Niko Partners: Kebanyakan Gamers di Asia Tenggara Suka Game Multiplayer

Saat ini, jumlah gamers di dunia diperkirakan telah mencapai 2,7 miliar orang. Mengingat banyaknya jumlah gamers, jangan heran jika masing-masing gamer punya preferensi masing-masing. Bahkan gamer-gamer di Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok — tiga negara yang berdekatan dengan satu sama lain dari sisi geografis — punya kebiasaan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui kebiasaan gamers di Indonesia dan Asia Tenggara, Hybrid.co.id menghubungi Niko Partners. Berikut informasi yang kami dapatkan.

Preferensi Gamers di Asia Tenggara

Di Asia Tenggara dan Taiwan, jumlah gamers mencapai 381 juta orang. Menurut data dari Niko Partners, lebih dari 60% gamers di Asia Tenggara merupakan mobile gamers. Sekitar 35% gamers bermain di PC dan kurang dari 10% gamers bermain di konsol. Sementara itu, menilik dari model bisnis game, kebanyakan gamers di Asia Tenggara memainkan game free-to-play.

“Untuk game-game populer, kebanyakan gamers bermain multiplayer, walau hal ini juga tergantung pada genre game,” kata Director for Southeast Asia Research, Niko Partner, Darang S. Candra saat dihubungi melalui email. “Genre kasual biasanya banyak dimainkan oleh single player, sementara genre core seperti shooters, battle royale, MOBA, dan MMORPG, game-game ini dimainkan secara multiplayer.” Lebih lanjut, Darang mengungkap, sekitar 30% gamers di Asia Tenggara senang untuk memainkan game RPG, 30% lainnya game esports (seperti MOBA, shooters, dan battle royale), 15% bermain game strategi, dan 25% sisanya senang memainkan game dari genre lain, seperti kasual atau puzzle.

Genre favorit para gamers di Asia Tenggara. | Sumber data: Niko Partners

Ketika ditanya tentang fitur apa yang paling digemari oleh gamers di Asia Tenggara, Darang menjawab, “Secara umum, fitur yang diminati gamers di Asia Tenggara adalah fitur yang dapat membentuk komunitas dan game secara sosial. Guild dan chat merupakan dua contoh fitur yang populer.”

Sama seperti Indonesia, kebanyakan gamers di Asia Tenggara tidak punya kartu kredit. Karena itu, tidak banyak gamers yang menggunakan kartu kredit untuk melakukan transaksi dalam game. Berdasarkan data dari Niko Partners, sebagian besar gamers di Asia Tenggara melakukan pembayaran untuk transaksi di game melalui pulsa. Metode lain yang sering digunakan adalah membeli voucher fisik atau menggunakan e-money.

Genre Favorit Gamers Asia

Pada Maret 2021, Statista merilis laporan tentang tipe game favorit dari para gamers di delapan negara. Dari delapan negara itu, lima di antaranya merupakan negara Asia, yaitu Indonesia, Vietnam, India, Korea Selatan, dan Tiongkok. Sementara dari segi genre, ada enam genre yang Statista amati, yaitu casual single player, casual multiplayer, FPS, single player RPG, MOBA, MMORPG, dan battle royale.

Di Indonesia, tipe game yang paling digemari adalah casual single player game. Sebanyak 87% gamers Indonesia mengaku senang dengan tipe game tersebut. Tipe game terpopuler kedua adalah battle royale, yang menjadi genre favorit dari 74,6% responden, dan posisi ketiga ditempati oleh FPS, yang mendapatkan suara dari 74,4% responden. Jika dibandingkan dengan genre lainnya, single player RPG kurang populer di kalangan gamers Indonesia. Hanya 66,4% responden Indonesia yang mengaku senang dengan tipe game tersebut. Untuk lebih jelasnya, Anda bisa melihat tipe game favorit gamers Indonesia pada grafik di bawah.

Tipe game favorit di Indonesia dan Vietnam. | Sumber data: Statista

Preferensi gamers Vietnam tampaknya tidak jauh berbeda dengan gamers di Indonesia. Buktinya, casual single player game juga menjadi tipe game yang paling populer di kalangan gamers Vietnam. Sama seperti Indonesia, single player RPG menjadi game yang paling tidak diminati. Meskipun begitu, di Vietnam, jumlah gamers yang menyukai dua tipe game tersebut masih lebih tinggi dari Indonesia. Di Vietnam, jumlah gamers yang menyukai casual single player game mencapai 92,6% dan persentase gamers yang menyukai single player RPG mencapai 84%.

Sekarang, mari kita beralih ke Tiongkok dan Korea Selatan. Budaya gaming di kedua negara itu punya satu kesamaan. Gamers di Tiongkok dan Korea Selatan sama-sama menganggap bahwa bermain game merupakan kegiatan sosial. Selain itu, gamers di kedua negara itu juga cukup kompetitif. Hal ini tercermin dari jumlah atlet esports yang muncul dari Korea Selatan dan Tiongkok. Menariknnya, baik di Korea Selatan maupun Tiongkok, casual single player games tetaplah menjadi tipe game yang paling digemari. Kami juga pernah menuliskan lebih detail tentang perbedaan dan persamaan antara pasar gaming di Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang.

Persentase gamers yang menyukai berbagai tipe game. | Sumber data: Statista

Sementara itu, tipe game yang paling populer kedua di Tiongkok adalah MOBA.  Di Korea Selatan, posisi tipe game terpopuler kedua ditempati oleh FPS. Sama seperti Indonesia dan Vietnam, gamers Tiongkok kurang menyukai tipe game single player RPG. Buktinya, jumlah penggemar single player RPG paling sedikit jika dibandingkan dengan tipe game lainnya. Lain halnya dengan Korea Selatan. Di negara itu, MMORPG adalah tipe game yang penggemarnya paling sedikit, diikuti battle royale.

Selera gamers India menyerupai gamers Korea Selatan. Di negara itu, casual single player games masih menjadi tipe game yang paling populer. Sebanyak 93,8% gamers mengungkap bahwa casual single player games merupakan tipe game favorit mereka. Sementara posisi kedua diisi oleh FPS, yang menjadi tipe game favorit dari 89,8% responden di India. Sama seperti Korea Selatan, MMORPG menjadi tipe game dengan jumlah fans paling sedikit. Di India, hanya 77,8% gamers yang menyukai tipe game MMORPG.

Genre Favorit dari Gamers di Negara Barat

Di benua Amerika dan Eropa, Statista hanya melakukan survei pada gamers dari tiga negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. Di ketiga negara itu, casual single player games merupakan tipe game dengan jumlah penggemar paling banyak. Di AS, jumlah fans casual single player games mencapai 85,2%. Angka ini naik menjadi 88,4% di Inggris, dan turun menjadi 83% di Jerman.

Baik di AS dan Inggris, casual multiplayer games menjadi tipe game favorit kedua. Hanya saja, jumlah gamers yang menyukai tipe game itu jauh lebih sedikit daripada casual single player gamers. Jumlah responden AS yang mengaku senang memainkan casual multiplayer games hanya mencapai 66,4%. Sementara di Inggris, angka ini turun menjadi 62,4%. Di Jerman, tipe game terpopuler kedua adalah FPS. Sebanyak 62,8% gamers Jerman mengaku senang memainkan tipe game itu.

Tipe game favorit dari gamers di Jerman, Inggris, dan AS. | Sumber data: Statista

Berbanding terbalik dengan Tiongkok, di AS, MOBA menjadi tipe game yang paling tidak disukai. Hanya 46,4% gamers AS yang menyukai tipe game MOBA. Begitu juga dengan gamers Inggris. Jumlah penggemar game MOBA di Inggris tidak jauh berbeda dengan jumlah pecinta MOBA di AS, yaitu 46,6%. Di Jerman, tipe game yang paling tidak diminati adalah MMORPG. Hanya 51,2% gamers yang mengungkap bahwa mereka senang memainkan game itu. Namun, MOBA juga kurang populer. Jumlah gamers Jerman yang menyukai game MOBA hanya mencapai 51,4%, menjadikan MOBA sebagai tipe game paling tidak diminati kedua.

Apa itu Metaverse: Definisi, Relevansi, dan Potensinya?

Beberapa tahun belakangan, metaverse tengah menjadi pembicaraan hangat. Microsoft sedang bereksperimen untuk membuat enterprise metaverse, sementara Facebook baru saja membuat grup metaverse di divisi Reality Labs mereka. Ketika mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar pada April 2021, Epic Games mengungkap bahwa mereka akan menggunakan dana itu untuk merealisasikan visi mereka untuk membuat metaverse.

Pertanyaannya…

Apa Definisi Metaverse?

Istilah metaverse pertama kali digunakan dalam Snow Crash, novel ber-genre cyberpunk yang diterbitkan pada 1992. Dalam novel tersebut, metaverse digambarkan sebagai dunia virtual yang bisa dikunjungi oleh orang-orang melalui perangkat VR. Namun, Snow Crash tidak menggambarkan metaverse sebagai utopia sempurna yang membuat semua orang yang masuk ke dalamnya menjadi bahagia. Sebaliknya, metaverse menciptakan masalah tersendiri, mulai dari kecanduan teknologi, diskriminasi, kekerasan, dan harassment. Sebagian dari masalah itu bahkan sampai terbawa ke dunia nyata.

Saat ini, ada banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse, mulai dari perusahaan game seperti Epic Games dan Tencent, sampai perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Facebook. Begitu banyaknya perusahaan yang tertarik dengan metaverse sehingga definisi dari metaverse itu sendiri pun masih belum seragam. Masing-masing perusahaan seolah-olah punya konsep akan metaverse yang ideal. Berikut beberapa definisi metaverse dari sejumlah tokoh dan perusahaan ternama.

Facebook baru saja membuat divisi metaverse. | Sumber: CNET

“Anda bisa membayangkan metaverse sebagai perwujudan internet yang bisa Anda masuki. Jadi, Anda tidak lagi sekadar melihat apa yang ada di internet,” kata CEO dan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, seperti dikutip dari CNN. Sementara itu, Roblox mengartikan metaverse sebagai ruang virtual 3D dalam semesta virtual yang bisa diakses oleh banyak orang secara bersamaan.

Menurut Tim Sweeney, CEO dan pendiri Epic Games, metaverse adalah media sosial 3D yang bisa diakses secara realtime. Dengan menggunakan media itu, orang-orang akan bisa membuat konten di dunia virtual dan saling berbagi konten tersebut. Para pemain juga akan punya kesempatan yang sama untuk mengubah keadaaan sosioekonomi di dunia virtual tersebut.

Sementara itu, Peter Warman, CEO Newzoo menganggap metaverse sebagai tempat yang memungkinkan orang-orang untuk menjadi penggemar, pemain, dan kreator secara bersamaan. Menurutnya, hal ini akan memaksimalkan engagement, yang juga akan mendorong potensi bisnis.

Jesse Alton, bos dari Open Metaverse, grup yang membuat standar open source untuk metaverse menjelaskan bahwa idealnya, metaverse tidak tergantung pada satu teknologi milik satu perusahaan, tapi terdiri dari berbagai teknologi buatan banyak perusahaan yang saling terhubung dengan satu sama lain.

Apa saja teknologi yang terlibat dalam pengembangan metaverse? Newzoo membagi ekosistem metaverse ke dalam beberapa kategori. Pertama adalah metaverse gateways, yang merupakan pintu bagi konsumen untuk masuk ke metaverse. Newzoo kembali membagi segmen ini menjadi dua kelompok, yaitu centralized atau terpusat dan decentralized atau tersebar.

Dua bagian dari segmen metaverse gateways. | Sumber: Newzoo

Contoh perusahaan yang menyediakan centralized gateways adalah Fortnite, Minecraft, Animal Crossing, Grand Theft Auto Online, Roblox, VRChat, dan lain sebagainya. Sementara contoh platform decentralized gateways adalah The Sandbox, Decentraland, Somnium Space dan lain-lain. Avatar & identitas menjadi bagian lain dari metaverse. Sesuai namanya, perusahaan yang bergerak di bidang ini biasanya akan menawarkan jasa untuk membuat avatar atau identitas di dunia virtual. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini adalah Avatar SDK, The Fabricant, Tafi, dan lain-lain.

Selain gateways dan avatar & identitas, elemen ketiga dari metaverse adalah user interface & immersion. Ada banyak perusahaan game dan teknologi yang masuk dalam kategori ini, seperti Samsung, Apple, HP, HTC, Microsoft HoloLens, Xbox, PlayStation, dan Nintendo Switch. Elemen berikutnya dari metaverse adalah perekonomian. Perusahaan yang masuk dalam kategori ini bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada kaitannya dengan pembayaran (seperti PayPal dan WeChat Pay) serta transaksi jual-beli, (seperti OpenSea, DMarket, dan Elixir). Dalam kategori ini, Anda juga akan menemukan perusahaan crypto wallet seperti Metamask dan Fortmatic, serta perusahaan yang bergerak di bidang NFT, seperti Forte, Ultra, dan Maddie’s.

Elemen sosial juga punya peran penting dalam metaverse. Karena itu, perusahaan-perusahaan media sosial seperti Facebook, LINE, Discord, TikTok, dan lain-lain, merupakan bagian dari ekosistem metaverse. Perusahaan-perusahaan yang membuat game play-to-earn atau play-to-collect, seperti DeltaTime, dan Exceedme juga punya peran tersendiri dalam pengembangan metaverse.

Sejumlah perusahaan yang menjadi bagian dari ekosisstem metaverse. | Sumber: Newzoo

Agar metaverse berjalan dengan baik, diperlukan infrastruktur yang mumpuni. Infrastruktur dari metaverse juga disokong oleh banyak perusahaan dari berbagai segmen, mulai dari segmen cloud dan hosting, visualization & digital twin, decentralized infra, artificial intelligence, sampai adtech & marketing.

Menilik sejarah, sebenarnya metaverse sudah pernah menjadi topik pembicaraan lebih dari 10 tahun lalu. Metaverse Roadmap Summit pertama digelar pada Mei 2006. Satu tahun kemudian, pada 2007, organisasi nirlaba Accelerating Studies Foundation (ASF) merilis studi tentang metaverse. Studi tersebut membahas tentang masa depan metaverse menurut prediksi para akademisi, perusahaan game, para teknisi geospatial, dan media yang ikut serta dalam Metaverse Roadmap Summit. Berdasarkan laporan tersebut, secara garis besar, ada empat skenario yang mungkin terjadi, yaitu augmented reality, lifelogging, virtual worlds, dan mirror worlds.

Saat itu, augmented reality diartikan sebagai teknologi imersif yang bisa melacak posisi pengguna secara otomatis. Sejatinya, teknologi itu berfungsi untuk membantu pengguna mendapatkan informasi tentang suatu tempat atau suatu benda secara instan. Sementara lifelogging disebutkan sebagai penggunaan teknologi AR yang fokus pada sisi komunikasi, memori, dan observasi dari pengguna. Dengan kata lain, teknologi lifelogging, sesuai namanya, memungkinkan pengguna untuk merekam segala sesuatu yang terjadi secara 3D.

Kamera untuk lifelogging. | Sumber: Wikipedia

Sementara itu, virtual world merupakan sistem untuk mengadopsi elemen sosial dan ekonomi masyarakat di dunia nyata ke dunia virtual. Dan mirror worlds adalah teknologi yang akan menampilkan gambar dari Bumi — seperti Google Earth — tapi dilengkapi dengan informasi mendetail terkait tempat-tempat yang ditampilkan. Para ahli memperkirakan, semua ini akan terjadi dalam waktu 10 tahun, yaitu pada 2016. Namun, seperti yang Anda ketahui, hal itu tidak terjadi.

Sekarang, metaverse kembali menjadi tren. Menurut Alton, kali ini, metaverse akhirnya akan bisa direalisasikan. Karena, teknologi yang dibutuhkan untuk membuat metaverse sudah tersedia, seperti prosesor perangkat mobile dan konsol game yang mumpuni, infrastruktur internet yang memadai, dan keberadaan headset VR serta cryptocurrency. Dan yang paling penting, dalam dua tahun terakhir, masyarakat semakin terbiasa untuk hidup di dunia online karena pandemi.

Relevansi Metaverse dengan Industri Game dan Keuntungan dari Metaverse

Industri game banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Tidak hanya muncul genre dan model bisnis baru, cara gamers menikmati game pun mulai melebar. Para gamers memang masih senang untuk bermain game. Namun, mereka juga senang menonton orang lain bermain game. Hal inilah yang mendorong munculnya industri streaming game dan esports. Metaverse dianggap sebagai bagian dari evolusi industri game. Di masa depan, game tak lagi menjadi sebuah layanan, tapi sebuah platform. Artinya, game tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk bermain, tapi juga untuk berkumpul bersama dengan teman atau melakukan kegiatan non-gaming lainnya.

Sekarang, sebagian kreator game telah mengintegrasikan sejumlah kegiatan non-gaming di game mereka. Salah satunya adalah Epic Games, yang pernah menggelar konser virtual di Fortnite. Sementara itu, Balenciaga, merek luxury fashion asal Prancsi, menggelar fashion show di Afterworld: The Age of Tomorrow. Ke depan, diduga akan ada semakin banyak kreator game yang memasukkan elemen non-gaming ke game mereka. Hal ini akan menguntungkan para kreator game. Karena, elemen non-gaming bisa menarik non-gamers untuk mencoba game mereka. Para gamers juga kemungkinan tidak akan keberatan dengan adanya elemen non-gaming di sebuah game. Pasalnya, saat ini pun, banyak gamers yang menggunakan game sebagai tempat untuk bersosialisasi.

Selain keberadaan elemen non-gaming, keberadaan metaverse juga akan memengaruhi game dalam hal lain. Misalnya, dari segi jumlah pemain. Menurut Newzoo, ketika tren metaverse terealisasi, jumlah pemain dalam game di satu waktu bisa mencapai lebih dari 10 ribu orang. Sementara dari segi konten, komunitas akan punya peran lebih besar dalam menyediakan konten dalam game. Karena, metaverse akan mendukung konten buatan pemain/pengguna, seperti yang terlihat di Roblox.

Metaverse juga akan mendorong munculnya model bisnis baru. Karena metaverse game bisa mendorong kegiatan non-gaming di dalam game, perusahaan game akan bisa memonetisasi hal itu. Misalnya, dengan menjual tiket untuk konser digital atau kegiatan non-gaming lainnya. Sekarang, juga mulai banyak perusahaan yang membuat game dengan model play-to-earn, memungkinkan pemain untuk menukar reward yang didapat dalam game dengan uang di dunia nyata. Keberadaan metaverse game juga akan membuka peluang bagi native ads. Karena keberadaan iklan tradisional yang mengganggu akan sulit untuk diterapkan di dunia virtual.

Tak hanya game, keberadaan metaverse juga akan mendorong pertumbuhan sejumlah industri lain, seperti live streaming, cloud, dan VR/AR. Selain itu, keberadaan metaverse juga bisa mempercepat perkembangan teknologi di bidang hardware, infrastruktur jaringan, visualisasi, dan juga AI.

Bagi perusahaan, keberadaan metaverse memberikan keuntungan yang jelas, yaitu membuka ladang bisnis baru. Jadi, tidak heran jika banyak perusahaan yang tertarik untuk mengembangkan metaverse. Namun, apakah para konsumen juga tertarik dengan metaverse? Untuk menjawab pertanyaan itu, Newzoo melakukan survei pada 5,5 ribu orang di empat negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Tiongkok.

Berdasarkan survei Newzoo, diketahui bahwa para konsumen tertarik dengan konsep metaverse. Saat ini, semua ide terkait metaverse disambut dengan hangat. Namun, tingkat antusiasme para responden di empat negara tidak sama. Jika dibandingkan dengan responden di Inggris dan Jepang, responden di AS dan Tiongkok cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse. Umur menjadi faktor lain apakah responden akan mau menerima konsep metaverse. Biasanya, responden muda cenderung lebih terbuka dengan ide metaverse.

Ketertarikan responden untuk menggunakan metaverse pun cukup tinggi. Menariknya, kebanyakan responden lebih tertarik untuk menggunakan metaverse demi melakukan hal-hal sederhana, seperti berkumpul dengan teman dan keluarga, daripada melakukan sesuatu yang fantastis, seperti mengumpulkan banyak orang di dunia virtual untuk mengadakan flash mob.

Berikut data dari Newzoo terkait kegiatan apa yang hendak dilakukan para konsumen di metaverse.

Kegiatan yang ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat di atas, berkumpul dengan teman menjadi kegiatan yang paling ingin dilakukan oleh para responden di metaverse. Sebanyak 42% responden mengaku sangat tertarik untuk berkumpul dengan teman mereka via metaverse, dan 32% lainnya tertarik melakukan hal tersebut. Sementara kegiatan terpopuler kedua adalah berkumpul bersama keluarga. Selain itu, beberapa kegiatan lain yang ingin dilakukan oleh responden di metaverse adalah menonton TV, mengadakan pesta, atau menghadiri konser.

Masalah yang Mungkin Ditimbulkan oleh Metaverse

Kemajuan teknologi selalu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia akan memudahkan kehidupan banyak orang. Di sisi lain, ia juga akan memunculkan masalah baru. Metaverse bukanlah pengecualian. Bahkan sebelum metaverse bisa direalisasikan sepenuhnya, sejumlah pakar sudah memperkirakan masalah yang mungkin muncul, seperti perbedaan pengalaman yang dialami oleh para pengguna.

Zuckerberg menyebutkan, kemungkinan, iklan akan menjadi sumber pemasukan metaverse, sama seperti Facebook. Namun, hal ini membuat sejumlah pakar khawatir. Karena, jika metaverse menjadikan iklan sebagai sumber pemasukan utama, hal ini berpotensi untuk menciptakan kesenjangan di kalangan para pengguna. Pengalaman yang didapatkan pengguna akan tidak sama: tergantung apakah mereka sanggup untuk membayar atau tidak. Hal ini sama seperti model bisnis pay-to-win di industri game. Game dengan model bisnis pay-to-win akan memanjakan para sultan, tapi menyulitkan para pemain yang bermain gratis atau mengeluarkan sedikit uang. Dan hal ini menimbulkan sejumlah masalah.

“Saya tidak ingin melihat dunia virtual yang membagi para penggunanya ke dua kelompok: kelompok berbayar yang mendapatkan pengalaman lebih baik dan kelompok pengguna gratis yang dieksploitasi dengan iklan,” kata Avi Bar-Zeev, pendiri badan konsultan AR dan VR, RealityPrime, dikutip dari CNN. Sebelum mendirikan RealityPrime, dia pernah bekerja di Apple, Amazon, serta Microsoft. Dia menambahkan, keberadaan metaverse juga bisa memperparah online harassment. Karena, di metaverse, seseorang bisa menggunakan avatarnya untuk “menyerang” avatar orang lain.

Masalah lain yang mungkin muncul adalah tentang keamanan dan privasi data. Semakin banyak informasi yang kita unggah ke internet, maka semakin besar pula risiko akan kebocoran data pribadi. Metaverse juga bisa memperburuk masalah misinformasi dan radikalisasi yang sudah marak karena internet saat ini. Bar-Zeev menjelaskan, jika kita bisa mengubah persepsi seseorang akan dunia nyata di dunia virtual, maka dia akan mempercayai semua yang kita katakan, tidak peduli apakah omongan kita benar atau tidak. Menurutnya, untuk mencegah hal-hal buruk terjadi di metaverse, semua pelaku yang terlibat dalam pengembangan teknologi tersebut harus bertanggung jawab.

Lightship adalah platform milik Niantic. | Sumber: VentureBeat

John Hanke, CEO dan pendiri dari Niantic menjadi salah satu orang yang memberikan peringatan akan bahaya dari metaverse. Dalam sebuah tulisan panjang, dia menjelaskan bahwa kita seharusnya menghindari konsep metaverse yang diangkat dalam novel Snow Crash. “Sebagai bagian dari masyarakat, kita harusnya berharap, keadaan di dunia nyata tidak menjadi begitu buruk sehingga kita ingin terus menerus melarikan diri ke dunia virtual,” katanya. “Kita bahkan seharunya berjuang demi memastikan masa depan itu tidak menjadi kenyataan.”

Namun, hal itu bukan berarti Niantic tidak tertarik dengan konsep metaverse.  Hanke sadar, meminta masyarakat untuk berhenti menggunakan teknologi sama sekali adalah hal yang mustahil. Pasalnya, teknologi memang memberikan banyak kemudahan dalam hidup, khususnya dalam mengakses informasi dan menjalin komunikasi dengan teman dan keluarga. Karena itu, Hanke mengatakan, dalam mengembangkan metaverse, Niantic memutuskan untuk fokus pada segmen “reality” dari “augmented reality“.

Dengan kata lain, Niantic ingin membuat metaverse yang justru mendorong para penggunanya untuk pergi keluar rumah dan menjalin hubungan dengan orang-orang dan dunia di sekitar kita. Hanke menyebut konsep metaverse Niantic sebagai “real world metaverse“. Dia berkata, “Teknologi seharusnya digunakan untuk membuat kehidupan sehari-hari manusia menjadi lebih baik dan bukannya digunakan untuk menjadi pengganti dunia nyata.”

Lebih lanjut, Hanke menjelaskan, dalam membuat real world metaverse, ada dua hal yang harus Niantic lakukan. Pertama, mensinkronkan kondisi dari ratusan juta pengguna di dunia virtual serta semua benda virtual yang berinteraksi dengan mereka. Kedua, menghubungkan semua pengguna dan benda itu ke dunia nyata, menurut laporan IGN.

Demi merealisasikan visi augmented world tersebut, Niantic akan terus mengembangkan platform Lightship mereka. Sebelum ini, platform tersebut telah digunakan untuk Pokemon Go. Platform itu memungkinkan para pengguna untuk berinteraksi dengan obyek digital di dunia nyata. Setiap pengguna akan mendapatkan pengalaman yang sama di dunia virtual. Jadi, jika seseorang membuat sebuah perusabahan di dunia digital (misalnya dengan mengambil sebuah objek), perubahan tersebut juga akan dapat dirasakan oleh semua orang yang terhubung ke dunia digital tersebut.

Pokemon Go menunjukkan bagaimana objek virtual bisa dihubungkan dengan dunia nyata.

Metaverse tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah negara. Korea Selatan adalah salah satu negara yang menunjukkan kepedulian akan perkembangan teknologi metaverse. Pada Mei 2021, Korea Selatan membuat alians metaverse yang berisi perusahaan telekomunikasi lokal, perusahaan internet Naver, serta peneliti universitas di negara tersebut. Tujuan dari aliansi itu adalah untuk mendorong perkembangan platform virtual dan augmented reality. Selain itu, mereka juga bertugas untuk membuat kode etik terkait dunia virtual.

Menurut laporan The Register, aliansi metaverse ini juga ditugaskan untuk mendefinisikan platform metaverse nasional. Platform itu harus bisa diakses oleh semua pihak yang ingin menyediakan layanan virtual. Cho Kyeongsik, Wakil Menteri Sains kedua menyebutkan, dia berharap, aliansi metaverse ini akan mencegah agar metaverse tidak menjadi lahan bisnis yang hanya dimonopoli oleh satu perusahaan besar.

Penutup

Metaverse memang diminati oleh banyak perusahaan besar. Meskipun begitu, selalu terbuka kemungkinan bahwa teknologi itu tidak tumbuh besar seperti yang diharapkan. Sebelum ini pun, metaverse pernah menjadi tren teknologi, tapi ia tak pernah terealisasi. Kabar baiknya, selain teknologi yang lebih canggih, sekarang, masyarakat sudah mulai terbuka dengan konsep untuk bersosialisasi di dunia virtual, khususnya melalui game. Sejak tahun lalu, game mulai digunakan sebagai tempat untuk berkumpul atau bahkan mengadakan kegiatan penting, seperti pesta ulang tahun atau pernikahan.

 Sumber header: PC Mag

Niko Partners: Esports dan Metaverse Jadi Pembicaraan Hangat di ChinaJoy 2021

Tiongkok telah mulai pulih dari pandemi virus corona. Karena itu, event offline, seperti China Digital Entertainment Expo & Conference alias ChinaJoy, sudah bisa digelar. Bertema Create Dreams with Technology and Win the Future with Fun, ChinaJoy diadakan pada 30 Juli-2 Agustus 2021. Walau event offline sudah bisa diadakan, penyelenggara ChinaJoy memutuskan untuk memperketat protokol kesehatan karena munculnya kasus varian delta di Nanjing dan Yangzhou.

Menurut laporan Niko Partners, sehari sebelum ChinaJoy diadakan, pengunjung dan perusahaan exhibitor dikabarkan bahwa mereka harus memberikan bukti tes negatif COVID-19 dalam satu minggu terakhir. Tak berhenti sampai di situ, pada pukul 3 pagi, pihak penyelenggara membuat pengumuman baru: hasil tes COVID-19 hanya berlaku jika tes dilakukan dalam 48 jam terakhir. Karena pengetatan protokol kesehatan ini, ada beberapa acara dari ChinaJoy yang harus dibatalkan. Penjualan tiket pun menurun. Orang-orang yang sudah terlanjur membeli tiket tapi tidak bisa menunjukkan bukti tes negatif COVID-19 diperbolehkan untuk melakukan refund.

Perusahaan-Perusahaan yang Hadir di ChinaJoy

ChinaJoy dihadiri oleh lebih dari 500 perusahaan sebagai exhibitor. Produk yang dipamerkan ratusan perusahaan itu beragam, mulai dari hardware, game, sampai solusi cloud gaming. Dari ratusan perusahaan yang hadir di ChinaJoy, sekitar 30% merupakan perusahaan dari luar Tiongkok. Beberapa perusahaan itu antara lain, Sony, Ubisoft, Banda Namco, dan DeNA.

Di ChinaJoy, Ubisoft memperkenalkan Rabbids: Adventure Party di booth mereka. Game tersebut memasukkan elemen cerita Journey to the West pada franchise Rabbids. Game itu diluncurkan secara eksklusif di Tiongkok untuk Nintendo Switch. Sementara itu, Sony memamerkan konsol baru mereka, PlayStation 5, di booth mereka. Di sana para pengunjung juga bisa memainkan demo dari Tales of Arise dan Dynasty Warriors 9: Empires. Selain itu, mereka juga bisa mencoba versi konsol dari Naraka Bladepoint. 

Pada ChinaJoy tahun ini, Sony membuat booth yang jauh lebih besar dari tahun -tahun sebelumnya. Keputusan Sony itu menjadi salah satu bukti bahwa pada tahun 2021, perusahaan-perusahaan game PC dan konsol menjadi semakin serius untuk menarik hati pengunjung ChinaJoy. Meskipun begitu, mobile game tetaplah mendominasi ChinaJoy pada tahun ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain untuk memamerkan game atau konsol baru, ChinaJoy juga digunakan oleh para perusahaan game untuk mengumumkan rencana mereka di masa depan.

Misalnya, Riot Games — yang ada di bawah Tencent — mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di Shanghai. Untuk itu, mereka akan merekrut ratusan pegawai baru. Studio Riot di Shanghai akan bertugas untuk mengembangkan game berdasarkan IP lama dan baru Riot. Dengan membuat studio di Shanghai, Riot berharap, mereka akan bisa lebih fokus untuk memenuhi keinginan gamers Tiongkok. Riot bukan perusahaan game pertama yang melakukan hal itu. Sebelum ini, Supercell dan Garena juga telah membuat markas baru di Shanghai. Hal ini tidak aneh, mengingat Tiongkok memang merupakan pasar game terbesar di dunia.

Di ChinaJoy, perusahaan-perusahaan game asal Tiongkok — seperti Tencent, NetEase, dan miHoYo — juga menunjukkan game-game baru mereka. Dari semua game yang dipamerkan di ChinaJoy, ada cukup banyak game yang masuk dalam kategori anime/comic/games/novels (ACGN). Selain itu, juga ada cukup banyak game yang ditujukan untuk gamers perempuan. Hal ini menjadi bukti lain bahwa sekarang, semakin banyak perempuan yang senang bermain game.

Sementara itu, perusahaan induk TikTok, ByteDance memutuskan untuk fokus menampilkan merek Ohayoo, yang mengkhususkan diri pada game kasual, di ChinaJoy. Namun, Nuverse — merek ByteDance yang fokus pada core gaming — justru tidak menampakkan batang hidungnya. Padahal, belum lama ini, mereka telah mengakuisisi Moonton Games, kreator Mobile Legends, dan C4 Games.

Di ChinaJoy, ByteDance fokus pada merek Ohayoo mereka.Pada tahun 2021, developer dan publisher game bukan satu-satunya perusahaan yang membuka booth di ChinaJoy. Dalam event itu, kini juga tersedia area eksibisi baru untuk menampilkan teknologi VR/AR, Sci-Fi Con, Digital Human AI, dan koleksi model figur. Selain itu, keberadaan perusahaan esports dan live streaming pun semakin terasa. Hal ini terlihat dari booth perusahaan-perusahaan itu yang semakin besar. Bahkan, perusahaan-perusahaan otomotif juga membuka booth di ChinaJoy. Salah satu contohnya adalah BYD. Alasan mereka membuka booth di ChinaJoy adalah karena mereka bekerja sama dengan sejumlah IP game populer untuk memperkenalkan mobil terbaru mereka.

Empat Topik Populer di ChinaJoy

Dalam ChinaJoy, ada empat kategori yang menjadi topik pembicaraan hangat, yaitu esports, cloud gaming, metaverse, dan rencana kreator game Tiongkok untuk melakukan ekspansi global.

Pada awalnya, ChinaJoy akan mengadakan 200 pertandingan esports secara live. Hanya saja, karena pihak penyelenggara harus mengetatkan protokol kesehatan secara mendadak, sebagian besar pertandingan esports di ChinaJoy harus ditiadakan. Kabar baiknya, para publisher game esports — seperti Tencent dengan Honor of Kings atau NetEase dengan Overwatch — masih tetap bisa memamerkan game-game mereka.

Tidak heran jika esports menjadi salah satu kategori yang populer di ChinaJoy. Menurut laporan 2021 Esports in Asia dari Niko Partners, Tiongkok memiliki 400 juta fans esports, menjadikannya sebagai pasar esports terbesar di dunia. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga cukup mendukung industri esports. Salah satu hal yang Beijing lakukan adalah mengakui esports sebagai profesi resmi. Sementara itu, di tingkat provinsi, pemerintah Shangkai menyatakan rencana mereka untuk menjadikan kotanya sebagai ibukota esports di dunia.

Pemasukan dan jumlah penonton esports di Asia. | Sumber: Niko Partners

Selain publisher game, perusahaan-perusahaan live streaming dan platform video singkat juga ikut berkontribusi untuk meramaikan segmen esports dalam ChinaJoy. Bahkan JD.com, perusahaan e-commerce asal Tiongkok, pun punya andil. Di ChinaJoy, mereka membuat booth seluas 3.000 meter kuadrat untuk mempromosikan produk-produk terkait esports, seperti aksesori PC. Memang, selama ini, JD.com cukup aktif di dunia esports. Buktinya, mereka punya tim yang berlaga di Honor of Kings dan League of Legends.

Kategori lain yang menjadi sorotan di ChinaJoy adalah cloud gaming. Saat ini, segmen cloud gaming tidak hanya menarik perhatian perusahaan, tapi juga pemerintah. Meskipun begitu, kebanyakan platform gaming yang tersedia di Tiongkok saat ini masih dalam tahap percobaan. Biasanya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di teknologi cloud gaming menjadikan ChinaJoy sebagai tempat untuk mengumumkan update terbaru. Contohnya, divisi Migu milik China Mobile — perusahaan telekomunikasi Tiongkok — memutuskan untuk bekerja sama dengan Kingsoft Cloud dan Xiaomi untuk mencari cara baru dalam mendistribusikan cloud game via jaringan 5G.

Cloud Gaming jadi salah satu topik yang dibahas di China Joy. | Sumber: Niko Partners

Selain cloud gaming dan esports, hal lain yang menjadi topik pembicaraan di ChinaJoy adalah metaverse. Saat ini, metaverse diartikan sebagai penggabungan dunia nyata dengan dunia virtual atau augmented secara online. Di tingkat global, ada beberapa perusahaan game dan teknologi besar yang menunjukkan ketertarikan dengan metaverse. Sebut saja Epic Games, Roblox, Facebook, dan Microsoft. Empat perusahaan itu telah mengungkap bahwa mereka ingin mengembangkan metaverse. Jadi, tidak heran jika Tencent, publisher game terbesar di dunia, juga tertarik dengan metaverse.

Vice President, Tencent, Liu Ming mengungkap bahwa Tencent percaya, dengan teknologi yang ada saat ini, mereka akan bisa membuat hyper digital reality, menggabungkan dunia nyata dan digital. Untuk itu, mereka akan memanfaatkan teknologi milik Epic Games, yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh Tencent. Selain itu, Tencent juga telah mengadakan kerja sama strategis dengan Roblox Corp. Dalam 10 tahun ke depan, Tencent berencana untuk membuat sekitar 8-10 game yang menggunakan konsep metaverse.

Terakhir, topik yang diangkat di ChinaJoy adalah rencana kreator game Tiongkok untuk melebarkan sayapnya ke luar negeri. Rencana ini didorong oleh kesuksesan game-game buatan Tiongkok, seperti Genshin Impact dan AfK Arena, di pasar luar Tiongkok. Dalam ChinaJoy International Game Business Conference, beberapa juru bicara perusahaan game menyebutkan, dua hal yang membuat mereka sukses di pasar luar Tiongkok adalah game yang berkualitas serta tim pelokalan yang baik.

Sejauh ini, kebanyakan game Tiongkok yang sukses di luar negara itu adalah mobile game. Meskipun begitu, game-game konsol dan PC buatan developer Tiongkok juga mulai diminati oleh gamers global. Biasanya, game-game tersebut dibuat oleh developer kecil atau sedang.

Ragnarok M: Eternal Love Gelar Event Khusus dengan Disney, Razer Buka Pendaftaran untuk Uji Masker RGB

Ragnarok M: Eternal Love dan Disney mengadakan event crossover yang ditujukan khusus untuk para pemain di Asia Tenggara. Sementara itu, Call of Duty: Black Ops Cold War bakal mendapatkan mode baru bernama Double Agents. Minggu lalu, Razer juga membuka pendaftaran untuk menguji masker RGB mereka, Zephyr.

Ragnarok M: Eternal Love Adakan Event Crossover dengan Disney untuk Pemain Asia Tenggara

Ragnarok M: Eternal Love akan berkolaborasi dengan Disney untuk menggelar event berjudul “Disney x RO: M – Believe in Magic”. Saat event ini dimulai, para pemain Ragnarok akan bisa mendapatkan item ekslusif, seperti furniture dan pakaian khas Disney. Di event ini, para pemain juga bisa melakukan kustomisasi pada karakter mereka, membuat karakter mereka tampil seperti karakter-karakter populer dari Disney, mulai Ariel, Belle, Cinderella, dan Rapunzel, sampai Mickey Mouse, Donald Duck, dan Goofy, lapor IGN. Event crossover ini merupakan bagian dari update Isle of Dreams dan hanya akan tersedia secara eksklusif untuk kawasan Asia Tenggara.

Para pemain akan bisa mendapatkan skin khas karakter Disney.

Zynga Akuisisi StarLark

Zynga baru saja mengakuisisi StarLark, developer game asal Tiongkok, serta mobile game Gold Rival dari Betta Games. Akuisisi tersebut bernilai US$525 juta. Golf Rival adalah mobile game golf terbesar kedua setelah Golf Clash dari Playdemic. Studio Playdemic sendiri sedang dalam proses akuisisi senilai US$1,4 miliar oleh Electronic Arts.

Di bawah kepemimpinan CEO Frank Gibeau, Zynga memang terus melakukan akuisisi. Zynga mulai sibuk melakukan akuisisi pada 2017. Ketika itu, mereka membeli card game kasual dari Peak Games senilai US$100 juta. Pada Mei 2018, Zynga membeli Gram Games seharga US$250 juta. Setelah itu, pada akhir 2018, mereka mengakuisisi Small Giant Games, developer dari Empires & Puzzles, dengan nilai US$560 juta, menurut laporan VentureBeat.

Salah satu akuisisi besar-besaran yang Zynga lakukan adalah akuisisi Peak Games pada Juni 2020. Ketika itu, mereka mengeluarkan US$1,8 miliar. Pada Oktober 2020, Zynga membeli developer game hypercasual Rollic dengan nilai US$180 juta. Mereka juga membeli Echtra Games, kreator dari Torchlight, untuk menjajaki pasar game PC.

Razer Buka Pendaftaran untuk Uji Masker RGB, Zephyr

Proyek masker RGB Razer — yang sebelumnya disebut Project Hazel — kini resmi dinamai Zephyr. Sekarang, mereka telah membuka pendaftaran bagi orang-orang yang ingin mencoba masker tersebut sebelum ia diluncurkan. Jika Anda tertarik, Anda bisa mendaftarkan diri di sini. Untuk mendaftarkan diri, Anda hanya perlu menuliskan nama, negara, email, media sosial, dan alasan singkat mengapa Anda ingin mencoba masker tersebut.

Razer pertama kali memperkenalkan konsep masker RGB pada CES 2021 di Januari. Pada Maret 2021, mereka mengonfirmasi bahwa mereka akan merealisasikan konsep tersebut. Razer Zephyr diperkirakan akan diluncurkan pada tahun ini. Namun, CEO Razer, Min-Liang Tan memperingatkan,  masker RGB ini akan tersedia dalam jumlah terbatas setelah diluncurkan, menurut laporan IGN.

Mario Kart 8 Deluxe Terjual Sebanyak 37 Juta Unit di Nintendo Switch

Pada kuartal lalu, Nintendo meluncurkan beberapa game baru. Dan game-game itu laris manis. New Pokemon Snap berhasil terjual sebanyak 2,07 juta unit, Mario Golf: Super Rush 1,34 juta unit, dan Miitopia terjual sebanyak 1,04 juta unit. Menariknya, game-game Nintendo yang tidak terlalu baru pun tetap populer di kalangan gamers. Buktinya, pada Q2 2021, Mario Kart 8 Deluxe — yang diluncurkan pada 2014 — terjual sebanyak 1,69 juta unit. Sementara Animal Crossing: New Horizons yang diluncurkan pada tahun lalu, terjual sebanyak 1,26 juta unit. Secara keseluruhan, Mario Kart 8 Deluxe telah terjual sebanyak 37 juta unit dan Animal Crossing sebanyak 34 juta unit.

Menurut VentureBeat, hal inilah yang membedakan Nintendo dengan Microsoft dan Sony. Xbox dan PlayStation memang punya game-game populer. Namun, sebagian besar pemasukan mereka berasal dari penjualan game ketika ia diluncurkan. Sementara itu, gamer Nintendo terkadang tetap membeli game buatan Nintendo walau game itu telah cukup berumur.

Call of Duty Dapat Mode Baru, Mirip dengan Among Us

Di season terbaru, Call of Duty: Black Ops Cold War akan mendapatkan mode baru. Mode yang bernama Double Agent ini memiliki konsep yang serupa dengan gameplay dari Among Us. Di mode Double Agent, ada 3 peran yang bisa didapatkan secara random oleh 10 pemain. Ketiga peran itu adalah Double Agent, Operative, dan Investigator, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Kebanyakan pemain akan mendapatkan peran sebagai Operative, yang harus bertahan hidup dan menemukan pemain yang berperan sebagai Double Agent. Sementara itu, sebagai Double Agent, pemain ditugaskan untuk membunuh pemain lain atau memasang dan meledakkan bom. Terakhir, pemain yang mendapatkan peran Investigator akan mendapatkan petunjuk ekstra, agar mereka bisa menemukan Double Agent dengan lebih mudah. Selain itu, mereka juga bisa memasang Wanted Orders jika mereka punya dugaan siapa yang menjadi Double Agent.

Tren Toko Game Digital Turunkan Potongan untuk Developer

Saat ini, Steam masih menjadi platform distribusi game PC paling dominan. Meskipun begitu, kebanyakan developer game merasa, potongan yang Steam dapatkan dari para developer — sebesar 30% dari total pemasukan sebuah game — terlalu besar. Hal ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh Game Developers Conference (GDC) pada lebih dari tiga ribu pelaku industri game.

Dari survei GDC tersebut, diketahui bahwa hanya 3% responden yang menganggap, Steam dan GOG pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sebanyak 3% responden lainnya mengatakan, potongan tersebut sudah sangat adil. Namun, sebagian besar responden merasa, platform distribusi digital seperti Steam seharusnya menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer. Sebanyak 43% responden menganggap, platform distribusi seharusnya hanya mengenakan potongan sebesar 10-15%.

Survei yang GDC lakukan merupakan survei tahunan. Pada 2020, survei GDC juga memuat pertanyaan tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital game. Tahun lalu, hanya 7% responden yang merasa bahwa Steam pantas untuk mendapatkan potongan sebesar 30% dari total pemasukan game. Sementara pada 2019, GDC secara gamblang menanyakan pada para responden apakah Steam pantas untuk mengambil potongan sebesar 30% dari para developer game. Saat itu, sebanyak 32% responden menjawab “tidak”, sementara 27% lainnya menjawab “sepertinya tidak”.

Selama bertahun-tahun, potongan 30% yang didapatkan oleh platform distribusi digital game dianggap sebagai standar industri. Namun, beberapa tahun terakhir, muncul diskusi yang membahas tentang apakah platform distribusi game memang pantas untuk menetapkan potongan sebesar 30%. Peluncuran Epic Games Store pada akhir 2018 menjadi pemicu diskusi tersebut. Pasalnya, Epic berani menawarkan potongan yang jauh lebih kecil, hanya 12%.

Strategi Epic Games

Sebenarnya, platform distribusi digital game tidak menetapkan potongan sebesar 30% secara asal. Angka ini didasarkan pada potongan yang diambil oleh penjual retail di era CD, DVD, dan game disc. Ketika itu, penjual retail akan mengambil potongan sebesar 30% dari total penjualan game yang dijual di toko mereka. Walau dapat potongan, para penjual retail tidak bertanggung jawab atas biaya pengiriman dan produksi dari CD/DVD game yang hendak dijual. Berdasarkan laporan IGN pada 2019, toko retail — seperti Amazon, Gamestop, Best Buy dan Walmart — juga masih mengenakan potongan biaya 30% pada developer game.

Besar potongan yang diambil oleh penjual retail. | Sumber: IGN

Berbeda dengan toko fisik, platform digital tidak memerlukan biaya untuk membangun atau menyewa ruangan. Lalu, kenapa developer tetap dikenakan potongan? Alasannya, karena platform distribusi digital tetap membutuhkan biaya untuk membangun dan mempertahankan infrastruktur yang mereka miliki serta mengurus manajemen copy rights digital. Meskipun begitu, seperti yang dibuktikan oleh survei GDC, sebagian developer tetap merasa bahwa potongan sebesar 30% yang dikenakan oleh platform distribusi digital terlalu mahal.

Diskusi tentang potongan yang dikenakan oleh platform distribusi digital pada developer game dimulai ketika Epic Games meluncurkan platform distribusi mereka sendiri, yaitu Epic Games Store (EGS). Ketika itu, EGS berjanji bahwa mereka hanya akan mengambil 12% dari total pemasukan sebuah game. Meskipun begitu, platform distribusi lain tidak serta-merta mengikuti Epic dan menurunkan potongan yang mereka berikan pada developer game. Faktanya, Microsoft baru menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer pada April 2021.

Walau EGS menawarkan potongan yang lebih kecil untuk developer, tak bisa dipungkiri, Steam tetap lebih populer baik di kalangan gamers maupun developer. Berdasarkan survei GDC, hanya 6% developer yang mendapatkan untung besar dari dari EGS. Sebanyak 78% bahkan mengaku, mereka tidak menjual game mereka di EGS. Sementara itu, sebanyak 47% developer mengatakan bahwa lebih dari setengah pemasukan mereka berasal dari Steam. Dan hanya 40% developer yang memutuskan untuk tidak menjual game mereka via Steam.

Persentase potongan yang dikenakan oleh EGS. | Sumber: EGS

Selain masalah popularitas, EGS juga masih kalah dari Steam dari segi fitur, apalagi soal konten dari komunitas. Jumlah game yang tersedia di EGS juga jauh lebih sedikit. Alasannya, Epic masih menyaring game apa saja yang boleh masuk ke EGS. Sementara di Steam, semua developer bisa memasukkan game mereka di platform tersebut selama mereka bersedia membayar biaya sebesar US$100. Menurut PC Gamer, Epic berencana untuk membuka akses ke EGS ke lebih banyak developer pada akhir tahun ini. Mereka juga terus menambah fitur baru ke EGS agar tidak kalah dari Steam.

Untuk bersaing dengan Steam, salah satu strategi yang Epic gunakan adalah dengan menyediakan game eksklusif di EGS. Untuk itu, mereka telah menghabiskan ratusan juta dollar. Hanya saja, strategi ini membuat banyak gamers PC berang. Saat ini, EGS juga masih belum bisa mendapatkan untung. Namun, Epic percaya, di masa depan, EGS akan menghasilkan untung walau mereka hanya mengambil potongan sebesar 12% dari para developer game. Jika Epic bisa merealisasikan visi mereka tersebut, tak tertutup kemungkinan, akan ada lebih banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di EGS.

Microsoft Juga Turunkan Potongan untuk Developer Game PC

Pada April 2021, Microsoft memutuskan untuk mengikuti jejak Epic Games dan menurunkan besar potongan yang mereka kenakan untuk developer game,dari 30% menjadi 12%. Ketentuan baru ini akan berlaku per 1 Agustus 2021. Seperti yang disebutkan oleh Polygon, keputusan Microsoft ini akan menguntungkan developer. Namun, alasan Microsoft melakukan hal ini tidak sepenuhnya altruistik. Dengan menurunkan potongan yang dikenakan pada developer, Microsoft berharap, akan ada semakin banyak developer yang tertarik untuk merilis game mereka di platform milik Microsoft.

“Developers game punya peran penting dalam usaha kami untuk menyediakan game-game hebat pada para gamers kami, dan kami ingin para developer bisa meraih sukses di platform kami,” kata Matt Booty, Head of Xbox Game Studios, Microsoft, seperti dikutip dari The Verge. “Sistem bagi hasil yang jelas berarti para developers akan bisa membuat lebih banyak game berkualitas untuk para gamers dan bisa menjadi lebih sukses.”

Microsoft berharap akan ada semakin banyak developer yang mau merilis game di Windows Store. | Sumber: The Verge

Sayangnya, Microsoft hanya menurunkan persentase potongan untuk developer game PC. Jadi, developer game Xbox akan tetap dikenakan potongan sebesar 30%. Microsoft tidak menjelaskan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Kemungkinan, alasan mengapa mereka membedakan besar potongan yang dikenakan pada para developer game PC dan Xbox adalah karena model bisnis gaming Xbox yang memang berbeda dari PC.

Selain untuk menarik lebih banyak developer, keputusan Microsoft untuk mengikuti jejak Epic juga akan menjadi pendorong bagi Steam untuk melakukan hal yang sama. Memang, pada November 2018, Steam mengubah kebijakan mereka tentang potongan yang mereka kenakan pada developer. Namun, mereka masih mengenakan potongan sebesar 30%. Persentase potongan di Steam akan turun menjadi 25% ketika pemasukan sebuah game mencapai US$10 juta. Setelah itu, jika sebuah game mendapatkan pemasukan lebih dari US$50 juta, maka potongan yang Steam kenakan akan kembali turun, menjadi 20%.

Berapa Besar Potongan yang Dikenakan Pada Developer Mobile?

Pada awalnya, platform distribusi aplikasi mobile, seperti App Store dan Play Store, juga mengenakan potongan sebesar 30% pada developer aplikasi. Namun, belakangan, besar potongan yang dikenakan pada developer telah turun. Pada November 2020, Apple mengumumkan program bernama App Store Small Business. Program tersebut bertujuan untuk membantu developer kecil.

Program App Store Small Business berlaku per 1 Januari 2021. Untuk ikut serta dalam program ini, para developer harus mendaftarkan diri. Melalui program itu, developer yang pemasukan tahunannya tidak mencapai US$1 juta per tahun hanya perlu membayar potongan sebesar 15%. Namun, ketika pemasukan sebuah developer menembus US$1 juta, mereka akan dikeluarkan dari program ini dan harus membayar potongan sebesar 30%, seperti yang disebutkan oleh The Verge.

Apple mulai menurunkan potongan yang dikenakan pada developer aplikasi kecil.

Sementara itu, Google mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi besar potongan yang mereka kenakan pada developer pada Maret 2021. Sama seperti Apple, Google hanya akan mengenakan potongan sebesar 15% pada developers yang pemasukannya kurang dari US$1 juta. Begitu pemasukan sebuah developer menembus batas US$1 juta, maka mereka harus membayar potongan sebesar 30%.

Menurut laporan VentureBeat, alasan Google dan Apple menurunkan potongan yang mereka kenakan pada developer aplikasi tidak hanya karena tren serupa terjadi di industri game PC. Alasan lain Apple dan Google melakukan hal itu adalah karena adanya ancaman dari pihak ketiga, yaitu Huawei. Tahun lalu, Huawei menawarkan developer bahwa mereka hanya akan mengambil potongan sebesar 0-15%. Hal ini bisa membahayakan keberadaan App Store dan Play Store karena saat ini, Huawei punya lebih dari 530 juta pengguna aktif. Dan setiap tahunnya, ada 384 miliar aplikasi yang dipasang di perangkat buatan Huawei.

Sumber header: VentureBeat

The Witcher: Monster Slayer Diunduh 1 Juta Kali Dalam Seminggu, Riot Games Buka Studio Baru di Shanghai

Hanya dalam waktu seminggu, game The Witcher: Monster Slayer telah diunduh sebanyak satu juta kali. Sementara itu, Krafton diperkirakan akan mendapatkan US$3,75 miliar saat melakukan IPO di 10 Agustus 2021 mendatang. Microsoft mengungkap, penjualan konsol Xbox Series X|S berhasil mendorong pemasukan divisi gaming mereka. Selain itu, Riot Games berencana untuk membuka studio baru di Shanghai, Tiongkok.

Riot Games Bakal Buat Studio Baru di Shanghai

Riot Games akan membuat studio game baru di Shanghai, Tiongkok. Studio itu akan fokus pada game-game yang telah Riot luncurkan, kata Vice President dan Head of Operations Riot Games di Tiongkok, Leo Lin pada CNBC. Alasan Riot membuka kantor baru di Tiongkok adalah karena mereka percaya, pasar gaming Tiongkok masih punya potensi besar. Memang, sejak diluncurkan pada 2011, League of Legends berhasil menjaring banyak pemain dari Tiongkok.

“Di Tiongkok, ada banyak pemain League of Legends yang sangat berdedikasi,” kata Lin, seperti dikutip dari Dot Esports. “Karena itu, kami ingin mengerahkan lebih banyak tenaga untuk pasar Tiongkok. Kami tidak hanya akan fokus esports, tapi juga hal lain, seperti pengembangan game dan media hiburan lain.”

Pemasukan Divsii Gaming Microsoft Naik Berkat Penjualan Xbox Series X|S

Minggu lalu, Microsoft memberikan laporan keuangan Q4 tahun fiskal 2021 —  yang berlangsung sejak 1 April 2021 sampai 30 Juni 2021 — pada para investor. Dari laporan itu, diketahui bahwa pemasukan Microsoft naik 21%, menjadi US$46,2 miliar. Menariknya, divisi yang mendorong pertumbuhan pemasukan Microsoft bukan divisi computing, tapi divisi Intelligent Cloud. Pemasukan dari segmen Intelligent  Cloud mencapai US$17,4 miliar, naik 30% dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, pemasukan dari Azure naik 51%. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa segmen cloud Microsoft bisa tumbuh begitu pesat.

Xbox Series X. | Sumber: CNET

Sayangnya, Microsoft menyebutkan bahwa pemasukan dari konten dan layanan Xbox turun 4%. Kabar baiknya, pemasukan dari segmen gaming justru naik 11% menjadi US$357 juta. Penjualan konsol Xbox menjadi alasan di balik pertumbuhan pemasukan segmen gaming. Tidak tanggung-tanggun, penjualan hardware Xbox naik 172%. Pertumbuhan ini terjadi karena larisnya Xbox Series X|S. Selain itu, harga dari konsol tersebut yang cukup mahal, menurut laporan Dot Espots.

Krafton Diperkirakan Bakal Dapat US$3,75 Miliar Saat IPO

Krafton, perusahaan induk dari Player Unknown’s Battleground, akan melakukan penawaran saham perdana (IPO) pada 10 Agustus 2021. Ketika itu, mereka diperkirakan akan mendapatkan kucuran dana sebesar US$3,75 miliar. Meskipun begitu, angka itu sebenarnya 25% lebih rendah dari perkiraan. Alasannya adalah karena pihak regulator meminta Krafton untuk merevisi rencana IPO mereka, menurut Reuters. Meskipun begitu, IPO Krafton tetap akan menjadi IPO terbesar kedua di Korea Selatan.

Dana dari IPO ini akan Krafton gunakan untuk merger dan akuisisi dari perusahaan-perusahaan game global. Selain itu, mereka juga ingin melakukan ekspansi dari intellectual property mereka, yaitu PUBG. Tak hanya game, mereka juga ingin menyajikan PUBG dalam format lain, seperti film dan animasi, lapor GamesIndustry. Krafton mendaftarkan dokumen IPO pada April 2021. Ketika itu, para analis memperkirakan bahwa mereka akan mendapatkan modal segar sebesar US$17,9 miliar.

Dalam Seminggu, The Witcher: Monster Slayer Telah Diunduh Sebanyak 1 Juta Kali

Hanya dalam waktu seminggu setelah diluncurkan, The Witcher: Monster Slayer  berhasil mendapatkan satu juta downloads. Menurut Sensor Tower, game itu paling banyak diunduh di Polandia, yang merupakan markas sang developer. Selain 1 juta downloads, The Witcher: Monster Slayers juga berhasil meraup US$500 ribu dalam seminggu. Sebagian besar pemasukan ini datang dari para pemain di Amerika Serikat, lapor GamesIndustry.

The Witcher: Monster Slayer menggunakan teknologi AI.

Dibuat oleh Spokko, The Witcher: Monster Slayer adalah mobile RPG yang menggunakan teknologi AR. Dengan begitu, pemain bisa memburu monster di dunia nyata, serupa dengan Pokemon Go. Game itu telah tersedia di App Store dan Play Store.

Smilegate Investasi ke Studio Baru dari Para Veteran Industri Game

Smilegate menanamkan investasi sebesar US$100 juta ke That’s No Moon Entertainment. Studio game baru ini ingin fokus pada game AAA. Memang, That’s No Moon berisi para veteran industri game, seperti Taylor Kurosaki, mantan Narrative Director di Infinity Ward dan mantan Narrative Design Lead di Naughty Dog. Di That’s No Moon, dia akan menjabat sebagai Creative Director. Dia juga akan memimpin proyek pertama dari That’s No Moon.

Selain Kurosaki, That’s No Moon juga punya Jacob Minkoff, mantan Design Director dari Call of Duty: Modern Warfare di Infinity Ward dan Lead Game Designer untuk The Last of Us di Naughty Dog. Sekarang, dia akan menduduki posisi Game Director. Sementara di posisi CEO, That’s No Moon mempekerjakan mantan Head of PlayStation’s Visual Arts Group, Michael Mumbauer. Dia  ikut serta dalam pembuatan berbagai game populer, seperti Ratchet & Clank, God of War, dan seri Uncharted.

Saat ini, That’s No Moon telah beroperasi selama 6 bulan dan memiliki 40 pekerja. Pada akhir 2022, mereka berencana untuk menambahkan pekerja mereka menjadi 2022. Sebagai studio, That’s No Moon ingin mengkhususkan diri pada pembuatan game AAA yang fokus pada cerita. Mumbauer mengungkap, That’s No Moon ingin bisa mengalahkan studio-studio besar dan mendorong standar kualitas game dari AAA, lapor GamesIndustry.

Perubahan Kebiasaan Menonton Masyarakat: Jumlah Penonton Olimpiade di TV Turun dan di Aplikasi Naik

Ketika disiarkan di NBC Universal, upacara pembukaan Olimpiade Tokyo hanya ditonton oleh 16,7 juta orang. Dengan ini, jumlah penonton upacara pembukaan Olimpiade Tokyo menjadi yang paling kecil dalam 33 tahun terakhir. Sebagai perbandingan, jumlah penonton Olimpiade Rio De Janeiro 2016 mencapai 26,5 juta dan Olimpiade London 2012 mencapai 40,7 juta. Hal itu berarti, jumlah penonton Olimpiade Tokyo menurun 37% jika dibandingkan dengan Olimpiade Rio dan turun 59% dari jumlah penonton Olimpiade London.

Kabar baiknya, NBC tidak hanya menayangkan acara pembukaan Olimpiade Tokyo di channel televisi mereka, tapi juga di platform mereka yang lain, seperti NBCOlympics.com dan aplikasi NBC Sports. Menariknya, walau jumlah penonton TV turun, jumlah penonton streaming di platform lain justru naik, seperti yang disebutkan oleh Kontan. Jumlah penonton Olimpiade Tokyo di platform streaming NBC naik 76% dari jumlah penonton Olimpiade PyeongChang 2018 dan naik 72% dari jumlah penonton Olimpiade Rio.

Naiknya Jumlah Downloads Aplikasi Olimpiade Tokyo 

Setelah ditunda karena pandemi, Olimpiade Tokyo akhirnya dimulai pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, larangan untuk berkerumun masih berlaku. Alhasil, tidak banyak orang yang bisa menonton pertandingan Olimpiade secara langsung. Hal ini berujung pada meningkatnya jumlah download aplikasi terkait Olimpiade, seperti IOC Olympics dan Peacock. Dalam waktu dua bulan menjelang Olimpiade Tokyo, jumlah downloads dari aplikasi IOC Olympics menunjukkan tren naik. Pada puncaknya, di 25 Juli 2021, aplikasi itu diunduh sebanyak 325 ribu kali dalam sehari.

Besar pertumbuhan jumlah download aplikasi Olimpiade selama 23-25 Juli 2021. | Sumber: App Annie

Menurut data dari App Annie, Tiongkok menjadi negara dengan pertumbuhan jumlah downloads paling besar. Peak downloads dari aplikasi terkait Olimpiade  terjadi pada 23-25 Juli 2021. Ketika itu, total downloads aplikasi Olimpiade di Tiongkok naik 2270% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata pada satu minggu sebelumnya. Korea Selatan menjadi negara dengan pertumbuhan downloads aplikasi Olimpiade Tokyo terbesar kedua, mencapai 1750% dan India di posisi ketiga dengan pertumbuhan 940%.

Selain aplikasi terkait Olimpiade, aplikasi streaming pertandingan Olimpiade Tokyo juga mengalami kenaikan. Di Rusia, aplikasi Олимпиада Токио alias Olimpiade Tokyo, dirilis pada 16 Juli 2021. Pada puncaknya, di 23-25 Juli 2021, total downloads dari aplikasi itu naik 1305% jika dibandingkan dengan jumlah downloads rata-rata harian pada satu minggu setelah aplikasi diluncurkan.

Pertumbuhan download aplikasi Olimpiade di masing-masing negara. | Sumber: App Annie

Di Eropa, jumlah downloads dari aplikasi Eurosport naik 1040% sejak upacara pembukaan Olimpiade Tokyo digelar. Sementara di Jepang, yang menjadi tuan rumah dari Olimpiade Tokyo, aplikasi NHKプラス mengalami pertumbuhan jumlah downloads sebesar 510%. Pada 23-25 Juli 2021, aplikasi itu duduk di peringkat 11 dalam daftar aplikasi dengan jumlah downloads terbanyak . Padahal, 3 hari sebelumnya, aplikasi tersebut ada di peringkat 79.

Game Kasual Tingkatkan Jumlah Downloads

Selain tren terkait total downloads aplikasi Olimpiade Tokyo, App Annie juga membahas tentang tren downloads game dan aplikasi streaming di laporan terbaru mereka. Pada 2021, total belanja mobile gamers diperkirakan akan mencapai US$120 miliar. Angka ini lebih besar 1,5 lipat dari total belanja oleh gamers di platform lain.

Tahun lalu, core gamers memberikan kontribusi terbesar dalam hal spending. Dari total belanja mobile gamers, core gamers memberikan kontribusi sebesar 66%. Sementara itu, kasual gamers hanya memberikan kontribusi sebesar 23% dari total belanja mobile gamers, dan casino gamers sebesar 11%. Jika dibandingkan dengan gamers kasual dan pemain game kasino, core gamers juga menghabiskan waktu paling banyak untuk bermain game. Namun, dari segi jumlah downloads, gamers kasual menjadi kontributor terbesar. Dari total downloads pada 2020, sebanyak 78% berasal dari gamers kasual, 20% dari core gamers, dan 2% dari casino gamers.

Dalam laporannya, App Annie membagi mobile game ke dalam 112 subgenre. Dari semua subgenre ittu, subgenre kasual, simulasi, dan sandbox mendapatkan market share paling besar pada 2020. Secara total, pangsa pasar dari ketiga subgenre itu hampir mencapai 7%, naik 1,9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, kasual, arcade, dan other arcade jadi subgenre dengan pertumbuhan waktu main paling besar. Pada 2020, total hours spent dari ketiga subgenre tersebut mencapai 4,5 miliar jam, naik 300% dari tahun 2019.

Pertumbuhan total hours spent dari masing-masing subgenre pada 2020. | Sumber: App Annie

Pada 2020, salah satu hal yang mendorong para mobile gamers untuk berbelanja dalam game adalah keberadaan events. Secara global, total pemasukan dari events yang didapat oleh industri mobile game mencapai US$53 miliar. Fitur lain yang membuat gamers terdorong untuk menghabiskan uang dalam game adalah fitur kustomisasi dan leaderboards. Total spending berkat fitur kustomisasi mencapai US$47,1 miliar dan total belanja dari fitur leaderboards mencapai US$46,8 miliar.

Fitur events, leaderboards, dan kustomisasi sangat populer di kalangan mobile gamers Amerika Utara dan Eropa. Meskipun begitu, fitur-fitur tersebut justru tidak terlalu populer di kalangan mobile gamers di Asia Pasifik. Misalnya, di Tiongkok, dua fitur yang mendorong jumlah belanja para gamers adalah fitur chat serta klan dan guild. Di Jepang, daily & logins menjadi salah satu fitur dalam game yang bisa mendorong para pemain untuk menghabiskan uang. Dan di Korea Selatan, competitive multiplayer menjadi fitur yang meningkatkan total belanja para gamers.

Kebiasaan Menonton Aplikasi Streaming Video

Selama pandemi, banyak orang yang menjadi lebih sering bermain mobile game. Selain bermain game itu, mereka juga menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk menonton konten di platform streaming. Buktinya, pada 2020, total jam yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten streaming naik 40%.

Di Asia Pasifik, negara yang menghabiskan paling banyak waktu untuk menonton konten streaming adalah Tiongkok, diikuti dengan India dan Indonesia di posisi ketiga. Pada Q4 2020, total jam yang dihabiskan masyarakat Tiongkok untuk menonton aplikasi streaming mencapai 90,82 miliar jam. Sementara di India, total hours spent menonton konten streaming mencapai 47,21 miliar jam, dan di Indonesia 8,33 miliar jam. Secara global, total waktu yang dihabiskan untuk menonton konten streaming adalah 239,1 miliar jam.

Jumlah rata-rata waktu yang dihabiskan untuk menonton aplikasi streaming di Indonesia. | Sumber: App Annie

Dengan Tiongkok sebagai pengecualian, YouTube menjadi aplikasi streaming paling populer di semua negara yang App Annie survei. Selain YouTube, Twitch juga cukup populer. Hal ini menunjukkan, konten esports dan livestreaming kini semakin digemari.

Pada 2020, durasi menonton rata-rata dari pengguna YouTube Indonesia mencapai 25,9 jam setiap bulan, naik dari 21,8 jam per bulan pada 2019. Selain itu, lama waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk menonton konten di YouTube Go juga mengalami kenaikan: dari 12,7 jam per bulan pada 2019 menjadi 15,5 jam per bulan pada 2020. Selain YouTube dan YouTube Go, tiga aplikasi streaming video lain yang populer di Indonesia adalah MX Player, Netflix, dan Viu.

AMD Introduces RX 6600 XT for Your 1080p Gaming Needs

AMD just launched a new GPU: RX 6600 XT. Based on RDNA 2 architecture, it has 32 Compute Units (CUs). For comparison, RX 6700 XT, sold at US$479, has 40 CUs and PlayStation 5 has 36CUs. With 8GB of GDDR6, RX 6600 XT will need 160W of power. Just like other graphic cards with RDNA 2 architecture, RX 6600 XT also has Infinity Cache. But the newest GPU from AMD only has 32MB Infinity Cache while other RX-6000 series can have 96MB or 128MB Infinity Cache.

Inside the RX 6600 XT, AMD puts 32 Ray Accelerators. These dedicated ray-tracing cores are meant to handle the ray tracing workload. That way, the cores of RX 6600 XT can handle other workloads. These ray-tracing cores are powerful enough that you can use ray tracing with compatible games in low or medium settings. With 1080p settings, AMD says that RX 6600 XT can run AAA games at high frame rates. As you can see on the graphic below, with 1080p settings, you can play the likes of Assassin’s Creed Valhalla and Battlefield 5 at 90 fps.

Performance comparison between AMD RX 6600 XT and NVIDIA RTX 3060.

When it comes to building a gaming PC, gamers usually want to have the best specs. Alas, not everyone can afford to get a 4K gaming rig. Some gamers have no choice but to settle with 1080p gaming rigs. And those gamers are AMD’s target market for RX 6600 XT, as pointed out by The Verge. Citing research from IDC, AMD says that around two-thirds of gaming displays that were sold had 1080p resolution last year. It shows that there is a market for graphic cards meant for 1080p settings.

Unfortunately, AMD is aware that RX 6600 XT might also face a scarcity problem. In July 2021, AMD said that the GPUs scarcity problem might persist throughout this year. There are two possible reasons behind the GPUs scarcity: the unnaturally high demand for GPUs and the supply constraints due to the pandemic. Even so, AMD also says that it will do its best to make sure its GPUs can go to the hands of the consumers. That said, RX 6600 XT will be available on August 11 2021 from AMD board partners, such as ASRock, ASUS, Biostar, Gigabyte, MSI, Powercolor, XFX, and Yeston.

7 Infamous Myths Surrounding Gaming and Esports

There are definitely a lot of myths surrounding the gaming community and the activity as a whole, most of them being widely inaccurate and misleading. Unfortunately, many gamers often also fall victim to these assumptions, which is why I think it is important to air out and debunk all of these gaming or esports myths.

1. There Are Only a Few Female Gamers

One of the well-known myths surrounding the gaming community is that most females do not play video games. Indeed, the majority of the gamer population are males. The truth is, however, female gamers are not really that rare after all. According to data from Niko Partners, the number of female gamers in Asia in 2017 reached 346 million, comprising 32% of the total gamer population in the region. Two years later, in 2019, the population of female gamers rose to 500 million, which is now 38% of the gamer population in Asia. Another data from Statista shows that, in 2017, 46% of all gamers are women.

Even more surprisingly, Niko Partners have found that the growth of the female gamer population (14.8%) far exceeds the growth rate of gamers in general (7.8%). The approximate percentage of females in China’s gamer population is 45%. In Indonesia, this figure is marginally larger by 4%. However, the distribution of platforms where female gamers play is considerably skewed. Of the 500 million female gamers in Asia, 483 million (95%) mostly play on mobile, 201 million (40%) play on PC, and only 8.5 million (2%) play on consoles. 

As the number of female gamers increases, their contribution to the gaming industry’s income also rises. In 2019, female gamers contributed 35% to the total gaming industry revenue. This figure has increased to 39% in the next year. 

Proportion of gamers by age and gender. | Source: Statista

Recently, Sony also released a report which documents the details of its console sales. In the report, a significantly higher proportion of female gamers bought the Playstation 4 and 5 compared to the Playstation 1. During the PS1 era, only 18% of gamers who bought the console were females. However, during the PS4/5 era, this figure rose to an astounding 41%.

From the statistics above, we can clearly see that female gamers are not at all a rare species. Despite this fact, it can still be difficult to find and notice a female gamer in many of our games. According to recent research conducted by Reach3 Insights and Lenovo, 59% of female gamers hide their gender when playing online games. A report by GamesIndustry suggests that females do not show their gender to avoid the possibility of harassment. A respondent of the study even admitted that she goes so far as to only playing male characters in MMORPG games to maintain the anonymity of her gender. She explained that she does this to prevent receiving seductive, unwanted, and potentially sexually harassing messages. 

 

2. Gamers Are Anti-Social

Gamers are also often seen by the public as loners who spend most of their time playing games and not caring about the outside world. Contrary to most beliefs, however, the emergence of online games has encouraged gamers to socialize with each other. 

A 2016 study titled Motivations for Play in Online Games suggests three reasons why people play games. One of them is to establish relationships with other players. Given that humans are innately social creatures, it is not really surprising to see that we always try to connect with other people and be part of some like-minded group. Our natural attraction for socializing is the reason why online games — both cooperative and competitive games — are incredibly popular nowadays. In fact, in South Korea and China, playing games are considered a social activity. Before the unfortunate pandemic, Hybrid also held a gamers gathering event called Hybrid Dojo every two weeks. My friends and colleagues also frequently meet up to play PUBG Mobile together. Although some games can be enjoyed alone, most of us gamers do prefer playing games with other people.

In-game chat is one of the many forms of communication in gaming. | Source: Medium

Furthermore, a study in The Journal of Computer-Mediated Communication, released in 2014, found that a majority of online gamers deeply care about the dynamic relationships in gaming and not only focus on the sole gameplay aspect itself.

“Gamers aren’t the antisocial basement-dwellers we see in pop culture stereotypes; they’re highly social people,” said Nick Taylor, lead author of the study The Journal of Computer-Mediated Communication, as quoted from CNET. “This won’t be a surprise to the gaming community, but it’s worth telling everyone else. Loners are the outliers in gaming, not the norm.”

3. You Can Get Addicted and Become Mentally Ill from Playing Games

Today’s society does have the tendency to over glorify and, to a certain extent, romanticize mental illness, especially after the release of the movie The Joker. People in the younger generation frequently self-diagnose themselves with depression, ADHD, or Bipolar Disorder despite not having any expertise in the field of psychology. Unfortunately, this trend also spills over to gaming. 

Countless people claim that they or someone they knew is affected by gaming addiction. Furthermore, the World Health Organization (WHO) also officially recognized gaming disorder as a form of mental illness back in 2019. 

WHO officially declared gaming disorder as a mental illness in 2019. | Source: TechCrunch

WHO also elaborated the characteristics or telltale signs of someone with a gaming disorder. The first characteristic is losing control over gaming habits. In other words, someone who has a gaming disorder will find it difficult to stop playing and limit his/her playing time. The second sign of people affected by the disorder is overly prioritizing gaming over obligatory life activities such as eating, studying, or working.

Someone with a “gaming disorder” will also continue to keep playing despite being cognizant of the harmful effects that the activity has had on their life. For instance, the person will not stop playing games even though their grades have significantly declined. If a person has the three characteristics above, which also persist for 12 months, then the person is officially declared affected by gaming disorder

 

4. Games and Esports Are the Exact Same Thing

Esports is a part of gaming, a really big part, in fact. However, both of them are not the same thing. Some games don’t even have an esports scene. By definition, esports are competitions or tournaments that are based on video games. According to Red Bull, esports exists when the best players of a particular game compete for a prize. Therefore, the primary element of esports is competitiveness. But, of course, not all games are meant to be competitive. Some games highlight the narrative or the story, while other games focus on cooperative features.

Another thing that distinguishes esports from gaming is the player’s goals. In esports, the pros obviously have the sole objective to win every single tournament and title. However, normal players like most of us play games for far more varying reasons. Some of us might play to experience interesting gameplay. There are also those who play for the lore or immersive worldbuilding. Others might also play for the sake of socializing with friends or like-minded individuals. However, one thing is for sure: gaming has the primary purpose of being a medium of entertainment, not competition.

 

5. All Professional Esports Players Have Massive Salaries

The salaries of star players who play in the Premier League are certainly different from the salaries of players that compete in English Football League Two. This same salary disparity also occurs in the esports world. Although there has been an overall increase in esports pros’ salaries, many players are still affected by unequal pay. For one, player’s salaries are usually determined by their skill and capabilities. Esports scenes of different games also offer a widely diverse range of player salaries. Obviously, more popular games with a much more successful esports scene will usually offer more prestigious payments towards pros.

The minimum salary of an Overwatch League (OWL) player is around $50,000 USD per year. On the other hand, the average annual salary of a North American League of Legends (LCS) league player can reach $300 thousand USD. In Indonesia, the salary of Mobile Legends Professional League (MPL) players is only around IDR 7 million. As you can see, the pro salary of different games are incredibly diverse.

The minimum salary for an OWL player is US$50,000. | Source: Upcomer

OWL, LCS, and MPL are esports leagues with support from publishers. These publishers, therefore, determine the salary terms (such as minimum wage) of the pro players. However, not all game publishers support the esports scene of their games and explicitly define the payment terms of players. In this kind of situation, player salaries are even more uncertain. Let’s take the Valorant as an example. According to internal Hybrid.co.id sources, the range of salaries of Valorant players is relatively large. Some players receive salaries above the Jakarta Regional Minimum Wage (UMR), some have salaries around the Jakarta UMR, while other, less fortunate, players are paid below the minimum wage. Pros of unpopular games can even have salaries as low as only hundreds of thousands of rupiah.

6. Pro Players Spend All of Their Time Playing

Esports pros are comparable to conventional sports athletes. Both of them have the sole objective to improve themselves and hone their skills to be able to win. Therefore, most of us expect the esports pros to spend hours and hours every day practicing and playing. The truth is, however, esports pros don’t only use their time for playing games. They also need to engage in other activities such as reviewing VODs, strategies, and even physical exercise.

Liyu “Cody” Sun, a League of Legends player, mentions that adequate sleep, a healthy mindset, and a balanced social life are important aspects to maintain as an esports athlete. According to him, solely focusing on practice or playing is not an effective method to improve as a player.

“I do think that the most, or the best players in our industry are the ones that are able to find the best schedule for themselves, and, you know, be as efficient as they can with their lifestyle — practicing as well as exercising and eating well and having a decent social life,” Sun said in an interview from Intel.

According to Spectatorph, professional esports players usually spend about an hour of physical exercise every day. They will spend another hour on VOD reviews and up to 9 hours of practice, either alone or with the team.

Furthermore, the CEO of RRQ, Andrian Pauline also mentioned that the daily routine of pro players is not only playing or practicing. They also have to frequently review the team’s playstyle and even try to get insights into their opponent’s strategy. AP mentions that the proportion of non-gaming activities depends on the situation and needs of the team. “Sometimes the team may require the players to practice for the whole day. In other times, players can spend 20% or 50% of their time doing other activities,” he said when contacted by Hybrid. These proportions and schedules are often determined by the team coach.

 

7. Esports Fans Are Only Comprised of Males

The majority of esports viewers are, obviously, gamers. Unlike conventional sports, games in esports can be quite difficult to understand. And, of course, most of us will only enjoy esports content if we understand the game that is being broadcasted. Therefore, along with the increasing number of female gamers, it is not surprising to see that the female demography of esports viewers also increases.

According to data from Statista, around 22% of the esports audience around the world are females. The percentage of female esports viewers also differs from country to country. In the US, only 17% of esports fans are females. This figure is much larger in the UK (with 25%), China (with 30%), and South Korea (with 32%).

The percentage of female esports viewers in different countries. | Source: Statista

Data from Interpret shows that the number of female esports viewers in the fourth quarter of 2018 was 30.4%, Two years ago, however, this figure was only around 23.9%. Tia Christianson, Vice President of Interpret for Europe mentioned that this 6.5% increase was a significant milestone. She thinks that this is a step towards the right direction of gender equality in the esports community.

Conclusion

Humans have the tendency to fear new trends and also pretend to always be knowledgeable in many circumstances. As a result, our society has developed countless false assumptions, narratives, and harmful stigmas toward gaming and esports. For instance, in 1988-1992, many are concerned that that table-top RPG (TTRPG) games, such as Dungeons and Dragons, were promoting satanism, pornography, and even murder. Therefore, it is imperative that we always fact-check the ideas that we receive to get an accurate representation of the truth. I hope that this article has cleared up several popular gaming myths and helped you to be a more mindful individual.

Featured Image: South Park. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.

Karakteristik Gamers di Arab Saudi: Penggemar Puzzle, Shooter, dan Strategi

Dalam 10 tahun terakhir, kualitas mobile game menjadi semakin baik. Selain grafik yang semakin bagus, gameplay dari mobile game pun menjadi semakin kompleks. Skena mobile esports pun semakin berkembang. Dua hal ini membuat industri mobile game terus tumbuh. Di beberapa kawasan atau negara, mobile game bahkan menjadi pendorong utama pertumbuhan industri game. Salah satu negara yang industri mobile game-nya tengah tumbuh pesat adalah Arab Saudi.

Industri Game di Arab Saudi

Pada 2021, total pemasukan industri game di Arab Saudi mencapai US$946 juta. Di negara tersebut, mobile game memberikan kontribusi paling besar pada keseluruhan pemasukan industri game, sama seperti yang terjadi di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Pemasukan dari industri mobile game di Arab Saudi mencapai US$520 juta atau sekitar 55% dari total pemasukan industri game di negara tersebut. Alasan mengapa mobile game sangat populer di Arab Saudi adalah karena rendahnya entry barrier dari mobile game.

Jika dibandingkan dengan PC gaming atau konsol, smartphone memiliki harga yang lebih terjangkau. Tak hanya itu, kebanyakan mobile game juga bisa dimainkan secara gratis. Dengan begitu, semua orang yang memiliki smartphone bisa bermain mobile game tanpa harus mengeluarkan uang lagi. Penetrasi smartphone di Arab Saudi juga cukup tinggi, mencapai 58%. Mengingat populasi Arab Saudi mencapai 35,4 juta orang, hal itu berarti, jumlah pengguna smartphone di sana adalah sekitar 20,5 juta orang.

Kebanyakan mobile game yang populer di Arab Saudi menggunakan model bisnis free-to-play. Meskipun begitu, lebih dari setengah gamers di Arab Saudi rela mengeluarkan uang demi game yang mereka mainkan. Berdasarkan data dari Newzoo, sekitar 17% dari gamers di Arab Saudi merupakan minor spenders alias orang-orang yang menghabiskan sedikit uang di game. Sementara itu, 34% gamers di Arab Saudi adalah average spenders dan 8% lainnya merupakan big spenders. Hal itu berarti, sekitar 60% dari keseluruhan gamers di Arab Saudi merupakan spender.

Item dalam game yang biasa dibeli oleh gamers di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Kebanyakan gamers di Arab Saudi menghabiskan uangnya untuk membeli mata uang dalam game. Hal ini tidak aneh, mengingat kebanyakan game free-to-play memang punya mata uang sendiri untuk membli item dalam game. Contohnya, V-Bucks di Fortnite atau Unknown Cash (UC) di PUBG Mobile. Sekitar 34% gamers di Arab Saudi membeli mata uang dalam game. Sementara itu, sebanyak 33% mobile gamers Arab Saudi lebih memilih untuk menghabiskan uangnya untuk mendapatkan playable character dan 31% lainnya memilih untuk membeli content passes.

Content passes juga sering disebut dengan nama battle passes. Model monetisasi ini adalah model yang cukup baru di industri game. Pada dasarnya, battle pass merupakan sistem berlangganan musiman yang memungkinkan pemain untuk mendapatkan sejumlah item dalam game setelah mereka menyelesaikan sejumlah tantantagan.

Selain mata uang dalam game dan battle pass, dua hal lain yang biasanya dibeli oleh mobile gamers Arab Saudi adalah item powerups dan time-savers. Sesuai namanya, item powerup membuat karakter pemain menjadi lebih kuat. Dan item time-savers akan mengurangi — atau bahkan menghilangkan sama sekali — waktu tunggu dalam game. Misalnya, dalam game RTS, seperti Clash of Clans. Pada dasarnya, item powerups dan time-savers berfungsi untuk membuat pengalaman bermain menjadi terasa lebih menyenangkan. Hanya saja, game pay-to-win juga menyebabkan masalah tersendiri.

Demografi Gamers di Arab Saudi

Di Arab Saudi, sebagian orang percaya, kebanyakan gamers merupakan laki-laki muda. Namun, data dari Newzoo mematahkan mitos tersebut. Berdasarkan survei yang mereka lakukan pada 1.195 mobile gamers di rentang umur 10-50 tahun, diketahui bahwa 42% responden merupakan perempuan. Sementara 45% responden masuk dalam kategori umur 21-35 tahun. Memang, dugaan bahwa kebanyakan gamers adalah laki-laki muda tidak hanya ada di Arab Saudi, tapi juga di negara-negara lain. Meskipun begitu, sekarang, telah terbukti bahwa gamers perempuan juga tidak selangka unicorn.

Demografi mobile gamers di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Demografi mobile gamers di Arab Saudi yang beragam membuat negara itu menjadi target pasar bagi perusahaan-perusahaan di berbagai sektor. Memang, saat ini, semakin banyak perusahaan yang menjajaki industri game dan esports demi bisa memenangkan hati para gamers dan penonton esports. Melihat jumlah gamers Arab Saudi yang menunjukkan tren naik, hal ini adalah kabar baik bagi pelaku industri mobile game dan pengiklan di sana.

Di Arab Saudi, puzzle merupakan genre favorit dari para mobile gamers. Sebanyak 31% responden mengungkap, puzzle adalah jenis game kesukaan mereka. Menariknya, walau genre puzzle yang identik dengan game kasual menjadi genre favorit di kalangan gamers Arab Saudi, tiga genre terpopuler lainnya merupakan genre dari game-game kompetitif, seperti shooter, strategi, dan battle royale.

Empat genre terpopuler di Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Mengingat puzzle merupakan genre favorit dari mobile gamers di Arab Saudi, tidak heran jika lebih dari sepertiga responden survei Newzoo mengatakan bahwa memecahkan puzzle adalah aspek dari sebuah game yang paling mereka sukai. Hal lain yang menjadi daya tarik dari sebuah game adalah art style yang digunakan oleh sang developer. Tema dunia dari sebuah game juga bisa menjadi daya tarik bagi para mobile gamers di Arab Saudi. Fantasi merupakan tema dunia favorit, diikuti oleh science-fiction.

Sumber header: Irish Times