Kepercayaan Diri ION Mobility di Pasar EV dengan Produk yang Sepenuhnya Dikembangkan Sendiri

Geliat kendaraan listrik di Indonesia makin terasa seiring dengan penetrasi produk di tengah masyarakat. Dibandingkan dengan kendaraan konvensional, industri kendaraan listrik menjadi lebih menarik, karena Indonesia tidak hanya mentereng sebagai pasar, melainkan mulai ada inovasi yang terlahir dari inovator lokal — baik dari sisi produk kendaraannya maupun infrastruktur pendukungnya.

ION Mobility adalah salah satu startup yang fokus mengembangkan produk sepeda motor listrik/electric two‐wheel vehicles (E2w) di Indonesia. Mereka mulai membangun tim di Jakarta saat lockdown pandemi tahun 2020 lalu, dipimpin James Chan selaku founder dan CEO. Produk dan model bisnis yang dianggap solid membawa mereka menutup pendanaan awal $6,8 juta dalam dua putaran di tahun 2021 dan 2022. Dilanjutkan pendanaan seri A senilai $18,7 juta pada Februari 2023 dipimpin TVS Motor.

“Kami adalah satu-satunya pemain E2w (electric two‐wheel vehicles) yang didukung oleh industri otomotif Asia Tenggara. Selain pemimpin otomotif 2W TVS Motor, kami juga memiliki dukungan dari Martin Hartono dari GDP Venture dan Michael Sampoerna dari Sampoerna Strategic sebagai investor kami,” ujar James.

James turut memaparkan, bahwa sebagian besar dana investasi yang dikumpulkan digunakan untuk pengembangan tim, operasional, dan meningkatkan kehadiran di Indonesia. Sekarang sebagian besar tim berada di Jakarta dan Bandung, kendati demikian ION Mobility juga telah memiliki kantor di Singapura, Vietnam, dan China.

“Saat ini, kami beroperasi dari sebuah showroom kecil di Motovillage Kemang sambil bersiap-siap untuk meluncurkan experience centre unggulan kami yang berlokasi di Radio Dalam dengan 4 lantai dan luas 15.000m2. Tim kami juga sedang bekerja keras untuk menyempurnakan paket baterai dan jalur perakitan E2w kami di Karawang Timur, untuk menjaga agar kami tetap sesuai jadwal dalam memenuhi pemesanan di beberapa bulan ke depan,” imbuhnya.

Peresiman showroom ION Mobility di Jakarta / ION Mobility
Peresiman showroom ION Mobility di Jakarta / ION Mobility

Produk pertama ION Mobility

ION Mobility pertama kali memamerkan produk perdananya ION M1-S pada IMOS 2022, kala itu kondisi pandemi mulai mereda dan lockdown kembali dibuka. Bagi James dan tim, ini menjadi titik awal penting untuk memulai validasi produk di pasar Jakarta.

Upaya menemukan product-market fit terus dilakukan dengan membawa ke M1-S ke berbagai pameran, termasuk yang paling baru ke IIMS 2023 dan GIIAS 2023. Salah satu tujuannya untuk memberikan gambaran lebih jelas sekaligus mendengarkan impresi dari calon pelanggan.

“Setelah menyelesaikan rangkaian pameran selama satu tahun terakhir, ION M1-S tidak akan muncul di pameran sepeda motor lainnya hingga kami mengirimkannya kepada pelanggan pemesan awal kami nanti akhir tahun ini,” imbuh James.

ION Mobility aktif memamerkan produknya di berbagai gelaran otomotif di Indonesia / ION Mobility
ION Mobility aktif memamerkan produknya di berbagai gelaran otomotif di Indonesia / ION Mobility

ION M1-S adalah produk berstandar otomotif yang didukung secara luas oleh perangkat keras, firmware, dan perangkat lunak yang dikembangkan secara mandiri. Ukurannya setara sepeda motor 155cc pada umumnya, tetapi menawarkan daya dan kinerja sepeda motor setara 250cc dari 0-60 km/jam dengan dukungan sejumlah fitur unit yang dikembangkan.

“Kami masih menunggu dokumen konten lokal (TKDN), tetapi berharap untuk menjadi yang terdepan di industri dengan skor setidaknya 70%; jauh lebih tinggi dari semua merek motor listrik lainnya di Indonesia – ini hanya dapat dicapai karena kami tidak bergantung pada konsultan besar dan tidak pernah mengontrakan bagian dari desain dan rekayasa M1-S kepada pihak ketiga,” jelas James.

Diakui juga, bahwa ini bukan perkara gampang menyelaraskan tim berjumlah 50an orang (dengan 10 kewarganegaraan di 4 negara) sampai mencapai titik ini. Pun pihak TVS yang memiliki pengalaman 45 tahun di industri juga mengungkapkan hal tersebut.

“Dedikasi ekstrem kami untuk ‘melakukan semuanya sendiri, sendirian’, bersama dengan upaya pemasaran merek dan produk yang lebih sedikit namun lebih baik, adalah jalur yang paling jelas bagi kami untuk menciptakan sepeda motor listrik dan produk penyimpanan energi terbaik untuk pelanggan kami di Indonesia,” ujar James.

Ia melanjutkan, “Beberapa orang mengatakan, seharusnya kami membuat M1-S lebih murah dan menyatakan bahwa harga Rp49 juta (varian 72V50Ah) dan Rp56 juta (varian 72V60Ah) masih terlalu sulit dijangkau bagi kebanyakan orang Indonesia. Saya memberi tahu mereka bahwa ada satu kendala universal yang kami hadapi; Anda hanya dapat memilih 2 dari 3 faktor: lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik. Di ION, kami memilih lebih cepat dan lebih baik sebagai 2 faktor prioritas, dengan penurunan harga yang akan datang ketika kami mencapai skala ekonomi yang lebih tinggi, sejalan dengan permintaan (dan pengakuan) yang lebih besar untuk produk kami,” jelas James.

Ceruk pasar ION Mobility

Tidak dimungkiri dengan harga jual yang disebutkan James di atas, ION M1-S menjadi lebih mahal (signifikan) dibandingkan dengan sepeda motor konsumer konvensional yang saat ini mendominasi pasar. Bagi James, ION M1-S dirancang untuk menjadi pelopor di segmen produknya sendiri, yakni sebuah sepeda motor listrik seharga motor 155cc, tapi bertenaga 250cc (motor listrik 5kW yang mencapai output daya 12,5kW).

Ia turut mengungkapkan, di Indonesia rata-rata penjualan sepeda motor Internal Combustion Engine (ICE) per tahunnya mencapai 6 juta – 6,5 juta unit. Segmen 155cc mewakili sekitar 16-18% dari penjualan baru atau setara 1 juta+ unit dengan 80% dibeli oleh pelanggan di kota tier-1 seperti Jakarta. Kelompok pengguna ini masih merupakan segmen pasal massal (walaupun secara spesifik masuk ke massal premium) yang memiliki preferensi dan ekspektasi lebih mendetail. Sehingga dikenal juga sebagai segmen pelanggan penentu tren yang dinantikan pasar massal lainnya. Ceruk tersebut yang nantinya juga diharapkan bisa disentuh oleh produk ION M1-S.

“Merancang M1-S dengan seluruh gaya dan substansinya agar sesuai dengan faktor bentuk sepeda motor step-through (flat-bed) setara 155cc yang dibatasi secara volumetrik berarti ada volume yang lebih sedikit (dibandingkan dengan sepeda motor step-over) untuk menampung lebih banyak baterai guna menghasilkan tenaga kuda tinggi yang dimilikinya. Itulah mengapa kami harus membangun semuanya sendiri. Sebagai tim, kami percaya untuk menghadapi tantangan terberat terlebih dulu, dan jika kami berhasil melewati proses ini, menjadi jauh lebih mudah bagi kami untuk berkembang saat kami memasuki segmen lain di masa mendatang,” ujar James.

Baterai juga menjadi komponen yang mendapatkan perhatian penting dalam inovasi ION Mobility. Pihaknya mendesain, merekayasa, merancang paket baterai motor secara mandiri dengan peralatan berstandar industri dan bahan baku dari Tiongkok. Adapun proses perancangan dan perakitan dilakukan di pabrik yang perusahaan dirikan di daerah Karawang Timur.

Paket baterai ION dilindungi oleh aluminium yang kokoh untuk pengelolaan panas dan perlindungan fisik, menggunakan sel silindris NCM dengan faktor bentuk 21700 pada sistem 72V. Mereka juga telah memperoleh sertifikasi internasional untuk paket baterai (UN R136, UN 38.3) dan telah menguji sel, proses perakitan, dan paket secara menyeluruh. ION Mobility berkomitmen untuk melanjutkan pendekatan  ketat ini guna menjaga kualitas di seluruh batch produksi.

“Pendekatan kami berbeda dengan hampir semua pemain lain yang memperoleh pak baterai E2w mereka tanpa kemampuan atau kesadaran akan pengorbanan desain dan pemilihan komponen. Dengan kata lain, mereka hanya bisa menyalahkan pemasok  saat terjadi masalah, tetapi di ION, kami memikul tanggung jawab untuk memastikan hasil yang tepat, dan memiliki kemampuan internal untuk terus meningkatkan paket baterai dan teknologi sistem manajemen kami sendiri. Itulah sebabnya kami percaya diri untuk memberikan garansi pak baterai selama 5 tahun kepada pelanggan M1-S kami,” jelas James.

Tantangan utama ION Mobility

Jajaran tim ION Mobility di Indonesia / ION Mobility

Memang, sepeda motor konvensional masih dan dinilai tetap akan mendominasi pasar Indonesia di beberapa tahun ke depan. Hal ini turut diaminkan oleh James, hanya saja ia melihat bahwa elektrifikasi kendaraan roda dua akan menjadi masa depan yang terus diupayakan berbagai pihak. Sehingga baik ekosistem motor konvensional dan pengembangan motor listrik akan berjalan berdampingan sampai 10-20 tahun mendatang.

“Tahukah Anda bahwa bahkan dengan listrik berbahan bakar batu bara, M1-S memiliki jejak karbon 2,8x hingga 3,75x lebih rendah dibandingkan sepeda motor konvensional 155cc? Ketika bumi kita terus memanas dan permukaan air laut meningkat seiring dengan tenggelamnya Jakarta dengan cepat, dorongan untuk transisi penuh ke E2w semakin besar,” ungkap James.

Kendala yang paling berat dihadapi ION Mobility adalah posisinya sebagai merek yang masih muda dan sangat baru. Ini berimplikasi pada tingkat kepercayaan pasar. Terlebih pasar Indonesia beberapa tahun belakang terus dibombardir dengan banyaknya produk sepeda listrik murah yang sebenarnya bukan tandingan sepeda motor dari sisi keandalan, bahkan masih jauh dibandingkan mesin 125cc sekalipun.

“Kami harus berupaya melawan gradien ini dan memastikan bahwa kami tidak terburu-buru dalam memberikan produk dengan segala cara, seperti yang dilakukan beberapa merek E2w Indonesia lainnya, yang kemudian akan mengecewakan para pendukung awal mereka,” lanjut James.

Tantangan selanjutnya adalah memastikan orang percaya bahwa James dan tim dapat merealisasikan visi-misinya di ION Mobility. Sempat diragukan, karena bahkan James tidak memiliki SIM sepeda motor di Singapura. Ia pun mengakui belum pernah membangun perusahaan di bidang hardware yang notabenenya membutuhkan belanja modal yang besar dan strategi matang agar bisa sampai skala industri. Apalagi di Asia Tenggara ekosistemnya juga masih minim, baik dari sisi investor hingga suplai tenaga kerjanya.

“Bagi seorang wirausaha, khususnya yang bergerak di bidang ‘teknologi keras’, kita menghadapi rintangan yang mustahil setiap hari. Menurut saya, tugas kita di tahun 2024 jauh lebih mudah, yakni konsisten meraih dan menjaga kepercayaan setiap pengendara sepeda motor Indonesia, mulai dari Jakarta,” ungkapnya.

Tahun 2024 ini, ION Mobility akan memulai milestone besarnya, yakni dengan mulai melakukan monetisasi. Selain itu proses fundraising juga tengah diupayakan untuk penggalangan putaran seri B guna mendukung pertumbuhan dan penguatan tim.

“Tahun ini akan menjadi tahun besar. Kami akhirnya akan beralih dari nol pendapatan menjadi jutaan (dolar), bahkan mungkin puluhan juta dalam pendapatan. Kami mulai berbicara dengan beberapa investor untuk pendanaan seri B guna mendukung lintasan pertumbuhan dan upaya penarikan dan retensi talenta kami. Tim saya memberi tahu saya bahwa ‘kompetitor’ E2w Indonesia kami dengan putus asa mencoba merekrut mereka tanpa hasil; kami pasti melakukan sesuatu yang benar sehingga rekan-rekan E2w kami berusaha melepaskan mereka dari kami,” ujarnya.

Selain itu ION Mobility akan mulai membuka beberapa toko dan mengumumkan jaringan layanan purnajualnya.

Kemitraan strategis

Ekosistem kendaraan listrik mulai terbangun, namun masih perlu diperkuat, salah satunya dengan kolaborasi antarstakeholder dalam industri. ION Mobility sendiri sudah cukup agresif membangun kemitraan dengan sejumlah pihak, termasuk Kementerian Perinudstrian di Indonesia, sejumlah BUMN (misalnya PLN), dan lembaga pembiayaan yang dapat mendukiung upaya perusahaan menghasilkan produk lokal yang bermutu secara end-to-end.

Di Singapura, ION juga telah menjalin kemitraan dengan lengan investasi pemerintah setempat, termasuk sejumlah lembaga inovasi seperti EnterprisSG, A*STAR, dan JTC.

M1-S sendiri telah menyelesaikan pengujian pemerintah dan menerima dokumen homologasi kendaraan jalan pada November 2023. ION Mobility juga sedang dalam proses penyelesaian beberapa dokumen tambahan yang mengikuti, tetapi James yakin sepenuhnya bahwa ION M1-S juga akan memenuhi syarat untuk program subsidi pemerintah Indonesia dengan tingkat konten lokal 70% atau lebih. Pemerintah memang tengah memberikan subsidi khusus berupa potongan harga langsung untuk mendukung program konversi ke kendaraan listrik. Sejumlah merek kendaraan listrik seperti Polytron, Alva, Volta, dan beberapa lainnya sudah mulai menjalankan program ini.

“Menarik untuk dicatat bahwa pelanggan yang melakukan pemesanan di tahun lalu tidak pernah fokus pada subsidi, yang sebenarnya hanya sebagai nilai tambah. Bahkan tanpa subsidi, M1-S menawarkan total biaya kepemilikan setara atau bahkan lebih baik setelah 2 hingga 3 tahun penggunaan harian, dibandingkan dengan sepeda motor ICE 155cc,” ujar James.

ION M1-S saat diuji coba di jalanan Jakarta / ION Mobility
ION M1-S saat diuji coba di jalanan Jakarta / ION Mobility

Lantas mengapa baru akan dikirimkan ke pelanggan pada akhir tahun ini? Pada November 2022, ketika ION Mobility pertama kali memperkenalkan M1-S di IMOS, mereka memperkirakan tanggal mulai pengiriman akhir Desember 2023. Namun, setelah mendengarkan masukan pelanggan, mereka memutuskan untuk mengambil tindakan pada beberapa area untuk lebih meningkatkan M1-S, yang meliputi:

  • Pengurangan berat – M1-S sekarang lebih ringan 14kg menjadi 149kg kosong, lebih mudah manuver, dan lebih stabil daripada sebelumnya dengan pusat gravitasi yang ditingkatkan.
  • Dinamika kendaraan yang lebih baik – disetel untuk kenikmatan berkendara, dengan penanganan dan ergonomi yang ditingkatkan pada berbagai kecepatan, manuver, dan kondisi jalan.
  • Pengurangan tinggi kursi – tinggi kursi sekarang turun menjadi 765mm dari tanah, memungkinkan pengguna berkendara dengan lebih percaya diri dan nyaman.
  • Pembaruan bagian belakang – mendesain ulang bemper belakang dan lampu depan untuk desain yang lebih atletis.
  • Pengisi daya terintegrasi yang ditingkatkan dan penutup kedap air – isi daya M1-S tanpa perlu khawatir hujan merembes ke dalam kompartemen penyimpanan melalui kabel pengisian.
  • Tingkat VA pengisian yang dapat disesuaikan – pengguna dapat mengontrol seberapa banyak daya yang diambil M1-S (dari 450 hingga 2200 VA) saat pengisian.
  • TPMS Terintegrasi – semua pengendara dapat bersukacita bahwa M1-S mereka akan dilengkapi dengan TPMS (sistem pemantauan tekanan ban) untuk kedua roda.
  • Kunci kemudi – pengendara dapat mengaktifkan kunci kemudi fisik saat diparkir untuk mencegah pergerakan tidak sah dari M1-S.
  • Pengujian lebih lanjut – berhasil mencapai tingkat pengujian jangka panjang yang semakin ekstrem, termasuk di lereng bukit Gunung Tangkuban Parahu dengan uptime lebih dari 99% dan pengendara berbobot hingga 145kg, dengan pencapaian rencana jarak uji 25.000km yang dijadwalkan akan selesai dalam beberapa bulan ke depan, dan 50.000km serta lebih tinggi pada akhir tahun.

“Saya meyakini semua pelaku industri E2w seharusnya memandang perjalanan ini sebagai maraton bukan sprint. Saya pikir ini adalah ide buruk bagi perusahaan mana pun untuk berkembang terlalu cepat. Sebagai mantan pegawai di pemerintah Singapura yang bekerja di bidang pengembangan industri, kemudian menjadi venture capitalist teknologi tahap awal dan angel investor sebelum menjadi serial techpreneur, saya selalu menekankan kepada tim pentingnya ‘efisiensi modal-usaha’ saat berada dalam fase pra-pendapatan,” tegas James.

Tekad ION Mobility Bumikan Sepeda Motor Elektrik di Indonesia

Indonesia mulai mengejar ketertinggalan untuk urusan kendaraan listrik. Pemerintah mulai tancap gas mendorong industri hulu untuk bergerak turun ke hilir, setelah mencanangkan kendaraan listrik sebagai bagian dari masa depan Indonesia. Ada sejumlah kebijakan dan insentif untuk memastikan keberhasilan target tersebut.

Hal tersebut mendorong nama-nama produsen sepeda motor lokal yang belakangan mulai muncul. Nama-nama sepeda motor listrik yang sudah beredar di antaranya ALVA, Electrum, Volta, SLIS, Gesits, U-Winfly, dan Polytron Fox-R. Semuanya di-backing oleh perusahaan besar, termasuk pelat merah.

Scorpio Electric (Singapura) di Asia Tenggara, dan di belakang Gogoro (Taiwan) dan Ather Energy (India) di Asia Pasifik, adalah beberapa nama manufaktur yang bisa dikatakan menjadi champion di negara masing-masing.

Di antara sesama negara Asia Tenggara, progres adopsinya kurang lebih mirip. Rata-rata menghadapi tantangan yang sama, seperti kurangnya infrastruktur publik pengisian daya; biaya kepemilikan yang tinggi; keselamatan, jarak mengemudi, serta pengoperasian dan pemeliharaan EV; dan, ketergantungan terhadap sumber energi.

Survei termutakhir Deloitte menunjukkan adanya peningkatan minat terhadap EV di kalangan konsumen di wilayah tersebut. Dikatakan, “didorong oleh biaya bahan bakar yang lebih rendah, kekhawatiran tentang perubahan iklim/penurunan emisi, dan pengalaman berkendara yang lebih baik. Minat tertinggi konsumen datang dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, kurangnya infrastruktur pengisian daya publik dan jarak kemudi tetap menjadi hambatan untuk diadopsi.” Kekhawatiran tersebut wajar saja, mengingat kapasitas baterai yang terbatas untuk menempuh perjalanan jarak jauh.

Asia Tenggara muncul sebagai pasar potensial dan pusat manufaktur untuk kendaraan listrik (EV). Mordor Intelligence memperkirakan pasar EV di Asia Tenggara hampir mencapai $500 juta pada 2021 dan memperkirakan akan tumbuh menjadi $2,7 miliar pada 2027.

Seluruh kondisi di atas mendorong jiwa kewirausahaan James Chan untuk turut serta meramaikan industri EV ini. Meski Chan bukan pengendara motor dan ahli otomotif, tapi ia melihat potensi untuk meramahkan bumi dengan energi bersih. Ia memiliki pengalaman lebih dari 16 tahun dalam perumusan dan implementasi kebijakan ekonomi dan industri, modal ventura, pengembangan dan manajemen produk, strategi dan pengembangan bisnis, keuangan dan operasi di teknologi dan ekosistem startup di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Bekal tersebut membuat ia percaya diri untuk menginisiasi pendirian ION Mobility di Singapura sejak 2019. ION Mobility adalah perusahaan motor listrik dan energi bersih di Asia Tenggara yang mengemban misi untuk menciptakan dan menghadirkan mobilitas dan energi yang terjangkau, diinginkan, dan berkelanjutan untuk semua orang.

“Saya melihat dorongan dari pemerintah untuk memulai kendaraan listrik. Saya percaya ini adalah perjalanan yang panjang untuk mentransformasi supply chain di industri tersebut. Kami pun tertarik untuk berpartisipasi untuk mengakselerasi ini dan menawarkan solusi terbaik,” kata Chan kepada DailySocial.id.

Menurutnya, perusahaan EV teratas seperti Tesla, Rivian, dan Lucid Motors, masing-masing berhasil membuktikan kelayakan dan keberlanjutan mobilitas listrik di segmen mobil dan truk selama 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, ia ingin membangun dan menskalakan ION Mobility di Asia Tenggara agar setara dengan perusahaan-perusahaan tersebut, yang memiliki sepeda motor listrik yang layak jalan dan jaringan pengisian energi yang lebih bersih, dan fokus yang sama dengan konsumen Asia Tenggara.

Terlebih, penjualan sepeda motor itu mendominasi daripada mobil dengan skala perbandingan 6:1 di Indonesia. Di regional ini, sepeda motor telah menyentuh kehidupan di lebih dari 200 juta orang. Akan tetapi, populasi tersebut bertanggung jawab atas lebih banyak daripada mobil, mengeluarkan hidrokarbon hingga 16 kali lebih banyak, karbon monoksida tiga kali lebih banyak, dan polutan lain sepanjang masa pakainya.

Dengan mengurangi keragu-raguan dan friksi serta mempercepat transisi konsumen menuju motor listrik, ia meyakinkan bahwa ION Mobility berada di posisi terdepan untuk memainkan peran penting dalam pengurangan polusi udara perkotaan dan kebisingan, ketergantungan pada subsidi bahan bakar, rantai pasokan dan pengembangan industri serta pembangunan sosio-ekonomi yang lebih berkelanjutan yang berpusat di sekitar kota-kota di seluruh Asia Tenggara.

Sumber: ION Mobility

Bisnis model ION Mobility

Chan menegaskan bahwa perusahaannya adalah produsen sepeda motor listrik yang merakit seluruh prosesnya secara mandiri, alias tidak memakai vendor manapun. Produk perdana ION Mobility sudah dilakukan sejak Juli 2020, setelah penelitian pasar yang mendalam. Berkat itu, pihaknya dapat memahami pengguna di wilayah ini lebih baik daripada pesaingnya. Disimpulkan bahwa tidak ada pilihan yang menarik bagi pengendara Asia Tenggara untuk beralih dari sepeda motor pembakaran tradisional mereka.

Dalam proses perakitan hingga selesai, pihaknya mengadopsi pendekatan full-stack, end-to-end untuk merancang, merekayasa, menguji dan merakit sepeda motor listrik kami untuk pengiriman. Ia percaya ini adalah pendekatan terbaik yang memberi fleksibilitas strategi bisnis, sambil memungkinkan pihaknya cepat beradaptasi menyesuaikan dinamika produk dan layanan untuk merespons pembelajaran pengguna pasar Asia Tenggara.

“Saya tidak percaya bahwa untuk menjadi OEM (original equipment manufacturer) harus bergantung pada vendor karena ini seperti jual-beli. Jadi kita atasi semua sendiri, kontrol sendiri semuanya makanya kita bisa berikan harga jual yang optimal. Pada akhirnya kami memilih jalan yang tersulit.”

OEM adalah istilah yang paling sering terdengar di dua industri: otomotif dan TI. Istilah ini krap dikaitkan dengan perusahaan yang memproduksi produk yang kemudian dijual kembali atau diganti mereknya oleh perusahaan lain.

Sebagai catatan, perakitan paket baterai internal dan pendukungnya dilakukan di Singapura dan Indonesia dari waktu ke waktu. Sementara untuk distribusinya dan perakitan akhir diselesaikan di pabrik ION Mobility yang berada di Cikarang, Jawa Barat.

“Kami dengan cepat tertarik pada potensi besar Indonesia dan rantai pasokan industri lainnya di kawasan ini, dan yakin akan apa yang dapat kami berikan untuk mempercepat transisi konsumen yang tak terelakkan menuju sepeda motor listrik di tahun-tahun mendatang.”

ION Mobility sendiri mengambil strategi direct-to-consumer (D2C) demi sedekat mungkin dengan konsumen, dimulai dari mass market premium. Perusahaan memanfaatkan kehadiran showroom yang berlokasi di Radio Dalam, Jakarta untuk memamerkan produknya secara offline. Ada kemungkinan untuk masuk ke platform e-commerce demi perluas cakupan konsumen.

Sumber: ION Mobility

Chan optimistis dengan konsep D2C ini. Lantaran perusahaan akan mengontrol pembiayaan produknya melalui model bisnis fintech yang dirancang untuk menangkap nilai maksimum sambil memiliki ekonomi unit positif per sepeda motor tanpa bergantung pada volume penjualan seperti yang biasanya dilakukan oleh perusahaan perangkat keras tradisional.

Dalam praktiknya, strategi diterjemahkan ke dalam kombinasi penawaran leasing dan sewa-beli yang memberikan konsumen pilihan baru dengan persyaratan yang setara dengan apa yang mereka kenal ketika mereka membeli sepeda motor pada umumnya. Sebagai bisnis yang disruptif, perusahaan perlu memiliki dan mengoptimalkan margin secara menyeluruh, sembari memberi nilai tambah untuk menawarkan pengalaman terintegrasi dan bersaing dengan petahana.

“Pada akhirnya, kami berusaha untuk menawarkan produk yang diinginkan dengan fitur cost-to-superior dan total-cost-of-ownership, yang membuat transisi keputusan beli atau tidak yang lebih baik oleh target audiens.”

Produk pertama ION Mobility adalah M1-S yang diperkenalkan di Indonesia Motorcycle Show 2022 pada 2 November-6 November 2022. Produk yang dirancang khusus untuk pasar Indonesia ini, didesain untuk menjadi futuristik namun fungsional, dengan menyeimbangkan kekuatan dan kehalusan.

M1-S mengusung motor listrik 5kW dengan tenaga puncak 12,5kW untuk memberikan pengendara akselerasi lincah 3,7 detik dari diam hingga 50 km/jam, dengan kecepatan maksimal 105 km/jam. Pelanggan dapat memulai dengan dua pilihan dua konfigurasi paket baterai tahan cuaca (48Ah atau 60Ah), yang dapat meraih jarak antara 120 km hingga 150 km di antara pengisian daya.

M1-S didesain untuk perjalanan sehari-hari, desain step-through dari M1-S menyajikan area penyimpanan di bawah kursi sebesar 26 liter, dan kabel pengisi daya terintegrasi memungkinkan pengguna untuk mengisi daya di rumah maupun di perjalanan.

M1-S dilengkapi dengan layar LCD 7 inci ultra-terang yang didukung dengan prosesor multi core, paket sensor canggih, serta memiliki sistem keamanan tanpa kunci yang dapat secara cerdas memasangkan smartphone pengguna melalui aplikasi ION Mobility.

Untuk pengisian daya listrik, perusahaan telah menjalin kemitraan dengan PLN untuk pengadaan infrastruktur pengisian daya sepeda motor bertenaga listrik dan solusi bagi pelanggan PLN, ION, dan lainnya. ION Mobility akan berkontribusi dalam pengadaan Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dengan komitmen awal 100 unit di penjuru Jakarta dan bakal berlanjut ke kota lainnya secara nasional sesuai dengan kebutuhan pasar.

Nantinya pengendara motor listrik dapat meraih jarak lebih dari 100 km dengan mengisi daya selama satu jam, jika menggunakan fitur pengisian cepat di ION M1-S. Meski sudah diperkenalkan di publik, M1-S baru akan dipasarkan pada tahun depan. Harganya juga belum diumumkan, tapi disampaikan kisaran harganya berada di bawah Rp50 juta.

Sumber: ION Mobility

Telah peroleh pendanaan

Dalam perjalanan ION Mobility, perusahaan sudah didukung dengan pendanaan dari sejumlah investor. Pada 2021, perusahaan mengumumkan penyelesaian pembiayaan awal senilai $6,8 juta. Quest Ventures dan TNB Aura memimpin putaran ini, diikuti oleh investor baru dan investor lama seperti GDP Venture, Monk’s Hill Ventures, Seeds Capital, dan 500 Asia Tenggara. Investor lain termasuk Alice Hung, CEO ION Mobility James Chan, dan CTO ION Mobility Calvin Cheng.

Kemudian pada pertengahan tahun ini mendapat tambahan dana untuk putaran pra-Seri A sebesar $2,35 juta dari TNB Aura, Quest Ventures, Seeds Capital, dan SEA Frontier Fund. Disebutkan saat ini perusahaan sedang menggalang putaran Seri A yang diharapkan segera rampung. Dana tersebut akan digunakan untuk mendanai rencana perusahaan mulai masuk ke market, menambah inventori, dan kapasitas produksinya.

Chan sendiri menyampaikan, Indonesia adalah negara pertama yang dijajal perusahaan. Namun pihaknya berambisi ingin menguasai pasar ASEAN, Thailand, Vietnam, dan Filipina akan menjadi rencana ekspansi berikutnya pada tahun depan.

ION Mobility Dapat Pendanaan Awal, Tahun Depan akan Luncurkan Sepeda Motor Listrik Pintar di Indonesia

ION Mobility hari ini (16/10) umumkan perolehan pendanaan awal senilai $3,3 juta atau setara 48,6 miliar Rupiah. Adapun investor yang masuk dalam putaran ini meliputi Monk’s Hill Ventures, TNB Aura, Village Global, 500 Startup (melalui fund 500 Durians), AngelCentral, kipleX, dan Seeds Capital.

Pada dasarnya ION Mobility adalah perusahaan pengembang motor elektrik pintar. Pintar di sini karena mereka turut tanamkan perangkat lunak kecerdasan buatan untuk beberapa tugas, seperti penghematan daya dan kemudahan penggunaan. Perusahaan ini berbasis di Singapura, Shenzhen (Tiongkok), dan Jakarta.

Co-Founder & CEO ION Mobility James Chan mengatakan, produknya menargetkan pasar di Asia Tenggara. “Belum ada merek kendaraan elektrik yang unggul di Asia Tenggara [..] Kami berkomitmen menawarkan suatu alternatif yang lebih baik, yaitu motor elektrik generasi baru, pintar, dan ramah lingkungan, dengan harga yang terjangkau.”

Dalam rilis juga disampaikan, pangsa pasar industri motor di Asia Tenggara akan mencapai $8,53 miliar di tahun 2023 nanti — pasar terbesar ketiga di dunia untuk sepeda motor setelah India dan Tiongkok. Di Indonesia sendiri, menurut data BPS per akhir 2018, jumlah sepeda motor yang beredar (resmi) mencapai 137,7 unit. Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia mencatat ada penjualan 6,05 juta unit di tahun 2019.

ION Mobility berencana untuk meluncurkan produk perdananya di Indonesia tahun 2021 mendatang. Melalui pendanaan yang didapat, mereka berkomitmen memperbesar di operasional di tiga basis wilayah yang telah dinaungi; termasuk mengembangkan kapabilitas riset dan membangun kemitraan untuk produksi dan rantai pasokan.

Di tanai air sebenarnya sudah ada beberapa produk motor listrik. Beberapa di antaranya Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

Motor listrik besutan Gesits saat dicoba Presiden Jokowi / Biro Pers Setpres
Motor listrik besutan Gesits saat dicoba Presiden Jokowi / Biro Pers Setpres

Meninjau regulasi

Di sebuah kesempatan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, dalam roadmap pengembangan industri kendaraan bermotor pemerintah menargetkan produksi tumbuh sampai 10 juta unit pada tahun 2025, dengan target ekspor minimal 1 juta unit. Dari sisi produksi dan penjualan sepeda motor nasional sejak tahun 2010 sampai 2018 telah mencapai rata-rata di atas 6,5 juta unit per tahun.

Pemerintah Indonesia juga menargetkan sekitar 20% dari total produksi nasional di tahun tersebut adalah motor listrik. “Untuk merealisasikan target tersebut, kami secara agresif mengajak para produsen otomotif agar membuka kegiatan produksi di Indonesia. Pemerintah yakin bahwa Indonesia memiliki banyak keunggulan pada sektor otomotif, sehingga target pada tahun 2030 tersebut, bukan hal yang mustahil untuk dicapai,” terangnya.

Terkait beleid, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Mengamanatkan pengaturan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai termasuk sepeda motor listrik guna meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019, salah satunya mengatur tentang super deduction tax bagi kegiatan riset, inovasi dan vokasi yang dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto sampai 200%-300%.

Kesiapan pasar

Peresmian uji coba kendaraan listrik oleh Grab / Grab
Peresmian uji coba kendaraan listrik oleh Grab / Grab

Menurut survei yang diadakan Pertamina Energy Institute, di sisi konsumen masyarakat masih meragukan kendaraan listrik. Misalnya, takut ketika sedang berada di jalan akan kehabisan daya. Alasan yang cukup wajar, karena infrastruktur pendukung kendaraan listrik di Indonesia masih sangat minim.

Selain itu, umumnya kendaraan berdaya listrik jauh lebih mahal dari pada berdaya BBM. Dari riset disebutkan, untuk mobil rata-rata 3x lipat lebih mahal dan untuk motor 1,5 kali lipat lebih mahal.

Dirjen Ilmate Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan, pemerintah tidak menampik fakta keraguan tersebut. Saat ini upaya yang dilakukan adalah meniadakan pajak daerah untuk kendaraan bertenaga listrik. Untuk pengadaan stasiun pengisian daya sendiri, ditaksirkan perlu biaya hingga 54,6 triliun Rupiah untuk per 31 ribu titik — target realisasi keseluruhan pada tahun 2030. Memang, visi kendaraan listrik harus didukung oleh ekosistem yang kuat.

Kolaborasi dengan pemain swasta juga turus digalakkan untuk percepat pengembangan ekosistem tersebut. Salah satunya dengan Grab, akhir tahun lalu perusahaan ride-hailing tersebut mengumumkan uji coba kendaraan listrik roda empat dan dua di Jabodetabek. Grab akan memanfaatkan kemitraan dengan salah satu investornya Hyundai sebagai produsen mobil lewat entitas lokal Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Astra Honda Motor (AHM), dan Gesits untuk roda empat.

PLN menjadi BUMN yang ditunjuk untuk melakukan percepatan PP 55-2019, termasuk terkait pengadaan stasiun pengisian daya. Grab adalah satu dari 20 mitra yang dipilih. Beberapa lainnya adalah Gojek, BlueBird, Transjakarta, Mobil Anak Bangsa, Build Your Dream (BYD) sebagai penyedia transportasinya.

Satu Tahun Kehadiran Layanan P2P Lending TunaiKita di Indonesia

TunaiKita, sebuah layanan peer to peer lending (P2P), sudah genap satu tahun beroperasi di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut perusahaan mengklaim terus bertumbuh, baik dari segi pengguna maupun cakupan wilayah. Pencapaian ini tidak lepas dari perkembangan industri teknologi finansial Indonesia yang pesat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk keaktifan pemerintah mengawal dan meregulasi industri.

Pada kuartal pertama tahun 2018, TunaiKita berhasil mencairkan kredit lebih dari Rp700 miliar. Di sisa tahun ini mereka menargetkan pertumbuhan 25% hingga 30% setiap bulannya.

TunaiKita menandai satu tahun kehadirannya dengan ketersediaan layanan 27 kota di Indonesia, termasuk Jabodetabek, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Pekanbaru, Batam hingga Padang. Perusahaan mengusung fitur andalan mereka, Lending Robot, yang diklaim mampu mengantisipasi penipuan, mengelola risiko kredit, dan memfasilitasi pinjaman dengan cara yang lebih transparan dan efisien.

Menurut tim Komunikasi TunaiKita Randy Halim, di tahun pertama ini mereka berhasil menurunkan kredit macet hingga 70% bagi kalangan UKM yang memiliki kapasitas untuk tumbuh lebih baik namun tidak terlayani oleh bank.

“Tanggapan para pengguna kami terhadap TunaiKita sangat luar biasa dalam tahun pertama operasi kami di Indonesia. Kami secara konsisten berada di peringkat 3 teratas untuk aplikasi keuangan gratis di Indonesia dengan cakupan layanan di 27 kota di seluruh provinsi. Saya mengaitkan keberhasilan awal kami tidak hanya dari kecanggihan Lending Robot kami yang mampu mengelola penipuan, risiko kedit dan memfasilitasi pinjaman dengan cara yang transparan dan efisien, tetapi juga berkat keringat dan kerja kertas tim kami yang terus berkembang di Jakarta dan Surabaya,” terang CEO WeCash Asia Pasifik dan TunaiKita James Chan.

Peluang P2P lending di Indonesia

Menurut penjelasan Randy, mereka melihat pasar Indonesia sangat menjanjikan karena pihaknya hadir sebagai satu-satunya pemain di industri teknologi finansial P2P lending yang membantu menyalurkan dana dari bank dan lembaga keuangan konvensional kepada mereka-mereka yang selama ini tidak terlayani oleh lembaga-lembaga tersebut.

Pihak TunaiKita meyakini masyarakat saat ini semakin mampu merangkul teknologi digital. Peningkatan penetrasi pengguna internet dan perangkat juga memicu pesatnya industri teknologi finansial di Indonesia.

Pihak TunaiKita merencanakan beberapa hal untuk terus berinovasi dan berkembang. Disebutkan dalam waktu dekat mereka akan mengombinasikan prinsip-prinsip finansial, teknologi mobile, big data dan machine learning untuk mengevaluasi kredit dan menyetujui pinjaman dengan lebih cepat dan akurat dengan memanfaatkan teknologi Lending Robot.

“Dengan Lending Robot ini, proses pengajuan kredit hingga proses persetujuan rata-rata bisa dituntaskan dalam hitungan detik saja, tergantung pada kelayakan kredit. Ke depannya, TunaiKita akan terus berinovasi untuk membuat proses persetujuan lebih cepat dan lebih efisien lagi. Kami sadar betul bahwa TunaiKita tidak bekerja sendirian. P2P lending itu bersifat gotong royong dan kami bekerja sama dengan berbagai bank dan lembaga keuangan di Indonesia supaya pelanggan dapat menikmati pinjaman yang dicairkan dalam waktu 24 jam,” tutup Randy.

Application Information Will Show Up Here

“Gotong Royong” is the Only Way for Indonesia Fintech

Ask ten thousand people when they think the Indonesian fintech industry was born, and you’re going to get as many birth date guesses as there are islands in Indonesia. Some would say it began with the release of OJK Regulation №.77/POJK.01/2016 by Otoritas Jasa Keuangan in January 2017, where Indonesia’s regulator unveiled its initial framework to regulate and facilitate the development of the fintech industry. Others would claim it began earlier, with the founding of the earliest fintech startups in the various fintech verticals of payment, remittances, crowdfunding, lending, asset management and marketplaces. And then there are others — banking and finance veterans — who try to remind us that fintech is merely the latest buzzword coming off the backs of earlier waves of digitization in banking and finance that gave us online banking over WAP before the age of smartphones.

Over the past few decades, the definition of fintech has expanded rapidly to match the relentless pace of technological progress; from the initial application of technology to the back-end of banking and finance, to its present-day portmanteau that applies innovation to the frontiers of information and communication technology, transforming financial activities for individuals and companies. With the likes of networking, computer science, computer vision, artificial intelligence, machine learning and even distributed ledger technology, we’re seeing the complete overhaul of the finance experience for individuals and companies across the realms of trade, banking, financial advisory, and in the origination, underwriting, pricing, promotion and operations of financial products.

History Repeats Itself, I-Win-You-Lose, but There Is Hope

As the Luddites of the early 18th century (1811–1816) have shown us, technology-induced disruptions in any industry tend to incite significant feelings of helplessness and despair among the disenfranchised, while exacerbating gaps in efficiency and competitiveness between those who become adept in harnessing its innovation and those who can’t. I started my career in 2006 as a policy maker specializing in the ICT industry in Singapore, became an early-stage technology venture capitalist in 2010 investing in tech startups in Southeast Asia and North America and have been a tech entrepreneur in Southeast Asia since 2013. Across all three sides of the table — initially as policy maker, industry developer and regulator, later on as investor and fund manager and most recently as entrepreneur and business leader — I have developed keen appreciation for the levels of close cooperation and ‘constructive agility’ needed between regulators, innovators and consumers to ensure that there is a sufficiently robust regulatory sandbox to give innovation room to thrive, while minimizing those that are left behind by the growing digital divide.

It is with the above in mind that I laud OJK’s invoking of Indonesia’s gotong royong kampung spirit as encouragement for greater collaboration between alternative fintech and mainstream banking and consumer finance. It is a breath of fresh air amidst antagonistic media portrayal that positions fintech companies as upstarts competing with financial institutions for customers and eroding the income of those who are slow to embrace new technologies. Ironically, some banks have even been quoted to expect regulators to level the playing field by ensuring that there is equal regulation between traditional banks and the fintech industry to ensure that banks will have no difficulty in competing with new-kid-on-the-block fintech. Among fintech players, Aidil of UangTeman has not helped matters by suggesting that the Indonesian online lending is a tragedy waiting to unfold for regulators and investors alike, thanks to the easy availability of cheap and dumb foreign capital flooding into Indonesia seeking fast and aggressive growth.

As banking, finance and fintech industries experience rising entropy, we see those among us who have chosen the easier “I-win-you-lose” narrative and focus on negatives and how our differences divide us and potentially hurt one another. I stand opposed to this regressive view and adopt the other side of the same coin, arguing instead that it is much more sensible for upstart fintech and mainstream banking and finance to seek out common ground and mutually beneficial opportunities. I am heartened to note that I am not alone in holding this view, and am at least joined by banking veterans such as Jerry Ng, President Director of Bank BTPN, who discussed the differences in operating cadence between traditional banks and fintech companies, urging both parties to leverage on their core strengths in credit scoring using unconventional data by relying on the balance sheet of banks and the data science capabilities of fintech players.

TunaiKita as Part of Indonesia’s Fintech “Gotong Royong”

As one of Indonesian regulator OJK’s forty-odd registered peer-to-peer lending platforms, TunaiKita has actively promoted our unique institution-to-peer (i2p) lending platform — the first of its kind in Indonesia — to our banking and multifinance lending partners in Indonesia. Unlike traditional crowdsourcing peer-to-peer players in Indonesia, we do not accept consumer lenders on our platform and instead work exclusively with institutional lenders such as local banks and multi-finance companies.

Our mobile app is accessible across the 27 largest cities in Indonesia, across the islands of Java; Jabodetabek as 5 cities, Bandung, Surabaya, Semarang, Kudus, Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Malang, Kediri, Jember, Gresik, Banyuwangi), Bali (Denpasar), Sumatra (Medan, Palembang, Padang, Pekanbaru, Batam), Kalimantan (Banjarmasin) and Sulawesi (Makassar, Manado, Pontianak).

Our fraud-resistant platform acquires new and repeat individual borrowers entirely via online channels through their smartphones and our mobile app, performs e-KYC to ensure their identity and provides borrowers with an accurate credit score powered by our proprietary ‘lending robot’. Individuals can then apply for loans that match their needs, backed by institutional lenders.

As a peer-to-peer loan arranger, we recommend and facilitate a loan between our institutional lenders and consumer borrowers, giving Indonesians anywhere-anytime access to unsecured consumer loans from the convenience of their smartphones, with loan amounts ranging from as low as Rp.500rb up to Rp.20mio with flexible tenures of between 10 days to 12 months. We approve and disburse loans to borrowers’ bank accounts 7 days a week within 24 to 36 hours via multiple redundant integrations with local Indonesian payment providers. We remind borrowers to repay on time and conduct respectful loan collection from overdue borrowers on behalf of our institutional lenders.

Despite being a startup in Indonesia with barely a year of operations under our belt, TunaiKita is actually a subsidiary of Wecash, a big data tech company founded in Beijing in 2013 that has since raised more than US$260 million over 4 rounds and more than 800 people across our offices in China, North America, Brazil, Singapore, India and Vietnam. TunaiKita also counts publicly-listed multi-finance company Danasupra Erapacific (IDX:DEFI) as its local minority shareholder. We have successfully commenced a lending collaboration with our first BUKU III bank earlier this year; all this while growing our Asia Pacific team to over 100 people across Singapore, Indonesia, Beijing, India and Vietnam, and climbing up the ladder to become the top free lending app in the Finance category of Indonesia’s Google Play Store since 22 May 2017.

It takes the Wecash village — comprising of our team, lending partners and tech partners — to raise the TunaiKita child. It would take everyone to embrace the gotong royong spirit (and each other) if we are to move the fintech-finance industry forward in the coming years.

Indonesia Fintech’s Four Horsemen: Fear, Uncertainty, Doubt and Greed

Yet, all our talk about collaboration in Indonesia fintech will go nowhere if we allow ourselves to be blinded by fintech-finance industry’s Four Horsemen.

Conquest, War, Famine and Death, reborn as Fear, Uncertainty, Doubt & Greed
Conquest, War, Famine and Death, reborn as Fear, Uncertainty, Doubt & Greed

Let me start with Fear.

There is a common misconception that fintech companies should have higher non-performing loan (NPL) ratios compared to traditional banks and consumer finance companies. Purporters of this fallacy fail to recognize the technological prowess of big data, machine learning and artificial intelligence to collect vastly more data and to dynamically train and tune credit models and cut-offs to achieve far better and responsive results than traditional underwriting typically conducted in mainstream financial institutions. By conflating NPL of consumer loans to that of corporate loans, or by relying on snapshot portfolio NPL instead of more indicative NPL figures via vintage analysis, we allow ourselves to be distracted by the shadows of fintech’s “high NPL” and fail to appreciate its benefits in providing greater financial access to the missing middle in the Indonesian society.

Next comes Uncertainty.

Another common misconception is that higher NPL by fintech companies relative to banks and multifinance companies’ NPL ratios equals higher risk and implies poorer credit quality and portfolio performance. Propagators of these falsehoods fail to recognize that thin-file, new-to-credit customers are inherently higher-risk and harder to acquire compared to more digitally aware, bankable consumers. Interest rates for shorter-term loans will always be higher for riskier borrowers than installment loans for borrowers with better credit scores, to account for higher loan delinquencies in those borrower segments. The NPL of any new loan portfolio with new borrower segments will always take time to stabilize as credit models get trained and underwriting improves.

And then there’s Doubt.

How could fintech companies ever identify and approve borrowers without requiring a wet (ink) signature? Indonesian banks need to comply with face-to-face Customer Due Diligence (CDD) KYC processes or fallback to biometric (face, fingerprint and/or iris scanning) protocols. How can Indonesian regulators so cavalierly permit fintech companies without greater levels of equity capitalization to perform seemingly weaker versions of e-KYC act as peer-to-peer arrangers of loans? Can Indonesian banks act as institutional lenders via fintech P2P regulatory frameworks? How would banks’ CDD KYC requirements work under P.OJK77/2016? Should peer-to-peer fintech companies be subjected to greater equity capitalization requirements than just the minimum IDR 2.5 billion OJK mandated?

There are so many questions lingering on our minds, yet so few ready answers to blow away the clouds of Doubt. Yet, if there is a will, there will be a way. You can be a doubter by the sidelines, or you can be a do-er and build this industry up, felling one doubt at a time alongside the rest of us in the fintech-finance industry.

Last but not least, we are left with Greed.

As the old saying goes, “the enemy of my enemy is my friend”. Yet, even amongst fintech players, there are some who view other peers as competitors out to starve each other of oxygen in the room. I think the fintech industry is currently far too nascent in development to focus on competing with our peers. The market is large and early enough such that we aren’t yet bumping into each others’ elbows (yet!). The finance industry is also unique in the sense that no one winner can ever take all. It behaves more like a network of centralized trust nodes. Banks lend to each other and also to multi-finance companies, while consumers borrow from different banks and multi-finance at different times for different purposes. We have also seen how a bank’s popular loan product often quickly inspires countless other me-toos by other banks.

And in other news, money is green.

This same network effect between capital, corporations and consumers is set to repeat itself in the fintech-finance industry where sharing, collaboration and frenemies should always trump outright disdain, antagonistic relationships and petty squabbles between competitors.

I’m pretty sure fintech naysayers are gleefully clapping when we fight among ourselves and jostle for favour with regulators. I have come to learn about interest groups that lobby regulators for an interest rate cap to create greater distinction between lintah darat-like payday loans and peer-to-peer platform loans. This goes against the spirit of “gotong royong”. First up, payday loans are short-term loans alongside installment loans for consumers and corporate loans for businesses, with each serving entirely different borrower segments and risk profiles. Peer-to-peer is but a mechanism of loan arrangement and co-underwriting, and can be used to facilitate loans to consumers or companies. It does not make sense to compare the two. Secondly, I do not believe it is pareto-efficient to prematurely introduce lending interest rate controls in the name of “consumer protection” from “predatory interest rates” this early in our growth curve when Indonesia will be better served in letting the market undergo several years of price discovery (just like China did) and permitting fintechs to bring thin-file, new-to-credit customers onto the SLIK system and our newly formed credit bureau databases.

Profit (or Loss) = Principal x (1 — NPL) x (1+loan interest) less Operating Expenses less User Acquisition Cost less Cost of Funds

No matter whether you are a fintech peer-to-peer arranger, a bank or multi-finance, we all operate upon the same universal formula (above). With or without enforced interest rate caps, the inherent NPL of subprime new-to-credit customers will stay the same; capping loan interest can only result in an increase in the Cost of Funds to maintain overall profitability. A clearer distinction needs to be made on consumer protection as applied to consumers as lenders and consumers as borrowers. In deliberating on consumer protection where consumers are borrowers, regulators should avoid the heavy hand of interest rate caps and focus more on consumers’ financial literacy, standardized interest calculation and fee representation by peer-to-peer platforms.

Gotong royong is the only way for Indonesia fintech. What do you think?


Disclosure: This guest post is initially written in Medium and has been republished  with permission.

James Chan is a Partner (Southeast Asia) for Wecash Global and concurrently Managing Director and Chief Executive Officer of Wecash Asia Pacific and TunaiKita (subsidiary of Wecash in Indonesia). He can be contacted at [email protected] or [email protected].

Melalui Aplikasi Berbasis “Lending Robot”, TunaiKita Targetkan Transaksi 40 Miliar Rupiah di 2017

TunaiKita, sebagai startup digital bagian Wecash Global, mengumumkan peluncuran sebuah aplikasi berupa “lending robot” –sebuah istilah untuk sistem layanan investasi otomatis peminjaman peer-to-peer—untuk layanan pinjaman tanpa agunan. Di awal peluncurannya, layanan tersebut baru tersedia untuk pengguna di Jabodetabek. TunaiKita mengungkapkan secara bertahap pihaknya akan segera berekspansi ke wilayah lainnya.

Sebelumnya startup dengan nama legal PT Digital Tunai Kita tersebut telah merilis versi beta dari aplikasinya sejak bulan Mei 2017 lalu. Sampai saat ini lebih dari 30 ribu pengguna ponsel pintar telah mengunduh aplikasi tersebut. Salah satu keunggulan yang ingin dihadirkan aplikasi ini adalah proses pengajuan peminjaman yang ringkas dengan pengalaman pengguna yang sederhana.

Untuk melakukan pengajuan pinjaman, semua proses dilakukan menggunakan aplikasi. Dimulai dengan menentukan besaran pinjaman serta jangka waktu, kemudian melakukan scan, foto diri dan pelengkapan pemberkasan lainnya, hingga pada akhirnya proses analisis dan persetujuan peminjaman.

TunaiKita ingin mencapai target transaksi pinjaman hingga 40 miliar rupiah hingga akhir tahun 2017 ini. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengakselerasi pertumbuhan transaksi ialah dengan merilis aplikasi versi iOS TunaiKita yang tengah dalam proses pengembangan. Harapannya mereka dapat menjangkau lebih banyak segmentasi pasar pengguna ponsel pintar.

“Saya mendapat informasi bahwa credit gap di Indonesia cukup mencengangkan di angka $80 miliar per tahun, jadi rencana kami mencapai Rp 40 miliar pinjaman hanya akan menutupi 1/5000 [seperlima ribu] kekurangannya. Tetap kita harus memulai ini dari mana pun. Saya berharap untuk bekerja lebih erat dengan partner institusi keuangan untuk berbuat lebih banyak ke depannya,” ujar CEO TunaiKita James Chan.

Gerak cepat co-founder untuk memaksimalkan momentum

TunaiKita didirikan oleh dua orang Co-Founder, yakni James Chan dan Andry Huzain. James memiliki pengalaman karier di bidang modal ventura dan wirausaha. Secara paralel James saat ini juga menjabat sebagai CEO Wecash Asia Tenggara dan Chief Strategy Officer Wecash Group. Sementara rekannya Andry yang bertindak sebagai COO TunaiKita sebelumnya berpengalaman di beberapa perusahaan lokal, seperti MNC Group, Detikcom, dan Lazada. Jajaran komisaris diisi Managing Director PT Kresna Graha Investama dan Group CEO Wecash.

“Enam bulan terakhir merupakan masa-masa yang dinamis untuk menjawab semua tantangan. Mulai dari proses desain, pengembangan dan pengujian aplikasi Android, hingga pengembangan aplikasi Loan Management System dari nol, serta menyiapkan tim operasi hingga siap melayani pelanggan dalam waktu sekitar 13 minggu saja. James dan saya beruntung berkesempatan memimpin tim yang luar biasa,” ungkap COO TunaiKita Andry Huzain.

Tim TunaiKita saat ini terdiri dari 34 orang dengan basis kantor di kawasan Setiabudi Atrium. Untuk bergerak cepat, selain pengembangan aplikasi, saat ini TunaiKita mengaku tengah agresif mengembangkan tim di semua lini. Dari traksi yang ada sejak peluncuran beta, pertumbuhan per bulannya diklaim mencapai 30% dari sisi pelanggan. TunaiKita benar-benar ingin menjadi Wecash-nya Indonesia.

Wecash sendiri di Tiongkok menjadi salah satu lembaga keuangan digital yang mumpuni. Saat ini pihaknya mengklaim telah memiliki lebih dari 100 juta nasabah dan bekerja sama dengan 30 lembaga keuangan seperti bank, multi-finance dan peer-to-peer platform. Induk usaha TunaiKita ini didirikan sejak tiga tahun lalu, dan saat ini telah membukukan arus pinjaman $7 miliar. Sistem yang diadaptasi dalam TunaiKita sama dengan yang digunakan WeCash.

Application Information Will Show Up Here

Layanan Fintech Tiongkok WeCash Masuki Pasar Indonesia

Layanan fintech Tiongkok WeCash, yang fokus mengembangkan produk evaluasi data kredit konsumen, pendeteksian fraud, dan pemberian pinjaman konsumsi, memasuki pasar Indonesia dengan menggandeng JAS Kapital dan Kresna Investments. Ini adalah langkah ekspansi WeCash kedua di Asia Tenggara setelah sebelumnya hadir di Singapura.

Perusahaan joint venture antara tiga pihak ini bernama PT Digital Tunai Kita (DTK) yang akan menggandeng bank dan perusahaan multifinance untuk memberikan pinjaman dengan jangkauan yang lebih luas. Secara model bisnis, DTK mirip dengan UangTeman karena sumber pendanaan pinjaman bukan berasal dari masyarakat umum.

“Kami senang dengan peluang berkontribusi di ekosistem fintech Indonesia dan bermitra dengan Kresna Investments dan JAS Kapital. Keduanya termasuk yang unggul di bidang perbankan, finansial, dan fintech,” ujar Chief Strategy Officer WeCash James Chan.

JAS Kapital adalah pengelola layanan e-money Mandiri E-Cash, sementara petualangan terbaru Kresna Investments adalah membantu grup pengelola Ranch Market (Supra Boga) mendirikan layanan online grocery KeSupermarket.

Dengan dukungan teknologi WeCash dan pengetahuan lokal JAS Kapital dan Kresna Investments diharapkan dapat mempercepat program inklusi keuangan yang digalakkan pemerintah dan menjangkau mereka yang selama ini sulit mendapatkan pinjaman langsung dari lembaga keuangan formal, seperti bank.

DTK akan dipimpin Direktur dan CEO James Chan dan COO Andry Huzain. Managing Director Kresna Investments Jahja Suryandy menjadi Presiden Komisaris DTK, sedangkan Co-Founder dan CEO WeCash George Zhi masuk di jajaran Komisaris.

Menurut Jahja, di tahun 2015 tingkat konsumsi finansial Indonesia mencapai $18.8 miliar (lebih dari 250 triliun Rupiah) dan menjadi $19.2 miliar di empat bulan pertama tahun 2016.

WeCash yang berdiri tahun 2014 telah memperoleh pendanaan total $26,51 juta (355 miliar Rupiah) dalam dua putaran.

“DTK akan membantu  kita membawa berbagai jenis layanan finansial dari mitra perbankan dan multifinance ke tangan puluhan juta masyarakat Indonesia,” tutup Co-Founder JAS Kapital Izak Jenie.

Startup Session : James Chan Dari Neoteny Labs

James Chan dari Neoteny Labs Singapore akan berkunjung ke Jakarta akhir minggu ini dan DS mengundang teman-teman startup yang ingin berkonsultasi mengenai startupnya. James Chan adalah investment manager dari Neoteny Labs, venture capital yang digawangi oleh Joi Ito yang merupakan salah satu investor awal di Twitter.

James Chan dan beberapa orang dari tim DS akan membuka sesi untuk 5 startup untuk berkonsultasi mengenai produk, design, marketing, business/monetization plan, investment dan lain-lain. Memang 5 sesi saja tidaklah cukup, namun sayangnya hanya itu saja yang kami punya terbatas oleh waktu. Dan oleh sebab itu, James akan memilih 5 startup dari semua startup yang mendaftarkan diri.

Ini merupakan kesempatan yang luar biasa untuk teman-teman startup bisa bertemu dan berbincang dengan orang seperti James, jadi jangan disia-siakan dan harus dipergunakan dengan baik 😉

Daftar melalui form di bawah ini : (Update, pendaftaran ditutup)