[Panduan Pemula] Cara Melaporkan Postingan Hoax atau Grup Facebook yang Mengganggu

Media sosial semestinya menjadi ruang bagi penggunanya untuk berinteraksi dengan nyaman, meniadakan jarak dan waktu. Tetapi belakangan Facebook sudah jadi tempat yang penuh dengan sampah, seperti postinga-postingan artikel hoax, status hoax, menebar kebencian sampai munculnya grup-grup yang isinya berbau sara dan politik.

Continue reading [Panduan Pemula] Cara Melaporkan Postingan Hoax atau Grup Facebook yang Mengganggu

Laporan DailySocial: Distribusi Hoax di Media Sosial 2018

Di era media sosial seperti saat ini, sebaran hoax (berita bohong) menjadi sesuatu yang sangat serius. Dampaknya dapat mengacaukan masyarakat, tidak hanya di jagat maya, melainkan juga di kehidupan nyata. Banyak kasus buruk yang terjadi akibat hoax, karena banyak oknum yang memang sengaja memanfaatkan hoax sebagai senjata perang mereka. Terlebih di tahun politik seperti saat ini.

Berbagai pihak mencoba secara terus-menerus menanggulangi sebaran hoax. Yang dilakukan pemerintah misalnya, meregulasi melalui UU ITE. Sementara yang dilakukan oleh pengembang platform, mereka berusaha menyediakan fitur pelaporan berita dan penyaringan. Termasuk yang dilakukan WhatsApp beberapa waktu terakhir dengan membatasi fitur Forward.

Melalui riset ini, DailySocial mencoba mendalami karakteristik persebaran hoax dari sudut pandang penggunaan platform. Bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, kami menanyakan kepada 2032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia tentang sebaran hoax dan apa yang mereka lakukan saat menerima hoax.

Berikut ini beberapa temuan yang didapatkan:

  • Informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).
  • Sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax.
  • Mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoax.

Selain itu masih banyak temuan lain, misalnya frekuensi menerima berita hoax, cara yang paling banyak dilakukan untuk mendeteksi hoax, dan lainnya. Untuk hasil riset selengkapnya, unduh laporan “Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018” secara gratis.

Adobe Kembangkan AI untuk Mendeteksi Foto Palsu Hasil Photoshop

Entah sudah berapa kali berita viral bersumber pada gambar yang merupakan hasil editan menggunakan software Adobe Photoshop. Media publikasi yang tertipu juga tidak sedikit, dan terkadang memang hasil editannya begitu bagus sehingga sulit untuk memastikan keabsahannya.

Namun kita juga tidak boleh menyalahkan Adobe, sebab jasa Photoshop sangatlah besar di berbagai industri. Untungnya, Adobe sadar akan potensi masalah yang bisa ditimbulkan oleh trik-trik Photoshop, hingga akhirnya mereka mengembangkan AI (artificial intelligence) khusus untuk mendeteksi gambar palsu.

AI rancangan Adobe ini pada dasarnya dapat mendeteksi apakah suatu foto telah dimanipulasi secara ekstrem menggunakan Photoshop. Manipulasi ekstrem kurang lebih merujuk pada objek pada gambar yang dihilangkan, atau malah yang ditambahkan ke foto lain. Cloning pun juga termasuk, di mana biasanya suatu bagian dalam foto akan diperbanyak guna menimbulkan kesan ramai.

Adobe AI spotting fake images

Ada sejumlah teknik yang diterapkan, namun salah satu yang menarik adalah analisis terhadap pola noise, yang biasanya berbeda antara satu kamera maupun satu foto dengan yang lainnya. Pada foto yang ada penambahan objek dari foto lain, biasanya pola noise-nya bakal tidak konsisten, dan AI ini sanggup mendeteksinya dalam hitungan detik.

Apa yang hendak dicapai Adobe sederhananya adalah membantu kita ‘berperang’ menghadapi serbuan hoax. Kinerja AI-nya memang belum bisa sempurna, tapi setidaknya bisa dimanfaatkan untuk membantu menandai gambar-gambar yang berpotensi palsu dengan cepat, sehingga dapat diteliti lebih lanjut.

Sumber: Engadget.

Game Browser Unik Berjudul Bad News Latih Kita Mengidentifikasi Hoax

Ada banyak manfaat dari terbukanya internet dan kemudahan penggunaan sosial media, namun hal yang paling saya syukuri adalah akses gratis ke berbagai macam ilmu pengentahuan. Namun tentu saja ada dampak buruk dari kondisi ini: semakin banyaknya informasi yang beredar, maka kain sulit juga menyaring fakta dari rekayasa.

Merasa terpanggil karena masalah hoax belakangan jadi semakin parah, tim Social Decision-Making Laboratory di Universitas Cambridge pimpinan Dr. Sander van der Linden mengembangkan sebuah permainan unik berjudul Bad News. Disajikan sebagai game browser, Bad News dirancang untuk menyadarkan kita situasi yang tak jarang terjadi di jejaring sosial, sehingga kita dapat lebih cerdas dalam mendeteksi berita bohong.

Bad News menempatkan Anda sebagai news-monger. Pemain dipersilakan buat menanggalkan etika demi membangun persona palsu lewat follower dan tingkat kredibilitas. Misi Anda cukup sederhana, yakni mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengikut dan membangun ‘perusahaan berbasis hoax‘. Tantangannya, Anda tidak boleh ketahuan terang-terangan berbohong serta mengecewakan para follower.

Setelah Anda melewati sesi pengenalan (dan survei anonim jika berkenan), permainan dimulai secara unik. Anda diminta menciptakan sebuah persona atau ‘meminjam’ nama tokoh atau badan terkenal. Sebagai Presiden Trump, game meminta saya mem-posting tweet mengenai keputusannya menyatakan perang dengan Korea Selatan. Baru setelah tweet itu beredar, Bad News menyadarkan saya bahwa username-nya sedikit berbeda dari akun resmi sang presiden, yaitu ‘Donald J. Trunp’.

Bad News 1

Skenario selanjutnya mirip kejadian di dunia nyata: beberapa orang segera merespons tweet tanpa mengecek kredibilitas akun saya, bahkan puluhan user memutuskan buat mengikuti ‘Trunp’. Selanjutnya, permainan akan membawa Anda menciptakan perusahaan berita. Di sana Anda diminta membuat keputusan-keputusan penting, seperti menentukan tema berita serta strategi apa yang digunakan untuk menyajikannya.

Dr. van der Linden menjelaskan bahwa dengan membuat orang memahami sisi penciptaan berita bohong, Bad News akan berperan menjadi vaksin dalam perang melawan hoax. Permainan betul-betul mengekspos teknik yang digunakan penyebar kabar palsu di dunia nyata, sehingga Anda bisa segera mengenalinya begitu melihat hal serupa beredar di internet.

Bad News bisa Anda nikmati tanpa perlu membayar ataupun mendaftar. Cukup kunjungi situsnya via browser dan klik/tap tombol ‘Play the Game’.

Saya sudah mencobanya sebentar, dan menurut saya, game ini sangat unik. Kontennya ditulis dengan pintar, serta dibumbui oleh sejumlah twist tak terduga. Jika Anda aktif di sosial media, saya sangat menyarankan Anda untuk segera memainkannya.

Facebook Mulai Tandai Berita Hoax

Di era serba digital dan terhubung sekarang ini, mudah sekali bagi seseorang untuk membagikan berita yang kemudian menjadi viral di dunia maya, khususnya di jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook. Masalahnya, tak sedikit berita yang booming itu ternyata tak didasari dengan bukti yang konkrit sehingga lebih dahulu mengakibatkan kerusakan dan kesalahan informasi sebelum dapat dibuktikan. Masalah ini terjadi hampir di seluruh dunia, dan mencapai klimaks ketika menjadi kambing hitam kekalahan Hillary Clinton dalam pemilihan Presiden AS, sehingga memaksa Facebook berpikir keras menemukan cara untuk memberantasnya.

Kabar baiknya, Facebook sepertinya sudah menemukan formula yang tepat untuk menghentikan wabah tersebut dengan cara menandai postingan hoax dengan label “Disputed”. Ini merupakan bentuk nyata dari janji mereka di bulan Desember tahun lalu, merupakan bagian dari upaya serius Facebook memerangi sebaran berita palsu yang meresahkan. Jadi pada dasarnya label disputed berarti bahwa artikel atau berita yang dibagikan diduga tidak berdasarkan informasi yang akurat atau dapat dipercaya. Label ini juga akan disertai dengan tautan ke situs pemeriksa fakta yang akan melampirkan bukti dan juga penjelasan.

Screenshot label Disputed di berita yang dianggap palsu
Screenshot label Disputed di berita yang dianggap palsu

Solusi ini jelas sebuah kemajuan dalam upaya memerangi penyebaran berita palsu. Tapi, proses yang dibutuhkan ternyata tak sesingkat dan semudah yang dibayangkan, bahkan cenderung lambat sehingga dikhawatirkan gagal mencegah meluasnya penyebaran berita yang sebaliknya berjalan sangat cepat.

Sebelum sebuah postingan ditandai, pengguna harus melaporkan postingan tersebut sebagai berita palsu, atau piranti lunak Facebook mencium gelagat itu. Berikutnya butuh beberapa hari sebelum berita tersebut diverifikasi oleh organisasi pemeriksa fakta yang terdiri dari ABC News, Politifact, FactCheck, Snopes, dan Associated Press. Dan setidaknya dua dari mereka harus satu suara agar label Dispute bisa dipasang.

Masalahnya, di saat yang sama ribuan atau jutaan orang mungkin sudah membagikan berita palsu tersebut. Jadi, yap, Facebook tampaknya membutuhkan sumber daya yang lebih banyak untuk mempercepat proses penandaan tersebut.

Sumber berita Engadget, Recode dan gambar header Pixabay.

Kurio Terapkan Teknologi Machine Learning untuk Kurangi Penyebaran Hoax

Menghadapi maraknya berita hoax yang simpang siur di internet, Kurio melengkapi layanan mereka dengan teknologi machine learning yang digunakan untuk menyaring berita. Berita hoax atau berita palsu di Indonesia saat ini tengah menjadi permasalahan serius. Banyaknya berita palsu yang beredar dan pemahaman masyarakat yang masih mudah percaya kepada berita yang bersifat sensasional memudahkan berita palsu tersebar dengan mudahnya. Budaya memilah berita pun tidak menjadi milik semua lapisan masyarakat. Hadirnya teknologi machine learning di Kurio menjadi sebuah solusi untuk membantu masyarakat terhindar dari berita palsu.

“Mengandalkan teknologi, tim Kurio telah merancang sebuah algoritma yang rapi untuk mengurangi masuknya berita hoax dalam machine learning di aplikasinya serta untuk membantu agar penyebaran berita hoax tidak semakin menyebar. Melalui machine learning dan algoritma yang dirancang, setiap artikel yang masuk dipastikan akan difilter terlebih dahulu sehingga tidak masuk ke dalam artikel stream,” Ujar CEO & Founder Kurio David Wayne Ika.

Lebih jauh David menjelaskan teknologi machine learning digunakan untuk menyajikan berita dalam news feed agar tetap berkualitas. Menghindari berita-berita dengan kualitas rendah, clickbait, dan konten-konten negatif seperti porno, provokatif dan miss leading informatif tanpa mengurangi hadirnya cerita atau berita yang penting.

Untuk memerangi penyebaran berita palsu ini selain menggunakan machine learning, Kurio juga melibatkan tim kurator untuk mengkurasi kembali artikel-artikel yang sudah masuk ke dalam artikel stream. Selain mengkurasi kembali artikel yang masuk tim kurator juga memastikan pengguna Kurio mendapatkan artikel yang bermanfaat dan terbaru yang terangkum dalam topik Top Stories yang dipastikan terbebas dari clickbait maupun hoax.

Fokus dan target saat ini

Sudah menginjak usia tiga tahun perjalanan saat ini Kurio masih mencoba disiplin dalam membangun produk dan fiturnya sekaligus fokus pada kepuasan pelanggan.

“Kami di Kurio mencoba untuk disiplin dalam hal product and feature development, trying to focus in OMTM (One Metric That Matter) both untuk user metrics yang sync ke future business metrics / business goal, dalam hal ini kami selalu prioritas dalam users satisfaction/ engagement dalam bentuk interaction per session, and our metrics in DAU/MAU ratio (engagement ratio) yang saat ini cukup sehat dalam kondisi Indonesia mobile users behavior, infrastructure network yang ada di Indonesia, besar kecil sangat berpengaruh dengan users engagement dan retention,” papar David.

Untuk tujuan di tahun ini David menjelaskan Kurio akan tetap terus melakukan improvisasi pada CAC (Customer Acquisition Cost) dan formula model monetization. Ia ingin Kurio terus tumbuh, tetapi tumbuh yang sehat dalam unit economic model Kurio.

Pangkas Berita Ngawur, Facebook Tambahkan Fitur Pelaporan Konten Hoax

Facebook baru saja mengumumkan bahwa mereka telah menambahkan opsi baru di menu postingan News Feed dengan label “its a false news story“. Fitur ini sengaja ditambahkan sebagai langkah antisipasi penyebaran berita hoax atau berita palsu yang berpotensi menyesatkan pembaca.

Continue reading Pangkas Berita Ngawur, Facebook Tambahkan Fitur Pelaporan Konten Hoax

Hati-hati “Citizen Journalism”, Yang Profesional Pun Bisa Tertipu

Beberapa minggu terakhir ini banyak beredar kabar di Twitter dan Facebook bahwa banyak data yang dipakai dalam siaran televisi dan terbitan koran cetak di Indonesia, terutama yang berkait Pemilihan Presiden 2014, berasal dari “sumber online yang bodong”. Terakhir dan terhangat hari ini adalah soal “survei Gallup Poll” yang ditengarai digunakan oleh TV One untuk menyatakan bahwa salah satu calon presiden lebih unggul dibanding calon lainnya. Kantor Berita Antara pun sempat terkena retas perihal pernyataan Duta Besar Palestina yang mendukung salah satu calon.

Continue reading Hati-hati “Citizen Journalism”, Yang Profesional Pun Bisa Tertipu

Not April Fools: Welcoming Aulia!

If you read Indonesian version of DailySocial on 1st April, you may notice the hoax about a change in DailySocial. It was an April Fools post, but in fact, not all the posts yesterday was a hoax. In this post, I want to say a few updates about DailySocial (DS) and also a little leak on the landing where we will bring the DS.

First, Aulia Masna is not my successor as CEO of the DS. “I’m still the CEO, bitch!”. However Aulia Masna actually joined the DailySocial team and will help to develop multimedia content on the DS. Aulia itself is indeed a technology blogger who has been around the technology blog world in Indonesia, and even was a Managing Editor of the Singapore-based technology blog e27.sg. Happy to have him on board!

Now, let’s talk about DS.

Continue reading Not April Fools: Welcoming Aulia!