Kresna Graha Siapkan Lima Anak Usaha “Go Public” di Bursa Indonesia dan New York

Kresna Graha Investama mengungkapkan setidaknya akan mendorong lima anak usaha untuk melantai di bursa efek pada tahun ini. Satu atau dua anak usaha akan diarahkan untuk melantai di bursa efek New York, sementara tiga diantaranya akan melantai di bursa lokal.

“Yang akan listed di bursa luar negeri itu anak usaha kita yang ada di pasar global. Itu masih kami kaji dan masuk rencana tahun ini. Untuk yang anak usaha lokal, dua minggu lagi akan ada public expose, rencananya setelah Lebaran akan melantai,” ujar Managing Director Kresna Graha Investama Surjandy Jahja, kemarin (17/5).

Seluruh anak usaha yang akan didorong Kresna Graha adalah perusahaan yang bergerak di bidang digital. Perseroan ingin mendorong anak-anak usahanya untuk mendapatkan tambahan dana segar dari pasar modal demi mengembangkan bisnisnya.

Hanya saja, Jahja enggan membeberkan nama-nama anak usaha yang akan didorong untuk melantai tersebut. Salah satu perusahaan anak usaha Kresna yang bergerak di pasar global adalah MatchMove Pay Pte Ltd (MMP) yang berbasis di Singapura dengan kepemilikan saham 15,5%.

Tak hanya mengambil saham MMP, sebelumnya Kresna Graha juga menguasai saham MatchMove Indonesia (MMI) bersama M Cash dengan masing-masing kepemilikan 14,81%. Sedangkan untuk anak usaha lokal Kresna Graha yang sudah memiliki jadwal melantai adalah PT NFC Indonesia.

Bila tidak ada aral melintang, Kresna Graha berencana menggelar public expose untuk anak usahanya tersebut pada awal Mei 2018. Ditargetkan NFC akan segera melantai setelah Lebaran, atau sekitar Juli 2018.

Kresna Graha akan melepas saham baru sebanyak 25% dan target dana yang didapat sekitar Rp225 miliar sampai Rp325 miliar. Proses roadshow ke luar negeri juga telah dilakukan perusahaan guna mendapatkan komitmen dari investor.

“Yang dua lagi [anak usaha lokal] sedang kita kaji yang mana yang akan kita dorong IPO. Setelah NFC, berikutnya bukan MMI. Setiap anak usaha yang mau kita IPO, prosesnya sama seperti saat M Cash, persis sekali.”

NFC adalah perusahaan yang bergerak di bidang digital hub exchange, beroperasi sejak 2013. Beberapa produk dari NFC adalah toko online Selalu Ada, marketplace barang bekas Tawarin, pulsa agregator, dan aplikasi TV streaming OONA.

Secara total, anak usaha digital yang berada di bawah Kresna Graha mencapai lebih dari 10 perusahaan.

“Sejak 2015 kami transformasi dari holding jasa keuangan sekarang merambah ke bisnis digital. Perusahaan-perusahaan yang unik dan sudah menghasilkan profit akan disiapkan untuk menuju ke bursa.”

Dorong kontribusi bisnis digital

Lini digital menjadi kontributor utama dalam bisnis perseroan, bila dilihat dari laporan keuangan di kuartal I/2018, pendapatan perseroan mencapai Rp950,4 miliar atau tumbuh 764,2% dibandingkan kuartal yang sama di tahun sebelumnya.

Dari pencapaian tersebut kontribusi dari bisnis digital mencapai 83%, meningkat dari tahun lalu sebesar 75%. Perseroan meraih pendapatan sebesar Rp1,57 triliun di 2017, tahun ini ditargetkan sebesar Rp5 triliun, diperkirakan 90% diantaranya berasal dari lini digital.

“Melihat capaian kami di kuartal I/2018, target Rp5 triliun itu cukup konservatif. Tahun ini kami targetkan 90% pendapatan ditopang oleh sektor digital.”

Kendati pendapatan didorong dari digital, perseroan mengungkapkan bila dilihat dari segi laba lini tersebut baru menyumbang kurang dari 10% dari perolehan laba. Mayoritas di antaranya berasal dari perolehan bisnis M Cash.

Jahja memproyeksikan lini digital baru bisa memberikan laba yang signifikan sekitar 40%-50% pada 2022 untuk perseroan. Maka dari itu perseroan akan memperkuat anak usaha, disamping itu menambah jumlah anak usaha yang siap diakuisisi.

Direktur Utama Kresna Graha Investama Michael Steven menambahkan, perseroan telah menyiapkan dana belanja (capex) sebesar Rp350-400 miliar untuk akuisisi anak usaha baru. Sekitar Rp50 miliar di antaranya akan diberikan sebagai penyertaan modal untuk Kresna Sekuritas, sehingga modal dari perusahaan efek itu meningkat jadi Rp 155 miliar.

Sisanya akan dipakai untuk akuisisi perusahaan digital lainnya. Di dalam pipeline perseroan, setidaknya ada lima sampai 10 perusahaan yang akan dibidik.

Go-Jek is Open for Listing Possibility in Indonesia Stock Exchange

While Go-Jek is yet to set specific timeframe for a possible IPO, the idea of “going public” has already created buzz in the industry. Listed only on foreign exchange, like NYSE or Nasdaq, will complicate things with local investors. It’s no surprise that Indonesia Stock Exchange (IDX) started to approach Go-Jek to consider listing in local stock exchange.

According to Bloomberg, Go-Jek’s management (led by President Andre Soelistyo) has discussed this issue with IDX management. Soelistyo said, they are considering an IPO seriously, even there is no particular timeframe yet.

Andre said, listing in IDX will facilitate Go-Jek’s stock purchase by common people, including driver-partner. Go-Jek may opt for dual listing to accommodate investors, both local and foreign.

A few of  Indonesian-based companies do dual listing. One is Telkom. Its stock is available in both IDX and NYSE since 1995.

Go-Jek is also reportedly to be in the final phase of fundraising worth $1.5 billion (around Rp20 trillion) after a number of new investors. The world’s largest investment firm, BlackRock, is the latest to invest at on-demand startup co-founded by Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, and Michaelangelo Moran. Go-Jek’s valuation post money is estimated around $5 billion (or Rp68 trillion), That number is exceeding the total market cap of all transportation companies in IDX.

This year, Go-Jek prepares for a regional expansion to some neighboring countries to compete with Grab and Uber.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Go-Jek Buka Opsi Melantai di Bursa Efek Indonesia

Meski belum ada timeframe pasti tentang kapan Go-Jek akan listing di bursa efek, kabar bahwa perusahaan on-demand ini akan go public terus berhembus kencang. Hanya terdaftar di bursa asing, misalnya di NYSE atau Nasdaq, akan mengakibatkan sulitnya investor ritel lokal untuk memiliki saham startup unicorn ini. Untuk itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai melakukan pendekatan agar Go-Jek juga membuka wacana mempertimbangkan sahamnya untuk diperjualbelikan di bursa lokal.

Menurut laporan Bloomberg, pihak manajemen Go-Jek (yang dipimpin Presiden Go-Jek Andre Soelistyo) sudah bertemu dengan manajemen BEI untuk mendiskusikan hal ini. Kepada media, Andre menyebutkan pihaknya sangat serius mempertimbangkan IPO, meskipun belum ada timeframe khusus untuk kebutuhan ini.

Andre menyebutkan potensi listing di BEI akan memudahkan pembelian saham Go-Jek oleh berbagai kalangan, termasuk bahkan oleh mitra pengemudinya. Bisa jadi nantinya Go-Jek memilih opsi dual listing untuk mendapatkan investor dari kedua sisi.

Tidak banyak perusahaan Indonesia yang melakukan dual listing. Contoh perusahaan Indonesia yang terdaftar di dua bursa saham dan masih bertahan sampai sekarang adalah Telkom yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan NYSE sejak tahun 1995.

Go-Jek sendiri disebutkan berada di fase akhir penggalangan dana senilai total $1,5 miliar (20 triliun Rupiah) setelah sejumlah investor baru mulai berdatangan. Perusahaan investasi terbesar di dunia, BlackRock, adalah yang terakhir disebutkan berinvestasi di startup yang didirikan oleh Nadiem Makarim, Kevin Aluwi, dan Michaelangelo Moran ini. Valuasi Go-Jek pasca perolehan pendanaan diperkirakan mencapai $5 miliar (atau 68 triliun Rupiah) atau lebih besar dari total market cap semua perusahaan transportasi yang terdaftar di BEI.

Tahun ini Go-Jek mempersiapkan ekspansi regional ke sejumlah negara tetangga untuk meningkatkan persaingannya dengan Grab dan Uber.

Application Information Will Show Up Here

Meramahkan Aturan “Listing” untuk Startup

Minat perusahaan startup untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai opsi perolehan dana eksternal belum selaras dengan tingginya kucuran investasi yang datang dari non bursa.

Untuk mengatasi hal tersebut, BEI terus melakukan relaksasi aturan dengan mulai melirik aturan-aturan yang berlaku di luar negeri, untuk diterapkan di Indonesia. Salah satunya aturan menghitung valuasi perusahaan berdasarkan pendapatan (revenue), aset tak berwujud (non tangible asset/NTA), dan kapitalisasi pasar (market cap).

EVP Head of Privatization, Startup, SME & Foreign Listing BEI Saptono Adi Junarso menuturkan ketiga kategori tersebut diambil dari studi yang dilakukan BEI terhadap aktivitas listing startup dalam bursa di berbagai negara. Beberapa negara yang menjadi benchmark BEI seperti Australia, Amerika Serikat, dan sejumlah negara di Asia.

Saptono mencontohkan, ketika seorang anak ingin masuk sekolah ke jenjang lebih tinggi umumnya memakai rapor sebagai pertimbangan utamanya, namun kini tersedia opsi misalnya lewat jalur mandiri, Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) atau yang lainnya.

“Jadi misalkan kalau rapornya tidak bagus tapi dilihat dari aspek lain bisa memenuhi maka langkah IPO bisa dilakukan. Kalau sampeyan rapornya jelek tapi ingin jadi atlet, lewat jalur PMDK bisa. Kalau aspek lainnya tidak lulus, ya terpaksa nanti dulu,” tuturnya di sela-sela diskusi panel Startups #Go Public, Rabu (28/2).

Saptono melanjutkan, negara yang menjadi benchmark BEI adalah negara-negara dengan jumlah startup listing terbanyak, seperti Australia. Namun tidak semua aturan akan di-copy secara mentah-mentah karena BEI harus mempertimbangkan dari aturan yang berlaku di sekitarnya apakah bertentangan atau tidak.

Menurutnya, proses seleksi dalam mengadopsi aturan harus diberlakukan karena tidak semua aturan cocok dengan karakteristik di Indonesia. Dia mencontohkan, di Amerika Serikat berlaku aturan Dual-Class Shares atau No-Vote Shares untuk perusahaan teknologi yang ingin melantai.

Aturan tersebut, menurutnya, cukup kontroversial bila diterapkan di Indonesia, sebab banyak bertentangan dengan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (AUPPT).

“Karena kami harus selalu menjunjung perlindungan terhadap investor, sehingga tidak bisa sembarang perusahaan bisa IPO. Harus perhatikan norma dan kepatutan yang ada.”

Saptono menegaskan ketiga cara penghitungan valuasi tersebut belum menjadi keputusan akhir lantaran pihak bursa masih melakukan proses pembahasan dengan OJK. Nantinya, bila relaksasi dapat diwujudkan akan tertuang dalam aturan yang diterbitkan BEI.

Pihaknya berharap wacana relaksasi tersebut dapat menstimulasi gairah perusahaan startup untuk mulai melirik bursa sebagai opsi mendapatkan dana segar. Kendati menurutnya hanya dengan mengacu pada aturan yang masih berlaku saja sebenarnya bisa dikatakan ramah buat startup. Hal ini terlihat dari munculnya dua perusahaan startup yang sudah melantai pada tahun lalu, Kioson dan M Cash.

“Tapi kalau kita lihat ada [aturan] yang bisa direlaksasi, kami kira akan lebih fleksibel untuk para calon emiten.”

Startup mulai mendekat

Turut hadir Menkominfo Rudiantara dan Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam diskusi Startup #Go Public / DailySocial
Turut hadir Menkominfo Rudiantara dan Direktur Utama BEI Tito Sulistio dalam diskusi Startup #Go Public / DailySocial

 

Saptono menuturkan pasca dua startup sukses melantai, tingkat frekuensi startup untuk menghubungi BEI sekadar untuk bertanya-tanya seputar IPO meningkat cukup tajam. Kendati demikian, belum ada yang benar-benar serius dan ambil keputusan konkret untuk mengikuti langkah Kioson dan M Cash.

Pasalnya pertanyaan yang dilontarkan masih sekadar apa saja persyaratannya untuk IPO belum sampai ke tahap kondisi terkini kesehatan perusahaan. Sehingga masih abu-abu mengenai seberapa besar keinginan mereka untuk menyegerakan eksekusi IPO.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut karena sebagian besar startup yang datang ke BEI belum berbadan hukum PT, sementara banyak di antara mereka masih berbentuk CV. Padahal aturan paling utama buat perusahaan agar bisa melantai adalah berbentuk PT.

“Kita tidak tahu seberapa jauh keinginan mereka untuk eksekusi aksi IPO. Kalau dari tingkat kunjungan kami merasa frekuensinya naik sekali. Hampir setiap hari ada yang menghubungi kita via email atau datang langsung.”

Bahkan Saptono mengaku startup yang mengunjungi BEI tidak hanya dari Jakarta saja, malah sudah datang dari Bandung, Semarang dan Surabaya. Tingginya animo tersebut, membuat BEI untuk membuka IDX Incubator di luar Jakarta. Dua kota yang dipilih BEI adalah Bandung dan Surabaya.

“Kota tersebut cukup banyak potensi startupnya. Kami ingin jaring sebanyak-banyaknya anggota agar bisa kita pantau keuangannya, bimbing manajemennya agar lebih solid saat siap untuk IPO. Analoginya, lebih baik berternak binatang daripada berburu di hutan.”

Hapus stigma buruk

Menjadi perusahaan terbuka dengan pergerakan saham dengan volatilitas yang tinggi, cenderung membuat ada stigma buruk “saham gorengan”. Semakin mudah perusahaan bisa melantai, semakin mudah “menggoreng” saham. Stigma tersebut semakin kencang dalam startup, yang notabenenya adalah perusahaan belum untung, namun sudah berani melantai.

Ada yang mengkhawatirkan ketika perusahaan sudah melantai, tapi dalam waktu singkat perusahaan tersebut malah sudah gulung tikar terlebih dulu. Hal ini ditepis keras-keras oleh panelis yang turut hadir dalam diskusi Startup #Go Digital, menghadirkan Program Director IDX Incubator Irmawati Amran, Direktur Kresna Sekuritas Octavianus Budiyanto, dan Direktur Utama M Cash Integrasi Marthin Suharlie.

“Perusahaan tutup itu terjadi karena manajemennya yang tidak bagus. Startup itu mau bagaimanapun adalah perusahaan. Makanya di inkubator, kami ajarkan untuk mengelola bisnis biar tetap sustain,” terang Irmawati Amran.

Menurutnya, istilah “goreng saham” hanya akan terjadi ketika fundamental perusahaan yang tidak kuat. Apa yang dijanjikan dalam prospektus saat pertama kali IPO, tidak bisa menjamin para investor.

“Ketika perusahaan tumbuh maka harga sahamnya akan mengikuti. Makanya fundamental harus bagus sedari awal. Banyak yang bilang ingin besar dulu baru IPO, tapi sebenarnya yang lebih baik itu besar karena IPO itu lebih bagus.”

Pernyataaan Irmawati diamini oleh Saptono. “Saham gorengan” terjadi ketika persebaran saham publik itu kecil, sehingga harganya bisa naik dan turun secara drastis. Strategi untuk mencegah hal tersebut terjadi adalah memperbesar persebaran saham publik, sehingga untuk menyetir saham gorengan butuh upaya yang lebih tinggi.

Mengenai kontroversi tersebut, makanya BEI membuat dua papan klasifikasi pencatatan emiten, papan pengembangan dan papan utama. Papan pengembangan diperuntukkan kepada perusahaan yang masih kecil dengan masa operasi minimal 12 bulan dan aktiva berwujud bersih minimal Rp5 miliar, bisa melantai di bursa.

Dalam papan tersebut, emiten boleh datang dengan laporan keuangan yang masih rugi. Namun dengan catatan, emiten tersebut memiliki proyeksi dan analisa bisnis yang menunjukkan minimal dalam dua tahun setelah IPO, sudah cetak laba.

Perusahaan sekelas GO-JEK dengan valuasi di atas US$1 miliar akan tetap tercatat di papan pengembangan bila masih rugi, meski nilai aktiva berwujud bersihnya lebih dari Rp100 miliar. Nilai tersebut adalah batas minimal bagi emiten di papan utama.

Indonesia’s Standard Calculation Method for Startup Valuation to be Available in Mid-December

Indonesia Stock Exchange (IDX) states the standard calculation method for startup valuation will soon be available, precisely on December 15th, 2017. A guide for valuation calculation is expected to increase startup enthusiasm on finding fresh money through IPO in IDX.

For this standard, IDX coordinates with Indonesia Chartered Accountants (IAI), Statement of Financial Accounting Standards (SFAS) draft-maker. SFAS is a manual book for accountant containing guidelines for archiving, arranging, consulting, and presenting financial reporting.

SFAS is compiled and legalized by official financial institution.

“IAI will launch the SFAS on how to capitalize startup’s assets. If it’s working, this could be huge. They can go public. SFAS will be launched on December 15th, 2017,” Tito Sulistio, IDX’s President Director, said in Investor Forum 2017, Thursday, (11/23).

According to Sulistio, Indonesia’s startup valuation method is not standardized. In Indonesia, business based on ideas is classified as intangible assets, unable to be converted into number as company valuation.

This intangible assets can be larger than initial funding. After this specific standard available for public, he hopes startup owner will be more enthusiast (on IPO) because intangible assets can be capitalized as part of company valuation.

Nonetheless, it won’t be a guarantee, if this SFAS has been applied, that startup’s IPO can be fully absorbed by public. The decision is made by the market.

“However, I cannot guarantee whether [the stake] can be fully absorbed by public. I gave it to the market mechanism.”

Sulistio also conveyed, one of BEI’s efforts to encourage startup to do IPO easily by creating IDX Incubator program. This program is not only focus on startup development products, but also from business aspects to investor relation. Participants will be taught on necessary things to be prepared for the IPO.

Two startups managed to become a public company this year, namely Kioson and M Cash. The company went into the market with its own effort, not because of IDX Incubator program.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Standar Penghitungan Valuasi Startup Segera Terbit Pertengahan Desember

Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan standar penghitungan (kapitalisasi) valuasi startup dalam waktu dekat akan segera terbit pada pertengahan Desember ini, atau lebih tepatnya 15 Desember 2017. Pedoman penghitungan valuasi diharapkan dapat meningkatkan gairah perusahaan startup untuk melantai di BEI sebagai opsi pencarian dana segar.

Dalam meluncurkan pedoman ini, BEI berkoordinasi dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai pihak penyusun Pernyataan Standar Akuntan Keuangan (PSAK). PSAK adalah buku petunjuk pelaku akuntansi yang berisi pedoman tentang pencatatan, penyusunan, perlakuan, dan penyajian pelaporan keuangan.

PSAK disusun IAI dengan mempertimbangkan kondisi keuangan yang berlaku saat ini dan telah disepakati oleh institut atau lembaga resmi di Indonesia.

“IAI akan mengeluarkan PSAK bagaimana mengkapitalisasi program [startup]. Kalau program bisa dikapitalisasi, ini bisa jadi besar. Pada bisa go public anak-anak muda itu. PSAK akan terbit sekitar 15 Desember 2017,” terang Direktur Utama BEI Tito Sulistio di sela-sela diskusi panel Investor Forum 2017, Kamis (23/11).

Menurutnya, metode penghitungan valuasi startup di Indonesia belum memiliki standar. Sebab di Indonesia, bisnis yang berdasarkan ide tergolong aset tak berwujud (intangible asset), sehingga tidak bisa dikonversi ke dalam angka sebagai valuasi perusahaan.

Padahal, aset tak berwujud tersebut bisa menjadi lebih besar melebih modal awal pendirian perusahaan. Dia berharap ketika PSAK sudah terbit, pemilik startup dapat lebih bergairah karena programnya menjadi modal yang dikapitalisasi secara akuntansi.

Meskipun demikian, Tito tidak bisa menjamin ketika PSAK telah terbit dan mulai diterapkan startup lokal sebelum melantai di bursa itu bisa sepenuhnya diserap oleh pasar. Dia menyerahkan keputusan tersebut kepada pasar.

“Tapi saya tidak bisa jamin apakah [sahamnya] bisa diserap publik. Itu saya serahkan ke mekanisme pasar.”

Dalam kesempatan tersebut, Tito juga menyampaikan salah satu upaya BEI untuk mendorong perusahaan startup lebih mudah IPO dengan membuat program IDX Incubator. Program ini tidak hanya fokus pada pengembangan startup dari segi produk saja, tapi juga dari aspek bisnis hingga berkenalan dengan investor. Peserta juga akan diajarkan hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan untuk IPO.

Dua startup berhasil menjadi perusahaan publik tahun ini yakni Kioson dan M Cash. Perusahaan tersebut masuk ke bursa dengan usaha sendiri, bukan karena program IDX Incubator.

Tingkatkan Pangsa Pasar, M Cash Siap Sebar 4 Ribu Kios Sampai Akhir 2018

Setelah menggelar bookbuilding, M Cash Integrasi mengungkapkan sejumlah rencana perusahaan pasca IPO. Ambisi yang ingin dicapai adalah menjadikan M Cash sebagai perusahaan distributor digital terbesar di Indonesia.

Beberapa rencana di antaranya menambah mesin kios sampai akhir tahun ini sebanyak 1.000 unit dan melipatgandakan jumlahnya hingga 4 ribu unit di akhir 2018 mendatang. Tak hanya itu, perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan inisiatif baru agar konten dalam kios semakin beragam, sehingga memancing orang untuk bertransaksi di dalamnya.

“Kita mau jadi perusahaan distributor digital terbesar di Indonesia. Untuk mencapai itu, ada banyak inisiatif yang harus kita kerjakan agar bisa memberi dampak yang besar,” terang Managing Director M Cash Jahja Suryandy, Kamis (26/10).

Adapun anggaran capital expenditure (capex) yang dibutuhkan perusahaan untuk ekspansi pada tahun depan, akan diambil dari hasil IPO. Perkiraannya dana yang dibutuhkan sekitar Rp40 miliar sampai Rp45 miliar untuk membuat mesin kios dan pengembangan software. Sisa dana IPO akan digunakan untuk diputar sebagai modal kerja perusahaan, peningkatan kompetensi dan sumber daya manusia.

Berdasarkan proyeksi, dengan pengadaan 4 ribu kios diharapkan dapat mencetak pertumbuhan pendapatan M Cash sebesar Rp2,3 triliun dengan keuntungan bersih Rp49,5 miliar sampai 2018. Sementara sampai akhir tahun ini, proyeksi M Cash dengan mengadakan 1.000 kios dapat mencetak pendapatan sebesar Rp853 miliar dengan keuntungan bersih Rp6,8 miliar.

Apabila mengacu dari laporan keuangan M Cash per April 2017, pendapatan perusahaan mencapai Rp269 miliar dengan keuntungan bersih Rp3 miliar. Adapun total kios yang telah disebar M Cash sebanyak 210 unit tersebar di beberapa kota.

“Ini proyeksi yang cukup konservatif. Dengan pertumbuhan yang konsisten, revenue Rp2,3 triliun bisa dicapai apabila kita memasang 4 ribu kios. Rencananya kami mau pasang kios M Cash di gerai Ranch Market, Hero, Carrefour, dan di daerah lainnya mengikuti lokasi mereka berada. Bisnis seperti ini di Thailand cukup meledak dan sukses.”

Sesuai dengan rencana, M Cash akan resmi melantai di BEI pada 31 Oktober 2017.

Kelebihan permintaan hingga 9,3 kali

Beberapa hari yang lalu, M Cash telah menggelar bookbuilding dan kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 9,3 kali. Dalam proses ini, M Cash menjaring anchor investor dari institusi, sekitar 40% diantaranya berasal perusahaan asing (Hong Kong, Singapura, Australia, dan Amerika Serikat) dan sisanya dari lokal.

Beberapa nama institusi di antaranya PAG Asia Capital dan Maybank Asset Management. Selain itu, ada sekitar 15 perusahaan aset manajemen lokal yang turut berpartisipasi, ditambah beberapa perusahaan keluarga Singapura dengan nama yang dirahasiakan.

Setelah menjaring anchor investor, perusahaan memutuskan untuk mengambil harga saham perdananya Rp1.385 per lembar. Harga tersebut ada di kisaran bawah rentang harga penawaran saham M Cash Rp1.300-Rp1.450 per lembar. Dengan perolehan tersebut, M Cash memastikan dapat meraup dana segar Rp300 miliar.

Saat ini M Cash memiliki empat model bisnis yaitu full investment, revenue sharing, rental, dan franchise. Empat model ini memiliki kelebihan masing-masing, di mana dapat menjangkau masyarakat Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Melalui kios, perusahaan menawarkan beberapa produk dan fitur seperti top up credit & billers, express kios, face & finger print recognition, pop-up advertisement, dan lainnya. M Cash juga mengeluarkan produk fisik, termasuk sim card telepon, sim card internet, voucher, gift card, dan e-money.

Dampak IPO Sea Limited untuk Operasional Bisnis Shopee di Indonesia

Sea Limited, sebelumnya dikenal dengan nama Garena, baru saja melakukan penawaran saham perdananya atau Initial Public Offering (IPO) di New York Stock Exchange. Rencana IPO ini sebenarnya sudah terdengar sejak bulan Mei lalu, yang ditaksir akan memberikan penambahan modal senilai lebih dari 12 triliun rupiah. Tiga unit bisnis Sea yang banyak dikenal di Indonesia, yakni Garena (untuk industri game), AirPay (untuk industri fintech) dan Shopee (untuk industri e-commerce).

Shopee menjadi salah satu yang paling signifikan posisinya di Indonesia. Menanggapi IPO Sea dan pengaruhnya terhadap operasional bisnis Shopee di Indonesia, DailySocial menghubungi Chris Feng, CEO Shopee. Chris meyakini bahwa akan banyak peluang baru yang hadir bersama IPO ini, termasuk untuk bisnis, performa karyawan dan kepercayaan pengguna.

Chris menyampaikan sementara ini belum ada agenda khusus yang akan dilakukan Shopee menyusul IPO yang diumumkan beberapa waktu lalu. Fokus yang diinginkan Chris saat ini lebih soal growth, bukan proposisi harga saham di grup perusahaannya.

“Operasional Shopee di Indonesia akan terus difokuskan untuk memastikan keberlanjutan pertumbuhan dan kesuksesan bisnis, dibandingkan perubahan harga saham harian. Harapan kami, para investor dapat dipandu dengan performa bisnis kami, dan menyadari kelebihannya, serta peluang besar yang akan hadir ke depannya,” ujar Chris.

Kendati demikian, tidak ditampik bahwa dengan bertanggarnya saham Sea di bursa maka akan berpengaruh memberikan penambahan modal bagi perusahaan, pun demikian untuk Shopee. Untuk itu sudah ada beberapa rencana yang akan digulirkan Chris untuk menguatkan pangsa pasar dan kinerja Shopee di Indonesia.

“Dengan adanya penambahan modal, kami dapat lebih menginvestasikan untuk pengembangan ekosistem, terkait pengembangan platform dan fitur, dan tentunya membantu penjual dalam mengembangkan bisnis mereka. Kami percaya hal ini juga merupakan cara yang unik bagi Shopee untuk menarik dan menjaga talenta-talenta terbaiknya, sehingga kami dapat terus memberikan pelayanan terbaik bagi pembeli dan penjual kami,” imbuh Chris.

Chris belum mau mengungkapkan secara detail realisasi pembaruan seperti apa dalam strategi bisnis dan penambahan fitur untuk Shopee. Yang jelas, sudah ada beberapa agenda yang disiapkan sebelum menutup tahun 2017 ini untuk Shopee Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Salah Satu Pemegang Saham Kioson Lakukan “Right Issue” untuk Suntik Anak Usaha

Emiten perusahaan telekomunikasi berbasis digital PT Mitra Komunikasi Nusantara Tbk (MKNT), salah satu pemegang saham Kioson, mengumumkan rencana penerbitan saham baru, diikuti waran lewat mekanisme Penambahan Modal Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD) atau lebih dikenal right issue.

Dalam rencana ini, MKNT akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 4 miliar saham baru dengan harga Rp20 per lembar. Penerbitan saham juga akan diikuti opsi waran kepada pemegang saham lama. Harapannya, perusahaan dapat meraup dana segar sebanyak Rp1,2 triliun, dengan rincian dari penerbitan saham Rp600 miliar dan waran Rp612,5 miliar.

Seluruh dana tersebut rencananya akan digunakan MKNT untuk menyuntik permodalan tiga anak usahanya dan memperkuat struktur permodalan perseroan. Adapun anak usaha MKNT adalah PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (Kioson), PT Mitra Sarana Berkat (MSB) dan PT Mitra Telindo Nusantara (MTN).

MKNT menguasai saham Kioson sebesar 3,8%. Pemegang saham Kioson lainnya adalah Artav Mobile Indonesia 53,89%, Seluler Makmur Sejahtera 9,62%, dan sisanya dimiliki publik.

“Alokasi utama dana dari right issue akan kami arahkan ke belanja modal anak usaha. Kami melihat produktivitas anak usaha sangat tinggi sehingga diperlukan dukungan finansial,” terang Direktur Utama MKNT Jefri Junaedi dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial, Senin (16/10).

Mengutip dari Bisnis.com, perseroan akan menyuntik sekitar 70% dana yang dihimpun atau sekitar Rp420 miliar untuk MSB. Sebab, selama ini omzet terbesar perseroan sekitar 95% dikontribusikan dari MSB. Anak usaha ini memiliki lima entitas di bidang perdagangan pulsa, salah satunya PT Graha Planet Nusantara.

Setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang telah dilaksanakan, MKNT akan menyusun rencana jadwal penerbitan saham baru, serta target harga penawaran saham baru dan waran. Selanjutnya, mematok agenda pelaksanaan right issue paling lambat dilakukan tahun depan.

Dalam mekanisme penerbitan saham yang diikuti waran, perseroan membuka kesempatan bagi pemilik saham lama MKNT untuk menambah asetnya. Rasio yang ditetapkan adalah setiap pemegang 20 saham lama berhak atas 8 saham baru ditambah 7 lembar waran. Perseroan berencana menerbitkan 1,75 miliar lembar waran guna menarik minat investor loyal MKNT.

Pemegang saham mayoritas MKNT adalah PT Monjess Investama sebesar 51% dan sisanya dimiliki publik. Berdiri sejak 2008, bisnis MKNT fokus pada tiga aspek utama di industri telekomunikasi, yakni perdagangan umum telepon seluler, gadget, dan voucher isi ulang.

MKNT sebelumnya bekerja sama dengan Telkomsel untuk mendistribusikan voucher isi ulang dengan produk ponsel perseroan, dijual secara grosir atau ritel langsung ke pengguna.

Pasca Bookbuilding, M Cash Patok Harga Saham Rp1.385 per Lembar

Setelah menggelar proses bookbuilding lebih dari sepekan lalu (6/10), M Cash menutup harga saham per lembarnya seharga Rp1.385, naik tipis dari harga penawaran awal dengan kisaran Rp1.300 sampai Rp1.450. Dengan demikian, perusahaan akan meraup dana segar sebanyak Rp300 miliar dari aksi korporasi ini, setelah melepas 25% saham baru atau setara 216 juta saham.

Dikutip dari DealStreetAsia, M Cash juga mendapat komitmen dari berbagai perusahaan swasta sebagai anchor investor. Beberapa nama di antaranya PAG Asia Capital dan Maybank Asset Management. Selain itu, ada sekitar 15 perusahaan aset manajemen lokal yang turut berpartisipasi, di tambah beberapa perusahaan keluarga dari Singapura dengan nama yang dirahasiakan.

“Beberapa nama besar lainnya ada yang ikut berpartisipasi, kebanyakan berasal dari Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat, Australia dan Indonesia. Namun tidak dapat diungkapkan karena ada compliance-nya,” terang Direktur M Cash sekaligus Managing Director Kresna Investama Suryandy Jahja.

Sesuai dengan rencana, M Cash akan menerima pernyataan efektif dari OJK pada 20 Oktober. Kemudian, periode penawaran akan dijadwalkan pada 24-26 Oktober. Saham M Cash akan resmi dicatatkan di BEI pada 31 Oktober.

Founder Kresna Graha Investama Michael Steven menuturkan aksi IPO yang dilakukan M Cash adalah bagian rencana awal dari perusahaan. Kresna Graha berencana untuk mendorong tiga anak usaha yang lainnya untuk masuk ke bursa pada tahun depan.

“Akan ada lagi yang bakal IPO. Kami mencoba dorong perusahaan asuransi kami untuk go public tahun depan, bersama dengan satu atau dua anak perusahaan Kresna lainnya,” pungkas Michael.