Potensi “Exit” di Tahun 2021 di Mata Pendiri Startup dan Investor

Di Indonesia, strategi exit yang memungkinkan investor dan founder untuk mencairkan kapitalnya cenderung belum umum menjadi pemikiran sentral. Meskipun demikian, untuk mendorong iklim bisnis yang lebih sehat, setiap startup yang sudah matang sebaiknya memikirkan strategi yang memungkinkan kapital dari dana ventura diputar kembali di ekosistem.

Strategi exit yang efektif idealnya harus direncanakan untuk setiap kemungkinan positif dan negatif. Positif jika bisnis berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sementara negatif jika bisnis tidak sesuai dengan harapan.

CEO Prasetia Dwidharma dan Venture Partner MDI Ventures Arya Setiadharma mengatakan, “Ketika Anda memulai sebuah startup, Anda sudah harus memiliki exit strategy, baik melalui IPO atau trade sale. Inilah yang dibutuhkan perusahaan modal ventura. Anda harus dapat mengkomunikasikannya dengan baik, karena dana perusahaan modal ventura harus keluar pada akhirnya.”

DailySocial mencoba memahami kapan dan bagaimana seharusnya startup melakukan exit, baik melalui go public atau melalui merger dan akuisisi (M&A), dengan berdiskusi dengan beberapa pendiri dan investor.

Kesiapan startup

Belum banyak startup Indonesia yang exit melalui IPO. Masih bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan exit terjadi melalui kendaraan M&A. BEI sendiri telah memberikan opsi papan akselerasi dan papan pengembangan untuk mendorong lebih banyak startup mencari kapital di pasar modal.

Tahun 2020 lalu, startup fintech Cashlez melantai di Bursa Efek Indonesia dan tercatat di papan akselerasi.

Reynold Wijaya, CEO Modalku, salah satu startup p2p lending terdepan di Indonesia, mengungkapkan, mereka belum memiliki rencana dan enggan membicarakan lebih jauh tentang strategi exit.

“Menurut kami, IPO belum memiliki urgensi untuk saat ini. IPO merupakan satu hal yang tidak kita pikirkan secara konstan karena dinamika industri startup bergerak sangat cepat. Prioritas utama adalah fokus terhadap perkembangan perusahaan itu sendiri dan menjaga agar bisnis tetap stabil.”

Ditambahkan Reynold, waktu ideal IPO untuk setiap perusahaan pasti berbeda. Tidak ada satu opsi yang mutlak, karena harus disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan startup bersangkutan. Tantangan yang mungkin ditemui adalah pemenuhan persyaratan regulator.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu untuk mengembangkan fundamental dan bisnis. Exit maupun IPO merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UKM yang berpotensi,” kata Reynold.

Hal senada diungkapkan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin. Ia mengatakan perusahaan belum akan merealisasikan IPO dalam waktu dekat. Dengan target bisnis yang dimiliki tahun ini, pihaknya masih berkomitmen untuk tumbuh dan mengejar profitabilitas.

“Kami masih ingin berdikari dan menjalankan Bukalapak sebagai standalone company,” paparnya.

Kendati demikian, Rachmat menyebut bahwa pihaknya terbuka terhadap opsi IPO. “IPO adalah salah satu opsi untuk bisa mendapatkan dana dan memang perusahaan teknologi di masa tertentu ingin IPO. Kami terbuka dengan opsi itu dan sekarang sedang siapkan infrastrukturnya.”

Dukungan perusahaan modal ventura

Sebagai corporate venture capital (CVC) kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) memiliki total kelolaan Rp1 triliun sejak berdiri pada tahun 2015.

CEO MCI Eddi Danusaputro menuturkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan exit. Di tahun 2020 lalu, mereka exit melalui IPO di Cashlez dan melalui M&A untuk Moka (yang diakuisisi Gojek). Exit di Moka berbentuk tunai dan saham minoritas di Gojek.

“Menurut saya, waktu terbaik bagi startup untuk mulai [memikirkan] exit strategy adalah [sejak awal] [..]. Startup sudah harus segera memikirkan rencana roadmap mereka, terutama jalan untuk menuju profitabilitas,” kata Eddi.

Menurut Eddi, IPO tidak selalu menjadi pilihan utama bagi startup. Jalur lain yang bisa dipilih adalah melalui penjualan perusahaan. Setiap perusahaan modal ventura memiliki pilihan waktu yang beragam, bisa 5 hingga 8 tahun ke depan.

“Pada akhirnya ketika IPO, M&A, atau jalur lainnya yang telah dipilih, akan terjadi perubahan dinamika dalam manajemen di perusahaan. Startup yang dibeli oleh perusahaan besar atau unicorn akan fokus ke integrasi. Sedangkan startup yang memilih jalur IPO akan menambah fokus ke short term results, karena ada tujuan agar harga saham bisa terus naik,” ujar Eddi.

Sementara menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, Inc, waktu yang tepat bagi startup untuk bisa melantai di bursa adalah, ketika startup berhasil meraih pertumbuhan year-on-year (YoY) yang positif dalam waktu 5 tahun terakhir dan telah memperoleh pendapatan hingga $50 juta.

Sebagai perusahaan modal ventura, CyberAgent berupaya mendorong startup yang tergabung dalam portofolio mereka untuk berada pada pertumbuhan yang stabil dan sustainable. Portofolio CyberAgent yang santer diberitakan melantai di bursa saham dalam waktu dekat adalah Tokopedia.

“Hal tersebut karena IPO merupakan jalur yang paling ideal untuk bisa menjadi perusahaan yang besar hingga 3 atau 4 kali lipat dari ukuran perusahaan sebelumnya. Oleh karena itu, kami selalu mendorong perusahaan portofolio kami untuk memahami sepenuhnya game plan mereka, tidak hanya untuk 1 atau 2 tahun ke depan tetapi juga untuk 10 tahun ke depan,” kata Kevin.

SPAC sebagai jalur go public alternatif

Selain IPO secara konvensional, jalur go public yang setahun terakhir sangat populer di kalangan startup adalah Special Purpose Acquisition Company (SPAC). Proses IPO konvensional yang terbilang rumit, mahal, dan memakan waktu membuat SPAC menjadi jalur alternatif ideal, termasuk startup Asia Tenggara. Lebih dari 200 SPAC telah go public dan mengumpulkan dana sekitar $70 miliar. Tentu saja SPAC bukan tanpa risiko.

“SPAC pada dasarnya adalah blank check vehicle. Meskipun ini dapat menjadi cara mudah bagi investor untuk mencari likuiditas, hal ini dapat menyebabkan perilaku yang tidak baik yang berpotensi menyebabkan persoalan lebih lanjut ke depannya. Di sisi lain, IPO membutuhkan persyaratan yang lebih ketat. Ini adalah cara yang telah teruji selama beberapa dekade, untuk membawa perusahaan ke publik,” kata Tania Shanny Lestari dari OpenSpace Ventures.

SPAC menawarkan rute yang lebih cepat bagi perusahaan agar bisa tumbuh untuk bisa memasuki pasar lebih cepat dan memiliki transparansi harga yang lebih baik. Namun, hal tersebut sangat bergantung pada siapa orang/sponsor yang menjalankan SPAC.

“Sebagai perusahaan modal ventura yang berfokus pada startup tahap awal, SPAC tentunya akan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi kami, karena dapat memberikan potensi exit yang jauh lebih cepat tetapi dengan harga yang masih cukup baik.”

Menurut Managing Partner IndoGen Capital Chandra Firmanto, jalur exit mandiri adalah yang terbaik. Namun jika mereka tidak bisa melakukan proses tersebut, jalur SPAC yang dilakukan secara bersama dengan perusahaan lain, lebih memungkinkan untuk dilakukan.

“[..] Pada akhirnya menciptakan sinergi dan ekosistem baru untuk bisa bertahan dan bersaing dengan perusahaan yang jauh lebih besar,” kata Chandra.

Perlukah Strategi “Exit” Startup Dipersiapkan Sejak Awal

Antara merger, akuisisi, dan IPO, mana strategi exit yang tepat untuk startup Anda? Apakah founder startup perlu mempersiapkan strategi exit sejak awal? Jawaban pertanyaan tersebut perlu dilihat dari berbagai sisi.

Menurut Partner Golden Gate Ventures Michael Lints, saat awal startup berdiri sangat sulit untuk membuat strategi exit. Saat itu, founder akan disibukkan untuk mencari tahu product market fit, retensi pengguna, roadmap produk, dan bagian penting bisnis lainnya, sehingga memikirkan strategi exit hampir mustahil karena masih terlalu dini.

Di sisi lain, investor ingin founder fokus bangun bisnis mereka, menambah value dengan distraksi sedikit mungkin. Pepatah mengatakan bahwa perusahaan yang kuat dapat menggalang dana (atau exit). Exit itu sendiri merupakan tonggak penting buat perusahaan — bukan berarti founder yang exit.

Kapan dan bagaimana exit yang tepat

Lints menuturkan, waktu dan strategi exit sangat penting untuk memaksimalkan keuntungan dari perusahaan dan investor. Pada kenyataannya, tidak ada yang bisa memprediksi kapan hal tersebut datang karena tidak ada yang bisa memprediksi masa depan.

“Mitos pertama adalah rencana exit startup membuahkan hasil. Terlalu banyak situasi tak terduga untuk memprediksi seperti apa jalan keluar pada lima atu tujuh tahun kemudian.”

Realita kapan harus keluar harus didukung strategi antara founder dan investor. Ibarat menata rumah, seluruh proses perlu dilakukan secara teratur. Tidak masalah apakah Anda sedang bersiap untuk exit atau putaran penggalangan dana tahap akhir, sebab Anda ingin memastikan rumah dalam keadaan rapi.

Berikut ini adalah beberapa checklist yang perlu disiapkan jika sudah berpikir untuk melakukan exit:

  1. Apakah semua laporan keuangan sudah terkini dan diaudit? Sebab acquirer ingin meninjau aspek penting ini. Jika tidak diaudit, perusahaan perlu memberikan argumen jelas mengapa demikian.
  2. Apakah semua prosedur perusahaan sudah ada dan didokumentasikan?
  3. Bagaimana proyeksi bisnis berdasarkan historis laporan keuangan?
  4. Bagaimana prospek perusahaan, produk dan peta jalan industri?
  5. Apa skenario exit untuk semua pendiri, staf dan pemegang saham? Dalam kasus keuntungan, apakah insentif selaras?

Secara terpisah, DailySocial juga meminta pandangan investor lokal terhadap hal ini. CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro menuturkan, strategi exit itu sudah harus dipersiapkan secara jeli oleh founder saat memetakan roadmap — saat memulai putaran pendanaan dari tahap awal hingga seterusnya.

Di mata investor, strategi exit itu artinya bisa menjual saham di startup pada investor lain atau melalui IPO.

“Idealnya startup sudah ada roadmap, termasuk fundraising dan exit, karena investor pasti nanya.”

Menurutnya, founder pasti sadar betul bahwa investor butuh exit setelah berinvestasi sekian lama. Mayoritas VC mengelola dana dari sekumpulan investor, alias bukan uang VC itu sendiri.

Oleh karena itu, investor juga punya andil untuk mengarahkan portofolionya tipe-tipe exit yang cocok untuk masing-masing portofolionya. “Ada yang cocoknya IPO dan ada yang cocoknya misalnya dibeli oleh unicorn, dan lain-lain.”

MCI sendiri sudah exit untuk dua portofolionya, yakni Moka (saat diakusisi penuh oleh Gojek) dan Cashlez (saat IPO pada Mei 2020).

“Semakin terjadi investasi dan divestasi, ekosistem startup dan VC akan semakin sehat.”

Pandangan founder startup

Mengungkap strategi exit suatu startup ke publik bukan menjadi suatu kewajiban seorang founder, namun melihat pandangan mereka tentang strategi exit menarik untuk disimak. DailySocial menghubungi dua founder startup dari Modalku dan Super (Nusantara Technology) untuk memberikan pandangannya terhadap isu ini. Keduanya sama-sama telah mengantongi pendanaan dari pihak eksternal.

Co-Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memandang strategi exit tidak memiliki urgensi yang penting. Ia beralasan karena exit adalah suatu hal yang tidak dipikirkan secara konstan karena dinamika industri startup yang bergerak cepat, sehingga tidak tepat untuk fokus ke hal-hal lain selain mengembangkan perusahaan itu sendiri.

“Bagi saya, fokus utama ketika menjalankan sebuah startup harus selalu mengembankan fundamental dan bisnis. Exit merupakan byproduct dari hal tersebut. Di Modalku sendiri, kami selalu fokus untuk terus berinovasi dan mengembangkan produk layanan kami agar bisa memberikan akses pendanaan dan menjangkau lebih banyak UMKM yang berpotensi,” papar Reynold.

Meskipun demikian, ia berpendapat opsi exit untuk setiap perusahaan pasti berbeda-beda. Tidak ada satu opsi yang cocok untuk diimplementasikan untuk seluruh jenis startup karena perlu disesuaikan dengan kondisi bisnis dan pertumbuhan perusahaan.

“Fokus utama kami bukan untuk mempersiapkan strategi exit, melainkan untuk mengembangkan perusahaan dan menjangkau lebih banyak UMKM di Indonesia untuk mewujudkan dunia keuangan Indonesia yang lebih inklusif.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan CEO Super Steven Wongsoredjo. Super adalah aplikasi social commerce yang dijalankan Nusantara Technology.

Steven menuturkan, ketika pihaknya memutuskan untuk merintis Super, ia tahu bahwa tim akan berjuang sampai titik darah penghabisan. Menurutnya, skenario exit terbaik adalah kondisi di mana aplikasi Super dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan dan berdampak pada masyarakat.

“Artinya kami menciptakan bisnis yang berdampak pada masyarakat dan pemangku kepentinngan. Oleh karena itu, bagian ekuitas dari investor dan founder akan menjadi hot deal di pasar likuid.”

Super sendiri masih tergolong baru di ranah social commmerce. Layanan ini didirikan sekitar dua tahun lalu. Untuk itu, di proses perintisan Super, tim bekerja keras membangun product market fit yang sesuai dengan target konsumennya di kota lapis dua dan tiga.

“Fakta menariknya, saya tidak mengambil gaji selama dua tahun di perusahaan ini. Sebab hal yang paling mendesak adalah menemukan product market fit dan menumbuhkan perusahaan, yang akan membawa keuntungan nantinya.”

Steven berpandangan, buat startup Indonesia, cara terbaik adalah melikuidasi saham lewat pasar swasta untuk jangka pendek. Maka dari itu, perlu ada diskusi antara investor lama untuk menentukan kapitalisasi agar mendapat keputusan terbaik yang menguntungkan semua pihak.


Gambar header: Depositphotos.com

Mendiskusikan Strategi “Exit” Startup Bersama Pemodal Ventura

Selain mendapatkan profit dari startup yang mereka danai, pada akhirnya tujuan akhir dari sebuah venture capital adalah exit. Meskipun IPO bukan menjadi satu-satunya pilihan, namun bagi kebanyakan startup langkah ini menjadi tujuan utama.

Di Indonesia sendiri kebanyakan proses merger and acquisition (M&A) banyak dilakukan korporasi hingga startup. Namun di luar negeri seperti Jepang misalnya, IPO lebih banyak dipilih oleh startup.

Menurut Ryu Hirota dari Spiral Ventures, jika seorang founder tidak memiliki rencana exit strategy yang tepat, sulit bagi investor untuk kemudian memberikan dukungan kepada mereka. Ada baiknya ketika proses fundraising dilakukan, mereka sudah memiliki strategi tersebut.

“Sebagai VC kami tentunya ingin mendukung startup secara finansial hingga added value lainnya. Namun berbeda dengan startup di Jepang yang didukung oleh pihak terkait untuk melakukan IPO, di Indonesia belum banyak startup yang kemudian melakukan IPO dengan pertimbangan yang ada,” kata Ryu.

Secara umum dengan dana hasil IPO, sebuah startup dapat ekspansi ke level lebih tinggi. Namun di samping potensi mengantongi uang yang sangat besar, IPO juga punya tantangan lain meski perjalanan menuju lantai bursa tidaklah mudah.

“Kami melihat banyak startup berbasis teknologi yang terbilang masih belia usianya sudah mengajukan proses IPO di Jepang. Hal ini bisa terjadi karena Tokyo Stock Exchange memiliki dedicated team yang bisa membantu startup melancarkan rencana IPO mereka,” kata Elsia Kwee dari Genesia Ventures.

Merger dan akuisisi pilihan startup Indonesia

Dalam artikel sebelumnya DailySocial mencatat, startup yang mengambil aksi M&A masih lebih besar ketimbang mereka yang memilih melantai di bursa saham. Startup Report 2018 dari DailySocial menunjukkan sepanjang tahun 2018 startup yang melakukan M&A sebanyak 12 perusahaan, sedangkan mereka yang mengambil IPO 4 perusahaan saja. Salah satu manfaat dari M&A, yang kadang juga jadi motivasi, adalah mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan.

Menurut Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital, proses IPO merupakan proses yang sepenuhnya mengandalkan angka. Pastikan startup telah memiliki profit dan pertumbuhan bisnis yang positif sebelum proses IPO dilakukan. Namun jika memang belum siap, proses M&A memang menjadi pilihan terbaik dan ternyata paling banyak dilakukan oleh startup di Asia Tenggara.

Bagi mereka yang memiliki rencana untuk melakukan merger dan akuisisi, pastikan perusahaan yang diincar bisa memberikan keuntungan untuk bisnis startup. Dan tentunya jangan ragu untuk mencari dukungan lebih dari venture capital yang telah memberikan funding kepada startup.

“Untuk kami sendiri selain jaringan lokal kami juga memberikan peluang kepada startup yang masuk dalam portofolio kami untuk diakuisisi oleh perusahaan Jepang yang relevan dengan bisnis startup. Dengan demikian peluang untuk melakukan proses merger dan akuisisi menjadi lebih terbuka secara global,” kata Elsa.

Membandingkan IPO dan Merger & Akuisisi Sebagai Strategi “Exit” Terbaik

Bagi kebanyakan perusahaan, melakukan initial public offering (IPO) merupakan momen yang diidam-idamkan. Namun dalam industri yang ditenagai oleh teknologi dan inovasi yang serba cepat, IPO bukanlah satu-satunya jalan menuju exit yang indah bagi sebuah startup.

Dalam strategi exit untuk startup, setidaknya ada dua cara populer yakni merger dan akuisisi (M&A) dan IPO. Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangan.

Dari keduanya, embel-embel IPO cenderung lebih melekat dengan kesan sukses dan lebih dikenal orang awam. Bahkan di Amerika Serikat ada semacam slogan optimis nan pragmatis yang berbunyi: We’ll raise a few rounds and in a few years we’ll IPO on Nasdaq (kita kejar segelintir babak pendanaan dan beberapa tahun lagi kita IPO di Nasdaq).

IPO

Melantai di bursa saham kerap identik dengan kesuksesan. Ini tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya salah. Sebagai metode mengumpulkan dana, menjadi go public bisa disebut cara terbaik.

Meski tidak sepenuhnya berjalan mulus, IPO yang ditempuh Facebook pada Mei 2012 silam berhasil memperoleh dana bernilai US$16 miliar atau Rp226,6 triliun. Itu merupakan IPO ketiga terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah AS. IPO dari Facebook itu dapat dimaknai bahwa sesulit apa pun jalan menuju IPO, uang yang terkumpul tetap sangat besar.

Dengan dana hasil IPO, sebuah startup dapat ekspansi ke level lebih tinggi. Namun di samping potensi mengantongi uang yang sangat besar, IPO juga punya tantangan lain meski perjalanan menuju lantai bursa tidaklah mudah.

Pertama, penjualan saham perdana mensyaratkan laporan finansial yang rapi, konsisten, dan sudah teraudit. Dokumen seperti akta pendirian PT, anggaran dasar, persetujuan kementerian, surat izin usaha perdagangan, dan lainnya, wajib dipersiapkan. Apa yang terjadi pada WeWork bisa menjadi pelajaran penting bagaimana pentingnya laporan keuangan perusahaan sebelum IPO.

Tantangan kedua adalah tekanan pasar. Ketika sebuah perusahaan memilih go public, maka performa mereka akan dilihat lekat-lekat per tiga bulan. Pasar saham cenderung berorientasi pada profit dan jangka pendek. Tak peduli prospek perusahaan dalam jangka panjang, kalau performa tiap kuartal tak memuaskan hampir bisa dipastikan harga sahamnya akan turun dan begitu juga sebaliknya.

Ketiga dan salah satu tantangan terbesar dari IPO adalah potensi terdepaknya pendiri perusahaan. Ini masih beririsan dengan tekanan pasar. Para investor tentu ingin perusahaan bergerak sesuai kepentingannya. Dan saat terbuka, perusahaan akan mendapat tekanan hebat agar membuat keputusan yang menguntungkan bagi para investor sekalipun tak sesuai keinginan atau visi para pendiri perusahaan.

Tantangan terakhir untuk melakukan IPO adalah biaya persiapannya yang tidak murah. Sebelum IPO, perusahaan wajib menyiapkan berbagai hal dengan menggandeng sejumlah pihak mulai dari kantor legal, auditor, serta penjamin emisi. Ongkos untuk membayar jasa mereka tentu tidak murah. Namun positifnya, pemerintah Indonesia punya insentif pajak bagi badan hukum yang memilih IPO. Perusahaan akan memperoleh insentif pengurangan pajak sebesar 5 persen menjadi 20 persen jika melantai ke bursa. Diskon itu bisa bertambah 3 persen bagi perusahaan yang melakukan IPO jika RUU baru tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan diloloskan DPR.

IPO

Merger dan akuisisi

Merger dan akuisisi (M&A) adalah proses penggabungan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan. Kerap kali proses M&A jauh lebih sederhana ketimbang proses melakukan IPO.

Riset CB Insights menemukan pada 2016 ada 3.358 startup teknologi yang melakukan exit dan 97 persen di antaranya memilih M&A. Mereka yang memilih IPO sebagai jalan keluar tercatat hanya 98 saja. Ini mewakili pernyataan bahwa M&A lebih praktis ketimbang IPO.

Tren di Indonesia pun serupa. Startup yang mengambil aksi M&A masih lebih besar ketimbang mereka yang memilih melantai di bursa saham. Startup Report 2018 dari DailySocial menunjukkan sepanjang tahun lalu startup yang melakukan M&A sebanyak 12 perusahaan, sedangkan mereka yang mengambil IPO 4 perusahaan saja.

Strategi exit melalui M&A

Pada dasarnya M&A adalah cara memaksimalkan efisiensi dan meredam potensi disrupsi terhadap bisnis. Ini dapat terlihat dari akuisisi Grab terhadap bisnis Uber di Asia Tenggara pada tahun lalu. Dengan mencaplok Uber, Grab otomatis kehilangan kompetitor di pasar Asia Tenggara dan hilangnya kompetisi berarti Grab tak lagi harus bakar uang untuk perang tarif, yang ujungnya pendapatan perusahaan bisa meningkat.

Contoh dari dalam negeri ada dari konsolidasi yang dilakukan startup SaaS Mekari. Terciptanya Mekari ini diawali ketika Sleekr melakukan aksi M&A terhadap Talenta, Jurnal, dan Klikpajak tahun lalu. Konsolidasi ini lantas berpengaruh pada bisnis Mekari yang diperkirakan tumbuh empat kali lipat.

Salah satu manfaat dari M&A, yang kadang juga jadi motivasi, adalah mendapatkan sumber daya manusia yang diinginkan. Mendapatkan SDM baru yang berprestasi di bidangnya merupakan modal untuk meningkatkan performa perusahaan. Ini persis seperti yang dilakukan oleh Bukalapak terhadap Prelo.

Meski Bukalapak mengaku tidak mengakuisisi Prelo, namun mereka mengonfirmasi bahwa mereka melakukan akuisisi talenta Prelo. Salah satu di antaranya adalah Founder Prelo Fransiska Hadiwidjana yang ditarik sebagai Head of Business.

Kendati demikian, masih ada tantangan yang perlu dicermati oleh para penggiat startup tentang opsi M&A. Berikut beberapa di antaranya:

Pertama adalah utang yang dapat berlipat ganda. Utang adalah hal wajar dalam keuangan startup. Namun ini dapat menjadi masalah cukup serius ketika startup yang terlibat M&A punya utang yang tak sedikit. Nominal utang hasil kombinasi ini dapat mengganggu arus kas perusahaan.

Kedua adalah budaya startup yang berbeda. Menggabungkan dua perusahaan sama saja seperti perkawinan dua keluarga. Masing-masing memiliki kultur perusahaan yang berbeda yang berpotensi jadi kerikil dalam operasional perusahaan jika tak diselesaikan segera.

Berikutnya adalah proses untuk M&A yang kadang tidak sebentar. Butuh waktu  untuk menyatukan persepsi sejumlah pihak yang ingin melakukan M&A sampai mencapai kata sepakat. Khusus untuk merger, persyaratan dan formalitas hukum yang harus dijalani lebih banyak karena proses ini membentuk perusahaan baru.

Menerapkan Exit Strategy Startup yang Benar

Ketika membangun sebuah startup seorang Founder wajib untuk memikirkan exit strategy sejak dini, hal ini penting dilakukan untuk menentukan kelanjutan dari bisnis yang Anda miliki. Exit strategy merupakan hal ‘organik’ dan merupakan bagian dari bisnis yang Anda jalankan dengan demikian Anda sebagai Founder bisa menyusun rencana dalam waktu 2-3 tahun kedepan. Tentukan dengan benar apakah Anda memilih untuk IPO, Merger dan Acquisition (M&A) atau tetap menjalankan bisnis.

Tips berikut ini akan membahas poin-poin penting yang baiknya dilakukan oleh startup terkait dengan exit strategy, seperti yang ditulis oleh MentorMojo.

Apa exit strategy terbaik?

Sebelum Anda membangun perusahaan dan memutuskan untuk mengembangkan ide, ada baiknya untuk mengetahui dengan jelas apa tujuan Anda mendirikan startup? Apakah Anda mencintai industri yang dijalankan? Apakah Anda ingin menjadi pemimpin? Apakah Anda tertarik untuk memiliki enterprise yang besar?

Intinya adalah Anda sebagai founder wajib untuk mengetahui definisi dengan benar apa itu exit strategy, yaitu memisahkan diri dari perusahaan (apakah Anda menjadi bagian atau tidak). Pada akhirnya exit strategy akan menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan apakah itu berdasarkan keputusan atau alasan lainnya.

Exit strategy startup

Ada beberapa langkah yang harus dilewati agar perusahaan Anda bisa dengan mudah melakukan exit strategy. Diantaranya adalah melakukan semua rutinitas secara otomatis, mulai dari menciptakan sistem atau panduan secara lengkap setiap tahapnya dan membuat manual yang nantinya bisa berguna untuk calon pembeli. Hingga memanfaatkan tools pihak ketiga yang bisa membantu menyelesaikan pekerjaan untuk perusahaan.

Dengan sistem yang telah berjalan secara otomatis, nantinya akan memudahkan Anda untuk lebih fokus kepada pertumbuhan dan membantu pemilik yang baru ketika pada akhirnya Anda memutuskan untuk menjual.

Pastikan Anda sebagai pemilik startup memberikan keyakinan dan pengertian yang bijak kepada karyawan, agar tetap bisa mengembangkan kinerja saat perusahaan telah beralih kepemilikan.

Jika semua langkah tersebut telah berhasil diterapkan, besar kemungkinan Anda akan mendapatkan peminat yang cukup besar jumlahnya untuk membeli perusahaan Anda.

Harga jual perusahaan

Banyak startup yang akhirnya gagal untuk menjual perusahaan akibat dari terlalu tinggi menetapkan harga jual. Yang perlu diperhatikan adalah berapa nilai jual perusahaan Anda ditentukan oleh harga yang ditawarkan oleh pihak pembeli. Intinya adalah, jika perusahaan Anda terbilang sukses, memiliki jumlah traksi dan pengguna yang besar semua aspek tersebut akan mempengaruhi keseluruhan harga jual perusahaan.

Tetapkanlan harga jula yang ‘masuk akal’ saat Anda hendak menjual perusahaan, seperti ketika Anda sedang melakukan penggalangan dana kepada investor. Jika harga telah ditetapkan dengan tepat, besar kemungkinan Anda akan mendapatkan keuntungan yang setara dengan nilai perusahaan.

Ketentuan exit strategy dalam business plan

Jika Anda berencana untuk membuat business plan yang konvensional untuk pihak bank atau pitch deck kepada investor, biasanya mereka akan menanyakan seperti apa exit strategy startup Anda.

Hal ini akan mempengaruhi keputusan pihak-pihak terkait atas jaminan keamanan uang dan investasi yang nantinya akan diberikan dan nilai dari perusahaan. Selain itu pihak-pihak terkait tersebut juga ingin mendapatkan jumlah pengembalian yang cukup besar ketika startup Anda menjalankan bisnisnya dengan lancar.

Idealnya adalah untuk memberikan timeline pengembalian dan tunjukkan bagaimana Anda sebagai pendiri mengimplementasikan rencana tersebut. Dengan demikian masing-masing pihak akan mendapatkan hasil yang bisa diterima dengan baik.

Kesimpulannya adalah, apakah Anda membangun perusahaan dari awal atau startup Anda berencana untuk melakukan exit secepatnya, tentukan terlebih dahulu apa yang ingin Anda lakukan sebagai seorang Founder.

Strategi Exit Startup Bisa Dipikirkan Sejak Awal

Ada banyak diskusi seru ketika membicarakan strategi exit untuk para startup. Ada beberapa ‘aliran’ exit yang bisa dipilih dalam menjalankan startup. Ada yang bertujuan untuk exit dengan IPO, ada yang exit dengan M&A (merger and acquisition), dan ada pula yang memiliki pandangan tidak akan exit dan mengembangkan terus startup yang dijalaninya.

Seharusnya tidak ada yang salah dengan beberapa pandangan yang disebutkan di atas selama dijalani dengan profesional. Exit bagi startup seharusnya dijalankan atau dipilih bukan tanpa alasan. Memilih exit juga bukan berarti keluar dari medan perang dan lari dari tanggung jawab. Semua dijalankan sesuai strategi yang dibutuhkan startup.

Salah satu topik yang menarik untuk disimak di ajang Echelon Asia Summit 2016 yang diadakan di Singapura beberapa waktu lalu adalah soal exit untuk startup. Panelis yang hadir adalah Head of Media & Technology Asia Tenggara Goldman Sachs Andy Tai dan Executive Director North Ridge Partners Chris Tran. Founder & CEO, Detecq Wong Zi En menjadi moderator diskusi ini.

Kapan harus memikirkan exit

Dua pembicara ini secara garis besar memiliki pandangan yang sama bahwa strategi exit bisa dipikirkan sedini mungkin.

Andy memberikan pendapat bahwa rencana apakah akan exit atau tidak harus dipikirkan early possible ketika menyusun bisnis plan. Ia berpendapat bahwa startup yang kini bermunculan banyak yang tidak memikirkan hal ini karena lebih condong pada passion mereka dalam menjalankan startup, padahal di banyak sisi rencana exit bukan hanya bisa baik bagi founders tetapi juga bagi investor.

Sedangkan Chris memiliki pendapat bahwa startup yang sukses adalah yang para founders-nya memiliki tujuan akhir yang jelas. Pertumbuhan seperti apa yang ingin dicapai saat mengembangkan startup. Selain itu startup juga harus memperhatikan beberapa hal, termasuk growth, innovation dan talent.

Seperti yang dibahas di awal artikel, exit tak melulu berarti founders keluar dari perusahaannya dan melepaskan ke pemilik baru. Dalam proses M&A biasanya founders stay di perusahaan meski terkadang ada jangka waktu tertentu (lock).

Faktor yang harus diperhatikan dalam proses M&A

Berbicara tentang M&A, ada beberapa faktor (pandangan VC) yang bisa diperhatikan oleh para founders. Andy menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Faktor penting untuk proses M&A adalah strategi revenue yang dimiliki startup, apakah startup itu men-disrupt kondisi yang telah ada atau tidak. Sisi talent di sini pun memegang peranan penting.

Faktor lain terkait proses ‘paper works’ adalah governance right atas perusahaan tempat investor menanamkan modal. Investor memperhatikan faktor ini dalam proses M&A. Contohnya hak veto untuk menolak keputusan founders.

Andy juga menyebutkan hal menarik tentang mindset yang bisa ada di para founders. Ekspektasi mereka atas angka (harga) startup mereka biasanya lebih tinggi sedangkan biasanya investor lebih skeptis pada proyeksi keuangan dari startup. Perbedaan mindset ini tentunya perlu diperhatikan saat founder menargetkan M&A, karena ketidaksamaan persepsi bisa membuat proses gagal.

Pendapat lain yang senada disampaikan Chris. Menurutnya founders harus bisa memperhatikan future promises yaitu kondisi-kondisi di masa depan yang akan dihadapi oleh startup mereka. Para founders juga harus bisa memikirkan bagaimana meningkatkan valuasi saat negosiasi untuk proses M&A. Salah satu saran yang diungkapkan Chris adalah menggunakan jasa advisor atau penasihat. Ia berpendapat bahwa advisor ini bisa memberikan bantuan untuk menunjukkan valuasi yang tepat untuk startup.

Pilih IPO atau M&A

Pertanyaan di atas standar tetapi jawabannya bisa bermacam-macam. Menurut dua investor panelis ini ketika ditanya tentang memilih mana IPO atau M&A menjawab secara logika tentu saja semua tergantung kondisi dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.

Chris mengatakan bahwa M&A memiliki keuntungan salah satunya adalah prosesnya yang relatif lebih ‘mudah’ dari IPO, misalnya jangka waktu tunggu proses dan pengurusan dokumen. Dalam proses menjalaninya, M&A juga bisa dibilang lebih ‘mudah’ karena IPO berarti investor akan bertambah dari publik.

Bagaimana dengan kondisi di kawasan Asia Tenggara? Andy memberikan pendapat bahwa IPO akan lebih menantang untuk startup di kawasan ini, sedangkan M&A akan lebih masuk akal. Beberapa faktor yang yang mendukung pendapat ini adalah M&A akan menjadi sinergi agar startup bisa lebih berkembang dan proses M&A berlangsung lebih cepat.

Andy juga menambahkan bahwa penting bagi para founders untuk memikirkan skala perusahaan saat menjalani startup mereka, apakah mereka akan menargetkat untuk IPO, M&A, atau tetap menjadi perusahaan tertutup.

Big Exit

Cara yang tepat dalam menjalankan startup adalah dengan memecahkan masalah. Demikian juga dengan proses M&A. Bagi founders yang memang berencana untuk menempuh jalan ini, Chris memberikan saran bahwa founders harus melihat sisi konsumen dan mencari pemecahan masalah. Untuk proses M&A bisa juga melihat pesaing dan memberikan pemecahan masalah yang lebih baik.

Startup yang bisa diakuisisi juga bukan hanya yang bisa mendapatkan user baru dan lebih besar dari pesaing, tetapi bisa pula mencuri dari layanan yang lebih besar dan sudah ada terlebih dahulu. Akusisi bisa ditempuh oleh perusahaan besar atas perusahaan yang ‘disruptive’ ini untuk mempercepat pertumbuhan pasar.

Saran lain yang diberikan oleh Chris adalah start with end mind, menentukan secara tepat dari awal siapa konsumen dari layanan startup serta bekerja sama dengan advisor.

Memikirkan exit bukan berarti ‘menyerah’ sebelum bertanding. Founders yang memikirkan strategi akan seperti apa perusahaannya di masa depan adalah mereka yang memiliki visi dan tahu apa yang ingin dicapai dengan startup-nya.

Beberapa startup membutuhkan exit (biasanya berupa M&A) untuk urusan strategis. Perusahaan yang mengakuisisi biasanya memiliki dana, cakupan akses pasar yang lebih luas, dan bisa membawa startup tersebut untuk berkembang lebih besar lagi.

Dalam perkembangan dunia digital yang serba cepat ini, ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh startup, apakah stay private, IPO atau M&A. Bisa jadi, menjadi exit agnostic dan selalu melihat para perkembangan internal (pertumbuhan pengguna, laporan keuangan, burn rate) dan memperhatikan perkembangan eksternal (konsisi pasar, tren, persaingan) adalah cara yang tepat. Tidak ada formula yang sama untuk setiap kondisi tetapi cerdas membaca pola dan menelaah informasi adalah kunci.