Qoala Digitalkan Proses Klaim Asuransi

Penetrasi asuransi di Indonesia baru menyentuh angka 1,7%, tergolong rendah dibandingkan negara tetangga. Melihat minimnya ketertarikan tersebut, startup insurtech Qoala mencoba hadir menyederhanakan proses klaim asuransi dengan pendekatan digital. Diharapkan memberikan citra positif layanan asuransi dan pengalaman pengguna yang lebih baik.

Founder dan CEO Qoala Harshet Lunani menjelaskan, perusahaan mengembangkan layanan secara end-to-end dengan teknologi; mulai dari tahap KYC, fraud management saat proses klaim, dan proses pembayaran. Dengan solusi tersebut, perusahaan asuransi dapat mengurangi biaya operasional dan menciptakan pengalaman klaim yang machine-driven.

Contoh pemrosesannya, Qoala dapat membantu menilai kerusakan layar ponsel dalam hitungan detik melalui embedded machine learning pada teknologi video assesment. Dengan teknologi ini, perusahaan asuransi dimungkinkan untuk dapat memproses dan membayar klaim asuransi lebih cepat.

“Kami bertujuan untuk terus mendukung pertumbuhan industri asuransi dan inklusi asuransi dengan menyediakan layanan mobile yang sepenuhnya automated dengan proses yang disederhanakan,” terang Harshet, Kamis (13/12).

Fokus bisnis Qoala lebih mengarah ke post-sales, berbeda dengan pemain agregator yang pre-sales. Secara regulasi, belum ada payung hukum yang selaras dengan model bisnis Qoala. Oleh karena itu, diungkapkan saat ini perusahaan masih dalam proses pendaftaran untuk masuk ke regulatory sandbox mengikuti aturan POJK Nomor 13/2018 tentang inovasi keuangan digital (IKD).

“Sejak 3-4 bulan lalu kami sudah mulai berkomunikasi dengan OJK. Mereka cukup terbuka dengan model bisnis seperti ini karena bisa mendukung industri asuransi,” tambah COO dan Co-Founder Qoala Tommy Martin.

Pada tahap awal ini, Qoala baru menyediakan produk yang khusus mengurangi risiko bagi para konsumen yang bepergian seperti produk 90 menit penundaan penerbangan tanpa klaim dan 100% pengembalian uang untuk pembatalan kereta. Dua produk ini dihadirkan berkat kolaborasi antara Asuransi ACA dan Simasnet.

Nasabah yang membeli asuransi dari perusahaan asuransi cukup mendaftarkan polisnya ke dalam sistem Qoala. Berikutnya mengunggah KTP, tiket penerbangan (apabila membeli asuransi perjalanan), dan memasukkan nomor rekening bank untuk permudah pembayaran klaim. Nanti sistem Qoala akan memberi notifikasi apabila ada pembayaran klaim.

Nasabah tidak perlu lagi melakukan dokumentasi ulang apabila ingin klaim atas risiko yang menimpa mereka. Pasalnya, dalam sistem Qoala juga terhubung dengan jadwal dari berbagai maskapai penerbangan.

Harshet mengatakan dengan teknologi Qoala nasabah dapat menerima klaim asuransi perjalanannya dalam kurun waktu 1,5 jam saja. Sementara kalau memakai proses manual, bisa memakan waktu hingga 4 jam.

“Perusahaan asuransi dapat menghemat biaya operasional hingga 25% dari 40% biaya yang mereka keluarkan setiap kali membayarkan klaim asuransi perjalanan kepada nasabahnya.”

Dalam model bisnisnya, Qoala menganut konsep B2B2C. Ada delapan mitra travel yang sudah bekerja sama dengan perusahaan; di antaranya Pegipegi, Panorama JTB, Padiciti, MNC Travel, Bravo Wisata, Travel Nusa, dan sebagainya.

Rencana bisnis

Tommy melanjutkan dalam waktu dekat, perusahaan akan merilis beragam teknologi untuk mendukung produk asuransi umum. Asuransi produk gadget ditargetkan bakal rilis dalam waktu dekat.

Berikutnya adalah asuransi kendaraan dengan teknologi. Bahkan dalam situs, Qoala tengah mempersiapkan produk asuransi untuk e-commerce, kesehatan, dan p2p lending.

“Tidak menutup kemungkinan kami akan mengembangkan ke asuransi jiwa, namun untuk tahap awal kami akan mengedukasi masyarakat dengan asuransi umum yang produknya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.”

Untuk mengakses layanan Qoala, sementara ini bisa diakses melalui versi PWA (Progressive Web Apps). Harshet menjelaskan paling lambat aplikasi Qoala bakal meluncur pada kuartal I/2019.

Qoala beroperasi sejak Februari 2018 dan kini memiliki 30 karyawan, lebih dari separuh adalah tim engineering. Diklaim Qoala telah digunakan oleh puluhan ribu pemegang polis. Perusahaan telah menerima investasi awal dengan nilai yang tidak disebutkan dari Central Capital Ventura (CCV), Seedplus, dan Genesia Ventures.

Angkat Direksi Baru, AJB Bumiputera Siap “Go Digital”

AJB Bumiputera mempersiapkan langkah untuk go digital, seiring pengumuman jajaran manajemen terbaru. Langkah ini diharapkan dapat mendongkrak citra perusahaan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada nasabahnya.

Direktur Utama AJB Bumiputera Sutikno Sjarif dalam acara jumpa media enggan memberikan detail bagaimana rencana konkret perusahaan terhadap rencana utamanya tersebut, termasuk anggaran biaya yang disiapkan. Dia hanya memberi gambaran besar bahwa perusahaan nantinya bakal memiliki solusi end-to-end untuk pemasaran, klaim, surrender, dan segala hal dalam dunia asuransi.

“Saya dan tim sudah lakukan gambaran tentang inovasi digital yang kita siapkan, tapi sebelumnya kita lihat dulu bagaimana kondisi internal untuk melihat prioritasnya sebelum memberikan angka-angka [investasi digital],” terangnya, Senin (5/11).

Dia percaya digitalisasi akan membantu perusahaan lebih cepat berkembang dan bersaing dengan pemain asuransi lainnya. Dari segi loyalitas nasabah, meski AJB Bumiputera pernah ditempa masalah likuiditas, namun mereka diklaim tetap menaruh kepercayaan kepada perusahaan.

Sutikno menyebut hingga awal tahun ini sampai Oktober 2018, perusahaan telah membayar klaim sebesar Rp3,3 triliun. Dia berkomitmen untuk terus melanjutkan pembayaran klaim, namun meminta waktu kepada nasabah agar berbenah.

Manajemen baru

Di kepemimpinannya di AJB Bumiputera, yang baru resmi dilantik tujuh hari, Sutikno membawa beberapa rekannya selama bekerja di Zurich Topas Life, seperti Yusuf Budi Baik (Direktur Bisnis dan Pemasaran) dan Sri Rahayu (Direktur Teknik). Dena Chaerudin (Direktur SDM) menjadi satu-satunya orang internal AJB Bumiputera yang bergabung dalam manajemen baru.

Bekal pengalaman Dena selama meniti karier di perusahaan selama 34 tahun diharapkan dapat menjembatani visi baru perusahaan, dengan nilai luhur yang sudah berusia 106 tahun tersebut.

Manajemen baru ini diangkat Badan Perwakilan Anggota (BPA) dan sudah di-fit and proper test oleh OJK, menggantikan Pengelola Statuter (PS) yang ditugaskan OJK untuk merestrukturisasi likuiditas AJB Bumiputera. Kehadiran manajemen baru otomatis menghentikan tugas PS dan manajemen lama sebelum PS dibentuk.

Marketplace We+ Menawarkan Produk Asuransi Terkurasi dengan Nuansa Teknologi

Bertujuan menghadirkan produk asuransi terkurasi dengan mengedepankan teknologi, marketplace We+ resmi meluncur di Indonesia. Didirikan pada pertengahan tahun 2018, We+ mengklaim sebagai marketplace asuransi pertama yang meluncurkan aplikasi, layanan chatbot “Hana”, dan menerapkan artificial intelligence (AI) untuk tampilan yang lebih personal kepada pengguna.

Kepada DailySocial, CEO dan Founder We+ Fifi Henirawati Hoo mengungkapkan, agar membedakan platform We+ dengan layanan serupa yang sudah hadir sebelumnya di Indonesia, We+ mengklaim mampu memangkas pengeluaran perusahaan asuransi yang hingga saat ini masih melakukan kegiatan secara konvensional untuk menjualkan produk asuransinya dengan mengadopsi teknologi.

“Kita ingin mengajak pengguna dan perusahaan asuransi memanfaatkan sepenuhnya cara-cara digital untuk menjual, mempromosikan dan memilih produk asuransi yang sesuai dengan pendekatan secara personal di aplikasi dan situs,” kata Fifi.

Menjalin kemitraan dengan Alfamart dan AXA

Saat ini aplikasi We+ untuk Android sudah bisa diunduh, sementara untuk platform iOS bisa diakses dalam waktu dua hari ke depan. Sejak pertama kali diluncurkan, We+ sudah memiliki sekitar 3 ribu pengunduh aplikasi dengan active user sekitar 400 orang. Untuk memudahkan pengguna, We+ juga telah meluncurkan situs setelah pengembangan aplikasi mobile.

We+ memiliki 4 kategori asuransi yang bisa dipilih, yaitu asuransi personal accident, asuransi kendaraan bermotor, extreme sport, dan asuransi travel. Semua produk asuransi tersebut dikurasi secara khusus, termasuk menggandeng Axa, Zurich, Mega Insurance,  dan Jagadiri ACA Asuransi.

Untuk pilihan pembayaran, We+ menawarkan pilihan pembayaran melalui virtual account, kartu kredit, dan melalui gerai Alfamart di seluruh Indonesia.

“Kerja sama dengan Alfamart sengaja kita lakukan untuk bisa memudahkan pengguna melakukan pembayaran memanfaatkan gerai-gerai Alfamart di seluruh Indonesia. Saat ini sendiri gerai Alfamart sudah berjumlah sekitar lebih dari 13 ribu gerai di seluruh Indonesia,” kata Fifi.

Untuk strategi pemasaran, selain memanfaatkan pemasaran secara digital, We+ juga terus memperluas kolaborasi dengan perusahaan asuransi, institusi keuangan hingga perusahaan terkait lainnya. Harapannya akan lebih banyak orang yang melakukan pembelian produk asuransi secara online.

Application Information Will Show Up Here

Peranan dan Tantangan Layanan Asuransi Online

Makin maraknya layanan asuransi online saat ini masih menyulitkan nasabah untuk melakukan pengaduan atau mengklaim asuransi mereka. Hal ini disebabkan layanan asuransi online yang kebanyakan sifatnya sebagai agregator atau perantara. Mereka idak memiliki cara yang akurat hingga lisensi yang tepat oleh regulator, dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

CEO PT Futuready Insurance Broker (Futuready) Sendy Filemon menjadi pembicara dalam sesi #SelasaStartup kali ini. Futuready merupakan perusahaan perantara asuransi berbasis digital. Dalam presentasinya disebutkan tantangan dan peranan layanan asuransi online yang tepat untuk mendorong lebih banyak lagi masyarakat membeli produk asuransi secara online.

Mengedepankan lisensi OJK

Sebagai salah satu perusahaan asuransi yang menawarkan berbagai produk asuransi dari perusahaan asuransi, Sendy mengklaim lisensi yang sudah dikantongi dari OJK memperkuat posisi Futuready sebagai perusahaan broker asuransi berbasis digital. Bukan hanya memberikan produk asuransi yang beragam, Futuready juga meyakinkan pengguna keamanan dan jaminan bahwa semua proses yang dibutuhkan bisa berjalan dengan lancar. Saat ini banyak layanan asuransi online yang menawarkan produk asuransi dengan memanfaatkan pihak ketiga untuk pendistribusiannya. Hal ini menyulitkan nasabah yang ingin bertanya lebih lanjut bahkan mengklaim asuransi milik mereka.

“Idealnya semua proses yang terjadi dalam transaksi pembelian produk asuransi harus diawasi oleh regulator, yaitu OJK. Namun di Indonesia kegiatan tersebut belum dilakukan secara ideal, sehingga kerap menimbulkan masalah dan merugikan nasabah asuransi,” kata Sendy.

Lisensi yang dimiliki perusahaan asuransi dari OJK juga membantu mereka untuk menjalankan bisnis ke arah yang tepat. Hal ini penting untuk meyakinkan lebih banyak orang membeli polis asuransi online.

“Saya melihat ada tipe orang yang tertarik untuk membeli asuransi sendiri, tanpa ditawarkan oleh layanan asuransi secara offline atau online. Kategori tersebut yang diincar oleh perusahaan asuransi online,” kata Sendy.

Mengajak lebih banyak pemain berlisensi

Meskipun saat ini kompetisi di antara pemain asuransi online sudah banyak, namun jika mereka tidak memiliki lisensi dari OJK akan mengurangi kredibilitas perusahaan asuransi tersebut. Sendy melihat ada baiknya semua layanan asuransi online mengajukan perizinan kepada OJK, baik itu sebagai agen atau pialang.

“Layanan asuransi online sifatnya hanya sebagai perantara dan tidak memiliki komitmen untuk memberikan layanan yang optimal kepada nasabah. Dengan ijin yang dimiliki dari regulator, bisa memperkuat posisi layanan asuransi online agar berpihak kepada nasabah, bukan hanya kepada perusahaan asuransi,” kata Sendy.

Sendy melanjutkan, Futuready selama ini sepenuhnya melayani kebutuhan dari nasabah dan tidak memberikan ruang khusus untuk perusahaan asuransi beriklan atau membayar layanan lebih untuk mendapatkan fitur di platform Futuready.

“Saat ini masyarakat sudah sangat kritis dalam hal pemilihan produk asuransi. Jika mereka sudah membeli di satu layanan asuransi online, belum tentu mereka akan kembali lagi di layanan yang sama. Untuk itu layanan pelanggan yang baik serta menjaga kepercayaan nasabah menjadi prioritas kami perusahaan broker asuransi berbasis digital,” kata Sendy.

Asuransi Astra Kenalkan Chatbot “Garxia”, Permudah Pembelian Asuransi Kendaraan

Asuransi Astra memperkenalkan chatbot Garxia (Garda Experience Intelligent Assistant) sebagai bagian rangkaian digital journey perusahaan yang sudah dilakukan sejak 2015. Garxia melayani pembelian asuransi kendaraan secara langsung dan dapat diakses melalui aplikasi Garda Mobile Otocare versi terbaru.

CEO Asuransi Astra Rudy Chen mengatakan, Garxia sengaja dihadirkan untuk pembelian asuransi kendaraan, lantaran produk ini menempati separuh dari total pemasukan premi perusahaan. Aplikasi Otocare sendiri adalah aplikasi pertama yang dirilis perusahaan sejak pertama kali memulai perjalanan ke digital.

“Tim IT Asuransi Astra cukup solid sehingga chatbot ini kita kembangkan sendiri secara in-house. Garxia itu menambah channel penjualan produk secara digital kami untuk ritel, saat ini kontribusi dari ritel baru 15% dari total penjualan premi,” terang Rudy, kemarin (13/9).

Dia melanjutkan, Garxia menawarkan pengalaman baru dalam membeli asuransi karena ada personal touch yang diberikan sehingga bertransaksi semudah mengirim pesan instan. Garxia akan mendampingi calon pelanggan dalam menjawab beberapa pertanyaan yang dibutuhkan untuk melengkapi data pembelian polis.

Chatbot juga dapat membantu menghitungkan nilai premi yang harus dibayarkan untuk jenis asuransi yang dipilih. Tidak hanya untuk asuransi komprehensif dan TLO, Garxia juga sudah dibekali dengan pengetahuan terkait jenis-jenis perluasan asuransi serta tambahan biaya yang harus dibayarkan pelanggan untuk setiap perluasan yang dipilih.

Pembayaran polis bisa dilakukan lewat cicilan kartu kredit, bekerja sama dengan tiga bank, yakni BCA, Bank Mandiri, dan Bank Permata. Setelah data yang diminta Garxia dipenuhi, berkas calon pelanggan diteruskan melalui saluran Garda Oto Digital sehingga calon pelanggan berhak mendapatkan layanan home survey dengan jadwal dan lokasi survei yang dapat dipilih sendiri.

Menggunakan saluran ini, area layanan polis Garda Oto yang dibeli melalui Garxia juga mengikuti cakupan area layanan Garda Oto Digital sendiri, yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Garda Oto Digital merupakan channel penjualan produk digital pertama berbasis situs untuk konsumen ritel Asuransi Astra. Situs ini sudah dirilis sejak Oktober 2017.

“Garda Oto Digital itu spirit awalnya saat kita luncurkan adalah bisa beli asuransi otomotf di mana saja dan kapan saja. Waktu itu cover-nya masih Jakarta. Tapi per April 2018, kita lihat animonya cukup baik makanya kita perluas layanan.”

Rencana Garxia berikutnya

Garxia secara sengaja hanya ditanamkan dalam aplikasi Otocare, tidak tersedia di aplikasi messaging yang populer. Rudy beralasan aplikasi sudah menyimpan data pengguna, hal ini akan mempermudah Garxia memahami konsumen.

Garxia akan melengkapi fitur-fitur yang sudah dirilis aplikasi Otocare, di antaranya pengingat untuk memperbarui SIM, STNK, asuransi kendaraan, dan servis berkala. Ada  pula fitur lapor klaim, pantau status klaim, panggil layanan darurat 24 jam untuk pelanggan Garda Oto, dan fitur lainnya.

“Sehingga ketika masuk ke dalam aplikasi, semua kebutuhan pelanggan sudah dalam satu aplikasi. Dari segi keamanan pun kami jamin data pengguna akan aman.”

Dia juga tidak menutup kemungkinan Garxia akan di bawa ke aplikasi produk Asuransi Astra lainnya. Pihaknya akan melihat kebutuhan konsumen apakah benar-benar membutuhkan bantuan chatbot untuk mendapatkan pengalaman yang lebih baik.

Application Information Will Show Up Here

Hearti Lab Usung Keamanan Berasuransi dengan Teknologi Blockchain

Penetrasi asuransi yang masih minim di Indonesia menjadi tantangan sekaligus peluang besar yang bisa digarap. Bisnis asuransi pada dasarnya berbasis pada kepercayaan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi. Untuk itu kebanyakan membutuhkan agen sebagai perantara antara keduanya.

Hanya saja, cara pendekatan lewat agen dirasa kurang relevan dengan perkembangan saat ini, terutama saat generasi milenial mulai berkembang. Untuk itu keberadaan teknologi terkini yang mampu menjawab inti bisnis dasar asuransi sangat dibutuhkan. Inilah yang coba dijawab Hearti.

Perusahaan insurtech dan blockchain yang berbasis di Singapura ini ingin menjawab tantangan asuransi yang butuh unsur kepercayaan yang dipadukan dengan keamanan data yang tersimpan dalam teknologi blockchain.

CEO dan Founder Hearti Lab Keith Lim menuturkan blockchain adalah teknologi yang pas untuk memadukan industri keuangan khususnya asuransi dalam hal kepercayaan. Blockchain yang memiliki dua unsur elemen utama hash dan proof of work, memungkinkan semua data yang tersimpan sulit untuk di ubah-ubah.

“Asuransi itu harus transparan proses bisnisnya, kedua belah pihak harus tahu isi polis tanpa bisa diubah-ubah. Nah ini bisa dikomplementerkan dengan blockchain, sehingga semua data bisa diketahui kedua belah pihak,” terang Lim kepada DailySocial.

Hearti Lab menjalani bisnisnya dengan model B2B2C. Artinya, perusahaan menyediakan full suite application platform, yang di dalamnya termasuk chatbot (berbentuk white label) untuk mitra perusahaan asuransi. Nanti perusahaan asuransi bisa memasukkan fitur-fitur yang diinginkan sebelum disebar ke masyarakat.

Setiap percakapan yang terjadi di dalam chatbot, sambungnya, akan tersimpan dalam big data dan diolah oleh machine learning. Semakin sering bercakap-cakap, chatbot akan semakin pintar memberikan rekomendasi berkat AI yang disematkan.

Teknologi blockchain akan bekerja untuk menyimpan seluruh data dan polis pengguna, sehingga tidak bisa diubah tanpa persetujuan antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.

Perubahan isi polis seperti ini sebenarnya, menurut Lim, terjadi di Thailand. Saat terjadi banjir bandang, nasabah tidak bisa mengklaim asuransi properti yang sudah mereka beli karena terjadi perbedaan data antara kedua belah pihak.

Perusahaan asuransi di sana tidak memberitahukan saat isi polis terjadi perubahan ke para nasabahnya. Alhasil, nasabah tidak bisa mengklaim saat membutuhkannya. Hal ini juga terjadi di Singapura, namun tidak separah di Thailand. Perusahaan asuransi di sana terkadang lupa memberitahukan ketika ada perubahan polis ke nasabah.

Berkat kehadiran big data, perusahaan asuransi dapat menyesuaikan harga premi asuransi dengan biaya tambahan (surcharge) dalam chatbot mereka berdasarkan kondisi iklim atau bencana yang terjadi di daerah tertentu. Nasabah tetap bisa terlindungi dengan asuransi saat berkunjung ke sana, yang mana hal seperti ini biasanya tidak dapat terjadi ketika beli asuransi perjalanan biasa.

Perusahaan juga bisa memberikan sejumlah diskon untuk para nasabahnya yang sudah loyal dan tidak mengklaim dalam beberapa tahun belakangan. Hal-hal seperti ini yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.

“Ini menguntungkan buat nasabah dan perusahaan asuransi. Nasabah yang beli asuransi itu pasti inginnya terlindungi dengan asuransi di mana pun mereka berada. Namun terkadang karena aturan khusus dalam polis, membuat keinginan untuk terlindungi jadi percuma karena tidak bisa diklaim.”

Hearti Lab juga meluncurkan token tersendiri untuk pembelian polis, dinamai Sure Token berbasis mata uang digital Ethereum platform ERC-20. Dengan token ini, dapat menguntungkan orang-orang yang belum memiliki rekening bank untuk membeli asuransi. Token bisa dibeli lewat aplikasi Hearti Lab.

Salah satu perusahaan asuransi yang sudah menggunakan chatbot buatan Hearti Lab adalah Asuransi Sompo di Singapura yang meluncurkan chatbot bernama Serene. Dia dapat menangani semua hal berkaitan asuransi perjalan di Sompo secara instan, entah sekadar untuk cari informasi, membeli polis, hingga klaim secara 24/7.

“Bahkan Sompo berencana untuk membawa Serene buat pengembangan bisnisnya di Indonesia.”

Rencana bisnis di Indonesia

Hearti Lab memanfaatkan teknologi blockchain untuk perusahaan asuransi demi jamin keamanan polis nasabah tidak bisa diubah-ubah tanpa sepengetahuan
Country Manager Hearti Lab Indonesia Benny Jioe dan CEO dan Founder Hearti Lab Keith Lim / DailySocial

Hearti Lab hadir di Indonesia sejak Februari 2018 dan dipimpin Benny Jioe sebagai Country Manager Hearti Lab Indonesia. Benny menerangkan saat ini pihaknya masih fokus untuk mengembangkan tim karena Indonesia akan dijadikan tempat pemasaran bisnis Hearti Lab.

Penetrasi soal blockchain di Indonesia juga bakal terus dikembangkan, mengingat pendekatan asuransi dengan blockchain masih terdengar cukup awam bagi banyak orang. Oleh karena itu pada tahap awal perusahaan memberi opsi kepada setiap pengguna. Apakah ingin menyimpan polis dalam sistem blockchain atau data sentral.

“Kami ingin pastikan dulu orang paham dengan blockchain. Ini momennya tepat karena saat ini sudah banyak asuransi konvensional di Indonesia yang mulai sadar dengan potensi digital,” terang Benny.

Saat ini perusahaan sedang dalam tahap diskusi untuk penerapan perdana blockchain dengan salah satu bank yang kuat dengan lini usaha asuransi dari anak usahanya. Sayangnya, Benny enggan berkomentar lebih lanjut untuk detil soal ini.

Selain Indonesia dan Singapura, Hearti Lab memiliki tim di Thailand dan Vietnam. Hearti Lab pernah menerima investasi dari sejumlah angel investor, di antaranya Pang Yew Khat, Khoo Kah Siang (COO Manulife Singapura) senilai US$2,8 juta pada 2015.

AXA General Insurance Resmikan Portal Asuransi Online “AXA MyPage”

AXA General Insurance (AXA GI) meresmikan portal asuransi online “AXA MyPage” untuk memudahkan calon nasabah dan agen distribusi dalam mengakses layanannya. Perusahaan menggandeng DOKU sebagai payment gateway untuk permudah nasabah saat bertransaksi online.

AXA MyPage merupakan salah satu wujud dari upaya kami mendukung akses digital dalam menjangkau masyarakat dan pelanggan di seluruh Indonesia. Namun kami pun tetap memberikan kenyamanan, dengan menawarkan pelayanan akses omni-channel terbaik dalam menghadirkan produk dan solusi kami,” ujar CCO AXA GI Kameswara Natakusumah, Kamis (30/8).

Dia melanjutkan, AXA MyPage juga berguna untuk para agen AXA GI sebab berfungsi sebagai platform digital yang menjual segala kebutuhan produknya. Sebab portal ini merupakan salah satu alat yang kuat untuk menjual dan memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai produk AXA GI.

Para agen dapat memanfaatkan AXA MyPage dengan membuat halaman pribadi masing-masing, memungkinkan mereka untuk mempromosikan profil sekaligus menawarkan solusi secara online, langsung ke pelanggan. Agen dapat melacak status prospek mereka, transaksi pelanggan, status pembayaran maupun status polis, secara real time.

Kemitraan dengan DOKU, menurutnya, diharapkan dapat permudah jangkau calon nasabah dari berbagai kalangan dengan aman dan nyaman. Nasabah juga dapat memilih berbagai metode pembayaran sesuai pilihan, mulai dari akun DOKU, kartu kredit, internet banking, dan bank transfer.

Dalam portal ini, AXA GI menawarkan tiga produk asuransi, mulai dari asuransi perjalanan, kendaraan bermotor, dan kesehatan. Bisa langsung membeli polis dengan mengisi data diri KTP/Paspor, jadwal keberangkatan dan destinasi (untuk asuransi perjalanan), periode polis (untuk asuransi kesehatan), nomor mesin dan rangka mobil, foto kendaraan empat sisi (untuk asuransi kendaraan), dan detil lainnya.

Saat calon nasabah telah mengisi semua data yang diminta AXA GI, secara otomatis akan diarahkan ke laman DOKU untuk menyelesaikan pembayaran polis. Setelah itu, nasabah akan diinformasikan lebih lanjut oleh pihak AXA GI.

“Berbekal database fraud yang komprehensif, kami membangun Artificial Intelligence (AI) yang membentuk machine learning tersendiri. Hal ini membuat fraud monitoring berjalan lebih akurat dan tepat guna. Selain itu, kami juga memiliki tim pendeteksi khusus fraud untuk memastikan ketepatan dan kelancaran keamanan untuk setiap transaksi yang diproses melalui payment gateway DOKU,” tutup Vice President Merchant Business DOKU Dody Wijaya.

General Insurance Association Spots Three Issues Preventing Insurtech

The insurance players represented by Indonesia’s General Insurance Association (AAUI) spots three central issues that stalling the innovation for insurtech (insurance technology) in Indonesia. It’s considered as the most crucial that needs coordination from several parties to make it work.

Christian Winandi, AAUI’s Vice President for International Relation Division, described the three issues of the physical document provision, no validity regarding digital signatures for KYC, and stamp usage.

“The three issues are usually the controversy between legal people of insurance and marketing. OJK is actually aware of this and they’re still reviewing due to a large number of parties to be involved. For example, stamp usage cases should be the Ministry of Finance’s duty.”

In his opinion, the use of physical documents in every purchase of insurance policy doesn’t harmonize with the current technology development. In fact, around 50%-60% of 82 AAUI members are heading to insurtech, starting from distribution development through the digital channel.

Currently, some players have developed some simple digital actions, such as using social media and refreshing website to attract potential policyholders.

“If this is the case, they need to solve the regulations which still in the way. insurtech becomes an interesting opportunity for insurance penetration to keep increasing.”

According to Indonesia’s Insurance Council (DAI), only 1.7% of 260 million people have insurance by 2015. That despite the increase in marketing through the digital channel such as application and email by 110% during 2013-2016.

In other words, insurtech is something that is very compelling to be explored by conventional insurance players. Moreover, this is the right way to attract new policyholder from millennials.

“I guarantee, in five years, insurance will go (market the product) online,” Dony Oskaria, CT Corp’s CEO, said in the session.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Asosiasi Asuransi Umum Soroti Tiga Isu Penghambat InsurTech

Pelaku asuransi yang diwakili Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyoroti tiga isu utama yang dinilai menghambat laju inovasi untuk InsurTech di Indonesia. Isu tersebut dinilai paling krusial, sehingga membutuhkan koordinasi dari banyak pihak untuk menyelesaikannya.

Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional AAUI Christian Winandi menerangkan tiga isu yang ia maksud adalah ketentuan mengenai polis harus dicetak bentuk fisik, belum adanya keabsahan mengenai tanda tangan digital untuk KYC, dan penggunaan materai.

“Tiga isu ini biasanya selalu jadi perdebatan antara orang bidang hukum di asuransi dengan orang marketing. OJK sebenarnya sudah sadar dengan isu ini, makanya mereka masih kaji karena banyak pihak yang bakal dilibatkan. Misalnya untuk pakai materai itu sebenarnya ditangani oleh Departemen Keuangan,” kata Christian dalam diskusi panel “InsurTech: The Digital Future of Insurance”, Jumat (10/8).

Masih digunakannya dokumen fisik dalam setiap pembelian polis asuransi, menurutnya kurang sejalan dengan perkembangan teknologi yang berkembang saat ini. Padahal, dari 82 anggota AAUI sekitar 50%-60% diantaranya sudah mulai mengarah ke insurtech, dimulai dari pengembangan distribusi lewat kanal digital.

Saat ini beberapa pemain memang sudah mengembangkan sesuatu yang sifatnya sederhana, seperti memanfaatkan media sosial dan penyegaran situs yang lebih menarik calon pemegang polis.

“Kalau sudah begini, makanya perlu diselesaikan regulasi-regulasi yang dinilai masih menghambat. InsurTech menjadi peluang yang menarik agar penetrasi asuransi bisa terus meningkat.”

Menurut catatan Dewan Asuransi Indonesia (DAI), hanya 1,7% dari 260 juta masyarakat Indonesia yang memiliki asuransi per 2015. Padahal pemasaran lewat kanal digital seperti aplikasi dan email meningkat 110% sepanjang 2013-2016.

Dengan kata lain, InsurTech menjadi sesuatu yang menggiurkan untuk digali para pemain asuransi konvensional. Terlebih ini adalah cara yang tepat untuk menggaet pemegang polis baru dari kalangan millenial.

“Saya jamin lima tahun lagi, asuransi pasti (memasarkan produk) lewat digital,” tandas CEO CT Corp Dony Oskaria yang turut hadir dalam sesi tersebut.

PasarPolis Konfirmasi Perolehan Pendanaan Seri A dari Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka

PasarPolis, penyedia jasa teknologi asuransi (InsurTech), mengonfirmasi penerimaan dana segar Seri A dari tiga investor, Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka dengan nilai yang tidak disebutkan. Kabar ini sudah santer berkembang sejak empat bulan lalu, namun hari ini (10/8) baru ada konfirmasi resmi dari PasarPolis.

Dana segar tersebut, menurut Founder dan CEO PasarPolis Cleosent Randing, mayoritas akan dipakai untuk pengembangan produk asuransi mikro tailor made (sesuai permintaan) yang lebih inovatif dari para mitra perusahaan untuk para pemegang polis. Perusahaan juga akan mengembangkan inovasi terbaru di bidang asuransi dengan memanfaat teknologi teranyar demi menawarkan pengalaman yang lebih baik.

“Kami bisa menciptakan produk asuransi mikro tailor made sehingga asuransi ke depannya bisa didemokratisasi, semakin banyak yang pakai asuransi maka harganya bisa lebih murah. Semua orang jadinya bisa ter-cover dengan asuransi,” kata Cleosent, Jumat (10/8).

Produk asuransi mikro tailor made yang ia maksud adalah produk yang dibuat  mitra perusahaan asuransi PasarPolis dengan menggunakan teknologi terkini dan dipasarkan lewat PasarPolis. Salah satu contohnya adalah produk Go-Produksi bersama Go-Jek, sudah diluncurkan pada 2017. Ini adalah asuransi jiwa mikro dan barang pribadi untuk mitra pengemudi, termasuk melindungi perangkat smartphone mereka.

Diklaim produk ini telah menjaring lebih dari 300 ribu mitra pengemudi yang rutin membayar premi Rp7.500 per bulan dengan uang pertanggungan sampai Rp30 juta. Untuk membeli asuransi ini, mitra pengemudi tidak dipaksa kedua belah pihak.

Menurutnya, asuransi mikro yang kemungkinan besar bakal dikembangkan untuk para pengguna Tokopedia seputar asuransi elektronik dan gawai. Sementara Traveloka tidak jauh-jauh dari asuransi perjalanan.

“Intinya produknya akan modular, simpel, dan klaimnya harus instan. Nanti variasi produknya akan lebih inovatif, sehingga pengalaman pemegang polis akan lebih baik.”

Inovasi produk

Tidak hanya menjadi agregator antara perusahaan asuransi dengan calon nasabah, perusahaan yang sudah berdiri sejak 2015 ini mengembangkan inovasi untuk klaim instan dan digital claim. Perbedaan antara keduanya, klaim instan itu berlaku ketika pemegang polis tidak perlu lagi mengajukan klaim.

Inovasi sudah diterapkan bersama Citilink, jadi ketika pengguna telah membeli asuransi perjalanan di Citilink kemudian dari pihak maskapai terjadi delay. Mereka tidak perlu lagi mengajukan klaim secara manual. Secara instan, dana klaim akan masuk ke rekening pengguna.

Sementara untuk digital claim adalah kondisi ketika pemegang polis bisa memproses administrasi dokumen klaim secara online. Cukup kirim via email saja nanti bisa langsung diproses oleh pihak asuransi.

“Inovasi ini yang akan kami terus kembangkan, mengubah ketakutan orang sebelum membeli asuransi adalah klaim yang susah. Nah ini yang mau kita mudahkan, jadinya orang tidak takut lagi untuk berasuransi,” tambah COO PasarPolis Christopher Kustono.

Disebutkan PasarPolis telah bermitra dengan lebih dari 100 produk asuransi dari sekitar 30 mitra asuransi yang memasarkan produknya di situs PasarPolis. Dari situ perusahaan telah memiliki sekitar 500 ribu pemegang polis, sekitar 300 ribu diantaranya datang dari mitra pengemudi Go-Jek.

PasarPolis menyediakan enam jenis produk asuransi, seperti asuransi perjalanan, kecelakaan diri, properti, kesehatan, jiwa, dan kendaraan motor.