Xurya Umumkan Pendanaan Rp900 Miliar Dipimpin Norwegian Climate Investment Fund

Xurya, startup pengembang layanan energi surya, mengumumkan perolehan pendanaan senilai $55 juta atau setara Rp900 miliar. Putaran ini dipimpin Norwegian Climate Investment Fund yang dikelola oleh Norfund, bersama dengan Swedfund, Clime Capital sebagai pengelola SEACEF II, British International Investment (BII), dan AC Ventures.

Dengan penambahan investasi ini, total pendanaan yang telah diterima Xurya sampai saat ini telah mencapai lebih dari $88 juta (Rp1,5 triliun).

Xurya menjadi perusahaan energi terbarukan pertama di Indonesia yang mendapatkan pendanaan dari Norwegian Climate Investment Fund dan Swedfund, yaitu Development Finance Institution (DFI) dari Swedia. Selain itu putaran ini juga menjadi investasi ekuitas perdana BII di Indonesia, yang merupakan DFI dan impact investor dari Inggris. Sedangkan Clime Capital dan AC Ventures adalah investor Xurya di putaran sebelumnya.

“Dengan dukungan para investor kelas dunia ini, kami tidak hanya akan terus menghasilkan inovasi guna mendukung transisi energi nasional yang berkelanjutan, namun juga berambisi untuk menjadi perusahaan kelas dunia dalam beberapa tahun mendatang,” ujar Managing Director Xurya Eka Himawan.

Sejak didirikan pada 2018, Xurya memiliki visi  mengatasi tantangan yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dalam mengadopsi energi terbarukan, yaitu biaya pemasangan awal yang tinggi. Xurya memberikan solusi berupa model sewa PLTS atap tanpa biaya awal bagi para pelaku bisnis agar dapat beralih ke energi terbarukan dengan mudah.

Dengan model bisnisnya yang solid, pada tahun 2022 lalu Xurya mendapatkan pendanaan sebesar $33 juta dari East Ventures, Mitsui & Co., Saratoga, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), Schneider Electric, dan New Energy Nexus. Argor (Go-Ventures)juga termasuk sebagai investor tahap awal Xurya.

“Norfund antusias mendapatkan kesempatan untuk memimpin putaran investasi di Xurya kali ini. Kami memobilisasi modal swasta dan publik ke dalam perusahaan yang berkontribusi vital terhadap transisi energi di Indonesia. Investasi ini selaras dengan misi Climate Investment Fund, yaitu berkontribusi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca melalui investasi dalam sektor energi terbarukan di negara berkembang,” SVP Renewable Energy Norfund Anders Blom.

Dengan dana kelolaan berbeda, sebelumnya Norfund juga telah berinvestasi ke AwanTunai, Amartha dan Modalku dalam bentuk debt funding.

Capaian Xurya

Hingga saat ini Xurya telah memiliki lebih dari 170 PLTS yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. PLTS Xurya diklaim telah berkontribusi dalam menghindari emisi karbon sebesar 152.000 ton CO2 per tahun dan menghasilkan lebih dari 1.600 lapangan kerja hijau.

Dengan dana dari putaran investasi saat ini, Xurya diproyeksikan dapat meningkatkan lagi kontribusinya dalam penghindaran emisi karbon sebesar 370.000 ton CO2 per tahun. Xurya juga aktif sebagai anggota Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan berpartisipasi sebagai pelatih dan pakar dalam pelbagai kegiatan “training of trainers” di bidang teknis PLTS.

Pada tahun 2024, Xurya mendapatkan Sertifikasi B Corp sebagai pengakuan bahwa perusahaan telah menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan governance (ESG) dalam operasional bisnisnya.

“Target NZE tahun 2060 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan suatu target yang sangat ambisius, namun kami yakin bahwa dengan gotong-royong, kita akan dapat mencapainya. Xurya siap untuk bekerja sama dengan seluruh pihak dalam mencapai target ini,” imbuh Eka.

Di Indonesia, sejumlah startup mulai menawarkan solusi energi yang lebih ramah lingkungan. Selain Xurya, ada juga SUN Energy yang awal tahun ini juga baru membukukan pendanaan hijau dari Bank Permata senilai Rp500 miliar. Selain itu ada sejumlah nama lain seperti SolarKita, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, Syailendra Power, PowerBrain, dan beberapa lainnya.

East Ventures dan Kadin Indonesia Luncurkan “ECOVISEA”, Bantu Bisnis Hitung Emisi Gas Rumah Kaca

East Ventures dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), hari ini (06/2) resmi meluncurkan portal ECOVISEA, yang merupakan singkatan dari Emission Calculator & Visualization Southeast Asia (Kalkulator Emisi & Visualisasi Asia Tenggara).

ECOVISEA adalah platform kalkulator emisi gas rumah kaca (GRK) global berbasis web dan dapat digunakan secara gratis oleh perusahaan untuk menghitung dan mengukur dampak lingkungannya. Dalam pengembangan layanan ini, turut menggandeng WRI Indonesia sebagai knowledge partner dan Climatiq sebagai penyedia data faktor emisi berstandar global.

“Keberlanjutan telah menjadi bagian dari DNA East Ventures sejak awal berdiri. Kami senang bisa memperkenalkan ECOVISEA, alat penghitung (kalkulator) GRK berbasis web dan gratis yang dirancang untuk bisnis dan UMKM di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Diluncurkan sebagai hasil kolaborasi nyata dengan KADIN Indonesia dan WRI Indonesia, ECOVISEA merupakan bukti upaya kolaboratif dalam memanfaatkan teknologi digital, keahlian spesifik industri, dan wawasan lapangan,” ujar Partner East Ventures Avina Sugiarto.

Avina melanjutkan, “Platform inovatif ini menyederhanakan proses perhitungan karbon yang sebelumnya dilakukan secara manual sekaligus memberdayakan dunia usaha untuk mendapatkan visualisasi sumber emisi GRK mereka. Para pengguna pada akhirnya dapat mengidentifikasi strategi pengurangan emisi dengan lebih baik. Bersama-sama, kami bersemangat untuk membuka jalan menuju masa depan yang berkelanjutan, memanfaatkan kekuatan teknologi, dan secara aktif berkontribusi terhadap visi net zero yang dicanangkan pemerintah.”

Diketahui, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil emisi terbesar dengan kontribusi ~1,48 GtCO2e (gigaton karbon dioksida ekuivalen) terhadap emisi GRK setiap tahunnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya ekstra untuk memastikan kemajuan progresif dalam mencapai target Perjanjian Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius pada tahun 2050.

Penghitungan emisi oleh perusahaan terkait dampak lingkungan yang dihasilkan menjadi langkah krusial dan mendasar. Dengan melakukan hal tersebut, mereka dapat mengurangi dampak lingkungan atau membuat keputusan yang tepat untuk mencapai target keberlanjutan. Meskipun penghitungan emisi GRK bersifat krusial, banyak perusahaan di Indonesia, mulai dari usaha besar, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga startup, belum menghitung jejak karbonnya. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pengetahuan dan keahlian dalam menghitung emisi GRK.

“Inisiatif ini mencerminkan komitmen kami melalui Kadin Net Zero Hub untuk membantu perusahaan-perusahaan nasional dalam transisi menuju Net Zero Company. ECOVISEA merupakan platform yang esensial bagi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk mengukur dan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka. Kami yakin bahwa ECOVISEA akan memainkan peran penting dalam memungkinkan perusahaan-perusahaan nasional secara kolektif mencapai target pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai Emisi Nol Bersih pada tahun 2060,” sambut Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta W. Kamdani.

Cara kerja ECOVISEA

ECOVISEA dirancang untuk menghitung emisi yang dihasilkan perusahaan berdasarkan tiga cakupan berikut:

  • Emisi langsung dari sumber yang dimiliki atau dikuasai perusahaan, seperti pembakaran stasioner, emisi fugitive, pembakaran bergerak, emisi proses, dll.
  • Emisi tidak langsung dari pembangkitan energi yang dibeli, seperti pembelian listrik, panas atau uap, dll.
  • Semua emisi tidak langsung lainnya dari rantai nilai perusahaan, baik dari rantai nilai hulu maupun hilir.

Dua faktor emisi di atas disediakan Climatiq, mesin penghitung karbon berstandar global dan mematuhi GHG Protocol dan ISO 14067. Untuk versi saat ini, ECOVISEA dapat mendukung para perusahaan dalam menghitung cakupan 1, 2, dan beberapa bagian dari cakupan 3. Versi lengkap akan diluncurkan pada paruh pertama tahun 2024.

ECOVISEA didesain untuk memprioritaskan kebijakan privasi data perusahaan yang diunggah ke dalam platform ini; hanya akan digunakan untuk menghitung emisi GRK perusahaan. Platform ini akan menyimpan data yang diunggah pengguna secara sementara untuk pembuatan dasbor sebagai hasil penghitungan emisi GRK perusahaan.

“Kami percaya bahwa demokratisasi pengetahuan tentang penghitungan emisi yang akurat dapat memberikan kontribusi yang signifikan  terhadap upaya dekarbonisasi industri di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menyederhanakan proses input data guna membantu perusahaan mengatasi tantangan dalam memperkirakan emisi mereka secara tepat karena penyajian data dan prosedur entri data sering kali rumit,” ujar Country Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi.

Apa itu Bisnis Upcycling dan Manfaatnya?

Upcycling, dalam konteks bisnis, merujuk pada proses mengubah bahan atau produk yang tidak lagi digunakan atau dianggap sebagai limbah menjadi produk baru dengan nilai yang lebih tinggi atau berkualitas lebih baik. Proses ini tidak hanya melibatkan daur ulang, tetapi juga memperkaya atau meningkatkan nilai estetika dan fungsional dari bahan asli.

Dalam praktik bisnis upcycling, objek-objek yang telah dilupakan atau dianggap tidak berguna diubah menjadi produk yang berbeda dan lebih berguna, seringkali dengan penambahan desain kreatif atau inovasi fungsional. Misalnya, ban bekas dapat diubah menjadi furnitur taman yang elegan, atau kain sisa dari industri tekstil dapat diubah menjadi pakaian atau aksesori mode yang unik.

Bisnis upcycling berfokus pada keberlanjutan dan tanggung jawab lingkungan. Dengan meminimalkan pembuangan limbah dan mengurangi kebutuhan akan sumber daya baru, upcycling memberikan alternatif yang ramah lingkungan dibandingkan dengan produksi konvensional. Selain itu, upcycling seringkali menggabungkan unsur-unsur desain kreatif dan inovasi, yang menambah nilai artistik dan komersial pada produk akhir.

Pada dasarnya, bisnis upcycling merupakan gabungan dari kepedulian lingkungan, inovasi, dan kreativitas, yang tidak hanya menghasilkan keuntungan ekonomi tetapi juga berkontribusi pada solusi yang berkelanjutan untuk tantangan lingkungan.

Foto oleh Krizjohn Rosales

Manfaat Upcycling

Manfaat upcycling dalam konteks bisnis dan lingkungan sangat beragam, mencakup aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial:

  1. Reduksi Limbah: Upcycling membantu mengurangi volume limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir atau incinerator. Dengan mengubah barang-barang yang tidak terpakai menjadi produk baru, upcycling mengurangi kebutuhan untuk membuang barang tersebut.
  2. Penghematan Sumber Daya: Proses upcycling mengurangi kebutuhan akan sumber daya baru. Hal ini penting untuk melestarikan sumber daya alam yang terbatas dan mengurangi dampak lingkungan dari penambangan dan pengolahan bahan mentah.
  3. Pengurangan Emisi Karbon: Dengan menggunakan bahan yang sudah ada, upcycling dapat mengurangi emisi karbon yang terkait dengan produksi barang baru, termasuk emisi dari proses manufaktur dan transportasi.
  4. Inovasi dan Kreativitas: Upcycling seringkali memicu inovasi dan kreativitas. Ini menciptakan peluang untuk desain unik dan produk yang menarik yang tidak bisa ditemukan dalam produksi massal.
  5. Pemberdayaan Komunitas: Inisiatif upcycling dapat memberdayakan komunitas lokal melalui penciptaan lapangan kerja dan pengembangan keterampilan. Proses ini seringkali melibatkan kerajinan tangan dan teknik tradisional yang mendukung keberlanjutan budaya dan ekonomi lokal.
  6. Kesadaran Lingkungan: Bisnis upcycling mempromosikan kesadaran lingkungan dan konsumsi bertanggung jawab. Ini mengajak konsumen untuk memikirkan kembali tentang konsumsi dan dampak lingkungan dari kebiasaan pembelian mereka.
  7. Peningkatan Nilai Ekonomi: Upcycling dapat menambah nilai ekonomi ke barang yang sebelumnya dianggap tidak berharga. Produk-produk yang dihasilkan seringkali memiliki nilai jual yang lebih tinggi karena unik dan berkelanjutan.
  8. Dukungan terhadap Ekonomi Sirkular: Upcycling adalah komponen penting dari ekonomi sirkular, di mana produk dan bahan dipertahankan dalam siklus penggunaan selama mungkin, mengurangi kebutuhan akan produksi dan konsumsi yang berlebihan.

Daftar Brand yang Bergerak di Sektor Upcycling

Ada brand yang bergerak di bidang upcycling di Indonesia, antara lain:

  1. Sare Studio: Brand homewear yang menggunakan material berkelanjutan, termasuk serat LENZING™ ECOVERO™ dari kayu yang tersertifikasi dan sustainable. Mereka juga memiliki sertifikasi EU Ecolabel.
  2. Popsiklus: Popsiklus adalah brand lokal Indonesia yang berfokus pada upcycling, mengubah bahan-bahan bekas menjadi barang fungsional yang artistik. Didirikan oleh Kurniati Rachel Sugihrehardja (Nia), Popsiklus memulai perjalanannya dengan nama ‘Bikinbikincraft’ sebelum berganti nama menjadi Popsiklus.
  3. Osem: Brand fashion lokal yang menerapkan konsep less or zero waste, menggunakan sisa kain produksi dan pewarna alami dari tumbuhan Indigofera Tinctoria.
  4. Sukkha Citta: Menerapkan pewarnaan 100% natural dye dan berfokus pada pemberdayaan pengrajin lokal. Mereka juga menekan pembuangan sisa kain tekstil dengan mengolahnya kembali menjadi packaging.
  5. Pijak Bumi: Brand footwear yang menggunakan material alami seperti serat kenaf, ban bekas yang didaur ulang, kulit kelapa, dan katun organik.
  6. Setali Indonesia: Didirikan oleh penyanyi Andien Aisyah, brand ini menggunakan konsep “Reuse, Repair, Recycle” untuk mendaur ulang sisa kain.
  7. Imaji Studio: Menerapkan konsep zero waste pada semua produk mereka, termasuk aksesori dan pakaian, dengan menggunakan kain tenun yang mengandung serat alami.
  8. Rentique: Menawarkan alternatif mode yang lebih berkelanjutan dengan layanan sewa pakaian, mendukung gaya hidup sustainable.

Startup Report 2022 Soroti Perlambatan Investasi, PHK, hingga Potensi Sektor Hijau

DSInnovate kembali menerbitkan laporan tahunan Startup Report 2022 dengan tajuk “Toward More Sustainable Startup Ecosystem in Indonesia”. Laporan ini menyoroti sejumlah peristiwa penting yang mewarnai dinamika industri startup Indonesia di sepanjang 2022. Salah satunya adalah langkah efisiensi industri startup di mana sebanyak 20 startup tercatat melakukan layoff tahun lalu. Berikut rangkumannya:

Gejolak industri hingga tren pendanaan

Menurut laporan AsianNikkei, transaksi pendanaan di Asia Tenggara melambat di 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dipicu oleh situasi geopolitik yang berdampak terhadap investasi di kawasan ini.

Situasi perekonomian yang tidak menentu menyulitkan founder startup untuk mencari modal dalam mengembangkan bisnisnya, tidak seperti di 2021 di mana total nilai pendanaan meroket menjadi $25,75 miliar.

Berdasarkan laporan ini, total sebanyak $4,2 miliar dari 260 transaksi pendanaan mengalir ke industri startup Indonesia di sepanjang 2022. Jumlah tersebut turun dari tahun sebelumnya yang $6,9 miliar meski jumlah transaksinya lebih rendah sebanyak 214.

Sumber: Startup Report 2022

Dirinci berdasarkan akumulasi nilai, fintech menjadi sektor dengan pendanaan terbesar, yakni $1,71 miliar, diikuti OTA (Traveloka) sebesar $300 juta, dan agritech $229,9 juta. Dari sisi jumlah transaksi pendanaan, sektor fintech tetap mendominasi dengan 29 transaksi, diikuti agritech (15), dan social commerce (11).

Laporan ini juga menemukan sebanyak 34 aksi merger and acquisition (M&A) atau naik dua kali lipat dari 2021. M&A terbanyak berasal dari sektor fintech, beberapa di antaranya adalah (1) Xendit dan Bank Sahabat Sampoerna, (2) Komunal dan BPR (Kediri), (3) FinAccel Teknologi dan Bank Bisnis Internasional.

Terlepas dari itu, e-Conomy SEA oleh Google, Bain & Company, dan Temasek pada 2022 justru menunjukkan tren positif di mana ekonomi digital Indonesia diprediksi mencapai $77 miliar di 2022, dan mencapai $130 miliar di 2025.

“Saat ini, kita berada di tengah siklus ekonomi global baru yang mengharuskan kita untuk melakukan penyesuaian pada manajemen risiko, valuasi exit, dan capital deployment. Namun, perekonomian Indonesia yang resilien dan fundamental yang kuat justru membawa kita ke lintasan pertumbuhan tinggi, dan kita bersemangat untuk menjadi bagian dari itu,” tutur Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Tren 2023

Laporan ini turut menampilkan proyeksi tren di sepanjang 2023 pada tiga sektor terpilih, yakni green tech, healthtech, dan embedded finance.

1. Green Tech

DSInnovate melihat ada pertumbuhan signifikan pada pelaku startup hijau di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission di 2060, pemerintah tengah mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong pengembangan inovasi di sektor hijau dan berkelanjutan.

Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat 39 startup yang berasal dari empat kategori besar antara lain food/trash/waste management, carbon print/credit, electric vehicle, dan new energy. Selain itu, DSInnovate melihat tren sektor hijau di Tanah Air terefleksi dari meningkatkan investasi VC ke startup di sektor terkait. Tercatat sebanyak 15 transaksi pendanaan diumumkan di 2022, bertambah dari 5 transaksi di 2021, dan 2 transaksi di 2020.

Menurut riset Southeast Asia’s Green Economy 2022 oleh Temasek and Bain & Company, saat ini investasi yang mengalir ke sektor hijau Indonesia masih didorong oleh korporasi. Paling banyak investasi dikucurkan korporasi untuk pengembangan energi terbarukan (EBT), sedangkan PE/VC paling banyak mengucurkan pendanaan ke sektor mobility, solar, dan sustanaibaility.

“Menurut pengalaman saya sebagai angel investor di area ini, sulit bagi investor untuk terlibat dalam pendanaan terlepas dari modal besar yang diperlukan startup untuk mengembangkan inovasi dan meningkatkan skala bisnis mereka. Startup di sektor hijau biasanya butuh waktu lama untuk return dibandingkan startup teknologi lain. Ketidakpastian kebijakan dan regulasi memengaruhi pengembangan inovasi hijau bagi startup tahap awal. Bahkan sulit bagi VC untuk memprediksi return investasi secara akurat,” tutur Co-Founder dan Managing Partner Jawara Ventures Alfred Boediman.

2. Embedded finance

Sektor fintech Indonesia terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir, dan telah berada di maturity level yang tinggi. Potensinya pun masih besar mengingat populasi unbanked dan underbanked di Indonesia masih sangat besar, dengan total akumulasi 90 juta dari kedua segmen tersebut.

Dalam laporan ini, DSInnovate mengamati perkembangan teknologi di bidang keuangan tak lagi berpusat pada sektor pembayaran digital. Setelah era open finance dan open banking (meski terbilang masih relatif baru), kini tren embedded finance mulai berkembang di Indonesia.

Sumber: Startup Report 2022

Embedded finance memungkinkan perusahaan non-keuangan untuk mengintegrasikan layanan keuangan mereka tanpa perlu membangun infrastruktur dari awal atau mengajukan lisensi layanan terkait. Embedded finance memampukan setiap bisnis untuk mengelola dan menawarkan layanan keuangan, mulai dari pembayaran, debit, asuransi, hingga investasi, ke dalam layanan intinya.

Saat ini, ada enam startup indonesia yang tercatat mengembangkan layanan open finance dan embedded finance, seperti Ayoconnect dan Digiasia Bios.

3. Healthtech

Pandemi Covid-19 telah membuat industri kesehatan berada dalam sorotan utama selama tiga tahun terakhir. Krisis kesehatan dunia ini telah membuka mata Indonesia tentang peran digitalisasi terhadap perbaikan industri kesehatan.

Permasalahan usang, seperti biaya berobat yang mahal dan tidak meratanya fasilitas kesehatan, berupaya diatasi dengan berbagai inovasi kesehatan. Di 2020, Kementerian Kesehatan mencatat rasio dokter hanya 03,8 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur rumah sakit sekitar 1,2 per 1,000 populasi.

Dalam dua tahun terakhir, industri healthtech tercatat memperoleh investasi sebesar $107,9 juta dari total akumulasi $231,7 juta pendanaan yang didapat selama delapan tahun terakhir di sektor ini.

Dalam laporan ini, DSInnovate menyoroti bagaimana Kementerian Kesehatan mengambil langkah progresif dengan menerbitkan peta jalan transformasi kesehatan 2020-2024, menunjukkan dukungan pemerintah untuk merevolusi industri kesehatan Tanah Air dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Platform Satu Sehat, bagian utama dari transformasi ini, akan menghubungkan seluruh data layanan kesehatan dari hulu ke hilir. Pemerintah juga menerbitkan kebijakan yang akan memudahkan proses pertukaran data kesehatan dan pengembangan teknologi di bidang kesehatan.

Selengkapnya, unduh Startup Report 2022 di sini.

Waste4Change Teken Proyek Pengelolaan Sampah Senilai Rp250 miliar

Startup waste management Waste4Change menggencarkan kerja sama investasi dengan berbagai pihak untuk mendorong proyek pengelolaan sampah berbasis teknologi. Maka itu, Waste4Change mengumumkan kerja sama pengelolaan sampah dengan tujuh perusahaan dengan estimasi nilai proyek sebesar Rp250 miliar.

Kerja sama ini diteken melalui penandatangan MoU dengan PT Samudera Indonesia Tbk, PT Alam Bersih Indonesia, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Sinar Mas Land, Basra Corporation, rePurpose Global, dan Freepoint Commodities.

“Dana ini akan berguna untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah di berbagai area. Harapan saya, Waste4Change bisa terus bertumbuh dan menjadi partner yang tepat untuk mengembangkan investasi hijau di bidang persampahan,” ujar Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano dalam peresmian RPM Waste4Change Bekasi 2.0, Rabu (8/3).

Sano, sapaan akrab dari Junerosano, menuturkan penanganan masalah sampah perlu kolaborasi dan kontribusi dari semua pihak. Stakeholder yang hadir di sini adalah bagian dari solusi untuk bekerja sama menangani sampah dari hulu ke hilir. Oleh karenanya, perlu membuka diri sebesar-besarnya untuk investasi yang lebih hijau demi mereformasi bidang persampahan di Indonesia.

Ia menuturkan, perusahaan telah membuat rencana sepuluh tahun untuk mengeksplorasi opsi potensial lainnya di masa depan. Di usia yang ke-8 ini, Waste4Change akan memantau gelombang baru e-waste, yang bersumber dari limbah kendaraan elektrik, seperti baterai yang adopsinya sudah mulai terasa.

“Tiap sepuluh tahun, kami membuat diferensiasi opsi. Selain e-waste, kami lihat pengelolaan sampah yang spesifik, misalnya furnitur yang sebenarnya ada aturannya. Pengelolaan limbah biodiesel mulai kami riset bersama SinarMas. Sekarang kami masih matangkan sampah rumah tangga di tahun ke-8 ini.”

Seremonial Peresmian RPM Waste4Change Bekasi oleh Perwakilan AC Ventures, Pemerintahan kota Bekasi, dan Deputi Kementerian Investasi / Waste4Change

Tak mengumumkan MoU, dalam kesempatan yang sama, Waste4Change juga meresmikan Rumah Pemulihan Material (RPM) Waste4Change 2.0 yang sudah disertai dengan teknologi terbaru: mesin pemilahan sampah dan pengintegrasian teknologi digital untuk memantau dan merekam aliran pengolahan sampah. Saat ini Waste4Change memiliki lima RPM yang tersebar di Bogor, Bekasi, Sidoarjo, Bali, dan Bandung.

Inovasi ini merupakan salah satu realisasi usai merampungkan pendanaan Seri A dari AC Ventures, PT Barito Mitra Investama, dan sederet investor lainnya pada akhir tahun lalu. Dengan inovasi baru, di lokasi RPM ini diklaim mampu mengurangi residu sampah dari 65% menjadi 10%. Kapasitas pengelolaan sampah pun juga naik dari 18 ton menjadi 22 ton per harinya.

Berikut daftar mesin pemilahan sampah otomatis milik Waste4Change:

  1. Conveyor untuk memindahkan material agar lebih mudah dipilah (anorganik dan residu benda keras dan berserat)
  2. Gibrig untuk memisahkan material plastik daunan dan bubur organik (untuk bsf)
  3. Centris untuk plastik daunan dari gibrig masuk ke centris. Fungsinya sebagai pengering (output kering dan organik yang masih menempel)
  4. Blower untuk menyedot material plastik output dari sentris ke stage
  5. Mesin cacah plastik dari stage menjadi fluff

“Kami akan terus tambah lokasi dan kerja sama dengan berbagai titik, di antaranya ke Cilegon, Tangerang, dan perluas Sidoarjo. Walau kecil-kecil titiknya ini sesuai dengan target kami Waste4Change untuk mengolah 5% sampah di Indonesia, atau 10 ribu ton per hari. Angka itu sama saja dengan total sampah di lima kota besar.”

Investasi hijau

Pengelolaan sampah termasuk ke dalam daftar prioritas investasi hijau yang ditetapkan Kementerian Keuangan, dengan target penerapan blended finance menyasar pembangunan infrastruktur sektor-sektor dengan angka multiplier effect terbesar. Diharapkan target ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan adopsi teknologi hijau.

Sayangnya, sebesar 40%-50% pembangunan TPST dan TPS3R tidak terawat dan sanitary landfill kembali menjadi tempat pembuangan sampah akibat skema pembiayaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, dibutuhkan reformasi dalam retribusi persampahan yang memungkinkan penanaman modal secara berkelanjutan dan juga regulasi yang memastikan investasi di infrastruktur pengelolaan sampah menjadi lebih optimal.

Direktur Perencanaan Infrastruktur, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal Moris Nuaimi menuturkan Kementerian investasi masih menyempurnakan regulasi mengenai investasi persampahan dan ini butuh pertimbangan yang matang. Di satu sisi kesempatan investasi hijau dan kesiapan pihak penerima menjalankan kepercayaan tersebut sudah terbentuk dengan baik. Inisiasi mandiri dan upaya dari pihak swasta, salah satunya Waste4Change, dapat menguatkan sumber pendanaan dari banyak aliran.

“Terlebih, jika kita ketahui, pemerintah daerah dan investor sudah bersedia memfasilitasi. Ini adalah contoh yang bisa ditiru oleh pihak pemerintah daerah lain dan penyedia layanan pengelolaan sampah lainnya untuk bergerak lebih gesit dalam menggali lebih banyak investasi hijau untuk dapat mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih berkelanjutan,” katanya.

Investasi hijau untuk sektor persampahan dapat dilakukan untuk membantu penanganan sampah. Caranya, melalui peningkatan infrastruktur atau fasilitas dan peralihan sumber daya serta mewujudkan penyelenggaraan ekonomi melingkar yang difokuskan untuk mengurangi timbulan sampah sedari awal.

Survei Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) pada 2021 menyebut, aset investasi hijau di negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan hingga $30,7 triliun. Dibutuhkan total investasi sebesar $18 miliar di bidang teknologi, dan $22 miliar di bidang jasa pada rentang tahun 2017 hingga 2040 untuk mengatasi tantangan dalam mengubah praktik business-as-usual menuju Skenario Perubahan Sistem pada pengelolaan sampah dan daur ulang yang efektif berdasarkan laporan NPAP.

Angka tersebut memungkinkan harapan untuk dapat menangani masalah sampah yang ada. Peran aktif investor dan pemilik modal sangat penting dalam mengarahkan pelaku bisnis untuk lebih tanggap dalam melihat peluang bisnis hijau yang selaras dengan alam, salah satunya persampahan.

Tur RPM 2.0 bersama bersama perwakilan Kementerian Investasi / Waste4Change

Faktanya, menurut data Systemiq & Delterra di tahun 2022, 97% pendanaan sampah di Indonesia masih mengandalkan iuran sampah dari rumah ke rumah (door-to-door fee collection). Sedangkan negara yang lebih maju sudah meninggalkan metode tersebut dan beralih pada iuran sampah sebagai pajak dan iuran sampah yang termasuk pada biaya langganan utilitas.

Beberapa hal terkait dukungan pengelolaan sampah tentu perlu ditingkatkan, baik dari segi teknis maupun pembiayaan. Mengurangi aktivitas membakar dan mengubur sampah, menjalankan TPS 3R dan fasilitas pengelolaan sampah lainnya secara cermat dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya retribusi sampah, adalah hal yang bisa mulai ditingkatkan. Dalam hal ini pemerataan fasilitas bukan lagi masalah utama, tapi bagaimana memastikan fasilitas pengelolaan sampah berjalan optimal.

“Iuran sampah di area perumahan itu baru bisa comply di harga Rp60 ribu per bulan, tapi karena regulasinya enggak ketemu, biasanya ditawar hingga Rp25 ribu. Perumahan elit di Jakarta Selatan dengan harga Rp3 miliar saya rasa sanggup bayar iuran segitu. Tapi ini tidak masuk karena jadi sulit bagi kami untuk menyejahterakan para pekerja informal.”

Untuk mengimbangkan dari sisi sosial dengan bisnis, Waste4Change kini mengimplementasikan strategi inovative waste credit dan blended financing. Waste credit adalah upaya mendukuung usaha produsen dalam mendaur lebih banyak sampah di Indonesia. Konsepnya persis sama dengan carbon credit, yang mana karbon dioksida yang dihasilkan dari suatu kegiatan harus dibayar dengan menyerap kembali karbon tersebut.

Untuk sampah, bisa diproses menjadi RDF yang berguna sebagai energi pada pabrik pembuatan semen. Salah satu material sampah yang diolah adalah multilayer plastic (MPL) packaging atau sering disebut saset.

Adapun untuk blended finance merupakan penggunaan strategis keuangan pembangunan untuk mobilisasi keuangan tambahan terhadap pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Blended finance menarik modal komersial ke arah proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sambil memberikan pengembalian hasil kepada investor.

Tantangan dan Peluang Pertumbuhan “Green Startup” di Indonesia

Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.

Membangun ekosistem

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.

Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

“Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency,” kata Jonathan.

Tantangan menemukan talenta

Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.

Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.

Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science – MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.

“Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya,” kata Jonathan.

Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.

Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.

Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.

Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.

“Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar,” kata Jonathan.

Fokus Ecoxyztem

Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

“Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia,” kata Jonathan.

Fokus Powerbrain Dapatkan “Green Fund” dan Populerkan Teknologi Efisiensi Energi

Salah satu fakta yang masih terjadi di lapangan saat ini adalah masih kurangnya pemahaman dan cara yang lebih efektif untuk bisa menghemat energi. Dalam hal ini sebagai platform yang fokus kepada efisiensi energi, Powerbrain mencoba memberikan solusi untuk mampu memangkas biaya listrik menjadi lebih rendah, khususnya pada bangunan skala besar.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Powerbrain Irvan Farasatha mengungkapkan, jika awalnya mereka menargetkan gedung dengan skala yang beragam, kini fokusnya lebih banyak ke gedung besar seperti mal, perkantoran, hingga pabrik. Hal ini tidak terlepas dari revenue yang didapatkan dalam satu proyek jika mampu mengelola efisiensi energi.

Meskipun masih sulit untuk mempromosikan layanan dan teknologi mereka kepada target pengguna, namun tim di Powerbrain yakin, dengan konsep yang mereka tawarkan, bisa menarik perhatian lebih banyak pemiliki gedung hingga pabrik untuk bisa menerapkan SOP khusus untuk penghematan energi.

“Sebenernya dari pasar masih skeptik respons yang kami terima, terutama yang menjadi hambatan adalah harga listrik di Indonesia termasuk murah dibandingkan negara seperti Singapura. Dengan alasan itulah Powerbrain kemudian menyasar kepada bangunan besar, dan kita lihat sistem untuk cooling saat ini tidak terlalu sophisticated menjadi peluang bagi kita,” kata Irvan.

Potensi sektor energi di Indonesia

Meskipun saat ini di Indonesia belum terlalu banyak digaungkan penerapan renewable energy dan energy efficiency, namun jika dilihat dari tren yang sudah terjadi di negara lain, ke depannya akan semakin banyak inisiatif dari kalangan startup hingga pihak terkait lainnya untuk kemudian memberikan kontribusi kepada sektor energi.

Saat ini sedikitnya sudah ada beberapa platform yang fokus kepada renewable energy. Di antaranya adalah SolarKita, Xurya, Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

“Kami sebagai platform yang fokus kepada efisiensi energi melihat, meskipun pemain masih sedikit tapi internal rate of return (IRR) jauh lebih besar dalam kasus energi akan sedikit rendah IRR. Untuk renewable energy menjadi menarik karena jadi bisa cepat balik modal untuk investor. Itulah kenapa dalam waktu dua tahun terakhir makin banyak platform yang fokus kepada sektor ini,” kata Irvan.

Disinggung apakah produk dan layanan dari Powerbrain dan pemain serupa lainnya dapat mengganggu PLN sebagai perusahaan milik pemerintah yang menyediakan energi kepada seluruh lapisan masyarakat, menurut Irvan meskipun bersinggungan, namun apa yang mereka tawarkan tidak mengganggu bisnis dari PLN. Meskipun saat ini belum ada regulasi khusus untuk energy efficiency, namun kabarnya mereka telah mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Di Powerbrain kita lebih bermain di energy efficiency bukan di renewable energy. Solar panel salah satu yang kita kerjakan, tapi kebanyakan untuk efisiensi di bangunan. Misalnya efisiensi AC, heat pump, pemanas air, dan lainnya. Jadi tidak bersinggungan dengan PLN secara langsung,” kata Irvan.

Tercatat saat ini Powerbrain mampu memangkas pengeluaran di mal, pabrik dan lainnya hingga 20-30%. Selain memberikan konsultasi, Powerbrain juga membuat desain hingga melakukan konstruksi kepada pemilik gedung dan bangunan lainnya.

“Di awal kita menargetkan kepada bangunan small to medium, namun karena kebanyakan di gedung tersebut tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeliharaan, proses edukasi kemudian menjadi lama, di sisi lain pengeluaran juga kecil. Sekarang kita fokus kepada bangunan yang lebih besar sebulan satu proyek, namun bisa mendapatkan growth yang signifikan,” kata Irvan.

Powerbrain menawarkan solusi smart energy management melalui perangkat IoT (termasuk sensor), automation software untuk memaksimalkan utilisasi energi dan menghemat biaya opex, serta aplikasi berbasis web dan mobile untuk memantau dan melacak konsumsi listrik.

Pendanaan “green fund”

Didirikan pada tahun 2020, inisiatif ini berawal dari kecemasan akan isu pemanasan global. Dengan menggabungkan teknologi dan solusi finansial melalui Smart Energy Management, Powerbrain fokus menjangkau bisnis efisiensi energy untuk menjawab kebutuhan manajemen energi pada suatu bangunan di Indonesia yang belum terpenuhi.

Karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk bisa melakukan satu proyek, fokus dari Powerbrain saat ini adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan mitra yang bisa menghubungkan mereka kepada pendanaan Green Fund. Menurut Irvan akan menjadi ideal jika mereka terlibat dalam pendanaan tersebut, meskipun investasi dari investor seperti venture capital juga masih menjadi peluang terbaik.

“Saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang menawarkan pendanaan konsep tersebut, namun belum banyak di antara mereka yang bersedia memberikan pendanaan dalam jumlah besar. Mereka juga kebanyakan belum terlalu matang dalam hal pemahaman, dibandingkan dengan lembaga di luar negeri,” kata Irvan.

Karena masih belum banyak investor yang melirik sektor renewable energy dan energy efficiency seperti Powerbrain, sebagai entitas menjadi lebih ideal jika ke depannya bisa mendapatkan pendanaan dari lembaga atau impact fund hingga green fund dari luar negeri.

Bulan Juni tahun ini Powerbrain telah mengantongi pendanaan tahap awal dari Achmad Zaky Foundation (AZF). Tidak disebutkan berapa nilai pendanaan yang disalurkan, namun ini merupakan langkah awal organisasi non-profit yang didirikan Co-Founder Bukalapak Achmad Zaky untuk berinvestasi di sektor impact.

Ke depannya menurut Irvan akan semakin banyak startup yang bermain di sektor ini. Bukan hanya di renewable energy, namun juga layanan dan produk lainnya seperti penyediaan baterai untuk skala kecil hingga besar. Di sisi lain electric vehicle (EV) juga akan makin banyak dilirik oleh pengembangan teknologi lokal hingga asing. Dan sebagai perusahaan, Powerbrain pun tertarik untuk menghadirkan charging station untuk motor listrik.

“Ke depannya kita mempersiapkan bukan hanya energi efisiensi tapi energi transisi, menggabungkan software ke arah energi dari segi automation. Saat ini fokus kita energi efisiensi, ke depannya electric vehicle tapi lebih ke charging station. namun masih dalam tahapan perencanaan,” kata Irvan.

Fokus Bisnis dan Rencana Penggalangan Dana Surplus Indonesia

Saat ini Surplus sudah mengalami pertumbuhan yang positif sebagai sebuah food waste prevention app. Tahun 2022 dijadikan momentum khusus bagi perusahaan untuk bergerak maju, menghadirkan layanan dan produk yang relevan kepada target pengguna. Sekaligus membantu lebih banyak industri terkait untuk mengurangi laju food waste mereka.

Kepada DailySocial.id, CEO Surplus Indonesia Muhammad Agung Saputra menyampaikan rencana Surplus Indonesia. Mulai dari merampungkan penggalangan dana tahapan awal, memiliki gudang, dan menambah jumlah merchant.

Pertumbuhan bisnis positif

Jika saat awal muncul Surplus masih harus melakukan edukasi kepada merchant dan pengguna, saat ini perusahaan mengklaim sudah cukup nyaman dengan kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh target pengguna. Meningkatnya awareness generasi muda untuk mengikuti gaya hidup sehat dan fokus kepada lingkungan menjadi benefit tersendiri bagi perusahaan saat ini.

Dari sisi merchant yang saat ini banyak berasal dari bakery, kafe, restoran, hingga hotel, yang awalnya mereka masih enggan untuk bermitra, kini mereka justru memiliki SOP khusus untuk Surplus. Dengan kolaborasi tersebut beberapa mitra bahkan mampu untuk menekan laju food waste atau stok produk mereka hingga 80%. Hal tersebut yang kemudian menjadi kebanggaan tersendiri bagi Surplus, yang juga telah menjadi katalis bagi industri F&B untuk pengelolaan food waste mereka.

Untuk bisa mendapatkan merchant dari jaringan hotel dan restoran, menurut Agung dibutuhkan proses yang cukup panjang dan penuh tantangan. Sempat mengalami kendala di awal, namun saat ini mulai banyak hotel dan restoran yang memutuskan untuk bergabung dengan Surplus.

“Proses untuk mendapatkan decision maker di mall atau jaringan hotel/restoran tidak mudah. Apalagi ini adalah hal yang baru, namun ketika mulai banyak jaringan hotel yang telah bergabung, kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka,” kata Agung.

Tercatat saat ini Surplus telah memiliki sekitar 100 ribu unduhan aplikasi dan 2 ribu merchant lebih yang tersebar di 11 kota seperti Jabodetabek, Bandung, Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, hingga Bali. Jika dulunya mereka yang menjemput bola, kini dengan word of mouth di kalangan mitra, mulai banyak mitra yang kemudian menawarkan diri langsung untuk bergabung di ekosistem Surplus.

Jaringan hotel seperti The Ascott Limited, ARTOTEL Group, dan Swiss-Belhotel International telah menjadi bagian dari Surplus. Sudah ada sekitar 100 hotel yang menjalin kerja sama strategis dengan Surplus. Ke depannya Surplus juga ingin merangkul lebih banyak pemain FMCG hingga ritel untuk memanfaatkan layanan dan teknologi dari Surplus.

Untuk pengiriman Surplus masih mengandalkan layanan dari GrabExpress dan GoSend. Namun untuk melancarkan kampanye mereka untuk lebih peduli kepada lingkungan, pilihan Ambil Sendiri di lokasi layanan F&B terdekat, juga makin agresif mereka lancarkan.

“Kami mencatat saat ini pelanggan terbanyak adalah dari generasi muda seperti gen Z dan milenial. Mereka adalah generasi yang sudah memiliki kesadaran sangat tinggi terhadap peduli lingkungan dan sosial. Meskipun masih sangat niche tapi kami yakin ke depannya akan makin banyak lagi pelanggan yang bisa kami jangkau,” kata Agung.

Rencana penggalangan dana awal

Tim Surplus Indonesia

Untuk bisa memiliki gudang yang mampu menampung stok sementara dari FMCG dan ritel, saat ini Surplus tengah menggalang dana tahapan awal. Jika sesuai target, pendanaan tersebut akan mereka rampungkan akhir tahun 2022 ini. Sebelumnya Surplus termasuk startup yang tidak terlalu fokus kepada kegiatan penggalangan dana. Memanfaatkan grant atau hibah, perusahaan mampu menjalankan bisnis dan operasional dengan dukungan 12 orang tim.

“Tahun 2022 ini kemudian menjadi waktu yang paling tepat bagi startup yang fokus kepada lingkungan dan ESG seperti Surplus. Dengan acara G20 yang fokus kepada climate tech dan lingkungan. Di sisi lain juga mulai banyak platform renewable energy hingga motor listrik yang hadir di Indonesia. Harapannya akan lebih banyak platform green tech di tanah air sehingga makin mengembangkan ekosistem,” kata Agung

Disinggung siapa investor yang sudah terlibat dalam pendanaan awal ini, Agung enggan untuk menjelaskan lebih lanjut. Namun demikian menurutnya, investor asing yang paling banyak memberikan perhatian khusus untuk startup seperti Surplus.

Sebelum melakukan penggalangan dana tahapan awal dari investor, Surplus juga sempat melakukan crowdfunding. Namun karena kesulitan untuk mendapatkan pendonor karena kurangnya awareness Surplus di mancanegara, target yang mereka inginkan pun tidak tercapai.

“Dari sana kita melihat negara asing memiliki awarness yang sangat tinggi akan climate tech dan environment & social impact. Untuk Surplus saja yang mereka tidak kenal, masih bersedia bagi mereka untuk memberikan dana dalam bentuk crowdfunding. Kehadiran pendiri startup asing yang melancarkan platform green tech di Indonesia kemudian juga menjadi pemicu bagi penggiat startup lokal untuk bisa menghadirkan platform green tech,” kata Agung.

Tercatat saat ini mulai banyak investor hingga angel investor yang tertarik untuk berinvestasi kepada green tech di Indonesia. Di antaranya adalah MDI Ventures yang berencana meluncurkan Impact Fund, hingga Achmad Zaky Foundation (AZF) yang telah berinvestasi kepada pengembang efisiensi energi memanfaatkan smart technology di Indonesia, Powerbrain.

East Ventures (Growth Fund) sebelumnya juga telah memimpin pendanaan kepada startup energi terbarukan Xurya. Sementara itu Kejora-SBI Orbit telah berinvestasi kepada perusahaan teknologi yang membangun infrastruktur pertukaran baterai di Indonesia, SWAP Energy. Dan baru-baru ini DeClout Ventures telah memberikan investasi kepada pengembang kendaraan motor listrik, Charged Indonesia.

ANGIN tahun 2021 lalu telah merilis laporan bertajuk “Investing in Impact in Indonesia”. Dalam laporan tersebut terungkap, fokus dari tiap investor berdampak juga berbeda. ANGIN mencatat secara tematik, ada 10 jenis usaha berdampak yang menjadi fokus masing-masing, terbagi menjadi inklusi keuangan, kehutanan, energi bersih, kemiskinan, gender lens, circular economy, perikanan, iklim, agrikultur, dan media. Masing-masing tema ini mencerminkan peluang dan tantangan di Indonesia.

“Kami berharap nantinya jika Surplus telah merampungkan pendanaan tahap awal, bisa menjadi pembuka bagi startup lainnya yang juga fokus kepada ESG untuk bisa mendapatkan pendanaan juga,” kata Agung.

Potensi startup green tech di Indonesia

Kolaborasi Surplus Indonesia dengan Kemenparekraf

Menurut Agung, ada beberapa alasan mengapa pada akhirnya tidak banyak penggiat startup yang tertarik untuk menawarkan layanan dan produk bertemakan lingkungan. Salah satunya adalah sulit untuk di monetisasi dan belum adanya regulasi yang kemudian bisa memberikan punishment atau incentive kepada pihak terkait.

Untuk startup kemudian bisa memberikan layanan yang relevan dan tetap fokus untuk menjaga lingkungan, harus memahami benar layanan atau produk yang bakal di hadirkan. Salah satunya adalah dengan melakukan riset secara komprehensif, melakukan trial and error dan memiliki passion yang besar agar tidak cepat menyerah.

“Mereka harus mengetahui masalah lingkungan secara spesifik, kemudian harus mengetahui grass root-nya. Di Surplus sendiri grass root yang kita pahami adalah kebiasaan masyarakat Indonesia yang menyukai diskon dan telah terbiasa melakukan pemesanan makanan dan minuman secara online. Dengan memahami grass root tersebut, nantinya akan tercipta perubahan secara langsung,” kata Agung.

Untuk bisa mempercepat awareness dan pertumbuhan bisnis, Surplus juga secara agresif melakukan kerja sama strategis dengan pemerintah dan pihak terkait. Di antaranya dengan Kemenparekraf dan dengan Kementerian BUMN.

“Pada akhirnya saya melihat Indonesia sudah mulai ke arah sana. Mengikuti ekosistem di negara lain yang sudah fokus kepada ESG dan climate tech. Jika renewable energy hype-nya makin meluas akan menyusul juga kepada platform lainnya,” kata Agung.

Application Information Will Show Up Here