Fortnite Kini Dilengkapi Fitur Video Chat

Fortnite yang kita kenal sekarang bukan lagi sebatas game battle royale pesaing PUBG dengan grafik yang lebih kartun. Secara perlahan Fortnite terus bergeser menjadi semacam platform sosial baru, dan puncaknya bisa kita lihat di masa pandemi ini, di mana Fortnite telah dipercaya menjadi tempat penayangan perdana trailer sebuah film blockbuster maupun panggung konser bagi sejumlah musisi ternama.

Inisiatif Epic Games baru-baru ini juga semakin memantapkan konsep Fortnite sebagai platform sosial tersebut. Mereka baru saja menghadirkan fitur video chat pada Fortnite sehingga yang bisa saling menyapa di Fortnite bukan cuma karakter virtual saja, melainkan juga orang-orang di baliknya.

Fitur video chat ini memanfaatkan layanan milik Houseparty, aplikasi video chat yang Epic akuisisi pada pertengahan tahun 2019 lalu. Jauh sebelum ini, Epic sebenarnya sudah mengintegrasikan Houseparty ke dalam Fortnite, tapi hanya dalam bentuk voice chat saja, jadi tidak heran apabila banyak yang sudah memprediksi kedatangan fitur video chat ini sejak lama.

Untuk menggunakannya, pemain Fortnite wajib mengunduh aplikasi Houseparty di perangkat Android atau iOS terlebih dulu, lalu menghubungkan akun Houseparty dengan akun Epic Games-nya. Selanjutnya, pemain tinggal mengepaskan posisi perangkat supaya wajahnya terpampang jelas di kamera.

Fortnite Houseparty video chat

Penting untuk dicatat, fitur video chat ini baru tersedia di Fortnite versi PC, PlayStation 4 atau PlayStation 5 saja. Satu chat room bisa menampung sampai 10 orang, akan tetapi yang ditampilkan di sisi kiri game Fortnite hanya empat orang yang terakhir aktif berbicara saja.

Menariknya, tanpa mengharuskan pemain memasang green screen di belakangnya, aplikasi Houseparty bisa secara otomatis meng-crop bagian wajah sekaligus mengganti latar belakangnya dengan bermacam warna. Menurut Epic, hal ini dapat terwujud berkat penggunaan aset face detection library dari Apple dan Google sendiri – mungkin inilah alasan mengapa pemain harus menggunakan aplikasi Houseparty di smartphone sebagai kameranya.

Epic sejauh ini belum bisa memastikan kapan fitur ini bakal merambah Fortnite di platform selain tiga tadi. Apakah mungkin ke depannya integrasi Houseparty semacam ini juga bakal tersedia di game multiplayer lain yang menggunakan Unreal Engine? Kita tunggu saja.

Sumber: Epic Games dan The Verge.

Berkat EmuOS, Nostalgia Bersama Software dan Game Klasik Hanya Memerlukan Sebuah Browser

Beberapa waktu lalu saya menemukan situs yang sangat menarik bernama Winamp Skin Museum. Di situ terdapat ribuan skin aplikasi pemutar musik andalan saya dan jutaan orang lain dari dua dekade lalu, Winamp.

Melihat kembali tampilan Winamp, otomatis beragam kenangan dan rasa nostalgia pun muncul. Saya jadi ingat sejumlah software lain yang dulu juga sering saya gunakan, yang untuk standar sekarang sudah sangat kuno sampai-sampai bisa dikemas menjadi sebuah situs interaktif.

Kira-kira seperti itulah ide di balik sebuah proyek nirlaba bernama EmuOS berikut ini. Seperti halnya Internet Archive yang berusaha mengabadikan koleksi situs lawas dari era awal internet, EmuOS ingin mengabadikan sejumlah software lama – termasuk halnya video game yang pengguna PC gunakan dari belasan sampai puluhan tahun yang lalu.

Jadi saat Anda membuka situs EmuOS di browser modern seperti Chrome, Firefox, atau Edge, Anda bisa memilih satu dari tiga tampilan yang tersedia: Windows 95, Windows 98, Windows ME. Klik salah satu, maka situs bakal menampilkan proses booting ala komputer lawas.

EmuOS

Setelahnya, ada deretan icon aplikasi yang menanti untuk diklik. Selain Winamp, saya ternyata juga kangen dengan Clippy, asisten virtual yang dahulu ibarat icon dari aplikasi Microsoft Office 2000 dan Office 2003. Clippy memang bisa dibilang kurang begitu berguna, tapi lucu saja melihat kembali animasi-animasinya yang cukup bervariasi.

Menariknya, EmuOS justru menyimpan lebih banyak game lawas. Bukan cuma game simpel macam SkiFree, tapi juga yang sangat mengagumkan pada zamannya seperti Transport Tycoon, Tomb Raider, atau bahkan Quake. Namun yang lebih penting adalah, deretan game itu bisa kita mainkan sepenuhnya dengan memanfaatkan metode emulasi.

Dari perspektif lain, EmuOS sejatinya dapat menunjukkan betapa pesatnya teknologi telah berkembang. Game seperti Quake yang dulunya membutuhkan kartu grafis high-end sekarang bisa dimainkan via emulasi hanya dengan berbekal sebuah browser. Setidaknya dengan adanya medium arsip seperti EmuOS ini, kita bisa semakin mengapresiasi sederet teknologi canggih yang kita gunakan sekarang.

Via: Windows Central.

BioWare Umumkan Mass Effect Legendary Edition, Versi Remastered dari Trilogi Mass Effect

Tren remake dan remaster di industri video game terus bertambah populer dalam beberapa tahun terakhir, dan publisher besar seperti EA tentu tidak mau melewatkan kesempatan emas semacam ini. Sejauh ini, mereka telah meluncurkan versi remastered dari tiga game legendarisnya: Command & Conquer Remastered, Need for Speed Hot Pursuit Remastered, dan Burnout Paradise Remastered.

Namun yang paling legendaris baru saja diumumkan, yakni trilogi Mass Effect. Lewat sebuah blog post, BioWare menyingkap Mass Effect Legendary Edition, kompilasi sekaligus versi remastered dari Mass Effect, Mass Effect 2, dan Mass Effect 3.

Kata “remastered” di sini harus ditekankan, sebab BioWare sendiri mengakui bahwa mereka sama sekali tidak punya keinginan untuk menggarap ulang (remake) ketiga game tersebut, melainkan sebatas memodernisasi pengalaman yang bisa dinikmati oleh para pemain, baik para penggemar setia seri Mass Effect maupun mereka yang belum pernah memainkannya sama sekali, yang dulu mungkin masih terlalu muda untuk mengikuti petulangan epik Commander Shepard.

Sesuai tebakan, versi remastered ini menghadirkan sederet penyempurnaan terhadap tekstur, shader, efek visual, serta sejumlah aspek teknis. BioWare memastikan bahwa semuanya bakal berjalan optimal di resolusi 4K serta frame rate yang tinggi. Mass Effect sendiri bukanlah game dengan grafik yang buruk, akan tetapi kualitasnya jelas terkesan berumur mengingat game itu dirilis 13 tahun lalu.

Mengemas versi remastered-nya menjadi satu bundel lengkap yang juga mencakup seluruh DLC merupakan keputusan yang tepat menurut saya, sebab jalan ceritanya memang menyambung dari yang game yang pertama sampai ketiga, dan cerita sendiri adalah kekuatan utama dari seri Mass Effect.

Kedatangan versi remastered-nya ini tidak terlalu mengejutkan karena rumornya sudah tersebar sejak bulan Mei lalu. Kendati demikian, EA baru akan merilisnya pada musim semi tahun depan (antara Maret sampai Juni 2021). Selain di PC, PS4, dan Xbox One, Mass Effect Legendary Edition juga bakal bisa dimainkan di PS5 maupun Xbox Series X.

Mass Effect baru sedang dikerjakan

New Mass Effect

Dalam kesempatan yang sama, game director trilogi Mass Effect, Casey Hudson, juga sempat menyinggung soal masa depan franchise yang diciptakannya ini. Disebutkan bahwa sebuah tim veteran BioWare sedang sibuk menggodok chapter baru di dunia Mass Effect. Pengembangannya masih dalam tahap awal, dan sejauh ini BioWare baru bisa menampilkan satu artwork di atas.

Meski belum ada detail apa-apa soal game Mass Effect baru ini, setidaknya cukup melegakan mengetahui bahwa franchise ini tidak akan tamat riwayatnya begitu saja setelah segala respon buruk yang diterima oleh Mass Effect Andromeda.

Pengumuman ini pun sekaligus mengonfirmasi pernyataan BioWare sebelumnya bahwa mereka sama sekali belum menyerah dengan seri Mass Effect. Kendati demikian, realisasinya mungkin masih agak lama mengingat BioWare juga sedang sibuk mengerjakan Dragon Age 4.

Sumber: BioWare via Polygon.

Publisher Game Indie Annapurna Interactive Umumkan Studio Internal Pertamanya

Dibandingkan dengan nama-nama seperti EA, Take-Two, atau Activision, nama Annapurna Interactive mungkin masih terdengar asing di industri video game. Tidak mengherankan mengingat Annapurna baru berkiprah sejak Desember 2016, namun dalam kurun waktu yang singkat itu, Annapurna sudah berhasil menempatkan dirinya di jajaran publisher game terbaik.

Judul-judul permainan seperti “What Remains of Edith Finch”, “Ashen”, “Outer Wilds”, “Sayonara Wild Hearts”, dan “Kentucky Route Zero” adalah beberapa dari koleksi game terbitan Annapurna yang berhasil mendulang sukses, dan sekarang mereka juga ingin terjun ke bidang game development secara langsung dengan mengumumkan studio internal pertamanya.

Studio baru yang belum diketahui namanya ini mengambil Los Angeles sebagai markasnya, dan sejauh ini masih dalam tahap rekrutmen. Di situsnya, tercatat bahwa Annapurna sedang mencari seorang game director dan senior producer untuk menakhodai proyek perdananya. Tidak dijelaskan seperti apa kira-kira game-nya, tapi yang pasti bakal digarap menggunakan Unreal Engine.

Melansir Games Industry, pimpinan Annapurna Interactive, Nathan Gary, mengaku bahwa sebagian besar personel timnya memiliki riwayat bekerja di bidang game development, dan tampaknya inilah yang mendasari keputusan Annapurna untuk mendirikan studio sendiri. Sebelum menekuni industri game, Annapurna sendiri lebih dulu dikenal di industri film di bawah label Annapurna Pictures.

Kabar ini terdengar menarik mengingat Annapurna Interactive sempat dirumorkan bakal bangkrut tahun lalu akibat terlilit utang, meski akhirnya mereka sudah lepas dari perkara tersebut. Mungkin juga Annapurna akhirnya menyadari bahwa terkadang kondisinya lebih memungkinkan bagi mereka untuk mendanai proyek bikinannya sendiri, ketimbang mendanai tim developer luar dan mengambil sebagian dari keuntungannya.

Satu hal yang pasti, di titik ini Annapurna sudah terbukti sangat cekatan dalam melihat potensi video game karya tim-tim kecil. Pendekatan yang mereka terapkan tergolong cukup selektif, terbukti dari sedikitnya judul-judul permainan yang mereka rilis setiap tahunnya. Untuk 2021, saya pribadi tidak sabar menanti game berjudul Stray yang akan Annapurna rilis di PS5 dan PC.

Sumber: Games Industry.

Ubisoft Kucurkan Dana Rp18,4 Miliar untuk Pembuatan Satu Trailer Game

Apa yang harus dimiliki suatu video game agar bisa mendapat predikat AAA? Ada banyak faktor sebenarnya, tapi salah satu yang paling umum adalah budget pemasaran atau marketing yang besar. Jadi di saat publisher berani mengucurkan dana besar untuk kebutuhan pemasaran suatu game, besar kemungkinan game itu memang diproyeksikan untuk bersaing di peringkat sepuluh besar.

Tren ini sebenarnya sudah berjalan sejak setidaknya satu dekade silam. Di tahun 2009 misalnya, EA sempat dilaporkan mengalokasikan budget pemasaran dua atau tiga kali lipat lebih besar daripada budget pengembangan game-nya itu sendiri.

Marketing sendiri sebenarnya meliputi banyak hal, akan tetapi salah satu yang memakan biaya paling banyak biasanya adalah trailer, khususnya yang bergaya sinematik yang dibuat sepenuhnya menggunakan teknik CGI (computer-generated imagery).

Sebanyak apa memangnya? Bisa lebih dari satu juta dolar per trailer kalau kelas publisher-nya sudah sebesar Ubisoft. Angka itu bukannya mengada-ada, melainkan berdasarkan pengumuman resmi yang dirilis oleh Bublar Group, sebuah perusahaan XR (extended reality) yang bermarkas di Swedia.

Dalam pengumuman tersebut, dikatakan bahwa anak perusahaan Bublar, Goodbye Kansas Studios, telah meneken kontrak dengan Ubisoft untuk memproduksi satu trailer video game dengan nilai kontrak sebesar 11 juta krona Swedia, kurang lebih setara 1,25 juta dolar Amerika Serikat, atau 18,4 miliar rupiah.

Nama Goodbye Kansas mungkin terdengar asing jika dibandingkan dengan studio seperti Lemon Sky, namun portofolionya terlihat impresif. Masih ingat trailer sinematik Cyberpunk 2077 yang dipamerkan di event E3 2019, yang sempat membuat geger karena ending-nya menampilkan Keanu Reeves? Itu adalah salah satu karya Goodbye Kansas, demikian pula trailer terbaru Cyberpunk 2077 yang dirilis pada pertengahan Oktober kemarin.

Ini bukan pertama kalinya Ubisoft memercayakan pembuatan trailer game-nya kepada Goodbye Kansas. Sebelumnya, kedua perusahaan juga pernah bekerja sama dalam pembuatan trailer The Division dan Watch Dogs 2.

Namun yang mungkin lebih membuat penasaran adalah, trailer untuk game apa yang harganya mencapai 18,4 miliar rupiah ini? Kalau melihat pengumuman dari Bublar tadi, Ubisoft dan Goodbye Kansas sudah sepakat bahwa trailer-nya bakal siap ditayangkan pada awal 2021. Apa game AAA yang bakal Ubisoft rilis di awal 2021? Far Cry 6 salah satunya, sehingga budget sebesar itu untuk menciptakan launch trailer-nya terdengar cukup rasional.

Alternatif yang juga masuk akal menurut saya adalah Beyond Good and Evil 2, yang sejauh ini memang belum punya jadwal rilis sama sekali, dan terakhir dibahas oleh Ubisoft menjelang akhir 2018. Di titik ini, game tersebut memang lebih butuh kepastian daripada trailer sinematik baru, tapi mungkin saja tim marketing Ubisoft punya pemikiran yang berbeda.

Sumber: Rock Paper Shotgun.

Dimotori Veteran Blizzard, Frost Giant Studios Siap Hidupkan Kembali Genre RTS

Pada tanggal 15 Oktober lalu, Blizzard secara resmi mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengembangkan konten baru lagi buat StarCraft II. Pembaruan minor seperti balancing masih bakal diterapkan jika diperlukan, tapi yang pasti StarCraft II tidak akan menerima expansion baru lagi ke depannya.

Tidak sedikit yang menilai pengumuman ini sebagai indikator matinya genre real-time strategy alias RTS, terutama mengingat Blizzard memang merupakan satu dari segelintir pengembang game RTS kawakan yang masih bertahan sampai sekarang. Selang lima hari setelahnya, beredar kabar bahwa sebuah perusahaan game baru bernama Frost Giant Studios sedang bersiap untuk menghidupkan kembali genre RTS.

Kalau Anda buka situs resminya, Anda bisa lihat tagline “Real-Time Strategy Returns” terpampang dengan sangat jelas di depan logo perusahaannya, padahal Frost Giant sama sekali belum punya satu pun prototipe game yang bisa mereka demonstrasikan. Lucunya, hal itu tidak mencegah ribuan orang untuk menyerbu dan membuat situs Frost Giant down sesaat.

Usut punya usut, ternyata Frost Giant Studios didirikan oleh, lagi-lagi, mantan karyawan senior Blizzard. Mereka adalah Tim Morten, eks production director untuk StarCraft II, dan Tim Campbell, eks lead campaign designer untuk Warcraft III: The Frozen Throne. Selebihnya, Frost Giant juga masih punya enam karyawan lain yang semuanya pernah bekerja di Blizzard.

Saya bilang lagi-lagi karena memang baru sebulan lalu ada sebuah studio game baru lain bernama Dreamhaven yang sempat menjadi buah bibir karena pendirinya adalah seorang veteran Blizzard. Bukan sembarang veteran malah, melainkan sang pendiri Blizzard itu sendiri, Mike Morhaime.

Jadi saat mendengar kabar tentang Frost Giant, saya langsung bertanya-tanya dalam hati mengapa Tim Morten dan Tim Campbell tidak memilih untuk bergabung bersama Mike Morhaime saja di Dreamhaven. Kepada VentureBeat, mereka menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tahu soal rencana Mike untuk kembali menggeluti industri gaming, akan tetapi rencana tersebut belum benar-benar matang ketika mereka sudah siap untuk memulai.

Bisa disimpulkan bahwa Frost Giant didirikan lebih awal ketimbang Dreamhaven di awal tahun 2020, dan kemungkinan mereka baru berani go public sekarang setelah berhasil menggaet pendanaan dari investor. Ya, di saat Dreamhaven menempuh jalur independen, Frost Giant yang memang skala timnya lebih kecil harus bertumpu pada bantuan sejumlah investor.

Sejauh ini, Frost Giant sudah mengamankan total pendanaan sebesar US$4,7 juta dari beberapa investor. Menariknya, nama Riot Games terpampang sebagai salah satu investornya. Kalau melihat ada perwakilan Riot di dewan direksi Frost Giant, saya cukup yakin nantinya esport juga akan mendapat porsi perhatian tersendiri dari Frost Giant.

Selain menghidupkan kembali genre RTS, misi lain Frost Giant adalah menciptakan game RTS yang lebih mudah diakses oleh mereka yang bukan penggemar berat genre ini. Mereka percaya ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melibatkan AI dan machine learning.

Namun yang menjadi pertanyaan lain adalah, kenapa orang-orang ini harus meninggalkan Blizzard kalau memang mereka sebegitu cintanya dengan genre RTS. Tim Morten berdalih bahwa bukan berarti Blizzard sudah tidak peduli dengan genre RTS, hanya saja memang Blizzard harus mengerahkan sumber daya di sejumlah franchise lain seperti Overwatch, Diablo, dan World of Warcraft.

Tentu bakal sangat menarik melihat perjalanan studio-studio game baru yang dimotori oleh veteran-veteran Blizzard ini ke depannya. Mereka adalah sosok yang sudah paham betul pahit-manisnya industri game development, tapi kecintaan mereka terhadap gaming pada akhirnya tetap memaksa mereka untuk terus berkarya di bidang ini.

Tampilkan Iklan di Loading Screen, NBA 2K21 Jadi Bahan Cibiran

Apa yang lebih menyebalkan dari iklan di sebuah game gratisan? Iklan di game berbayar. Bayangkan Anda sudah membayar sejumlah uang di muka untuk suatu game premium, lalu di tengah-tengah permainan Anda disuguhi iklan, dan lebih parahnya lagi, iklan tersebut sama sekali tidak bisa di-skip.

Kira-kira seperti itulah kekesalan yang sedang dialami oleh para pemain NBA 2K21, tidak peduli di platform apa mereka memainkannya (PS4, Xbox One, PC). Berdasarkan laporan dari Stevivor, iklan yang tidak bisa di-skip itu muncul secara otomatis bersama sebuah loading screen sebelum pertandingan dimulai.

Iklannya berjalan selama sekitar 15 detik, dan parahnya, loading-nya belum juga selesai sampai sekitar 10 detik kemudian. Saat dijajal di PC yang menggunakan SSD pun, pengalaman yang didapat kurang lebih juga sama.

Seperti yang saya bilang, kalau game-nya gratis, jelas ini tidak akan diperkarakan sama sekali. Masalahnya, harga NBA 2K21 jauh dari kata murah. Di Steam, harga yang tertera saat artikel ini ditulis adalah Rp699.000, sedangkan di PlayStation Store, harganya Rp551.850 (diskon dari Rp849.000). Versi next-gen NBA 2K21 bahkan dibanderol lebih mahal lagi (selisih $10 kalau di Amerika Serikat).

Tentu saja ini bukan kabar baik buat publisher 2K. Dari ribuan ulasan pengguna di Steam sebagian besar menunjukkan nada negatif. Beberapa bahkan sudah memberikan penilaian jelek tanpa menyinggung soal adanya iklan yang tidak bisa di-skip ini.

Ini dikarenakan sebagian besar memberikan review-nya di awal-awal peluncuran NBA 2K21, sedangkan iklan ini baru muncul beberapa hari lalu, atau sekitar satu setengah bulan pasca perilisannya di tanggal 4 September. Otomatis hampir semua media yang memublikasikan review-nya terhadap NBA 2K21 juga belum sempat membahas soal iklan ini.

2K bukanlah satu-satunya publisher yang menerapkan praktik cari untung ekstra semacam ini. September lalu, EA juga sempat jadi bahan cibiran setelah para pemain mendapati adanya iklan dalam EA Sports UFC 4, yang juga merupakan game premium. Pada akhirnya, EA menyerah dan menghapuskan iklan dari game itu sepenuhnya.

Belum diketahui apakah 2K juga bakal mengambil langkah serupa. Sejauh ini mereka masih belum memberikan respon apa-apa, tapi bisa saja nasibnya sama seperti EA kalau para pemain terus menyampaikan keluhannya lewat media sosial.

Sumber: Eurogamer.

Tren Investasi Venture Capital di Industri Game

Tahun ini, nilai industri gaming di dunia mencapai lebih dari US$150 miliar. Jika Anda menggabungkan nilai industri musik dan industri film, industri gaming masih lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa bermain game kini telah menjadi salah satu bentuk hiburan utama bagi sebagian besar orang.

Anehnya, sebelum ini, sektor gaming jarang dilirik oleh para venture capital (VC), kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk menanamkan investasi di industri gaming, seperti Play Ventures, Makers Fund, atau London Venture Partners. Menurut White Star Capital, salah satu alasan mengapa VC enggan untuk mendanai perusahaan yang bergerak di bidang game adalah karena hasil investasi yang sangat hitam-putih.

Ketika VC menyediakan modal untuk sebuah developer game, misalnya, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, game yang dibuat developer itu sukses dan developer dapat melakukan IPO atau diakuisisi perusahaan lebih besar. Kedua, game itu akan gagal. Berbeda dengan startup, developer game tidak bisa mendadak merombak konsep dari game yang mereka buat, walau mereka masih bisa meluncurkan update.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, VC mulai tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game. Faktanya, selama empat tahun — dari tahun 2014 sampai 2018 — nilai investasi VC di industri game terus naik.

Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital
Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital

Pada 2018, valuasi investasi dari VC mencapai puncaknya dengan total nilai US$4,7 miliar. Namun, tahun 2018 memang unik karena pada saat itu, Epic Games mendapatkan pendanaan sebesar US$1,25 miliar.  Jadi, tidak heran jika pada 2019, nilai investasi VC di perusahaan gaming turun drastis, menjadi US$1,1 miliar. Kabar baiknya, VC kembali tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada semester pertama 2020, investasi dari VC untuk perusahaan game telah mencapai US$700 juta. Diperkirakan, angka investasi itu akan mencapai US$1,5 miliar pada akhir tahun ini.

 

Kenapa Investasi dari VC Penting?

Investasi dari VC biasanya identik dengan startup. Ada beberapa alasan mengapa investasi dari VC penting untuk startup. Salah satunya adalah karena tidak ada pihak lain yang bersedia untuk menyediakan modal untuk mereka, menurut Hardware Business Review. Bank memang bisa meminjamkan modal. Hanya saja, besar bunga yang mereka tawarkan pada pelaku usaha tergantung pada besar risiko dari usaha itu sendiri. Sementara usaha startup cenderung memiliki risiko tinggi. Jika bank ingin meminjamkan modal pada startup, mereka harus memberikan bunga yang sangat tinggi. Padahal, ada ketentuan yang membatasi besar suku bunga yang bisa bank berikan pada peminjam.

Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos
Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos

Alasan lain mengapa startup kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank adalah karena biasanya bank akan meminta aset berwujud sebagai jaminan. Padahal, banyak startup — atau perusahaan game — yang tidak memiliki aset berwujud karena produk mereka berupa sesuatu yang tak terlihat. Contohnya, berbeda dengan perusahaan taksi yang memiliki armada sendiri, perusahaan transportasi online, seperti Gojek dan Grab, tidak memiliki armada sendiri. Mereka hanya menyediakan “platform” untuk menghubungkan pemilik kendaraan dengan penumpang.

Alasan lain mengapa investasi dari VC penting bagi startup adalah karena hal ini akan meningkatkan reputasi mereka di mata investor lain. Ketika startup mendapatkan investasi dari VC, hal ini menjadi tanda bahwa startup tersebut memiliki potensi untuk tumbuh besar di masa depan. Pasalnya, VC juga bukan badan amal. Tentunya, mereka ingin mendapatkan untung dari investasi yang mereka tanamkan.

Jadi, jika sebuah VC menanamkan modal di sebuah startup, hal itu karena mereka percaya, startup tersebut memiliki potensi untuk sukses di masa depan. Kepercayaan ini bisa memudahkan startup untuk menarik investor lainnya. Selain modal, VC juga bisa membantu startup untuk membangun jaringan di industri startup itu bergerak.

Berdasarkan studi, jika sebuah startup mendapatkan investasi dari VC pada tahap awal, hal ini akan meningkatkan kemungkinan startup tersebut untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.

 

Total Investasi dari VC di Industri Game Sejak 2014

Dalam sebuah artikel di Medium, White Star Capital mencoba untuk merangkum investasi yang dilakukan oleh VC di industri game sejak 2014. Mereka memperkirakan, sampai Juli 2020, total nilai investasi yang diberikan oleh VC ke perusahaan-perusahaan game telah mencapai sekitar US$13,3 miliar.

Untuk memahami tren investasi, White Star Capital lalu membagi perusahaan-perusahaan game ke dalam beberapa kategori: developer & publisher, developer tools, distribution platform, access point, esports talent & sponsor, esports platform, esports broadcasting, dan streaming & social.

Dari semua kategori itu, developer & publisher menjadi kategori yang mendapatkan investasi paling besar. Dari total investasi VC di dunia gaming sejak 2014, sekitar 48% masuk ke dalam kategori ini. Beberapa perusahaan yang masuk dalam kategori ini antara lain Epic Games, Niantic, dan Roblox. Ada empat model monetisasi yang biasanya digunakan oleh perushaaan di kategori ini, yaitu freemium, iklan, langganan, dan penjualan langsung. Hybrid pernah membahas tentang keempat model bisnis ini di sini.

Selain developer & publisher, kategori lain yang cukup populer adalah kategori streaming & social. Kategori ini mendapatkan sekitar 22,91% dari total investasi yang ditanamkan oleh VC di industri game sejak 2014. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini yaitu Twitch dan Discord; serta dua perusahaan streaming Tiongkok, yaitu Douyu dan Huya. Biasanya, platform streaming atau sosial game menggunakan tiga model bisnis, yaitu freemium, iklan, dan langganan atau subscription.

Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium
Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium

Sementara itu, kategori developer tools — seperti Unity dan Unreal Engine — mendapatkan porsi investasi sebesar 14,83% dari total investasi oleh VC sejak 2014. Salah satu model bisnis yang digunakan oleh perusahaan yang membuat game engine dan developer tools lainnya adalah melakukan penjualan ke perusahaan alias enterprise sale. Bisnis model lain yang biasa dipakai oleh perusahaan di kategori ini adalah Software-as-a-Service.

Selain tiga kategori di atas, masih ada empat kategori lain. Hanya saja, nilai investasi yang pernah didapatkan oleh masing-masing kategori ini kurang dari 10% dari total investasi VC di dunia game sejak 2014. Kategori platform distribusi game misalnya — seperti SEA dari Singapura — hanya mendapatkan porsi 6,99% dari total investasi VC.

Sementara kategori access point, yaitu perusahaan-perusahaan yang membuat komponen dan hardware gaming seperti Razer, hanya memiliki bagian 1,42%. Kategori esports talent & sponsor, yang mencakup organisasi esports seperti Cloud9, mendapatkan porsi investasi yang sedikit lebih besar dari kategori access point, mencapai 1,71% dari total investasi. Dan terakhir, kategori esports platform — seperti Skillz dan PlayVS — mendapatkan porsi investasi sebesar 4,14%.

 

Investasi di Industri Game Selama 9 Bulan 2020

Sepanjang 2020, banyak industri yang mengalami masalah akibat pandemi COVID-19. Namun, industri game jadi salah satu industri yang diuntungkan. Pasalnya, ketika masyarakat harus melakukan karantina, mereka jadi punya waktu luang lebih banyak untuk bermain game. Dan hal ini juga tercermin dalam meningkatnya penanaman modal, IPO, dan akuisisi di dunia game selama 2020. Hingga akhir Q3 2020, total valuasi investasi, IPO, dan akuisisi di industri game mencapai US$20,5 miliar.

Data tersebut dikumpulkan oleh perusahaan pelacak investasi game, InvestGame. Mereka mengumpulkan data tentang transaksi — baik dalam bentuk investasi, IPO, maupun akuisisi — yang melibatkan pelaku industri game, mulai dari developer, publisher, perushaaan teknologi, esports, sampai hardware. Hanya saja, mereka hanya menghitung transaksi yang diumumkan secara terbuka dan sudah terjadi. Transaksi yang nilainya tidak diumumkan atau belum pasti akan dilangsungkan tidak dihitung. Selain itu, mereka juga tidak menghitung akuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar oleh Microsoft.

“Kami melacak semua informasi tentang transaksi yang terjadi di industri game,” kata Sergei Evdokimov dari InvestGame pada VentureBeat. “Anda bisa melihat besarnya angka perputaran uang di dunia game dan angka ini masih terus tumbuh. Kami ingin bisa menunjukkan data ini pada para investor.”

Berbeda dengan White Star Capital, InvestGames mengategorikan perusahaan game ke dalam empat kategori, yaitu gaming, platform & tech, esports dan other. Dari tiga kategori lainnya, kategori gaming memiliki jumlah dan nilai transkasi paling besar. Selama sembilan bulan di 2020, ada 211 transaksi yang terjadi di kategori ini, dengan total nilai US$15,3 miliar. Sementara itu, di kategori platform & tech, jumlah transaksi yang terjadi mencapai 112 transaksi, dengan total nilai US$3,97 miliar. Dalam kategori esports, terdapat 89 transaski dengan total nilai US$685 juta, dan di kategori other, terdapat 25 transaksi yang bernilai US$504 juta.

Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame
Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame

InvestGame juga membagi ratusan transaksi yang terjadi selama 2020 berdasarkan tipe transaksi, yaitu IPO, akuisisi, dan investasi privat. Dari ketiga tipe tersebut, IPO memiliki valuasi paling besar, mencapai US$9,2 miliar. Salah satu perusahaan game yang melakukan IPO pada tahun ini adalah Unity.

Sementara itu, akuisisi memiliki valuasi terbesar kedua dengan nilai US$6,6 miliar. Memang, sepanjang 2020, terdapat beberapa akuisisi bernilai besar di industri game. Terakhir, jenis investasi privat, yang jumlahnya mencapai US$4,6 miliar sepanjang 2020. Di industri game, VC yang paling aktif saat ini antara lain Play Ventures, Galaxy EOS VC, Bitkraft Ventures, Sisu Game Ventures, dan Makers Fund.

 

Akuisisi di Industri Game Selama 2020

Tahun ini, cukup banyak akuisisi penting yang terjadi. Salah satunya adalah akuisisi perusahaan Turki, Peak Games oleh Zynga seharga US$2 miliar. Akuisisi lain yang menarik perhatian banyak orang adalah akusisi developer Warframe, Leyou Technologies oleh Tencent. Sementara pada September 2020, Microsoft mengakuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar.

Sepanjang 2020, Tencent menjadi salah satu perusahaan yang paling aktif dalam mengakuisisi perusahaan lain. Memang, sejak tahun lalu, konglomerasi asal Tiongkok itu sangat aktif membeli saham atau bahkan mengakuisisi perusahaan game seperti Funcom dan Marvelous. Selain Tencent, dua perusahaan lain yang aktif melakukan akuisisi di industri game adalah Embracer Group serta Stilfront Group.

“Satu hal yang paling menarik, jumlah transaksi M&A di dunia game tetap sangat banyak meski di tengah pandemi,” kata Evdokimov. “Hanya saja, jumlah transaksi dari VC — baik pada tahap awal maupun akhir — memang mengalami penurunan secara signifikan.”

Sepanjang tahun ini, ada 41 perusahaan mobile game yang diakusisi. Secara total, nilai akuisisi perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$4,4 miliar. Sementara akuisisi terkait perusahaan game konsol dan PC memiliki nilai yang jauh lebih besar, mencapai US$10,5 miliar.

 

Popularitas Streamer dan Esports Buat Ekosistem Game Semakin Besar

Selama ini, jika sebuah merek ingin menjangkau para gamer, mereka hanya bisa bekerja sama dengan developer atau publisher game untuk memasang iklan dalam game. Namun, sekarang, ekosistem game telah berkembang menjadi lebih besar berkat semakin populernya streamer dan esports. Konsumen game tak lagi terbatas pada orang-orang yang memainkan sebuah game tapi juga orang-orang yang menonton konten game melalui platform streaming atau fans esports. Dan banyak merek yang semakin tertarik untuk memenangkan hati para audiens gaming tersebut.

Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan perusahaan game/esports. | Sumber: White Star Capital
Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan pelaku industri game/esports. | Sumber: White Star Capital

Buktinya, banyak merek ternama yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan game dan esports, seperti Louis Vuitton, Adidas, dan BMW. Ketiga perusahaan tersebut memang tidak membuat produk yang berhubungan langsung dengan game. Namun, hal itu tidak menghentikan mereka untuk bekerja sama atau menjadi sponsor dari pelaku industri game dan esports. Misalnya, dalam kasus Louis Vuitton, mereka bekerja sama dengan Riot Games tidak hanya untuk membuat koleksi pakaian bertema League of Legends tapi juga membuat skin mewah bagi karakter dalam game.

Salah satu alasan mengapa esports kini menarik perhatian merek-merek besar adalah karena pertumbuhan audiens mereka yang cukup signifikan. Menurut Deloitte, fans esports di dunia mencapai 380 juta orang pada 2018. Sementara pertumbuhan fans esports per tahun mencapai 15%.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Nfx
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: NfX

 

Penutup

Ada beberapa kesamaan antara perusahaan game dan startup. Salah satunya, biasanya, keduanya tidak memiliki aset yang berwujud. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Di sinilah perusahaan venture capital bisa membantu. Mereka tidak hanya bisa menyediakan modal, tapi juga keahlian dan jaringan. Dan hal ini bisa membantu startup atau perusahaan game tumbuh.

Pada awalnya, perusahaan-perusahaan game tak terlalu menarik minat para VC, kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan game. Namun, seiring dengan semakin beragamnya perusahaan yang bergerak di bidang game, para VC pun mulai tertarik. Salah satu alasan mengapa industri game kini menjadi semakin beragam adalah karena semakin populernya streamer dan esports. Kedua hal ini membuka pintu baru bagi perusahaan yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri game.

Sumber: Medium, VentureBeat

Amazon Hentikan Pengembangan Crucible, Apa yang Membuatnya Gagal?

Masih ingat dengan Crucible, game hero shooter besutan Amazon yang sempat meluncur ke publik sebelum akhirnya mundur ke fase closed beta tidak lama sesudahnya? Apa yang saya takutkan rupanya benar-benar terjadi; game yang digarap oleh studio internal Amazon tersebut akan segera tamat riwayatnya.

Melalui sebuah pengumuman resmi, developer-nya dengan berat hati memutuskan untuk menyetop pengembangan Crucible dalam waktu dekat, persisnya setelah mereka merilis fitur custom game. Alasannya sederhana saja: mereka tidak melihat adanya “masa depan yang sustainable” buat Crucible.

Lalu kenapa harus ada fitur baru yang dirilis kalau memang game-nya tidak akan dilanjutkan? Well, mungkin supaya tidak terlalu mengagetkan buat yang tergabung dalam program closed beta dan memang masih senang memainkannya. Fitur custom game itu pada dasarnya disiapkan supaya penggemar setia Crucible masih bisa bermain meski fitur matchmaking-nya ditiadakan tidak lama lagi.

Namun semua itu juga tidak akan berkepanjangan, sebab server Crucible untuk custom game hanya akan beroperasi sampai 9 November 2020, dan setelahnya game ini benar-benar tinggal sejarah. Tentu saja ini kontras dengan rencana awalnya, di mana Crucible dimundurkan ke tahap closed beta supaya dapat disempurnakan dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari grup kecil yang aktif memainkannya, sebelum akhirnya dirilis kembali ke publik saat sudah benar-benar matang.

Rencana tersebut jelas sudah dibatalkan, dan Amazon juga bakal menawarkan refund secara menyeluruh bagi pemain yang sempat membeli konten in-game dalam Crucible. Relentless Studios, tim yang bertanggung jawab atas pengerjaan Crucible, bakal dialihkan ke proyek Amazon Games selanjutnya, termasuk halnya MMORPG berjudul New World yang akan dirilis tahun depan – semestinya tahun ini tapi akhirnya ditunda.

Kenapa Crucible bisa gagal?

Crucible

Kalau menurut saya pribadi, kegagalan Crucible membuktikan bahwa modal besar saja tidak cukup dalam industri video game. Rumornya, game ini menghabiskan sekitar $300 juta dan waktu pengembangan selama lebih dari empat tahun. Waktu yang kelewat lama untuk game yang sebentar saja sudah jadi kenangan.

Dalam laporan Wired baru-baru ini, diceritakan bahwa Crucible sebenarnya sudah siap dirilis pada tahun 2018, dan timing-nya kala itu jelas sangat pas, bertepatan dengan booming-nya kategori battle royale berkat PUBG dan Fortnite. Namun berhubung Crucible diproyeksikan menjadi salah satu judul andalan Amazon Game Studios (AGS) dalam menjalani debutnya, pengembangan Crucible pun terus dilanjutkan sampai dirasa benar-benar sempurna.

Namun ternyata semua tidak berjalan sesuai harapan. Crucible dirilis tanpa integrasi Twitch yang dijanjikan, dan game-nya bahkan tidak punya fitur voice chat bawaan meski merupakan game multiplayer kompetitif. Di titik ini, hype seputar game battle royale juga sudah tidak lagi sebesar di tahun 2018, ditambah lagi peluncuran Crucible hampir berbarengan dengan Valorant besutan Riot Games.

Faktor lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap kegagalan Crucible adalah engine yang digunakan. Seperti yang kita tahu, Crucible digarap menggunakan Lumberyard, engine milik Amazon sendiri yang sebenarnya memiliki basis yang sama dengan CryEngine. Kepada Wired, seorang mantan karyawan AGS menjelaskan bahwa engine Lumberyard sangatlah sulit untuk digunakan dan menjadi penghambat utama proses pengembangan.

Crucible

Namun AGS bersikeras tetap memakai Lumberyard. Salah satu petingginya, Mike Frazzini, pernah mengatakan bahwa AGS harus mengerjakan sendiri semuanya karena uang sama sekali bukan masalah, dan mereka tidak segan mengucurkan dana sekitar $50-$70 juta untuk mendapatkan lisensi CryEngine dari Crytek, lalu menyempurnakannya menjadi Lumberyard.

Pada akhirnya, AGS pun harus menggarap engine Lumberyard dan sejumlah game secara bersamaan, dan itu jelas bukan pekerjaan mudah. Bayangkan seandainya developer perlu mengandalkan fungsionalitas tertentu guna mewujudkan suatu fitur dalam game, tapi ternyata engine-nya belum memiliki fungsionalitas tersebut, dan tim yang mengerjakan engine-nya harus bisa segera menyediakannya selagi dikejar waktu.

Saya kira tidak salah apabila sebagian besar dari kita menyimpulkan bahwa Amazon kelewat ambisius. Namun di sisi lain, ambisi mereka pastinya juga berdasar pada kesuksesan awal mereka di ranah gaming, yakni mengakuisisi Twitch di tahun 2014. Well, menyediakan platform live streaming dengan berlandaskan pada infrastruktur cloud yang sudah terbukti bisa diandalkan (AWS) jelas berbeda dari mengembangkan video game menggunakan engine yang masih amburadul.

Via: PC Gamer.