Luncurkan Aplikasi, Tinkerlust Ingin Perluas Area Layanan ke Sumatera dan Sulawesi

Indonesia memiliki pasar yang berkembang untuk preloved luxury brand. Ada sejumlah alasan, pertama seringkali harganya lebih terjangkau daripada membeli produk fesyen desainer baru. Alasan kedua, karena lebih ramah lingkungan. Dengan memilih untuk membeli barang bekas, pembeli mengurangi permintaan akan produk baru dan memperpanjang umur barang yang sudah ada, yang secara langsung membantu mengurangi limbah dan carbon footprint.

Tinkerlust, sebagai salah satu platform yang hingga saat ini masih konsisten menghadirkan pilihan preloved luxury brand dengan mengusung fashion sustainability dan circular economy, mengklaim terus mengalami pertumbuhan yang positif.

Kepada DailySocial.id, Co-founder & CEO Tinkerlust Samira Shihab mengungkapkan rencana perusahaan tahun ini setelah meluncurkan aplikasi untuk pelanggan mereka.

Perluas area layanan

Didirikan sejak 2016, Tinkerlust bercita-cita untuk memperkenalkan cara berbelanja yang lebih ramah lingkungan. Di tahun 2020 Tinkerlust telah mengubah posisi mereka menjadi online marketplace yang mendukung gerakan sustainable fashion dengan mengajak brand lokal yang memiliki nilai yang sama  menjual produknya di platform mereka.

Tinkerlust melihat topik mengenai fashion sustainability dan circular economy di Indonesia memiliki kesempatan untuk berkembang ke depannya. Dengan semakin banyak hadirnya brand atau pelaku bisnis yang memiliki misi untuk menerapkan sustainability termasuk bisnis-bisnis yang bergerak di bidang preloved luxury, tentu secara tidak langsung juga akan mempengaruhi dan mengubah gaya berbelanja pelanggan.

Jika di awal mereka lebih memilih untuk berbelanja pakaian fast fashion dan brand new, kini perlahan-lahan mereka mulai beralih dan mempertimbangkan untuk berbelanja preloved fashion berkualitas baik yang bisa mereka gunakan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

“Kami pun yakin akan memiliki peluang yang lebih besar dalam membangun sebuah ekosistem bersama dengan pelaku bisnis lain maupun masyarakat luas agar pada akhirnya, kita bisa bersama-sama mempercepat perkembangan pemahaman mengenai sustainability dan circular economy ke semua kalangan di seluruh Indonesia,” kata Samira.

Indonesia telah memiliki kelas menengah yang besar dan terus berkembang, banyak dari mereka yang tertarik dengan barang-barang mewah tetapi mungkin tidak mampu membelinya dengan harga penuh. Hal ini telah menciptakan permintaan akan barang-barang mewah bekas, yang menawarkan cara yang lebih terjangkau untuk mengakses barang-barang bermerek.

Saat pandemi perusahaan sempat mengalami kendala menjalankan bisnis mereka. Tinkerlust pun sempat berada dalam situasi untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan promosi, sehingga berdampak pada pertumbuhan  bisnis. Namun, di tahun 2022 Tinkerlust mengklaim telah berhasil pulih kembali dari dampak pandemi. Tercatat pada Q4 perusahaan bisa mencapai GMV terbesar sepanjang bisnis Tinkerlust.

Hingga saat ini jumlah pengguna terbesar dari Tinkerlust masih berasal dari pulau Jawa dan Bali. Namun, salah satu misi perusahaan tahun ini ingin melakukan ekspansi yang lebih luas ke pulau-pulau utama lainnya seperti Sumatera dan Sulawesi. Usaha untuk ekspansi ini sudah dimulai dengan membentuk hub di Palembang, agar memudahkan seller melakukan drop-off barang yang ingin mereka jual.

“Ke depannya, dengan melakukan pendekatan secara langsung serta menjalankan kampanye marketing yang memang ditujukan khusus untuk audience di daerah-daerah lainnya, harapannya ekspansi ini dapat sedikit demi sedikit terealisasi,” kata Samira.

Terkait dengan opsi pembayaran, saat ini Tinkerlust sudah menyediakan berbagai macam opsi pembayaran. Termasuk di dalamnya cicilan 0% dari bank partner serta platform cicilan online. Sedangkan untuk logistik, mereka bermitra dengan perusahaan penyedia logistik yang salah satunya sudah dilengkapi dengan add-on asuransi yang dikhususkan untuk pengiriman barang luxury.

Luncurkan aplikasi mobile

Aplikasi mobile Tinkerlust / Tinkerlust

Untuk memudahkan pengguna mengakses produk, baru-baru ini telah diluncurkan aplikasi mobile Tinkerlust. Aplikasi tersebut dilengkapi dengan berbagai fitur, mulai dari fast access, fast filtering, dan chat with seller. Bahkan penjual bisa langsung melakukan penjualan barang mereka lewat fitur snap, upload & sell.

Dengan adanya aplikasi mobile tersebut, salah satu target utama Tinkerlust tahun ini adalah menggaet lebih banyak pengguna, baik penjual dan pelanggan baru di marketplace. Berbagai kemudahan berjualan di aplikasi, harapannya bisa meningkatkan minat pengguna dari seluruh Indonesia untuk berjualan di Tinkerlust. Selain itu, perusahaan juga berkeinginan untuk menyediakan layanan yang lebih personal bagi pasar luxury.

“Kami memutuskan untuk meluncurkan aplikasi tahun ini, karena kami merasa konsumen sekarang lebih ‘melek teknologi’ dan telah terbentuk motivasi untuk menjual barang-barang mereka yang sudah tidak terpakai lagi karena konsep preloved sudah lebih umum di kalangan masyarakat. Dengan adanya aplikasi mobile, para seller akan lebih mudah lagi untuk menjual produknya di marketplace kami dan turut menjadi bagian penting untuk fashion berkelanjutan,” kata Samira.

Disinggung apakah tahun ini perusahaan memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Samira menegaskan mereka tidak menutup kemungkinan jika ada investor lain yang ingin bermitra dengan Tinkerlust. Namun tentu hal tersebut perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan investor mereka saat ini, yaitu GDP.

“Bagi Tinkerlust yang terpenting adalah bagaimana kita bisa bermitra dengan pihak yang memiliki visi dan misi yang sama dalam membangun Tinkerlust,” kata Samira.

Sebelumnya Tinkerlust telah menerima pendanaan awal tahun 2017 lalu dari dari Merah Putih Inc dan angel investor Danny Oei Wirianto dengan nilai yang tidak disebutkan. Awal tahun 2020 lalu Tinkerlust juga telah membukukan pendanaan. Tidak disebutkan lebih jauh berapa nilai pendanaan tersebut dan siapa saja investor yang terlibat, namun Samira menyebutkan cukup bersyukur pendanaan tersebut rampung sebelum pandemi.

Application Information Will Show Up Here

Tekad ION Mobility Bumikan Sepeda Motor Elektrik di Indonesia

Indonesia mulai mengejar ketertinggalan untuk urusan kendaraan listrik. Pemerintah mulai tancap gas mendorong industri hulu untuk bergerak turun ke hilir, setelah mencanangkan kendaraan listrik sebagai bagian dari masa depan Indonesia. Ada sejumlah kebijakan dan insentif untuk memastikan keberhasilan target tersebut.

Hal tersebut mendorong nama-nama produsen sepeda motor lokal yang belakangan mulai muncul. Nama-nama sepeda motor listrik yang sudah beredar di antaranya ALVA, Electrum, Volta, SLIS, Gesits, U-Winfly, dan Polytron Fox-R. Semuanya di-backing oleh perusahaan besar, termasuk pelat merah.

Scorpio Electric (Singapura) di Asia Tenggara, dan di belakang Gogoro (Taiwan) dan Ather Energy (India) di Asia Pasifik, adalah beberapa nama manufaktur yang bisa dikatakan menjadi champion di negara masing-masing.

Di antara sesama negara Asia Tenggara, progres adopsinya kurang lebih mirip. Rata-rata menghadapi tantangan yang sama, seperti kurangnya infrastruktur publik pengisian daya; biaya kepemilikan yang tinggi; keselamatan, jarak mengemudi, serta pengoperasian dan pemeliharaan EV; dan, ketergantungan terhadap sumber energi.

Survei termutakhir Deloitte menunjukkan adanya peningkatan minat terhadap EV di kalangan konsumen di wilayah tersebut. Dikatakan, “didorong oleh biaya bahan bakar yang lebih rendah, kekhawatiran tentang perubahan iklim/penurunan emisi, dan pengalaman berkendara yang lebih baik. Minat tertinggi konsumen datang dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, kurangnya infrastruktur pengisian daya publik dan jarak kemudi tetap menjadi hambatan untuk diadopsi.” Kekhawatiran tersebut wajar saja, mengingat kapasitas baterai yang terbatas untuk menempuh perjalanan jarak jauh.

Asia Tenggara muncul sebagai pasar potensial dan pusat manufaktur untuk kendaraan listrik (EV). Mordor Intelligence memperkirakan pasar EV di Asia Tenggara hampir mencapai $500 juta pada 2021 dan memperkirakan akan tumbuh menjadi $2,7 miliar pada 2027.

Seluruh kondisi di atas mendorong jiwa kewirausahaan James Chan untuk turut serta meramaikan industri EV ini. Meski Chan bukan pengendara motor dan ahli otomotif, tapi ia melihat potensi untuk meramahkan bumi dengan energi bersih. Ia memiliki pengalaman lebih dari 16 tahun dalam perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi dan industri, modal ventura, pengembangan dan manajemen produk, strategi dan pengembangan bisnis, keuangan dan operasi di teknologi dan ekosistem startup di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Bekal tersebut membuat ia percaya diri untuk menginisiasi pendirian ION Mobility di Singapura sejak 2019. ION Mobility adalah perusahaan motor listrik dan energi bersih di Asia Tenggara yang mengemban misi untuk menciptakan dan menghadirkan mobilitas dan energi yang terjangkau, diinginkan, dan berkelanjutan untuk semua orang.

“Saya melihat dorongan dari pemerintah untuk memulai kendaraan listrik. Saya percaya ini adalah perjalanan yang panjang untuk mentransformasi supply chain di industri tersebut. Kami pun tertarik untuk berpartisipasi untuk mengakselerasi ini dan menawarkan solusi terbaik,” kata Chan kepada DailySocial.id.

Menurutnya, perusahaan EV teratas seperti Tesla, Rivian, dan Lucid Motors, masing-masing berhasil membuktikan kelayakan dan keberlanjutan mobilitas listrik di segmen mobil dan truk selama 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, ia ingin membangun dan menskalakan ION Mobility di Asia Tenggara agar setara dengan perusahaan-perusahaan tersebut, yang memiliki sepeda motor listrik yang layak jalan dan jaringan pengisian energi yang lebih bersih, dan fokus yang sama dengan konsumen Asia Tenggara.

Terlebih, penjualan sepeda motor itu mendominasi daripada mobil dengan skala perbandingan 6:1 di Indonesia. Di regional ini, sepeda motor telah menyentuh kehidupan di lebih dari 200 juta orang. Akan tetapi, populasi tersebut bertanggung jawab atas lebih banyak daripada mobil, mengeluarkan hidrokarbon hingga 16 kali lebih banyak, karbon monoksida tiga kali lebih banyak, dan polutan lain sepanjang masa pakainya.

Dengan mengurangi keragu-raguan dan friksi serta mempercepat transisi konsumen menuju motor listrik, ia meyakinkan bahwa ION Mobility berada di posisi terdepan untuk memainkan peran penting dalam pengurangan polusi udara perkotaan dan kebisingan, ketergantungan pada subsidi bahan bakar, rantai pasokan dan pengembangan industri serta pembangunan sosio-ekonomi yang lebih berkelanjutan yang berpusat di sekitar kota-kota di seluruh Asia Tenggara.

Sumber: ION Mobility

Bisnis model ION Mobility

Chan menegaskan bahwa perusahaannya adalah produsen sepeda motor listrik yang merakit seluruh prosesnya secara mandiri, alias tidak memakai vendor manapun. Produk perdana ION Mobility sudah dilakukan sejak Juli 2020, setelah penelitian pasar yang mendalam. Berkat itu, pihaknya dapat memahami pengguna di wilayah ini lebih baik daripada pesaingnya. Disimpulkan bahwa tidak ada pilihan yang menarik bagi pengendara Asia Tenggara untuk beralih dari sepeda motor pembakaran tradisional mereka.

Dalam proses perakitan hingga selesai, pihaknya mengadopsi pendekatan full-stack, end-to-end untuk merancang, merekayasa, menguji dan merakit sepeda motor listrik kami untuk pengiriman. Ia percaya ini adalah pendekatan terbaik yang memberi fleksibilitas strategi bisnis, sambil memungkinkan pihaknya cepat beradaptasi menyesuaikan dinamika produk dan layanan untuk merespons pembelajaran pengguna pasar Asia Tenggara.

“Saya tidak percaya bahwa untuk menjadi OEM (original equipment manufacturer) harus bergantung pada vendor karena ini seperti jual-beli. Jadi kita atasi semua sendiri, kontrol sendiri semuanya makanya kita bisa berikan harga jual yang optimal. Pada akhirnya kami memilih jalan yang tersulit.”

OEM adalah istilah yang paling sering terdengar di dua industri: otomotif dan TI. Istilah ini krap dikaitkan dengan perusahaan yang memproduksi produk yang kemudian dijual kembali atau diganti mereknya oleh perusahaan lain.

Sebagai catatan, perakitan paket baterai internal dan pendukungnya dilakukan di Singapura dan Indonesia dari waktu ke waktu. Sementara untuk distribusinya dan perakitan akhir diselesaikan di pabrik ION Mobility yang berada di Cikarang, Jawa Barat.

“Kami dengan cepat tertarik pada potensi besar Indonesia dan rantai pasokan industri lainnya di kawasan ini, dan yakin akan apa yang dapat kami berikan untuk mempercepat transisi konsumen yang tak terelakkan menuju sepeda motor listrik di tahun-tahun mendatang.”

ION Mobility sendiri mengambil strategi direct-to-consumer (D2C) demi sedekat mungkin dengan konsumen, dimulai dari mass market premium. Perusahaan memanfaatkan kehadiran showroom yang berlokasi di Radio Dalam, Jakarta untuk memamerkan produknya secara offline. Ada kemungkinan untuk masuk ke platform e-commerce demi perluas cakupan konsumen.

Sumber: ION Mobility

Chan optimistis dengan konsep D2C ini. Lantaran perusahaan akan mengontrol pembiayaan produknya melalui model bisnis fintech yang dirancang untuk menangkap nilai maksimum sambil memiliki ekonomi unit positif per sepeda motor tanpa bergantung pada volume penjualan seperti yang biasanya dilakukan oleh perusahaan perangkat keras tradisional.

Dalam praktiknya, strategi diterjemahkan ke dalam kombinasi penawaran leasing dan sewa-beli yang memberikan konsumen pilihan baru dengan persyaratan yang setara dengan apa yang mereka kenal ketika mereka membeli sepeda motor pada umumnya. Sebagai bisnis yang disruptif, perusahaan perlu memiliki dan mengoptimalkan margin secara menyeluruh, sembari memberi nilai tambah untuk menawarkan pengalaman terintegrasi dan bersaing dengan petahana.

“Pada akhirnya, kami berusaha untuk menawarkan produk yang diinginkan dengan fitur cost-to-superior dan total-cost-of-ownership, yang membuat transisi keputusan beli atau tidak yang lebih baik oleh target audiens.”

Produk pertama ION Mobility adalah M1-S yang diperkenalkan di Indonesia Motorcycle Show 2022 pada 2 November-6 November 2022. Produk yang dirancang khusus untuk pasar Indonesia ini, didesain untuk menjadi futuristik namun fungsional, dengan menyeimbangkan kekuatan dan kehalusan.

M1-S mengusung motor listrik 5kW dengan tenaga puncak 12,5kW untuk memberikan pengendara akselerasi lincah 3,7 detik dari diam hingga 50 km/jam, dengan kecepatan maksimal 105 km/jam. Pelanggan dapat memulai dengan dua pilihan dua konfigurasi paket baterai tahan cuaca (48Ah atau 60Ah), yang dapat meraih jarak antara 120 km hingga 150 km di antara pengisian daya.

M1-S didesain untuk perjalanan sehari-hari, desain step-through dari M1-S menyajikan area penyimpanan di bawah kursi sebesar 26 liter, dan kabel pengisi daya terintegrasi memungkinkan pengguna untuk mengisi daya di rumah maupun di perjalanan.

M1-S dilengkapi dengan layar LCD 7 inci ultra-terang yang didukung dengan prosesor multi core, paket sensor canggih, serta memiliki sistem keamanan tanpa kunci yang dapat secara cerdas memasangkan smartphone pengguna melalui aplikasi ION Mobility.

Untuk pengisian daya listrik, perusahaan telah menjalin kemitraan dengan PLN untuk pengadaan infrastruktur pengisian daya sepeda motor bertenaga listrik dan solusi bagi pelanggan PLN, ION, dan lainnya. ION Mobility akan berkontribusi dalam pengadaan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dengan komitmen awal 100 unit di penjuru Jakarta dan bakal berlanjut ke kota lainnya secara nasional sesuai dengan kebutuhan pasar.

Nantinya pengendara motor listrik dapat meraih jarak lebih dari 100 km dengan mengisi daya selama satu jam, jika menggunakan fitur pengisian cepat di ION M1-S. Meski sudah diperkenalkan di publik, M1-S baru akan dipasarkan pada tahun depan. Harganya juga belum diumumkan, tapi disampaikan kisaran harganya berada di bawah Rp50 juta.

Sumber: ION Mobility

Telah peroleh pendanaan

Dalam perjalanan ION Mobility, perusahaan sudah didukung dengan pendanaan dari sejumlah investor. Pada 2021, perusahaan mengumumkan penyelesaian pembiayaan awal senilai $6,8 juta. Quest Ventures dan TNB Aura memimpin putaran ini, diikuti oleh investor baru dan investor lama seperti GDP Venture, Monk’s Hill Ventures, Seeds Capital, dan 500 Asia Tenggara. Investor lain termasuk Alice Hung, CEO ION Mobility James Chan, dan CTO ION Mobility Calvin Cheng.

Kemudian pada pertengahan tahun ini mendapat tambahan dana untuk putaran pra-Seri A sebesar $2,35 juta dari TNB Aura, Quest Ventures, Seeds Capital, dan SEA Frontier Fund. Disebutkan saat ini perusahaan sedang menggalang putaran Seri A yang diharapkan segera rampung. Dana tersebut akan digunakan untuk mendanai rencana perusahaan mulai masuk ke market, menambah inventori, dan kapasitas produksinya.

Chan sendiri menyampaikan, Indonesia adalah negara pertama yang dijajal perusahaan. Namun pihaknya berambisi ingin menguasai pasar ASEAN, Thailand, Vietnam, dan Filipina akan menjadi rencana ekspansi berikutnya pada tahun depan.

Kusumo Martanto dari Blibli: Inovasi Jadi Kunci Keberlangsungan Industri E-commerce

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Tidaklah mudah mendirikan perusahaan yang berkelanjutan, perusahaan yang baik dibangun dengan fondasi dan strategi yang kokoh. Kusumo Martanto membangun Blibli dari nol menggunakan pendekatan customer-centric. Selepas merayakan ulang tahun ke-10, perusahaan telah meraih pencapaian signifikan. Selain itu, beliau juga berperan sebagai COO dari GDP Venture sebagai saluran dalam menciptakan kendaraan investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia.

Sebelum memasuki era industri teknologi, Kusumo yang akrab disapa Pak Kus telah terlatih dalam mengatasi tantangan. Mulai dari pendidikan, adaptasi terhadap budaya baru dengan kosa kata yang terbatas, serta bertahan hidup sebagai mahasiswa asing dengan tuntutan beasiswa dan pekerjaan paruh waktu. Namun, semua upayanya terbayar saat ia mendapat kesempatan untuk mengejar karir di industri teknologi.

Sebagai Co-Founder dan CEO Blibli, salah satu perusahaan e-commerce terkemuka di Indonesia, Kusumo bertujuan untuk menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, tantangan kerap muncul dan perusahaan harus siap. Ia mempercayai bahwa kunci dari industri yang dinamis ini adalah inovasi, dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Pak Kus dan mendiskusikan lebih lanjut pemikirannya tentang lanskap e-commerce Indonesia dan potensinya di masa depan.

Seperti apa masa-masa awal perjalanan Anda sebelum memasuki industri teknologi?

Menilik kebelakang, saya telah terlatih untuk mengatasi tantangan. Sejak masa sekolah saya sudah tertarik dengan ilmu teknik, yang ketika itu tidak dapat dipisahkan dari perangkat komputer dan saya tidak memilikinya saat itu. Lagipula, saya hanyalah seorang anak laki-laki dari Jawa Tengah dengan mimpi besar. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk bisa belajar di luar negeri mengingat banyaknya biaya dan dokumen yang harus dipersiapkan, tetapi saya memiliki kemauan yang kuat. Kemudian, dengan semua sumber daya yang tersedia saat itu, saya mencoba mencari jalan ke daerah metropolitan. Untungnya, orang tua saya sangat mendukung. Dengan banyak pertimbangan serta melalui proses yang panjang, saya berhasil mendaftar dan melanjutkan studi di Iowa State University.

Perjuangan nyata terjadi dalam dua tahun pertama beradaptasi dengan negara dan budaya baru menggunakan kosakata yang terbatas. Sementara itu era sebelum internet. Saya harus merekam kelas kuliah dari waktu ke waktu dan mendengarkannya beberapa kali sebelum benar-benar bisa memahami intinya. Tahun kedua, saya mengajukan permohonan beasiswa sembari bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya hidup, tidur 8 jam saja tidak memungkinkan. Kondisinya tidak mudah, tapi saya tidak menyerah.

Kusumo Martanto / GDP Venture

Anda berhasil lulus dari program teknik ternama di Iowa State University dan melanjutkan program Master di Institut Teknologi Georgia. Pengalaman seperti apa yang bisa Anda bagikan terkait kondisi kehidupan dan studi di luar negri mempengaruhi keahlian dan perspektif Anda hingga saat ini?

Melihat kembali ke zaman saya, banyak sekali yang berbeda dalam hal pengajaran dan pembelajaran. Di Indonesia, menghormati berarti mentaati. Di kelas, kita dapat mengajukan pertanyaan tetapi tidak untuk mempertanyakannya. Di Amerika, kami dipaksa untuk berpartisipasi, untuk berbicara. Tidak hanya berpikir kritis tetapi juga memahami konteks. Konsep itu tertanam dan telah membentuk pola pikir saya.

Apa yang membuat Anda memutuskan untuk pulang? Mengapa tidak melanjutkan mengejar karir di Amerika?

Sejujurnya, saya pernah berpikir kembali ke tanah air untuk bekerja sebelum melanjutkan gelar master. Saya melamar beberapa pekerjaan di Indonesia, tetapi juga mempersiapkan Rencana B dan mengajukan aplikasi untuk melanjutkan studi. Ketika saya tiba di Indonesia, saya sudah mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan. Namun, ketika sedang menetap di kampung halaman, saya mendapat surat penerimaan dari Amerika. Setelah diskusi panjang lebar dengan orang tua, saya memutuskan untuk langsung melanjutkan studi di AS.

Perjalanan saya selanjutnya mejadi bagian yang menarik dan menyenangkan. Pertama kali saya mengejar karir di industri kedirgantaraan, mengingat dulu pernah bercita-cita menjadi pilot. Saat itulah saya terpapar industri teknologi. Selanjutnya, saya pindah ke perusahaan perangkat lunak; dan itu murni tentang teknologi. Kemudian, saya bergabung dengan intel dan sampai sekarang terbawa jauh ke dalam industri ini dan menikmati setiap perjalanannya.

Setelah itu, saya mulai memikirkan orang tua di Indonesia yang semakin bertambah usia. Lagipula, merasa cukup berkontribusi untuk negara yang mengadopsi saya, mengapa tidak mencoba membuat sesuatu dan bekerja untuk tanah kelahiran. Indonesia sendiri memiliki potensi luar biasa dengan penetrasi internetnya yang terus meningkat. Hal ini benar-benar mengubah segala hal mulai dari komunikasi sampai industri yang lebih spesifik. Saya, kemudian, mengambil kesempatan tersebut.

Bagaimana sebenarnya ide awal Blibli, salah satu produk digital pertama Djarum? Seperti apa tantangan yang Anda temui dan bagaimana mengatasinya?

Secara historis, Indonesia telah menjadi pusat perdagangan selama berabad-abad, dan konsep tersebut telah mengakar dalam masyarakatnya. Negara ini memiliki potensi besar dalam banyak hal. Salah satu yang paling esensial adalah bonus demografi. Kita punya banyak anak muda di usia produktif yang siap mencurahkan energi untuk menciptakan kemakmuran di negeri ini. Apalagi sebagian besar dari orang-orang ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, juga mau beradaptasi dan mengadopsi. Ritel berkembang pesat dan menjadi amunisi besar untuk menopang perekonomian.

Saat itu pada tahun 2011, penetrasi internet Indonesia hanya 12,3% dari total populasi. Namun, angka tersebut lebih signifikan daripada populasi satu negara. Dari segi geografi, negara ini amat luas, merupakan sebuah keuntungan sekaligus tantangan untuk sektor distribusi. E-commerce menjadi sebuah ide yang amat sangat mungkin muncul dengan fakta-fakta yang telah dikemukakan sebelumnya.

Kami memulai Blibli dengan tujuan untuk menjadi e-commerce pertama yang memberikan pengalaman customer-centric terbaik bagi pembeli dan penjual. Dalam proses mendaki puncak tertinggi, kami menghadapi banyak tantangan. Berbeda dengan AS dan China dengan daratan yang luas, Indonesia memiliki lautan yang luas dalam hal distribusi. Ini adalah salah satu tantangan terbesar untuk menyediakan logistik yang hemat biaya. Selanjutnya, pembayaran menjadi batu sandungan lain di industri ini. Saat itu efisiensi perbankan belum seperti sekarang.

Semua tantangan ini memaksa kami untuk lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan platform. Saya juga percaya bahwa untuk membuat ekosistem berfungsi, kita perlu bekerja sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu kami juga bekolaborasi dengan mitra yang sangat terpercaya untuk melayani masyarakat dengan lebih baik. Inovasi adalah kunci industri yang dinamis dan kolaborasi menjadi jalur yang tepat untuk membangun keberlanjutan.

Inovasi apa saja yang sudah atau akan dikembangkan Blibli dalam waktu dekat?

Kami telah meluncurkan banyak inovasi sejak awal beroperasi. Bahkan, Blibli seringkali menjadi yang pertama menawarkan inovasi baru. Misalnya, pengiriman gratis dan cicilan 0% sementara yang lain masih mengenakan biaya tambahan untuk pembayaran kartu kredit. Selain itu, kami menjamin keaslian produk yang ditawarkan dalam platform. Untuk memastikan hal itu, kami hanya bekerja sama dengan mitra terpercaya. Inovasi lainnya adalah saat kami memperkenalkan fitur pre-order, bekerja sama dengan Telkomsel.

Kendati itu, kami percaya bahwa online tidak akan pernah 100% menggantikan ekosistem offline, namun untuk saling melengkapi. Oleh karena itu, tahun lalu kami meluncurkan inisiatif omnichannel untuk memenangkan pasar offline. Ada beberapa fitur termasuk Blibli in-store, Click & Collect, dan BlibliMart untuk grosir dalam rangka memperkuat strategi ini.

Di masa pandemi ini, kita juga menyadari bahwa banyak orang yang berjuang dengan pendapatan yang tidak stabil. Oleh karena itu, kami meluncurkan layanan PayLater dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar pengguna. Selain itu, UMKM menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi ini. Kami menemukan salah satu pain points mereka berada pada tempat penyimpanan produk. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan fulfillment oleh Blibli.

Yang terbaru, kolaborasi lintas industri dengan BCA Digital, menjadikan Blibli sebagai platform e-commerce pertama yang terintegrasi penuh dengan bank digital di Indonesia. Saya percaya bahwa pengembangan ekosistem digital di Indonesia dapat mencapai potensi penuh melalui kolaborasi. Oleh karena itu, kami akan terus berinovasi dan beradaptasi dengan pasar yang terus berubah dengan menjawab tantangan dengan pengalaman.

Peresmian gudang Blibli Cakung

Apakah menurut Anda status “unicorn” itu penting? Nilai esensial seperti apa yang harus dimiliki perusahaan untuk bida berkelanjutan?

Wajar jika sebuah perusahaan startup ingin meraih status atau pencapaian tertentu. Meskipun kami belum mengumumkan status apa pun secara terbuka, ukuran bisnis kami telah melampaui miliaran dolar. Dengan begitu, apakah saya bisa mengatakan bahwa kami telah mencapai status unicorn? Ya. Namun, sebagai perusahaan digital, yang sangat kami inginkan adalah menciptakan perusahaan yang berkelanjutan dengan membawa nilai dan dampak positif bagi masyarakat.

Dari segi nilai, saya pikir semua hasil yang luar biasa membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Saya mencoba menanamkan pola pikir seperti ini pada semua anggota kami di Blibli. Bahwa kita bukan hanya sebuah perusahaan, tetapi juga bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, selalu lakukan yang terbaik untuk menciptakan dampak positif melalui teknologi dan inovasi. Selain itu, ketika sebuah bisnis telah tumbuh besar, sulit untuk tidak berpuas diri, namun kita tetap perlu menjaga agility agar tetap kuat. Selalu waspada dan bersiap dengan hal yang tak terduga.

Selaku COO dari GDP Venture, bagaimana peran Anda dalam organisasi ini, apakah Anda juga melakukan investasi pribadi?

Ketika membangun Blibli, para pemegang saham kami mempertimbangkan untuk menciptakan sarana investasi untuk lebih mengembangkan industri digital Indonesia. Semua yang telah kita diskusikan hanya akan berhasil ketika seluruh negeri mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, saya membantu Martin Hartono mendirikan perusahaan investasi dan mengusulkan ide nama GDP Venture. Saya juga telah berinvestasi sebagai angel, dan yang terpenting, saya berkontribusi dengan pengalaman saya, termasuk sebagai penasihat.

Langkah investasi GDP Venture di tahun 2017

Setelah mengelola Blibli sekian lama dari nol hingga tahap ini, pernahkah terpikir untuk membuat sesuatu yang baru? Atau menjelajahi industri lain?

Satu hal tentang kreasi adalah Anda dapat melakukannya dalam berbagai macam cara. Seseorang dapat menjadi pendiri, investor, atau bagian dari anggota tim. Saya punya banyak ide, yang sekarang lebih banyak disalurkan ke kegiatan investasi atau mentoring. Saya memulai di industri e-commerce, dan ini baru permulaan, potensi ke depan masih sangat panjang.

Mengenai minat, saya lebih suka industri “jadul” seperti kesehatan. Di Indonesia, negara lapis pertama pun masih kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan yang memadai. Namun, karena saya ingin membuat sesuatu di industri yang berbeda, saya ingin itu bisa menjadi bagian dari Blibli dan grup. Ketika brainstorming untuk rencana tersebut, saya diperkenalkan dengan pendiri startup yang ingin memulai bisnis serupa. Alih-alih bersaing, kami memutuskan untuk berinvestasi di startup yang saat ini kita kenal dengan Halodoc. Saya kemudian menjadi penasihat perusahaan.

Dalam hal lain, menurut saya industri edtech cukup menarik. Di atas segalanya, semua jenis industri itu bagus. Saya, secara pribadi tertarik pada bidang yang dapat berdampak langsung pada masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan. Selama masih ada makhluk hidup, industri ini akan selalu dibutuhkan.

Sebagai pemimpin yang berpengalaman, apa yang dapat Anda katakan untuk para penggiat teknologi di luar sana yang ingin mulai membangun sebuah warisan?

Setiap orang memiliki bakat dan panggilan hidup masing-masing. Tidak semua orang harus menjadi pengusaha, saya sendiri masih belajar. Untuk menjadi pengusaha atau apa pun, kita tidak bisa hanya mengandalkan keterampilan atau pengetahuan. Orang perlu memiliki karakter yang solid untuk membangun sesuatu yang berkelanjutan. Dan lagi, tidak ada yang namanya kesuksesan instan, kesuksesan itu diwujudkan.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Blibli’s Kusumo Martanto on E-commerce Industry: Innovation is the Key to Sustainability

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A company is not something you easily founded, a good company is built with a solid foundation and solid strategy. Kusumo Martanto built Blibli from scratch using a customer-centric approach. Recently celebrating its 10th anniversary, the company has reached some major milestones. Also, he plays a role as the COO of GDP Venture as a channel to create an investment vehicle to further develop Indonesia’s digital industry

Before the tech industry era, Martanto has been trained to overcome challenges. From educational struggle, adapting to the new culture with limited vocabulary, and surviving the life of an overseas student with scholarship demands and a part-time job. However, all his constant effort pays off as he finally gets a chance to pursue a career in the tech industry.

As the Co-Founder and CEO of Blibli, one of the leading e-commerce companies in Indonesia, Martanto aims to create a sustainable company with positive value and impact on society. In the process of climbing the top ladder, challenges often appear and the company has to be ready. He also believes that the key to this dynamic industry is innovation, and collaboration is a way to make it sustainable.

DailySocial has an opportunity to have an exclusive interview with Martanto and further discuss his thoughts on the Indonesian e-commerce landscape and its future potential.

How were your early days before the tech industry happened in your life?

Looking back to my journey, I was trained to overcome challenges. Engineering has started to draw my attention in school, which cannot be separated from computers and I did not have one back then. Also, I was just a boy from Central Java with big dreams. It never occurred to me that I could study abroad with all the cost and paperwork, but I have this strong will. Then, with all the resources available at that time, I look for a way in the metropolitan area. Fortunately, my parents are very encouraging. With many considerations and through a long process, I managed to register and continue my study at Iowa State University.

The real struggle happened within the first two years of adapting to a new country and culture with limited vocabulary. And that was before the internet era. I had to record my lectures from time to time and listen to them multiple times before I really grasp the gist. The second year, I have applied for a scholarship and was doing part-time to cover my expenses, 8-hour sleep was off the table. It was tough, but I was tougher.

Kusumo Martanto / Dokumentasi GDP Venture

You’ve graduated from a top-ranked engineering program at Iowa State University and a continuing Master’s program at Georgia Institute of Technology. Can you share a bit of your experience of how living and studying abroad can help you upskill and what kind of perspective you’ve gained outside this country?

Looking back to my era, it was very different in terms of teaching and learning. In Indonesia, respect means to obey. In class, we can ask questions but never questioning them. In the States, we are forced to participate, to speak up. Not only to have critical thinking but also to understand the context. It goes a long way and has shaped my mindset.

What made you decide to come home? Why not continue pursuing a career in the States?

Honestly, I thought of getting back home to work before continuing my master’s degree. I applied for several jobs at home country, but also prepared for Plan B and submitted an application to continue studying. When I arrived in Indonesia, I already got an offer to work for a company. However, during my stay in my hometown, I received an acceptance letter from the States. After a lengthy discussion with my parents, I decided to pursue my master’s degree in the US.

My next journey is actually the interesting and fun part. My first career attempt is in the aerospace industry since I dream of becoming a pilot. That time I got exposure to the tech industry. Furthermore, I moved into a software company; and it was pure technology. Then, I joined intel and up until now I have drifted deep into this area and enjoy where I’m going.

After that, I started to think of my parents in Indonesia as they’re getting old. Besides, I already contribute enough to the country that adopted me, why not try to make something work in my home country. Indonesia alone has excellent potential with its growing internet penetration. It totally changed the whole thing from communication to a lot more specific industries. I, then, take my chance.

What was the idea behind the creation of Blibli, one of Djarum’s first digital products? What kind of challenges you’ve encountered and how to overcome that?

Historically speaking, Indonesia has been a center of commerce for ages, and the concept has been deep-rooted in its people. This country holds great potential in terms of many factors. One of the most essential is the demographic bonus. We have many young people in the productive age, ready to pour energy into building this country’s prosperity.  Moreover, most of these people have high curiosity, also willing to adapt and to adopt. Retails are rapidly growing and have become the great ammo to support the economy.

Back then in 2011, Indonesia’s internet penetration was only 12,3% of the total population. Still, it is more significant than one country’s population. In terms of geography, this is a vast country, it is an advantage as well as a challenge for distribution. The idea of e-commerce will be very much likely to appear given the previous facts stated.

We started Blibli with the aim to be the 1st leading e-commerce to deliver the best customer-centric experience for both buyers and sellers. In the process of climbing the top ladder, we encounter lots of challenges. Unlike the US and China with vast land, Indonesia has a wide ocean in terms of distribution. This is one of the biggest challenges to provide cost-efficient logistics. Furthermore, the payment becomes another rocky road in this industry. It was not as efficient as today’s banking.

All these challenges only forced us to be more creative and innovative in developing our platform. I also believe that to make the ecosystem work, we need to work as a unity. That is why we also collaborated with our very trusted partners to serve the community better. Innovation is the key to the dynamic industry and collaboration is what makes it sustainable.

What kind of innovations Blibli has or will develop in the near future?

We have launched lots of innovations since the very beginning of our operations. In fact, Blibli is often the first one to offer new innovation. For example, the free delivery and 0% installment while others still charge additional costs for credit card payment. Also, we guarantee the originality of the products offered on our platform. To ensure this, we only collaborated with trusted partners. Another highlight is when we introduce the pre-order feature, in collaboration with Telkomsel.

Moreover, we believe that online will never 100% replace the offline ecosystem, only to complement each other. Therefore, last year we launched our omnichannel initiative to win the offline market. There are several features including Blibli in-store, Click & Collect, and BlibliMart for grocery to strengthen this strategy.

In this time of the pandemic, we also realize that many people are struggling with stable income. Therefore, we also launched the PayLater service to cover basic needs for users. Aside from that, MSME becomes one of the most affected sectors due to this pandemic. We discover one of their pain points is the place to keep their products. We tried to solve this problem by introducing fulfillment by Blibli.

The latest one, a cross-industry collaboration between BCA Digital and us, has made Blibli the first e-commerce platform fully integrated with digital banks in Indonesia. I believe that the development of a digital ecosystem in Indonesia can reach its full potential through collaboration. Therefore, we will continue to innovate and adapt to the changing market by responding to the challenges and experiences.

The launching of Blibli’s warehouse Cakung

Do you think “unicorn” status is important? What kind of essential value the company should have in order to reach sustainability?

It is only reasonable for a startup company to want to achieve a certain status or major milestone. Although we have not openly announced any kind of status, our business size has exceeded billions of dollars. Can I say that we have reached unicorn status? Yes. However, as a digital company, what we really want is to create a sustainable company with positive value and impact on society.

In terms of value, I think all the remarkable outcomes require hard work and perseverance. I tried to plant this kind of mindset in all of our members in Blibli. That we are not just a company, but also part of the society.  Therefore, always do your best to create a positive impact through technology and innovation. Also, when a business has grown large, it is hard not to be complacent, that is why we need to keep the agility strong. Always be prudent and expect the unexpected.

You’re also the COO of GDP Venture. What kind of role you’ve played in this organization, do you also make personal investments?

During the Blibli creation, our shareholders also consider creating investment vehicles to further develop Indonesia’s digital industry. Everything we have been discussing will only work when the whole country can prosper. Therefore, I helped Martin Hartono set up the investment company and proposed the idea of the name GDP Venture. I have also been investing as an angel, and above all, I contribute with my experience, including as an advisor.

GDP Venture’s investment activity circa 2017

After a long time managing Blibli from scratch to this stage, have you ever thought of starting another company? Or exploring another industry?

The thing with creation is you can do it in various kinds of ways. One can be a founder, investor, or part of a team member. I have lots of ideas, which now channeled more to the investment or mentorship activities. I started in the e-commerce industry, and this is just the beginning, the potential is still very long ahead to the future.

In terms of interest, I prefer the old-fashioned industry such as health. In Indonesia, even the first-tier country is still facing difficulty to have access to sufficient health facilities. However, as I want to create something in a different industry, I want this to be part of Blibli and the group. While brainstorming for the plan, I was introduced to the startup founder who wants to start a similar business. Instead of competing, we decided to invest in the startup that we have currently known as Halodoc. I became the advisor to the company.

Another thing, I reckon the edtech industry is quite interesting. Above all, any kind of industry is good. I, personally attracted to fields that can directly impact society, such as healthcare and education. As long as there are people, these industries will strive.

As an experienced leader, what can you say for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?

Everyone has their talents and call to life. Not everyone has to be an entrepreneur, I, myself, am still learning. To be entrepreneurs or anything, we cannot only rely on skill or knowledge. People need to have a solid character in order to build something sustainable. Also, there is no such thing as instant success, and success is earned.

Mengulas Tren Teknologi Sistem Manajemen SDM Bersama CATAPA

Peran teknologi untuk mendemokratisasi proses bisnis perusahaan kian meluas, tak terkecuali dalam divisi sumber daya manusia (SDM). Sejatinya, produk teknologi untuk sistem informasi SDM (Human Resources Management System – HRIS) sudah banyak dijajakan di pasaran, khususnya dari vendor luar negeri. Namun karena keterbatasan yang ada, baik dari sisi fitur maupun tahapan implementasinya, masih banyak aktivitas SDM perkantoran yang dikerjakan secara manual. Contohnya pengajuan cuti dengan formulir kertas, proses screening kandidat, sampai penggajian yang ditransfer manual.

Di samping itu, kultur di setiap negara bisa jadi berbeda, sehingga sangat penting bagi pengembang sistem untuk memahami kebutuhan dan pengalaman pengguna yang diharapkan. Ini menjadi peluang bagi startup lokal untuk berinovasi dengan pemahaman yang dimiliki. Berbentuk Software as a Services (SaaS), sudah ada beberapa produk HRIS yang dikembangkan oleh pemain lokal, salah satunya CATAPA. Startup yang dinakhodai oleh Stefanie Suanita (Founder & CEO) ini terbilang cukup gesit dalam melakukan pengembangan produk; di masa pandemi lalu, mereka meluncurkan beberapa fitur untuk penyesuaian.

Salah satunya CATAPA Safe, yakni sebuah aplikasi yang berfungsi mengidentifikasi jarak antar karyawan selama berada di area kerja. Dirilis sejak April 2020, layanan ini memiliki tiga tujuan utama, yakni melakukan Track, Trace, dan Isolate. Apabila ada karyawan yang positif Covid-19, perusahaan dapat melacak siapa yang pernah melakukan kontak dengan karyawan bersangkutan selama 14 hari ke belakang untuk segera diisolasi.

CATAPA Safe

Selain itu, untuk mendukung kegiatan work from home atau remote working, dirilis juga CATAPA Contactless Attendance. Aplikasi presensi yang memungkinkan tim SDM mendeteksi keabsahan mereka dengan melihat foto sampai lokasi bekerjanya.

CATAPA Contacless Attendance

DailySocial berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Stefanie, membincangkan isu-isu dalam kebutuhan SDM perusahaan dan tren teknologi yang akan mentransformasi HRIS di Indonesia.

Permasalahan dalam sistem SDM tradisional

Menurut Stefanie, ada beberapa urgensi yang membuat perusahaan mulai mempertimbangkan layanan digital untuk menunjang HRIS. Pertama, dari sistem yang sudah ada masih banyak aspek yang dikerjakan manual, seperti yang disebutkan di awal tadi.

“Banyak perusahaan yang masih pakai Excel untuk pengajuan cuti, isunya akan terjadi single point of failure. Berkas dan knowledge-nya hanya tersimpan di laptop satu orang tim HR saja. Akan terjadi permasalahan jika orang tersebut sakit atau bahkan keluar dari kantor,” kata Stefaine.

Ia melanjutkan, “Belum lagi kalau menyangkut urusan payroll. Mungkin untuk karyawan yang gaji bulanannya tergolong besar, transferan telat beberapa jam tidak terlalu berdampak. Tapi ada beberapa karyawan dengan gaji pas-pasan yang sangat bergantung dengan pemasukan tersebut. Delay satu-dua jam menjadi sangat berpengaruh bagi mereka.”

Kedua, layanan HRIS canggih yang ada biasanya cenderung mahal. Terlebih lagi yang dari vendor internasional, banyak yang belum memberikan dukungan penuh dengan kultur kerja di sini – misalnya sistem payroll yang disesuaikan beleid perpajakan di Indonesia, atau terintegrasi dengan sistem pembayaran di Indonesia. Kemudian yang ketiga terkait dukungan penggunaan; banyak perusahaan yang bilang ke Stefanie berpindah ke layanan HRIS lokal karena menginginkan dukungan penggunaan yang lebih cepat.

Sebagai SaaS, CATAPA mengenakan biaya berlangganan per karyawan dengan biaya sekitar 12 ribuan. Stefanie mengklaim, dengan transformasi digital di ranah sistem SDM dapat menghemat biaya sampai 120 juta Rupiah per tahun dan penghematan waktu hingga 12 ribu menit. Karena perusahaan tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk pengadaan infrastruktur dan pekerja tambahan.

Tren teknologi HRIS

Spesifik untuk penunjang HRIS, Stefanie mengungkapkan ada tiga teknologi yang akan membentuk tren di 2021. Pertama, penggunaan cloud-based HRIS yang makin masif. Menurut Gartner Report, 55% revenue HRIS datangnya dari solusi berbasis cloud. Mengindikasikan peminat yang semakin besar.

“Kalau dulu, banyak yang maunya sistem HRIS di-host di server lokal karena khawatir akan keamanan data. Tapi sekarang paradigmanya sudah mulai berubah. Layanan cloud HRIS CATAPA bahkan menawarkan sistem keamanan military grade. Dengan cloud, perusahaan bisa scale lebih cepat dengan biaya terjangkau tanpa harus berinvestasi besar di server dan engineer,” ujar Stefanie.

Tren selanjutnya adalah terkait Employee Wellness System, yakni serangkaian program atau aktivitas untuk mendukung lingkungan kerja sehat. Contohnya ada kebutuhan tim SDM melakukan survei harian, untuk memantau kondisi kesehatan dan tingkat kebahagiaan karyawan untuk menjaga produktivitasnya. Bahkan di saat-saat sekarang ini, catatan suhu tubuh harian juga menjadi salah satu yang diupayakan untuk memantau para karyawan.

“Sepanjang pandemi ini, produk CATAPA Safe banyak diminati. Layanan ini memang dikembangkan salah satunya untuk menunjang lingkungan kerja yang lebih sehat di tengah pandemi,” imbuhnya.

CATAPA Chatbot

Kemudian tren teknologi terakhir adalah HRIS yang memberdayakan kecerdasan buatan. Fitur-fitur seperti chatbot, facial recognition, hingga optical character recognition akan makin masif diimplementasikan ke dalam sistem.

“Misalnya kami di CATAPA menerapkan OCR untuk menghadirkan fitur resume parser, membantu tim HR melakukan seleksi kandidat secara cepat. Resume atau CV yang masuk tidak perlu dibaca satu per satu, langsung dapat diseleksi sesuai kriteria. Teknologi tersebut juga bisa digunakan untuk mempermudah proses reimbursement dengan men-scan kuitansi belanja yang hendak dilaporkan,” jelas Stefanie.

Perkembangan bisnis CATAPA

Sejauh ini, CATAPA telah melayani lebih dari 30 ribu pengguna, tersebar di seluruh Indonesia. Stefanie bercerita, pandemi ini mendorong digitalisasi di berbagai kota, sehingga turut mendatangkan banyak klien baru perusahaan-perusahaan di luar Jawa. Pihaknya juga masih terus fokus mengembangkan use case sembari melakukan edukasi terkait inovasi-inovasi teknologi dalam sistem HR.

“Ketika berhadapan dengan orang HR, akan lebih relevan bicaranya tentang use case, menempatkan layanan kita di sisi mereka dalam membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Misalnya chatbot, alih-alih menjelaskan kecanggihan teknologinya, kita lebih senang menerangkan fungsionalitasnya yang dapat membantu HR menjawab inquiry dari karyawan untuk pertanyaan umum seperti sisa cuti, aturan baru, saldo BPJS dll,” kata Stefanie.

Tim pengembang CATAPA / CATAPA
Tim pengembang CATAPA / CATAPA

Selain layanan siap pakai yang bisa digunakan HR secara instan, CATAPA juga memiliki stack teknologi yang direpresentasikan dalam Application Programming Interface (API). Salah satu misi utamanya untuk membentuk ekosistem di platform CATAPA.

“API juga memungkinkan layanan CATAPA untuk terintegrasi dengan HRIS yang sudah ada, termasuk terintegrasi dengan mitra penyedia HRIS lainnya, misalnya sistem ERP internasional,” imbuhnya.

Ia juga menceritakan, bahwa pelanggan CATAPA bisa memilih layanan yang dibutuhkan saja, tidak harus menggunakan sistem secara keseluruhan. Hal ini bisa memungkinkan proses transisi dilakukan secara bertahap dan parsial. “Misalnya ada sebuah Bank yang hanya ingin menggunakan chatbot kita untuk melayani karyawannya secara efisien, itu juga bisa dilakukan. Ada juga saat awal Covid-19 kemarin perusahaan yang hanya ingin memakai layanan CATAPA Safe saja.”

Tahun 2021, CATAPA masih akan memfokuskan pada pertumbuhan bisnis, dengan menjaring lebih banyak perusahaan untuk menggunakan layanannya. Portofolio GDP Venture tersebut juga mengatakan masih akan fokus memperluas kemitraan dengan rekanan strategis, alih-alih melakukan penggalangan dana. “Untuk fundraising no, but yes for mutual partnership. Kita masih ingin memperkuat ekosistem fitur di CATAPA,” tutup Stefanie.

Application Information Will Show Up Here

Disclosure: Artikel ini merupakan hasil bentuk kerja sama antara DailySocial dan CATAPA

Gambar Header: Depositphotos.com

On Lee dari GDP Membahas Potensi AI dalam Industri Teknologi Tanah Air

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Menghabiskan hampir lebih dari tiga puluh tahun di negeri orang, CEO & CTO GDP Labs juga sebagai CTO GDP Venture, On Lee akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 10 tahun, ia berhasil mengembangkan GDP Venture dan membangun GDP Labs dari awal berbekal pengalaman matang hasil merantau. Selain itu, ia sebelumnya menjabat sebagai CEO & CTO Kaskus, forum komunitas online Indonesia terbesar di Indonesia.

Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman dalam dunia internet, seluler, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, pengembangan perangkat lunak konsumen dan perusahaan, ia telah memegang berbagai posisi manajemen dan teknis sebagai salah satu pendiri, CEO, CTO, Wakil Presiden Eksekutif Teknik, dan teknisi di perusahaan startup dan Fortune 500 di AS.

On Lee sangat tertarik dengan inovasi Artificial Intelligence. Beliau sempat mengampu jurusan teknik elektro sebelum akhirnya beralih jurusan ke ilmu komputer. Keyakinannya pada industri teknologi Indonesia dan teknisi lokal telah memberinya inspirasi untuk mendirikan GDP Labs. Dari tahun 2012 hingga saat ini, GDP Labs telah mempekerjakan 160 orang [kebanyakan insinyur] di lima kota di Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, dan Surabaya.

Melalui GDP Venture, sebagai venture builder, dengan fokus pada komunitas digital, media, perdagangan, dan perusahaan solusi di industri internet konsumen Indonesia. Mereka telah berinvestasi di lebih dari 50 portofolio dan masih terus bertambah. Selain itu, ia telah membangun tim untuk memulai produk baru yang strategis di perusahaan rintisan dan perusahaan besar di AS, Indonesia, Cina, dan India.

DailySocial berhasil mendapat waktu beliau untuk berbagi cerita penuh wawasan sepanjang perjalanan entrepreneurship-nya.

Sebagai CTO GDP Ventures, juga CEO & CTO GDP Labs, menurut Anda apakah industri teknologi Indonesia berpotensi untuk membangun pusat global untuk teknologi tinggi dan inovasi atau menjadi sebuah hub?

Pastinya. Teknologi digital dan AI mewakili peluang emas bagi Indonesia, dengan populasi yang relatif muda dan bersemangat lebih dari 260 juta orang. Negara ini menawarkan usia rata-rata produktif 30 tahun dan tingkat literasi 95 persen. Ekosistem start-up digital Indonesia sudah prima dan siap mengikuti jejak negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, Taiwan, Korea, dan China yang telah berhasil mentransformasi negaranya melalui teknologi. Mereka telah secara signifikan meningkatkan keterampilan individu, standar hidup, dan produktivitas serta telah diakui sebagai pemain global utama di dunia. Pemerintah Indonesia memiliki banyak inisiatif teknologi; kebanyakan universitas menawarkan kelas ilmu komputer; dan investor lokal dan asing berinvestasi besar-besaran dalam ekonomi digital, dan semua hal ini meningkat selama pandemi.

Setelah sekian lama merantau, hampir tiga puluh tahun menggali ilmu di negeri Paman Sam. Apa yang mendorong Anda kembali ke Indonesia dan memulai GDP Labs? Apa yang menjadi mimpi Anda?

Saya kembali ke Indonesia karena alasan keluarga. Orang tua kami semakin tua, dan kami perlu merawat mereka.

Saya kemudian menemukan banyak talenta teknisi perangkat lunak yang hebat tetapi masih mentah di Indonesia. Banyak dari mereka tidak memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan yang tepat, bimbingan, dll. Pak Martin Hartono, CEO di GDP Venture, dan saya membina beberapa pemimpin muda yang paling cemerlang dan paling menjanjikan yang akan menjadi ahli teknologi dan berpengetahuan luas dalam bisnis dan kepemimpinan di GDP Labs. Upaya kami menunjukkan hasil awal yang menjanjikan.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee dalam acara GDP Labs Team Building 2018 bersama Martin Hartono

Kapan pertama kali Anda mengecap industri teknologi? Apakah hal ini memang menjadi passion Anda?

Awalnya saya mengambil jurusan teknik elektro, sebelum kemudian beralih ke jurusan ilmu komputer dengan minor dalam matematika.

Salah satu hobi saya adalah bermain catur. Dulu saya sempat menjadi pemain catur profesional. Saya tertarik pada ilmu komputer, matematika, dan catur karena keduanya memiliki dua kesamaan: logika dan pemecahan masalah. Hal ini membantu meningkatkan hidup saya secara pribadi dan profesional.

on lee 9
On Lee sedang bermain catur secara simultan dengan 2 orang teknisinya

Saya sempat membaca beberapa artikel Anda terkait Artificial Intelligence (AI). Apa yang menjadi alasan Anda percaya bahwa teknologi dapat menjadi solusi bagi seluruh masalah di dunia?

McKinsey memprediksi AI memiliki potensi untuk menambah aktivitas ekonomi global sekitar USD13 triliun pada tahun 2030. Betul sekali, besarnya USD13 triliun. Beberapa ahli mengatakan bahwa AI sama pentingnya dengan penemuan api dan listrik. Meskipun itu mungkin tampak berlebihan, intinya adalah bahwa AI akan menjadi salah satu teknologi terpenting yang pernah ditemukan manusia, meninggalkan dampak pada masyarakat dan bisnis dengan cara yang sangat mendalam. Kemungkinan besar akan memiliki kelasnya sendiri. Hal ini akan menjadi bagian dari kehidupan pribadi kita, di hampir semua industri. AI akan membantu mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global serta memposisikan Indonesia dengan baik untuk masa depan dunia baru di hadapan kita.

2020 bukanlah situasi yang ideal bagi semua orang, namun apakah Anda yakin bahwa industri teknologi tanah air berperan penting dalam pemulihan kondisi negara ini?

Tahun 2020 menjadi sulit bagi semua orang karena pandemi yang menyebabkan kebangkrutan, pengangguran, dan masalah sosial. Selain mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas dan kenyamanan, teknologi akan membantu kita menjadi lebih aman dan sehat. Hal ini akan turut membantu mempercepat pemulihan ekonomi.

Bagaimana dengan GDP Venture dan GDP Labs sendiri? Apakah situasi ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan?

Tentunya, tidak ada yang kebal. Kami telah meminta perusahaan kami untuk merevisi rencana tahun 2020 mereka tentang bagaimana bertahan dalam jangka pendek dan berkembang dalam jangka panjang. Pandemi ini bisa diibaratkan seperti kaca pembesar dan akselerator. Ia menyoroti apa yang telah Anda lakukan dengan benar tetapi juga apa yang telah Anda lakukan salah. Kami telah memilih untuk mempercepat beberapa inisiatif. Singkatnya, kami mencoba beradaptasi.

Dalam hal investasi, apakah menurut Anda Indonesia sudah memiliki iklim yang bagus untuk industri teknologinya? Apakah Anda melihat perubahan pada lanskap investasi sebelum dan sesudah pandemi?

Iya. Kami mendapat dukungan pemerintah yang cukup baik. Universitas menghasilkan banyak teknisi perangkat lunak setiap tahunnya, dan terdapat hampir 200 juta pengguna Internet di Indonesia, pengusaha, investor lokal dan asing.

Pandemi adalah salah satu bentuk peringatan yang baik. Startup fokus pada apa yang paling penting untuk bertahan dan berkembang, penilaian dan ekspektasi perusahaan menjadi lebih realistis. Ini adalah pengalaman yang mengajarkan banyak hal.

Beberapa portofolio GDP

Sebagai serial entrepreneur dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam dunia teknologi, Anda pasti pernah ditempatkan dalam situasi yang sulit sebelumnya. Apakah Anda berkenan berbagi kisah jatuh bangun membangun perusahaan? Serta bagaimana Anda berhasil melewati masa-masa sulit itu?

Benar. Waktu dan keberuntungan memainkan peran besar dalam keberhasilan atau kegagalan perusahaan mapan dan startup. Salah satu perusahaan rintisan tempat saya bekerja berada di jalur yang tepat untuk mencapai valuasi miliaran dolar di Silicon Valley. Sayangnya, resesi 2008 melanda AS serta perkara hutang teknis. Perusahaan itu dijual dengan harga lebih rendah dari ekspektasi kami meskipun kami masih mendapat untung.

Apakah Anda memiliki sosok panutan (mentor) untuk melewati masa-masa sulit? Mungkin semacam support system.

Pastinya. Saya beruntung mendapat bantuan dari banyak orang – teman, keluarga, pembimbing, rekan kerja, guru, dan bahkan orang asing.

Setiap orang akan memiliki titik terendah dalam hidup mereka. Mereka membutuhkan support system untuk melewati kesulitan. Saya belum melihat ada orang yang berhasil melakukannya sendiri.

Siapa yang menginspirasi Anda hingga seperti saat ini? Apakah Anda masih punya mimpi yang belum tercapai?

Banyak orang – ahli teknologi, ilmuwan, olahragawan, seniman – menginspirasi saya. Mereka memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka terus-menerus belajar untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas dalam kepemimpinan, bisnis, dan pemimpin dalam domain masing-masing.

Saya percaya, adalah hal yang penting untuk membantu generasi muda karena banyak orang membantu dan memberi saya kesempatan ketika saya masih muda dan belum berpengalaman. Ada begitu banyak peluang untuk mendisrupsi banyak bidang dengan menggunakan teknologi, sementara beberapa perusahaan mapan masih menggunakan teknologi abad ke-20. Tetaplah sehat.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para tech enthusiast yang masih berjuang menapaki jalan menuju industri namun terhadang oleh pandemi?

Kejelasan. Kepercayaan. Keyakinan. Memiliki kejelasan tentang apa yang ingin Anda lakukan. Jalankan dengan kepercayaan dan keyakinan tanpa henti. Ada peluang tersembunyi selama pandemi.

Artificial Intelligence disebut akan menggantikan pekerjaan manusia. Sebagai seorang individu, pernahkah Anda memikirkan tentang skenario terburuk yang bisa diakibatkan oleh teknologi ini?

AI akan menggantikan beberapa pekerjaan yang ada. Tapi, itu juga akan menciptakan jenis pekerjaan baru; lebih dari itu menghilangkan. Mari kita lihat dua skenario berikut.

Pertama, industri mobil menggantikan industri kuda. Ada lebih dari 1,4 miliar mobil dan hanya ada 58 juta kuda di dunia sekarang. Industri mobil – produksi, layanan, mobilitas yang baru ditemukan, dll. – telah menciptakan lebih banyak pekerjaan daripada yang dihilangkan dari industri kuda.

Kedua, ada perusahaan yang mengimplementasikan robot bertenaga AI di gudang mereka. Banyak karyawan yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Ternyata perusahaan mempekerjakan lebih banyak orang karena robot. Ini mungkin tampak kontra-intuitif. Mengapa? Karena robot efisien dan bekerja 24 jam sehari sehingga menghasilkan lebih banyak; manusia menjadi penghambat dan lebih banyak manusia perlu disewa untuk mengimbangi robot. Meskipun robot dapat melakukan tugas tertentu, mereka tidak dapat melakukan segala hal.

Manusia akan bebas melakukan pekerjaan yang lebih kreatif, sementara teknologi dan AI menangani pekerjaan mekanis. Selain itu, teknologi dan AI membebaskan sebagian waktu umat manusia sehingga kita dapat menghabiskan waktu kita dengan orang lain.

Singkatnya, AI meningkatkan kreativitas manusia dan pada akhirnya menjadikan kita lebih manusiawi.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

GDP’s On Lee Talks about The Potential of AI in Indonesian Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Spending almost over thirty years outside the nation, the CEO & CTO of GDP Labs and CTO of GDP Venture, On Lee finally returned to Indonesia in 2011. In the span of 10 years, he managed to grow GDP Venture and build GDP Labs from scratch, based on the best practice he learned from overseas. Meanwhile, he previously served as the CEO & CTO of Kaskus, the largest Indonesian online community forum in Indonesia.

With over 30 years of experience in internet, mobile, AI, Blockchain, Semantic Web, Knowledge Graph, consumer and enterprise software development, he has held various management and technical positions as a co-founder, CEO, CTO, Executive VP of Engineering, and engineer in both startup and Fortune 500 companies in the US.

On Lee has quite an interest in Artificial Intelligence innovation. He was doing electrical engineering before eventually shifting major into computer science. His belief in the Indonesian tech industry and local engineers has brought him the inspiration for GDP Labs. From 2012 to date, GDP has employed 160 people [mostly engineers] in five cities in Indonesia, Jakarta, Bandung, Bali, Yogyakarta, and Surabaya.

Through GDP Venture, as a venture builder, focusing on digital communities, media, commerce, and solution companies in the Indonesian consumer internet industry. They have invested in over 50 portfolios and still counting. Additionally, he has built teams to start strategic new products in startups and large companies in the US, Indonesia, China, and India.

DailySocial managed to convince him to share some insightful stories along his entrepreneurial journey.

As the CTO of GDP Ventures, also the CEO & CTO of GDP Labs, do you think the Indonesian tech industry has the potential to develop the global center for high technology and innovation or become a tech hub?

Definitely. Digital technology and AI represent a golden opportunity for Indonesia, with a relatively young and vibrant population of over 260 million people. The country boasts a median age of 30 and a literacy rate of 95 percent. Indonesian digital start-ups are primed and ready to follow in the footsteps of other Asian countries such as Japan, India, Taiwan, Korea, and China, which have been successful in transforming their countries through technology. They have significantly improved people’s skills, the standard of living, and productivity and have been recognized as key global players in the world. The Indonesian government has multiple technology initiatives; most universities offer computer science classes; and local and foreign investors are investing heavily in the digital economy, and this has only accelerated during the pandemic.

You’ve been away for almost thirty years, growing knowledge in the U.S. What drives you back to Indonesia and finally started GDP Labs? What was your dream?

I returned to Indonesia due to family reasons. Our parents were getting old, and we needed to take care of them.

I then discovered many great but raw software engineering talents distributed in Indonesia. Many of them did not have the opportunity to receive the right training, mentoring, etc. Mr. Martin Hartono, CEO at GDP Venture, and I are nurturing some of the brightest and most promising young leaders who would become technology savvy and well-rounded in business and leadership at GDP Labs. Our efforts show promising early results.

On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono
On Lee at GDP Labs Team Building 2018 with Martin Hartono

When was the first time you encountered the tech industry? Does technology always been your passion?

I originally majored in electrical engineering. I then switched to a computer science major with a minor in mathematics.

One of my hobbies is playing chess. I used to be a professional chess player. I am interested in computer science, mathematics, and chess because they have two things in common: logic and problem-solving. They helped improve my life personally and professionally.

on lee 9
On Lee was playing chess simultaneously with 2 of his engineers

I read some of your articles about Artificial Intelligence (AI). What makes you believe in the first place that this technology can be a key solution for most problems in the world?

McKinsey predicts AI has the potential to deliver additional global economic activity of around USD 13 trillion by 2030. Yes, that’s USD 13 trillion. Some experts have said that AI is as important as the discovery of fire and electricity. Although that may seem like an exaggeration, the point is that AI is going to be one of the most important technologies humanity will ever invent, leaving an impact on society and business in a deeply profound way. It will likely be in a class by itself. It is going to be part of our personal lives, across virtually all industries. AI will help accelerate the global economy’s recovery and growth and position Indonesia well for the future of a new world before us.

2020 is not an ideal situation for everyone, do you believe our tech industry can play a big part in our country’s recovery?

2020 has been hard for everyone due to the pandemic which leads to bankruptcies, unemployment, and social issues. In addition to reducing costs, increasing productivity and convenience, technology will help us be safer and healthier. This will help to lead economic recovery faster.

Many companies and governments are accelerating their digital transformation using cloud computing, mobile computing, and AI during the pandemic.

How about GDP Venture and GDP Labs, does this pandemic situation affect the company in a significant way?

Yes, no one is immune. We have asked our companies to revise their 2020 plan on how to survive in the short term and thrive in the long term. Pandemic is like a magnifying glass and accelerator. It highlights what you have been doing right but also what you have been doing wrong. We have chosen to accelerate some initiatives. In short, we needed to adapt.

In terms of investment, do you think Indonesia has provided a good investment climate for its tech industry? Do you see any significant change in the tech investment scene before and after the pandemic?

Yes. We get good government support. Universities produce many software engineers annually, and almost 200 million Internet users in Indonesia, entrepreneurs, local and foreign investors.

The pandemic is a good wake up call. Startups focus on what matters most to survive and thrive, company valuations and expectations become more realistic. It is a humbling experience.

Some of GDP Venture’s portfolios

As a serial entrepreneur with over 30 years of experience in technology, I believe you’ve been put in a bad situation before. Are you willing to share some of the hardships in building a venture? And how you come up with a solution amid the pressure?

Yes. Timing and luck play a big part in both established companies’ and startups’ success or failure. One of the startups that I worked at was on track to hit a billion-dollar valuation in Silicon Valley. Unfortunately, the 2008 recession hit the US and technical debts. The company was sold for lower than our expectations even though we still made some profit.

Do you have certain figures(mentors) to help you through the hard days? Some kind of support system?

Definitely. I was fortunate to get help from many people — friends, family, mentors, colleagues, teachers, and even strangers.

Everyone will have low points in their lives. They need a support system to go through hardship. I haven’t seen anyone successful by doing it alone.

Who inspired you to be the person you are now? Do you have goals you’re yet to achieve?

Many people — technologists, scientists, sportspeople, artists — inspired me. They have the following characteristics: they were constantly learning to be well-rounded in leadership, business, and master in their domain.

I believe it’s important to help young people because many people helped and gave me opportunities when I was young and inexperienced. There are so many opportunities to disrupt many areas using technology, while some established companies are still using 20th-century technology. Stay healthy.

What will you say to those tech enthusiasts struggling to pave their paths into the industry yet stumble upon the current pandemic situation?

Clarity. Confidence. Conviction. Have clarity on what you want to do. Execute on it with confidence and conviction relentlessly. There are hidden opportunities during the pandemic.

Artificial Intelligence (AI) is said to replace a human’s job. As a human, has it ever occurred to you that there’s the worst scenario that can result from this technology?

AI will replace some existing jobs. But, it will also create new types of jobs; more than it eliminates. Let’s look at the following two scenarios.

First, the car industry replaced the horse industry. There are over 1.4 billion cars and there are only 58 million horses in the world now. The car industry – production, services, newfound mobility, etc. – has created more jobs than it eliminated from the horse industry.

Second, there was a company implementing AI-powered robots in their warehouses. Many employees were worried they would lose their jobs. It turned out that the company hired more people due to robots. This may seem counter-intuitive. Why? Because robots are efficient and work 24 hours a day so they produce more; humans became the bottleneck and more humans needed to be hired to keep up with the robot. Although robots could do certain tasks, they couldn’t do anything.

Humans will be free to do more creative work while technology and AI take care of mechanical work. Also, technology and AI free up some of humanity’s time so we could spend our time with other people.

In short, AI augments humans’ creativity and ultimately makes us more human.

Datasaur Bukukan Dana 58 Miliar Rupiah dari Keikutsertaannya dalam Y Combinator

Startup pengembang platform pelabelan data Datasaur mengumumkan perolehan investasi senilai $3,9 juta atau setara 58 miliar Rupiah. Nilai total pendanaan tersebut mencakup pendanaan awal senilai $1.1 juta yang diterima tahun lalu dari GDP Venture dan $2.8 juta pendanaan tambahan yang didapat usai mengikuti demo day di program akselerator Y Combinator Maret lalu. Investor baru yang terlibat meliputi Initialized Capital, Y Combinator, dan CTO OpenAI Greg Brockman.

Kepada DailySocial Founder & CEO Datasaur Ivan Lee mengungkapkan, sebagian besar dana tersebut akan dimanfaatkan untuk merekrut talenta guna memperkuat tim. Perusahaan juga memiliki rencana untuk berinvestasi lebih lanjut pada pengembangan sistem cerdas, dengan tujuan meningkatkan kapabilitas “automasi” pelabelan data, sehingga bisa membuat proses pengerjaan data menjadi lebih efisien.

“Kami juga ingin melakukan ekspansi [produk] lebih luas lagi, [masukan datanya] bukan hanya dalam format teks, tapi juga gambar dan video,” kata Ivan.

Tren penggunaan dan pengembangan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) yang makin masif melatarbelakangi pengembangan Datasaur. Di balik setiap algoritma AI, ada ribuan pelatihan mesin yang umumnya masih berbasis “human-labeled training”. Mengelola dan memberi label data seperti itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan, memakan waktu, dan mahal.

Datasaur mencoba membantu mengefisienkan proses tersebut melalui beberapa fitur. Misalnya fitur labeling interface intelligence component yang dapat mengenali data-data dasar sehingga pemberi label tidak perlu menandai data yang sama berulang-ulang. Ada juga team organizing component untuk mengelola proses pelabelan data yang umumnya dilakukan berkelompok.

Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur
Contoh tampilan aplikasi pelabelan data yang dikembangkan Datasaur

Selain di Indonesia, Datasaur juga menjalankan bisnis di California, Amerika Serikat.

“Untuk fokus bisnis kami di Indonesia, ke depannya Datasaur memiliki rencana untuk membantu menyebarkan penggunaan dan adopsi NLP di Indonesia, dan menjadi standar industri utama untuk pelabelan data di Indonesia,” kata Ivan.

Sebagai salah satu startup asal Indonesia yang menjadi anggota program akselerasi Y Combinator batch Winter 2020, banyak pengalaman serta edukasi penting yang didapatkan oleh Ivan. Bukan hanya memvalidasi bisnis, Datasaur juga mendapatkan banyak masukan terkait membangun tim yang solid dan fokus bisnis yang lebih terukur.

Selain Datasaur, ada juga startup lain dari Indonesia yang turut mendapat peruntungan di batch tersebut. Ialah BukuWarung, aplikasi pencatatan arus keuangan untuk pengusaha mikro di Indonesia. Selepas demo day, mereka juga mendapatkan antusias investor untuk turut berpartisipasi memberikan dananya.

Printerous Secured Series A Funding, Currently Focusing on Expansion

The online platform for printing and packaging, Printerous announced series A funding from BAce Capital, AddVentures, GDP Ventures and Gobi Agung. Sovereign’s Capital, the previous investor also participated.

The investment is to be used for developing technology infrastructure and expanding coverage to 30 new cities in Indonesia, including to develop a sustainable business model. Pinterous is said to be profitable, therefore, the recent cash will be focused on expansion, in terms of business and products.

“The printing market in Indonesia has reached US$14.5 billion in 2019, this is quite big for the public’s majorty are still using conventional printing. This is encouraged us to improve technology innovation to help SMEs with solution for design, printing to distribution. The online printing innovation is to create a seamless, efficient, and transparent process,” Pinterous’ Founder & CEO, Kevin Osmond told DailySocial.

Since its debut in 2012, Printerous has collaborated with more than 250 printing merchants and supported more than 35 thousand business players. In the journey, they still have some issues, including market education. It’s because the service is quite new in Indonesia.

“We partner with printing and logistics partners, so we can create an easy, transparent and cost-effective printing solution. This business model has been implemented in the emerging markets such as Japan, China, the United States, and Europe, where the so-called-conventional printing industry transformed into digital,” Kevin said.

GDP Venture’s CEO, Martin Hartono said to continue to support the local startups in order to develop the domestic industry. “We always support local startups in Indonesia to develop new solutions, one of which is Printerous in the printing and packaging industry.”

“Printerous can empower the traditional industry using its technology and additional services, therefore, it can be very advantageous for the printing business and users. Printerous is one of Indonesia’s startups we believe to have big potential,” Mulyono said as BAce Capital’s Managing Director.

Previously, the company has received pre-series A funding worth of 18 billion Rupiah, led by Golden Gate Ventures, followed by Sovereign’s Capital and Gunung Sewu Kencana.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Printerous Terima Pendanaan Seri A, Fokus Lancarkan Ekspansi (UPDATED)

Platform online penyedia layanan cetak dan packaging Printerous mengumumkan perolehan pendanaan seri A dari BAce Capital, AddVentures, GDP Ventures dan Gobi Agung. Investor sebelumnya Sovereign’s Capital juga turut serta dalam putaran ini.

Investasi yang didapat akan dimanfaatkan untuk mengembangkan infrastruktur teknologi dan memperluas jaringan ke 30 kota baru di Indonesia, termasuk membangun model bisnis berkelanjutan. Printerous mengklaim saat ini perusahaan dalam kondisi profitable, sehingga pendanaan kali ini fokusnya memang untuk ekspansi, baik secara cakupan bisnis maupun produk.

Market printing di Indonesia mencapai US$14,5 miliar di tahun 2019, potensi ini masih sangat besar karena mayoritas masih menggunakan percetakan konvensional. Hal ini yang membuat kami terus meningkatkan inovasi teknologi untuk membantu UKM dengan solusi desain, cetak sampai distribusi. Inovasi cetak online ini akan membuat proses lebih praktis, efisien dan transparan,” ujar Founder & CEO Printerous Kevin Osmond kepada DailySocial.

Sejak meluncur pada tahun 2012, Printerous sudah bekerja sama dengan lebih dari 250 percetakan dan telah membantu lebih dari 35 ribu pelaku bisnis. Dalam perjalanannya, mereka masih menghadapi beberapa masalah, salah satunya edukasi pasar. Karena di Indonesia layanan yang diusung masih tergolong baru.

“Kami menggandeng mitra percetakan dan logistik, sehingga terciptalah solusi mencetak yang mudah, transparan dan hemat biaya. Model bisnis ini telah diimplementasikan di pasar berkembang seperti Jepang, China, Amerika Serikat dan Eropa, di mana industri percetakan yang kerap kali dianggap konvensional telah beralih menjadi digital,” terang Kevin.

CEO GDP Venture Martin Hartono menyatakan bahwa dukungan terhadap startup lokal harus terus dilakukan untuk perkembangan industri dalam negeri. “Kami selalu mendukung perusahaan lokal Indonesia yang bisa mengembangkan solusi-solusi baru, seperti salah satunya Printerous di industri percetakan dan packaging.”

“Printerous mampu memberdayakan industri tradisional dengan teknologi dan layanan tambahan lainnya, sehingga menguntungkan bagi percetakan maupun pengguna. Printerous adalah salah satu startup dari Indonesia yang kami percaya mempunyai peluang besar.” ujar Mulyono selaku Managing Director BAce Capital.

Sebelumnya perusahaan mendapatkan pendanaan pra-seri A senilai senilai 18 miliar Rupiah, dipimpin Golden Gate Ventures dan diikuti oleh Sovereign’s Capital dan Gunung Sewu Kencana.

Update : perubahan angka market printing di tahun 2019

Application Information Will Show Up Here