Beroperasi di Indonesia, Sigfox Tawarkan Layanan IoT dengan Konsumsi Listrik Rendah

Sigfox Indonesia resmi memulai operasinya di Indonesia untuk mempersiapkan infrastruktur jaringan sekaligus memulai pengembangan solusi IoT (internet of things) dengan menggandeng beberapa pemain lokal dan universitas. Solusi IoT yang ditawarkan akan membawa konsep konsumsi listrik dan bandwith yang rendah.

Sejauh ini penggunaan IoT dimulai melalui operator seluler baik untuk lampu lalu lintas, pelacakan logistik, kamera video dan mobil pintar, hingga pengelolaan listrik dan manajemen armada. Semua masih dilakukan melalui platform seluler.

Dengan belum meratanya jangkauan jaringan dan sumber listrik, diperlukan sebuah sistem IoT yang menjawab permasalahan tersebut.

Sigfox mencoba menjawab hal tersebut dengan konsep low powered IoT atau IoT dengan konsumsi daya yang rendah. Selain listrik, konsep yang ditawarkan juga diklaim tidak membutuhkan bandwith yang besar. Konsep yang ini diharapkan bisa melengkapi sistem yang sudah ada.

“Umumnya permasalahan penerapan IoT di Indonesia terkait empat hal, standarisasi, interoabilitas, jangkauan terbatas dan struktur biaya yang tidak scalable. Sigfox sebagai operator jaringan IoT independen terbesar di dunia melihat kendala-kendala tersebut dapat dimitigasi dengan penerapan IoT yang disesuaikan dengan kebutuhan di sini,” terang CEO Sigfox Indonesia Irfan Setiaputra.

Sigfox Indonesia akan menjadi bagian dari jaringan Sigfox Global yang sejauh ini sudah beroperasi di 60 negara. Nantinya pelanggan yang membutuhkan solusi yang bersifat roaming dapat dipenuhi oleh seluruh jaringan IoT Global Sigfox.

Secara bisnis Sigfox akan mulai memberikan layanan bagi pelanggan global yang beroperasi di Indonesia dan membawa solusi yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia. Selain itu, sebagai bentuk kontribusi terhadap ekosistem IoT di Indonesia, Sigfox juga akan bekerja sama dengan mahasiswa dan pusat penelitian dan bekerja sama dengan industri untuk memproduksi alat dan sensor IoT.

“Sigfox melihat potensi besar bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Lagi pulai Indonesia digadang-gadang menjadi salah satu dari 5 ekonomi terbesar di dunia dalam jangka waktu 15 tahun ke depan. Untuk itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia serta kalangan IT harus bisa melihat potensi ke depan dan mengkapitalisasi competitive advantage ini. Sigfox tidak hanya memberikan layanan kontektivitas bagi industri di Indonesia, namun juga berkomitmen untuk memberikan panggung bagi pelaku creative economy di Indonesia seperti pengembang perangkat keras dan lunak untuk mencapai sukses di dunia internasional,” terang Country Director Sigfox Ali Fahmi.

Mediatek Perkenalkan Teknologi AI dan Chipset P70

Belakangan ini, beberapa vendor smartphone ramai-ramai mengeluarkan perangkat dengan chipset buatan Mediatek. Sampai saat ini di Indonesia, smartphone dengan cip Mediatek sudah menggunakan versi Helio P70. Sayangnya, masih banyak yang belum mempercayai vendor yang satu ini.

Mediatek P70 - Launch

Pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2019, Mediatek mengundang para wartawan untuk melakukan sebuah sesi perkenalan. Selama ini, Mediatek hampir tidak pernah memperkenalkan diri dihadapan para awak media. Acara yang diadakan pada ballroom hotel Fairmont tersebut pun bertujuan untuk memperkenalkan cip mereka yang saat ini sudah banyak digunakan pada beberapa smartphone.

Mediatek Helio P70

Mediatek menyatakan bahwa cip mereka yang sebelumnya, Helio P60, sudah sukses diterima di pasaran. Hal tersebut dapat dilihat dengan hasil penjualan dari smartphone OPPO F7, OPPO F9, Realme 3, Vivo V11, Nokia 5.1 Plus, dan Luna X Prime di Indonesia. Secara global pun, masih banyak merek yang mengeluarkan perangkatnya dengan menggunakan Helio P60.

Saat ini Mediatek memperkenalkan Helio P70. Cip yang satu ini digadang memiliki kinerja yang lebih baik dari Helio P60. CPU, GPU, dan mesin AI merupakan tiga hal yang ditingkatkan pada Helio P70. Keduanya pun masih menggunakan proses pabrikasi 12nm. Beberapa smartphone pun juga telah menggunakan cip Helio P70 tersebut, seperti OPPO F11/Pro, Realme U1, serta VIVO V15.

Mediatek juga mengklaim bahwa mesin kamera mereka lebih baik dari para pesaingnya. Hal tersebut dapat tercapai dengan menggunakan tiga inti Image Signal Processing (ISP) dan dua inti AI Processing Unit (APU) dibandingkan dengan menggunakan sebuah DSP.

Mesin AI mereka sendiri diklaim memiliki kinerja yang tinggi. Pada saat melakukan benchmark dengan menggunakan ETH Zurich Benchmark, Helio P90 mampu mengungguli semua cip pesaing dari Mediatek. Hal inilah yang membuat Mediatek yakin bahwa mesin AI mereka paling baik untuk semua perangkat.

Internet of Things

Cip Mediatek saat ini sudah tertanam ke dalam beberapa televisi yang dijual oleh merek-merek terkenal, salah satunya adalah televisi Sony Bravia. Selain itu, Mediatek juga menempati urutan pertama dalam pemasok cip tablet Android, perangkat networking, Bluray, dan ponsel candy bar. Saat ini, mereka melebarkan sayapnya dengan memasok cip ke beberapa perangkat IoT.

Saat ini perangkat dari Amazon sudah memenuhi pasar dan menggunakan cip dari Mediatek. Perangkat speaker pintar dari Sony pun juga menggunakan teknologi dari Mediatek.

AI dari Mediatek memiliki platform open source dengan nama Mediatek NeuroPilot. Platform ini dikembangkan lebih lanjut karena pada tahun lalu di Google I/O, Android Things sudah mulai dicanangkan oleh Google dan Mediatek merupakan salah satu partner mereka.

Diremehkan

Mediatek selalu diremehkan di pasar Indonesia. Namun menurut Pang Sui Yen, Senior Manager Corporate Sales Asia Afrika MediaTek, hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun diseluruh dunia. Mereka pun sadar bahwa cip dari Mediatek selalu diremehkan.

Mediatek P70 - Talk

Pang Sui Yen mengatakan bahwa hal tersebut hanya dikarenakan kurangnya marketing mereka. Kedepannya, Mediatek bakal lebih sering memaparkan keunggulan-keunggulan yang mereka miliki dibandingkan dengan para pesaingnya.  Beliau pun mengatakan bahwa pada tahun ini Mediatek bakal mengeluarkan cip baru pada Computex 2019.

Pang Sui Yen juga mengatakan bahwa mereka bakal mengeluarkan cip yang pasti cocok untuk para konsumen. Hal tersebut tentu saja bakal diluncurkan dengan harga yang lebih murah.

Pandangan dan Solusi Qualcomm Demi Mendorong Pengembangan Smart City dan IoT di Indonesia

Saya masih ingat ketika internet of things diangkat sebagai tema utama di pameran IT konsumen beberapa tahun silam. Ketika itu, konsep ‘kota pintar’ dan IoT tengah menjadi tren di dunia teknologi, dan orang-orang membayangkan segala macam kepraktisan yang bisa dihadirkan olehnya. Namun dilihat dari perspektif ini dan dikomparasi dengan Singapura serta Hong Kong, Indonesia memang tertinggal di belakang.

Tapi keadaan dapat berubah dengan pemanfaatan teknologi yang tepat. Qualcomm Technologies, perusahaan yang telah berkiprah di ranah semikonduktor dan telekomunikasi selama lebih dari tiga dekade, mencoba menawarkan solusi demi membantu Indonesia mewujudkan misi Industri 4.0, termasuk pula pada penerapan internet of things lebih jauh serta pengembangan gagasan kota pintar.

Di acara bertajuk Qualcomm Invention Forum, perusahaan berbagi segala macam hal yang bisa membantu mempercepat tibanya ‘zaman inovasi’, sembari merangkul pihak pemerintah, developer, operator seluler, hingga integrator sistem untuk saling bekerja sama. Satu aspek krusial dari semua itu adalah konektivitas 5G yang sebentar lagi berada dalam genggaman. Dan kita tahu Qualcomm ialah salah satu pionirnya.

QIF 1

 

5G

Di presentasinya, senior director of business development Qualcomm International Shannedy Ong menyampaikan bahwa durasi peluncuran 5G terbukti jauh lebih cepat dibanding 4G. Dahulu, hanya ada empat operator dan tiga produsen yang segera merangkul 4G begitu teknologi tersedia. Untuk 5G, terhitung ada lebih dari 20 operator dan 20 OEM memberikan dukungannya. Bagi konsumen awam, upgrade ke generasi selanjutnya biasa diaosisasikan dengan lompatan kecepatan akses. Hal ini tidak sepenuhnya keliru, tapi ada banyak aspek esensial lain yang dihidangkan oleh 5G, contoh kecilnya ialah kapasitas lebih besar dan latensi lebih rendah.

QIF 11

Kolaborasi antara Qualcomm, operator dan produsen perangkat memungkinkan direalisasikannya perilisan teknologi 5G di kuartal kedua tahun ini, terutama di wilayah-wilayah seperti Amerika Utara, Eropa, Korea Selatan, Tiongkok, Jepang, Australia dan sejumlah kawasan Asia Tenggara. Tentu saja beragam segmen akan merasakan dampak positifnya: proses manufaktur otomatis, terwujudnya sarana transportasi tanpa pengemudi, medis, keamanan, logistik, pengelolaan energi, dan sudah pasti ia membantu implementasi IoT.

QIF 9

Berdasarkan hasil studi IHS Markit yang diajukan oleh Qualcomm, 5G kabarnya akan mengekspansi ekosistem mobile hingga tercipta industri-industri baru. Sistem ini akan mentenagai ekonomi digital – baik berupa barang maupun jasa – senilai lebih dari US$ 12 trilyun.

 

Smart city dan IoT

Di presentasinya, senior director  Qualcomm Technologies Sanjeet Pandit menjelaskan bahwa smart city dapat terealisasi melalui penggabungan banyak segmen dan vertikal internet of things, di antaranya penerapan IoT di ranah utility monitoring, manufaktur, jaringan sensor dan kamera, tempat tinggal, serta agrikultur. Singkatnya, kota pintar adalah kota-kota yang menyimpan teknologi-teknologi digital di berbagai fungsi.

QIF 6

Smart city harus bisa menopang, mengelola dan mengevolusi diri serta segala layanan di sana dari waktu ke waktu. Mereka juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan warga dan pemerintahnya. Konsep ini diusung agar membuat kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi lebih berkesinambungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas penduduk. Gagasan kota pintar juga berguna untuk meminimalkan efek negatif urbanisasi karena teknologi membantu menghemat banyak hal.

QIF 7

Pertanyaan yang kini mungkin muncul adalah, smart city memang memudahkan masyarakat, tapi apakah menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkecimpung di sana? Berdasarkan perhitungan Harbor Research, pemasukan dari implementasinya berpeluang meningkat dari US$ 44 miliar di tahun 2018 menjadi US$ 367 miliar di 2025. Penerapan teknologi terbesar di smart city terletak pada aspek pengawasan lewat kamera, pemanfaatan lampu pintar, pengoptimalan fasilitas dan ruang publik, serta transportasi.

QIF 5

Secara keseluruhan, status adopsi gagasan kota pintar masih cukup belia dan akan mencapai puncaknya di sekitar tahun 2025. Lewat dari tahun 2030, penghasilan dari smart city diperkirakan mencapai US$ 7 triliun.

Ada tiga kategori kota pintar, ditakar dari level kerumitan integrasi teknologi: Tempat seperti St. Petersburg dan Sao Paulo masih disebut sebagai smart city sederhana, memiliki sistem siaga dan alarm, pengawasan, dan otomatisasi mendasar; Seoul, Chicago, Toronto serta Beijing masuk ke golongan menengah; kemudian kota-kota semisal Barcelona, Melbourne, Singapura, Dubai, Hong Kong dan London dianggap sebagai smart city ‘kompleks’ karena segala sistemnya sudah saling bersinergi.

QIF 4

Satu faktor yang perlu diingat adalah, IoT dan pernak-pernik pendukung kota pintar harus disesuaikan dengan kondisi di lokasi itu. Menurut Sanjeet Pandit, hal-hal yang bisa dilakukan di kota-kota di Amerika kemungkinan besar tidak cocok buat di Indonesia. Dan di sinilah Qualcomm mencoba memberi jawaban lewat ‘Smart City in a Box’. Singkatnya, Smart City in a Box merupakan solusi menyeluruh (end-to-end) serta terkustomisasi berisi komponen-komponen internet of things untuk membangun kota pintar.

QIF 3

Namun meski solusi sudah ada, Sanjeet Pandit menyampaikan pada saya bahwa pihak mana pun yang ingin membangun kota pintar perlu terlebih dulu mengidentifikasi masalah yang ingin diselesaikan – apakah kemacetan atau problem di layanan publik. Kendala itu harus bersifat umum, dirasakan oleh setidaknya 70 persen penduduk di tempat tersebut. Baru setelah itu mereka bisa mulai mempersiapkan infrastrukturnya.

QIF 10

Pemerintah Siapkan Regulasi Perangkat IoT, Penyamaan Harga Sertifikasi Jadi Isu

Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menandatangani regulasi mengenai perangkat IoT, sebagai lanjutan dari Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas untuk teknologi 4G LTE Advance Pro yang telah terbit pada awal April 2019.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo Ismail menerangkan, dalam membuat aturan ini pemerintah berusaha untuk tetap generik, tidak menunjuk untuk salah satu teknologi saja, sehingga bisa diaplikasikan untuk teknologi apapun yang sudah mempersiapkan diri menuju IoT.

Dia merinci aturan ini akan mengatur soal sertifikasi perangkat, yang salah satunya memuat mengenai harga. Sensor dan gateway pun akan ikut masuk dalam komponen perangkat yang akan disertifikasi. Harga sertifikasi akan relatif tidak jauh berbeda dengan perangkat radio biasa.

“Aturan akan diteken dalam waktu dekat, mudah-mudahan enggak sampai tengah tahun karena sudah hampir final,” terangnya, Selasa (23/4).

Sebelumnya, RPM menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas.

Mereka adalah Wireless Local Area Network (WLAN), peranti jarak dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Dedicated Short Range Communication (DSRC), LAA. Serta, alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasarkan izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

4G LTE Advance Pro, lebih dikenal 4.9G atau satu tingkat di bawah 5G, menggunakan jaringan License Assisted Access (LAA). Jaringan ini memanfaatkan frekuensi tak berizin di rentang 5.150-5.350 MHz dan 5.725-5.825 MHz. Sehingga berdampak pemain non operator seluler dapat segera mengimplementasikan IoT secara lebih masif.

Wacana penyamaan harga jadi isu

Menanggapi wacana harga sertifikasi, sebenarnya pemerintah ikut melibatkan Asosiasi IoT Indonesia untuk diskusi bersama sehingga belum ada putusan akhir. Wakil Ketua Asosiasi IoT Andri Yadi agak menyayangkan dan terbebani apabila pemerintah memutuskan untuk menyamakan harga sertifikasi perangkat dengan radio biasa.

Pihaknya pernah membuat simulasi singkat bahwa harga sertifikasi untuk satu startup bisa memakan biaya hingga Rp25 juta. Hitungan tersebut belum mengikuti harga pasar apabila dijual ke konsumen.

“Tidak bisa disamakan [harganya]. Ambil contoh untuk ponsel 4G itu jual batangannya bisa sampai Rp10 juta, tapi bicara perangkat IoT itu bisa sampai Rp400 juta. Sebab di dalamnya itu ada banyak teknologi, seperti short range pakai bluetooth dan WiFi,” katanya.

Country Manager Qualcomm Indonesia Shannedy Ong menambahkan, meski perusahaan secara tidak langsung berdampak mengingat Qualcomm adalah penyedia teknologi, namun pada akhirnya ada dampak tidak langsung yang terasa apabila wacana tersebut terealisasi karena perusahaan termasuk dalam ekosistem.

“Kita ini bagian dari ekosistem sehingga harus kerja sama dengan industri dan asosiasi untuk memikirkan win win solution. Jangan sampai ada regulasi yang menghambat karena kita mau IoT ini bisa diakselerasi. Indonesia harus maju ke step berikutnya, ada solusi baru, komersialkan, dan konsumen bisa mendapatkan manfaatnya,” ujar Shannedy.

Menunggu putusan frekuensi 5G

Teknologi IoT ini sebenarnya bisa dijalankan lewat jaringan 4G, namun alangkah lebih sempurna apabila didukung oleh teknologi 5G. Pemerintah belum menetapkan frekuensi apa yang akan dipakai, lantaran menunggu World Radio Conference 2019 di Mesir yang akan berlangsung pada Oktober 2019 mendatang. Ini adalah konferensi empat tahunan yang digelar ITU (International Telecommunications Union).

Ismail menjelaskan, pada konferensi ini akan diputuskan frekuensi resmi yang digunakan untuk jaringan 5G secara global. Pemerintah akan berkiblat ke sana agar bersifat world wide platform, tidak khusus untuk Indonesia saja. Diharapkan hal ini akan membuat harga perangkat lebih murah dan memudahkan para pemain operator yang ingin berinvestasi ke 5G.

“WRC itu konferensi empat tahunan untuk menentukan pita frekuensi suatu teknologi baru. Jadi kita tunggu acara itu, kira-kira akan menentukan frekuensi 5G setelah acara tersebut,” terangnya.

Secara garis besar pemerintah sudah membuat perkiraaan ada tiga blok spektrum jaringan, yakni lower, middle, dan upper. Untuk upper, dia menjamin tidak ada masalah, karena frekuensinya tersedia dan belum digunakan untuk 26 GHz dan 28 GHz.

Sementara untuk middle, berjalan di frekuensi 3,5 GHz yang sudah dipakai oleh satelit. Sehingga pilihannya mau co-existing dengan satelit agar bisa digunakan bersama 5G. Belum ada perbincangan lebih lanjut soal ini karena pemerintah harus bicara lebih dalam para pemilik satelit, di antaranya Telkom dan Indosat Ooredoo.

Penentuan frekuensi 5G ini cukup genting untuk mendukung ekosistem IoT di Indonesia. Andri menambahkan frekuensi adalah basis awal bagi para pemain sebelum uji perangkat. Seberapa canggih perangkat yang sudah dibuat tapi apabila belum bisa terhubung karena ketiadaan frekuensi akan percuma.

Hal ini diamini Shannedy. Dia menerangkan antara IoT dan 5G memiliki hubungan yang erat. Ada beberapa use case yang bisa ditangani oleh IoT dengan bantuan jaringan 5G yang sangat berdampak untuk industri.

Operator telekomunikasi dan OEM (Original Equipment Manufacturer) skala global telah bermitra dengan perusahaan-perusahaan teknologi untuk menciptakan banyak solusi baru, berbasiskan IoT dan 5G, di industri pertanian, kota pintar, dan transportasi.

Nanobubble Ingin Tingkatkan Potensi Budidaya Perikanan Melalui Nanoteknologi

Besarnya potensi perikanan d Indonesia ternyata masih memiliki kendala dalam produktivitas budidaya, serangan virus atau penyakit, kondisi air tambak yang rusak, dan lainnya sehingga menyebabkan gagal panen di mana-mana. Di sisi lain, kebutuhan pasar lokal maupun ekspor sangat tinggi, khususnya udang.

Berawal dari riset, Nanobubble didirikan oleh CEO Hardi Junaedi, CBDO Dedi Cahyadi, dan CPO Rizki Nugraha Saputra. Startup ini memanfaatkan nanoteknologi yang berfokus meningkatkan produktivitas budidaya perikanan. Mereka disebut berhasil mematenkan dan membuat mesin yang dapat menginjeksi gas (baik oksigen, nitrogen, karbondioksida, maupun gas lainnya) ke dalam suatu air (atau larutan lainnya).

“Kelebihan mesin kami adalah gas yang diinjeksi akan dipecah dan dilarutkan dalam air di dalam milling zone (zona pemecahan) sehingga menghasilkan luaran air dengan kelarutan gas yang tinggi dengan ukuran gelembung (bubble) di kisaran 200-900 nanometer. Gas yang berada di dalam bubble akan mudah larut dalam air. Dampaknya kadar gas menjadi lebih tinggi daripada kondisi pada umumnya,” kata Hardi kepada DailySocial.

Gas yang dimaksud adalah oksigen dan bermanfaat meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam tambak udang sehingga pada panen pertama mampu meningkatkan hasil panen hingga empat kali lipat.

Nanobubble mendapatkan pengetahun ini setelah melakukan studi banding ke Jepang.

“Alhamdulillah sepulang dari Jepang tim kami terinspirasi untuk mengembangkan teknologi Nanobubble dengan teknologi yang dimodifikasi menggunakan material lokal dan terjangkau. Harapannya Nanobubble ini bisa menjadi bisnis teknologi yang mampu menghilirisasi hasil penelitian Nanobubble selama dua tahun ke belakang dan bisa dikomersialkan,” kata Hardi.

Fitur Nanobubble

Mesin yang dikembangkan Nanobubble secara otomatis menginjeksi oksigen ke dalam tambak saat kondisi kadar oksigen rendah dan mesin dengan timer otomatis. Diharapkan dalam waktu 2-3 bulan ke depan Nanobubble mampu melengkapi fitur dan menyelesaikan kontrol otomatis parameter DO (oksigen), suhu, dan pH sehingga petambak dan pengguna mampu mengontrol secara real time kondisi budidaya udang pada aplikasi di smartphone.

“Tim kami, selain berfokus pada fitur mesin Nanobubble untuk menunjang kadar oksigen pada air tambak udang sehingga produktivitas meningkat, juga pernah bekerja sama dengan BUMN untuk penerapan Nanobubble nitrogen untuk pengawetan ikan tuna. Hasilnya pun sangat memuaskan dan menambah masa kesegaran ikan,” kata Hardi.

Tahun ini ada beberapa target yang ingin dicapai Nanobubble. Di antaranya adalah bisa merevolusi dunia budidaya perikanan dengan meningkatkan produktivitas dengan luasan tambak yang lebih kecil sehingga mendukung terciptanya optimalisasi lahan tambak di Indonesia. Kemudian membantu penyediaan stok udang atau ikan untuk pasar lokal maupun ekspor, serta mampu meningkatkan kesejahteraan petambak atau buruh tambak yang terlibat dalam proses budidaya.

“Selain itu tim research & development kami juga masih dalam tahapan penelitian penerapan di dunia pertanian, terutama terobosan pupuk cair nitrogen ataupun untuk mendukung oksigen dan nutrisi pada budidaya sistem hidroponik. Pada tahun 2017 kami sebenarnya juga sudah pernah berhasil menerapkan Nanobubble nitrogen untuk pengawetan ikan tuna. Sehingga besar harapan kami untuk mampu menjadi solusi permasalahan perikanan dan pertanian dengan terobosan nanoteknologi,” kata Hardi.

Rencana penggalangan dana

Meskipun masih baru, Nanobubble telah memiliki strategi monetisasi, yaitu berkolaborasi dengan komunitas dan praktisi budidaya udang. Untuk kegiatan pemasaran, Nanobubble memanfaatkan media sosial, situs, seminar dan workshop, serta forum berbagi teknologi lainnya.

“Untuk model bisnis kami saat ini adalah skema persewaan mesin Nanobubble dan bagi hasil kerja sama budidaya,” kata Hardi.

Nanobubble berhasil mengumpulkan pendanaan dari dewan juri Thinkubator sebesar Rp825 juta sebagai pemenang utama program. Modal tersebut nantinya akan dimanfaatkan perusahaan untuk menambah demonstration plot (demplot) ukuran tambak 1000m2, menambah talenta di bidang perikanan dan IoT, serta memproduksi sekitar 18-20 mesin untuk penerapan di tambak daerah Sukabumi dan Situbondo.

Terkait penggalangan dana, Nanobubble saat ini sedang dalam komunikasi dengan tiga mitra. Selain dari Grab, Nanobubble juga telah mendapatkan tambahan modal dari research grant PPTI Kemenristek DIKTI dan Coremap CTI LIPI.

Telkomsel Mulai Komersialisasi IoT Intank, Bermitra dengan Pertamina Patra dan Mitratel

Telkomsel mengumumkan Pertamina Patra Niaga (PPN) dan Mitratel sebagai mitra perdana yang mengimplementasikan solusi fuel management IoT Intelligent Tank Monitoring System (Intank). Solusi ini sebelumnya telah diperkenalkan sejak tahun lalu, namun masih dalam tahap uji coba.

IoT Intank berfungsi secara end-to-end memonitor tangki atau aset likuid dari jarak jauh yang memungkinkan pemantauan inventaris dan konsumsi bahan bakar secara intensif kapanpun dan di manapun karena terhubung dengan sistem cloud.

“Telkomsel secara konsisten meningkatkan kesiapan teknologi dan jaringan sebagai bagian dari upaya mengakselerasi terbentuknya ekosistem IoT di Indonesia, sekaligus dalam rangka memasuki era Industri 4.0,” ucap SVP Enterprise Account Management Telkomsel Dharma Simorangkir dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, solusi Intank akan membantu Pertamina Patra Niaga dan Mitratel dalam berbagai use case yang berbeda. Pertamina Patra memanfaatkan Intank untuk monitor persediaan bahan bakar pada tangki penyimpanan terminal (terminal storage), sensor meter pada jalur distribusi, serta CCTV pada titik transfer kustodi.

Sebelumnya, PPN telah mengembangkan solusi digital bernama Pertamina Smart MT (mobil tangki). Kehadiran IoT Intank dan Fleetsight, diharapkan akan menjadi lokomotif inovasi buat Pertamina Smart MT sehingga lebih optimal dalam menjaga persediaan dan melakukan distribusi bahan bakar minyak bagi para konsumen.

Sementara itu, Mitratel, anak usaha Telkom bergerak di bisnis penyediaan menara pemancar telekomunikasi dan infrastruktur, akan memanfaatkan Intank untuk monitor konsumsi dan persediaan bahan bakar pada site infrastruktur telekomunikasi yang memakai genset sebagai cadangan energi.

Mitratel dapat beroperasi dengan optimal tanpa terhambat pasokan energi, sekaligus menandai proses digitalisasi operasional bisnis perusahaan sebagai penyedia infrastruktur telekomunikasi paling inovatif.

Setelah kemitraan dengan PPN dan Mitratel, akan ada tambahan use case Intank untuk industri yang berbeda. Di antaranya Semen Merah Putih (industri semen), Pamapersada Nusantara (industri kontraktor pertambangan), dan Kapuas Prima Coal (industri pertambangan). Semuanya ini masih dalam tahap uji implementasi.

Semen Merah Putih memanfaatkan Intank untuk monitor persediaan bahan bakar dari jarak jauh pada terminal storage dan tangki bahan bakar truk pencampur semen secara real time. Begitupun Pamapersada, untuk monitor bahan bakar di storage tank yang akan didistribusikan untuk operasional, lokasi kapal distribusi, dan ketinggian air sungai yang dilalui kapal.

Sementara Kapuas Prima, untuk monitor bahan bakar pada mobil truk yang mendistribusikan bahan bakar dari pelabuhan ke site pertambangan dan ketersediaan bahan bakar storage tank di pelabuhan.

“Kami berharap Intank dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketiga perusahaan tersebut untuk menjadi pemain terdepan di industri masing-masing,” pungkas Dharma.

Mengenal SAM Element, Provider PaaS untuk IoT

SAM Element, sebuah startup yang berbasis di Surabaya, didirikan sebagai premis penyedia Platform as a Service (PaaS) untuk memudahkan banyak pihak untuk mengembangkan perangkat IoT. SAM Elemen menghadirkan tools, modul konektivitas, cloud storage, dan servis terintegrasi.

CEO SAM Element Agustinus Rudy kepada DailySocial menjelaskan, SAM Element hadir sebagai sebuah startup PaaS yang dapat digunakan oleh pabrikan untuk mengubah perangkat yang dimiliki menjadi smart device/IoT device, sehingga dapat masuk ke pasar IoT dengan lebih cepat, lebih murah, dan dengan risiko minimal.

Solusi SAM Element memungkinkan pabrikan elektronik tetap fokus dalam pengembangan perangkat elektronik dan menghasilkan sensor dengan kualitas terbaik.

“Kami di SAM Element memberikan mereka tools & connectivity modules, ready to use app, cloud storage and analytic, and integration services. Kita juga dapat memberikan akses ke developer API jika mereka membutuhkan untuk membangun aplikasi yang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan mereka,” terang Rudy.

SAM Element saat ini masih berjalan dengan pendanaan sendiri atau bootstrap. Tahun ini SAM Element tengah berusaha menambah partner sebanyak-banyaknya untuk mulai berkolaborasi membangun industri 4.0 secara lebih cepat dan lebih baik.

Dengan solusi yang ditawarkan, mereka menargetkan konsumen dari pengguna pabrikan elektronik dan pengembang software. SAM Element saat ini sudah memiliki beberapa pelanggan, di antaranya Pemkab Sidoarjo dan Elitech (penyedia medical devices).

“Karena SAM Element hadir sebagai platform, maka target pengguna adalah pabrikan elektronik dan pengembang software, di mana mereka masing-masing dapat saling menghasilkan produk yang berkualitas tanpa perlu dipusingkan urusan software bagi mereka pengembang hardware atau dipusingkan urusan hardware bagi mereka pengembang software,” imbuh Rudy.

Ia menambahkan, akses ke dalam platform terbuka bagi siapa saja,  mulai dari penghobi IoT, UKM hingga enterprise.

Fitur-fitur SAM Element

SAM Element mengklaim telah mengembangkan platform dan produk yang bisa diandalkan dari segi ketahanan dan keamanan data. Setiap layanan SAM Element disebut dilengkapi dengan proses enkripsi terbaru dan setiap transaksi data diwajibkan melewati proses otentikasi yang ketat.

Untuk memastikan keamanan data, SAM Element juga mewajibkan seluruh pengembang yang menjadi mitra untuk wajib dan tunduk pada standar keamanan yang telah ditetapkan perusahaan.

SAM Element juga menyediakan modul konektivitas yang siap digunakan dan diintegrasikan dengan IoT, mulai dari konektivitas untuk jaringan Mesh, LTE, LORA, WIFI, dan beberapa jaringan lainnya.

“SAM Element percaya bahwa setiap kesuksesan mitra merupakan kesuksesan SAM Element. Oleh karena itu, SAM Element menempatkan dukungan teknik sebagai satu hal penting dalam membangun bisnis berkelanjutan. Dengan dukungan teknik, SAM Element ingin memastikan mitra mendapatkan layanan yang maksimal,” imbuh Rudy.

Application Information Will Show Up Here

Menkominfo Tandatangani Rancangan Peraturan Frekuensi untuk IoT

Pemerintah Indonesia menunjukkan dukungan terhadap penerapan teknologi Internet of Things (IoT) melalui Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang baru saja ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Pelaksana Tugas Kepala Humas Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu menyampaikan, RPM ini memiliki urgensi untuk memenuhi ketersediaan spektrum frekuensi radio sebesar 350 MHz, untuk mobile broadband sesuai target Rencana Strategis Kementerian Kominfo tahun 2015-2019, melalui penetapan pita frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan alat atau perangkat telekomunikasi Licensed Assisted Access (LAA).

“Dukungan tersebut berupa penetapan pita frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan alat dan/atau perangkat telekomunikasi Low Power Wide Area (LPWA) Nonseluler,” terang Ferdinandus.

Menurut Ferinandus, latar belakang dibuatnya RPM ini adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 68 ayat (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 9 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio.

RPM yang diteken Menkominfo ini menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas yaitu Wireless Local Area Network (WLAN), Peranti Jarak Dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Licensed Assisted Access (LAA), Dedicated Short Range Communication (DSRC), dan alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasar izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

“Ketentuan penggunaan frekuensi radio berdasarkan izin kelas, yaitu digunakan secara bersama (sharing) pada waktu, wilayah, dan/atau teknologi secara harmonis antar pengguna, dilarang menimbulkan gangguan yang merugikan, tidak mendapatkan proteksi interferensi dari pengguna lain dan wajib mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan,” kata Ferdinandus seperti dikutip Bisnis.

Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya ketika dihubungi DailySocial mengungkapkan, pihaknya menyambut positif regulasi yang disahkan ini. Regulasi yang mengesahkan penggunaan frekuensi untuk IoT ini sejalan dengan program Asosiasi IoT Indonesia untuk terus mendorong pertumbuhan ekosistem IoT di Indonesia.

Teguh mengatakan, “Tentunya kami dari Asosiasi IoT Indonesia, menyambut positif sekali dengan telah disahkannya regulasi penggunaan frekuensi yang dialokasikan untuk pengguna dan penyedia IoT di tanah air.”

“Hal ini sejalan dengan program kami di tahun ini untuk terus mendorong penetrasi pertumbuhan ekosistem IoT di Indonesia mulai dari para makers, penyedia jaringan, penyedia platform, hingga penyedia aplikasi dan solusi IoT untuk semua sektor baik industri, konsumer, kesehatan, pertanian, perikanan, perkotaan, transportasi hingga perbankan,” jelasnya.

Indosat Ooredoo Develops “Future Digital Economy Lab”

In the objective to create more digital talents in Indonesia, Indosat Ooredoo launches Future Digital Economy Lab. It’s started from Indosat Ooredoo Business collaboration with Institut Teknologi Bandung in a form of IoT Innovation & Future Digital Economy Lab launched by Indonesia’s Industrial Ministry, Airlangga Hartarto.

Indosat Ooredoo will acquire more universities, such as Bina Nusantara University, Nahdlatul Ulama University Surabaya, Atma Jaya Catholic University, Trilogi University, STIE PERBANAS, President University, Prasetya Mulya University,Sepuluh Nopember Institute of Technology, and Udayana University.

Focused on IoT technology

IoT becomes telecommunication service focus due to connectivity concept not only equipped in laptop and smartphone, but also other electronic devices. The Future Digital Economy Lab program is expected to support innovation, product design reference, and solution to develop IoT product at industry scale. Corporate R&D collaborates with universities is the key.

“We hope this lab can be a place for collaboration to develop innovation idea, incubation of various use case based on IoT that can improve this country’s independent economy towards the World’s big 5. Programs in this lab should produce real products, high quality, and applicable to answer the issue on field or business development,” Indosat Ooredoo’s President Director & CEO, Chris Kanter.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Indosat Ooredoo Kembangkan “Future Digital Economy Lab”

Bertujuan untuk menciptakan lebih banyak talenta digital di Indonesia, Indosat Ooredoo meresmikan Future Digital Economy Lab. Peluncuran ini diawali dengan kolaborasi Indosat Ooredoo Business dengan Institut Teknologi Bandung dalam bentuk IoT Innovation & Future Digital Economy Lab yang diresmikan Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto.

Indosat Ooredoo juga akan menggandeng sejumlah universitas lain, seperti Universitas Bina Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Trilogi, STIE PERBANAS, President University, Universitas Prasetiya Mulya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Udayana.

Fokus ke teknologi IoT

IoT menjadi fokus layanan telekomunikasi karena konsep konektivitas kini tidak lagi hanya dimiliki oleh laptop dan smartphone, tapi juga berbagai perangkat elektronik. Program Future Digital Economy Lab ini diharapkan mampu mendorong kehadiran inovasi, referensi desain produk, dan solusi untuk mengembangkan produk IoT ke skala industri. Kolaborasi R&D korporasi dan universitas menjadi kunci di sini.

“Kami berharap laboratorium ini dapat menjadi wadah untuk berkolaborasi mengembangkan ide inovasi, inkubasi beragam use case tepat guna berbasis IoT yang dapat meningkatkan perekonomian bangsa yang mandiri menuju kekuatan ekonomi ke-5 dunia. Program-program yang dijalankan di dalam Lab diharapkan menghasilkan karya nyata, berkualitas dan aplikatif untuk menjawab masalah di lapangan atau pengembangan bisnis,” ujar President Director & CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter.