Feedloop Dapat Pendanaan Pra-Seri A, Kini Jadi Platform Pengembangan Aplikasi Tanpa Kode

Pengembang layanan SaaS untuk digitalisasi bisnis Feedloop mendapatkan pendanaan pra-seri A dengan nilai yang tidak diumumkan. Putaran ini dipimpin oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) dengan keterlibatan Aksara Ventures dan investor di tahap sebelumnya, yakni East Ventures.

Dana akan difokuskan untuk mendorong pengembangan produk teknologi, merekrut lebih banyak SDM, dan membangun jaringan distribusi.

Didirikan oleh Ahmad Rizqi Meydiarsi (CEO), Ronaldi Kurniawan Saphala (CTO), dan Muhammad Aji Santika (CMO) sejak tahun 2018; layanan yang disajikan Feedloop saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan di masa awalnya. Mereka pertama kali debut dengan platform yang memungkinkan pemasar untuk membuat konten interaktif seperti survei, kuis, atau cerita digital untuk mendukung pemasaran daring.

Sementara SaaS yang ada sekarang sudah diperluas dengan dua produk utama, yakni Qore dan AIXP. Qore sendiri merupakan no code development platform (NCDP), memungkinkan pengguna mengembangkan aplikasi tanpa kode/pemrograman untuk berbagai kepentingan, seperti pengelolaan SDM, manajemen gudang, aplikasi konsumen, dan lain-lain.

Kemudian AXIP dikembangkan sebagai sebuah customer data and experience platform (CDXP), memungkinkan pengguna untuk mengelola data digital dari berbagai kanal untuk meningkatkan kapabilitas pemasarannya. Termasuk ditujukan untuk menganalisis perilaku pelanggan secara real-time.

“Memasuki tahun ketiganya, Feedloop akan melanjutkan komitmen untuk menjadi digital-enabler bagi perusahaan-perusahaan Indonesia [..] Investasi dari TMI akan membantu kami untuk mempercepat realisasi misi besar kami untuk dapat menciptakan pemerataan transformasi digital di seluruh Indonesia,” ujar Rizqi.

Agenda sinergi

Sejak debut pada Mei 2019 membawa dana kelolaan awal 576 miliar Rupiah, TMI fokus untuk berinvestasi ke berbagai jenis startup yang dapat disinergikan dengan bisnis utama induknya. Sinergi menjadi poin penting yang digarisbawahi, sebagai corporate venture capital (CVC), mereka membawa misi penting untuk membantu perusahaan mencapai tujuan tertentu, dalam hal ini transformasi digital.

Tak terkecuali kemitraan strategisnya dengan Feedloop. Bersamanya, Telkomsel akan bersama-sama mengembangkan platform pengelolaan data dan pengalaman konsumen. Berbagai jenis data pelanggan akan diracik untuk menjadi referensi pemasaran dan inovasi produk yang lebih tepat sasaran. Tujuan pengembangan platform ini juga untuk membantu BUMN lain (di luar grup Telkomsel) mengadopsi transformasi digital.

Feedloop kini jadi perusahaan portofolio ke-13 milik TMI. Sebelumnya mereka telah berinvestasi ke Kredivo, Inspigo, EVOS Esports, TaniHub, Qlue, Tada, PrivyID, Roambee, Halodoc, SiCepat, Skor, dan Sekolahmu.

“Ke depan, TMI akan semakin dikembangkan untuk membuka berbagai peluang kolaborasi dan pemberdayaan startup lebih luas lagi. Sudah ada banyak hal yang telah kami persiapkan untuk merealisasikan berbagai rencana strategis dalam beberapa waktu ke depan,” ujar CEO TMI Marlin R. Siahaan dalam sebuah kesempatan temu media (22/7).

Data dan proyeksi platform no-code

Sebelumnya ada Typedream dan Cotter, platform no-code yang dikembangkan founder asal Indonesia. Mereka berhasil membukukan pendanaan awal dari Y Combinator dan sejumlah angel investor global. Konsep layanannya berbentuk web bulider dan passwordless login platform, memungkinkan pengguna untuk membangun situs webnya tanpa pemrograman; serta membuat akses login yang aman tanpa memerlukan kata sandi.

Kemudahan yang ditawarkan membuat platform no-code, atau sering juga disebut low-code, berkembang pesat. Di kancah global, saat ini banyak sekali platform berbasis SaaS yang menawarkan kapabilitas serupa untuk berbagai kebutuhan spesifik.

No-Code Platform
Berbagai layanan no-code yang saat ini beredar di pasar global / Petro Inverinizzi (Stride VC) dan Ben Tossell (Makerpad)

Menurut temuan hasil survei Appinventiv, layanan no-code banyak diminati oleh pebisnis lantaran memudahkan langkah mereka melakukan inovasi dan transformasi. Seperti diketahui, bisnis dituntut untuk secara tangkas melakukan transformasi digital dengan go-online. Proses pengembangan manual dapat memakan waktu panjang untuk perusahaan yang baru memulai langkah tersebut, karena harus melakukan banyak tahapan, mulai perencanaan hingga perekrutan staf ahli di bidang pemrograman.

Survei mengenai alasan pengguna memakai platform low-code / Appinventiv

Potensi ini membawa nilai pasar layanan tersebut mencapai $45,5 miliar pada tahun 2025 mendatang. Varian platform yang ada tidak hanya memfasilitasi kebutuhan spesifik perusahaan besar, melainkan juga kepada UMKM yang ingin meningkatkan kehadirannya secara online atau meminimalkan friksi dalam kegiatan operasionalnya.

Proyeksi pangsa pasar platform no-code di dunia / MarketsandMarkets

East Ventures Reportedly Leads Moladin’s Series A Funding

The automotive marketplace startup Moladin reportedly secured series A funding led by the previous investors, East Ventures. According to DailySocial’s source, this round’s nominal combined with the previous one has reached $4.5 million (approximately 65 billion Rupiah). The last round was announced in January 2020.

DailySocial tried to confirm with related parties, however, there is no feedback until this news was published.

In the latest round, participate also the previous round’s investor, CyberAgent Capital, also some angel investors from Singapore entered the ranks of shareholders.

Moladin is led by Jovin Hoon and Mario Tanamas since November 2017. In the beginning, the platform focused on selling new motorcycles, and recently expanding its services to used motorcycles and new cars. The company works closely with dealers and leasing agencies to facilitate the purchasing process. The dealership locations are available across Greater Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta and Semarang.

The company also provides cash fund services for consumers, in partnership with leasing companies, for loans starting from Rp3 million with a motorcycle’s license collateral from 2012, and up to Rp20 million with a car’s license issued from 2004.

“Since 2018, Moladin has managed to proceed transactions over IDR 290 billion. We also have 8 thousand Moladin agents work across major cities to help increase sales,” Jovin said as quoted from Kompas.com.

Automotive Industry

The year 2020 is a challenging period for many sectors, including the automotive industry. This is reflected in data released by the Association of Indonesian Automotive Industries (Gaikindo), wholesale car sales (sales from factories to dealers) decreased by 48.35% YOY, while retail car sales decreased by 44.55%.

Furthermore, conditions began to improve this year, marked by total national car sales rising 33.5% to 393,469 units in the first semester of 2021. Same condition applies in motorcycle sales. Quoting from the Indonesian Motorcycle Industry Association (AISI), more than 2.45 million units of motorcycles were shipped to the market.

Compared to the same period in the previous year, motorcycle sales were only 1.88 million units. Motorcycle sales contributors came from automatic scooters (86.61%), motorbikes (6.95%), and sport motorbikes (6.24%).

In terms of startup, this automotive marketplace vertical involved many players. Those are OLX Autos, Carro, Carsome, Garasi.id, Otoasia, Mobil123, Carmudi, Rajamobil, Oto.com, and many more.

Vehicle marketplace ecosystem / MomentumWorks

In the (C2B) purchasing and (B2C) selling used cars segment, Carro competes directly with Carsome — both are regional players who also have business bases in Indonesia and a number of countries.

The business model is quite similar, for C2B they buy consumer cars instantly by conducting thorough inspections. The company provides checkpoints at strategic locations — purchase requests can be made via the website. The cars purchased are then sold to car dealer owners for re-marketing.

As for the B2C model, the cars that were successfully purchased and inspected were re-sold through their digital platform. The value proposition lies in the result of inspection, considering that the goods being sold are used. They also work with financial institutions to peddle credit schemes.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

East Ventures Dikabarkan Pimpin Pendanaan Seri A Moladin

Startup marketplace otomotif Moladin dikabarkan mengantongi pendanaan seri A yang dipimpin investor di tahap sebelumnya, yakni East Ventures. Menurut informasi yang diperoleh DailySocial, nominal dana dalam putaran ini bila digabung dengan putaran sebelumnya mencapai $4,5 juta (sekitar 65 miliar Rupiah). Putaran terakhir yang diumumkan perusahaan terjadi pada Januari 2020.

DailySocial mencoba mengonfirmasi ke pihak terkait, namun hingga berita ini diturunkan belum ada informasi yang diberikan.

Dalam putaran teranyar ini, investor dari putaran sebelumnya CyberAgent Capital juga ikut berpartisipasi, serta sejumlah angel investor dari Singapura turut meramaikan jajaran shareholder.

Moladin dinakhodai oleh Jovin Hoon dan Mario Tanamas sejak November 2017. Awalnya platform tersebut fokus pada platform pembelian motor baru, kini memperluas layanannya motor bekas dan mobil baru yang diluncurkan pada tahun ini. Perusahaan bekerja sama dengan dealer dan lembaga leasing untuk memudahkan proses pembelian. Lokasi dealer disebutkan tersebar di Jabodetabek, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan Semarang.

Perusahaan juga menyediakan layanan dana tunai untuk konsumen, bermitra dengan perusahaan leasing, untuk pinjaman mulai dari Rp3 juta dengan jaminan BPKB motor untuk tahun keluaran mulai 2012, hingga Rp20 juta dengan jaminan BPKB mobil tahun keluaran mulai 2004.

“Sejak 2018, Moladin sudah berhasil membuat transaksi lebih dari Rp290 miliar. Kami juga memiliki 8 ribu agen Moladin yang tersebar di berbagai kota besar untuk membantu meningkatkan penjualan,” kata Jovin dikutip dari Kompas.com.

Industri otomotif

Tahun 2020 merupakan periode yang penuh tantangan bagi banyak sektor, termasuk industri otomotif. Hal ini tercermin dari data yang dikeluarkan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil wholesale (penjualan dari pabrik ke dealer) turun 48,35% secara YOY, sedangkan penjualan mobil ritel turun 44,55%.

Kemudian kondisi mulai membaik pada tahun ini, ditandai dengan total penjualan mobil nasional naik 33,5% menjadi 393.469 unit pada semester I 2021. Nasib yang sama juga terjadi di penjualan motor. Mengutip dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), lebih dari 2,45 juta unit sepeda motor dikirim ke pasar.

Dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya, penjualan motor hanya sebanyak 1,88 juta unit. Kontributor penjualan motor datang dari motor jenis skuter matik (86,61%), motor bebek (6,95%), dan motor sport (6,24%).

Di ranah startup, vertikal marketplace otomotif ini dihuni banyak pemain. Mereka adalah OLX Autos, Carro, Carsome, Garasi.id, Otoasia, Mobil123, Carmudi, Rajamobil, Oto.com, dan masih banyak lagi.

Gambaran ekosistem platform penjualan kendaraan / MomentumWorks

Di segmen pembelian (C2B) dan penjualan (B2C) mobil bekas, Carro berkompetisi langsung dengan Carsome — keduanya sama-sama pemain regional yang juga memiliki basis bisnis di Indonesia dan sejumlah negara.

Model bisnisnya nyaris mirip, untuk C2B mereka membeli mobil konsumen secara instan dengan melakukan inspeksi menyeluruh. Perusahaan menyediakan titik-titik pemeriksaan di lokasi strategis — adapun permintaan pembelian bisa dilakukan melalui situs web. Mobil yang dibeli selanjutnya dijual kepada para pemilik dealer mobil untuk kembali dipasarkan.

Sementara untuk model B2C, mobil yang berhasil dibeli dan diinspeksi kembali dijual melalui platform digital yang mereka miliki. Nilai unik yang coba dihadirkan adalah hasil inspeksi, mengingat barang yang dijual adalah bekas. Mereka juga bekerja sama dengan lembaga finansial untuk menjajakan skema kredit.

Bonza Reportedly Receiving Additional Investment from Future Shape

DailySocial recently informed that one of the East Ventures portfolios, big data analysis startup Bonza, has received an additional investment worth of $500 thousand (over 7.2 billion Rupiah) from Future Shape. There has been no official statement until this news published.

Future Shape is a French based VC that invests in engineers and scientists developing deep technology. They participated in Finantier’s seed funding last month, which is also one of East Ventures’ portfolios.

Previously, East Ventures led Bonza’s $2 million seed funding round with Elev8.vc in May 2021. East Ventures was also an early investor in the startup, which was started last year by Elsa Chandra and Philip Thomas.

In the announcement of company’s last round, Bonza’s CEO, Elsa said that the fresh money is expected to accelerate the company’s vision to become a leading data company in Southeast Asia. The company is developing a platform to support companies to better process data and use AI solutions through a no-code platform (does not require coding).

Value proposition

The no-code approach developed by Bonza will enable technical and non-technical teams to build and deploy big data-driven solutions.

Elsa said, the distinction is that its platform removes the frictions and barriers faced by organization when creating and deploying data-driven solutions for the first time. Organizations can integrate multiple data sources within the organization, then build and deploy machine learning models in a responsive user interface.

Bonza’s platform workflow illustration / Bonza

Users can automate long-winded data integration to generate report, reducing implementation time of AI solutions from months to days. The implementation includes helping fintech service owners build real-time fraud detection machines and monitoring tools for fraud operations teams to gain insights from different places and unstructured data sources, in order to reduce fraud.

Big data potential

The market share for big data services has a tendency to grow from year to year, not least in the Asia Pacific region. In 2020, its market size is projected to reach $138.9 billion and will increase to $229.4 billion in 2025.

The main factor for this market’s growth is the availability of abundant [digital] data in organizations. Through the digital transformation program launched, business people always try to be more competitive in formulating strategies. One approach is to convert this data into useful insights. Through big data analysis, a business can also improve operational efficiency.

Today’s big data tools have the capability to process structured and unstructured data from a variety of sources, such as logs in apps, social media, service forms, and even from third-party data sources.

Most service providers provide a cloud-based platform, in the form of SaaS that can be subscribed according to the certain specifications. With specific solutions similar to Bonza continue to emerge, service fulfillment in the global market is still dominated by technology giants such as Microsoft, Teradata, IBM, Oracle, Google, Cloudera, Salesforce, to SAP.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Bonza Dikabarkan Terima Tambahan Investasi dari Future Shape

DailySocial memperoleh kabar, salah satu portofolio East Ventures, startup analisis big data Bonza, mengantongi tambahan investasi sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari Future Shape. Belum ada keterangan resmi yang disampaikan sampai berita ini diturunkan.

Future Shape sendiri adalah VC asal Prancis yang berinvestasi pada insinyur dan ilmuwan yang mengembangkan deep technology. Mereka turut berpartisipasi dalam pendanaan tahap awal Finantier pada bulan lalu, yang juga merupakan portofolio dari East Ventures.

Sebelumnya, East Ventures memimpin putaran pendanaan Bonza bersama Elev8.vc sebesar $2 juta pada Mei 2021. East Ventures juga merupakan investor awal dari startup yang baru dirintis tahun lalu oleh Elsa Chandra dan Philip Thomas tersebut.

Dalam putaran terakhir yang diumumkan perusahaan, Elsa selaku CEO Bonza menuturkan dana segar yang didapat diharapkan dapat mempercepat visi perusahaan menjadi perusahaan data terdepan di Asia Tenggara. Perusahaan sedang mengembangkan platform untuk mendukung perusahaan agar lebih baik dalam memproses data dan menggunakan solusi AI melalui no-code platform (penggunaannya tidak memerlukan coding).

Proposisi nilai

Pendekatan no-code yang sedang dikembangkan Bonza nantinya memungkinkan tim teknis dan non-teknis untuk membangun dan menerapkan solusi berbasis data dalam skala besar (big data).

Elsa melanjutkan, pembeda dari Bonza adalah platformnya menghilangkan friksi dan hambatan yang dihadapi suatu organisasi saat membuat dan menerapkan solusi berbasis data untuk pertama kalinya. Organisasi dapat mengintegrasikan berbagai sumber data dalam organisasi, kemudian membangun dan menggunakan model machine learning dalam user interface yang responsif.

Ilustrasi cara kerja platform Bonza / Bonza

Pengguna dapat mengotomatisasi integrasi data yang bertele-tele untuk pembuatan laporan, hingga pengurangan waktu implementasi solusi AI dari berbulan-bulan jadi beberapa hari. Contoh penerapannya adalah membantu pemilik layanan fintech membangun mesin mesin fraud detection secara real-time dan alat pemantauan yang dapat digunakan oleh tim fraud operations untuk mendapatkan wawasan dari tempat yang berbeda dan sumber data yang tidak terstruktur sehingga tingkat penipuan berkurang.

Potensi layanan big data

Pangsa pasar layanan big data memiliki kecenderungan untuk bertumbuh dari tahun ke tahun, tak terkecuali di kawasan Asia Pasifik. Di tahun 2020, market size-nya diproyeksi telah mencapai $138,9 miliar dan akan meningkat sampai $229,4 miliar di tahun 2025.

Faktor utama pertumbuhan pasar ini dinilai adanya ketersediaan data [digital] yang melimpah di organisasi. Melalui program transformasi digital yang dicanangkan, pebisnis selalu mencoba menjadi lebih kompetitif dalam meramu strategi. Salah satu pendekatannya dengan mengonversi data-data tersebut menjadi wawasan bermanfaat. Melalui analisis big data, sebuah bisnis juga bisa meningkatkan efisiensi operasional.

Alat-alat big data masa kini memiliki kapabilitas untuk memproses data terstruktur maupun tidak terstruktur dari beragam sumber, seperti log di aplikasi, media sosial, formulir layanan, bahkan dari sumber data pihak ketiga.

Kebanyakan penyedia layanan menyajikan sebuah platform berbasis cloud, berbentuk SaaS yang bisa dilanggan sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan. Kendati para pemain dengan solusi spesifik seperti Bonza terus bermunculan, pemenuhan layanan di pasar global masih didominasi oleh raksasa teknologi seperti Microsoft, Teradata, IBM, Oracle, Google, Cloudera, Salesforce, hingga SAP.

Gambar Header: Depositphotos.com

Aruna Umumkan Pendanaan Seri A 507 Miliar Rupiah

Startup aquatech Aruna mengumumkan telah mengumpulkan pendanaan seri A senilai $35 juta atau setara 507 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Prosus Ventures dan East Ventures dengan partisipasi SIG serta investor sebelumnya seperti AC Ventures, MDI Ventures, Vertex Ventures, dan beberapa investor lainnya.

Pendanaan ini diklaim menjadi seri A terbesar di Indonesia saat ini, khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

Sebelumnya tahun 2020 lalu Aruna membukukan tambahan untuk pendanaan awal senilai $5,5 juta dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Selanjutnya dana segar akan difokuskan Aruna untuk meningkatkan ekspansinya di lingkup nasional dan memperkuat infrastruktur rantai pasoknya. Selain itu mereka ingin membuka pasar baru dengan menambah varian komoditas, serta meningkatkan kapabilitas teknologi dan data analisisnya.

“Pendanaan ini akan membantu kami dalam meningkatkan jaringan nelayan dan penambak kami di seluruh Indonesia dalam memenuhi tingginya permintaan global. Aruna bercita-cita untuk menjadi solusi yang nyata dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir,” ujar Co-Founder & CEO Aruna Farid Naufal Aslam.

Bersamaan dengan ini, perusahaan juga menunjuk Budiman Goh sebagai President; dan salah satu co-founder mereka Utari Octavianty sebagai Chief Sustainability Officer.

“Aruna akan terus mengombinasikan kapabilitas teknologinya dengan local insights dan juga studi kasus dari pasar global, sembari menjaga ekosistem, memberdayakan masyarakat pesisir dan memenuhi permintaan dari pasar global,” imbuh Utari.

Seperti diketahui, Aruna didirikan sejak tahun 2016. Selain Farid dan Utari, ada juga Indraka Fadhlillah sebagai co-founder. Lewat teknologi mereka ingin mentransformasi rantai pasok perikanan untuk memenuhi pasar global. Diharapkan digitalisasi dapat memperpendek proses dan membuat prosesnya lebih ringkas plus terintegrasi.

Potensi sektor perikanan

Indonesia saat ini menjadi produsen ikan kedua terbesar di dunia dengan ukuran pasar mencapai $30 miliar. Industri ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup signifikan, terdaftar lebih dari 3 juta nelayan.

Berdasarkan data BPS, produksi perikanan di Indonesia memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2014 peningkatannya bahkan di atas 20%. Luas kawasan konservasi pun terus meningkat, data terakhir per tahun 2017 ada sekitar 19,14 juta hektar.

Tidak hanya dikonsumsi di dalam negeri, produk ikan juga menjadi salah satu komoditas ekspor yang menjanjikan. Sejak tahun 2012, pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok menjadi tujuan ekspor yang terus digenjot.

Statistik industri perikanan nasional / Kementerian Kelautan dan Perikanan

Hadirnya Aruna dan startup perikanan lainnya memang menjadi angin segar bagi industri ini. Selain dalam hal produksi dan distribusi, idealnya efisiensi proses bisnis juga bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di bidang perikanan. Sejauh ini ada beberapa startup perikanan yang terus meningkatkan inovasinya, termasuk eFishery, Jala, hingga Danalaut dengan pendekatan bisnis dan produk yang berbeda-beda.

Desty Bags 46 Billion Rupiah Pre-Series A Led by 5Y Capital

Desty micro site provider startup announced a pre-series A funding round worth of $3.2 million or around 46 billion rupiah. The new funding was led by 5Y Capital. Some investors also participated, including Fosun RZ Capital, January Capital, IN Capital, and East Ventures.

For further information, 5Y Capital is a China-based VC (formerly Morningside Venture Capital) that focuses on early-stage funding. 5Y Capital has invested in Xiaomi and Kuaishou. Currently, Desty is 5Y Capital’s first investment portfolio in Indonesia.

Desty is a digital platform that helps content creators, influencers and sellers on social media to market and sell their products. Users can create a mini site placed on a social media bio link or online store for free in just a few minutes. The concept is similar to Linktree with broader features.

Desty was founded in October 2020 by Mulyono Xu (CEO) and Bill Wang (COO). Both have experience and expertise in building e-commerce for 17 years under the Alibaba Group. The startup has previously secured an undisclosed amount of seed funding from East Ventures.

Through this additional investment, the company is still focused on increasing the number of teams and its user base. Xu said, Desty team is currently backed by talents with working experience in giant technology companies, from Alibaba, Facebook, Google, and Bukalapak.

In addition, he said, Desty also continues to ensure that sellers who have joined its ecosystem can develop their business efficiently. The platform is said to have been used by hundreds of thousands of users. Especially in the Covid-19 pandemic situation, sellers or merchants should be able to adapt to manage their business digitally.

“We’ve seen Desty’s exponential growth at the right time due to the rapid growth of e-commerce in Indonesia during the pandemic. Therefore, we believe merchants need various options for where to shop for consumers, either through marketplaces, independent websites, or social media,” Xu said.

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca agreed on this. He said, the pandemic has had a positive impact in accelerating digital adoption to the wider community. Desty is considered to have paved the way for merchants, influencers, and creators to start digitizing product sales digitally.

Based on data compiled by Desty from several sources, the number of e-commerce transactions jumped 18.1% to 98.3 million with an additional 12 million new users throughout 2020. Indonesian people has three main destinations to shop, marketplaces (97%) ), independent business domain/website (91%), and social media (82%).

5Y Capital’s VP of Investment, Hanson Hu added that links are very important key in the internet ecosystem as they can bring people together, online with offline, and demand with supply.

“In terms of e-commerce, links open up great opportunities in connecting social and content with e-commerce transactions as we have seen this trend in China. We believe Desty can become the infrastructure for links in Southeast Asia’s e-commerce industry. Therefore, its presence can contribute to creating a closer content, social and e-commerce ecosystem,” he added.

Currently, Desty offers two main products, Desty Page and Desty Store. Desty Page is a landing page service to optimize the link feature on social media accounts, especially Instagram. Meanwhile, Desty Store is a complement to the marketplace channel that provides a platform to help users easily open online stores.

As a supporting product, Desty also developed Desty Academy as an information and training center for users who want to develop their business.

Desty Peroleh Pendanaan Pra-Seri A 46 Miliar Rupiah Dipimpin 5Y Capital

Startup penyedia situs mikro Desty kembali mengumumkan perolehan pendanaan putaran pra-seri A senilai $3,2 juta atau sekitar 46 miliar rupiah. Pendanaan baru ini dipimpin oleh 5Y Capital. Sejumlah investor juga turut berpartisipasi di antaranya Fosun RZ Capital, January Capital, IN Capital, dan East Ventures.

Sekadar informasi, 5Y Capital merupakan VC asal Tiongkok (sebelumnya bernama Morningside Venture Capital) yang fokus pada pendanaan tahap awal. 5Y Capital pernah berinvestasi di Xiaomi dan Kuaishou. Saat ini, Desty menjadi portofolio investasi pertama 5Y Capital di Indonesia.

Desty adalah platform digital yang membantu kreator konten, influencer, dan penjual di media sosial untuk memasarkan dan menjual produk mereka. Pengguna dapat membuat situs mini yang diletakkan pada tautan bio media sosial atau toko online secara gratis hanya dalam beberapa menit. Konsepnya mirip dengan Linktree dengan fitur yang lebih luas.

Desty didirikan pada Oktober 2020 oleh Mulyono Xu (CEO) dan Bill Wang (COO). Keduanya memiliki pengalaman dan keahlian membangun e-commece selama 17 tahun di bawah naungan Alibaba Group. Startup ini sebelumnya telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari East Ventures.

Melalui tambahan investasi ini, perusahaan masih fokus untuk menambah jumlah tim dan meningkatkan basis penggunanya. Menurut Mulyono, saat ini tim Desty diperkuat oleh talenta-talenta yang telah berpengalaman bekerja di perusahaan teknologi raksasa, mulai dari Alibaba, Facebook, Google, Bukalapak.

Di samping itu, ungkapnya, Desty juga terus berupaya memastikan penjual yang telah tergabung di ekosistem Desty dapat mengembangkan bisnisnya secara efisien. Platform Desty diklaim telah digunakan ratusan ribu pengguna. Terlebih di situasi pandemi Covid-19, penjual atau merchant harus bisa beradaptasi mengelola bisnis mereka secara digital.

“Kami melihat pertumbuhan eksponensial Desty tercapai di saat yang tepat dikarenakan pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia selama pandemi. Maka itu, kami percaya para merchant membutuhkan berbagai opsi tempat berbelanja kepada konsumen, baik lewat marketplace, website milik sendiri, atau media sosial,” papar Mulyono.

Hal ini juga diamini oleh Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca. Menurutnya, pandemi telah memberikan dampak positif dalam mengakselerasi adopsi digital ke masyarakat luas. Desty dinilai telah membuka jalan bagi merchant, influencer, dan kreator untuk mulai mendigitalisasi penjualan produk secara digital.

Berdasarkan data yang dihimpun Desty dari sejumlah sumber, jumlah transaksi e-commerce melonjak 18,1% menjadi 98,3 juta dengan tambahan 12 juta pengguna baru di sepanjang 2020. Ada tiga destinasi utama yang dipilih masyarakat Indonesia untuk berbelanja, yaitu marketplace (97%), domain/situs web bisnis sendiri (91%), dan media sosial (82%).

VP of Investment 5Y Capital Hanson Hu menambahkan bahwa tautan menjadi kunci penting dalam ekosistem internet karena dapat mempertemukan orang dengan orang, online dengan offline, hingga permintaan dengan suplai.

“Dalam konteks e-commerce, tautan membuka peluang besar dalam menghubungkan sosial dan konten dengan transaksi e-commerce sebagaimana tren ini kami lihat di Tiongkok. Kami yakin Desty dapat menjadi infrastruktur bagi tautan di industri e-commerce Asia Tenggara. Dengan begitu, kehadirannya dapat berkontribusi menciptakan ekosistem konten, sosial, dan e-commerce yang lebih erat,” tambahnya.

Saat ini, Desty menawarkan dua produk utama, yakni Desty Page dan Desty Store. Desty Page adalah layanan landing page untuk mengoptimalkan fitur tautan pada akun media sosial, khususnya Instagram. Sementara, Desty Store merupakan pelengkap kanal marketplace yang menghadirkan platform untuk membantu pengguna membuka toko online dengan mudah.

Sebagai produk pendukung, Desty juga membuka Desty Academy sebagai pusat informasi dan pelatihan bagi pengguna yang ingin mengembangkan bisnis.

East Ventures Dikabarkan Kembali Pimpin Pendanaan Greenly

Greenly, startup new retail yang fokus pada makanan dan minuman sehat, dikabarkan mengantongi pendanaan baru sebesar $800 ribu (lebih dari Rp11 miliar) yang dipimpin East Ventures. Menurut informasi yang DailySocial dapatkan, putaran lanjutan ini juga diikuti oleh Sage Capital.

Belum ada konfirmasi yang diberikan pihak East Ventures dan Greenly sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal Greenly dengan nilai dirahasiakan pada Februari 2020. Dana segar ini digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi, serta memperluas jaringannya di Surabaya dan kota-kota lainnya.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto menyampaikan, semangat perusahaannya adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji.

Menurutnya, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di berbagai titik agar mudah dijangkau konsumen.

Tak hanya makanan, kini Greenly membentuk sub-brand baru khusus untuk minuman sehat (plant based) dengan ragam menu kekinian bernama Freshful.

Semua proses bisnis Greenly dilakukan dengan pendekatan O2O, mengadopsi penjualan multikanal melalui gerai fisik dan pesan-antar. Perusahaan kini mengoperasikan tiga outlet flagship di Surabaya, dan cabang lainnya untuk pemesanan online yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Bali dengan total sembilan outlet.

Konsep Greenly diyakini diterima masyarakat Indonesia. Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

Warung Pintar Reportedly Secures 87 Billion Rupiah Series B Funding

Warung Pintar is reportedly to secure series B1 round. According to our sources, the value reached $6 million or equivalent to 87 billion Rupiah. The investor leading this round is East Ventures, supported by Vertex Ventures. Both are investors from the previous round.

We have contacted relevant representative, however, we have not received a reply until this news is published.

This new investment brings Warung Pintar’s valuation to [est] $169 million. This is following the company’s previous series A round in 2019.

Previously, aside from the two venture capitalists, Warung Pintar also supported by a number of investors including EV Growth, Agaeti Venture (now AC Ventures), LINE Ventures, SMDV, Pavilion Capital, Triputra Group, Digital Garage, OVO Fund, and angel investors.

In an interview with DailySocial in late May 2021, Warung Pintar’s Co-Founder & CEO, Agung Bezharie said that the company’s mission is to present the most complete solution in the warung business ecosystem. This includes solutions for shop owners, wholesalers, small to large distributors, as well as brand owners.

“We are digitizing and integrating every stakeholder with our supply chain system to create better transparency and efficiency,” he said.

Earlier this year, Warung Pintar also announced its acquisition of Bizzy for $45 million. Although it remains a separate business entity, this acquisition allows Warung Pintar to gain access to new channels in the Bizzy network, including wholesalers, distributors, to brands/manufacturers.

Bizzy is known as a B2B e-commerce that provides complete technology-based procurement services.

This supply chain is also a new evolution of the Warung Pintar business model. Through the Grosir Pintar application, they provide inventory management and logistics services for wholesale owners; makes it easy to connect to the warung channels on the network.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here