8 Laptop Gaming dengan Harga 10-15 Jutaan Rupiah Edisi Tahun 2021

Apa yang membedakan laptop gaming dari laptop biasa? Pertanyaan ini tentu sudah sangat umum kita dengar, dan sering kali jawabannya sesederhana “laptop gaming dibekali kartu grafis diskret, laptop biasa tidak.”

Jawaban tersebut tidak salah, tapi sebenarnya masih bisa dielaborasi lebih jauh lagi, sebab tidak semua kartu grafis diskret diciptakan sama. Contohnya, Nvidia GeForce MX450 dan GTX 1650 sama-sama merupakan kartu grafis diskret, tapi salah satunya lebih diperuntukkan kebutuhan harian ketimbang gaming, dan selisih performa di antara keduanya pun cukup jauh saat dipakai untuk menjalankan game.

Terlepas dari itu, kehadiran kartu grafis yang terpisah dari komponen prosesor memang adalah syarat utama agar laptop bisa masuk kategori gaming, dan itu yang sering kali menjadi alasan mengapa harganya bisa mahal.

Kabar baiknya, di tahun 2021 ini pun kita masih bisa mendapatkan laptop gaming dengan harga 10-15 jutaan rupiah. Bukan sekadar laptop yang bisa dipakai untuk bermain game, tapi yang benar-benar produsennya ciptakan untuk keperluan gaming.

Mengacu pada kriteria tersebut, di artikel ini saya sengaja tidak mencantumkan laptop-laptop yang dibekali kartu grafis mainstream seperti GeForce MX350 atau MX450 tadi. Malahan, sebagian di antaranya justru mengusung seri kartu grafis terbaru Nvidia, yakni RTX 30 Series.

Tanpa perlu berlama-lama lagi, berikut adalah 8 laptop gaming dengan harga 10-15 jutaan rupiah edisi tahun 2021 yang dapat dibeli di Indonesia.

Laptop gaming 10-15 jutaan rupiah dari Acer

1. Acer Nitro AN515-57-56ER

Dibanderol Rp14.999.000, Acer Nitro AN515-57-56ER adalah pilihan tepat bagi yang memerlukan laptop gaming dengan spesifikasi terkini. Perangkat ditenagai prosesor Intel Core i5-11400H (6-core, 12-thread), dan yang lebih penting lagi, kartu grafis Nvidia GeForce RTX 3050 4 GB. Artinya, laptop ini sepenuhnya mendukung teknologi ray-tracing sekaligus DLSS besutan Nvidia.

Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 8 GB dan SSD NVMe 512 GB yang semuanya user-upgradeable. Layarnya merupakan panel IPS-Level 15,6 inci dengan resolusi FHD (1080p) dan refresh rate 144 Hz. Masih tidak percaya ini merupakan laptop gaming? Perhatikan saja tarian lampu RGB-nya.

Link pembelian: Acer Nitro AN515-57-56ER

2. Acer Swift X SFX14-41G-R2TD

Jangan tertipu oleh penampilannya yang tidak terkesan gaming sama sekali, sebab spesifikasinya tidak kalah mumpuni dibanding saudaranya yang serba RGB tadi. Yang paling utama, ia juga dibekali GPU RTX 3050 4 GB, sedangkan untuk prosesornya, ia mengandalkan AMD Ryzen 5 5500U (6-core, 12-thread).

Perangkat dibekali RAM 16 GB (tidak upgradeable) dan SSD NVMe 512 GB. Layarnya menggunakan panel IPS 14 inci beresolusi FHD, tapi refresh rate-nya cuma 60 Hz. Secara keseluruhan, perangkat ini cocok bagi yang memerlukan laptop untuk bekerja, dan yang sesekali juga ingin memainkan game-game AAA. Harganya? Rp14.999.000.

Link pembelian: Acer Swift X SFX14-41G-R2TD

Laptop gaming 10-15 jutaan rupiah dari Asus

3. Asus TUF Gaming FX506LH-I565B6T

Kalau tidak mementingkan ray-tracing ataupun DLSS, Anda bisa menghemat hampir dua juta rupiah dengan meminang laptop yang satu ini. Meski harga laptop ini cuma Rp13.099.000, spesifikasinya tetap mumpuni untuk gaming: prosesor Intel Core i5-10300H (4-core, 8-thread), GPU GeForce GTX 1650 4 GB, RAM 8 GB, dan SSD NVMe 512 GB.

Ia dibekali layar IPS-Level 15,6 inci dengan resolusi 1920 x 1080. Refresh rate-nya juga sudah 144 Hz, membuatnya layak untuk dipakai dalam konteks gaming kompetitif. Buat bekerja pun juga oke, sebab seperti dua laptop sebelumnya dari Acer, paket penjualannya turut disertai software Office Home & Student 2019.

Link pembelian: Asus TUF Gaming FX506LH-I565B6T

4. Asus TUF Gaming A15 FA506IC-R735B6T

Lagi-lagi Anda tak perlu menghabiskan dana lebih dari 15 juta rupiah untuk mendapatkan laptop gaming dengan kartu grafis RTX generasi kedua. Selain GPU RTX 3050 4 GB, laptop seharga Rp14.999.000 ini juga mengemas prosesor AMD Ryzen 7 4800H (8-core, 16-thread) yang cukup powerful.

Spesifikasi lengkapnya meliputi RAM 8 GB, SSD NVMe 512 GB, dan layar IPS-Level 15,6 inci FHD 144 Hz. Anda butuh laptop gaming dengan harga bersahabat yang juga bisa dipakai untuk video editing? Laptop ini bisa jadi salah satu kandidat kuat.

Link pembelian: Asus TUF Gaming A15 FA506IC-R735B6T

5. Asus ROG Strix G513IH-R765B6T-O

Bisakah Anda mendapat laptop gaming dari lini Asus ROG dengan modal 15 jutaan? Rupanya bisa, buktinya adalah laptop seharga Rp15.799.000 ini. Sebagai bagian dari keluarga ROG, otomatis styling-nya jauh lebih menarik ketimbang seri TUF Gaming, dan pencahayaan RGB pun tentu sudah menjadi fitur standar di sini.

Untuk spesifikasinya, perangkat dibekali prosesor Ryzen 7 4800H (8-core, 16-thread), GPU GTX 1650 4 GB, RAM 8 GB, dan SSD NVMe 512 GB. Layarnya merupakan panel IPS-Level 15,6 inci dengan resolusi 1920 x 1080 dan refresh rate 144 Hz. Paket penjualannya sudah mencakup Office Home & Student 2019, plus sebuah tas ransel ROG.

Link pembelian: Asus ROG Strix G513IH-R765B6T-O

Laptop gaming 10-15 jutaan rupiah dari MSI

6. MSI GF63 Thin 11SC-080ID

Sekali lagi, seandainya Anda tidak masalah bermain tanpa ray-tracing dan DLSS, maka Anda bakal punya sisa bujet untuk dibelanjakan produk lain, semisal mouse gaming wireless atau headset gaming. Buat yang punya rencana demikian, laptop seharga Rp12.999.000 dari MSI ini pantas Anda pertimbangkan.

Sesuai kriteria, spesifikasinya sepenuhnya layak untuk gaming: prosesor Intel Core i5-11400H (6-core, 12-thread), GPU GTX 1650 4 GB, RAM 8 GB, dan SSD NVMe 512 GB. Perangkat mengemas layar IPS-Level 15,6 inci dengan resolusi FHD dan refresh rate 144 Hz.

Link pembelian: MSI GF63 Thin 11SC-080ID

7. MSI Katana GF66 11UC-447ID

Kombinasi prosesor Intel Core i5-11400H (6-core, 12-thread) dan GPU RTX 3050 4 GB adalah tandem yang pas untuk gaming dengan lancar di resolusi FHD, dan laptop ini sekali lagi membuktikan bahwa itu sudah bisa didapat di harga Rp14.999.000 saja.

Penggemar game kompetitif pun juga akan dimanjakan oleh layar IPS-Level 15,6 inci FHD 144 Hz yang dimilikinya. Sebuah laptop gaming modern juga tidak akan lengkap tanpa RAM dan storage yang bisa di-upgrade. Namun untuk opsi default-nya, konsumen bakal mendapat RAM 8 GB dan SSD NVMe 512 GB.

Link pembelian: MSI GF66 11UC-447ID

Laptop gaming 10-15 jutaan rupiah dari HP

8. HP Pavilion Gaming 15-ec2010AX

Terakhir, ada laptop gaming besutan HP yang dibanderol Rp15.999.000 ini. Desainnya memang belum sekeren seri Victus maupun Omen, tapi yang penting spesifikasinya sudah kapabel untuk menjalankan deretan game AAA: prosesor Ryzen 5 5600H (6-core, 12-thread), GPU RTX 3050 4 GB, RAM 8 GB, dan SSD NVMe 512 GB.

Tak hanya game AAA, game esport pun juga siap disajikan dengan baik berkat layarnya yang mendukung refresh rate 144 Hz. Panel yang digunakan sendiri adalah panel IPS 15,6 inci dengan resolusi 1080p.

Link pembelian: HP Pavilion Gaming 15-ec2010AX

Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Acer Luncurkan Proyektor Gaming dengan Dukungan Variable Refresh Rate

Kehadiran PlayStation 5 dan Xbox Series X mendorong produsen TV untuk menyematkan fitur variable refresh rate (VRR) pada model-model high-end terbarunya. Sekarang, fitur yang dirancang untuk memuluskan jalannya permainan itu juga bisa kita nikmati di proyektor.

Adalah Acer Predator GD711, salah satu proyektor pertama yang pantas menyandang titel proyektor gaming berkat dukungan fitur VRR tadi. Fitur tersebut bisa aktif di resolusi 1080p 120 Hz saat disambungkan ke konsol, atau 1080p 240 Hz saat digunakan bersama PC. Sesuai fungsinya, VRR akan selalu menyamakan refresh rate tampilan dengan output frame rate (fps) yang tersaji di masing-masing perangkat.

Untuk keperluan di luar gaming, proyektor LED ini mampu memproyeksikan gambar dalam resolusi 4K (3840 x 2160), dengan tingkat kecerahan maksimum 4.000 LED lumen (atau 1.650 ANSI lumen), dan rasio kontras 2.000.000:1. Color gamut-nya tercatat di 95% Rec. 709, dan perangkat juga kapabel untuk menyuguhkan konten HDR10.

Ukuran proyeksi terbesarnya adalah 300 inci, akan tetapi Acer sendiri merekomendasikan ukuran 100 inci dari jarak 2,7 meter. Perangkat hadir membawa speaker 10 W dan remote control dengan lapisan antimicrobial. Urusan software, Acer telah membekalinya dengan integrasi app store Aptoide.

Konektivitasnya mencakup dua port HDMI 2.0, tiga port USB-A, dan port audio-out. Berbekal sirkulasi udara yang baik, proyektor ini memiliki estimasi masa hidup hingga 20.000 jam, atau sampai 30.000 jam jika menggunakan mode Eco.

Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaan proyektor ini di kawasan Asia, namun Acer berniat menjualnya di Tiongkok seharga 11.999 yuan, dan di kawasan Eropa seharga €1.499. Kalau dikonversi, berarti harganya ada kisaran 24-26 jutaan rupiah.

Acer Predator GM712 / Acer

Alternatifnya, Acer juga menawarkan Predator GM712 yang sedikit lebih terjangkau di €1.399 atau 10.999 yuan. Perangkat ini menawarkan dukungan fitur VRR yang sama persis (hingga 120 Hz di konsol dan 240 Hz di PC), akan tetapi dengan proyeksi berbasis lampu biasa ketimbang LED.

Tingkat kecerahan maksimumnya lebih tinggi di 3.600 ANSI lumen, dan ia tetap kompatibel dengan konten HDR10. Meski begitu, rasio kontrasnya lebih rendah di 10.000:1. Juga lebih inferior adalah estimasi masa hidupnya: sampai 5.000 jam, atau bisa juga sampai 15.000 jam dengan menggunakan mode Eco Pro.

Sumber: The Verge dan Acer.

Pemanfaatan Game Focus Mode di OPPO Reno6 untuk Gaming dan Produktivitas

OPPO Reno6 memiliki fitur gaming serbaguna bernama game focus mode. Sesuai dengan namanya, bila diaktifkan memungkinkan kita bermain game dengan lebih fokus dengan sedikit atau tanpa adanya gangguan.

Fitur gaming ini sangat membantu Anda saat bermain game-game kompetitif yang membutuhkan respon cepat sepanjang permainan. Utamanya game bergenre MOBA seperti Arena of Valor, League of Legends, Mobile Legends, Pokemon Unite, dan sebagainya. Juga game battle royale seperti PUBG Mobile dan Call of Duty Mobile.

Gangguan teknis yang sering kali terjadi ialah terputusnya koneksi internet atau disconnect akibat panggilan telepon masuk. Hal yang tak terduga ini bisa sangat merugikan tim, apalagi kalau sampai hero kita terbunuh konyol.

Bila mengaktifkan game focus mode di Reno6, panggilan telepon masuk akan diblokir dan notifikasi akan disembunyikan. Bahkan alarm, quick setting, navigation gesture, dan game assistant akan dinonaktifkan untuk sementara.

Cara menggunakannya buka Game Space, lalu pilih game yang ingin dimainkan. Di sini saya sedang bermain game Arena of Valor, setelah masuk usap dari kiri ke kanan di pojok kiri atas untuk membuka game assistant dan pilih game focus mode. Usap lagi di pojok kiri atas untuk keluar dari game focus mode.

Game Focus Mode untuk Produktivitas

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membahas fitur screen recording di OPPO Reno6 untuk membuat konten dari layar smartphone. Saya membuat analisa pergerakan harga aset kripto seperti Bitcoin di aplikasi TradingView.

Hal yang sangat mengganggu saya saat merekam konten di layar smartphone ialah munculnya notifikasi dan game focus mode dapat mengatasi masalah tersebut. Ya, fitur gaming ini tidak terbatas untuk bermain game saja, tetapi juga bisa digunakan untuk aplikasi.

Caranya sangat mudah, buka Game Space, lalu klik ikon tambah (+) untuk menambahkan game atau aplikasi, dan saya tambahkan aplikasi TradingView dan Zoom. Maka notifikasi berikutnya tidak akan ditampilkan ke layar dan kenapa aplikasi Zoom juga?

Meeting virtual sudah menjadi kegiatan rutin bagi banyak orang, terutama yang bekerja dari rumah. Saya sendiri ada WIP setiap minggunya dan menghadiri beberapa acara virtual peluncuran produk baru.

Dengan memanfaatkan game focus mode saat video conference, saya bisa mengurangi potensi gangguan seperti koneksi internet terputus – karena saya hanya mengandalkan jaringan seluler. Selain itu, saya bisa dengan mudah mengambil screenshot materai presentasi yang ditampilkan untuk kebutuhan penulisan dan dokumentasi acara.

Itu beberapa contoh skenario pemanfaatan fitur gaming game focus mode di perangkat OPPO Reno6. Mulai dari menunjang saat bermain game kompetitif hingga terkait produktivitas, baik saat membuat konten kreatif dengan fitur screen recording dan juga memperlancar meeting virtual.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh OPPO.

Fitur Wi-Fi Dual Station di Windows 11 Janjikan Latensi Serendah Menggunakan Ethernet

Latensi adalah musuh utama gamer kompetitif, dan itulah mengapa banyak gamer lebih memilih untuk terhubung via Ethernet ketimbang Wi-Fi, bahkan saat menggunakan laptop sekalipun.

Namun tidak selamanya harus seperti itu. Kalau Anda memiliki laptop Windows 11 yang dibekali chip Wi-Fi 6 dan Wi-Fi 6E besutan Qualcomm (FastConnect), maka Anda bisa menikmati fitur bernama Wi-Fi Dual Station untuk menekan latensi secara drastis pada koneksi nirkabel yang digunakan.

Sedrastis apa memangnya? Berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh Qualcomm menggunakan access point Wi-Fi 6 yang tersedia untuk umum, Wi-Fi Dual Station sanggup mencatatkan latensi 4x lebih rendah ketimbang koneksi Wi-Fi standar, sekaligus mampu menyajikan gameplay bebas jitter secara konsisten.

Qualcomm bahkan tidak segan menyebut pengalamannya mirip seperti yang didapat jika perangkat terhubung ke internet via Ethernet, dan ini tentu bakal sangat bermanfaat dalam konteks gaming kompetitif secara online.

Menurut Qualcomm, rahasianya terletak pada teknologi 4-Stream Dual Band Simultaneous (DBS) rancangannya, yang memungkinkan perangkat untuk terhubung ke jaringan 2,4 GHz dan 5 GHz di saat yang bersamaan (atau 6 GHz jika tersedia). Dengan begitu, problem seputar latensi yang terjadi di salah satu frekuensi dapat langsung ditangani secara cepat di tingkatan sistem.

Apakah ini berlaku untuk semua game online? Well, semua tergantung dukungan dari masing-masing developer. Sejauh ini, ada Valve yang sudah menambahkan support awal terhadap Wi-Fi Dual Station pada Steamworks SDK, yang berarti fitur ini kompatibel dengan semua game yang memanfaatkan SDK tersebut untuk keperluan networking, contohnya Dota 2 dan CS:GO.

Selain developer, Wi-Fi Dual Station juga sudah mendapat dukungan penuh dari pihak OEM maupun penyedia teknologi seperti Acer, Lenovo, AMD, dan Microsoft sendiri. Jadi, jangan kaget kalau ke depannya kita bakal melihat Wi-Fi Dual Station sebagai salah satu fitur yang diunggulkan oleh laptop gaming.

Di saat yang sama, fitur ini semestinya juga bisa menjadi nilai tambah Windows 11 bagi kalangan gamer di samping DirectStorage dan Auto HDR.

Sumber: Tom’s Hardware dan Qualcomm.

Pengalaman Hands-on Singkat Battlefield 2042 Open Beta: Makin Asyik dengan Bumbu Hero Shooter

Bayangkan Anda seorang pemain game FPS kompetitif dengan skill medioker. Permainan menempatkan Anda di medan pertempuran berisikan 128 orang, dengan risiko tertembak dari segala arah. Di mana sebaiknya Anda memilih titik spawn?

Oh ya, game yang dimainkan datang dari franchise Battlefield, yang berarti Anda punya opsi untuk spawn langsung di dalam kendaraan yang dikendalikan oleh rekan satu tim. Buat saya yang tidak pernah jago bermain FPS sejak zaman warnet masih dipenuhi pemain Counter-Strike, itu terdengar seperti opsi yang paling ideal.

Jadilah saya memilih sebuah helikopter yang tengah mengudara sebagai titik spawn. Namun satu detik setelah mengklik tombol “Deploy”, helikopter tersebut meledak tertembak rudal, dan saya pun langsung kembali ke menu deployment. Well, rupanya tidak ada tempat yang aman buat saya di game ini.

Medan perang penuh brutalitas

Pada tanggal 4 Oktober 2021 kemarin, saya berkesempatan menjajal versi beta dari Battlefield 2042 bersama para jurnalis dan streamer dari berbagai negara. Saya memang sama sekali tidak bisa digolongkan sebagai pemain Battlefield veteran, tapi setidaknya saya cukup familier dengan seri game ini sejak pertama memainkan Battlefield: Bad Company 2 di tahun 2010, terlepas dari tidak adanya peningkatan skill yang saya alami.

Waktu bermain yang saya habiskan selama sesi open beta memang terbilang singkat, hanya sekitar tiga jam, tapi paling tidak sudah bisa memberikan gambaran mengenai gameplay Battlefield 2042 secara umum. Selama sesi tersebut, saya menjalani sekitar tujuh match, semuanya di mode Conquest dengan map Orbital.

DICE bilang Orbital merupakan map berukuran sedang, tapi pada praktiknya map ini cukup masif untuk dibagi menjadi lima sektor yang berbeda, dan masing-masing sektor pun bisa memiliki lebih dari satu titik kontrol. Medan seluas ini esensial mengingat mode Conquest di Battlefield 2042 mendukung hingga 128 pemain, seperti yang saya bilang di awal tadi.

DICE mendesain mode Conquest agar pemain bisa merasakan tempo permainan yang bervariasi. Di map Orbital yang saya coba, kalau menginginkan tempo yang cepat dan intensif, Anda bisa memilih untuk spawn di area sekitaran Launch Platform di bagian atas. Sebaliknya, kalau ingin lebih santai, Anda bisa spawn di area sekitaran Cryogenic Plant (titik C).

Selama bermain, saya sebenarnya bisa saja menetap di satu sektor dan mengaktifkan posisi defensif, tapi tentu saya juga penasaran untuk mengeksplorasi pulau tropis ini secara keseluruhan. Sayang kenyataannya tidak sesimpel yang saya bayangkan.

Saat menjelajahi area Assembly Building (titik B), saya menemukan ada dua elevator untuk naik ke puncak bangunan tinggi tersebut. Sialnya, saat sudah sampai di atas, ternyata sudah ada sniper dari tim lawan yang menunggu. Satu tembakan ke kepala, dan saya pun lagi-lagi harus kembali ke menu deployment.

Lalu saat memutari area Launch Platform guna mengamati detail pada pesawat ulang alik (yang bisa lepas landas kalau tidak ada hambatan, dan terlihat luar biasa keren sampai-sampai saya terbelalak dan lupa mengambil screenshot), saya justru dibombardir oleh sebuah helikopter lawan yang datang entah dari mana. Seperti yang saya bilang, area di bagian atas map Orbital memang merupakan bagian yang paling memacu adrenalin, jadi memang saya yang salah kamar.

Map ini punya banyak area tinggi, dan untungnya kita bisa memanfaatkan zipline yang tersebar di beragam titik untuk naik ataupun turun. Terjun dari helikopter menggunakan parasut masih menjadi salah satu opsi, tapi sering kali saya justru jadi sasaran empuk sniper ketika memakai metode ini.

Anda bakal menghabiskan banyak waktu berlari dari satu sektor ke yang lain di map Orbital. Untungnya, pemain punya opsi untuk summon kendaraan. Namun tolong jangan ulangi kesalahan yang saya buat, yakni berdiri persis di titik deployment kendaraan yang saya tentukan sendiri, lalu mati konyol tertimpa mobil jip yang mendarat dengan parasut.

Alternatifnya, pemain juga bisa memanggil sebuah robot anjing dengan persenjataan yang lengkap — ingat, setting game ini adalah di masa depan — dan robot ini cukup membantu saya beberapa kali mengamankan diri dari serbuan lawan.

Kendaraan di Battlefield 2042 juga dapat dipilih langsung melalui menu deployment. Namun kalau tidak berpengalaman mengendalikan helikopter atau pesawat, sebaiknya biarkan pemain lain yang menjadi pilot, sebab kuota dan cooldown kendaraan adalah untuk tim, bukan perorangan.

Battlefield 2042 punya sistem cuaca yang dinamis, dan ini bakal berpengaruh langsung terhadap gameplay. Salah satu contohnya, visibilitas bakal berkurang drastis ketika sedang hujan deras. Map Orbital bahkan juga punya bencana tornado, tapi sayang selama bermain saya tidak sempat melihatnya sama sekali, dan ternyata ini disebabkan oleh peluang terjadinya yang cuma sekitar 10% kalau kata tim DICE.

Seperti biasa ketika memainkan game yang dikembangkan dengan engine Frostbite, saya selalu bingung mana objek yang bisa hancur dan mana yang tidak. Di Battlefield 2042 pun juga demikian. Tembok gudang tempat persembunyian saya dengan mudahnya rontok ditembak tank, sementara sebuah mesin yang menyerupai generator listrik justru berdiri kokoh meski saya tubruk menggunakan mobil lapis baja.

Namun satu hal yang amat saya sayangkan adalah, selama hampir tiga jam bermain, saya lebih sering berjumpa dengan bot ketimbang pemain asli. Jadi dari total 128 pemain, yang bukan AI mungkin hanya sekitar 20 orang. Semoga saja ini tidak menjadi problem saat game-nya dirilis secara resmi pada tanggal 19 November 2021 nanti.

Cara membedakan kawan bot dan pemain asli pun cukup mudah. Selain dari warna namanya, perilaku keduanya jelas berbeda. Yang paling kentara, bot sering kali menghabiskan kelewat banyak waktu menanti di-revive oleh rekannya (ada jeda 30 detik sebelum otomatis dibawa kembali ke menu deployment), sementara pemain asli lebih sering memilih untuk langsung respawn.

Battlefield dengan bumbu hero shooter

Satu perubahan drastis di Battlefield 2042 adalah hilangnya sistem class dari game-game sebelumnya. Semua playable character kini disebut sebagai Specialist, meski masing-masing tetap mempunyai peran tersendiri berkat gadget unik yang dimiliki.

Di versi open beta-nya, ada empat Specialist yang dapat dimainkan: Mackay, Boris, Casper, dan Falck. Masing-masing punya backstory-nya sendiri-sendiri, namun kalau mau disederhanakan, mereka adalah tentara bayaran yang bebas memilih untuk membela Amerika Serikat atau Rusia, dua faksi yang berseteru di Battlefield 2042.

Mackay adalah Specialist dengan peran assaulter. Gadget spesialnya adalah sebuah grapple hook yang bisa ditembakkan untuk berpindah dari satu titik ke yang lain. Kalau Anda pernah memainkan seri game Just Cause, Anda pasti familier dengan mekanisme alat ini.

Saya memang belum sempat mencoba, tapi sepertinya grapple hook ini tidak bisa dipakai untuk melukai musuh. Yang ada malah saya sendiri yang terluka (tewas lebih tepatnya) karena mencoba membidikkan grapple hook ke tiang listrik; bukan karena kesetrum, tapi karena jatuh dari ketinggian akibat tidak ada pijakan.

Boris adalah Specialist yang memegang peran sebagai engineer. Ia bisa menempatkan sebuah turret otomatis, sangat cocok untuk keperluan bertahan karena turret-nya akan menembaki musuh yang berada dalam jangkauannya secara otomatis. Sebaliknya, Casper mengemban tugas recon, dan sangat berguna untuk scouting berkat drone yang dapat dikendalikannya.

Terakhir, Falck berperan sebagai medic, dan menurut saya ia adalah yang paling kurang berguna. Gadget yang dimilikinya adalah sebuah pistol untuk menambah darah teman (healing). Masalahnya, health regen di Battlefield 2042 adalah yang tercepat dari semua game Battlefield sebelum ini. Jadi tanpa kehadiran Falck pun sebenarnya pemain sudah bisa survive sendiri.

Sebagai seseorang yang menyukai role support dan paling mengidolakan Mercy di Overwatch, jujur saya agak kecewa dengan implementasi class medic di Battlefield 2042. Lebih lanjut, semua class sekarang bisa menghidupkan pemain lain (revive), sehingga peran Falck pun jadi kian tidak relevan.

Namun kalau harus memilih, saya lebih memilih Falck versi sekarang ketimbang di versi alpha-nya, yang sangat-sangat overpowered karena bisa revive pemain lain dari kejauhan. Beruntung ini sudah di-nerf oleh DICE.

Keberadaan gadget secara langsung membuat Battlefield 2042 terasa lebih futuristis daripada pendahulu-pendahulunya, tapi tidak sampai kelewat canggih hingga menyerupai seri game Halo atau malah Star Wars: Battlefront. Gadget sepintas juga terkesan seperti special ability di game-game ber-genre hero shooter, cukup untuk menambahkan kesan modern pada franchise yang lebih sering mengusung setting peperangan historis.

Lewat Battlefield 2042, DICE pada dasarnya sudah ikut terbawa arus tren hero shooter, tapi di saat yang sama mereka tetap tidak mangkir terlalu jauh dari akar permainan seri Battlefield itu sendiri.

Selain gadget, tiap Specialist juga punya trait alias skill pasif. Buat Mackay, skill pasifnya adalah kecepatan bergerak yang lebih gesit selagi membidik (aiming down sight atau ADS). Untuk Boris, skill pasifnya adalah turret bakal bekerja lebih efektif jika diposisikan di dekatnya.

Favorit saya adalah trait milik Casper; ia punya sensor untuk mendeteksi apabila ada musuh yang berkeliaran di dekatnya. Lagi-lagi yang paling kurang berguna adalah trait milik Falck, yakni revive dengan posisi darah terisi penuh — kalau class lain yang revive, maka darah hanya terisi separuh. Namun seperti yang saya bilang, Anda cuma perlu menunggu sebentar saja sebelum health regen aktif dan darah kembali terisi penuh di Battlefield 2042.

Sniper rifle untuk jarak dekat, kenapa tidak?

Tidak seperti di game-game Battlefield sebelumnya, Anda tidak perlu memilih class tertentu agar bisa menggunakan jenis senjata tertentu. Semua senjata yang tersedia di Battlefield 2042 bisa digunakan oleh semua Specialist tanpa terkecuali.

Bayangkan betapa menyenangkannya menjadi Mackay yang menggotong sniper rifle dan berpindah dari atap gedung ke atap gedung menggunakan grapple hook-nya, atau betapa anehnya berperan sebagai recon tapi dengan bekal light machine gun (LMG) yang mencolok dan berisik.

Semua itu bebas Anda tentukan sendiri di Battlefield 2042. Bahkan untuk perlengkapan pendukung seperti anti-air missile launcher atau bazooka pun juga tidak terbatas buat Specialist tertentu, dan ini sangat berguna karena Anda bakal berhadapan dengan banyak kendaraan di game ini. Selagi bermain sebagai Falck, saya juga lebih memilih untuk membawa suplai amunisi ketimbang health pack gara-gara mekanisme health regen yang cepat tadi.

Tiap-tiap senjata pun dapat dikustomisasi lebih lanjut. Saya sempat bingung awalnya kenapa kok sniper rifle yang saya gunakan tidak mempunyai scope sama sekali. Ternyata, scope-nya bisa dilepas-pasang dengan mudah via opsi kustomisasi in-game. Cukup tekan dan tahan satu tombol (tombol T di PC), maka bagian-bagian dari senjata (muzzle, sight, grip) bisa kita gonta-ganti sesuai kebutuhan.

Jadi semisal saya sedang membawa sniper rifle dan tanpa sengaja terperangkap di medan pertempuran jarak dekat, saya tinggal ganti scope-nya jadi iron sight standar, dan bedil tersebut pun dapat langsung beradaptasi dengan kondisi saat itu. Dari sniper jarak jauh menjadi sniper jarak dekat, cuma dalam waktu dua detik saja.

Pilihan modifikasi senjata yang bisa dibawa juga dapat diubah sesuai keperluan, tapi sayang ini belum bisa dilakukan semasa open beta. Padahal, saya sudah punya rencana untuk memasangkan scope milik sniper rifle ke pistol healer milik Falck, sehingga saya bisa mengamankan diri di atap gedung selagi tetap menjalankan tugas sebagai support, menembakkan suntikan-suntikan penyembuh luka dari kejauhan.

Tanpa perlu terkejut, feel menembak di Battlefield 2042 terasa sangat memuaskan. Namun entah kenapa, indikator suara yang muncul saat berhasil mencatatkan kill terasa kurang greget. Alhasil, ketika situasi sedang kacau, saya terkadang sampai tidak sadar kalau musuh yang saya tembaki ternyata sudah tewas. Bisa jadi memang saya yang terlalu amatiran.

Tidak perlu PC kelas sultan

Jujur saya agak keder saat melihat persyaratan spesifikasi PC yang dibutuhkan untuk Battlefield 2042. Pasalnya, spesifikasi PC yang saya gunakan lebih dekat dengan persyaratan minimum ketimbang yang direkomendasikan: prosesor AMD Ryzen 5 3500X dan kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1660 Super.

Namun ternyata game bisa berjalan dengan cukup mulus. Rata-rata frame per second yang saya dapat ada di kisaran 60-an fps dengan setting grafis High di resolusi 1080p, dan cuma sesekali saja turun ke 40-an fps saat ada banyak ledakan yang terjadi secara bersamaan di sekitar. Loading pun terasa cepat meski PC saya cuma menggunakan SSD SATA.

Saya juga tidak menemukan problem seputar koneksi, dan selama bermain selama nyaris tiga jam, cuma satu kali saja saya sempat tertendang dari server, itu pun ketika match sudah betul-betul rampung dan selagi menunggu dibawa kembali menuju ke lobi. Perlu dicatat, versi game yang saya mainkan selama sesi open beta adalah versi lebih lawas dari yang akan tersedia pada peluncuran resminya bulan depan.

Battlefield 2042 juga mendukung Nvidia Reflex. Namun berhubung saya lebih sering menghabiskan waktu di Red Dead Redemption 2 ketimbang Valorant, saya tidak punya hardware yang kapabel untuk mencobanya. Sebagai game yang tidak punya single-player campaign sama sekali, Battlefield 2042 sudah pasti sangat dioptimalkan untuk skenario kompetitif.

Tentu saja saya tidak bisa berkomentar mengenai performa Battlefield 2042 di console, akan tetapi DICE menjanjikan pengalaman yang kurang lebih sama, setidaknya untuk next-gen console. Kalau butuh gambaran, spesifikasi PC yang saya gunakan bisa dibilang cukup mirip, atau bahkan lebih inferior, dibanding spesifikasi PlayStation 5 dan Xbox Series X.

Yang bedanya bakal cukup lumayan mungkin adalah di current-gen console. Di PlayStation 4 dan Xbox One, mode Conquest bahkan cuma mampu mengakomodasi total 64 orang, alias separuh dari jumlah pemain yang didukung di next-gen console dan PC.

Kabar baiknya, Battlefield 2042 mendukung dual-entitlement dan cross-play progression di semua edisi (Standard, Gold, Ultimate). Jadi bagi yang masih menunggu jatah stok PS5 dan hanya bisa memainkannya di PS4, akan lebih bijak seandainya Anda membeli Battlefield 2042 versi next-gen meski harganya lebih mahal 150 ribu rupiah ketimbang versi current-gen.

Pasalnya, versi next-gen tersebut juga mencakup versi current-gen. Jadi ketika sudah kebagian jatah stok PS5 nanti, Anda tidak perlu membeli game-nya lagi, dan semua progres permainan yang Anda catatkan pun bisa langsung ditransfer. Namun perlu dicatat, ini hanya berlaku untuk edisi digitalnya saja, bukan edisi fisik.

Kesimpulan

Battlefield 2042 berhasil mengingatkan saya pada keasyikan baku tembak di seri game ini. Perang berskala masif antara 64 mercenary melawan 64 mercenary lain terasa brutal sepanjang waktu, tapi akan lebih seru lagi seandainya semua yang terlibat adalah pemain asli, bukan bot.

Sebagai penikmat game single-player, jujur saya agak menyayangkan kenapa Battlefield 2042 tidak punya single-player campaign. Padahal, kalau saya pikir-pikir, beragam set piece atau peristiwa yang terjadi — seperti musibah tornado dan peluncuran roket luar angkasa — bakal terkesan sangat menarik jika diselipkan ke dalam skenario single-player.

Terlepas dari itu, upaya DICE untuk menghadirkan momen-momen epik seperti ini ke dalam sebuah live service game tetap patut diapresiasi. Seiring waktu, Battlefield 2042 pasti bakal kedatangan berbagai map baru, dan jujur saya penasaran momen-momen menegangkan seperti apa yang menunggu di masing-masing lokasi.

Hero baru, eh, maksud saya Specialist baru, pasti juga akan hadir ke depannya, dengan beragam gadget dan trait yang membuat permainan jadi terasa lebih variatif. Begitu pula dengan senjata-senjata baru, yang semuanya dapat dipakai tanpa terbatasi oleh class. Bisa jadi, ini bakal menjadi game Battlefield pertama yang memiliki beragam tips meta.

Oh ya, semua yang saya ceritakan ini sebenarnya baru sebagian kecil dari Battlefield 2042, sebab yang saya coba hanyalah satu mode gameplay dan satu map saja. Beberapa fitur baru, seperti misalnya mode Hazard Zone, bahkan belum EA ungkap sama sekali detailnya.

Bagi yang penasaran mencoba sendiri, Battlefield 2042 versi open beta sudah bisa dimainkan dari tanggal 6-9 Oktober 2021, dengan syarat Anda sudah melakukan pre-order. Buat yang masih ragu untuk keluar uang, Anda bisa mengikuti sesi open beta ini pada tanggal 8 Oktober, jadi Anda setidaknya masih punya waktu satu hari untuk mencicipi game ini lebih awal.

Pandemi Atau Tidak, Pasar PC dan Monitor Gaming Akan Terus Menguat Selama Beberapa Tahun ke Depan

Pandemi COVID-19 dan tuntutan untuk terus berdiam diri di rumah berdampak langsung pada pesatnya pertumbuhan pasar perangkat gaming. Lalu saat semuanya nanti sudah kembali normal, apakah itu berarti pasar gaming bakal mengalami penurunan?

Tidak. Menurut para analis IDC, pasar gaming sebenarnya sudah menguat sejak beberapa tahun sebelum pandemi, dan pandemi sejatinya hanya semakin mengakselerasi pertumbuhannya. Itulah mengapa IDC juga optimistis bahwa pasar gaming, khususnya PC dan monitor gaming, akan terus bertumbuh selama beberapa tahun ke depan.

Laju pertumbuhannya bahkan diprediksi lebih cepat daripada pasar PC dan monitor secara menyeluruh. Untuk pasar PC gaming, yang mencakup desktop sekaligus laptop, IDC mengestimasikan peningkatan jumlah pengapalan barang dari 41,3 juta di tahun 2020 menjadi 52,3 juta di tahun 2025.

Untuk pasar monitor gaming, jumlahnya akan naik dari 14,2 juta unit menjadi 26,4 juta unit dalam rentang periode yang sama. Dari situ kita pun tidak perlu heran kenapa produsen seperti Corsair akhirnya memutuskan untuk ikut terjun ke segmen ini dengan mengumumkan monitor gaming perdananya, Xeneon 32QHD165. Potensi pasarnya memang amat menjanjikan.

Pasar PC gaming belum lama ini juga dimeriahkan oleh kolaborasi IKEA dan ROG dalam menyediakan koleksi furnitur gaming. Lalu di pasar lokal, kita sudah melihat bagaimana tingginya permintaan pasar gaming pada akhirnya berhasil meyakinkan Alienware untuk kembali menjejakkan kakinya secara resmi di Indonesia setelah sempat menghilang selama sekitar lima tahun.

Menariknya, semua ini terjadi selagi krisis kelangkaan chip global terus berkelanjutan. Jadi di saat permintaan akan hardware gaming terus meningkat, stok barang-barangnya justru menipis, atau bahkan tidak ada sama sekali. Kalaupun ada, harganya sering kali melambung jauh di atas harga aslinya.

Laporan terbaru IDC juga memprediksi kenaikan harga jual rata-rata PC gaming dari $925 di tahun 2020 menjadi $1.007 di tahun 2025. Untuk monitor gaming, harga jual rata-ratanya malah diprediksi bakal turun dari $339 menjadi $309 di tahun 2025. Kalau digabung, nilai pasar PC gaming dan monitor gaming diperkirakan bakal menembus angka $60 miliar di tahun 2025.

Sumber: IDC dan PC Gamer. Gambar header: Resul Kaya via Unsplash.

Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

BlueStacks X Adalah Layanan Cloud Gaming Gratis untuk Game Mobile, Bisa Langsung Diakses via Browser

Bagi yang pernah mencoba memainkan game Android di PC Windows dengan bantuan software emulator, Anda pasti pernah setidaknya mendengar nama BlueStacks. Emulator Android memang ada banyak, akan tetapi BlueStacks adalah salah satu yang terlama sekaligus terpopuler, dengan total unduhan melebihi 1 miliar kali per Februari 2021.

Meski sudah eksis sejak lama, BlueStacks sebenarnya baru berfokus ke gaming mulai tahun 2016. Sekarang, BlueStacks sudah siap untuk membuka lembaran baru dan merambah segmen yang sedang naik daun, yakni cloud gaming. Mereka meluncurkan BlueStacks X, sebuah layanan cloud gaming gratis untuk game mobile.

BlueStacks X bukanlah sebuah aplikasi. Layanan ini bisa diakses langsung melalui browser di berbagai perangkat. Jadi tidak peduli Anda menggunakan perangkat Windows, macOS, iOS, Android, Chrome OS, Linux, atau malah Raspberry Pi, Anda hanya perlu membuka browser dan mengunjungi x.bluestacks.com untuk mulai bermain. BlueStacks bahkan mengklaim layanannya ini juga tersedia di sejumlah model smart TV.

Agar bisa menjangkau lebih banyak gamer lagi, BlueStacks X juga akan diintegrasikan ke Discord melalui sebuah bot bernama Cloudy. BlueStacks menjanjikan kustomisasi yang mendalam, sehingga admin server Discord bisa menentukan game apa saja yang bakal tersedia buat komunitasnya.

BlueStacks X ditenagai oleh teknologi hybrid cloud yang dibangun bersama sister company BlueStacks, now.gg. Layanan semacam ini juga tidak akan bisa terwujud tanpa eksistensi server berbasis ARM macam AWS Graviton. Seperti layanan cloud gaming pada umumnya, semua pemrosesan di BlueStacks X berlangsung di server, dan yang dilakukan oleh perangkat pengguna sebenarnya cuma streaming.

Pengalaman singkat mencoba BlueStacks X

Berhubung penasaran, saya pun memutuskan untuk langsung mencoba BlueStacks X. Di halaman utamanya, kita akan langsung disuguhi dengan deretan game yang sudah tersedia. Sampai artikel ini ditulis, saya melihat sudah ada 13 judul game yang bisa dimainkan di BlueStacks X.

Untuk mulai bermain, kita akan diminta untuk login menggunakan akun Google, Facebook, atau Discord. Setelahnya, tinggal pilih judul game yang ingin dimainkan dan klik tombol “Play On Cloud”. Dari situ kita akan dibawa ke sebuah tab baru, dan setelah proses loading selama beberapa detik, game-nya langsung siap untuk dimainkan. Tidak ada yang perlu diunduh terlebih dulu.

Saya tidak menemukan problem selama bermain menggunakan browser Chrome di PC. Performanya cukup mulus, tapi entah kenapa cuma terbatas di resolusi 720p 30 fps. Padahal, BlueStacks mengklaim game akan berjalan secara konstan di 60 fps, dan koneksi internet saya cukup mumpuni untuk streaming resolusi 4K di YouTube dengan lancar. Tebakan saya, mungkin karena status BlueStacks X yang sejauh ini masih beta.

Saya juga belum menemukan satu pun iklan di BlueStacks X. Padahal, BlueStacks berencana memonetisasi layanan ini dengan iklan. Kepada The Verge, Rosen Sharma selaku CEO BlueStacks menjelaskan bahwa iklannya bersifat pre-roll, alias diputar di awal dan tidak akan menginterupsi di tengah-tengah permainan.

Andai iklannya diputar selama proses loading awal tiap game, saya rasa tidak akan ada yang keberatan. Ke depannya, BlueStacks juga berencana menawarkan paket subscription. Kemungkinan besar, salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah pengalaman bebas iklan.

Berhubung semuanya berjalan di cloud, BlueStacks X turut mendukung sinkronisasi antar perangkat. Saat saya membuka BlueStacks X via browser Safari di iPhone 6S dan login memakai akun Google yang sama, saya pun bisa melanjutkan sesi permainan yang sebelumnya saya jalani di PC. Tidak perlu mengulang dari awal.

Di iPhone yang sudah sangat uzur tersebut, game-nya pun bisa berjalan dengan mulus. Sayang tampilan game-nya tidak bisa dibuat full-screen. Terlepas dari itu, bisa dibayangkan betapa bergunanya layanan BlueStacks X ini bagi pengguna yang spesifikasi ponselnya terlalu rendah untuk memainkan game tertentu. Pesan untuk tim BlueStacks: tolong segera tambahkan Genshin Impact ke katalog BlueStacks X.

Alienware Kembali Menapakkan Kaki di Indonesia, Luncurkan Dua Laptop Gaming Baru

Alienware resmi menjejakkan kakinya kembali di pasar tanah air setelah sempat hengkang di tahun 2016. Melalui sebuah acara virtual, Dell mengumumkan ketersediaan laptop-laptop terbaru dari sub-brand khusus gaming-nya tersebut di Indonesia dan sejumlah negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Untuk pasar Indonesia, dua laptop Alienware yang akan hadir adalah Alienware m15 R6 dan Alienware m15 Ryzen Edition R5. Di saat yang sama, Dell juga bakal menghadirkan laptop Dell G15 dan Dell G15 Ryzen Edition yang menyasar segmen konsumen yang berbeda.

Dalam presentasinya, Leonard Kee selaku Regional Product Manager Dell menjelaskan bahwa pandemi dan meningkatnya permintaan di pasar gaming menjadi alasan kuat bagi mereka untuk merambah konsumen di lebih banyak negara.

Sebagai informasi, alasan Alienware hengkang dari Indonesia lima tahun lalu adalah karena rendahnya permintaan pasar. Sekarang, situasinya jadi berbanding terbalik. Jumlah gamer terus meningkat semenjak pandemi COVID-19 merebak, dan Dell maupun Alienware tentu tidak mau melewatkan momentum tersebut.

Alienware m15 R6 dan Alienware m15 Ryzen Edition R5

Tipikal Alienware, desain yang keren serta performa tanpa kompromi selalu menjadi suguhan utama, dan prinsip tersebut juga mereka terapkan di kedua laptop ini. Tidak seperti laptop-laptop Alienware dari beberapa tahun silam, penampilan duo m15 ini tampak jauh lebih dewasa dan tidak kelewat norak. Di mata saya, desainnya terkesan industrial, tapi di saat yang sama masih menyiratkan nuansa gaming yang kental.

Urusan performa, m15 R6 mengandalkan prosesor Intel Core i7-11800H, sementara m15 Ryzen Edition R5 menawarkan dua opsi, yakni Ryzen 7 5800H dan Ryzen 9 5900HX. Kedua laptop sama-sama bakal hadir dalam varian yang dibekali kartu grafis Nvidia GeForce RTX 3060 6 GB atau RTX 3070 8 GB.

Istimewanya, Alienware tidak menggunakan kartu grafis versi Max-Q yang mengorbankan kinerja demi mengedepankan efisiensi. Sebaliknya, duo m15 ini justru hadir mengusung versi standar dari RTX 3060 dan RTX 3070 untuk laptop yang lebih bertenaga.

Menurut Leonard, rahasianya terletak pada sistem pendingin mutakhir Cryotech 2.0 yang Alienware implementasikan pada kedua laptop tersebut. Sistem ini mengemas komponen heatpipe dengan ukuran 40% lebih besar, serta yang melibatkan 22% lebih banyak material tembaga. Dengan begitu, sistem jadi bisa mentransfer panas dari komponen GPU dan CPU secara lebih efektif.

Sepasang kipas besar kemudian menyalurkan hawa panas tersebut ke luar melalui empat ventilasi di sisi kiri, kanan, dan belakang, sekaligus menghirup udara segar dari lubang ventilasi di atas dan bawah. Berkat sistem pendingin yang efektif ini, Alienware pun tidak ragu menyematkan kartu grafis dengan TGP (total graphics power) maksimum sebesar 125 W, lebih tinggi daripada di mayoritas laptop gaming lain.

Melengkapi spesifikasinya adalah RAM DDR4 3200 MHz berkapasitas 16 GB atau 32 GB, serta SSD NVMe sebesar 512 GB atau 1 TB. Varian manapun yang konsumen pilih, memory beserta storage-nya bisa ditambah sewaktu-waktu, sebuah nilai plus yang dulunya kerap absen dan menjadi salah satu keluhan terbesar pengguna laptop Alienware.

Duo Alienware m15 anyar ini datang mengusung layar 15,6 inci dengan dua opsi resolusi yang berbeda: 1080p 165 Hz, atau 1440p 240 Hz. Pada varian termahalnya, m15 mengemas keyboard dengan mechanical switch Cherry MX Low Profile. Leonard juga sempat menyinggung mengenai charger model baru yang sekitar 30% lebih kecil daripada milik generasi-generasi sebelumnya.

Di Indonesia, Dell bakal memasarkan kedua laptop ini mulai bulan Oktober 2021. Alienware m15 R6 akan dijual dengan harga mulai Rp40.099.000, sedangkan m15 Ryzen Edition R5 dibanderol mulai Rp38.099.000. Kenapa m15 R6 lebih mahal? Karena ia punya sejumlah fitur eksklusif besutan Intel yang tak dimiliki saudaranya.

Fitur yang dimaksud antara lain adalah port Thunderbolt 4, Intel Killer DoubleShot Pro untuk semakin mengoptimalkan koneksi internet, dan Temperature Cruise Control (TCC) untuk mengatur agar suhu CPU tidak pernah melewati batas yang telah pengguna tentukan.

Dell G15 dan Dell G15 Ryzen Edition

Sebelum membahas lebih jauh, saya tahu sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, “Kenapa harus ada laptop gaming Dell kalau sekarang sudah ada Alienware?” Jawabannya sederhana saja; karena segmen konsumen yang dituju berbeda.

“Dell G15 ditujukan untuk orang-orang yang ingin menceburkan kakinya (ke ranah gaming). Ibaratnya ini mobil pertama mereka,” ucap Leonard saat ditanya mengenai hal ini.

Kalau Anda tanya saya, saya bakal menjawab bahwa Dell G15 ditujukan untuk gamer dengan bujet terbatas, sementara Alienware m15 disiapkan untuk kalangan gamer sultan. Dari harganya saja sudah kelihatan: Dell G15 dihargai mulai Rp21.499.000, sementara Dell G15 Ryzen Edition mulai Rp16.599.000, semuanya cuma sekitar separuh harga Alienware m15.

Menengok dapur pacunya, kita bisa menemukan prosesor Intel Core i5-11400H atau Core i7-11800H pada Dell G15. Untuk Dell G15 Ryzen Edition, pilihan prosesor yang tersedia adalah Ryzen 5 5600H dan Ryzen 7 5800H. Opsi GPU-nya terdiri dari RTX 3050 4 GB dan RTX 3050 Ti 4 GB.

Untuk RAM-nya, duo Dell G15 ini sudah menggunakan modul DDR4 3200 MHz dengan pilihan kapasitas 8 GB atau 16 GB. Lalu untuk storage, keduanya menawarkan SSD NVMe berkapasitas 256 GB atau 512 GB. Kabar baiknya, baik RAM maupun SSD-nya juga user upgradeable seperti Alienware m15.

Kedua laptop ini belum memakai Cryotech, tapi setidaknya sistem pendinginnya memiliki jumlah heatpipe tembaga sekaligus ventilasi yang yang lebih banyak daripada generasi sebelumnya. Saat memerlukan kinerja terbaik, pengguna bisa dengan mudah meningkatkan kinerja sistem pendinginnya dan menggeber kecepatan putaran kipasnya hanya dengan mengaktifkan fitur Game Shift via satu klik tombol.

Dell bilang bahwa desainnya telah dirancang ulang secara total, dan kita bisa melihat beberapa bagian yang terinspirasi langsung dari desain khas Alienware. Laptop ini memiliki panel layar 15,6 inci dengan opsi resolusi 1080p 120 Hz atau 1080p 165 Hz.

Di Indonesia, Dell G15 Ryzen Edition kabarnya sudah tersedia mulai sekarang, sedangkan Dell G15 baru akan menyusul di bulan Oktober mendatang. Untuk penjualan online, Dell memilih untuk bermitra secara eksklusif dengan JD.id. Detail lebih lengkap mengenai pre-order laptop gaming terbaru Dell dan Alienware bisa dilihat di tautan ini.

8 Laptop Gaming di Bawah 10 Juta Rupiah yang Bisa Dibeli di Indonesia

Mencari laptop gaming di bawah 10 juta rupiah itu susah-susah gampang. Susah karena tidak ada laptop yang betul-betul didedikasikan untuk gaming yang harganya semurah itu. Gampang karena laptop zaman sekarang telah dibekali performa yang cukup mumpuni untuk gaming.

Sudah bukan rahasia kalau gaming menuntut kinerja kartu grafis yang tinggi. Itulah mengapa laptop gaming dibekali kartu grafis yang terpisah dari komponen prosesornya, dan itu juga yang menyebabkan harganya melambung tinggi di atas laptop standar.

Kabar baiknya, chip grafis yang terintegrasi pada deretan prosesor generasi terbaru sekarang sudah cukup kuat untuk menjalankan berbagai judul game secara lancar. Jadi, beberapa laptop biasa pun sebenarnya juga sudah bisa dipakai untuk gaming. Namun tentu saja, ini harus diimbangi dengan pengaturan setting grafis di dalam game yang masuk akal.

Buat yang memiliki modal 10 juta rupiah dan ingin membeli laptop untuk gaming, berikut adalah 8 opsi yang bisa dijadikan referensi.

Laptop gaming di bawah 10 juta dari Lenovo

1. Lenovo IdeaPad L340 15

Laptop gaming di bawah 10 juta

Dibanderol Rp8.799.000, laptop gaming 8 jutaan ini mengandalkan prosesor AMD Ryzen 7 3700U (4-core, 8-thread) dengan chip grafis Radeon RX Vega 10 yang kapabel. Performanya kian disempurnakan berkat penggunaan SSD berkapasitas 256 GB, serta RAM sebesar 8 GB yang upgradeable.

Lenovo IdeaPad L340 15 mengemas layar 15,6 inci beresolusi 1080p. Paket penjualannya sudah termasuk sistem operasi Windows 10.

Link pembelian: Lenovo IdeaPad L340 15

2. Lenovo IdeaPad Slim 3 (Ryzen 5)

Laptop gaming di bawah 10 juta

Ryzen 5 5500U menjadi pilihan yang populer di antara para produsen laptop berkat keseimbangan antara performa dan efisiensi yang ditawarkan. Prosesor ini juga chip grafis bawaan yang cukup lumayan, sanggup menjalankan game macam GTA V di rata-rata 40-an fps pada resolusi 1080p dengan setting grafis normal.

Salah satu laptop Ryzen 5 5500U yang patut dipertimbangkan adalah Lenovo IdeaPad Slim 3, yang dijual dengan harga resmi Rp9.999.000. Perangkat ditenagai RAM 8 GB beserta SSD NVMe 512 GB, dan semuanya bisa ditambah lagi sewaktu-waktu. Layar 14 incinya sudah menggunakan panel IPS beresolusi FHD.

Link pembelian: Lenovo IdeaPad Slim 3 (Ryzen 5)

3. Lenovo IdeaPad Slim 3 (Ryzen 3)

Laptop gaming di bawah 10 juta

Kalau 10 juta masih dirasa terlalu mahal, Anda bisa melirik varian lain Lenovo IdeaPad Slim 3 yang ditenagai prosesor Ryzen 3 5300U (4-core, 8-thread), yang dijual seharga Rp8.999.000. Berhubung lebih murah, kinerjanya jelas lebih inferior, tapi setidaknya masih sanggup menjalankan Valorant di rata-rata 60-an fps pada resolusi 1080p dengan setting Medium.

Di luar prosesornya, spesifikasinya mirip seperti varian yang dibekali prosesor Ryzen 5 tadi, dengan RAM 8 GB dan SSD NVMe 512 GB yang semuanya upgradeable, plus layar 14 inci beresolusi 1080p.

Link pembelian: Lenovo IdeaPad Slim 3 (Ryzen 3)

4. Lenovo IdeaPad Slim 3i

Laptop gaming di bawah 10 juta

Opsi terakhir laptop terjangkau yang ditenagai prosesor Core i5-1135G7 adalah Lenovo IdeaPad Slim 3i. Spesifikasi lengkapnya meliputi RAM 8 GB serta SSD 256 GB, dan kombinasi ini sudah cukup kuat untuk menjalankan, misalnya, Doom Eternal di rata-rata 40 fps pada resolusi 720p dengan setting Low.

Laptop dengan layar 14 inci beresolusi FHD ini sudah bisa dibeli dengan harga Rp9.599.000, juga sudah termasuk Windows dan Office.

Link pembelian: Lenovo IdeaPad Slim 3i

Laptop gaming di bawah 10 juta dari Acer

5. Acer Aspire 5 A515-45

Laptop gaming di bawah 10 juta

Dengan dana Rp9.999.000, Anda sudah bisa membawa pulang laptop yang dibekali prosesor AMD Ryzen 5 5500U. Prosesor tersebut memiliki 6-core dan 12-thread, serta mengemas chip grafis dengan 7-core dan clock speed 1.800 MHz. Melengkapi spesifikasi laptop-nya adalah RAM 8 GB dan SSD NVMe 512 GB.

Acer Aspire 5 A515-45 dibekali layar 15,6 inci FHD. Selain OS Windows 10, paket penjualannya juga sudah termasuk Office Home & Student 2019.

Link pembelian: Acer Aspire 5 A515-45

6. Acer Aspire 5 Slim A514-54

Laptop gaming di bawah 10 juta

Beralih ke kubu Intel, mereka juga punya prosesor kelas menengah dengan chip grafis bawaan yang mumpuni, yakni Core i5-1135G7 (4-core, 8-thread). Untuk game super-berat macam Red Dead Redemption 2 misalnya, chip Iris XE milik mampu menjalankannya di rata-rata 30-an fps pada resolusi 720p dengan setting Low.

Salah satu laptop dengan harga di bawah 10 juta rupiah yang ditenagai prosesor tersebut adalah Acer Aspire 5 Slim A514-54. Spesifikasinya mencakup RAM 8 GB (upgradeable) dan SSD NVMe 512 GB, serta layar 14 inci beresolusi 1366 x 768. Laptop ini dijual seharga Rp9.999.000, sudah termasuk Windows dan Office.

Link pembelian: Acer Aspire 5 Slim A514-54

Laptop gaming di bawah 10 juta dari HP

7. HP 14s-fq1004AU

Laptop gaming di bawah 10 juta

Bagaimana dengan game kompetitif? Sebagus apa performa chip grafis bawaan Ryzen 5 5500U? Cukup kuat untuk menjalankan Valorant di rata-rata 70-an fps pada resolusi 1080p dengan setting High. Maka dari itu, jika Anda cuma punya modal tidak lebih dari 10 juta rupiah, Anda bisa mencari laptop yang dibekali prosesor ini untuk keperluan gaming, seperti misalnya HP 14s-fq1004AU ini.

Laptop ini dibekali RAM 8 GB beserta SSD NVMe 512 GB. Layarnya juga telah menggunakan panel IPS 14 inci dengan resolusi 1920 x 1080. Seperti laptop Ryzen 5 5500U lain yang ada di artikel ini, paket penjualan laptop seharga Rp9.999.000 ini sudah mencakup OS Windows 10 Home dan Office Home & Student 2019.

Link pembelian: HP 14s-fq1004AU

Laptop gaming di bawah 10 juta dari Asus

8. Asus Vivobook A416EA

Laptop gaming di bawah 10 juta

Laptop lain yang dibekali prosesor Intel Core i5-1135G7 dan chip grafis Iris XE adalah Asus Vivobook A416EA, yang dijual seharga Rp8.999.000. Perangkat dibekali RAM 4 GB dan SSD 256 GB, lengkap beserta layar 14 inci beresolusi FHD.

Tipikal lini Asus Vivobook, fisiknya tergolong ringkas dengan bobot cuma sekitar 1,6 kg. Seperti biasa, paket penjualannya sudah mencakup OS Windows 10 Home dan software Office Home & Student 2019.

Link pembelian: Asus Vivobook A416EA

Itu tadi daftar atau listicle laptop di bawah 10 juta di tahun 2021 yang bisa Anda pilih. Ikuti terus informasi gadget gaming di Hybrid.co.id. Jangan lupa follow akun media sosial kami di Instagram, Facebook dan Twitter.

Dukungan Software Anti-Cheat Tiba, Steam Deck Akhirnya Terbebaskan dari Isu Kompatibilitas

Dengan banderol mulai $399 dan spesifikasi jauh di atas Nintendo Switch, tidak heran apabila Valve Steam Deck berhasil mencuri perhatian banyak gamer. Kalau ditanya kenapa bisa murah, salah satu alasannya adalah karena Valve tidak membebani konsumen dengan biaya lisensi Windows. Sebagai gantinya, Steam Deck menggunakan sistem operasi rancangan sendiri yang berbasis Linux.

Berhubung memakai Linux, Steam Deck harus mengandalkan bantuan compatibility layer bernama Proton agar mampu menjalankan gamegame yang dikembangkan untuk Windows. Proton masih belum sempurna. Bahkan untuk beberapa judul game, Proton sama sekali tidak bisa menanganinya akibat ‘intervensi’ dari software anti-cheat yang digunakan di gamegame tersebut.

Untung tidak selamanya harus seperti itu. Belum lama ini, Epic Games mengumumkan bahwa software anti-cheat populernya, Easy Anti-Cheat (EAC), kini sudah sepenuhnya mendukung sistem operasi Linux dan macOS. Lebih spesifik lagi, EAC kini dipastikan tidak akan lagi mengganggu compatibility layer macam Wine atau Proton itu tadi.

Dengan kata lain, Steam Deck jadi bisa menjalankan deretan game yang menggunakan EAC macam Apex Legends, Black Desert Online, Fall Guys, dan masih banyak lagi. Syaratnya, developer masing-masing game harus mengaktifkan dukungan atas Proton lebih dulu. Namun kalau memang tujuannya adalah menjangkau lebih banyak pemain (para pengguna Steam Deck), saya yakin developer rela mengambil langkah ekstra tersebut, terutama jika prosesnya semudah yang diklaim oleh Epic.

EAC bukan satu-satunya software anti-cheat yang eksis di industri video game saat ini. Software lain yang tak kalah populer adalah BattlEye, yang digunakan di gamegame seperti PUBG dan Destiny 2. Game kebanggaan Epic, Fortnite, bahkan menggunakan kombinasi EAC dan BattlEye.

Kabar baiknya, BattlEye pun juga dipastikan bakal kompatibel dengan Steam Deck, berdasarkan pernyataan langsung CEO BattlEye, Bastian Suter, kepada The Verge. Namun kembali lagi, keputusan finalnya — apakah game akan di-update supaya kompatibel dengan Proton dan Steam Deck — ada di tangan masing-masing developer.

Andai pengguna Steam Deck nantinya benar-benar tidak mau dihadapkan dengan problem seputar kompatibilitas, mereka masih punya satu solusi pamungkas: install sendiri Windows ke Steam Deck, sebab konsol genggam tersebut memang sepenuhnya bisa diperlakukan layaknya sebuah PC konvensional.

Sumber: The Verge.