Venture Builder “Starventure” Mengumumkan Kehadiran

Perusahaan venture builder Starventure mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Starventure didirikan oleh pendiri Ideosource Edward Chamdani dan Jeremy Michael Sutandy.

Dalam keterangan resmi, Starventure fokus pada penciptaan dan peluncuran bisnis atau startup baru secara sistematis. Caranya melalui memberikan dukungan bagi pelaku bisnis yang baru mulai atau startup yang berada di tahap awal. Starventure menyediakan sumber daya dan keahlian untuk mereka menuju kesuksesan dan menjadi pemain global.

Co-founder Starventure Jeremia Michael Sutandy menuturkan, pihaknya ingin terlibat lebih awal karena untuk mengidentifikasi ide bisnis yang memiliki potensi untuk menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan dampak yang besar, sehingga memiliki peluang investasi. Perusahaan secara proaktif mengakselerasi pengembangan ide-ide bisnis yang inovatif, untuk kemudian divalidasi.

Pada tahapan ini, validasi ide bisnis merupakan langkah yang sangat penting sebelum dieksekusi menjadi produk dan jasa. Untuk melakukan analisa dan verifikasi, Starventure melibatkan pelaku bisnis yang sudah mapan dari industri yang sejenis dengan startup tersebut sebagai mentor.

“Starventure mempertemukan para pelaku bisnis, investor, dan mentor berpengalaman dalam sebuah ekosistem yang sehat dan saling mendukung. Ekosistem ini menyediakan kerangka terstruktur dan sumber daya bersama sehingga Starventure dapat mengakselerasi perkembangan ide menjadi produk atau jasa, lalu meluncurkannya ke pasar dengan lebih cepat,” terang Jeremy.

Kehadiran Starventure di Indonesia tak hanya untuk membuka jalan para pelaku bisnis bisa naik kelas dan meraih kesuksesan. Lebih dari itu, Starventure juga memiliki misi untuk mengembangkan ekosistem startup dan semangat kewirausahaan di Indonesia dengan membina talenta baru, mendorong inovasi, dan menarik lebih banyak investasi.

“Kami percaya bahwa dukungan dan bimbingan sejak awal dapat membuat bisnis menjadi lebih kuat dengan pertumbuhan yang lebih cepat, sehingga bisnis menjadi scalable dan investable,” ucapnya.

Diklaim, dengan bimbingan yang komprehensif ini, ditargetkan setidaknya bisnis atau startup dapat mengalami pertumbuhan antara 5%-20% setiap bulannya.

Pihaknya juga tidak memberi batasan hanya bisnis di bidang tertentu, karena yang diutamakan adalah skalabilitasnya. Fokus dari Starventure adalah bisnis yang dapat memberi manfaat dan memberi nilai tambah bagi bisnis lainnya. Dengan demikian akan terbentuk ekosistem yang berkelanjutan di mana para pelaku bisnis dapat saling menopang antar berbagai kepentingan bisnis.

Kehadiran Starventure meramaikan pemain venture builder yang sudah hadir di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Ecoxyztem, UMG IdeaLab, Terratai, Antler, WGSHub, dan Wright Partners.

Ekosistem VC Menantikan Langkah Lanjutan Pemerintah untuk Dorong Modal Ventura

Menyusul diterbitkannya POJK No 25 Tahun 2023, Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO) merilis peta jalan pengembangan perusahaan modal ventura (PMV) di Indonesia. Regulasi soal permodalan dan perizinan yang selama ini diketahui menjadi benturan venture capital (VC) di Indonesia menjadi strategi kunci yang akan didorong oleh asosiasi.

Peta jalan ini berupaya memberikan gambaran perkembangan PMV saat ini beserta tantangannya, sebagaimana dapat menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan. Misalnya, tantangan mengenai sumber pendanaan pemodal ventura, terutama yang melakukan kegiatan usaha penyertaan modal.

Saat ini, mayoritas sumber pendanaan PMV berasal dari pinjaman. Sekitar 32% aset modal ventura didanai dari pinjaman. Adapun, dana ventura dapat menjadi salah satu opsi dalam perluasan sumber pendanaan PMV.

Selain itu, AMVESINDO mendapati tak banyak pemodal ventura yang fokus pada penyertaan modal. Dari total 54 PMV, sekitar 74% PMV memiliki penyertaan modal kurang dari 51% dari total pendanaan yang disalurkan. Hal ini karena sebagian besar kegiatan usahanya adalah pembiayaan kepada pasangan usaha. Hanya 12 PMV yang porsi penyertaan modalnya lebih dari 85%.

Begitu roadmap ini rampung pada 2028, AMVESINDO menargetkan 67% penyaluran VCC dapat difokuskan pada penyertaan modal dan 67% dari aset VDC untuk pembiayaan pasangan usaha. Sebagai tambahan, per November 2023, total aset PMV tercatat mencapai Rp26,56 triliun atau tumbuh 80% (YoY), yang terdiri dari PMV konvensional (Rp25,59 triliun) dan aset PMVS (Rp0,96 triliun).

Ekosistem modal ventura di Indonesia

Sementara, POJK 25/2023 baru mengangkat ketentuan pokok terkait pengkategorian perusahaan modal ventura  (PMV) dan perusahaan modal ventura syariah (PMVS) saja. Sejumlah VC yang kami tanyai enggan berkomentar banyak terkait aturan baru ini. Namun, mereka mengaku menantikan langkah selanjutnya dari pemerintah untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku industri VC di Indonesia.

“Menurut saya, POJK ini sudah mendekati best practice di negara-negara yang telah memiliki ekosistem modal ventura yang baku (terstandardisasi). Masalahnya, apakah POJK ini sudah menarik bagi VC? Di Singapura, misalnya, aturan dan ekosistemnya sudah jelas,” tutur Managing Partner Ideosource Edward Chamdani saat dihubungi DailySocial.id.

Ia juga menilai bahwa ketentuan model disetor cukup memberatkan pemodal ventura. Pasalnya, dalam ketentuan POJK 25/2023, persyaratan modal minimum yang diwajibkan tergantung pada jenis PMV. Untuk kategori venture capital corporation (VCC), minimum ekuitasnya sebesar Rp50 miliar. Kemudian, venture debt corporation (VDC) diwajibkan memiliki ekuitas minimum Rp25 miliar, sedangkan Unit Usaha Syariah (UUS) minimum Rp10 miliar.

Menurut laporan AMVESINDO, 12 PMV dari total 54 PMV baru memiliki ekuitas di bawah Rp25 miliar, sedangkan hanya 28 PMV yang ekuitasnya di bawah Rp50 miliar. Rendahnya ekuitas ini dinilai dapat memengaruhi kemampuan PMV untuk memperluas skala usaha termasuk menyerap risiko yang berpotensi mengakibatkan kegagalan usaha.

Kendati begitu, Pihak AMVESINDO diketahui telah banyak berdiskusi dengan OJK untuk mengakomodasi isu terkait modal hingga perpajakan sebagaimana telah banyak disuarakan oleh PMV yang aktif berinvestasi di Indonesia, tetapi legalitas usahanya terdaftar di luar negeri. Saat ini, jumlah PMV di Indonesia berjumlah 54 dengan mayoritas berkantor pusat di DKI Jakarta, di mana lima di antaranya adalah PMV Syariah.

Ketua AMVESINDO Eddi Danusaputro sempat mengutarakan rencana diskusi lanjutan dengan OJK dan instansi terkait untuk membahas perihal perpajakan pada akhir bulan ini. “Soal pajak kan ada di ranah Kementerian Keuangan, jadi ini tinggal berkoordinasi dengan lintas kementerian saja,” tutur Eddi beberapa waktu lalu.

Model ekosistem ideal yang ditargetkan oleh AMVESINDO

Edward yang juga menjabat di AMVESINDO menambahkan bahwa diskusi mengenai modal, pajak, dan turunannya dengan OJK bukan lagi pembahasan awal, tetapi sudah bicara observasi dengan model di negara-negara lain. Menurutnya, dengan memiliki ekosistem yang lengkap, ini dapat memengaruhi pertumbuhan bisnis pemodal ventura ke depan.

Startup Web3 “Artopologi” Raih Pendanaan Pra-Awal dari Ideosource

Startup web3 Artopologi mengumumkan perolehan pendanaan pra-awal yang dipimpin Ideosource. Tidak disebutkan nominal yang diterima di putaran tersebut.

Undisclosed [untuk] pre-seed dan sedang raise di seed round saat ini,” ucap Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani saat dihubungi DailySocial.id.

Artopologi adalah pasar seni terkurasi yang terintegrasi dengan blockchain. Mereka memindahkan karya fisik, seperti lukisan, patung, dan instalasi seni, yang dipamerkan dan diperjualbelikan di platform Artopologi disertai dengan sertifikat keaslian digital yang terdaftar di blockchain.

Startup ini baru dirilis pada awal tahun 2022 dan dipimpin Intan Wibisono. Sebelumnya, ia lama melintang di dunia kehumasan untuk berbagai perusahaan, salah satunya Bukalapak.

Berbeda dengan kebanyakan pemain web3 lainnya, Artopologi ingin meregenerasi kolektor seni dan menghubungkan ekosistem seni di Indonesia, sehingga platform ini dilengkapi dengan berbagai fitur, produk, dan layanan yang sesuai untuk pecinta seni.

“Artopologi memberikan solusi atas distribusi penjualan karya yang selama ini punya masalah. Jejak karya itu penting karena selalu ada perselisihan kepemilikan, perselisihan autentisitas, dan perselisihan nilai. Kami sebagai fasilitator akan mendaftarkan karya fisik ke dalam blockchain dalam bentuk smart contract,” ujar Co-Founder dan CEO Artopologi Intan Wibisono, dalam media workshop yang digelar di Jakarta, kemarin (27/10).

Sebagai diferensiasi lainnya, Artopologi akan memverifikasi dan mengurasi setiap seniman, karya, galeri, museum, dan pelaku seni yang bergabung. Alhasil, setiap karya yang ada di platform diklaim benar-benar berkualitas dan tidak sporadis.

Nilai unik lainnya adalah fokus pada karya seni fisik, bukan karya seni digital. Artopologi bukan NFT marketplace, NFT project, ataupun launchpad; melainkan merekam jejak karya dan karier seniman. Setiap karya yang ditampilkan dijamin keasliannya dengan underlying karya fisik dan bisa dibuktikan dengan sertifikat yang terdaftar di blockchain, sehingga tidak bisa diubah dan bersifat kekal.

Artopologi juga terintegrasi dengan jaringan blockchain. Marketplace ini dapat mendaftarkan sertifikat keaslian dengan otomatis dan mudah, tanpa memerlukan mata uang kripto. Meskipun demikian, seniman tetap perlu memiliki crypto wallet untuk bisa menerima dan mentransfer sertifikat.

Artopologi ingin memanjakan para kreator dan seniman agar tetap melindungi karya-karyanya dengan cara yang lebih baik. Juga untuk kolektor dalam menikmati hasil-hasil karya seni.

“Artopologi ini punya kemiripan dengan yang lain, tapi melengkapi yang sudah ada sebelumnya. Industri ini akan jauh lebih bagus bila ada cara-cara yang baik, salah satunya lokapasar yang terkurasi, sebelumnya kayak gado-gado bercampur. Itu yang diresahkan oleh para kreator,” tambah Rain Rusidi, kurator seni rupa dan dosen di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia.

Platform Artopologi sendiri akan diresmikan untuk umum pada hari ini (28/10) ditandai dengan diselenggarakannya pameran bertajuk “Rekam Masa” di Museum Nasional, Jakarta berlangsung hingga 6 November 2022. Makna dari tema tersebut menandai kehidupan pada masa/zaman seseorang, ditandai dengan stempel waktu yang dimiliki teknologi blockchain.

Setiap karya seni dalam pameran ini terintegrasi ke blockhain yang dinyatakan oleh kode kriptografi sebagai sebuah pernyataan autentisitas atas setiap karya yang diinput.

Pameran dan platform akan memajang lukisan, patung, instalasi seni, pertunjukan dan karya mode dari seniman senior, seperti Teguh Ostenrik, Galam Zulkifli, Dipo Andy, Mang Moel, FJ Kunting, Rinaldy Yunardi, Didi Budiardjo, Ghea Panggabean, Joshua Irwandi, dan banyak artis pendatang baru Indonesia lainnya.

Setiap karya seni yang ditampilkan akan didaftarkan di blockchain agar keaslian dan asalnya diakui. Hal ini memberikan potensi royalti dan peluang kepemilikan fraksional. “Harga ditentukan oleh seniman, tentu ada pembagian hasil dengan kami. Tapi ini sifatnya diskusi langsung dengan masing-masing seniman dan case by case,” tutup Intan.

Edward Chamdani to Unlock Indonesia’s Ultimate Potential by Encouraging Upstream Investment

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Edward Ismawan Chamdani started his journey in the tech industry through the best-known computer company in the world. For years, he had his shared interest in the financial sector and finally started his own software company. With a decade-long experience in the industry and one of the perks of being an analyst, he builds a fine network within the startup and investment scene.

In partnership with Andi S. Boediman, Ideosource was built from brick to brick. Now it is expanding beyond just a VC. His other initiative, Gayo Capital, partnered with Ishara Yusdian and Jefri Sirait focuses on revenue-generating companies whose businesses organically create impact to the world. Recently, he also started a venture builder named Starcamp Asia aiming to bridge the founder’s gap in the country.

Edward has a personal purpose to unlock the ultimate potential of Indonesia sustainably from various aspects mainly in leveraging human capital surplus and abundant natural resources via technology disruption and implementation. In order to achieve this mission, he encourages people to be more invested in the core issues, it is upstream investment.

Indonesia is the tech paradise of Asia, where technologically enabled startups can find fertile soil to grow and deliver impactful contributions to the developing nation’s problems. The President himself has announced the Nation’s Vision To be the Digital Energy of ASIA. An achievable vision as Indonesia has been the biggest economy in Southeast Asia, 8th biggest in the world, and in the middle of a massive digital transformation changing its young population from a nation of workers into digital-savvy talent taking over the world, one unicorn at a time.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, Edward has been learning during the process. He is currently serving as Managing Partner at Ideosource Venture Capital, Gayo Capital, and StarCamp  – with a mission to incubate, invest and accelerate with a “Purpose”.

DailySocial is glad to have such an insightful and passionate discussion of Edward’s biggest dream to unlock Indonesia’s ultimate potential. Below is an excerpt of the conversation.

What do you think of Indonesia’s investment ecosystem nowadays?

It was early 2011 when we first started Ideosource, startup quality was quite green. There are limited sources for mentors, and events, let alone VCs, we’re all still learning. Every time we find startups with a legitimate business model, it’s still not clear how the investment process should be carried out. Years passed by and we finally see a sweet spot around 2014-2015, turns out our investment was fruitful.

Over time, Indonesia’s startup ecosystem is getting mature and one by one reached unicorn status. Rudiantara, who at that time still leading Indonesia’s Communication and Informatics Ministry, initiated the leaders of these tech giants to meet with global investors, and the progress is superb. Indonesia is getting broadened and better exposure in the global tech scene. In 2018, was held the first Nexticorn (Next Indonesian Unicorn) with a vision to step up the game for Indonesia’s startup scene.

Indonesia’s list of unicorns in the first quarter of 2022

Observing the startup scene in the last few months regarding the global meltdown, it is still very promising. In fact, this is the right time for them to start fundraising due to the projection of investment decline in 1-2 years ahead, especially for heavily impacted VCs with big-level funding. However, in general, it will not affect the whole ecosystem we still have a great potential growth story. Our market share remains huge in several sectors, including commerce, fintech, and edtech.

The most interesting is in healthtech. Previously, we have substantial issues with online prescriptions and Electronic Medical Records. Under the supervision of a tech-literate figure, there are more policies that support tech accessibility and adoption. The presence of the Peduli Lindungi app, telemedicine service, and government collaborations with healthtech companies are proven effective during this pandemic.

In addition, there are many other sectors yet to optimize, including forwarding, logistics, cross border trading. In terms of natural resources from agriculture to human capital. There are huge potential lies in B2B while people are focusing on B2C.

The thing is, most investments are engaged in the downstream sectors instead of the upstream side due to market availability and accessibility. Upstream investments may take extra effort as it is aimed at the root causes that are often identified by determining the most immediate and direct causes and working backward from there. In many cases, upstream action addresses social, economic and environmental conditions.

Ideosource grasps the experience of investing in the upstream sector with eFishery. It is resulting in the shifting of the whole value chain, from the unbankable to bankable fish farmers through thoroughly distributed information. This is the kind of ecosystem that will drive the whole sector. As it extends the business and continues to the processing level, it will lead to export and import and ends up in the country’s exchange.

It is not about the downstream sector did not have an impact, it is only limited to the additional income for the players. When we focus on the producers, we can use local resources for the country’s economic resilience. I think VCs should consider this investment angle.

You have a background in mechanical engineering, strong experience in the financing industry and currently serve as Managing Partner in two giant VCs. Can you share a bit of the transition?

Previously, I’ve been in a sales organization that handles industrial product distributors. Then, I moved to IBM and really got into the tech stuff. In my last year, I’ve been handling the financial sector (around “11 banking institutions), combining IBM’s solutions to advise banking customers.

In 2002, I co-founded a software company, and my evolution as a founder continue until I decided to exit in 2007. However, I was still around as a Director for several years up to 2010. After that, I’m not immediately started a new company. What I learn as I started my own company, the hardest part is to align the vision, mission, and chemistry with partners. It is bad enough when you meet the wrong partner.

My next journey is to be a business consultant, and the story gets better when I worked with Plasa.com. That is where I build a work-related relationship with Andi S. Boediman, the other Managing Partner in Ideosource. It was late 2010 when I meet a general partner of a big-enough Private Equity (PE), and he said then would be the perfect timing to start a VC. We did our research around 4-5 months to finally debuted with Ideosource. It was a simple analysis, in late 2010, 3g penetration is still around 30 million with the rapid growth of internet users. It was also the beginning of the e-commerce era.

Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, I’m learning during the process. The thing is, I learned that running a business, and generating cash flow with available funds for growth are totally different. A conventional business survives only with cash flow. Once I entered the VC scene, there are other perspectives. It is ok if you don’t make a profitable business at the beginning, as long as you are analyzing a certain business model in a sector that you can be sure to be a dominant player.

This kind of perspective makes me see there are totally two different worlds. Many people find it hard to understand that capital market, venture investment, and startup thesis, are totally different from conventional business. An interesting fact, the availability of funds will never lessen. It is just a matter of who can convince people with loaded bags of money to invest.

Early days of Gayo Capital

What are your hypotheses on the portfolios?

In terms of analyzing, it is relatively similar. First, we need to look at the founder’s quality, integrity, and so on. Sometimes, when the founder is approved, the fund is secured. Furthermore, we are to discuss the sector, business model, addressable market, and the target for several years. Also, is it attractive enough for the investors? Because liquidity can only work if the story is compelling for the next investors. We’ll be reluctant if there’s no story.

What is your biggest hardship during the business journey?

Hardships are inevitable. I previously mentioned the hardest part is finding the right partner. That is one of the reasons why I have several initiatives with different partners. Each of them has quite a distinct appetite, knowledge, and passion. Ideosource was a fruit of the seed that Andi Boediman and I planted a decade before. Our creativity doesn’t stop there, Andi has his shared interest with Ideosource Entertainment, while I’m nurturing more impact-initiated startups with Gayo Capital.

Along the way, we found that investing in the upstream sector has its own challenge. The founder gap is clear. The quality of founders in the upstream and downstream sectors is quite big, especially outside of Java Island. Recently, we’ve launched our latest initiative named Starcamp to bridge founders with all kinds of information and tools to build qualities and step up their game. This is a marathon as we also develop the founders to deliver vision and mission.

You have previously mentioned the founder gap, also investors should be more invested in the upstream sector, what’s your take on this issue?

In terms of the founder gap, I think it is fine for the startups with a focus on the core technology to be headquartered in Java. When the infrastructure is ready, they can deploy it outside the island. Therefore, if there are other cases like eFishery,  startups outside Java could replicate the concept. They did not necessarily become a tech company but they can be a facilitator.

There are many in the agriculture sector, these are companies we tried to invest in. We’ll create together a more scalable business model that allows them to expand outside of Java. This is the kind of upstream investment I was roaming about, for investors to invest in a certain technology to be licensed outside the island. An integrated value chain happens there.

The thing is, innovation in conglomeration takes 5 to 10 years, just like in the upstream sector. Not many startups are brave enough to enter this scene, only conglomerations with strong capital and a 10-year investment horizon. How can VCs have a conglomerate-like horizon and invest in such kinds of startups?

I have one terminology in Gayo Capital, a reverse conglomeration, inspired by the downstream sector portfolios in Ideosource’s early time which currently has contributed a lot more. Why can’t it be the upstream sector? If we’re going to rely only on conglomeration, the innovation is limited although it has a big contribution to the GDP. Startups have potential as long as they focus on creating an ecosystem that is integrated with each powerful core business, therefore, creating a solid value chain.

Aside from the current position, you’re also in charge of this year’s Nexticorn highlighting the emerging sector. Can you elaborate on this matter?

Such names are emerging this year, including the web3 and its definition which is still fragmented. However, the underlying of this blockchain technology has tremendous evolution. People are learning about bitcoin, the NFT is rising, and more platforms are developed to cater to this industry. The concept is aiming to be a decentralized autonomous organization. That’s the ultimate destination.

Edward Chamdani diampu sebagai CEO NXC 2022

In the crypto scene, we’ve seen people are still relying on the exchange.  In the future, the role might be getting less needed as people are having their own wallets and stuff. In the future, peer-to-peer will exist, and decentralized finance will happen. Disruption will be more extensive than ever, including in VCs.

VCs and investors are said to be more careful and selective to place their money. What is your suggestion for the startup?

I think those who are too insecure might lose the opportunity. Every situation has its moment. It all comes back to the hypothesis. Even in the most peculiar situation, if the market is there and in need of a solution, and it is possible to be executed, it is a deal. I think the more investors are hesitant, VCs who can see the opportunities shouldn’t stop.

In fact, using the “growth at all cost” strategy to be a dominant player is so last year. Investors are now looking for growth to profitability. It’s no longer an era for “burning money”, there are already many casualties. It is a natural correction. Investors will also see the country’s direction while doing investments related to the regulation and government. This will also be the highlight of this year’s Nexticorn. There will be related policymakers to explain Indonesia’s objective toward the tech industries, from crypto, tax, and exchange regulations.

As a seasoned investor with tons of experience in the industry. What is your biggest dream about this country’s tech and investment ecosystem?

After a decade or two in the tech industry, building Ideosource while hands-on in various sectors, focusing to impact with Gayo Capital, and bridging the founder’s gap with Starcamp, the main objective is one. I want Indonesia to be able to unlock its full potential. Even with the founder’s gap, there must be an initiative that we can work together to create a path for them. This is also the reason I’m very excited to join Nexticorn.

I’m also part of several associations, including Amvesindo and Aludi. All of their initiatives are merely to aspire the startup and investment ecosystem in Indonesia to be better. For the people to not depend solely on conventional financial sources and instead have alternative funding. From unbankable to bankable.

On the other side, we need to provide education and nurturing, also mentorship for them. As it continues to grow, various associations with its own specific subject, including Nexticorn, will open new doors to global investors. By saying this, hopefully, Indonesia can be faster to unlock and unleash its truest and full potential. Personally, after setting this vision and mission, I can work more focused and with purpose.

Kolektibel Umumkan Kehadiran, Sediakan Platform NFT Ramah untuk Orang Indonesia

Di balik ramainya NFT di kancah global, belum banyak pilihan platform marketplace yang sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia. Kesempatan tersebut ingin digarap oleh Kolektibel yang dirintis oleh Pungkas Riandika.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Pungkas menjelaskan bahwa Kolektibel didesain sejak awal ingin membawa NFT dapat diadopsi oleh orang Indonesia sedini, secepat, dan seoptimal mungkin. “Kami ingin kabar baik ini [mengoleksi NFT] bisa diadopsi oleh masyarakat. Kolektor bisa pakai instrumen pembayaran digital yang dipakai sehari-hari untuk mengoleksi NFT,” terangnya.

Berbeda dengan marketplace lainnya, Kolektibel berdiri di atas jaringan public blockchain Vexanium untuk pencatatan kepemilikan NFT. Vexanium merupakan satu-satunya public blockchain asli Indonesia dengan entitas legal berbentuk yayasan (Yayasan Vexanium Teknologi Nusantara) besutan Danny Baskara.

Pungkas menuturkan keputusan untuk memanfaatkan Vexanium sangat berkaitan dengan awal mula lahirnya Kolektibel yang datang dari hasil diskusi dengan komunitas, yang berisi pebisnis, dosen, dan aktivis sosial media di industri blockchain. Setelah diskusi panjang, ia memandang Vexanium sebagai upaya eksperimental memanfaatkan teknologi blockchain dalam menciptakan lebih banyak use case.

Bagi Kolektibel, tentunya akan lebih mudah mengakses tim Vexanium bila ada yang dibutuhkan karena mereka sudah sepenuhnya legal dan tim ada di Indonesia. Terlebih itu, proses minting dalam Vexanium terbilang ekonomis dan real-time karena adopsinya secara global belum masif. “Makanya di tahap awal ini kami memilih Vexanium agar dapat berkembang bersama.”

Dari segi ketersediaan NFT, Kolektibel menerapkan konten terkurasi berasal dari pemilik IP secara resmi dan memiliki reputasi yang baik, bukan kreator yang bebas menaruh hasil karyanya di platform. Sebelum masuk proses minting, pemilik IP akan menyerahkan berbagai asetnya yang terdiri atas memoribilia, kaleidoskop, dan lainnya kepada Kolektibel. Selanjutnya, aset tersebut dikemas ulang dengan narasi yang lebih menarik agar dapat dikoleksi oleh para kolektor.

“Kami ingin menciptakan marketplace NFT yang jujur dan terpercaya, artinya kami paham bahwa industri ini punya kesan negatif yang banyak sekali. Jadi yang kami coba kembangkan adalah marketplace yang secara legit dan resmi menayangkan NFT dari para IP terkurasi.”

Memakai mata uang Rupiah

Perbedaan mencolok lainnya adalah Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT-nya, justru menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di negara tersebut, yakni Rupiah. Perusahaan sudah terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

Di kancah global, konsep ini bukan barang yang baru sudah lebih dahulu diadopsi oleh NBA Top Shot yang memakai mata uang Dolar untuk transaksi NFT. Platform ini dibuat oleh Dapper Labs yang menggunakan blockchain FLOW.

Pungkas menuturkan, langkah ini diharapkan akan menjadi breakthrough bagi orang Indonesia karena mereka dapat langsung mengoleksi NFT dengan cara yang mudah. “Kalau diperhatikan di DeFi untuk bertransaksi pakai kripto itu perlu proses yang panjang, salah satunya harus punya wallet, ada gas fee, dan sebagainya. Itu mempersulit adopsi NFT.”

Setelah pembelian NFT di primary market, para kolektor tentunya dapat kembali menjual asetnya ke secondary market dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Kolektibel menetapkan revenue sharing dengan para pemilik IP untuk setiap aset NFT yang berhasil terjual dengan persentase sesuai dengan kesepakatan masing-masing.

Melalui kehadiran perdana Kolektibel secara closed beta, perusahaan menggandeng Indonesian Baskeball League (IBL) sebagai mitra IP perdana. Bagi IBL, inovasi ini adalah cara untuk mendekatkan penggemar basket dan IBL beserta para atletnya. IBL menyiapkan video dokumentasi pertandingan, dikurasi secara cermat berdasarkan momentum penting dalam pertandingan.

Shortlist moment tersebut dikemas ulang secara visual dan didaftarkan ke dalam blockchain smart contract, yang membuat tiap aset tersebut tercatat data sejarah kepemilikannya. Menariknya, sambung Pungkas, dalam pembagian revenue, IBL juga memberikan pembagian hasil untuk para atletnya memberikan kesejahteraan tambahan untuk atlet dan klubnya itu sendiri.

Setelah IBL, Kolektibel akan menyasar pemilik IP lainnya yang memiliki berbagai aset dengan kategorisasi di olahraga, kreatif, momen legendaris, dan budaya. Bila dilihat secara turunannya, akan semakin banyak aset NFT yang bisa koleksi oleh para kolektor. “Olahraga itu punya dinamika yang cepat dan dekat dengan masyarakat. Makanya, kategori ini jadi langkah kami untuk memahami lebih jauh bagaimana pengembangan NFT ke depannya seperti apa.”

Rencana berikutnya

Kolektibel adalah startup jebolan Starcamp, venture builder besutan Ideosource. Ideosource sendiri mengelola dua fund, di antaranya Ideosource Entertainment dan Gayo Capital. Berkat kehadiran Starcamp dan jaringannya yang luas, sangat membantu perusahaan, baik dari bantuan moril dan material, sehingga dapat eksekusi setiap rencana dengan cepat.

“Kami sangat terbantu dari sisi teknologi, back office, finance, project management, dan lainnya. Kita tahu NFT itu bergerak cepat maka perlu stakeholder dan partner yang bisa bergerak cepat pula.”

Menurutnya, NFT akan menjadi langkah awal bagi Kolektibel dalam mengutilisasi teknologi blockchain. NFT dapat menjadi akses baru dalam pengejawantahan bentuk baru di program loyalitas dalam suatu brand dan gerbang menuju ritel metaverse. “Konsep metaverse dan NFT ingin segera kami jahit bersama, makanya kami merasa bila saat ini sudah membicarakan NFT, maka metaverse tidak akan terlalu jauh ke depan.”

Pungkas percaya bahwa NFT akan menjadi kunci masa depan karena dapat menjadi nyawa kedua bagi pemilik IP. NFT dapat menerjemahkan dengan caranya sendiri tanpa bergantung pada satu entitas tertentu, murni kepercayaan dari komunitas. “Kami merasa community building akan menjadi forte dari Kolektibel, selain utilisasi pemanfaatan teknologi blockchain dan NFT itu sendiri,” tutupnya.

Secara entitas, Kolektibel terdaftar sebagai PT dengan entitas resmi sebagai marketplace. Perusahaan memakai blockchablin yang ter-decentralized untuk pencatatan kepemilikan aset digital, tapi tidak memakai mata uang kripto untuk transaksi. Dengan demikian, Kolektibel tidak masuk ke radar pengawasan Bappebti.

GoCement Terima Pendanaan Tahap Awal, Digitalkan Industri Konstruksi Melalui Marketplace B2B

Startup marketplace B2B khusus konstruksi “GoCement” berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal dari Arise (fund kolaborasi MDI Ventures dan Finch Capital), MDI Ventures, Beenext, dan Ideosource. Tidak disebutkan nominal dana yang didapat dalam putaran ini. Perusahaan memastikan dana segar akan dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan produk pasar B2B dengan memasukkan distributor besar ke dalam platform-nya, termasuk memanfaatkan jaringan Arise di perusahaan konstruksi pelat merah.

GoCement didirikan pada 2020 di tengah pandemi oleh Djonny Suwanto dan Asanga Abhayawardhana yang berpengalaman lebih dari 30 tahun di industri konstruksi karena keduanya berasal dari latar belakang pabrikan dan distributor. Dengan pengalaman matang di industri perdagangan bahan bangunan, menjadi bekal yang baik untuk mendorong tingkat pertumbuhan teknologi konstruksi.

Layanan tersebut berusaha mendigitalkan industri konstruksi yang ada dengan menciptakan pasar yang memanfaatkan distribusi bahan bangunan terdesentralisasi melalui manufaktur cloud. Model ini dicapai dengan mengarahkan produsen, distributor, membangun toko ritel, kontraktor, dan konsumen individu lainnya ke dalam satu platform. Dengan memanfaatkan manufaktur cloud, GoCement akan memberdayakan produsen UKM lokal untuk meningkatkan load cell mereka agar dapat menjaring klien yang lebih besar.

Kebutuhan dramatis untuk transformasi digital telah diperkuat melalui pandemi, pertumbuhan pasar B2B melonjak 16% selama beberapa tahun terakhir. Alasan ledakan teknologi konstruksi terutama berkisar pada tantangan yang dihadapinya dengan fragmentasi yang tinggi, komunikasi yang buruk, dan kurangnya transparansi data. GoCement memberikan solusi inovatif untuk menjawab tantangan yang ada di pasar tersebut.

CEO & Founder GoCement Djonny Suwanto menuturkan, konstruksi adalah industri yang masif, ekosistem yang kompleks dari pemilik proyek, pengembang, arsitek, kontraktor umum, subkontraktor hingga tukang (mandor/tukang), dan banyak lagi. Ia bahkan menyebut industri ini sebagai dinosaurus terakhir yang siap untuk disrupsi teknologi.

Selama bertahun-tahun, ia mengamati beberapa masalah signifikan dalam industri konstruksi, terutama didorong oleh pengadaan material yang tidak efisien dan pengangkutan barang-barang berukuran besar yang bernilai rendah. Masalahnya nyata. Kontraktor harus dapat menghemat waktu dan kerumitan untuk menghasilkan produktivitas.

“GoCement hadir untuk merevolusi industri dengan menghadirkan transparansi dan pengadaan bahan bangunan serta perekrutan peralatan yang efisien melalui inovasi & teknologinya,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (18/10).

Partner Arise Aldi Adrian Hartanto menjelaskan, industri konstruksi Indonesia mirip dengan India karena didominasi oleh beberapa pemain besar. Kesempatan tersebut memungkinkan pemain seperti Infra.Market untuk membangun jaringan yang membantu produsen kecil mengembangkan bisnis mereka dan bersaing dengan perusahaan yang lebih mapan. Infra.Market adalah startup sejenis asal India yang memiliki pangsa pasar besar di negara tersebut.

Semangat tersebut membentuk visi yang sama bagi GoCement untuk mengurangi kelebihan kapasitas di industri ini melalui digitalisasi dan pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia.

“Kami memiliki keyakinan penuh bahwa Djonny dan Asanga, mengingat latar belakang mereka yang sangat kompatibel, bergabung dengan sumber daya dan jaringan kami yang kuat dalam ledakan konstruksi nasional untuk menjadi ujung tombak keberhasilan GoCement,” terangnya.

Partner Ideosource Edward Chamdani menambahkan, ”Kami percaya bahwa GoCement akan menjadi hal besar berikutnya dalam industri ConTech (construction tech) melalui digitalisasi rantai pasokan; sehingga kehadiran GoCement akan memungkinkan pengguna akhir untuk mengakses produk berkualitas tinggi namun terjangkau dan mengirimkannya ke daerah yang kurang dapat diakses bahkan.”

Pangsa pasar marketplace B2B

Dalam unggahannya, Arise menjelaskan dengan meningkatnya adopsi digital yang didorong oleh pandemi secara global, marketplace B2C telah menjadi salah satu yang paling diuntungkan. Namun di Asia, segmen ini menyumbang hampir 80% dari penjualan transaksi B2B global, mencapai $6,1 triliun. “Angka tersebut menunjukkan peluang signifikan yang belum dimanfaatkan di sisi lain, yang menarik perhatian kami di Arise,” tulis perusahaan.

Tidak seperti marketplace B2C, sektor marketplace B2B menghadapi batasan yang signifikan karena sifat industri yang berbeda – membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dan khusus. Tren serupa juga muncul di Asia Tenggara yang mengambil jalan berbeda tentang aturan main marketplace B2C.

Alih-alih “pemenang mengambil semua” (winner takes all) menjadi “berbagai pemenang di setiap vertikal” seperti: agrikultur, ritel F&B, consumer goods, perlengkapan konstruksi, manufaktur, perlengkapan kantor, dan lainnya.

12 Tahun Beroperasi, Apa Kabar Dinomarket?

Seleksi alam di industri e-commerce sangat pelik dan sengit, sebab pilihannya hanya hidup atau mati. Dari sekian banyak, ada yang tutup, baru mulai mencoba, ada yang makin lama mendominasi pasar. Tokopedia dan Bukalapak termasuk angkatan perusahaan e-commerce tahun 2010-an, setelah Bhinneka dan Forum Jual Beli Kaskus di era awal 2000-an dan sebelumnya.

Satu pemain yang jarang “tampil” ke publik adalah Dinomarket. Perusahaan ini dipimpin Victor Wiguna sejak awal operasionalnya pada 2008. Saat peluncurannya, Dinomarket memosisikan diri sebagai situs e-commerce yang memberikan layanan premium untuk konsumen, meliputi keaslian produk, layanan konsumen, dan bebas risiko.

Produk yang dihadirkan memang sedari awal sudah mencakup gadget dan elektronik yang menjadi kekuatan Dinomarket hingga sekarang, selain peralatan rumah tangga, kebutuhan bayi, hingga perawatan diri. Gadget dan elektronik merupakan kategori andalan di sebagian besar layanan e-commerce karena memiliki basket size yang besar untuk per transaksinya.

Brand Dinomarket tidak sekuat rekan seangkatannya, baik dari dulu maupun sekarang. Hal ini tercermin dari data similarweb, total traffic Dinomarket dari Maret-Agustus 2021 stabil di angka 115 ribu kunjungan. Dibandingkan dengan Bhinneka, total kunjungan jauh lebih tinggi sekitar 4,67 juta kunjungan dalam periode yang sama. Berikut grafiknya:

Total traffic Dinomarket / Similarweb

DailySocial pun mencoba cari tahu perspektif umum brand Dinomarket di telinga sebagian orang melalui mini survei dari polling Twitter yang diikuti 112 responden. Meski tidak bisa menjadi acuan, namun kita bisa melihat sedikit gambaran bahwa sebanyak 70,5% responden mengatakan mereka tidak tahu Dinomarket. Sisanya 29,5% menjawab tahu apa itu Dinomarket dan pernah mencoba layanannya.

CEO Dinomarket Victor Wiguna mengakui bahwa konsumennya tidak sebanyak pemain e-commerce yang lain, tetapi diklaim jumlahnya terus tumbuh secara organik. Sehingga, meski tumbuh lambat, pelanggan lebih sticky terhadap layanan Dinomarket. Tidak disebutkan dalam angka seberapa banyak pengguna Dinomarket.

Ia hanya mengungkapkan, konsumen terbesar Dinomarket adalah pembeli produk gadget dan barang elektronik dengan basket size sekitar Rp2 juta per transaksi.

“Dengan jaminan layanan yang memuaskan dan jaminan produk yang asli bergaransi resmi. Konsep online retail memungkinkan kami bisa mengontrol dan menjamin kualitas produk. Hal ini juga yang menjadikan Dinomarket menjadi kepercayaan bagi bank-bank besar untuk melayani nasabah mereka,” kata dia kepada DailySocial.

Oleh karenanya, sambung Victor, brand awareness yang paling melekat dengan Dinomarket adalah kepercayaan yang selalu ditekankan sejak awal perusahaan beroperasi. “Dinomarket dikenal sebagai e-commerce belanja online bebas risiko. Kami menjamin 100% kepuasan berbelanja dari sisi layanan dan kualitas barang. Jaminan produk asli dan bergaransi adalah komitmen penting kami.”

Berkat landasan tersebut, Dinomarket dipercaya oleh banyak bank untuk melayani nasabah-nasabahnya melalui program loyalitas Dinopoin. Target konsumen Dinomarket justru kuat di B2B untuk penopang separuh pendapatan bisnisnya, tidak hanya B2C.

Sejumlah bank yang telah bermitra adalah Bank Mandiri, CIMB Niaga, Bank BNI, Panin Bank, Maybank, Bank BTN, OCBC NISP, dan Telkomsel. Dinopoin ini menjadi mitra penukaran poin yang berhasil dikumpulkan nasabah bank dengan berbagai penawaran. Mulai dari emas, gadget dan accessories, elektronik, dan produk kecantikan.

“Bisnis Dinomarket 50% melayani loyality program untuk puluhan juta nasabah dari berbagai bank-bank besar melalui Dinopoin.”

Sumber: Dinomarket

Menurutnya, bisnis B2B ini mampu membuat Dinomarket tetap bertahan, menjadi perusahaan yang unik, dan mampu membangun pertumbuhan yang sehat sejak awal. Bahkan, diklaim juga bahwa posisi perusahaan sudah profitable dan scalable, mampu untuk berinovasi.

Bagi dia, ketahanan startup — tumbuh sehat dan sustainable, menjadi tantangan utama bagi seorang founder. Oleh karena itu, startup dituntut untuk fokus pada produk dan inovasi agar menjadi perusahaan yang scalable dan mandiri, baik ketika belum memiliki atau sudah memiliki investor.

“Tetapi untuk mengejar pertumbuhan yang signifikan tentu tidak mudah tanpa modal baru yang besar. Kami yakin sudah berada di titik yang benar, yaitu profitable dan scalable. Kami selalu welcome untuk investor yang masih memiliki keyakinan bahwa 270 juta penduduk Indonesia masih membutuhkan e-commerce yang mampu bersaing di masa depan.”

Dinomarket juga tertutup soal pendanaan eksternal yang sudah diperoleh perusahaan. Satu-satunya pendanaan yang diumumkan adalah perolehan dana Seri A sebesar $6 juta dari Tiger Global Management, VC asal Amerika Serikat dengan portofolio Alibaba, Apple, dan Amazon, pada 2011 silam.

Saksi perkembangan industri e-commerce

Di tengah persaingan yang sengit, semua perusahaan dituntut untuk selalu berinovasi agar tetap relevan dengan konsumen. Sebagai saksi dari pertumbuhan e-commerce sejak masa dini, Victor menceritakan Dinomarket telah menyaksikan perkembangan yang begitu pesat selama 10 tahun terakhir, baik dari sisi jumlah platform yang tersedia, hingga jumlah pengguna.

Sejak awal, lanjutnya, memang sudah ada pertumbuhan pada solusi e-commerce tapi belum dapat melesat secara signifikan sampai di satu titik. Yang mana fasilitas pendukung, seperti sistem pembayaran dan logistik masuk serentak dan menjadi faktor krusial pertumbuhan industri e-commerce dapat melesat seperti roket.

“Sebagai pionir, Dinomarket boleh dikatakan mengalami semua fase. Di masa awal mengedukasi masyarakat tentang e-commerce dan mengajak agar mau melakukan transaksi. Saat itu pembayaran hanya ada bank transfer dan pengiriman hanya ada JNE. Semua serba terbatas, namun tetap ada hasil yang kita dapatkan yaitu customer-customer yang mulai mencoba berbelanja online.”

Selang beberapa tahun kemudian, mulai bermunculan pemain e-commerce lain. Banyak investor dari luar negeri mulai menjajaki, berinvestasi, dan membuat bisnis e-commerce semakin bergairah. Momentum ekosistem e-commerce untuk bertumbuh semakin melesat hingga sekarang ini.

Menurut estimasi e-Conomy SEA 2020, pasar e-commerce naik 54% menjadi $32 miliar pada 2020, dari $21 miliar pada 2019. Industri ini akan terus menjadi kekuatan utama ekonomi digital di Indonesia. Pertumbuhan momentum e-commerce pada 2020 juga tercermin dari peningkatan lima kali lipat jumlah supplier lokal yang mencoba berjualan online karena pandemi.

Tidak banyak diketahui seperti apa inovasi yang sudah dilakukan Dinomarket sejak 12 tahun operasionalnya. Namun perusahaan juga melakukan banyak penyesuaian bisnis seiring tumbuhnya ekosistem pendukung e-commerce. Salah satunya adalah memanfaatkan layanan logistik yang ada agar lebih efisien.

“Dulu saat awal kita membangun sendiri sistem logistik dan delivery. Namun sejak adanya tawaran dari layanan-layanan logistik, kami memilih bekerja sama saja agar lebih efisien.”

Dinomarket baru saja merambah secondhand marketplace yang dinamai SEKO. Dalam rencana besarnya, SEKO akan muncul di laman Dinomarket sebagai pusat sirkulasi barang gadget dan elektronik. Selain itu, ada fitur trade-in (tukar tambah) gadget dan elektronik kerja sama antara SEKO, Dinomarket, brand prinsipal, dan bank.

“Peran Dinomarket di sini [untuk SEKO] sebagai supporter sisi penggarapan teknis [layanan] e-commerce dan tentunya support fund,” terang dia.

Solusi ini bukan barang baru. Sebelumnya sudah muncul Jagofon dan Laku6 sebagai salah satu pemain e-commerce yang spesifik menjual gadget bekas. Bersama Tokopedia, Laku6 menyediakan fitur Tukar Tambah yang dapat dipilih konsumen saat ingin tukar-tambah dengan gadget yang dijual di Tokopedia.

Tidak ada pemain dominan dari era 2000-an

Bisa dikatakan tidak ada pemain e-commerce era 2000-an yang menjadi pemain dominan di pasar, terutama di B2C. Satu-satunya pemain yang sering diasosiasikan dengan produk elektronik lainnya adalah Bhinneka.com. Namun target utama mereka adalah B2B dan B2G.

Menurut Treasurer Amvesindo Edward Chamdani, strategi untuk mendominasi pasar harus didukung penuh oleh mindset dari founder itu sendiri. Apabila mindset dan strategi growth hacking kurang kuat, ditambah pula dengan sudah ada pemain yang mendominasi pasar, akan sulit untuk mengubah posisi suatu perusahaan di pasar tersebut.

Dia memberi contoh yang paling nyata adalah kehadiran Shopee. Perusahaan tersebut hadir di saat sudah ada Tokopedia dan Bukalapak yang mendominasi pasar. Akan tetapi, dengan tim yang tepat dengan eksekusi growth hacking yang rapi, kini mereka bisa memenangi di segmen yang berbeda sedikit dengan Tokopedia. Bahkan baik Shopee dan Tokopedia kini sering disandingkan satu sama lain karena gencarnya strategi growth hacking yang dilakukan oleh masing-masing tim.

Mindset itu memegang peranan yang sangat penting. Strategi growth hacking juga harus di pimpin oleh orang-orang yang mendukung,” terangnya.

Edward yang juga merupakan Managing Partner Ideosource, salah satu investor awal dari Bhinneka sejak 2015, menambahkan sosok kepemimpinan yang kuat juga turut memengaruhi sebuah perusahaan dapat bersaing atau tidak di industri. Sebab dari hal ini dapat menjadi gerbang awal dari founder dalam merealisasikan visi dan misinya dapat lebih tepat sasaran dibandingkan kompetitor.

Dia kembali mencontohkan kondisi di lapangan, kali ini melihat gaya kepemimpinan Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. Wiliam sedari awal konsisten dengan misinya yang ingin menciptakan pemerataan ekonomi secara digital dan secara terus menerus disampaikan di lapangan. Misi tersebut berhasil diterjemahkan ke dalam beragam fitur yang dirilis Tokopedia untuk para penggunanya.

“Mereka membuat fitur yang mempermudah ekosistem, merchant dimanjakan dengan fitur-fitur, tidak hanya konsumen. Jadi budget marketing mereka digunakan dengan tepat dan menjawab kebutuhan ekosistem.”

Edward melanjutkan, “Ada kemungkinan besar di permukaan, penerjemahan visi founder di lapangan yang konsisten itu adalah pemenang. Kompetitor mungkin melakukan hal yang sama, tapi kita sebagai konsumen tidak melihat fitur yang jelas. Sehingga saat mereka campaign di lapangan, kita tidak bisa melihat konsistensi tersebut.”

Khusus di Bhinneka sendiri, penerjemahan perusahaan sebagai e-commerce khusus produk IT dan elektronik untuk B2B sudah berhasil menjadi top of mind dan branding yang kuat di semua orang Indonesia. Hal tersebut bumerang bagi Bhinneka sendiri, jika mereka ingin bersaing di B2C akan sulit bersaing dengan platform yang dominan di kolam yang sama.

“Bagi konsumen B2B sudah tahu bahwa mereka bisa mengandalkan after sales di Bhinneka bila ada keluhan. Tapi bagi konsumen B2C belum tentu, walau SKU-nya sama, tapi dari kacamata konsumen ada banyak pemain yang lebih kompetitif dari segi harga daripada Bhinneka,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Perjalanan Bisnis Andi Boediman: Ketika Passion Mengendalikan Rasa Cemas dengan Integritas

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Serial entrepreneur itu langka. Terutama ketika seseorang berhasil mengubah passion menjadi sesuatu yang menghasilkan uang. Andi Boediman sangat beruntung menjadi bagian dari klan spesial ini. Saat ini ia sedang sangat antusias dengan hasratnya dalam industri film sembari menjalankan bisnis investasi, Digital College, serta Digital Marketing Agency.

Setelah mengampu pendidikan di US, tujuan awalnya adalah menjadi seorang desainer. Dalam perjalanannya, ia membangun karir sebagai orang yang kreatif, memulai sebuah perusahaan desain yang berubah menjadi agensi pemasaran. Semangatnya terhadap pendidikan mendorongnya untuk membangun sekolah teknologi dan kreatif bernama IDS Digital College.

Aksi debutnya di industri digital adalah ketika ia mendirikan Plasa.com, sebuah perusahaan e-commerce di bawah grup Telkom. Andi mencicipi pahit manisnya dunia entrepreneurship untuk mendirikan perusahaan dari bawah hingga berhasil menjalin kemitraan dengan eBay.

Ia mendirikan Ideosource sebagai modal ventura untuk menanamkan modal di perusahaan tahap awal (startup) dan dalam 9 tahun terakhir telah berinvestasi di 27 perusahaan teknologi.

Saat ini, ia menjabat sebagai CEO di Ideosource Entertainment, kini telah berinvestasi dalam 15 film, dan akan terus bertambah. Selain itu, ia juga duduk sebagai Komisaris di Bhinneka.com, salah satu e-commerce B2B terkemuka di Indonesia. Ia juga seorang pendiri dari IDS Digital College, sebuah sekolah teknologi & kreatif.

Andi Boediman akan memasuki usia emasnya di tahun ini. Ia telah ditempa selama lebih dari 20 tahun dan bersedia berbagi beberapa pengalaman berharga melalui sesi ini.

Dimulai dari kapan Anda pertama kali mengalami ketertarikan dengan industri kreatif atau film secara spesifik?

Saya pernah belajar film di New York pada tahun 1999. Ketika saya kembali ke Indonesia, hampir tidak ada industri film lokal yang berjaya. Setelah berpetualang di industri kreatif, saya memulai Ideosource Venture Capital bersama Edward pada tahun 2011, kami mpraktis menjadi dana kelolaan pada tahun 2014. Sekitar tahun 2017, ketika seluruh dana telah didistribusikan, kami memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya?

Pada 2016, saya menonton film Cek Toko Sebelah dan sangat menyukainya. Lalu, ketika saya menonton film Kartini, karya itu solah-olah berbicara kepada saya. “Seseorang disebut pahlawan, bukan karena perjalanan hidupnya, namun ditentukan oleh satu momen”. Kartini, misalnya, adalah ketika ia mengorbankan dirinya untuk menikah agar dapat membangun sekolah bagi anak perempuan. Saya sangat terinspirasi oleh sudut dan perspektif film ini.

Pada 2017 saya memutuskan untuk kembali menoleh pada hasrat saya dalam film dengan mempelajari industrinya. Saya menyadari bahwa saya harus memanfaatkan pengalaman saya dalam investasi untuk bisa memasuki industri film. Pendekatan yang kita gunakan adalah manajemen risiko, tidak jauh berbeda dengan konsep Modal Ventura.

Ideosource Entertainment
Ideosource Entertainment

Dengan pendekatan yang didorong oleh passion disisipkan sejumlah perhitungan dan logika yang sesuai, kami sekarang telah berinvestasi dalam 15 film secara total. Dengan beberapa film terkenal seperti Keluarga Cemara & Gundala, dana pertama ini sebenarnya dapat dikatakan investasi ramah tamah. Saat ini kami tengah menggalang dana untuk berinvestasi dalam film & serial untuk beberapa kekayaan intelektual (intellectual property) terbaik di Indonesia.

Dari sisi venture capital, apa yang mendorong Anda mendirikan Ideosource? Ada cerita apa dibalik didirikannya modal ventura ini?

Pada tahun 2009, saya direkrut untuk memulai startup di Telkom. Saya mengatur Plasa.com sebagai situs web e-niaga dan membawa eBay menjadi mitra. Kontrak berakhir pada 2011 dan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Bersama dengan mitra saya Edward Chamdani, saya bertemu dengan pendiri ekuitas swasta Northstar dan pendiri Trikomsel.

Mereka berbagi wawasan yang bijaksana. Dengan lansekap ekonomi saat ini, pertumbuhan teknologi dan populasi Indonesia berjalan sepanjang waktu itu, itu adalah waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam startup melalui modal ventura.

Kami mulai dengan model inkubasi. Satu perusahaan yang menunjukkan hasil positif adalah Touchten, itu dikalikan 7 kali lipat. Setelah keluar dari beberapa ekuitas kami, kami memulai struktur dana yang tepat pada tahun 2014. Kami bertemu dengan Sinarmas Group dan mereka menjadi LP eksternal dan mitra pertama kami. Hingga saat ini, kami telah tumbuh hingga USD $ 15 juta.

Plasa.com launching
Launching Plasa.com

Dalam menentukan portfolio, apa yang menjadi metrik Anda dalam menilai sebuah perusahaan layak untuk di-invest?

Ketika Anda melakukan investasi, Anda berinvestasi dalam dua hal. Pendiri dan masalahnya. Pertama, apakah Anda percaya pendiri adalah seseorang yang mampu menyelesaikan masalah? Kedua, seberapa besar masalahnya? Ketika Anda yakin masalahnya cukup besar dan ini adalah pendiri yang baik, maka Anda memberinya sumber daya tanpa batas. Model ini bekerja terutama dalam investasi benih.

Sebagai contoh, salah satu portofolio kami adalah eFishery. Kami hampir tidak mengerti tentang industri perikanan. Kami melihat bahwa pendiri adalah pendiri yang kuat dan benar-benar memahami masalahnya. Kami memutuskan untuk berinvestasi bersama dengan modal ventura lain yang memahami industri akuakultur, sementara kami berkontribusi untuk membuka jaringan lokal. Dengan semakin masuk ke dalam rantai nilai industri perikanan, perusahaan tumbuh secara signifikan dan sekarang bernilai 20 kali lipat dari saat kita masuk ke perusahaan.

Dalam industri film, kami berinvestasi pada produser, yang bertanggung jawab untuk memproduksi film dan menjalankan bisnis. Dia mempekerjakan sutradara film. Kami berinvestasi pada produsen berpengalaman dengan kemampuan yang telah terbukti dalam merilis dan mendistribusikan film komersial.

Masalahnya dengan produsen baru ke industri, seseorang dapat membuat produk tetapi tidak menjamin kesuksesan komersial. Hanya ada segelintir direktur yang dapat menarik perhatian orang melalui kreasi mereka. Setelah melihat angka industri, kekuatannya terletak pada film berbasis IP dengan produser berpengalaman.

 

Anda akan segera memasuki usia emas tahun ini. Selama mengarungi perjalanan sebagai seorang serial entrepreneur lebih dari 20 tahun, bagaimana Anda mengetahui bahwa sudah berada di jalur yang tepat?

Saya tidak pernah memutuskan sesuatu secara instan dengan mengetahui itu adalah keputusan yang tepat. Kebanyakan keputusan besar yang saya buat melibatkan insecurity. Misalnya, ketika saya menerima tawaran Telkom pada tahun 2009, pekerjaan itu membuat saya sangat tidak aman karena saya tidak pernah membangun bisnis e-commerce sebelumnya. Namun, saya mengerahkan semua upaya, waktu, dan sumber daya dalam mengerjakan segala sesuatunya. Hal ini kembali terjadi ketika saya pertama kali mendirikan VC atau memasuki industri film. Saya menempatkan diri dalam sebuah hal yang penuh tantangan lalu berusaha yang terbaik dalam menjalankannya.

International Young Design Entrepreneur Award
International Young Design Entrepreneur Award

Selama pandemi, bagaimana masa krisis ini berdampak pada bisnis dan investasi Anda?

Kita kerap kali berhenti berinvestasi di saat krisis. Pelajaran hidup mengajarkan saya bahwa investasi di masa krisis memiliki kemungkinan untuk berdampak besar. Keputusan ini dibuat untuk bertahan hidup, melawan segala rintangan. Kami berinvestasi di GoPlay, dan menciptakan sinergi dengan Cinepoint, aplikasi pemeringkat film box office yang sebelumnya juga kami investasikan.

Kami membangun beberapa model bisnis baru selama pandemi. Kami membuat distribusi film. Selanjutnya, memugar beberapa hak cipta dari IP lama untuk mengubahnya menjadi film. Selama pandemi, kami memiliki waktu luang untuk finalisasi beberapa model bisnis. Satu hal mengenai krisis, naluri bertahan hidup menjadi lebih tajam ketika Anda memiliki tekanan besar.

Menurut Anda, apa pengalaman berharga selama menjadi serial entrepreneur yang bisa menjad contoh untuk orang-orang di sekitar?

Menurut saya, untuk bisa berhasil, seseorang tidak bisa hanya mencontoh perbuatan orang lain,  namun pembelajaran terjadi ketika kita memiliki wawasan dan pola pikir yang tepat guna. Apa yang telah saya pelajari sepanjang perjalanan ini adalah memiliki pola pikir yang scalable. Jika kita hanya berpikir untuk menggandakan ukuran bisnis kita saat ini, biasanya kita berpikir untuk menggandakan usaha. Tetapi jika kita memiliki objektif 10 kali lipat dari skala saat ini, kita akan bisa menganalisis rantai nilai, model bisnis dan mengeksplorasi inovasi lainnya. Kemudian, cobalah untuk mencapai objektif ini dalam waktu 5 tahun.

from mind to market

Apakah Anda merasa bahagia dengan pencapaian saat ini? Apa yang menjadi target selanjutnya?

Saya bercita-cita untuk pensiun sebagai filmmaker. Di sini, saya berkesempatan untuk membuat sejumlah film. Jadi, jika ditanya bagaimana perasaan saya, tentu hal ini membuat saya bahagia.

Saya belum bisa menjawab apa yang ingin saya capai selanjutnya, tetapi paling tidak hal itu harus bisa berdampak 10 kali lebih baik dari apa yang saya lakukan saat ini.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Andi Boediman’s Story: When Passion Beats Insecurity Through Integrity

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

A serial entrepreneur is a rare breed. Especially when one gets to turn his passion into something that makes money. Andi Boediman is very lucky to be part of the special breed. He is recently working on his passion for the film industry while also running the investment business, a Digital College, and a Digital Marketing Agency.

After studying in the US, his initial goal was to be a designer. Along the way, he built his career as a creative person, started a design company that turned into a marketing agency. His passion towards education encouraged him to build a technology and creative school named IDS Digital College.

His forays into the digital industry was when he set up Plasa.com, an ecommerce company under Telkom group. He learned the hard way to set up the company from ground up and initiate the partnership with eBay.

He set up Ideosource as a venture capital to invest in startups and within the past 9 years, he invested in 27 tech companies.

He is now the CEO at Ideosource Entertainment, already invested in 15 films, and still counting. He also sits as a Commissioner in Bhinneka.com, one of the leading B2B e-commerce in Indonesia. And he founded IDS Digital College, a technology & creative school.

Andi Boediman is to hit the golden age this year. It is worth over 20 years of experience and he’s willing to share some through this session.

Let’s start from when you first catch interest in the creative industry or specifically film/filmmaking?

I used to study film in New York in 1999. When I went back to Indonesia, there was barely any local film industry. After an adventure in the creative industry, I started Ideosource Venture Capital with Edward in 2011, we practically became a fund in 2014. Around 2017 the money has been deployed, and we were thinking on what’s next?

In 2016, I watched the movie Cek Toko Sebelah and I love it. And when I saw the movie Kartini, it really speaks to me. “A hero becomes one, not because of the whole life journey, but determined by one particular moment”. Kartini, for example, is when she sacrificed herself and got married to be able to build a school for girls. I was very inspired by the angle and perspective of this film.

In 2017 I decided to revisit my previous passion in film by studying the industry. I realized that I have to use my experience in the investment to enter the film industry. We should use the risk management approach, similar to the Venture Capital model.

Ideosource Entertainment
Ideosource Entertainment

With a passion-driven approach supported by a little math and appropriate logic, we have now invested in 15 films. With some film hits like Keluarga Cemara & Gundala, the first fund is actually more like a friendly investment. We’re currently fundraising to invest in film & series for some of the biggest intellectual property in Indonesia.

In terms of venture capital, what makes you think Ideosource is a good idea? Tell me the story behind its creation.

In 2009, I was recruited to initiate a startup inside Telkom. I set up Plasa.com as an ecommerce website and brought eBay to be the partner. The contract ended in 2011 and I decided not to continue. Together with my partner Edward Chamdani, I met the founder of Northstar private equity and the founder of Trikomsel.

They shared a thoughtful insight. With the current economic landscape, technology growth and Indonesian population run along that time, it was the right time to invest in startups through venture capital.

We started with the incubation model. One company that shows the positive result is Touchten, it multiplied 7 fold. After exiting some of our equity, we started a proper fund structure in 2014. We met with Sinarmas Group and they became our first external LP and partner. To date, we have already grown to USD$15 million.

Plasa.com launching
Plasa.com launching

In terms of portfolio, what do you see in a company that makes you want to invest? Please reveal the metrics.

When you make an investment, you invest in two things. The founder and the problem. First, do you believe the founder is someone who is capable of solving the problem? Second, how big is the problem? When you believe the problem is big enough and this is a good founder, then you give him unlimited resources. This model works particularly in seed investment.

As an example, one of our portfolios is eFishery. We hardly understand about the fishing industry. We see that the founder is a strong founder and really understands the problem. We decided to co-invest with the other venture capital that understands the aquaculture industry, while we contribute to open the local network. By getting deeper into the value chain of the fishing industry, the company grows significantly and now is valued 20 times than when we get into the company.

In the film industry, we invest in the producer, who is responsible for producing the film and running the business. He hires the film director. We invest in experienced producers with a proven capability in releasing and distributing a commercial film.

The thing with a new-to-industry producer, one can make a product but doesn’t guarantee commercial success. There are only less than a handful directors who can attract people by their creation. After looking at the industry numbers, the power lies in IP based movies with experienced producers.

You are to reach the golden age this year, you’ve been a serial entrepreneur for over 20 years. How do you know you’ve made the right decision?

I never decided something instantly knowing it’s the right decision. Most of my biggest decisions make me very insecure. For example, when I accepted Telkom’s offer in 2009, the job made me very insecure since I never built an ecommerce business before. Yet, I put all my effort, time, and resource into it. It is also what happened when I first set up a VC or entered the film industry. I put myself up to the challenge and just do it.

International Young Design Entrepreneur Award
International Young Design Entrepreneur Award

Also, during this pandemic, how the crisis impacts your business and investment?

We often stopped investing in times of crisis. My life lesson told me that investment in a time of a crisis is most likely to turn out very impactful. It was a survival decision, against all odds. We invest in GoPlay, and create a synergy with Cinepoint, a film box office rating app that we previously invested as well.

We established a few new business models during the pandemic. We create a film distribution. Next, Also, clearing some rights from old IPs to turn it into films. During the pandemic season, we got spare time to settle up some business models. That’s the thing with a crisis, the survival instinct gets sharper when you had the biggest pressure.

What do you think people could learn from your experience?

I don’t think people should follow from what other people did, but we definitely can learn from the insight and mindset. What I have learned throughout this journey is to have a scalable mindset. If we only think to double the current size of our business, usually we think of doubling the effort. But if we think 10 times the current size, we will analyze the value chain, business model and explore other innovations. And try to achieve this goal within 5 years.

from mind to market

Are you happy with what you have now? What’s next?

My plan for my retirement was to be a filmmaker. Here I am making a number of movies. So I am happy now.

I can’t answer what I want to achieve next, but it should be 10 times the impact of what I am doing now.

Terima Pendanaan, Aplikasi Rating Film Bioskop Cinepoint Segera Perluas ke Platform OTT

Aplikasi rating dan box office film bioskop Cinepoint mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan dari Ideosource Entertainment. Dana segar tersebut digunakan untuk mengembangkan fitur-fitur yang secara langsung membantu industri perfilman Indonesia, bisa terintegrasi dengan platform lain, dan perluas rating untuk konten di dalam platform OTT.

Ideosource Entertainment sebelumnya juga berinvestasi untuk pendanaan GoPlay, platform OTT milik Gojek. Baik Cinepoint dan GoPlay adalah bentuk komitmen dari Ideosource untuk membangun ekosistem perfilman di Indonesia yang lebih baik.

Cinepoint adalah aplikasi rating dan box office yang tayang di bioskop Indonesia, baik lokal maupun internasional. Rating diukur melalui exit polling yang diisi oleh penonton setelah selesai menonton dan diverifikasi secara real-time. Data box office selalu diperbarui secara rutin, dilengkapi dengan grafik mingguan maupun data historis dan infografik.

Sejatinya aplikasi ini sudah hadir sejak tahun lalu di bawah pengembang Inspira PRJ. Adapun sosok di balik aplikasi Cinepoint adalah akun Twitter @bicaraboxoffice yang kerap memberikan informasi jumlah penonton film yang tengah tayang di bioskop.

Kepada DailySocial, Direktur Utama Cinepoint Sigit Prabowo menjelaskan, Cinepoint berbeda dengan layanan lainnya yang lebih condong ke arah review film. Cinepoint memosisikan diri sebagai pemberi rating film berdasarkan angka, tanpa review. Angka lebih bersifat absolut dan benar-benar menggambarkan penilaian dari penonton.

Menurutnya, metode seperti ini sudah familiar dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Akan tetapi, penilaian diambil secara manual lewat secarik kertas yang diisi penonton setelah keluar dari bioskop. Cinepoint mendigitalkan proses tersebut untuk dibawa masuk ke Indonesia.

“Dengan digital, industri bisa mendapat gambaran jauh lebih luas, persebaran penonton, bisa memprediksi selera berdasarkan lokasi, dan lain sebagainya. Kita seperti big data analytics tapi khusus film,” ucapnya, Kamis (25/6).

Untuk memberikan rating, pengguna akan diminta memasukkan lokasi bioskop disertai scan tiket. Lalu memasukkan nama film yang ditonton, jam, dan nomor kursi bioskop. Penonton dapat menilai film dari skala 1-10.

Perlu dicatat, pemberian rating ini disarankan setelah selesai menonton atau tidak jauh dari lokasi bioskop. Setiap rating yang diberikan, pengguna akan mendapat poin.

Ketertarikan Sigit di dunia film dan analitik akhirnya menginspirasi untuk mengembangkan Cinepoint agar lebih serius dan terstruktur agar memberikan dampak positif untuk industri film. Sejak pertama kali dirilis hingga kini, dia menyebut Cinepoint telah mengantongi 40 ribu pengguna.

Salah satu fitur yang akan dikembangkan adalah rating untuk film yang tayang di platform OTT. Kata Sigit, pandemi membuat konsumsi konten film di platform OTT melesat, akhirnya mendorong tim untuk mengembangkan fitur tersebut.

Pendanaan dari Ideosource

Secara terpisah, dalam keterangan resmi yang disebarkan kemarin (24/6), CEO Ideosource Entertainment Andi Boediman menerangkan pihaknya sangat peduli terhadap perkembangan industri film. Namun, tidak bisa disangkal kalau pandemi berdampak luas terhadap industri film, ribuan pekerja film pun banyak yang terdampak secara ekonomi.

“Oleh karena itu, Ideosource Entertainment melalui Cinepoint melakukan sinergi dengan GoPlay untuk membantu pekerja film,” kata Andi.

Karena Cinepoint kini sudah masuk dalam portofolio Ideosource Entertainment, bersama GoPlay, kini kedua perusahaan saling bersinergi. Di dalam aplikasi Cinepoint akan tersedia voucher GoPlay yang dapat dibeli. Pengguna akan mendapatkan reward cashback setiap pembelian paket berlangganan.

Application Information Will Show Up Here