini memang belum ada pengumuman resmi ‘Titanfall 3’ atau spin-off-nya dan Respawn sudah cukup lama membuka lowongan kerja. Namun melihat kondisi saat ini, peluang dikembangkannya permainan Titanfall baru terbuka lebih lebar. Indikator terkuatnya ialah update terakhir Titanfall 2 – yaitu pada bulan Desember 2017. Sampai sekarang, belum ada lagi tambahan konten buat permainan ini. Itu berarti, ada proyek anyar yang jadi fokus studio.

Pertanyaan yang kini muncul adalah, akan seperti apa game baru Titanfall tersebut? Apakah Respawn akan tetap mempertahankan formula tradisional Titanfall, mencoba memberikan kejutan bagi fans-nya, atau mereka malah mencoba mengikuti tren populer di ranah permainan action multiplayer dengan mencantumkan mode battle royale?

Jika memang benar Titanfall 3 sedang dikerjakan, maka ada kemungkinan penyingkapannya dilakukan di ajang E3 2019, boleh jadi berbarengan dengan diungkapnya detail lebih lanjut mengenai Star Wars Jedi: Fallen Order.

Via PC Gamer.

EA Umumkan Kapan Kita Bisa Mencicipi Versi Demo Anthem

Fans mungkin masih sulit melupakan kekecewaan yang diakibatkan oleh Mass Effect: Andromeda, tapi bergabungnya kembali Casey Hudson ke BioWare untuk mengawasi pengembangan Anthem merupakan kabar gembira bagi gamer. Hudson adalah developer legendaris yang jadi sutradara Star Wars: Knights of the Old Republic dan trilogi orisinal Mass Effect.

Sejak diumumkan di E3 2017, Anthem pelan-pelan terlihat semakin menjanjikan. Di IP baru ini, BioWare mencoba memadukan gameplay action third-person, formula role-playing, dengan tema sci-fi yang mempersilakan gamer bermain sebagai operator unit exoskeleton high-tech ala Iron Man atau Titanfall. Anthem rencananya akan dirilis pada tanggal 22 Februari 2019. Dan sebelum momen itu tiba, EA memperkenankan kita untuk mencoba sebelum membeli.

Untuk mendapatkan akses ke Anthem lebih dulu dari gamer lain, yang perlu Anda lakukan adalah melakukan pre-order, atau berlangganan EA/Origin Access di PC. Selanjutnya, tiket VIP Demo akan jadi hak Anda. Selain akses, mereka yang berpartisipasi dalam program tersebut juga akan memperoleh item eksklusif. VIP Demo dapat dinikmati oleh pemain di semua platform, baik di PC via Origin, PlayStation 4 ataupun Xbox One.

BioWare dan EA akan melangsungkan demo beberapa kali. VIP Demo, atau demo perdana, dijadwalkan untuk berlangsung pada tanggal 25 sampai 27 Januari 2019. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada tanggal 1 sampai 3 Februari, semua orang dipersilakan buat memainkan demo Anthem. Hal yang menarik di sini adalah, sang publisher memilih untuk menggunakan istilah demo dan bukan uji coba beta, menandai bahwa versi ini lebih diprioritaskan buat mengomersialkan permainan dan bukan uji coba.

Berbicara soal periode tes, sebetulnya BioWare baru saja merampungkan uji coba alpha pada tanggal 8 dan 9 Desember kemarin. Sesinya sangat terbatas. Gamer hanya diperkenankan bermain selama beberapa jam saja, dan kesempatan cuma terbuka bagi mereka yang berada di kawasan Amerika dan Eropa.

Jika Anda penasaran mengapa sampai kini belum ada tester yang menginformasikan konten dari tes alpha tersebut, alasannya adalah non-disclosure agreement dari EA yang melarang siapapun buat memublikasikannya. Seorang gamer sempat mencoba men-stream Anthem versi alpha, namun aksi tersebut malah membuat seluruh koleksi permainannya di Origin lenyap.

Sebagai bagian dari strategi EA mendorong lebih banyak orang bergabung ke layanan Origin/EA Access, pelanggan dijanjikan akses ke seluruh konten dan fitur Anthem tanpa dibatasi. Tanpa Origin atau EA Access, kita perlu membayarkan uang sebesar US$ US$ 110 demi membeli edisi Legion of Dawn.

Gandeng Petroglyph, EA Umumkan Versi Remaster dari Command and Conquer dan Red Alert

Inovasi di sejumlah game klasik dan efek nostalgia yang begitu kuat mendorong bermunculannya banyak upaya remaster. Di kategori strategi PC, kita telah kehadiran Age of Empires HD dan belum lama Blizzard mengumumkan Warcraft III: Reforged. Dan kira-kira sebulan lalu, Anda mungkin juga sudah mendengar rencana EA untuk menghidupkan kembali franchise Command & Conquer.

Setelah mencoba mencari tahu respons gamer terhadap agenda mereka itu, Electronic Arts akhirnya resmi mengumumkan akan meluncurkan kembali Command and Conquer: Tiberian Dawn dan Red Alert. Mereka merupakan dua judul awal seri Command & Conquer, dengan Red Alert yang dirancang sebagai prekuel dan di-setting di garis sejarah alterrnatif. Langkah tersebut publisher ambil setelah mengumpulkan masukan dan komentar dari fans.

Dalam mengerjakan dua permainan ini, EA memutuskan buat menggandeng tim ‘independen’ Petroglyph Games, yaitu developer spesialis game-game strategi yang didirikan oleh mantan staf Westwood Studios – yakni pada talenta di belakang seri Command & Conquer. Nama-nama seperti Joe Bostic (co-creator C&C), Steve Tall, Ted Morris, hingga Mike Legg yang bekerja untuk Westwood sejak tahun 1986 turut berpartisipasai di proyek ini.

Baik EA maupun Petroglyph belum banyak membahas aspek teknis dari remake Tiberian Dawn dan Red Alert ini, namun sang publisher sempat menyampaikan bahwa mereka turut mengajak Lemon Sky Studios buat membantu penggarapan kedua game, khususnya agar permainan dapat tersaji di resolusi 4K. Belum diketahui apakah Petroglyph akan mempertahankan konten, UI dan art direction; atau mengonstruksi tiap aset game dari nol seperti yang Blizzard lakukan pada Warcraft III. Joe Bostic malah menanyakan pada fans arahan seperti apa yang sebaiknya mereka ambil.

Berbicara soal konten, EA ingin agar remake Command & Conquer: Tiberian Dawn dan Red Alert ini menjadi pengalaman lengkap. Untuk itu, mereka berniat buat membubuhkan segala expansion pack yang pernah disajikan buat kedua game, misaslnya Covert Ops, Counterstrike serta Aftermath. Publisher juga kembali menegaskan bahwa versi anyar ini tidak menyimpan microtransaction (serta loot box).

Status dari Tiberian Dawn dan Red Alert versi remaster masih belum mulai dikerjakan. Saat ini, EA mempersilakan komunitas gamer untuk ikut serta dalam tahap persiapan serta mengutarakan apapun yang mereka inginkan, dan mengajak semua orang buat berinteraksi dengan developer lewat Reddit.

Command & Conquer dan Red Alert adalah beberapa game yang saya terus mainkan hingga bertahun-tahun setelah perilisannya. Begitu kentalnya efek nostalgia di game ini, saya masih bisa mendengar jelas ejekan Tanya Adams pada musuh-musuhnya, “Chew on this!

Daftar Hardware PC yang Diperlukan Untuk Menjalankan Battlefield V

Berbeda dari sambutan gamer terhadap Battlefield 1, pengungkapan detail Battlefield V diwarnai sejumlah komplain. Penggemar mengeluhkan penggunaan latar belakang sejarah yang mereka rasa ‘kurang akurat’ serta ‘menyayangkan’ fokus developer pada tokoh utama wanita. DICE sendiri tetap berpegang pada keputusan mereka karena ingin membuat Battlefield V lebih beragam dan inklusif.

Mungkin tak semua orang menerima arahan baru DICE dengan lapang dada, namun Battlefield V tetap menjadi salah satu judul besar yang mendapatkan sorotan gamer serta media. Permainan rencananya akan meluncur kurang dari tiga minggu lagi, dan mendekati pelepasannya, Electronic Arts mengungkap daftar kebutuhan hardware yang diperlukan buat menjalankan Battlefield V versi Windows via Reddit. Ini dia:

 

Minimal

  • Sistem operasi: 64-bit Windows 7, Windows 8.1 atau Windows 10 64-bit
  • Prosesor: AMD FX-8350 atau Intel Core i5 6600K
  • Memori RAM: 8GB
  • Kartu grafis: Nvidia GeForce GTX 1050, GeForce GTX 660 2GB, AMD Radeon RX 560, atau Radeon HD 7850 2GB
  • DirectX: 11.0
  • Hard drive: 50GB

 

Rekomendasi

  • Sistem operasi: Windows 10 64-bit
  • Prosesor: AMD Ryzen 3 1300X, Intel Core i7 4790 atau setara
  • Memori RAM: 12GB
  • Kartu grafis: Nvidia GeForce GTX GTX 1060 6GB, AMD Radeon RX 580 8GB
  • DirectX: 11.0
  • Hard drive: 50GB

 

Agar bisa menikmati fitur Nvidia ray tracing

  • Sistem operasi: Windows 10 October 2018 Update 64-bit
  • Prosesor: AMD AMD Ryzen 7 2700 atau Intel Core i7 8700
  • Memori RAM: 16GB
  • Kartu grafis: Nvidia GeForce RTX 2070
  • DirectX: kartu video yang kompatibel dengan DirectX Raytracing
  • Hard drive: 50GB

Satu hal wajib lain yang dibutuhkan untuk bisa menikmati Battlefield V adalah dukungan konektivitas internet konstan, minimal berkecepatan 512KBPS. Jika tidak mau repot-repot menyesuaikan setting grafis dan memastikan komponen PC siap mendukung game, tentu Anda dapat memilih versi PlayStation 4 atau Xbox One-nya.

Namun ada keunggulan lain jika Anda berkenan untuk bermain Battlefield V di PC: EA telah memasukkan game ke daftar judul Origin Access Premier. Itu artinya, para pelanggan dipersilakan memainkannya lebih dulu dari gamer lain. Dan menariknya lagi, versi yang publisher tawarkan di sana merupakan Deluxe Edition berisi bonus konten seperti Firestrom Ranger Set, Paratrooper Gear, Special Assignments serta persenjataan Battlefield 1. Battlefield V Deluxe Edition sendiri dibanderol seharga US$ 110.

Battlefield V dijadwalkan untuk dirilis pada tanggal 20 November 2018 di Windows PC via Origin, Xbox One dan PlayStation 4. EA berjanji untuk tidak menyajikan DLC premium serta loot box. Konten baru akan disuguhkan secara merata dan gratis buat seluruh pemain.