Headset Audeze LCD-GX Diciptakan untuk Gamer yang Kebetulan Juga Seorang Audiophile

Saya yakin tidak banyak gamer yang mengenal perusahaan bernama Audeze, kecuali mereka juga punya hobi di bidang audio. Selama berkiprah sejak 2008, nama Audeze lebih populer di kalangan audiophile, akan tetapi per tahun lalu, mereka mulai merambah segmen gaming lewat headset bernama Mobius.

Eksperimen mereka di ranah baru ini rupanya membuahkan hasil yang cukup positif. Buktinya, mereka baru saja mengumumkan gaming headset kedua mereka. Dijuluki Audeze LCD-GX, wujudnya memang sama sekali tidak mencitrakan sebuah gaming gear, sebab memang target pasar yang diincar adalah para gamer yang kebetulan juga masuk di kalangan audiophile.

Itulah mengapa desainnya menyerupai headphone lain dari lini Audeze LCD, mengadopsi model open-backed demi menyajikan soundstage yang lebih luas, tapi dengan ‘ongkos’ suara akan bocor ke mana-mana, serta suara dari luar yang gampang sekali masuk. Di balik setiap earcup-nya, tertanam driver berteknologi planar magnetic dengan diameter 103 mm.

Audeze LCD-GX

Secara umum, keunggulan utama teknologi planar magnetic adalah dentuman bass-nya yang terdengar bulat dan sangat mantap. Ketika diaplikasikan ke ranah gaming, tentunya ini juga bisa dilihat sebagai hal yang positif, meski saya yakin banyak juga gamer yang lebih memprioritaskan gimmick seperti suara surround dan spatial audio.

Kalau memang itu yang dicari, maka Mobius jelas merupakan pilihan yang lebih tepat ketimbang LCD-GX, belum lagi rencana Audeze untuk menambahkan fitur yang dapat menerjemahkan pergerakan kepala menjadi input keyboard. LCD-GX di sisi lain hanya akan menarik perhatian mereka yang mementingkan kualitas suara di atas segalanya.

Sebagai sebuah gaming headset, tentu saja LCD-GX dibekali sebuah mikrofon, lengkap dengan tombol mute beserta lengan yang fleksibel sehingga masing-masing pengguna bisa menyesuaikan posisinya dengan mudah. Yang cukup menarik, mic ini menjadi satu dengan kabel, dan Audeze menyertakan dua pasang kabel yang berbeda; satu tanpa mic untuk pemakaian di luar sesi gaming.

Secara keseluruhan, Audeze LCD-GX bukan untuk semua gamer, sebab untuk bisa memaksimalkan kinerjanya, Audeze menyarankan untuk menyiapkan amplifier atau DAC terpisah sebagai pendampingnya. Harganya yang dipatok $899 juga merupakan alasan lain ia kurang cocok buat gamer mainstream.

Sumber: The Verge.

Headset Wireless SteelSeries Arctis 9X Diciptakan Khusus untuk Pengguna Xbox

Kalau ditanya apa salah satu kekurangan Xbox One dibanding PlayStation 4, mungkin mayoritas penggunanya akan bilang absennya kompatibilitas headset Bluetooth. Sebagai gantinya, Microsoft mengandalkan protokol khusus bernama Xbox Wireless, kurang lebih mirip seperti kasus Apple dan AirPlay.

Yang jadi masalah, populasi headset Xbox Wireless tergolong kecil. Beruntung SteelSeries tergerak untuk meluncurkan produk di segmen ini, yaitu Arctis 9X. Kelebihan utamanya? Apa lagi kalau bukan dukungan resmi Xbox Wireless, yang berarti pengguna Xbox dapat menyambungkannya tanpa kabel maupun dongle.

Dukungan Xbox Wireless juga berarti latency-nya dipastikan sangat rendah, yang berarti hampir tidak ada jeda antara audio yang keluar dari game dan yang terdengar di telinga. Lebih lanjut, SteelSeries juga mengklaim bahwa Arctis 9X menawarkan koneksi yang paling bisa diandalkan di antara headset Xbox Wireless lain, dan ini berdasarkan pernyataan Microsoft kepada mereka.

SteelSeries Arctis 9X

Dari segi estetika, Arctis 9X tampak tidak jauh berbeda dari headset Arctis lainnya. Desainnya simpel namun elegan (tidak norak seperti mayoritas gaming headset), dan kenyamanan yang ditawarkannya mungkin sudah bisa diwakilkan oleh bantalan telinga yang terlihat cukup tebal.

Berhubung ini adalah headphone wireless, sudah pasti ada sejumlah tombol kontrol di earcup-nya. Namun yang paling menarik adalah sebuah kenop di earcup sebelah kiri, yang berfungsi untuk mengatur volume audio yang datang dari Xbox di saat headset juga tersambung ke perangkat lain via Bluetooth.

Ya, Arctis 9X mendukung multiple input. Jadi selagi tersambung ke Xbox, ia juga bisa disambungkan ke ponsel via Bluetooth, entah untuk mendengarkan musik atau menerima panggilan telepon, semuanya sembari asyik bermain game.

SteelSeries Arctis 9X

Terkait daya tahan baterai, dalam satu kali pengisian, Arctis 9X diklaim mampu beroperasi sampai 20 jam nonstop, dan pengguna dapat memantau sisa baterainya langsung di TV. Saat baterainya habis, pengguna masih bisa memakainya dengan bantuan kabel 3,5 mm.

SteelSeries saat ini sudah memasarkan Arctis 9X seharga $200. Bukan harga yang murah, tapi cukup pantas jika mempertimbangkan semua fiturnya, serta fakta bahwa headset Xbox Wireless merupakan spesies yang langka.

Sumber: AnandTech.

HyperX Luncurkan Cloud Stinger Wireless, Gaming Headset Nirkabel untuk PC dan PS4 Seharga $100

Mencari gaming headset berkualitas dengan harga di bawah $100 bukanlah tugas yang sulit. Namun kalau kriterianya juga harus mencakup konektivitas wireless tanpa menambah budget, maka pilihannya akan jadi sangat terbatas.

Salah satu yang dapat menjadi alternatif adalah kreasi terbaru HyperX. Dijuluki Cloud Stinger Wireless, ia merupakan versi nirkabel dari Cloud Stinger yang juga masuk dalam kategori budget gaming headset. Alhasil, desainnya nyaris tidak berbeda.

Cloud Stinger Wireless datang bersama sebuah USB receiver yang harus ditancapkan ke PC, PS4 atau PS4 Pro demi mewujudkan konektivitas wireless-nya, dengan jarak paling jauh 12 meter. Dalam satu kali pengisian, baterainya diperkirakan bisa bertahan sampai 17 jam nonstop.

HyperX Cloud Stinger Wireless

Menariknya, kehadiran baterai rechargeable ini tak membuat perangkat jadi kelewat berat. Pada kenyataannya, bobotnya hanya berkisar 270 gram, atau 5 gram lebih ringan ketimbang versi standarnya yang tidak dibekali baterai.

Kinerja audionya mengandalkan sepasang driver berdiameter 50 mm, lengkap dengan mikrofon noise cancelling di luar yang dapat di-mute hanya dengan melipatnya ke atas. Tombol-tombol kontrolnya sendiri diposisikan pada sisi luar earcup.

Di Amerika Serikat, HyperX Cloud Stinger Wireless saat ini sudah dipasarkan seharga $100. Belum benar-benar di bawah $100, tapi setidaknya tidak lebih. Satu catatan terakhir, meski kesannya terjangkau, banderol Cloud Stinger Wireless rupanya dua kali lipat lebih mahal ketimbang saudara berkabelnya.

Sumber: Business Wire dan The Verge.

[Review] Logitech G431 yang Garang Kala Berdendang

Mencari gaming headset mungkin memang lebih tricky ketimbang mencari headset untuk musik. Muasalnya, buat yang berada di kelas menengah dan bawah, mungkin kita tak punya anggaran untuk membeli 2 headset untuk keperluan yang berbeda.

Karena itulah, saya pribadi setidaknya mencari headset gaming yang juga bisa digunakan untuk semua keperluan; bahkan sampai mendengarkan musik di ponsel. Padahal kebutuhan audio untuk gaming dan musik sebenernya jauh berbeda, setidaknya menurut saya yang sudah menamatkan sekitar 2000 judul game PC dan menyukai musik-musik jazz.

Di sana mungkin letak dilema yang saya alami saat menggunakan salah satu headset gaming terbaru dari Logitech ini, G431. G431 ini adalah headset 7.1 yang dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan yang menawarkan 2 koneksi yaitu 3.5mm dan USB.

Sebelum kita masuk ke pengalaman saya menggunakan headset ini, mari kita lihat spesifikasinya dulu.

SPESIFIKASI FISIK

  • Tinggi: 172 mm
  • Lebar: 81,7 mm
  • Tebal: 182 mm
  • Berat: (tanpa kabel): 259 g
  • Panjang Kabel: 2 m

SPESIFIKASI TEKNIS

Headphone
  • Driver: 50 mm
  • Respons frekuensi: 20 Hz-20 KHz
  • Impedansi: 39 Ohm (pasif), 5k Ohm (aktif)
  • Sensitivitas: 107 dB SPL/mW
Mikrofon (Boom)
  • Pola Pickup Mikrofon: Cardioid (Unidireksional)
  • Ukuran: 6 mm
  • Respons frekuensi: 100 Hz–20 KHz

Itu tadi speknya yang cukup baik untuk harganya yang di bawah Rp.1,5 juta meski memang frekuensinya bukan yang paling luas – kalah dengan Razer Kraken 7.1 yang kisaran harganya sama persis. Saat saya tes di frekuensi rendah, G431 ini cukup sesuai dengan yang diklaimnya karena masih terdengar di frekuensi 23Hz – selisih 3Hz nya bisa jadi ada anomali di telinga saya.

Namun demikian, setidaknya dari pengalaman saya menguji produk gaming peripheral selama 9 tahun terakhir, spesifikasi tak mampu bercerita utuh menggambarkan kualitas produk itu sendiri. Jadi, ijinkan saya bercerita tentang pengalaman saya menggunakan Logitech G431.

Sebelumnya, disclaimer dulu; dari pengalaman saya mencoba ratusan produk gaming peripheral, review produk di kategori ini memang bisa sepenuhnya terbilang subjektif. Karena, ukuran tubuh kita berbeda-beda antara satu dan yang lainnya (ukuran tangan atau telinga misalnya) dan kepekaan kita masing-masing yang sepenuhnya bergantung pada produk di kelas mana yang biasa kita gunakan sehari-hari.

Kualitas Suara

Seperti yang saya tuliskan di awal, saya cukup dilema dengan produk ini dan mungkin justru karena opsi 2 konektor yang ditawarkannya. Kenapa? Hal ini berkaitan dengan hasil dendangan suara berbeda yang dihasilkan saat menggunakan USB dan 3.5mm. Saat saya menggunakannya dengan konektor USB, suara Logitech G431 bisa dibanggakan. Mungkin memang bukan yang terbaik dari semua headset yang pernah saya coba tapi setidaknya yang lebih baik dari produk ini biasanya ada di kisaran harga Rp2 jutaan atau lebih.

Suara surround 7.1 nya begitu terasa sangat imersif saat saya coba untuk semua kebutuhan dari mulai bermain game, menonton film (Blu-Ray – 5.1 Dolby AC-3 audio), mendengarkan musik (FLAC – 5.1 Surround 24bit / 96kHz), ataupun sekadar menikmati YouTube (lowest quality format). Suara ambience lebih jadi fokus saya untuk bermain game ataupun menonton film. Sedangkan detail suara yang jadi fokus untuk mendengarkan musik.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sayangnya, hal ini tak mampu diimbangi dengan suara yang dihasilkan saat saya menggunakannya dengan konektor 3.5mm. Memang tidak buruk juga sebenarnya tapi suaranya jadi tak jauh berbeda dengan headset gaming lain yang berada di kisaran Rp.1 juta – SteelSeries Siberia 200 misalnya. To be fair, hal itu memang ada di keterbatasan konektor 3.5mm nya. Meski memang, ada beberapa produk headset lain yang menawarkan virtualisasi surround dengan konektor 3.5mm.

Dengan konektor 3.5mm, suaranya sedikit memekakan telinga saat disetel di volume 100% (apalagi saat dicoba di ponsel). 80% adalah volume maksimum yang masih nyaman didengar di headset ini saat menggunakan konektor 3.5mm. Padahal, ada produk lainnya yang masih cukup nyaman di 100% meski menggunakan 3.5mm.

Di sisi lain, slot USB sendiri mungkin boleh dibilang lebih langka karena tak ada di ponsel. Di laptop juga bisa jadi sangat terbatas jumlahnya dan digunakan untuk perangkat lainnya – mouse atau flashdrive misalnya. Sedangkan konektor 3.5mm itu biasanya memang khusus untuk output audio. Buat kelas sultan, mungkin Anda memang tak ada masalah membeli lebih dari satu headset untuk keperluan yang berbeda. Namun, kelas sultan juga mungkin tak akan membeli headset di harga Rp1,5 jutaan.

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Sekali lagi, sebenarnya ini dilema yang justru ditawarkan dari fitur itunya sendiri. Bisa jadi, ketika tak ada opsi USB, mungkin saya sendiri juga tak akan membandingkan kualitas suara untuk konektor yang berbeda. Walau memang, jika hanya menawarkan konektor 3.5mm, headset ini mungkin jadi tak terlalu menarik juga karena harga resminya yang nyaris menyentuh Rp1,5 juta.

Di sisi lain, frekuensi yang lebih luas (setidaknya dibanding Siberia 200 yang saya punya tadi) bisa jadi juga salah satu faktor kenapa ia kurang nyaman saat di volume 100% di konektor 3.5mm. Mungkin ada frekuensi yang terlalu tinggi yang memang tersalurkan mentah via konektor 3.5mm nya.

Kenyamaan Penggunaan

Dokumentasi: Hybrid
Dokumentasi: Hybrid – Lukman Azis

Dari sisi kenyamanan, G431 juga cukup ideal meski mungkin juga bukan yang terbaik. Bantalan ear-cup nya cukup nyaman di telinga saya yang mungkin terbilang cukup besar. Mekanisme geser penyangganya juga terasa solid dan tak mudah patah. Saya betah berlama-lama menggunakan headset ini tanpa merasa terhimpit kepala ataupun telinganya meski digunakan sampai 5 jam bermain game.

Meski begitu, menurut saya pribadi, mekanisme geser penyangga yang standar seperti yang disuguhkan Logitech G431 ini masih kalah nyaman dengan sistem ‘bando’ yang ditawarkan oleh SteelSeries. Walau memang, mekanisme ‘bando’ tadi biasanya memang tak bertahan lama (punya saya putus kawatnya setelah 2 tahun digunakan).

Software dan Fitur Lainnya

Logitech G Hubs
Logitech G Hubs

Saat saya mencoba headset ini, Logitech sudah mengupdate software gaming mereka jadi Logitech G Hub (menggantikan Logitech Gaming Software). Tak ada keluhan yang berarti meski juga tak ada keistimewaan yang ditawarkan oleh softwarenya. Meskipun, memang tak banyak juga fitur yang bisa ditawarkan untuk software headset (tak seperti mouse ataupun keyboard).

Untuk mic nya sendiri, berhubung memang saya jarang sekali menemukan mic yang bisa dikeluhkan dari sebuah gaming headset, demikian juga yang saya rasakan dari milik G431. Kebanyakan gaming headset (asal bukan yang merek abal-abal) memang sudah cukup baik dalam menyediakan mic yang mampu menyaring suara berisik di sekitar.

Terakhir, absennya kabel perpanjangan mungkin bisa jadi satu kekurangan buat setting tertentu (seperti front panel 3.5mm yang mati dan jarak jauh antara back panel ke kursi). Namun panjang kabel yang sampai 2 meter mungkin sudah cukup untuk sebagian besar pengguna. Still, a cable extension is a nice thing to be included.

Kesimpulan

Akhirnya, jika boleh saya menyimpulkan dari cerita di atas, Logitech G431 sebenarnya sungguh mampu berdendang cukup nendang jika konektor USB nya yang digunakan. Sayangnya, ia tak terasa berbeda kualitas suaranya dengan produk lainnya yang banderol harganya sedikit lebih rendah saat digunakan lewat slot 3.5mm. Ia juga nyaman digunakan selama lebih dari 5 jam meski bukan yang paling nyaman. Meski demikian, semua kekurangannya sebenarnya masih dapat dimaklumi mengingat harganya yang mungkin memang masih terjangkau untuk kelas menengah.

Jadi, andai headset ini sedikit saja turun harga, ia bisa jadi favorit baru buat para gamer kelas menengah seperti saya.

Headset Gaming Terbaru HyperX Usung Teknologi Planar Magnetic dan Head Tracking

Divisi gaming Kingston, HyperX, punya sajian baru yang cukup menarik di ajang CES 2019. Mereka memperkenalkan duo headset gaming anyar, yakni HyperX Cloud Orbit dan Cloud Orbit S. Keunggulannya? Keduanya sama-sama merupakan hasil kolaborasi HyperX dengan Audeze.

Buah dari kemitraan ini adalah, baik Cloud Orbit maupun Cloud Orbit S sama-sama dibekali driver planar magnetic 100 mm besutan Audeze. Bukan hanya itu saja, khusus Cloud Orbit S, ia juga dilengkapi teknologi 3D audio berbasis head-tracking, persis seperti yang terdapat pada headset gaming bikinan Audeze sendiri, Mobius.

Ini berarti Cloud Orbit S mampu menyimulasikan zona 360 derajat dalam mereproduksi suara, sehingga pengguna dapat benar-benar tahu dari titik mana suara berasal. Lebih lanjut, Audeze sudah berencana meluncurkan fitur agar headset-nya dapat menerjemahkan pergerakan kepala menjadi input keyboard, dan ini semestinya juga bakal hadir di Cloud Orbit S.

Namun kemiripannya dengan Mobius cukup berhenti sampai di situ saja. Ketimbang mengandalkan konektivitas wireless seperti Mobius, duo Cloud Orbit ini masih mengandalkan kabel sebagai sambungannya. Kendati demikian, pengguna dibebaskan memilih antara kabel USB-A, USB-C, atau 3,5 mm standar.

Berhubung bukan wireless, otomatis harganya juga lebih terjangkau ketimbang Audeze Mobius. Rencananya, HyperX Cloud Orbit dan Cloud Orbit S bakal dipasarkan mulai kuartal kedua tahun ini dengan banderol masing-masing $300 dan $330 – lebih murah dari Mobius yang dihargai $400.

Sumber: Business Wire dan The Verge.

Gaming Headset Audeze Mobius Dapat Menerjemahkan Pergerakan Kepala Menjadi Input Keyboard

Audeze mencoba memperluas lahan bisnisnya ke ranah gaming tahun lalu lewat headset bernama Mobius. Tidak seperti gaming headset lain, Mobius cukup istimewa karena mengusung teknologi 3D audio berbasis head tracking.

Untuk tahun ini, Audeze tengah menyiapkan fitur baru yang sangat menarik buat Mobius. Dijuluki dengan istilah Head Gesture Keybinds, fitur ini pada dasarnya memungkinkan pergerakan kepala pengguna untuk diterjemahkan menjadi input keyboard.

Contoh yang paling sederhana, dalam game first-person shooter (FPS) misalnya, pengguna Mobius dapat memiringkan kepalanya ke kiri atau kanan untuk mengintip dari balik tempat berlindung, menggantikan peran tombol “Q” dan “E” yang biasa dipakai untuk fungsi ini.

Audeze Mobius

Saat bermain game FPS, saya sendiri sering reflek memiringkan kepala ke kiri atau kanan ketika mengintip keberadaan musuh. Fitur ini sejatinya dapat membuat pergerakan kepala semacam itu jadi tidak sia-sia.

Audeze berencana merilis fitur ini bersama dengan sejumlah preset yang spesifik untuk game tertentu. Kendati demikian, pengguna juga bakal dibebaskan untuk melakukan kustomisasi input sendiri sesuai kebutuhannya.

Untuk sekarang, Audeze bilang bahwa fitur ini masih sedang diuji, dan perilisannya dijadwalkan pada awal tahun 2019 ini dalam bentuk update untuk software Audeze HQ di PC.

Sumber: SlashGear.

 

HyperX Cloud Mix Adalah Gaming Headset Sekaligus Headphone Bluetooth

Divisi gaming Kingston, HyperX, kembali meluncurkan gaming headset. Namanya HyperX Cloud Mix, tapi ia berbeda dari gaming headset pada umumnya, sebab ia dapat beralih fungsi menjadi headphone wireless di luar sesi gaming.

Secara default, Cloud Mix dapat disambungkan ke PC menggunakan kabel dengan konektor 3,5 mm standar. Dalam posisi ini, sepasang driver 40 mm dan teknologi dual chamber yang diusungnya sanggup memberikan respon frekuensi antara 10 – 40.000 Hz, membuatnya pantas menyandang sertifikasi Hi-Res Audio.

HyperX Cloud Mix

Namun ketika yang dibutuhkan adalah kepraktisan, pengguna tinggal melepas kabel beserta mikrofonnya, lalu menyambungkannya ke smartphone via Bluetooth 4.2. Dalam posisi ini, Cloud Mix masih bisa dipakai untuk menerima panggilan telepon berkat mikrofon internalnya, dan baterainya bisa tahan sampai 20 jam pemakaian.

Sayang sekali charging-nya masih mengandalkan micro USB, bukan USB-C, dan belum ada fitur noise cancelling. Terlepas dari itu, fleksibilitasnya tentu bisa menjadi nilai jual lebih di mata konsumen, terutama para gamer yang kerap bepergian.

HyperX Cloud Mix

Yang saya suka dari Cloud Mix adalah penampilannya yang terkesan simpel dan tidak terlalu wah seperti kebanyakan gaming headset. Rangkanya terbuat dari aluminium, sedangkan bantalan earcup berukuran besarnya (circumaural alias over-ear) menggunakan material memory foam yang dilapis kulit sintetis.

Penampilan yang terkesan ‘kurang gaming‘ ini wajar mengingat statusnya yang juga dipasarkan sebagai produk lifestyle. Bobotnya pun tidak lebih dari 260 gram tanpa mic yang terpasang, cukup bersaing dengan headphone Bluetooth di pasaran.

HyperX Cloud Mix

HyperX saat ini telah memasarkan Cloud Mix di Amerika Serikat seharga $200.

Sumber: Business Wire.

Headset Razer Ifrit Ditujukan untuk Streamer yang Membutuhkan Mobilitas Ekstra

Meningkatnya tren kreasi konten di ranah gaming memotivasi Razer untuk meluncurkan sejumlah perangkat yang didedikasikan buat para streamer atau broadcaster, termasuk yang sudah level profesional. Penawaran Razer di segmen ini semakin lengkap berkat kehadiran produk terbarunya yang bernama Ifrit.

Ifrit merupakan sebuah headset, akan tetapi desainnya tergolong tidak umum. Bukannya berwujud seperti headphone dengan sebuah mikrofon yang menyembul dari salah satu sisi earcup-nya, Ifrit malah mengadopsi gaya desain ala earphone tipe neckband. Namun ada satu pembedanya: rangka fleksibelnya mengitari bagian belakang kepala, bukan leher.

Razer Ifrit

Razer percaya desain semacam ini bisa meningkatkan mobilitas selama streaming berlangsung. Ibaratnya seperti mengenakan kacamata, tapi dibalik depan dan belakangnya. Usai terpasang, pengguna tinggal menancapkan kedua earpiece yang tersambung kabel pendek, kemudian atur posisi mikrofon kondensornya.

Mikrofonnya ini diklaim punya kinerja tidak kalah dari mikrofon USB yang biasa diletakkan di atas meja. Alasannya, Razer telah melengkapi Ifrit dengan komponen pembantu bernama USB Audio Enhancer, yang sejatinya merupakan analog-to-digital converter (kebalikan DAC). Dongle ini diyakini mampu meningkatkan kejernihan suara yang ditangkap mikrofon sekaligus meminimalkan suara pengganggu dari sekitar.

Razer Ifrit

Di samping itu, USB Audio Enhancer rupanya juga dirancang untuk mewujudkan skenario co-streaming bersama seorang partner tanpa ribet. Ia dibekali dua jack 3,5 mm, sehingga dua unit Ifrit (atau headset lain dengan konektor 3,5 mm) dapat disambungkan ke USB Audio Enhancer, dan keduanya pun langsung terhubung ke satu PC yang sama.

Saat ini Razer Ifrit telah dipasarkan seharga $100, sudah termasuk USB Audio Enhancer itu tadi. Buat yang tidak berniat mengganti headset-nya tapi mendambakan kualitas lebih, USB Audio Enhancer bisa dibeli secara terpisah seharga $20.

Sumber: Razer.

SteelSeries Perbarui Lini Gaming Headset Arctis dan Pasarkan GameDAC Secara Terpisah

Tidak terasa sudah hampir dua tahun sejak SteelSeries meluncurkan lini gaming headset Arctis, dan SteelSeries melihat ini sebagai momen yang tepat untuk menerapkan penyegaran terhadap ketiga headset-nya itu: Arctis 3, Arctis 5, dan Arctis 7. Arctis 2019 Edition, demikian nama lineup barunya, masih terdiri dari tiga headset yang sama, tapi tentu saja masing-masing telah disempurnakan.

Penyempurnaannya pun mengacu pada masukan dari para konsumen Arctis. Satu yang paling utama adalah soal bantalan telinga yang dinilai terlalu tipis. Pada versi barunya, ketiga headset ini telah dibekali bantalan yang lebih tebal demi meningkatkan kenyamanan sekaligus mencegah telinga konsumen menyentuh pelat bagian dalam headset.

SteelSeries Arctis 3 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 3 2019 Edition / SteelSeries

Masih seputar kenyamanan, khusus Arctis 7, bentuk headband-nya telah direvisi menjadi lebih mirip seperti milik Arctis Pro. Desain yang lama dinilai kurang nyaman bagi pengguna yang ukuran kepalanya di atas rata-rata, dan revisi ini diharapkan bisa lebih akomodatif.

SteelSeries Arctis 5 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 5 2019 Edition / SteelSeries

Beralih ke fungsionalitas, SteelSeries juga membuat tombol kontrol pada headset jadi lebih kecil sekaligus lebih keras. Ini dikarenakan banyak konsumen yang mengeluh tombolnya mudah tertekan tanpa sengaja. Selanjutnya, fitur DTS Headphone X telah di-upgrade ke versi kedua, dan output bass-nya juga ditambah. Kabar baiknya, dua fitur terakhir ini juga akan tersedia buat Arctis 5 dan Arctis 7 lama via firmware update.

SteelSeries Arctis 7 2019 Edition / SteelSeries
SteelSeries Arctis 7 2019 Edition / SteelSeries

Selain tiga headset Arctis versi baru, SteelSeries turut memperkenalkan aksesori GameDAC sebagai produk terpisah. Sebelumnya, digital-to-analog converter ini hanya tersedia dalam bundel bersama headset Arctis Pro, namun sekarang semua konsumen dapat membelinya secara terpisah.

GameDAC yang berukuran ringkas ini menjanjikan kualitas suara yang lebih baik ketimbang jika pengguna mencolokkan headset langsung ke komputer. Kuncinya terletak pada chip Sabre 9018 buatan ESS Technology yang mendukung resolusi hingga 24-bit/96kHz. Untuk menggunakannya, kita tinggal menancapkannya ke komputer via USB, lalu colokkan headset ke GameDAC.

SteelSeries GameDAC / SteelSeries
SteelSeries GameDAC / SteelSeries

Pengoperasiannya cukup mudah berkat kehadiran layar LED terintegrasi. GameDAC tidak cuma kompatibel dengan headset Arctis saja. Headphone atau earphone apapun yang menggunakan colokan 3,5 mm juga bisa dipakai bersamanya, dan itulah yang mendasari keputusan SteelSeries untuk menjadikannya sebagai produk terpisah.

Keempat produk baru ini sudah dipasarkan sekarang juga. Harganya adalah sebagai berikut:

Sumber: AnandTech dan SteelSeries.

MSI Ajak Anda Persenjatai PC Dengan Kartu Grafis dan Gaming Gear Mutakhir

Pengunjung Computex 2018 kembali menjadi saksi persaingan panas dua produsen chip ternama. Di hari Selasa, Intel mengungkap prosesor 28-core 8086K yang sanggup berlari di 5GHz; lalu sehari sesudahnya, AMD mengumumkan Threadripper 2, prosesor dengan 32-core dan 64-thread. Namun di segmen grafis, Nvidia malah belum menyingkap GPU ‘Turing’ yang begitu dinanti-nanti.

Sebagai salah satu pemain utama di bidang penyediaan GPU, produk-produk ‘current-gen‘ MSI masih menjadi andalan mereka di Computex Taipei 2018. Di sana, produsen memamerkan GeForce GTX 1080 Ti Gaming X Trio serta deretan GTX 1070 Ti custom yang diungkap perdana di bulan Oktober silam. Kemudian buat memperkuat lineup ‘kubu merah’, MSI menjagokan seri baru berbasis chipset AMD Polaris: Radeon RX Mech.

MSI2 14

 

Kartu grafis

GeForce GTX 1080 Ti Gaming X Trio merupakan kartu grafis Nvidia top-end ciptaan MSI. Kata ‘trio’ merepresentasikan penggunaan desain kipas Tri-Frozr yang sudah disempurnakan serta sistem pencahayaan RGB Mystic Light di tiga zona berbeda. Tri-Frozr memiliki sepasang dua kipas berdiameter 10cm dan sebuah kipas Torx 2.0 9cm buat menghasilkan aliran udara lebih kencang. Produsen juga mengimplementasikan dua SuperPipes 8mm agar proses transfer panas ke bagian sirip berjalan lebih cepat.

MSI2 15

MSI GeForce GTX 1070 Ti Titanium 8G dan GTX 1070 Ti GAMING 8G sendiri dipersenjatai pendingin Twin Frozer VI sehingga core bisa berlari di kecepatan lebih tinggi secara stabil. Tersedia pula GeForce GTX 1070 Ti ‘Duke’ yang dilengkapi tiga fan raksasa, GeForce GTX 1070 Ti Armor 8G dengan warna hitam-putihnya dan sistem pendingin Twin Frozr V, serta GeForce GTX 1070 Ti AERO 8G yang mengandalkan kipas radial.

MSI2 16

MSI2 17

Seri Radeon RX Mech, salah satunya Radeon RX580 MECH 2 8G OC, ialah alternatif jika Anda lebih memfavoritkan chip grafis racikan AMD. Agar tidak kalah saing dari GPU ‘si hijau’, MSI memanfaatkan rancangan PCB custom yang dipadu komponen-komponen Military Class 4 serta teknologi pengendali aliran udara dan pipa thermal SuperSU. Semua ini dikemas dalam desain merah-hitam garang yang turut dihias LED RGB.

MSI2 18

 

Gaming gear

Computex 2018 juga menjadi panggung bagi MSI dalam memperluas pengaruhnya di ranah gaming gear. Di pameran IT tahunan terbesar di Asia itu, produsen memamerkan keyboard Vigor GK80 dan varian tenkeyless-nya, Vigor GK70; headset Immerse GH70 serta GH60 (varian wired); serta mouse Clutch GM70 dan GM60 (merupakan model berkonektivitas kabel).

MSI2 6

MSI2 8

Vigor GK80 dan GK70 mempunyai karakteristik serta fitur hampir serupa. Perbedaan mereka hanya terletak di layout tombol dan pada penerapan LED RGB Mystic Light. Anda ditawarkan opsi switch mekanis Cherry MX Red atau Silver Speed, tubuh berkonstruksi aluminium, kemampuan anti-ghosting N-Key Rollover, empat keycap logam premium serta tambahan 12 keycap karet dengan permukaan anti-slip.

MSI2 9

MSI2 7

Model Vigor GK80 dilengkapi oleh wrist rest berpermukaan karet terpisah. Di bagian bawahnya terdapat celah untuk menempatkan keycap-keycap tambahan sehingga tidak gampang tercecer dan memudahkan kita buat menggantinya.

MSI2 12

MSI2 13

Dan untuk pertama kalinya, MSI memperkenalkan mouse gaming Clutch GM50 di computex 2018. Clutch GM50 mengisi celah antara varian GM40 dengan Clutch GM70/60 yang menjadi model high-end sang produsen. Berbeda dari para pendahulunya yang memanfaatkan rancangan ambidextrous, Clutch GM50 mengusung arahan desain ergonomis, ideal digenggam oleh tangan kanan.

MSI2 10

MSI2 11

Sang produsen hardware gaming Taiwan itu belum mengungkap secara rinci kapabilitasnya, namun saya menerka spesifikasi Clutch GM50 berada di atas GM40. Selain itu, mouse juga telah dihias oleh sistem pencahayaan RGB Mystic Light yang bisa disinkronkan dengan periferal gaming lain; lalu tersambung ke PC melalui kabel braided.

Mayoritas produk yang MSI pamerkan tersebut sudah dipasarkan, kecuali sejumlah perangkat yang melangsungkan debutnya di Computex 2018 seperti Clutch GM50. Biasanya, perilisan resmi produk MSI ditandai dengan dipublikasikannya rilis pers. Tebakan saya, semua komponen dan periferal tersebut akan segera tersedia sebelum tahun 2018 berakhir.