Introducing “Equity Crowdfunding” Platform in Indonesia

The concept of offering stock through crowdfunding or known as equity crowdfunding (ECF) began to emerge in Indonesia. Some new platforms are adopting the concept. There are three startups officially acquired license form OJK per December 2019, namely Santara, Bizhare, and CrowdDana.

Simply put, the ECF platform presents to help business or projects to raise a fund with the crowdfunding mechanism. Then, those who participated (investors) will receive shares with adjusted percentage.

It’s similar to an investment, the ones who “plant” their money into a business or project will eventually receive the outcome. Obviously, with various amounts based on different risks.

The FSA has already issued regulations regarding the ECF as stated in POJK Number 37 of 2018 concerning Crowdfunding Services through Information Technology-Based Stock Offering. It regulates platforms, investors, and the amount of money raised from crowdfunding.

Further details on the ECF platform in Indonesia

Of the three services which officially obtained OJK license (per December 2019), two of them come with the same concept, namely Santara and Bizhare. Both are creating opportunities for SMEs to offer their shares through platforms and raise funds. Looking for a different market, CrowdDana allows offering shares/investments in property assets to be more affordable.

Santara‘s CEO, Avesena Reza claims that they currently have the largest distribution of funds, investor base, and publishers. However, he did not reveal the exact number. In fact, Santara’s optimism is visible through their plans in 2020.

Starting from building portfolio management, strengthening risk management, network distribution, and adding technology into the execution plans to-do-list.

“We’ve made various improvements in terms of technology, such as user experience, easy access, integration with Dukcapil, collaboration with other technology players. We also plan to implement blockchain technology later this year, as a back-office recording mechanism for all digital assets,” Reza explained.

A similar statement comes from Bizhare‘s Founder & CEO, Heinrich Vincent. He said they already had 35 thousand investors from 34 provinces throughout Indonesia by 2020. The distributed fund has reached Rp27 billion, with total dividends to investors reaching Rp1.5 billion per January 2020.

“Our plan in 2020 is to help more SMEs in Indonesia gain more benefits and rapid expansion, by improving our analysis system while conducting education and utilizing digital technology to assist them. In addition, we will also launch a secondary market feature for investors, to be able to sell their shares, as well as other surprises that we will inform soon,” Vincent added.

Meanwhile, CrowdDana announced two boarding projects successfully funded earlier this year. The value reached Rp14.6 billion and it is likely to increase by now. In their latest interview with DailySocial, they mentioned there will be a new vertical, namely the food and service business.

“From the public and franchise business owners’ responses, the demand is huge. On the investor side, investing in a restaurant or service business is also easier to understand, compared to property. From the publisher [franchise owner] side, they are to expand the business but have no access to financial funding,” CrowdDana’s Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer, Stevanus Iskandar Halim said.

The possibility for the ECF industry is getting wide open since some companies have entered the processing stage for a license. One of which is Likuid, an ECF platform that offers stock offering services for creative projects.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Appreciated regulations and education on progress

The regulation issued by FSA is very appreciated by Reza and Vincent. Both agreed on the current beleid is enough to protect the industry, either for investors, platforms, or businesses. However, it still requires coordination to keep the regulation relevant to the current situation in the field.

“To date, the equity crowdfunding regulation in Indonesia is enough to keep all parties fulfilled, from the Providers, Issuers, or Investors. Although there are still some things to improve, especially in terms of adjustment to players on field,” Vincent said.

Meanwhile, Reza said, “In terms of principle, the issuance of POJK 37 is a quite a good step to legitimize that the ECF platform activities are licensed by the regulator or the FSA, not a bulging investment. The regulation that is yet to have its complexity related to the implementation of the ECF is a potential that should be optimized for the organizing platform to innovate / breakthrough in existing business processes.”

Currently, the challenge has been on public education and business owners. In terms of the public, there is an urgency to socialize there are other investment options besides gold, mutual funds, or shares on the stock exchange called equity crowdfunding. Including understanding the existing regulations and risks.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Platform “Equity Crowdfunding” di Indonesia

Konsep penawaran saham melalui urun dana atau dikenal equity crowdfunding (selanjutnya disebut ECF) mulai bermunculan di Indonesia. Beberapa platform mulai mengadopsi konsep ini. Per Desember 2019 ada tiga startup  yang resmi mengantongi izin OJK yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

Secara sederhana, platform ECF hadir untuk membantu bisnis atau proyek untuk mendapatkan dana dengan mekanisme patungan. Kemudian mereka yang ikut berpartisipasi (investor) akan mendapat kepemilikan saham dengan persentase yang disesuaikan.

Sama halnya dengan investasi, nantinya mereka yang “menanamkan” dananya ke sebuah bisnis atau proyek juga akan menerima hasilnya. Tentu dengan besaran hasil dan risiko yang berbeda-beda.

OJK sudah mengeluarkan regulasi mengenai ECF yang tertuang dalam POJK Nomor 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan ini mengatur platform, investor, hingga besaran uang yang boleh dikumpulkan dari penawaran saham yang dilakukan.

Lebih jauh soal platform ECF di Indonesia

Dari tiga layanan yang sudah resmi mengantongi izin OJK (per Desember 2019), dua di antaranya memiliki konsep yang sama, yakni Santara dan Bizhare. Keduanya membuka peluang bagi UKM untuk menawarkan sahamnya melalui platform dan menghimpun dana. Mencari pasar yang berbeda, CrowdDana memungkinkan penawaran saham/investasi di aset properti supaya lebih terjangkau.

CEO Santara Avesena Reza mengklaim bahwa mereka saat ini memiliki penyaluran dana, basis investor dan penerbit terbesar. Hanya saja ia tidak menjelaskan berapa jumlah pasti dari ketiganya. Kendati demikian optimisme Santara juga terlihat dari rencana yang ingin mereka lakukan di 2020 ini.

Mulai dari penguatan manajemen portofolio, penguatan manajemen risiko, persebaran jaringan kerja, hingga pengautan teknlogi masuk dalam daftar rencana yang akan dieksekusi.

“Kami melakukan berbagai macam peningkatan dari sisi teknlogi, seperti dari user experience, kemudahan akses, integrasi dengan Dukcapil, jolaborasi dengan pelaku teknologi lain. Penggunaan blockchain juga kami rencanakan diimplementasikan akhir tahun ini, sebagai mekanisme pencatatan back office untuk semua digital aset,” terang Reza.

Hal senada juga disampaikan Founder & CEO Bizhare Heinrich Vincent. Ia menceritakan bahwa sampai 2020 ini mereka sudah memiliki 35 ribu investor yang tersebar di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dana yang disalurkan pun menyentuh angka Rp27 miliar dengan total dividen yang dibagikan ke investor mencapai Rp1,5 miliar per Januari 2020.

“Rencana untuk tahun 2020 ini tentunya kami ingin membantu lebih banyak UKM di Indonesia untuk bisa merasakan manfaat dan ekpansi lebih pesat, dengan meningkatkan sistem analisis kami, sambil melakukan edukasi serta pendampingan kepada mereka dengan memanfaatkan teknologi digital. Selain itu, kami juga akan meluncurkan fitur secondary market untuk para investor, untuk bisa menjual sahamnya, serta kejutan lainnya yang akan kami infokan beberapa waktu ke depan,” terang Vincent.

Sementara itu, di awal tahun ini CrowdDana mengumumkan bahwa sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai. Nilainya mencapai Rp14,6 miliar dan kemungkinan saat ini sudah lebih. Di wawancara terakhir dengan DailySocial, mereka menyebutkan bahwa tahun ini akan masuk ke vertikal baru, yakni bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal [masyarakat], berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit [pemilik franchise], mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” terang Co-Founder & Chief Product and Marketing Officer CrowdDana Stevanus Iskandar Halim.

Kemungkinan industri ECF kian ramai terbuka lebar mengingat saat ini sudah ada beberapa yang masuk dalam tahap pengurusan izin. Salah satu di antaranya adalah Likuid, sebuah platform ECF yang menawarkan layanan penawaran saham untuk proyek kreatif.

Equity Crowdfunding di Indonesia

Regulasi yang diapresiasi dan edukasi yang masih terus berjalan

Regulasi yang dikeluarkan OJK diapresiasi Reza dan Vincent. Keduanya sepakat bahwa beleid yang ada saat ini sudah cukup untuk melindungi industri, baik untuk investor, platform maupun bisnis. Kendati demikian kordinasi masih tetap dilakukan untuk menjaga relevansi regulasi dengan kondisi di lapangan.

“Saat ini regulasi equity crowdfunding di Indonesia sebenarnya sudah cukup menjaga kebutuhan berbagai pihak, mulai dari sisi Penyelenggara, Penerbit atau Pemodal. Walaupun memang masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, terutama dari sisi kesesuaian dengan kebutuhan para pelakunya di lapangan,” ujar Vincent.

Sedangkan Reza mengatakan, “Pada prinsipnya dengan dikeluarkannya POJK 37 tersebut merupakan langkah yang cukup bagus untuk melegitimasi bahwa aktifitas yang dilakukan platform ECF sudah seizin regulator atau OJK, bukan investasi bodong. Belum kompleksnya aturan yang terkait langsung dengan pelaksanaan ECF ini merupakan potensi yang bisa dioptimalkan bagi pihak platform penyelenggara untuk melakukan inovasi/terobosan dalam bisnis proses yang ada.”

Sejauh ini yang menjadi tantangan ECF ada pada edukasi masyarakat dan pemilik usaha. Di sisi masyarakat ada urgensi untuk menyosialisasikan ada opsi lain investasi selain emas, reksa dana, atau saham di bursa saham bernama equity crowdfunding. Termasuk pemahaman regulasi dan risiko yang ada.

Lewat Skema “Equity Crowdfunding”, CrowdDana Mudahkan Masyarakat Berinvestasi di Proyek Properti

Sejak regulasinya diresmikan OJK pada 2019 lalu, platform berbasis  equity crowdfunding bermunculan dan makin diminati masyarakat. Secara konsep model bisnisnya mirip dengan p2p lending, hanya saja sebagai pemberi pinjaman (layaknya lender) mendapatkan imbalan berupa saham yang dijual pemilik usaha (layaknya borrower).

Per Desember 2019, sehubungan dengan POJK Nomor 37/POJK.04/2018 saat ini ada tiga perusahaan digital yang mendapatkan izin OJK, yakni Santara, Bizhare dan CrowdDana.

CrowdDana sendiri fokus awalnya membiayai proyek properti. Sejak debut, sudah ada dua proyek pembangunan indekos yang berhasil didanai, mencapai Rp14,6 miliar. Dan saat ini masih berjalan satu proyek pembangunan lainnya targetkan dana Rp6,8 miliar.

“Dari semua aset properti yang kami analisis, indekos jadi yang paling menguntungkan. Dikarenakan permintaan yang besar dari penyewa, efisiensi pengelolaan dan persentase okupansi yang stabil,” terang Co-Founder & Chief Product & Marketing Officer CrowdDana, In.

Model bisnis CrowdDana

CrowdDana (PT Crowddana Teknologi Indonusa) adalah sebuah platform yang menghubungkan investor dan asset manager properti. Di platform ini, investor dapat menggelontorkan dananya ke proyek properti yang ditawarkan dengan modal rendah, mulai dari Rp1 juta.

Platform ini didirikan sejak April 2019 dan berhasil menggaet izin dari OJK dengan nomor KEP93/D.04/2019 tertanggal 31 Desember 2019.

Terkait model bisnis yang diterapkan Stevanus mengatakan, “CrowdDana mengambil biaya sebesar 3% dari dana yang dihimpun. Selain itu, ketika properti indekos sudah operasional, CrowdDana mengambil biaya sebesar 5% dari pendapatan.”

Dari daftar penggalangan yang tengah dan selesai berjalan, return of investment yang ditawarkan mencapai 16%. Setiap proyek selesai rata-rata didanai 40-50an investor. Aturan OJK menyatakan jumlah pemegang saham tidak boleh lebih dari 300 pihak, mengikuti UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Beleid tersebut juga dijadikan variabel utama dalam kalkulasi penentuan nilai minimal investasi untuk setiap proyek.

Dalam skema equity crowdfunding, besar keuntungan investor akan berbeda di setiap proyek, proporsional berdasarkan banyaknya jumlah saham. Tugas penyedia platform melakukan seleksi ketat terhadap proyek-proyek yang akan melakukan penggalangan dana. Termasuk melakukan analisis mengenai potensi bisnis. Di CrowdDanna, deviden dibagikan secara berkala, sesuai kebijakan proyek antara setiap 3 atau 6 bulan.

Investor dapat memperjualbelikan saham di pasar sekunder (marketplace). Umumnya pasar tersebut dibuka satu tahun setelah proyek berhasil didanai. Dan pasar sekunder dibuka maksimal 2x per tahunnya.

Pengguna dapat melakukan pendaftaran dan verifikasi akun untuk memulai berinvestasi di CrowdDana. Sementara bagi penerbit atau pemilik proyek dapat menghubungi tim secara terpisah untuk memulai penggalangan dana di platform. Adapun batas atas di tiap proyek Rp10 miliar per tahun untuk setiap penerbit dalam bentuk perseroan terbatas.

Segera rambah vertikal bisnis baru

Selain Stevanus, ada dua pendiri lainnya yakni James Wiryadi (CEO) dan Handison Jaya (CTO). Stevanus sebelumnya bekerja sebagai product manager di Ematic Solution, pengembang SaaS asal Singapura untuk pemasaran digital. Ia mengeyam pendidikan di University of California jurusan ilmu komputer dengan spesialisasi di bidang kecerdasan buatan.

Sementara James sebelumnya merupakan analis CapitalLand Indonesia, salah satu perusahaan real estate terbesar di Asia. Kuliahnya di New York University juga fokus di bidang real estate & finance. Sementara Handison sebelumnya ada software engineer senior di Ematic Solution, lulusan UI di jurusan ilmu komputer.

CrowdDana
Tim pengembang CrowdDana yang bermarkas di DBS Tower, Kuningan, Jakarta / CrowdDana

“Kami memilih properti sebagai sektor utama karena sudah mempunyai banyak pengalaman di sektor terkait. Kami juga bekerja sama dengan partner property developer dengan track record yang baik, AbdiHome, yang sebelumnya sudah berpengalaman membangun indekos. Dengan keahlian tersebut, kami optimis bisa menjalankan setiap proyek dengan baik dan akurat,” lanjut Stevanus.

Ia turut menyampaikan, sekitar dua bulan lagi mereka akan merambah vertikal baru untuk proyek penggalangan dana di platformnya. Rencananya akan dimulai bisnis makanan dan jasa.

“Dari respons masyarakat dan pemilik bisnis franchise, permintaannya sangat besar. Dari sisi pemodal (masyarakat), berinvestasi di bisnis restoran atau jasa juga lebih mudah dimengerti, dibanding properti. Dari sisi penerbit (pemilik franchise), mereka ingin melakukan ekspansi bisnis tapi tidak memiliki akses ke pendanaan finansial,” ujar Stevanus.

Pada Juli 2019 lalu, CrowdDana mendapatkan suntikan dana dari tiga angel investor yang tidak disebutkan detailnya. Untuk mengakselerasi bisnis dan pengembangan produk teknologi, tahun 2020 ini mereka juga targetkan penggalan dana dalam seed round dari pemodal ventura.

Dinilai mudah diterima masyarakat

Di tengah perkembangan ekonomi nasional, dibarengi dengan pendapatan per kapita masyarakat yang meningkat, kanal-kanal investasi mulai banyak diminati. Kendati termasuk baru, model equity crowdfunding nyatanya disambut cukup baik oleh masyarakat.

“Konsep equity crowdfunding sebenarnya bukan hal baru, karena telah diterapkan dengan cara tradisional oleh masyarakat Indonesia ketika berinvestasi patungan dengan teman-teman atau kerabat di bisnis kondotel, bisnis restoran dan bisnis-bisnis lain. CrowdDana mengunakan skema tersebut dan memanfaatkan teknologi untuk keterbukaan informasi,” ujar Stevanus.

Demi memberi kenyamanan pengguna, tahun ini akan ada sejumlah peningkatan kapabilitas aplikasi. Misalnya fitur Live CCTV Feed untuk memudahkan pemberi dana memantau perkembangan proyek, ada juga Okupansi Tracker, POS Order Tracker dan sebagainya.

“Selain ekspansi ke sektor bisnis lain, tahun ini kami targetkan bisa mendanai 10 properti indekos. Untuk itu perusahaan juga akan memperluas kerja sama dengan bank, pengembang properti dan startup lain untuk membantu pengembangan bisnis,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Platform Urun Dana Bizshare Perkaya Fitur, Incar Biayai 200 Bisnis Tahun Depan

Platform urun dana (equity crowdfunding) Bizshare memperkenalkan sejumlah fitur baru yang dirangkum dalam Bizshare 2.0 untuk menggaet lebih banyak investor. Perusahaan sendiri menargetkan dapat membiayai 200 bisnis pada tahun depan, dari posisi saat ini 23 bisnis.

Co-Founder & CEO Bizshare Heinrich Vincent menjelaskan, sejak dua tahun berdiri perusahaan telah membukukan kenaikan bisnis yang cukup signifikan. Dari 23 unit bisnis yang diakomodasi, berhasil terkumpul dana Rp46 miliar dari investor dan telah dicairkan Rp26 miliar ke bisnis terkait.

Jumlah investor yang bergabung ada 32.000 orang, lebih banyak dari tahun pertama sebanyak 2.500 orang. Kemudian pada tahun lalu meningkat hingga 12.500 orang. Dividen yang telah diberikan kepada para investor ini sebesar Rp811 juta.

Imbal hasil yang mereka terima berkisar antara 20%-30% per tahun, tergantung risiko bisnis yang didanai. Nominal saham yang dibeli adalah Rp5 juta per lembar dan bisa mendapatkan dividen dari bisnis tersebut secara berkala.

“Usaha yang kita biayai kebanyakan adalah franchise untuk F&B, lalu ada bidang jasa seperti laundry dan barber shop. Tahun depan kita mau perluas jenis usahanya, ada properti, tambak udang, dan masih banyak lagi, intinya kita ingin solve soal transparansi di bisnis tersebut,” ujarnya Selasa (17/12).

Beberapa usaha franchise yang didanai lewat Bizshare misalnya Flip Burger, Alfamart, Indomaret, Refit, Mr Montir, Fish Street, Kebab Baba Rafi, Holycow, dan Donburi Ichiya.

Setiap usaha yang akan didanai ini sudah melewati berbagai proses analisis oleh tim Bizshare. Beberapa komponen yang diperhatikan adalah unsur legalitas, analisa arus bisnis dan penilaian berdasarkan data-data keuangan, lokasi dan pasar, SWOT, dan risiko.

Perkaya fitur baru

Dalam Bizshare versi 2.0 ada sejumlah pengembangan fitur, di antaranya perubahan UI dan UX yang lebih ramah buat para investor, fitur Dashboard Investor untuk mengakses laporan keuangan, grafik perkembangan bisnis yang diinvestasikan, Tanya Admin untuk layanan investor relation yang permudah proses investasi.

“Kami juga merilis Bizshare versi PWA (Progressive Web Apps) untuk memudahkan investor mengakses seluruh fiturnya karena lebih mudah untuk di-maintain dan low cost. Dari sisi user, PWA juga sangat ringan [kapasitas memorinya],” tambah Co-Founder & CTO Giovanni Umboh.

Perilisan fitur ini, sambungnya, bertepatan dengan dikantonginya izin usaha sebagai pemain urun dana di bawah regulasi POJK Nomor 37 Tahun 2018, pada tanggal 6 November 2019.

Giovanni menyebut ke depannya perusahaan akan mengembangkan lebih banyak empat fitur tambahan. Yakni, perilisan secondary market untuk investor yang ingin menjual kepemilikan sahamnya (exit) di suatu usaha.

Lalu, investasi terlokalisasi untuk mendorong masyarakat sekitar menjadi investor di suatu usaha dekat tempat tinggal mereka dan menggaet banyak pemain di vertikal lain untuk mendigitalkan UKM.

Vincent menyebut fitur secondary market akan segera dirilis pada kuartal pertama tahun depan. Lantaran fitur ini sudah banyak diminta oleh para investor yang ingin exit dari satu usaha.

Berdasarkan regulasi dari OJK, penggalangan secondary market dilakukan secara terbatas hanya bisa dua kali dalam setahun. Harga saham yang dijual harus disesuaikan dengan harga pasar atau bid offer dari investor lain. “Nanti prosesnya ada di dalam platformnya, pembedanya hanya primary dan secondary market.”

Untuk mendukung seluruh rencana bisnis Bizshare, perusahaan akan menggalang pendanaan pra seri A pada pertengahan tahun depan. Saat ini perusahaan telah mengantongi pendanaan tahap awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Plug And Play Indonesia, Digitaraya, dan GDILab.

Likuid Tawarkan Skema “Crowdfunding” untuk Pendanaan Startup dan Industri Kreatif

Masih terbatasnya pendanaan yang bisa diperoleh perusahaan rintisan, menjadi alasan utama mengapa platform crowdfunding Likuid didirikan. Kepada DailySocial, CEO Likuid Kenneth Tali mengungkapkan bahwa sampai saat ini pendanaan untuk industri startup dan industri kreatif hanya dapat diakses oleh kalangan high net worth individuals, pada umumnya hanya sedikit orang yang mempunyai akses sana.

“Kita mendirikan Likuid untuk membuka akses pendanaan di industri ini ke lingkup masyarakat yang lebih besar, sehingga selain dapat didanai oleh venture capital atau business angel, sekarang proyek para entrepreneur juga dapat didanai oleh banyak orang, termasuk pengguna, pelanggan, dan juga komunitas mereka.”

Didirikan pada tahun 2018, Likuid memiliki latar belakang para pendirinya yang cukup beragam. Mereka adalah Budi Sukmana (COO) dan tiga orang advisor yaitu Felicitas Hakso, Soni Boedihardjo, dan Frans Kurniawan yang berpengalaman di bidang perbankan, pasar modal, dan teknologi.

“Likuid mencoba untuk memecahkan permasalahan pendanaan yang dialami entrepreneur, dari startup teknologi sampai industri kreatif seperti perfilman, musik, dan juga F&B. Kita mulai beroperasi di bulan Juli 2019 setelah mendapat status tercatat di regulatory sandbox OJK untuk cluster project financing crowdfunding,” kata Kenneth.

Tawarkan skema menarik untuk investor dan pencari dana

Sebagai platform crowdfunding, Likuid mencoba untuk menjembatani kebutuhan fundraiser untuk proyek mereka agar dapat didanai oleh investor besar dan kecil. Hingga saat ini Likuid telah memiliki lebih dari 100 High Networth Individuals (angels) yang bekerja sama dan mempercayai Likuid sebagai partner investasi mereka.

Likuid memiliki 3 proyek yang sedang dipersiapkan untuk public launch, 6 proyek yang masih dalam proses due diligence. Saat ini untuk investor, perusahaan baru membuka akses pendaftaran melalui situs dan juga akun media sosial Instagram. Sementara untuk akses investasi akan dibuka saat public launch.

Pencari dana (fundraiser) dapat terdaftar di Likuid setelah melewati proses due diligence, mereka dapat memuat profil proyek agar dapat diakses oleh para investor. Jangka waktu pendanaan maksimum 60 hari setelah profil proyek mereka dapat diakses oleh para investor.

Sementara untuk investor, setelah terverifikasi dapat memilih proyek mulai berinvestasi dari Rp250.000,00. Investor nantinya akan mendapatkan keuntungan setiap 3 atau 6 bulan, melalui skema bagi hasil. Model bisnis yang ditawarkan Likuid adalah melalui success fee sebesar 5%-7%.

“Saat ini, terus terang banyak dari proyek entrepreneur masih berbasis di Jabodetabek. Tapi kita juga sedang membangun kerja sama dengan beberapa instansi dan program inkubasi, untuk mempunyai akses ke para entrepreneur di luar Jabodetabek. Untuk investor, layanan kami dapat diakses oleh siapa pun dari seluruh penjuru nusantara,” kata Kenneth.

Target tahun 2020

Di tahun 2020 mendatang, selain pendanaan proyek, Likuid memiliki rencana untuk mendapatkan lisensi dari OJK sebagai penyelenggara layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi (equity crowdfunding). Dengan demikian diharapkan perusahaan dapat membuka akses pendanaan dalam bentuk saham untuk para entrepreneur.

Terdapat tiga kunci utama yang bakal diimplementasikan oleh Likuid tahun 2020 mendatang, di antaranya memperluas jaringan entrepreneur di bidang startup dan industri kreatif, bekerja sama dengan institusi pendanaan konvensional dan komunitas investor, dan bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk menciptakan iklim investasi alternatif yang lebih aman.

“Bagi kami, entrepreneur dan pelaku industri kreatif adalah kunci dari perkembangan inovasi dan kreativitas. Tugas kami memberi solusi pendanaan apa pun bentuknya,” kata Kenneth.

Sebelumnya ada juga Santara, tawarkan platform serupa untuk pendanaan UKM dan startup. Santara menjadi pemain platform equity crowdfunding (ECF) pertama yang mendapat izin untuk beroperasi secara penuh dari OJK tepat tanggal 18 September 2019.

Mengenal Santara, Platform “Equity Crowdfunding” untuk UKM

Santara menjadi pemain platform equity crowdfunding (ECF) pertama yang mendapat izin untuk beroperasi secara penuh dari OJK tepat tanggal 18 September 2019. Bila belum familiar dengan equity crowdfunding, sebenarnya ini gabungan dari p2p lending dengan nuansa pasar modal.

Sebab pembedanya, para lender ini mengambil saham yang dijual oleh borrower dan bisa menjualnya di pasar sekunder, layaknya membeli saham di perusahaan tercatat di BEI. Konsep ini bisa dikatakan masih baru, kalau mau tengok sedikit ke belakang, sebenarnya ini adalah bisnis awal dari Akseleran. Namun startup ini pivot ke p2p lending sejak tahun lalu.

Di sela-sela Indonesia Fintech Summit & Expo 2019, DailySocial menyempatkan diri menemui Santara. Co-Founder dan CEO Santara Reza Avesena menjelaskan, perjalanan bisnisnya sebenarnya dimulai dari dirinya dan sekelompok temannya yang senang bangun bisnis.

Pada 2012, timnya sepakat untuk mencari potensi bisnis yang bisa diakselerasi dalam waktu cepat dan bisa segera keluar dari zona UKM, omzetnya itu sekitar Rp400 juta per bulan.

“Modal kita dari nol, sewa garasi punya tetangga dan hanya ada satu penjahit untuk mulai usaha konveksi buat cover untuk motor dan mobil. Kita berhasil keluar dari zona UKM setelah 18 bulan. Akhirnya geser buat bisnis lain.”

Bisnis kedua adalah produksi tas, dalam setahun lolos dari zona UKM. Melanjutkan kembali ke bisnis ketiga, cetak foto online dan dibuatkan album foto. Usahanya laku keras, dalam sebulan keluar dari zona UKM.

“Semua bisnis kita ini tanpa modal, semuanya organik tidak ada investor dari luar, dan cashflow kita langsung positif.”

Kepercayaan diri ini membuat timnya dikenal seantero Yogyakarta dan memutuskan untuk masuk ke komunitas pebisnis. Tujuannya untuk membantu mereka yang ingin bisnisnya diakselerasi. Di situ terlihat bahwa isu utama yang sering dihadapi adalah modal.

Tercetuslah untuk mendirikan Santara pada tahun lalu. Fokusnya adalah komunitas yang dia bangun yang menjadi investor untuk mendanai usaha-usaha UKM yang telah dikurasi.

“Jadi pembeli [investor] kebanyakan dari para pembelinya sendiri, seperti Sop Ayam Pak Min Klaten yang telah memanfaatkan platform Santara ini. Kita bantu mereka bukan buat yang menutup cashflow, tapi bantu ekspansi usaha. Banyak yang sudah bertahun-tahun buka usaha tapi stuck tidak bisa ekspansi.”

Proses panjang menanti izin OJK

Tim Santara / Santara
Tim Santara / Santara

Santara baru berjalan dua bulan, sekitar September 2018, Reza harus berhadapan dengan OJK terkait praktik bisnisnya. Situs harus ditutup dan masuk ke internet positif sampai mengantongi surat tanda terdaftar. “Ini cukup menyakitkan karena kita masuk berita dan disebut sebagai investasi bodong.”

Komplain pun sempat dia layangkan ke Satgas Investasi, mengapa tidak ada peringatan sebelumnya. Pihak Satgas menjelaskan Santara tidak bisa beroperasi sebelum buat izin, sampai itu terbit bisnis harus ditutup.

“Kita mau comply dengan aturan, tapi model bisnis kita beda dengan IKD karena kita ini patungan untuk kepemilikan saham. Namun, posisinya saat itu POJK 37 tentang ECF masih berupa RPOJK jadi belum bisa urus izin. OJK melihat kami bisa jadi case study sebelum menerbitkan POJK.”

Pihaknya harus berkoordinasi dengan OJK bagian pasar modal dan diundang beberapa kali ke Jakarta untuk presentasi tentang bisnis mereka. Akhirnya OJK meresmikan aturan ECF pada tepat pada akhir tahun 2018.

Santara menjadi startup ECF pertama yang terdaftar di bawah payung hukum ini. Akan tetapi, perjuangan belum berhenti. Sebab, Satgas masih belum mengizinkan Santara beroperasi.

OJK ingin belajar dari kesalahan sebelumnya, bila di p2p lending, startup yang sudah terdaftar boleh beroperasi kembali, namun tidak kenyataannya untuk ECF. “Ternyata ECF itu enggak cukup buat terdaftar saja harus langsung punya izin. OJK itu ingin belajar dari kasus p2p lending banyak yang terdaftar tapi ada yang bermasalah.”

Kabar ini berdampak buruk buat internal perusahaan. Karyawan banyak yang resign, dari awalnya sekitar 50 orang kini hanya tersisa 30 orang saja. Tidak ada pemasukan dari Januari hingga Agustus 2019, artinya Reza dan tim harus putar otak untuk cari penghasilan tambahan.

Mereka memutuskan untuk membuat buku bisnis mengenai scale up. Menumpahkan seluruh pengalaman sebelum mendirikan Santara dalam buku tersebut dan Reza mengklaim laku keras. Hanya lewat jualan buku ini seharga Rp650 ribu, Santara berhasil menutup biaya overhead.

“Kami tidak berhutang ke sana ke mari ketika bisnis kami di-freeze. Sepanjang waktu itu internal kita benar-benar goyang. Proses recovery-nya ini panjang.”

Seiring berjalan waktu, Santara tetap membekali diri dengan berbagai persyaratan yang diminta OJK agar dapat menerima izin. Regulator menekankan mereka ingin startup tetap menjaga sistem, server berlokasi di Indonesia, semua data aman, dan sistem memenuhi CIA (Confidentiality, Data Integrity, Availability).

Startup ini juga melengkapi persyaratan untuk mendapat ISO 27001 dan tes ketahanan sistem yang diuji oleh pihak ketiga. Maksudnya untuk bantu berikan OJK pendapat kedua mengenai komitmennya dalam melindungi kepentingan konsumen.

“Karena kita berhasil membuktikan CIA, ini jadi alasan mereka untuk memberikan kita izin pada awal bulan ini. Senang sekali saat situs akhirnya di unblock.”

Perjalanan ini akhirnya mendorong OJK untuk menitahkan Santara mendirikan asosiasi khusus ECF. Di situ, Santara bisa berbagi pengetahuan kepada sesama pemain. Secara total, saat ini ada sembilan startup yang bergerak di ECF. Kebanyakan mereka berlokasi di Jakarta.

“Teman-teman setuju, supaya pas untuk bantu mereka memenuhi izin, sekarang masih koordinasi.”

Model bisnis dan rencana Santara berikutnya

Reza menekankan saat ini Santara baru fokus membiayai usaha skala kecil dan menengah yang mencari pendanaan antara Rp500 juta sampai Rp5 miliar. Proses screening yang dibutuhkan sebelum usaha bisa didanai, cukup panjang sekitar 1-2 bulan.

Dia mengakui proses ini memang melelahkan apalagi UKM ini banyak yang belum paham mengenai tata kelola pencatatan yang baik. Terlebih lagi, jarang ada yang sudah berbadan hukum PT. Oleh karenanya, dia mensyaratkan usaha yang mau masuk harus sudah menjadi PT, karena hanya PT yang sahamnya bisa disebar.

“Biasanya pemilik itu banyak yang malas untuk mengurus PT, tapi kami biasanya selalu memberikan pernyataan jitu, “Tidak ada perusahaan sukses yang tidak PT, kalau tidak mau besar ya, lebih baik tidak usah.”

Santara menempatkan diri sebagai pendamping dan mengajarkan empat komponen. Bagaimana pembukuan yang benar, tata kelola keuangan yang benar, pembayaran pajak yang benar, baru setelah itu bicara tentang harta perusahaan.

Usaha yang bisa masuk ke platform juga tidak sembarang. Minimal sudah berdiri lima tahun, apabila bergerak di bisnis kuliner minimal makanan yang mereka jajakan bersifat timeless, bukan hit pada saat tertentu saja.

“Setelah memenuhi empat komponen, baru kita buatkan prospektus untuk prediksi bisnis mereka buat investor baca. Kami mendorong pemilik untuk tetap mengendalikan saham mereka karena tujuannya kan buat sustain bisnis dan long term.”

Sedangkan untuk investor, mereka harus terverifikasi terlebih dahulu. Tiap usaha, maksimal bisa didanai oleh 300 orang investor. Nominal dananya tergantung proyek yang ada. Akan tetapi, sesuai POJK, maksimal hanya bisa mendanai usaha 5% dari penghasilan tahunan apabila sebesar Rp500 juta. Di atas itu, maksimal 10%.

Hingga kini berdiri, Santara telah menyalurkan pembiayaan untuk 15 usaha senilai lebih dari Rp5 miliar. Usaha ini kebanyakan bergerak di bidang kuliner, properti, peternakan, dan perikanan. Adapun jumlah investor yang bergabung mencapai 1.082 orang, mayoritas berada di Jakarta.

Setiap bisnis yang berhasil terdanai penuh, Santara mengutip komisi sebesar 10%. Dia beralasan, untuk menyukseskan tiap proyek pembiayaan banyak pendampingan yang mereka lakukan, mulai dari membuat edukasi finansial, buat prospektus, pasang iklan online, dan sebagainya.

Apabila investor ingin menjual saham mereka, Reza menyiapkan pasar sekunder yang hanya membuka slot dua kali dalam setahun. Akan tetapi, dia belum menetapkan kapan waktunya. “Semangatnya ini buat investasi jangka panjang, jadi slot hanya kita buka dua kali saja setahunnya. Mengenai bulannya belum kita tentukan.”

Untuk percepat proses, saat ini timnya sedang membangun sistem berteknologi AI agar semakin cepat dalam screening-nya, tidak lagi harus menunggu sampai dua bulan. Berikutnya, pasca mengantongi izin, Reza tidak ingin terlalu agresif dalam memberikan pinjaman.

Justru perlahan-lahan, setidaknya dia menargetkan Santara dapat mendanai satu atau dua usaha tiap bulannya. “Kita mau jaga kepercayaan, agar investor tetap aman. Selain itu kami berencana buka kantor perwakilan di Jakarta untuk permudah bisnis dan komunikasi dengan OJK,” pungkasnya.

Bizhare Selenggarakan Konferensi, Edukasi Masyarakat tentang “Equity Crowdfunding”

Pengembang platform equity crowdfunding untuk bisnis franchise Bizhare baru-baru ini sukses menyelenggarakan acara bertajuk “Bizhare Investment Conference 2019” di Rombak Event Space, Menara by Kibar Jakarta. Acara ini dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari investor bisnis dan masyarakat umum yang ingin mulai berinvestasi melalui mekanisme equity crowdfunding.

Mekanisme equity crowdfunding sederhananya ialah mengajak masyarakat umum untuk berinvestasi membangun sebuah bisnis. Keuntungannya masing-masing orang akan mendapatkan jatah kepemilikan sesuai dengan modal yang disetor. Bizhare sendiri mengembangkan platform untuk mengakomodasi proses transaksi penanaman modal tersebut.

Mengusung tema “Investing Business in Digital Era”, Bizhare menghadirkan pemateri dari berbagai kalangan; mulai dari pebisnis, asosiasi, praktisi investasi, hingga pemilik franchise. Acara ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan seputar strategi pengelolaan keuangan dan bagaimana menjalankan usaha di bisnis franchise yang bisa bersaing dan dapat diterima di masyarakat, serta sebagai ajang networking antara investor dengan franchisor terbaik di Indonesia.

Konferensi dibuka oleh CEO & Co-Founder Bizhare Heinrich Vincent, dalam sambutannya ia mengatakan, “Acara ini kami buat supaya peserta bisa mengetahui langsung tentang seluk beluk bisnis yang akan mereka investasikan, sekaligus bagaimana dengan modal Rp5 juta saja kita semua bisa ikut memiliki bisnis franchise besar bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah, yang tadinya hanya untuk kalangan menengah atas saja.”

Franchisor yang diundang sebagai pembicara sebagian besar telah bekerja sama dengan Bizhare, sehingga siapa saja yang ingin membuka usaha franchise tersebut, namun modalnya masih terbatas, bisa dibantu untuk berinvestasi bersama-sama investor lainnya melalui Bizhare.

Di acara Bizhare Investment Conference kemarin, juga menjadi ajang bagi Bizhare juga memperkenalkan produk-produk terbaru yang akan segera di rilis dalam waktu dekat, untuk memudahkan investor dalam berinvestasi seperti Fastpass, Top up dan Pay with Wallet, serta Secondary Market.

“Diharapan dengan acara ini, lebih banyak masyarakat Indonesia yang mulai paham bagaimana strategi mengelola keuangan dan berinvestasi bisnis yang tepat, sehingga bisa meraih kebebasan finansial mereka,” ujar Vincent.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Bizhare Investment Conference

Memanfaatkan Platform Crowdfunding untuk Kegiatan Sosial dan Modal Usaha

Platform crowdfunding saat ini sudah menjadi alternatif komunitas, individu dan masyarakat untuk menggalang dana secara independen. Mulai dari biaya pendidikan, kesehatan, modal usaha hingga acara sosial. Didukung dengan teknologi, transparansi dan keamanan yang ditawarkan crowdfunding dinilai lebih relevan.

Salah satu layanan crowdfunding yang mencoba untuk meng-cater kebutuhan tersebut adalah IndoGiving, platform crowdfunding yang baru berdiri 5 bulan lalu dan menargetkan pengguna dari kalangan milenial.

“Alasan utama mengapa kami menargetkan kalangan milenial, karena ke depannya mereka yang akan menjadi pemimpin di Indonesia. Selain itu kita juga ingin membiasakan kalangan milenial untuk ‘berbagi’ menjadi bagian dari gaya hidup,” kata CMO IndoGiving Jessica Sugandi dalam sesi #Selasastartup DailySocial.

Di Indonesia saat ini sudah banyak platform crowdfunding yang dapat digunakan oleh masyarakat. Mulai dari Kitabisa, Gandengtangan, Indiegogo, Kolase dan masih banyak lagi. Semua memiliki komunitas, organisasi hingga pengguna aktif.

IndoGiving menegaskan perbedaan yang dimiliki dibanding platform lainnya adalah konsep “sinergi” yang lebih dikedepankan dibandingkan kolaborasi.

“Dengan sinergi semua bisa ambil bagian tanpa adanya bagian untuk masing-masing. Di IndoGiving kami mengedepankan transparansi, mulai dari data pemberi hingga payment gateway yang kami gunakan,” kata Jessica.

Menyadari pentingnya menumbuhkan kepercayaan kepada pengguna dan pemberi donasi, IndoGiving juga memastikan mulai dari proses, prosedur hingga pemilihan komunitas, organisasi yang ingin memanfaatkan platform IndoGiving dikurasi dengan baik didukung dengan teknologi.

Dukungan OJK untuk platform crowdfunding

Saat ini bukan hanya keperluan sosial dan edukasi, crowdfunding juga mulai banyak dimanfaatkan oleh pelaku UKM hingga startup untuk mendapatkan tambahan modal.

Melihat peluang tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian memberikan ruang bagi perusahaan kecil dengan modal kurang dari Rp30 miliar untuk melakukan penghimpunan dana dari publik di luar pasar modal. Mekanisme ini dinamakan Layanan Urun Dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi equity crowdfunding.

OJK telah menerbitkan peraturan terkait crowdfunding melalui penawaran saham berbasis teknologi. Aturan tersebut tertuang dalam POJK Nomor 37/POJK.04/2018 pada 31 Desember 2018.

Lewat aturan ini, OJK menjelaskan sebagai otoritas pengawasan, menerapkan pendekatan pengawasan berbasis market conduct pada kegiatan urun dana. Dengan pendekatan ini OJK mendorong keterbukaan informasi oleh penerbit, terbentuknya penyelenggara yang kredibel, serta terbangunnya sistem TI yang aman dan andal dalam kegiatan urun dana.

Menggapi aturan yang telah dirilis oleh OJK, Bekraf juga menyambut baik keputusan tersebut. Sehingga bisa memunculkan lebih banyak lagi peluang UKM untuk mengembangkan bisnis, memanfaatkan platform crowdfunding.

OJK Segera Perbolehkan UKM Cari Pendanaan Tanpa IPO di BEI

OJK dalam waktu dekat akan merilis aturan baru untuk mempermudah UKM, termasuk startup teknologi, mencari pendanaan tanpa harus melalui proses IPO di Bursa Efek Indonesia. UKM bisa menempuhnya melalui skema equity crowdfunding.

“Akan dibahas saat Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulan ini. Sekitar 15 hari atau sebulan (setelah RDK) akan diundangkan Kementerian Hukum dan HAM,” terang Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Luthfy Zain Fuad, dikutip dari Katadata.

Menurutnya, skema yang dipakai aturan ini tidak jauh berbeda dengan penawaran saham publik di pasar modal. Bedanya aturan ini ditujukan untuk perusahaan skala kecil dan melibatkan tiga pihak, yakni penerbit (perusahaan yang membutuhkan modal), penyelenggara atau platform, dan pemodal atau investor.

Perusahaan yang membutuhkan dana akan menyampaikan kepada platform untuk mengambil dana masyarakat. Platform akan melakukan kajian kelayakan perusahaan yang menghimpun modal. Setelah kelengkapan selesai, platform menampilkan penawaran agar publik bisa membeli saham tersebut.

Aturan detail

Luthfy menjelaskan lebih jauh, ada aturan main yang harus diperhatikan berbagai stakeholder sebelum meraup dana publik.

Aturan yang dikenakan untuk penyelenggara: (i) mereka harus berbentuk PT atau koperasi, (ii) wajib mengajukan perizinan ke OJK dan memiliki permodalan di atas Rp2,5 miliar, (iii) harus memiliki keahlian di bidang IT. Penyelenggara berfungsi tidak hanya memasarkan saham. (iv) Mereka wajib meninjau terlebih dahulu kondisi penerbit, termasuk dari sisi laporan keuangan. Penyelenggara juga harus memiliki SDM yang ahli melakukan peninjauan tersebut.

Laporan keuangan penerbit yang diminta OJK minimal disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-ETAP) non audited. Persyaratan ini dianggap lebih ringan dibandingkan jika penerbit mencari pendanaan lewat perbankan. Biayanya pun juga lebih efisien.

Persyaratan penerbit yang ingin melepas sahamnya: (i) mereka harus berbadan hukum PT, (ii) memiliki kekayaan di bawah Rp10 miliar, di luar tanah, dan bangunan, (iii) tidak boleh dikendalikan oleh suatu kelompok usaha (konglomerasi) baik secara langsung maupun tidak langsung, (iv) juga tidak diperbolehkan untuk perusahaan yang sudah berstatus terbuka (Tbk) ataupun anak usaha Tbk.

Investor yang membeli saham UKM akan menerima jatah deviden saat perusahaan tersebut mendapat laba. Investor juga berhak memberikan suaranya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

OJK membatasi investor yang bisa berpartisipasi ini dengan ketentuan: (i) mereka yang memiliki penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun, berinvestasi maksimal 5% dari penghasilannya, (ii) untuk investor dengan penghasilan di atas Rp500 juta maksimal investasinya 10% dari penghasilan.

“Setiap pihak dapat menjadi pemodal di skema equity crowdfunding ini dengan ketentuan tersebut.”

OJK memberi pengecualian bagi investor yang berbentuk badan hukum, mereka dapat menyuntikkan modal tanpa nilai maksimal. Pengecualian juga diberikan untuk investor yang memiliki pengalaman investasi di pasar modal minimal dua tahun dengan dibuktikan dengan kepemilikan rekening efek.

Di tahapan equity crowdfunding, penerbit harus menyampaikan kelengkapan dokumen kepada penyelenggara untuk dipelajari lebih dalam. Setelah selesai, penawaran saham akan ditampilkan ke publik dan investor dapat mendaftarkan diri dan membeli saham melalui penyelenggara.

Investor akan membayar lewat escrow account yang disiapkan penyelenggara. Penerbit menyerahkan sahamnya ke penyelenggara untuk didistribusikan ke investor. Penghimpunan dana dari investor memiliki beberapa ketentuan yang akan diatur OJK. Nilai penawaran saham oleh satu UKM hanya Rp10 miliar dengan jangka waktu penawaran selama 12 bulan.

Penerbit saham boleh memecah nilai Rp10 miliar dalam beberapa kali penawaran. Masa tiap penawaran adalah selama 60 hari dan hanya dapat menawarkan saham melalui satu penyelenggara dalam waktu yang bersamaan.

Penawaran saham akan batal jika minimal dana yang ditargetkan perusahaan tidak terpenuhi selama 60 hari tersebut. OJK mewajibkan penerbit untuk menyampaikan laporan tahunan dan mengumumkannya ke masyarakat melalui penyelenggara.

Risiko untuk investor

Kendati instrumen investasi untuk UKM ini memiliki banyak keuntungan, namun dia menekankan ada risiko yang perlu diwaspadai. Contohnya (i) risiko investor tidak mendapat dividen apabila perusahaan tidak untung.

Berikutnya risiko saham perusahaan tidak likuid, bahkan risikonya lebih tinggi daripada perdagangan di pasar modal pada umumnya karena tidak memiliki pasar yang tersedia, sehingga ada (ii) risiko capital loss.

“Tidak ada kewajiban bagi penyelenggara untuk membuat sarana perdagangan sekundernya. Tapi dalam aturannya, kami memberikan kesempatan bagi penyelenggara untuk menyediakan sarana perdagangan sekundernya.”

Berikutnya, (iii) risiko dilusi kepemilikan karena saham penerbit bisa saja menawarkan saham seperti skema rights issue kepada publik lainnya tanpa menawarkan kepada pemegang saham yang sudah ada.

(iv) risiko kegagalan operasional dari penyelenggara meski mereka diwajibkan memiliki sistem yang aman dan andal menurut UU ITE. (v) risiko informasi asimetris dan kualitas informasi yang diberikan oleh penebit kepada publik, seperti laporan keuangan yang berbasis SAK-ETAP non audited.

Meski memiliki banyak risiko yang dihadapi investor, berinvestasi di instrumen ini memang sedikit unik. Berkaca pada skema pendanaan yang sama di luar negeri, biasanya investor equity crowdfunding memang diperuntukkan buat investor yang tertarik pada perusahaan rintisan seperti UKM.

“Di luar negeri, mereka mengenal sebutan angel investor. Mereka burn money dulu.”

Setelah perusahaan tumbuh semakin besar, investor akan mendorong perusahaan untuk go public. Manfaat baru diperoleh ketika modal perusahaan semakin besar dan akhirnya menjadi perusahaan publik.

OJK Prepares “Equity Crowdfunding” Policy Draft

The Financial Services Authority (OJK) is preparing a policy draft regarding public fundraising through equity crowdfunding. OJK calls it “Layanan Urun Dana”. The regulator is said to wait for responses from related industry and community regarding the draft.

“The target is to finish it soon,” Sekar Putih Djarot, OJK’s spokesperson explained, quoted from Kontan.

She mentioned that the Layanan Urun Dana is different from the initial public offering (IPO) in IDX. As seen from the scale of the stock offering, the value is lower. The offering process will be all electronic as determined by the operator.

“This could be an alternate funding for SMEs and startups. It also helps the development of startups in Indonesia.”

Inarno Djayadi, IDX’s President Director, gave a positive response regarding OJK’s plan. “It’s good for SMEs,” he said.

Kiswoyo Adi Joe, Narada Asset Management’s Head of Research added, this step brings out the positive impact on the domestic capital market, in fact, it’ll increase product diversity in the local market.

He assumed the online stock sale will not stand in the way with BEI step in making opportunities for the small-asset value companies to conduct initial public offering through a stock exchange.

“The implementation is awaited, whether it’s supporting each other or only add a different variant of products,” Joe explained.

Equity crowdfunding regulation draft

In the equity crowdfunding regulation draft, OJK determines the operator may be a PT in the form of securities firm with OJK approval to be an operator; coop; and having a minimum capital of Rp2.5 billion.

In terms of publishers, OJK confirms it has to be a PT; not having a complex structure in finance or commercial; not a public company; and not a company with a value over Rp10 billion, excluding land and buildings.

In terms of investors, OJK set the income rate under Rp500 million per year to be able to purchase stock up to 5% of its income per year; investors with an income over Rp500 million per year can purchase stock up to 10% of its income per year.

It was mentioned in the draft that the maximum limit of stock offering is Rp6 billion per year; offering can be made more than once in a year; publishers can set a minimum target for fundraising; if it doesn’t meet the amount, stock offering is cancelled and investor’s fund must be returned within two days.

Thus, the offering period must be no longer than 30 days; the operator may hold the secondary market but the trade will only available between registered investors; if there’s any secondary market, the operator shall provide a reasonable price as the reference.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian